PENDAHULUAN
1
pendek serta mempunyai genotipe heterozigot (Cpcp). Ayam dengan genotipe
CpCp mengalami kematian pada masa embrio. Apabila sesama ayam redep
dikawinkan, akan diperoleh keturunan dengan nisbah fenotipe ayam redep
(Cpcp) : ayam normal (cpcp) = 2 : 1. Hal ini karena ayam dengan genotipe CpCp
tidak pernah ada. Sementara itu, gen letal resesif misalnya adalah gen penyebab
albino pada tanaman jagung. Tanaman jagung dengan genotipe gg akan
mengalami kematian setelah cadangan makanan di dalam biji habis, karena
tanaman ini tidak mampu melakukan fotosintesis sehubungan dengan tidak
adanya khlorofil. Tanaman Gg memiliki warna hijau kekuningan, sedang tanaman
GG adalah hijau normal. Persilangan antara sesama tanaman Gg akan
menghasilkan keturunan dengan nisbah fenotipe normal (GG) : kekuningan (Gg)
= 1 : 2 (Rohmad, 2013).
Dalam penelitian-penelitian yang sebelumnya telah diketahui bahwa D.
melanogaster merupakan salah satu contoh hewan yang juga dapat terjadi
interaksi gen letal. Interaksi yang terjadi pada persilangan ini merupakan interaksi
antara faktor-faktor bersifat letal yang dominan. Dalam hal ini interaksi pasangan
homozigot bersifat lethal. Rasio yang diturunkan bukan 3:1 tetapi 2:1 karena
turunanan yang memiliki pasangan homozigot dominan ini mati. Biasanya
individu yang membawahi pasangan faktor lethal dominan sama-sama dominan
akan segera mati, tetapi adapula beberapa contoh pasangan faktor lethal dominan
yang efek lethalnya tertunda, sehingga individu yang membawahinya dapat
bertahan hidup selama beberapa waktu (Corebima, 2013).
Telah dijelaskan diatas bahwa dalam penelitian sebelumnya interaksi
gen letal dapat terjadi pada D. melanogaster, sehingga salah satu tujuan
penggunaan Drosophila yaitu untuk mengetahui interaksi gen lethal pada strain
ini. Pada penelitian ini digunakan lalat buah yaitu D. melanogaster. D.
melanogaster ini dipilih sebagai objek penelitian karena bahwa D. melanogaster
ukurannya yang relatif kecil sehingga populasinya yang besar dapat dipelihara
dalam laboratorium, siklus hidupnya yang relatif pendek dan banyak terdapat
disekitar kita sehingga mudah untuk kita mendapatkannya. Selain itu D.
melanogaster sangat subur karena lalat betina menghasilkan ratusan telur yang
dibuahi dalam hidupnya yang pendek (Kimball, 1983).
2
Pada penelitian ini dilakukan dengan menyilangkan antara strain N dan
Pm beserta resiproknya, Pm dengan Pm serta strain N dengan strain N sehingga
dapat diketahui rasio perbandingan fenotip yang muncul pada F1 serta
mendapatkan fenomena yang terjadi berdasarkan hasil persilangan tersebut, yaitu
penyimpangan terhadap Hukum Mendel terutama tentang gen letal. Dimana rasio
keturunan yang dihasilkan yaitu 2:1 yang mengindikasikan bahwa terdapat
sejumlah individu yang telah mengalami kematian. Hal ini disebabkan karena
rasio yang seharusnya dihasilkan yaitu 1:2:1, akan tetapi pada peristiwa letal ini
hanya dihasilkan rasio keturunan 2:1.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka kami melakukan penelitian
dengan judul “ Fenomena Interaksi Gen Lethal Pada Persilangan D. melanogaster
strain N dan Pm (N♂><N♀, Pm♂><Pm♀, N♂><Pm♀ beserta resiproknya)”.
3
1.3.3 Mengetahui fenomena interaksi gen lethal yang terjadi pada persilangan
D. melanogaster strain ♂N><♀N, ♂Pm><♀Pm, ♂N><♀Pm beserta
resiproknya.
1.4 Kegunaan
Setelah adanya penelitian diharapkan agar penelitian ini dapat
memberikan manfaat sebagai berikut.
1.4.1 Memberikan informasi mengenai gen letal dominan, serta mengetahui
interaksi gen letal pada mata ungu yang dapat berpengaruh pada kematian
D. melanogaster.
1.4.2 Membantu penelitian lain yang masih terkait dengan masalah gen letal,
dengan membagikan hasil penelitian yang telah dilakukan.
Pm
individu normal yang bersifat resesif, disimbolkan dengan genotip .
Pm
4
1.6.4 Karakter heterozigot adalah karakter yang dikontrol oleh dua gen
(sepasang) identik (berlainan). Dalam penelitian ini, karakter heterozigot
Pm
dimiliki oleh individu Pm yang disimbolkan dengan genotip .
Pm
1.6.5 Transduksi sinyal merupakan proses komunikasi sel, mengubah stimulus
menjadi sebuah respon dalam sel. Setiap sel mampu
berkomunikasi melalui peningkatan kemampuan dalam menghasilkan,
mengenali, menginterprestasikan dan merespon sinyal-sinyal di
lingkungannya. Dalam penelitian ini, proses transduksi sinyal tidak dapat
diamati secara nyata, namun terdapat interaksi gen yang berperan dalam
proses tersebut untuk menghasilkan suatu ekspresi.
1.6.6 Strain N merupakan strain normal dari D. melanogaster yang memiliki
karakteristik mata berwarna merah, bentuk mata oval, faset mata halus,
tubuh kuning kecoklatan, sayap lebih panjang dari tubuh.
1.6.7 Strain Pm merupakan strain mutan dari D. melanogaster yang memiliki
karakteristik mata berwarna ungu gelap, bentuk mata bulat, faset mata
halus, tubuh kuning kecoklatan, sayap lebih panjang dari tubuh.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
5
sebagai sumber pembelajaran genetika pada organisme diploid. Hewan ini
dianggap mempunyai peranan yang sangat penting dalam perkembangan genetika
selanjutnya. Alasan penggunaan hewan ini sebagai objek penelitian genetika di
laboratorium adalah ukurannya kecil, mempunyai siklus hidup pendek, dapat
memproduksi banyak keturunan, generasi yang baru dapat dikembangbiakan
setiap dua minggu, murah biayanya, dan mudah perawatannya (Stine, 1991).
Klasifikasi D. melanogaster menurut Borror et al. (1992) adalah.
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Diptera
Family : Drosophilidae
Genus : Drosophila
Spesies : Drosophila melanogaster
D. melanogaster normal memiliki karakteristik khusus, yaitu panjang
tubuh lalat dewasa 2-3 mm, imago betina umumnya lebih besar dibandingkan
dengan yang jantan, tubuh berwarna coklat kekuningan dengan faset mata
berwarna merah berbentuk elips. Terdapat pula mata oceli yang mempunyai
ukuran jauh lebih kecil dari mata majemuk, berada pada bagian atas kepala, di
antara dua mata majemuk, berbentuk bulat. Selain itu, D. melanogaster normal
memiliki antena yang berbentuk tidak runcing dan bercabang-cabang dan kepala
berbentuk elips. Thorax berwarna krem, ditumbuhi banyak bulu dengan warna
dasar putih. Abdomen bersegmen lima, segmen terlihat dari garis-garis hitam yang
terletak pada abdomen. Sayap D. melanogaster normal memiliki ukuran yang
panjang dan lurus, bermula dari thorax hingga melebihi abdomen lalat dengan
warna transparan (Dimit, 2006). Menurut Herkowitz (1997), D. melanogaster
jantan mempunyai sex comb (sisir kelamin) pada kaki depannya. Sex comb
tersebut dapat digunakan sebagai alat identifikasi, sedangkan lalat betina tidak
memiliki sisir kelamin. (Seperti pada Gambar 2.1).
6
Gambar 2.1 Perbedaan Morfologi D. melanogaster Jantan dan Betina
(Sumber: Breitenbach, 1999)
Masing-masing spesies D. melanogaster memiliki fenotip yang
berbeda. Mislanya, pada strain N dan Pm yang digunakan dalam penelitian ini.
Untuk strain normal (wild-type) (Gambar 2.3) memiliki karakteristik umum yakni
tubuh berwarna coklat dan mata merah. Sedangkan untuk fenotip lain seperti pada
strain Pm (Plum) memiliki warna mata ungu gelap (Krebs & Fasolo, 2004). Yang
membedakan diantara keduanya hanyalah warna mata. Pada strain N matanya
berwarna merah sedangkan pada strain Pm matanya berwarna keunguan (Gambar
2.2) (Sturtevant, 1921).
N Pm
Gambar 2.2 Warna Mata Normal dan Gambar 2.3 Warna Tubuh dan Bentuk
Plum D. melanogaster Sayap Normal D.
(Sumber: Yumpu,memiliki
D. melanogaster 2017) empat tahap dalammelanogaster
siklus hidupnya yaitu:
(Sumber: Yumpu,
telur, larva, pupa dan dewasa. D. melanogaster akan menghasilkan 2017)
keturunan baru
dalam waktu 9-10 hari. Jika dipelihara pada suhu 25ºC dalam kultur segar, lima
hari pada tahap telur dan tahap larva, lalu empat hari pada tahap pupa. D.
7
melanogaster mempunyai siklus hidup yang sangat pendek yaitu sekitar 12 hari
pada suhu kamar. Betina dapat menghasilkan telur sebanyak 100 butir dan separuh
dari jumlah telur tersebut akan menjadi lalat jantan dan separuhnya lagi akan
menjadi lalat betina. Siklus hidup lalat ini akan semakin pendek apabila
lingkungannya tidak mendukung (Wonderly, 2002).
2.2 Gen
8
Corebima (2013) menyatakan bahwa pola ekspresi kelamin atau
penentuan jenis kelamin ditentukan oleh gen. Gen-gen tersebut terletak pada
autosom, pada kromosom kelamin ataupun pada keduanya. Pewarisan sifat
dikontrol oleh gen-gen yang terletak di dalam inti. Gen-gen kromosomal ini
memegang peranan utama di dalam pewarisan sebagian besar sifat genetik. Dari
hasil beberapa penelitian diperoleh informasi bahwa pewarisan sifat juga dapat
dikontrol oleh gen di luar inti (Suryo, 2004). DNA luar inti sel ditemukan pada
dua organel penting yaitu mitokondria (mtDNA) pada hewan dan tumbuhan dan
kloroplas pada tumbuhan hijau (Leeson et al., 1996). Pewarisan sifat oleh bahan
genetik di luar inti (extra nuclear inheritance) disebut pewarisan maternal (Russel,
1992).
Gen–gen tersebut berada di dalam suatu molekul panjang yang disebut
asam Deoksiribonukleat (DNA=Deoxyribo Nucleid Acid). Setiap gen menempati
posisi atau tempat yang spesifik pada suatu kromosom yang disebut lokus gen.
Oleh sebab itu semua bentuk alel suatu gen ditemukan pada posisi–posisi yang
bersesuaian pada kromosom–kromosom yang secara genetik sama (homolog) atau
tidak sama (non homolog) (Stansfield, 1983).
Penyebaran gen dapat terjadi jika ada persilangan atau perkawinan
antar individu dalam suatu populasi. Berdasarkan jumlah sifat yang disilangkan,
terdapat dua macam persilangan yaitu persilangan monohibrid dan persilangan
dihibrid. Persilangan monohibrid merupakan persilangan dengan satu sifat beda
sedangkan persilangan dihibrid merupakan persilangan dengan dua sifat beda
(Wijayanto et al., 2013).
9
karakteristik tertentu. Suatu sifat keturunan yang nampak pada suatu individu
ditentukan oleh gen.
J.G Mendel berpendapat bahwa karakter ditentukan oleh unit karakter
yang disebut faktor. Satu gen (tunggal) bertanggung jawab terhadap satu sifat.
Terdapat beberapa penyimpangan dari hukum Mendel karena adanya
pengontrolan suatu sifat yang tidak hanya dilakukan oleh satu gen saja, tetapi oleh
beberapa gen atau lebih yang melakukan kerjasama (interaksi) seperti yang telah
dibuktikan oleh beberapa ahli Genetika sesudahnya (Gardner et al., 1984).
Menurut Minkoff (1983), faktor-faktor (gen) terletak pada kromosom-kromosom.
Interaksi gen merupakan salah satu penyimpangan dari hukum Mendel.
Dewasa ini, diketahui bahwa karakter atau sifat makhluk hidup muncul sebagai
suatu produk dari rangkaian reaksi biokimia yang dikatalis oleh enzim. Enzim
tersebut tersusun oleh polipeptida-polipeptida yang pembentukannya dikontrol
oleh faktor atau gen. Dengan demikian tidak ada satu sifat atau karakter yang
dikontrol oleh satu faktor atau satu unit karakter (gen), tetapi pengontrolan sifat
(karakter) tersebut oleh satu faktor atau unit karakter dianggap benar dalam batas
satu tahap reaksi biokimia (Corebima, 2013). Dengan demikian, sifat atau fenotip
apapun, sesungguhnya adalah hasil interaksi antara gen pada lokus yang berbeda
(Corebima, 2013).
Menurut Corebima (2013), sifat dominan dan sifat resesif merupakan
sifat interaksi antara dua faktor gen penyusun suatu pasang faktor (gen). Sifat
homozigot adalah sifat yang dikontrol oleh suatu pasang gen yang identik,
sedangkan sifat heterozigot adalah sifat yang dikontrol oleh suatu gen yang tidak
identik (berlainan), misalnya, gen R adalah gen dominan dan gen r adalah gen
resesif, maka suatu karakter yang bergenotip RR adalah homozigot dominan, rr
adalah homozigot resesif dan Rr heterozigot. Gen dominan, dapat mengontrol
pembentukan enzim yang fungsional yang dapat mengkatalis tahap reaksi
biokimia. Sedangkan untuk gen resesif, memproduksi enzim yang tidak
fungsional sehingga tidak dapat mengkatalis tahap reaksi biokimia yang spesifik
(Tamarin, 2002).
10
Interaksi antara faktor-faktor (sepasang) dapat berpengaruh terhadap
viabilitas tiap individu yang memilikinya. Efek viabilitas itu bahkan dapat
menyebabkan matinya individu bersangkutan secara cepat atau lambat. Interaksi
antara faktor-faktor termaksud, yang berakibat matinya individu yang
bersangkutan , dikatakan bersifat lethal (Corebima, 2013).
Interaksi antara faktor-faktor (sepasang) dapat bersifat lethal yang
dominan, tetapi dapat juga bersifat lethal yang resesif. Interaksi yang bersifat
lethal dominan berlangsung antara faktor-faktor yang sama-sama dominan.
Interaksi yang bersifat lethal resesif berlangsung antara faktor-faktor yang sama-
sama resesif. Faktor-faktor (sepasang) yang interaksinya bersifat lethal dikenal
sebagai faktor lethal (gen lethal) (Corebima, 2013). Lethal dominan dapat terjadi
pada individu–individu yang heterozigot. Kematian pada individu yang
mempunyai gen lethal juga disebabkan mutasi lethal, yaitu mutasi biokimiawi.
Mutasi biokimiawi dapat menimbulkan variasi nutrisional atau biokimiawi yang
menyimpang dari kondisi normal (Klug dan Cummings, 1994).
Mutasi lethal mengakibatkan suatu sel atau makhluk hidup tidak dapat
hidup. Menurut (Ayala et al., 1984), efek mutasi lethal ataupun yang dapat
terekspresi di berbagai tingkat perkembangan mulai awal embriogenesis hingga ke
tahap–tahap perkembangannya selanjutnya sepanjang hayat makhluk hidup dan
mutasi tersebut dapat mempengaruhi berbagai jaringan, pola perilaku ataupun
proses metabolik.
Contoh untuk pasangan faktor yang sama–sama dominan yang
interaksinya bersifat lethal dominan adalah pasangan faktor yang bertanggung
jawab atas kelainan postur pada ayam yang disebut “Creeppers”. Dalam hal ini
interaksi pasangan CC (homozigot dominan) bersifat lethal.
Bagan persilangan ayam Creepers dapat dilihat pada bagan dibawah ini:
P1 Creepers x Creepers
G Cc Cc
F1 CC Cc cc
(mati) (Creepers) (normal)
Gambar 2.5 Bagan persilangan ayam creepers
11
Rasio turunannya bukan 1:2:1, tetapi 2:1 karena turunan
yang memiliki pasangan CC mati (Corebima, 2013).
Kematian pada individu yang mempunyai gen lethal juga disebabkan mutasi lethal
yaitu mutasi biokimia
12
2.6.3 Terdapat fenomena interaksi gen lethal dari persilangan D. melanogaster
pada strain ♂Pm >< ♀Pm.
BAB III
METODE PENELITIAN
13
Pada masing-masing persilangan diambil data perhitungan jumlah fenotip yang
muncul pada F1.
3.4.2 Bahan
14
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah D. melanogaster
strain N dan Pm, pisang rajamala, tape, gula merah, kertas pupasi, tissue, air,
fermipan, kertas label.
15
3.5.4.4 Ditunggu hingga pupa menetas menjadi imago lalu disilangkan.
Usia imago maksimal 2 hari sejak pupa menetas.
3.5.4.5 Disilangkan antara strain ♂N >< ♀N, ♂Pm >< ♀Pm dan ♂Pm
>< ♀N beserta resiproknya sebanyak 6 kali ulangan.
3.5.4.6 Dilepaskan jantan setelah 2 hari disilangkan.
3.5.4.7 Diamati F1 dan dihitung jumlahnya dari setiap persilangan.
3.5.4.8 Dimasukkan data dalam tabel F1.
16
BAB IV
DATA DAN ANALISIS DATA
4.1 Data
4.1.1 Hasil pengamatan Fenotip
Dalam penelitian ini, D. melanogaster yang digunakan adalah strain N
dan Pm. Karakteristik dari kedua strain tersebut adalah:
17
(Sumber: Dokumentasi pribadi, 2017)
18
1 2 3 4 5 6
N ♂ 5 5 3 1 5 4 23
♀ 7 2 5 6 7 6 33
♂ 10 9 16 6 10 8 59
Pm
♀ 24 12 7 13 8 10 74
19
Pm Pm
G: ><
Pm Pm
Gamet: Pm+ Pm, Pm+ Pm
Pm Pm Pm
F1:
(dominan letal), (Pm) , (N)
Pm Pm Pm
20
Pm Pm Pm
Pm Pm
21
2 hitung lebih kecil dari 2tabel , menunjukkan bahwa persilangan D.
(0,05)
BAB V
PEMBAHASAN
22
persilangan ♂Pm><♀N menghasilkan F1 dengan rasio perbandingan N : Pm
adalah 1:1. Dalam hal ini strain Pm bersifat heterozigot dan strain N bersifat
homozigot resesif, sehingga dihasilkan keturunan dengan perbandingan 1:1.
Selain itu, disebabkan oleh adanya interaksi antara dua faktor yang kodominan
(sifat kedua induk muncul bersamaan) (Corebima, 2013). Pada persilangan
♂Pm><♀N terjadi interaksi antar alel induk. Selain mengalami berbagai
modifikasi rasio fenotipe karena adanya peristiwa aksi gen tertentu, terdapat pula
penyimpangan semu terhadap hukum Mendel yang tidak melibatkan modifikasi
rasio fenotipe, tetapi menimbulkan fenotipe-fenotipe yang merupakan hasil kerja
sama atau interaksi dua pasang gen non-alelik (Suryo, 2008).
23
adalah gen pada D. melanogaster yang menyebabkan mutan pada neuron γ.
Menurut Tomer et al. (2010), neuron γ terletak di dalam mushroom body (MB),
yang merupakan sepasang struktur di otak D. melanogaster (gambar 5.2).
24
saraf yang luas. Sedangkan perkembangan regresif terdiri dari kematian sel,
pruning axon dan eliminasi sinaps untuk memperbaiki pola menjadi lebih tepat.
Beberapa perkembangan regresif penting untuk pengembangan dan fungsi otak.
Apabila terjadi mutasi pada perkembangan tersebut khususnya pada jalur
apoptosis dapat menyebabkan kelainan morfologis pada otak yang berakibat letal
(Yoshida et al., 1998).
25
glial-derived TGF-βligand (Awasaki et al., 2011). Transforming growth factor
beta (TGF-β) penting dalam mengatur kegiatan seluler. Menurut Rifai (2010),
TGF-β disekresikan untuk meregulasi proliferasi, diferensiasi dan kematian dari
berbagai jenis sel. Protease, integrins, pH dan oksigen spesies reaktif adalah
beberapa faktor yang dapat mengaktifkan TGF-β.
Gambar 5.4 (a) Perkembangan Axon (b) Axon pada wild type (c) Axon yang
Diinduksi oleh EMS (mutagen) (Sumber: Yu et al., 2013)
Menurut Yu et al., (2011), analisis genetika menunjukkan bahwa Plum
bertindak untuk memfasilitasi pemberian sinyal Myoglianin, glial-derived TGF-β,
neuron MB γ tipe-I TGF-βreceptor Baboon. Myoglianin, Baboon dan Ecdysone
Reseptor-B1 diperlukan untuk penyambungan sinaps neuromuskular ectopic
synapse. Glia mengeluarkan Myoglianin untuk menginstruksikan pemodelan
perkembangan saraf di D. melanogaster. Glial Myoglianin mengatur ekspresi
neuron dari reseptor nuklear ecdysone yang memicu remodeling neurit (Awasaki
et al., 2011).
26
Gambar 5.5 Mekanisme Terjadinya Pruning Axon
(Sumber: Yu et al., 2013)
27
BAB VI
PENUTUP
6.1 Simpulan
6.1.1 Fenotip F1 D. melanogaster pada persilangan ♂N><♀N adalah N, pada
persilangan ♂Pm><♀Pm adalah N dan Pm, dan pada persilangan ♂Pm><
♀N beserta dengan resiproknya fenotip yang muncul adalah N dan Pm.
6.1.2 Rasio F1 dari persilangan D. melanogaster pada persilangan ♂N><♀N
adalah 100% N, pada persilangan ♂Pm >< ♀Pm adalah Pm:N dengan
rasio 2:1 dan pada persilangan ♂Pm><♀N beserta resiproknya adalah
N:Pm dengan rasio 1:1.
6.1.3 Fenomena lethal dari persilangan D. melanogaster pada strain
♂Pm><♀Pm terjadi pada Pm homozigot dominan. Fenomena ini terjadi
akibat adanya kegagalan dalam proses transduksi sinyal antara Plum
dengan Myoglianin beserta elemen yang bekerja di dalamnya.
28
DAFTAR PUSTAKA
Awasaki, T., Huang, Y., O’Connor, M.B., Lee, T. 2011. Glia instruct
developmental neuronal remodeling through TGF-beta signaling. Nat
Neurosci. 14:821–823.
Ayala, E.J. et al. 1984. Modern Genetics. Menlo Park California: The
Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc.
Breitenbach, M. 1999. Experimental Genetics 1 Drosophila melanogaster.
Biophysics. 21 (11).
Campbell, Neil A, & Reece, Jane B. 2002. Biologi Ed 1. Jakarta: Erlangga.
29
exercise for undergraduates. Cleveland: Department of Biological,
Geological and Environmental Sciences, Cleveland State University.
Lee, T., Marticke, S., Sung, C., Robinow, S., Luo, L. 2000. Cell-autonomous
requirement of the USP/EcR-B ecdysone receptor for mushroom body
neuronal remodeling in Drosophila. Neuron. 28:807–818.
Lesson, C. R., Lesson, T. S. dan Paparo, A. A. 1996. Histologi. Jakarta: EGC.
Levine, R.P. 1968. Genetic’s Second Edition, London: Hold, Rinehartang Winston,
inc.
Luo L, O'Leary DD. 2005. Axon retraction and degeneration in development and
disease. Annu Rev Neurosci. 28:127–156.
Minkoff, E.C. 1983. Evolutionary Biology. Reading-Massachusetts: Addison-
Wesley Publishing Co.
Rifai, M. 2010. Reseptor Tirosin Kinase dan Transforming Growth Factor β.
(Online), (http://muhaiminrifai.lecture.ub.ac.id/files/2011/01/Buku-Ajar-
Fisiologi1.pdf), diakses pada 24 April 2017.
Rohmad. 2013. Diktat Kuliah Genetika Ternak. Kediri: UNISKA Press.
Russel, P. J. 1992. Genetics. New York: Harper Colling Publishing, Inc.
Stansfield, William. 1983. Theory and Problem Genetics. Second Edition. Alih
Bahasa oleh Machidin Apandi dan Lanny. Jakarta: Erlangga.
Stine, G. J. 1991. Laboratorium Exercise in Genetics. New York: Mac Millan
Publishing Company.’
Sturtevant,A.H. 1920. Genetics Studies On Drosophila simulans.II. Sex-linked
Group of Genes. Genetics Journal. 6:43
Suryo. 2004. Genetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Suryo. 2008. Genetika Strata 1. Yogyakarta: UGM Press.
Tamarin, R.H. 2002. Principles of Genetic’s. New York: Mc Graw-Hill Publishing
Company Ltd.
Tomer, R., Denes, A.S., Tessmar-Raible, K., Arendt, D. 2010. Profil dengan
registrasi gambar menunjukkan asal umum dari jamur annelida dan
vertebrata pallium. Sel. 142 (5): 800-809.
Vanderhaeghen, P., and Cheng, H.J. 2010. Guidance Molecules in Axon Pruning
and Cell Death. Cold Spring Harbor Laboratory Press.
30
Watts, R.J., Hoopfer, E.D., Luo, L. 2003. Axon pruning during Drosophila
metamorphosis: evidence for local degeneration and requirement of the
ubiquitin-proteasome system. Neuron. 38:871–885.
Wijayanto, D.A., Hidayat, R., Hasan, M. 2013. Penerapan Model Persamaan
Diferensi dalam Penentuan Probabilitas Genotip Keturunan dengan Dua
Sifat Beda. Jurnal Ilmu Dasar. I4 (2): 79-84.
Wonderly, B.A. 2002. Drosophila Genetics Lab 1. (Online),
(http://web2.slc.qc.ca/adera/Flies.pdf), diakses tanggal 24 April 2017.
Yoshida, H., Kong, Y.Y., Yoshida, R., Elia, A.J., Hakem, A., Hakem, R.,
Penninger, J.M., Mak, T.W. 1998. Apaf1 is required for mitochondrial
pathways of apoptosis and brain development. Cell. 94:739–750.
Yu, X.M., Gutman, I., Mosca, T.J., et al. 2013. Plum, an immunoglobulin
superfamily protein, regulates axon pruning by facilitating TGF-
βsignaling. Institutes National of Healths: NIH Public Acces.
Yumpu. 2017. Drosophila Phenotypes. (Online),
(https://www.yumpu.com/en/document/view/35342376/drosophila-
phenotypespdf), diakses pada 24 April 2017.
31