Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fenomena pewarisan sifat dari suatu organisme sangat bergantung pada
sifat-sifat gen induk. Sifat-sifat ini tergantung pada sifat-sifat kromosom yang
mengandung gen-gen tersebut, yang akan berpengaruh pada ekspresi gen yang
dihasilkan. Akan tetapi tidak semua pembentukan perilaku atau sifat suatu
organisme hanya berdasarkan faktor genetik saja. Tapi pembentukan perilaku juga
dilatarbelakangi dari faktor lingkungan. Proses pewarisan sifat tersebut dipelajari
dalam ilmu genetika.
Genetika merupakan cabang ilmu biologi yang mengkaji materi
genetik, tentang strukturnya, reproduksinya, kerja (ekspresi), perubahan dan
rekombinasinya. Keberadaannya dalam populasi serta perekayasaan. Aplikasi
genetika telah dilakukan oleh J.G. Mendel sejak tahun 1865 dengan mempelajari
bagaimana suatu ciri (tunggal) diwariskan serta mempelajari adanya interaksi
dominan maupun resesif di dalamnya. Selain interaksi dominan maupun interaksi
resesif yang terdapat pada percobaan J. G Mendel, terdapat juga interaksi yang
dapat menyebabkan matinya individu. Interaksi antara faktor-faktor (sepasang)
dapat berpengaruh terhadap viabilitas tiap individu yang memilikinya. Efek atas
viabilitas itu bahkan dapat menyebabkan matinya individu yang bersangkutan
secara cepat atau lambat. Interaksi antara faktor-faktor termaksud, yang berakibat
matinya individu yang bersangkutan, dikatakan bersifat lethal (Corebima, 2003).
Gen letal atau Gen Kematian ialah gen yang dalam keadaan homozigot
dapat mengakibatkan kematian pada individu yang dimilikinya. Kematian ini
dapat terjadi pada masa embrio atau beberapa saat setelah kelahiran. Akan tetapi,
adakalanya pula terdapat sifat subletal, yang menyebabkan kematian pada waktu
individu yang bersangkutan menjelang dewasa (Rohmad, 2013).
Ada dua macam gen letal, yaitu gen letal dominan dan gen letal resesif.
Gen letal dominan dalam keadaan heterozigot dapat menimbulkan efek subletal
atau kelainan fenotipe, sedang gen letal resesif cenderung menghasilkan fenotipe
normal pada individu heterozigot. Peristiwa letal dominan antara lain dapat dilihat
dalam kasus ayam redep (creeper), yaitu ayam dengan kaki dan sayap yang

1
pendek serta mempunyai genotipe heterozigot (Cpcp). Ayam dengan genotipe
CpCp mengalami kematian pada masa embrio. Apabila sesama ayam redep
dikawinkan, akan diperoleh keturunan dengan nisbah fenotipe ayam redep
(Cpcp) : ayam normal (cpcp) = 2 : 1. Hal ini karena ayam dengan genotipe CpCp
tidak pernah ada. Sementara itu, gen letal resesif misalnya adalah gen penyebab
albino pada tanaman jagung. Tanaman jagung dengan genotipe gg akan
mengalami kematian setelah cadangan makanan di dalam biji habis, karena
tanaman ini tidak mampu melakukan fotosintesis sehubungan dengan tidak
adanya khlorofil. Tanaman Gg memiliki warna hijau kekuningan, sedang tanaman
GG adalah hijau normal. Persilangan antara sesama tanaman Gg akan
menghasilkan keturunan dengan nisbah fenotipe normal (GG) : kekuningan (Gg)
= 1 : 2 (Rohmad, 2013).
Dalam penelitian-penelitian yang sebelumnya telah diketahui bahwa D.
melanogaster merupakan salah satu contoh hewan yang juga dapat terjadi
interaksi gen letal. Interaksi yang terjadi pada persilangan ini merupakan interaksi
antara faktor-faktor bersifat letal yang dominan. Dalam hal ini interaksi pasangan
homozigot bersifat lethal. Rasio yang diturunkan bukan 3:1 tetapi 2:1 karena
turunanan yang memiliki pasangan homozigot dominan ini mati. Biasanya
individu yang membawahi pasangan faktor lethal dominan sama-sama dominan
akan segera mati, tetapi adapula beberapa contoh pasangan faktor lethal dominan
yang efek lethalnya tertunda, sehingga individu yang membawahinya dapat
bertahan hidup selama beberapa waktu (Corebima, 2013).
Telah dijelaskan diatas bahwa dalam penelitian sebelumnya interaksi
gen letal dapat terjadi pada D. melanogaster, sehingga salah satu tujuan
penggunaan Drosophila yaitu untuk mengetahui interaksi gen lethal pada strain
ini. Pada penelitian ini digunakan lalat buah yaitu D. melanogaster. D.
melanogaster ini dipilih sebagai objek penelitian karena bahwa D. melanogaster
ukurannya yang relatif kecil sehingga populasinya yang besar dapat dipelihara
dalam laboratorium, siklus hidupnya yang relatif pendek dan banyak terdapat
disekitar kita sehingga mudah untuk kita mendapatkannya. Selain itu D.
melanogaster sangat subur karena lalat betina menghasilkan ratusan telur yang
dibuahi dalam hidupnya yang pendek (Kimball, 1983).

2
Pada penelitian ini dilakukan dengan menyilangkan antara strain N dan
Pm beserta resiproknya, Pm dengan Pm serta strain N dengan strain N sehingga
dapat diketahui rasio perbandingan fenotip yang muncul pada F1 serta
mendapatkan fenomena yang terjadi berdasarkan hasil persilangan tersebut, yaitu
penyimpangan terhadap Hukum Mendel terutama tentang gen letal. Dimana rasio
keturunan yang dihasilkan yaitu 2:1 yang mengindikasikan bahwa terdapat
sejumlah individu yang telah mengalami kematian. Hal ini disebabkan karena
rasio yang seharusnya dihasilkan yaitu 1:2:1, akan tetapi pada peristiwa letal ini
hanya dihasilkan rasio keturunan 2:1.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka kami melakukan penelitian
dengan judul “ Fenomena Interaksi Gen Lethal Pada Persilangan D. melanogaster
strain N dan Pm (N♂><N♀, Pm♂><Pm♀, N♂><Pm♀ beserta resiproknya)”.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana fenotip keturunan pertama (F1) dari persilangan D.
melanogaster strain ♂N><♀N, ♂Pm><♀Pm, ♂N><♀Pm beserta
resiproknya?
1.2.2 Bagaimana perbandingan fenotip keturunan pertama (F1) dari persilangan
D. melanogaster strain ♂N><♀N, ♂Pm><♀Pm, ♂N><♀Pmbeserta
resiproknya?
1.2.3 Bagaimana fenomena interaksi gen lethal yang terjadi pada persilangan D.
melanogaster strain ♂N><♀N, ♂Pm><♀Pm, ♂N><♀Pm beserta
resiproknya?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Mengetahui fenotip keturunan pertama (F1) dari persilangan D.
melanogaster strain ♂N><♀N, ♂Pm><♀Pm, ♂N><♀Pm beserta
resiproknya.
1.3.2 Mengetahui perbandingan fenotip keturunan pertama (F1) dari persilangan
D. melanogaster strain ♂N><♀N, ♂Pm><♀Pm, ♂N><♀Pm beserta
resiproknya.

3
1.3.3 Mengetahui fenomena interaksi gen lethal yang terjadi pada persilangan
D. melanogaster strain ♂N><♀N, ♂Pm><♀Pm, ♂N><♀Pm beserta
resiproknya.

1.4 Kegunaan
Setelah adanya penelitian diharapkan agar penelitian ini dapat
memberikan manfaat sebagai berikut.
1.4.1 Memberikan informasi mengenai gen letal dominan, serta mengetahui
interaksi gen letal pada mata ungu yang dapat berpengaruh pada kematian
D. melanogaster.
1.4.2 Membantu penelitian lain yang masih terkait dengan masalah gen letal,
dengan membagikan hasil penelitian yang telah dilakukan.

1.5 Ruang Lingkup dan Batasan


Pada penelitian ini memiliki batasan masalah sebagai berikut.
1.5.1 Menggunakan lalat buah D. melanogaster dengan strain N dan strain Pm.
1.5.2 Hanya mengamati berdasarkan fenotip perbedaan mata antara starain N
dan strain Pm.
1.5.3 Penelitian ini mencari fenomena yang terjadi pada persilangan F1 dan F2
pada persilangan strain N dan Pm (♀N ><♂N, ♀Pm >< ♂Pm, dan ♀N ><
♂Pm beserta dengan resiproknya).

1.6 Definisi Operasional


1.6.1 Fenotip adalah karakter yang dapat diamati pada suatu individu yang
merupakan hasil interaksi antara genotip dan lingkungan tempat hidup dan
berkembang. Dalam penelitian ini fenotip meliputi warna mata, bentuk
mata, faset mata, warna tubuh dan keadaan sayap.
1.6.2 Interaksi letal adalah interaksi antara faktor-faktor (sepasang) yang dapat
berpengaruh terhadap viabilitas tiap individu yang memilikinya dimana
efek viabilitas itu dapat menyebabkan matinya individu yang bersangkutan
secara cepat atau lambat. Dalam penelitian ini, fenotip individu letak tidak
diamati karena bersifat letal.
1.6.3 Karakter homozigot adalah karakter yang dikontrol oleh dua gen
(sepasang) identik. Dalam penelitian ini, karakter homozigot dimiliki oleh

Pm
individu normal yang bersifat resesif, disimbolkan dengan genotip .
Pm

4
1.6.4 Karakter heterozigot adalah karakter yang dikontrol oleh dua gen
(sepasang) identik (berlainan). Dalam penelitian ini, karakter heterozigot

Pm 
dimiliki oleh individu Pm yang disimbolkan dengan genotip .
Pm
1.6.5 Transduksi sinyal merupakan proses komunikasi sel, mengubah stimulus
menjadi sebuah respon dalam sel. Setiap sel mampu
berkomunikasi melalui peningkatan kemampuan dalam menghasilkan,
mengenali, menginterprestasikan dan merespon sinyal-sinyal di
lingkungannya. Dalam penelitian ini, proses transduksi sinyal tidak dapat
diamati secara nyata, namun terdapat interaksi gen yang berperan dalam
proses tersebut untuk menghasilkan suatu ekspresi.
1.6.6 Strain N merupakan strain normal dari D. melanogaster yang memiliki
karakteristik mata berwarna merah, bentuk mata oval, faset mata halus,
tubuh kuning kecoklatan, sayap lebih panjang dari tubuh.
1.6.7 Strain Pm merupakan strain mutan dari D. melanogaster yang memiliki
karakteristik mata berwarna ungu gelap, bentuk mata bulat, faset mata
halus, tubuh kuning kecoklatan, sayap lebih panjang dari tubuh.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Drosophila melanogaster


D. melanogaster pertama kali diperkenalkan oleh Morgan dan Castel
pada tahun 1900 dan diketahui bahwa Drosophila melanogaster dapat digunakan

5
sebagai sumber pembelajaran genetika pada organisme diploid. Hewan ini
dianggap mempunyai peranan yang sangat penting dalam perkembangan genetika
selanjutnya. Alasan penggunaan hewan ini sebagai objek penelitian genetika di
laboratorium adalah ukurannya kecil, mempunyai siklus hidup pendek, dapat
memproduksi banyak keturunan, generasi yang baru dapat dikembangbiakan
setiap dua minggu, murah biayanya, dan mudah perawatannya (Stine, 1991).
Klasifikasi D. melanogaster menurut Borror et al. (1992) adalah.
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Diptera
Family : Drosophilidae
Genus : Drosophila
Spesies : Drosophila melanogaster
D. melanogaster normal memiliki karakteristik khusus, yaitu panjang
tubuh lalat dewasa 2-3 mm, imago betina umumnya lebih besar dibandingkan
dengan yang jantan, tubuh berwarna coklat kekuningan dengan faset mata
berwarna merah berbentuk elips. Terdapat pula mata oceli yang mempunyai
ukuran jauh lebih kecil dari mata majemuk, berada pada bagian atas kepala, di
antara dua mata majemuk, berbentuk bulat. Selain itu, D. melanogaster normal
memiliki antena yang berbentuk tidak runcing dan bercabang-cabang dan kepala
berbentuk elips. Thorax berwarna krem, ditumbuhi banyak bulu dengan warna
dasar putih. Abdomen bersegmen lima, segmen terlihat dari garis-garis hitam yang
terletak pada abdomen. Sayap D. melanogaster normal memiliki ukuran yang
panjang dan lurus, bermula dari thorax hingga melebihi abdomen lalat dengan
warna transparan (Dimit, 2006). Menurut Herkowitz (1997), D. melanogaster
jantan mempunyai sex comb (sisir kelamin) pada kaki depannya. Sex comb
tersebut dapat digunakan sebagai alat identifikasi, sedangkan lalat betina tidak
memiliki sisir kelamin. (Seperti pada Gambar 2.1).

6
Gambar 2.1 Perbedaan Morfologi D. melanogaster Jantan dan Betina
(Sumber: Breitenbach, 1999)
Masing-masing spesies D. melanogaster memiliki fenotip yang
berbeda. Mislanya, pada strain N dan Pm yang digunakan dalam penelitian ini.
Untuk strain normal (wild-type) (Gambar 2.3) memiliki karakteristik umum yakni
tubuh berwarna coklat dan mata merah. Sedangkan untuk fenotip lain seperti pada
strain Pm (Plum) memiliki warna mata ungu gelap (Krebs & Fasolo, 2004). Yang
membedakan diantara keduanya hanyalah warna mata. Pada strain N matanya
berwarna merah sedangkan pada strain Pm matanya berwarna keunguan (Gambar
2.2) (Sturtevant, 1921).

N Pm

Gambar 2.2 Warna Mata Normal dan Gambar 2.3 Warna Tubuh dan Bentuk
Plum D. melanogaster Sayap Normal D.
(Sumber: Yumpu,memiliki
D. melanogaster 2017) empat tahap dalammelanogaster
siklus hidupnya yaitu:
(Sumber: Yumpu,
telur, larva, pupa dan dewasa. D. melanogaster akan menghasilkan 2017)
keturunan baru
dalam waktu 9-10 hari. Jika dipelihara pada suhu 25ºC dalam kultur segar, lima
hari pada tahap telur dan tahap larva, lalu empat hari pada tahap pupa. D.

7
melanogaster mempunyai siklus hidup yang sangat pendek yaitu sekitar 12 hari
pada suhu kamar. Betina dapat menghasilkan telur sebanyak 100 butir dan separuh
dari jumlah telur tersebut akan menjadi lalat jantan dan separuhnya lagi akan
menjadi lalat betina. Siklus hidup lalat ini akan semakin pendek apabila
lingkungannya tidak mendukung (Wonderly, 2002).

Gambar 2.4 Siklus Hidup D. melanogaster


(Sumber: Breitenbach, 1999)
D. melanogaster memiliki kromosom kelamin seperti kromosom
kelamin pada manusia, yaitu XX untuk individu betina dan XY untuk individu
jantan. Jenis kelamin merupakan salah satu karakter fenotip yang nyata, meskipun
perbedaan anatomis dan fisiologis antara jantan dan betina sangat besar, tetapi
dasar kromosom seksnya sedikit lebih sederhana (Campbell et al., 2002). Pada D.
melanogaster, ada dua kromosom seks, yang dilambangkan dengan X dan Y.

2.2 Gen

8
Corebima (2013) menyatakan bahwa pola ekspresi kelamin atau
penentuan jenis kelamin ditentukan oleh gen. Gen-gen tersebut terletak pada
autosom, pada kromosom kelamin ataupun pada keduanya. Pewarisan sifat
dikontrol oleh gen-gen yang terletak di dalam inti. Gen-gen kromosomal ini
memegang peranan utama di dalam pewarisan sebagian besar sifat genetik. Dari
hasil beberapa penelitian diperoleh informasi bahwa pewarisan sifat juga dapat
dikontrol oleh gen di luar inti (Suryo, 2004). DNA luar inti sel ditemukan pada
dua organel penting yaitu mitokondria (mtDNA) pada hewan dan tumbuhan dan
kloroplas pada tumbuhan hijau (Leeson et al., 1996). Pewarisan sifat oleh bahan
genetik di luar inti (extra nuclear inheritance) disebut pewarisan maternal (Russel,
1992).
Gen–gen tersebut berada di dalam suatu molekul panjang yang disebut
asam Deoksiribonukleat (DNA=Deoxyribo Nucleid Acid). Setiap gen menempati
posisi atau tempat yang spesifik pada suatu kromosom yang disebut lokus gen.
Oleh sebab itu semua bentuk alel suatu gen ditemukan pada posisi–posisi yang
bersesuaian pada kromosom–kromosom yang secara genetik sama (homolog) atau
tidak sama (non homolog) (Stansfield, 1983).
Penyebaran gen dapat terjadi jika ada persilangan atau perkawinan
antar individu dalam suatu populasi. Berdasarkan jumlah sifat yang disilangkan,
terdapat dua macam persilangan yaitu persilangan monohibrid dan persilangan
dihibrid. Persilangan monohibrid merupakan persilangan dengan satu sifat beda
sedangkan persilangan dihibrid merupakan persilangan dengan dua sifat beda
(Wijayanto et al., 2013).

2.3 Interaksi Gen


Peristiwa dua gen atau lebih yang bekerjasama atau menghalang-
halangi dalam memperlihatkan fenotipe, disebut interaksi gen. Interaksi gen mula-
mula ditemukan oleh William Bateson (1861-1926) dan R. C. Punnet (1906) pada
bentuk pial (jengger) ayam. Menurut Crowder (1993), interaksi gen adalah
pengaruh satu alel terhadap alel lain pada lokus yang sama dan juga pengaruh satu
gen pada satu lokus terhadap gen pada lokus lain. Dan menurut (Corebima, 2013),
interaksi gen adalah interaksi antara faktor–faktor gen untuk mengontrol suatu
sifat yang sama dari suatu individu. Istilah interaksi gen sering digunakan untuk
menggambarkan pemikiran bahwa beberapa gen mempengaruhi suatu

9
karakteristik tertentu. Suatu sifat keturunan yang nampak pada suatu individu
ditentukan oleh gen.
J.G Mendel berpendapat bahwa karakter ditentukan oleh unit karakter
yang disebut faktor. Satu gen (tunggal) bertanggung jawab terhadap satu sifat.
Terdapat beberapa penyimpangan dari hukum Mendel karena adanya
pengontrolan suatu sifat yang tidak hanya dilakukan oleh satu gen saja, tetapi oleh
beberapa gen atau lebih yang melakukan kerjasama (interaksi) seperti yang telah
dibuktikan oleh beberapa ahli Genetika sesudahnya (Gardner et al., 1984).
Menurut Minkoff (1983), faktor-faktor (gen) terletak pada kromosom-kromosom.
Interaksi gen merupakan salah satu penyimpangan dari hukum Mendel.
Dewasa ini, diketahui bahwa karakter atau sifat makhluk hidup muncul sebagai
suatu produk dari rangkaian reaksi biokimia yang dikatalis oleh enzim. Enzim
tersebut tersusun oleh polipeptida-polipeptida yang pembentukannya dikontrol
oleh faktor atau gen. Dengan demikian tidak ada satu sifat atau karakter yang
dikontrol oleh satu faktor atau satu unit karakter (gen), tetapi pengontrolan sifat
(karakter) tersebut oleh satu faktor atau unit karakter dianggap benar dalam batas
satu tahap reaksi biokimia (Corebima, 2013). Dengan demikian, sifat atau fenotip
apapun, sesungguhnya adalah hasil interaksi antara gen pada lokus yang berbeda
(Corebima, 2013).
Menurut Corebima (2013), sifat dominan dan sifat resesif merupakan
sifat interaksi antara dua faktor gen penyusun suatu pasang faktor (gen). Sifat
homozigot adalah sifat yang dikontrol oleh suatu pasang gen yang identik,
sedangkan sifat heterozigot adalah sifat yang dikontrol oleh suatu gen yang tidak
identik (berlainan), misalnya, gen R adalah gen dominan dan gen r adalah gen
resesif, maka suatu karakter yang bergenotip RR adalah homozigot dominan, rr
adalah homozigot resesif dan Rr heterozigot. Gen dominan, dapat mengontrol
pembentukan enzim yang fungsional yang dapat mengkatalis tahap reaksi
biokimia. Sedangkan untuk gen resesif, memproduksi enzim yang tidak
fungsional sehingga tidak dapat mengkatalis tahap reaksi biokimia yang spesifik
(Tamarin, 2002).

2.4 Interaksi Lethal

10
Interaksi antara faktor-faktor (sepasang) dapat berpengaruh terhadap
viabilitas tiap individu yang memilikinya. Efek viabilitas itu bahkan dapat
menyebabkan matinya individu bersangkutan secara cepat atau lambat. Interaksi
antara faktor-faktor termaksud, yang berakibat matinya individu yang
bersangkutan , dikatakan bersifat lethal (Corebima, 2013).
Interaksi antara faktor-faktor (sepasang) dapat bersifat lethal yang
dominan, tetapi dapat juga bersifat lethal yang resesif. Interaksi yang bersifat
lethal dominan berlangsung antara faktor-faktor yang sama-sama dominan.
Interaksi yang bersifat lethal resesif berlangsung antara faktor-faktor yang sama-
sama resesif. Faktor-faktor (sepasang) yang interaksinya bersifat lethal dikenal
sebagai faktor lethal (gen lethal) (Corebima, 2013). Lethal dominan dapat terjadi
pada individu–individu yang heterozigot. Kematian pada individu yang
mempunyai gen lethal juga disebabkan mutasi lethal, yaitu mutasi biokimiawi.
Mutasi biokimiawi dapat menimbulkan variasi nutrisional atau biokimiawi yang
menyimpang dari kondisi normal (Klug dan Cummings, 1994).
Mutasi lethal mengakibatkan suatu sel atau makhluk hidup tidak dapat
hidup. Menurut (Ayala et al., 1984), efek mutasi lethal ataupun yang dapat
terekspresi di berbagai tingkat perkembangan mulai awal embriogenesis hingga ke
tahap–tahap perkembangannya selanjutnya sepanjang hayat makhluk hidup dan
mutasi tersebut dapat mempengaruhi berbagai jaringan, pola perilaku ataupun
proses metabolik.
Contoh untuk pasangan faktor yang sama–sama dominan yang
interaksinya bersifat lethal dominan adalah pasangan faktor yang bertanggung
jawab atas kelainan postur pada ayam yang disebut “Creeppers”. Dalam hal ini
interaksi pasangan CC (homozigot dominan) bersifat lethal.

Bagan persilangan ayam Creepers dapat dilihat pada bagan dibawah ini:
P1 Creepers x Creepers
G Cc Cc
F1 CC Cc cc
(mati) (Creepers) (normal)
Gambar 2.5 Bagan persilangan ayam creepers

11
Rasio turunannya bukan 1:2:1, tetapi 2:1 karena turunan
yang memiliki pasangan CC mati (Corebima, 2013).

2.5 Kerangka Konseptual


Penelitian yang kami lakukan menggunakan kerangka konseptual,
sebagai berikut:

Interaksi lethal adalah faktor-faktor (sepasang) yang dapat berpengaruh terhadap


viabilitas individu sehingga berakibat matinya individu yang bersangkutan.

Kematian pada individu yang mempunyai gen lethal juga disebabkan mutasi lethal
yaitu mutasi biokimia

Persilangan D. melanogaster strain N homozigot dan Pm heterozigot dapat


membuktikan adanya interaksi letal pada persilangan tersebut

♂N><♀N ♂N><♀Pm ♂Pm><♀N ♂Pm><♀Pm

Rasio Rasio RasioRasio keturunan


keturunan F1 keturunan F1 keturunan F1 F1 (1 : 2 :1)
100% Normal (1:1) dengan (1:1) dengan dengan
perbandingan perbandinganperbandingan
fenotip N dan
fenotip N dan
fenotipe dominan
Pm
2.6 Hipotesis Penelitian Pm lethal, Pm, N.
dengan adanya
2.6.1 Fenotip F1 dari persilangan D. melanogaster pada persilangan ♂N >< ♀N
gen dominan
fenotip yang muncul adalah N, ♂Pm >< ♀Pm fenotip yang
letalmuncul adalah N
maka rasio
dan Pm, dan ♂Pm >< ♀N beserta dengan resiproknya menjadi Pm : muncul
fenotip yang N
(2 : 1)
adalah N dan Pm.
2.6.2 Rasio F1 dari persilangan D. melanogaster pada persilangan ♂N >< ♀N
adalah 100% N, ♂Pm >< ♀Pm adalah Pm : N dengan rasio 2 : 1 dan ♂Pm
>< ♀N beserta resiproknya adalah N : Pm dengan rasio 1 : 1.

12
2.6.3 Terdapat fenomena interaksi gen lethal dari persilangan D. melanogaster
pada strain ♂Pm >< ♀Pm.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Penelitian yang dilakukan menggunakan uji independensi, dimana
suatu variabel tidak dipengaruhi atau tidak ada hubungan dengan variabel lain.
Penelitian ini dilakukan pada D. melanogaster strain N dan Pm dengan
persilangan ♂N >< ♀N, ♂Pm >< ♀Pm, ♂Pm >< ♀N beserta dengan resiproknya.

13
Pada masing-masing persilangan diambil data perhitungan jumlah fenotip yang
muncul pada F1.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


3.2.1 Waktu Penelitian
Waktu yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan selama ±3 bulan
mulai dari bulan Februari-April 2017.

3.2.2 Tempat Penelitian


Penelitian dilakukan di Laboratorium Genetika (Ruang 310) gedung
Biologi O5 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri
Malang.

3.3 Populasi dan Sampel


3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh lalat buah (D.
melanogaster) yang dibiakkan di Laboratorium Genetika gedung Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang.
3.3.2 Sampel
Sampel yang diambil merupakan lalat buah (D. melanogaster) strain
normal dan Pm yang diambil dari biakkan di laboratorium Genetika Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas negeri Malang dan dijadikan
sebagai stok dalam penelitian ini.

3.4 Alat dan Bahan


3.4.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah
mikroskop stereo, botol selai, spons, kertas pupasi, selang ampul, selang kecil,
gunting, cutter, pisau, kompor gas, kardus, blender, kuas, timbangan, kasa steril,
cotton bud, pengaduk kayu, plastik, wadah makanan, spidol permanen, bolpoin,
stopwatch, kamera.

3.4.2 Bahan

14
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah D. melanogaster
strain N dan Pm, pisang rajamala, tape, gula merah, kertas pupasi, tissue, air,
fermipan, kertas label.

3.5 Prosedur Kerja


3.5.1 Pengamatan Fenotip
Semua strain (N dan Pm) diamati fenotipnya dengan menggunakan
mikroskop.

3.5.2 Pembuatan Medium


3.5.2.1 Bahan ditimbang. Bahan yang digunakan adalah pisang, tape singkong dan
gula merah dengan perbandingan 7:2:1.
3.5.2.2 Pisang dipotong-potong kemudian ditambahkan air secukupnya lalu
diblender bersama dengan tape singkong.
3.5.2.3 Gula merah dipotong kecil-kecil.
3.5.2.4 Dimasukkan pisang dan tape singkong yang telah dihaluskan ke dalam
panci sebelum medium matang. Setelah 45 menit, hasil medium diangkat
lalu dimasukkan ke dalam botol selai yang sudah di cuci dan disterilisasi
kemudian segera menutupnya dengan gabus penutup yang telah
disterilisasi juga.
3.5.2.5 Ditunggu sampai medium dingin.
3.5.2.6 Dimasukkan 3 butir fermipan ke dalam medium.
3.5.2.7 Dimasukkan kertas pupasi ke dalam botol selai yang telah berisi medium.
3.5.3 Peremajaan
3.5.3.1 Botol dan spons disterilisasi dengan dilewatkan di atas api beberapa detik.
3.5.3.2 Medium baru dimasukkan dalam botol tersebut dan ditutup dengan spons.
3.5.3.3 Ditunggu hingga medium dingin.
3.5.3.4 Dimasukkan fermipan ke dalam botol 3-4 butir.
3.5.3.5 Dimasukkan kertas pupasi ke dalam botol.
3.5.3.6 Dimasukkan minimal 3 pasang D. melanogaster ke dalam botol (1 botol
hanya berisi satu strain D. melanogaster).

3.5.4 Tahap Menyilangkan


3.5.4.1 Diremajakan masing strain yakni N dan Pm.
3.5.4.2 Dibuat ampulan D. melanogaster strain N dan Pm.
3.5.4.3 Diampul pupa yang telah menghitam dengan menggunakan
kuas dan dimasukkan pada botol ampul (setiap satu selang ampul berisi
satu pupa yang dibatasi oleh pisang, kemudian ditutup dengan spons).

15
3.5.4.4 Ditunggu hingga pupa menetas menjadi imago lalu disilangkan.
Usia imago maksimal 2 hari sejak pupa menetas.
3.5.4.5 Disilangkan antara strain ♂N >< ♀N, ♂Pm >< ♀Pm dan ♂Pm
>< ♀N beserta resiproknya sebanyak 6 kali ulangan.
3.5.4.6 Dilepaskan jantan setelah 2 hari disilangkan.
3.5.4.7 Diamati F1 dan dihitung jumlahnya dari setiap persilangan.
3.5.4.8 Dimasukkan data dalam tabel F1.

3.6 Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tabel pengamatan F1.
Data hasil dari pengamatan fenotip dan perhitungan F1 dari masing-masing
persilangan dimasukkan dalam tabel data sampai ulangan enam.
Ulangan
Strain F1 Total
1 2 3 4 5 6
N ♂


Pm

3.7 Teknik Analisis Data


Data yang diperoleh dari hasil pengamatan F1 dianalisis menggunakan
analisis rekonstruksi kromosom tubuh dan selanjutnya kesesuaian rasio hasil
persailangan diuji dengan menggunakan analisis chi-square.

16
BAB IV
DATA DAN ANALISIS DATA

4.1 Data
4.1.1 Hasil pengamatan Fenotip
Dalam penelitian ini, D. melanogaster yang digunakan adalah strain N
dan Pm. Karakteristik dari kedua strain tersebut adalah:

No. Strain Karakteristik

1. Normal Warna mata merah


Bentuk mata oval
Faset mata halus
Warna tubuh kuning kecoklatan
Sayap lebih panjang dari tubuh

17
(Sumber: Dokumentasi pribadi, 2017)

2. Pm Warna mata ungu gelap


Bentuk mata bulat
Faset mata halus
Warna tubuh kuning kecoklatan
Sayap lebih panjang dari tubuh

(Sumber: Dokumentasi pribadi, 2017)

4.1.2 Tabel Hasil F1


4.1.2.1 Persilangan ♂N >< ♀N
Ulangan
Strain F1 Total
1 2 3 4 5 6
N ♂ 53 23 20 0 0 0 96
♀ 71 20 31 0 0 0 122
♂ 0 0 0 0 0 0 0
Pm
♀ 0 0 0 0 0 0 0

4.1.2.2 Persilangan ♂Pm >< ♀Pm


Strain F1 Ulangan Total

18
1 2 3 4 5 6
N ♂ 5 5 3 1 5 4 23
♀ 7 2 5 6 7 6 33
♂ 10 9 16 6 10 8 59
Pm
♀ 24 12 7 13 8 10 74

4.1.2.3 Persilangan ♂Pm >< ♀N


Ulangan
Strain F1 Total
1 2 3 4 5 6
N ♂ 24 10 9 9 0 0 52
♀ 29 11 15 8 0 0 63
♂ 4 18 8 20 0 0 50
Pm
♀ 5 27 18 17 0 0 67

4.1.2.4 Persilangan ♂N >< ♀Pm


Ulangan
Strain F1 Total
1 2 3 4 5 6
N ♂ 71 30 18 0 0 0 119
♀ 104 43 56 0 0 0 203
♂ 54 39 23 0 0 0 116
Pm
♀ 96 48 34 0 0 0 178

4.2 Analisis Data


4.2.1 Rekonstruksi Kromosom Tubuh
4.2.1.1 Persilangan ♂N >< ♀N
P1: ♂N >< ♀N
Pm Pm
G: ><
Pm Pm
Gamet: Pm , Pm
Pm
F1: (N)
Pm
Rasio: 100% N
Pm Pm
Pm Pm Pm
Pm Pm
Pm Pm Pm
Pm Pm
4.2.1.2 Persilangan ♂ Pm >< ♀Pm
P1: ♂Pm >< ♀Pm

19
Pm  Pm 
G: ><
Pm Pm
Gamet: Pm+ Pm, Pm+ Pm
Pm  Pm  Pm
F1: 
(dominan letal), (Pm) , (N)
Pm Pm Pm

Rasio: 1 : 2 : 1, dengan adanya gen dominan letal maka rasio menjadi


Pm : N (2 : 1)
Pm+ Pm
Pm+ Pm  Pm 
Pm  Pm
Pm Pm  Pm
Pm Pm

4.2.1.3 Persilangan ♂Pm >< ♀N beserta resiproknya


 P1: ♂Pm >< ♀N
Pm  Pm
G: ><
Pm Pm
Gamet : Pm, Pm+ Pm
Pm  Pm
F1: (Pm heterozigot) (N homozigot)
Pm Pm
Rasio: 1 : 1
Pm+ Pm
Pm Pm  Pm
Pm Pm
Pm Pm  Pm
Pm Pm

 P1: ♂N >< ♀Pm


Pm Pm 
G: ><
Pm Pm
Gamet: Pm+ Pm , Pm
Pm  Pm
F1: (Pm) , (N)
Pm Pm
Rasio: 1 : 1
Pm+ Pm
Pm Pm  Pm
Pm Pm

20
Pm Pm  Pm
Pm Pm

4.2.2 Analisis Data F1


Analisis data penelitian ini menggunakan uji analisis chi-square.
4.2.2.1 Persilangan ♂N >< ♀N
Strain Ulangan
f0 fh X2 X tabel
F1 1 2 3 4 5 6
N 124 43 51 0 0 0 218 218 0 3,841
Pm 0 0 0 0 0 0 0 0 0

2 hitung lebih kecil dari 2tabel , menunjukkan bahwa persilangan D.


(0,05)

melanogaster pada ♂N >< ♀N memiliki rasio 100% normal.

4.2.2.2 Persilangan ♂Pm >< ♀Pm


Strain Ulangan
f0 fh X2 X table
F1 1 2 3 4 5 6
N 12 7 8 7 12 10 56 63 0,7777777778 3,841
Pm 34 21 23 19 18 18 133 126 0,3888888889

2 hitung lebih kecil dari 2tabel , menunjukkan bahwa persilangan D.


(0,05)

melanogaster pada ♂Pm >< ♀Pm memiliki rasio 1:2 (N : Pm).

4.2.2.3 Persilangan ♂Pm >< ♀N


Strain Ulangan
f0 fh X2 X table
F1 1 2 3 4 5 6
N 53 21 24 17 0 0 115 116 0,0086206897 3,841
Pm 9 45 26 37 0 0 117 116 0,0086206897

2 hitung lebih kecil dari 2tabel , menunjukkan bahwa persilangan D.


(0,05)

melanogaster pada ♂Pm >< ♀N memiliki rasio 1:1 (N : Pm).

4.2.2.4 Persilangan ♂N >< ♀Pm


Strain Ulangan
f0 fh X2 X tabel
F1 1 2 3 4 5 6
N 175 73 74 0 0 0 322 308 0,6363636364 3,841
Pm 150 87 57 0 0 0 294 308 0,6363636364

21
2 hitung lebih kecil dari 2tabel , menunjukkan bahwa persilangan D.
(0,05)

melanogaster pada ♂N >< ♀Pm memiliki rasio 1:1 (N : Pm).

BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Persilangan ♂N><♀N


Dari data hasil pengamatan dan analisis data yang dilakukan dengan
rekontruksi kromosom tubuh, dapat diketahui bahwa D. melanogaster strain N
berada dalam keadaan homozigot resesif, sedangkan D. melanogaster strain Pm
berada dalam keadaan heterozigot. Sifat Pm dominan terhadap N. Pada
persilangan D. melanogaster ♂N><♀N, hasil analisis F1 menghasilkan keturunan
F1 dengan fenotip N homozigot resesif dengan rasio 100% N. Dengan tidak
adanya fenotip lain yang muncul pada persilangan ♂N><♀N pada F1
menunjukkan bahwa D. melanogaster strain N merupakan galur N yang
merupakan turunan murni tanpa adanya variasi genetik (Corebima, 2013).

5.2 Persilangan ♂N><♀Pm beserta resiproknya


Pada persilangan D. melanogaster ♂N><♀Pm, hasil analisis F1
menghasilkan fenotip N (yang merupakan homozigot resesif) dan Pm (yang
merupakan heterozigot) dengan rasio perbandingan 1:1. Sedangkan pada

22
persilangan ♂Pm><♀N menghasilkan F1 dengan rasio perbandingan N : Pm
adalah 1:1. Dalam hal ini strain Pm bersifat heterozigot dan strain N bersifat
homozigot resesif, sehingga dihasilkan keturunan dengan perbandingan 1:1.
Selain itu, disebabkan oleh adanya interaksi antara dua faktor yang kodominan
(sifat kedua induk muncul bersamaan) (Corebima, 2013). Pada persilangan
♂Pm><♀N terjadi interaksi antar alel induk. Selain mengalami berbagai
modifikasi rasio fenotipe karena adanya peristiwa aksi gen tertentu, terdapat pula
penyimpangan semu terhadap hukum Mendel yang tidak melibatkan modifikasi
rasio fenotipe, tetapi menimbulkan fenotipe-fenotipe yang merupakan hasil kerja
sama atau interaksi dua pasang gen non-alelik (Suryo, 2008).

5.3 Persilangan ♂Pm><♀Pm


Pada persilangan ♂Pm><♀Pm, berdasarkan analisis pada F1 fenotip
yang muncul adalah Pm dan N dengan rasio 2:1. Pada persilangan ini dapat
dijelaskan bahwa D. melanogaster strain Pm yang berada dalam keadaan
heterozigot, jika disilangkan dengan sesamanya akan diperoleh keturunan Pm
homozigot dominan, Pm heterozigot dan N homozigot resesif dengan
perbandingan 1:2:1. Namun, pada Pm homozigot dominan berada dalam keadaan
letal, hal ini menyebabkan fenotip yang dapat teramati adalah fenotip Pm yang
bersifat heterozigot dan N bersifat homozigot resesif dengan rasio perbandingan
2:1.
Fenomena kematian yang terjadi pada persilangan D. melanogaster
♂Pm><♀Pm disebabkan oleh adanya interaksi gen letal. Menurut Corebima
(2013), kematian ini disebabkan adanya interaksi antara faktor-faktor (sepasang)
yang bersifat lethal, baik dalam keadaan homozigot dominan atau homozigot
resesif. Dalam kasus ini, kematian strain Pm disebabkan sifat lethal dalam
keadaan homozigot. Menurut Crowder (1990), lethal dominan terjadi karena
adanya alel dominan dalam individu heterozigot. Kematian tersebut dapat terjadi
pada proses tahap embrio ataupun dapat dilahirkan tetapi mati pada saat menjadi
larva atau pupa (Levine, 1986).
Fenomena letal pada persilangan ♂Pm><♀Pm disebabkan oleh gen
Plum. Gen Plum terletak pada kromosom 3 lokus 91 (Flybase, 2004). Gen Plum

23
adalah gen pada D. melanogaster yang menyebabkan mutan pada neuron γ.
Menurut Tomer et al. (2010), neuron γ terletak di dalam mushroom body (MB),
yang merupakan sepasang struktur di otak D. melanogaster (gambar 5.2).

Gambar 5.1 Lokasi Gen Plum


(Sumber: Flybase, 2004)

Gambar 5.2 Lobus mushroom body (MB) D. melanogaster dengan α / β, α '/


β', dan γ neuron (Sumber: Davis, 2011)
Menurut Yu et al. (2013), Plum merupakan gen yang mengode
immunoglobulin superfamily (IgSF) transmembrane protein yang dibutuhkan
untuk pruning axon. Pruning axon merupakan proses pemangkasan cabang-
cabang axon yang berfungsi untuk mengatur susunan neuron pada otak dan
konektivitasnya, sehingga dihasilkan susunan neuron yang sesuai dengan fase
perkembangannya (Vanderhaeghen and Cheng, 2010). Perkembangan sistem saraf
terjadi secara progresif dan regresif. Perkembangan progresif seperti proliferasi,
pertumbuhan saraf dan pembentukan sinaps untuk membentuk pola konektivitas

24
saraf yang luas. Sedangkan perkembangan regresif terdiri dari kematian sel,
pruning axon dan eliminasi sinaps untuk memperbaiki pola menjadi lebih tepat.
Beberapa perkembangan regresif penting untuk pengembangan dan fungsi otak.
Apabila terjadi mutasi pada perkembangan tersebut khususnya pada jalur
apoptosis dapat menyebabkan kelainan morfologis pada otak yang berakibat letal
(Yoshida et al., 1998).

Gambar 5.3 Protein Transmembran IgSF


Signal peptide (Sp); Immunoglobulin (Ig) domains; putative
Fibronectin-III (FNIII) domains; FNIII domain; transmembrane
domain (TM) (Sumber: Yu et al., 2013)
Pruning axon pada D. melanogaster terjadi selama metamorfosis mulai
tahap larva sampai dewasa (Gambar 5.4). Dalam proses ini, banyak neuron pusat
dan periferal menghilangkan koneksi tertentu sekaligus menjaga agar tetap utuh.
Selanjutnya, memperluas akson dan dendrit baru untuk membentuk hubungan
spesifik (Luo dan O'Leary, 2005). Selama tahap larva, neuron γ menugaskan
akseptor bifurkasi ke lobus medial dan dorsal MB. Pada pupa awal, neuron γ
benar-benar memangkas dendrit mereka, bersama dengan cabang aksonal dorsal
dan medial, sampai ke lokasi spesifik dan stereotip. Kemudian selama
pengembangan, neuron γ kembali memperpanjang akson mereka ke lobus medial
dewasa spesifik (Watts et al., 2003).
Pruning MB neuron γ dikendalikan oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik.
Aktivasi otonom sel dari hormon steroid Ecdysone Receptor B1 (EcR-B1) sangat
penting untuk memulai pruning akson (Lee et al., 2000). EcRB1 secara khusus
diekspresikan dalam neuron γ, tapi tidak pada neuron MB lain yang tidak
menjalani pruning. Ekspresi EcR-B1 di neuron γ diatur oleh Baboon TGF-
βreceptor Baboon yang diaktifkan oleh Myoglianin dimana Myoglianin sebagai

25
glial-derived TGF-βligand (Awasaki et al., 2011). Transforming growth factor
beta (TGF-β) penting dalam mengatur kegiatan seluler. Menurut Rifai (2010),
TGF-β disekresikan untuk meregulasi proliferasi, diferensiasi dan kematian dari
berbagai jenis sel. Protease, integrins, pH dan oksigen spesies reaktif adalah
beberapa faktor yang dapat mengaktifkan TGF-β.

Gambar 5.4 (a) Perkembangan Axon (b) Axon pada wild type (c) Axon yang
Diinduksi oleh EMS (mutagen) (Sumber: Yu et al., 2013)
Menurut Yu et al., (2011), analisis genetika menunjukkan bahwa Plum
bertindak untuk memfasilitasi pemberian sinyal Myoglianin, glial-derived TGF-β,
neuron MB γ tipe-I TGF-βreceptor Baboon. Myoglianin, Baboon dan Ecdysone
Reseptor-B1 diperlukan untuk penyambungan sinaps neuromuskular ectopic
synapse. Glia mengeluarkan Myoglianin untuk menginstruksikan pemodelan
perkembangan saraf di D. melanogaster. Glial Myoglianin mengatur ekspresi
neuron dari reseptor nuklear ecdysone yang memicu remodeling neurit (Awasaki
et al., 2011).

26
Gambar 5.5 Mekanisme Terjadinya Pruning Axon
(Sumber: Yu et al., 2013)

Mekanisme pruning axon diawali adanya interaksi antara gen Plum


dengan Myoglianin dengan adanya reseptor TGF-β yakni Babo. Apabila kadar gen
Plum diturunkan, maka akan menyebabkan kegagalan pruning yang lebih besar.
Ketika kadar gen Plum menurun, terjadi penyerapan Myoglianin yang berlebihan
sehingga menimbulkan sifat toksik yang dapat menyebabkan lethal pada D.
melanogaster (Awasaki et al., 2011). Kegagalan ini terjadi pada proses transduksi
sinyal Myoglianin yang dialami mutan Plum homozigot. Jadi, dengan tidak
bekerjanya Plum dalam interaksi tersebut menyebabkan kegagalan pruning axon
yang berakibat letal pada D. melanogaster. Efek letal ini terjadi pada fase akhir
larva karena dalam fase tersebut neuron-neuron tidak mengalami pruning axon
sehingga mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, akibatnya gagal untuk
melanjutkan menuju fase pupa (Yu et al., 2013).

27
BAB VI
PENUTUP
6.1 Simpulan
6.1.1 Fenotip F1 D. melanogaster pada persilangan ♂N><♀N adalah N, pada
persilangan ♂Pm><♀Pm adalah N dan Pm, dan pada persilangan ♂Pm><
♀N beserta dengan resiproknya fenotip yang muncul adalah N dan Pm.
6.1.2 Rasio F1 dari persilangan D. melanogaster pada persilangan ♂N><♀N
adalah 100% N, pada persilangan ♂Pm >< ♀Pm adalah Pm:N dengan
rasio 2:1 dan pada persilangan ♂Pm><♀N beserta resiproknya adalah
N:Pm dengan rasio 1:1.
6.1.3 Fenomena lethal dari persilangan D. melanogaster pada strain
♂Pm><♀Pm terjadi pada Pm homozigot dominan. Fenomena ini terjadi
akibat adanya kegagalan dalam proses transduksi sinyal antara Plum
dengan Myoglianin beserta elemen yang bekerja di dalamnya.

28
DAFTAR PUSTAKA

Awasaki, T., Huang, Y., O’Connor, M.B., Lee, T. 2011. Glia instruct
developmental neuronal remodeling through TGF-beta signaling. Nat
Neurosci. 14:821–823.
Ayala, E.J. et al. 1984. Modern Genetics. Menlo Park California: The
Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc.
Breitenbach, M. 1999. Experimental Genetics 1 Drosophila melanogaster.
Biophysics. 21 (11).
Campbell, Neil A, & Reece, Jane B. 2002. Biologi Ed 1. Jakarta: Erlangga.

Corebima. A.D. 2013. Genetika Mendel.. Surabaya: Airlangga University Press.


Crowder, L.U. 1993. Genetika Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Davis, Ronald (2011). Traces of Drosophila Memory. Neuron. 70 (1): 8–19.
Flybase. 2004. (Online), (http://flybase.org/reports/FBgn0039431.html), diakses
pada 15 April 2017.
Herkowitz, I.J. 1997. Principles of Genetics 2th Ed. New York: MacMillan
Publishing. Co, inc.
Kimball, John. 1990. Biologi Jilid III. Bogor. Gelora Akasara Pratama.
Klug, W.S., Cummings, M.R., Spencer, C.A., Palladino, M.A. 2012. Concept of
Genetics 10th Ed. Pearson Education, Inc., publishing as Pearson Benjamin
Cummings.
Krebs, R.A., Fasolo, A.G. 2004. A genetic analysis of unknown eye and body
color mutations in Drosophila melanogaster; a multi-week laboratory

29
exercise for undergraduates. Cleveland: Department of Biological,
Geological and Environmental Sciences, Cleveland State University.
Lee, T., Marticke, S., Sung, C., Robinow, S., Luo, L. 2000. Cell-autonomous
requirement of the USP/EcR-B ecdysone receptor for mushroom body
neuronal remodeling in Drosophila. Neuron. 28:807–818.
Lesson, C. R., Lesson, T. S. dan Paparo, A. A. 1996. Histologi. Jakarta: EGC.
Levine, R.P. 1968. Genetic’s Second Edition, London: Hold, Rinehartang Winston,
inc.
Luo L, O'Leary DD. 2005. Axon retraction and degeneration in development and
disease. Annu Rev Neurosci. 28:127–156.
Minkoff, E.C. 1983. Evolutionary Biology. Reading-Massachusetts: Addison-
Wesley Publishing Co.
Rifai, M. 2010. Reseptor Tirosin Kinase dan Transforming Growth Factor β.
(Online), (http://muhaiminrifai.lecture.ub.ac.id/files/2011/01/Buku-Ajar-
Fisiologi1.pdf), diakses pada 24 April 2017.
Rohmad. 2013. Diktat Kuliah Genetika Ternak. Kediri: UNISKA Press.
Russel, P. J. 1992. Genetics. New York: Harper Colling Publishing, Inc.
Stansfield, William. 1983. Theory and Problem Genetics. Second Edition. Alih
Bahasa oleh Machidin Apandi dan Lanny. Jakarta: Erlangga.
Stine, G. J. 1991. Laboratorium Exercise in Genetics. New York: Mac Millan
Publishing Company.’
Sturtevant,A.H. 1920. Genetics Studies On Drosophila simulans.II. Sex-linked
Group of Genes. Genetics Journal. 6:43
Suryo. 2004. Genetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Suryo. 2008. Genetika Strata 1. Yogyakarta: UGM Press.
Tamarin, R.H. 2002. Principles of Genetic’s. New York: Mc Graw-Hill Publishing
Company Ltd.
Tomer, R., Denes, A.S., Tessmar-Raible, K., Arendt, D. 2010. Profil dengan
registrasi gambar menunjukkan asal umum dari jamur annelida dan
vertebrata pallium. Sel. 142 (5): 800-809.
Vanderhaeghen, P., and Cheng, H.J. 2010. Guidance Molecules in Axon Pruning
and Cell Death. Cold Spring Harbor Laboratory Press.

30
Watts, R.J., Hoopfer, E.D., Luo, L. 2003. Axon pruning during Drosophila
metamorphosis: evidence for local degeneration and requirement of the
ubiquitin-proteasome system. Neuron. 38:871–885.
Wijayanto, D.A., Hidayat, R., Hasan, M. 2013. Penerapan Model Persamaan
Diferensi dalam Penentuan Probabilitas Genotip Keturunan dengan Dua
Sifat Beda. Jurnal Ilmu Dasar. I4 (2): 79-84.
Wonderly, B.A. 2002. Drosophila Genetics Lab 1. (Online),
(http://web2.slc.qc.ca/adera/Flies.pdf), diakses tanggal 24 April 2017.
Yoshida, H., Kong, Y.Y., Yoshida, R., Elia, A.J., Hakem, A., Hakem, R.,
Penninger, J.M., Mak, T.W. 1998. Apaf1 is required for mitochondrial
pathways of apoptosis and brain development. Cell. 94:739–750.
Yu, X.M., Gutman, I., Mosca, T.J., et al. 2013. Plum, an immunoglobulin
superfamily protein, regulates axon pruning by facilitating TGF-
βsignaling. Institutes National of Healths: NIH Public Acces.
Yumpu. 2017. Drosophila Phenotypes. (Online),
(https://www.yumpu.com/en/document/view/35342376/drosophila-
phenotypespdf), diakses pada 24 April 2017.

31

Anda mungkin juga menyukai