Anda di halaman 1dari 4

 Moral Judgment

2.2.1 Definisi Moral Judgment

Moral judgment dapat ditinjau dari penalaran moral yang berkembang seiring dengan
perkembangan moral. Lawrance Kohlberg (1976, 1986) menyatakan bahwa alasan seseorang
untuk melakukan keputusan moral atau nilai dapat dipengaruhi berdasarkan progress melalui
setiap level dan tahap moralitas (Santrock, 2012). Artinya bagaimana perilaku, kognisi, serta
perasaan seseorang terhadap masalah moralitas, apakah seseorang merasa bersalah atau
mempertahannkan perilakunya, hal tersebut ditinjau Kohlberg berdasarkan tiga level moral
dengan 6 tahap, yaitu preconventional reasoning, conventional reasoning, dan post-
conventional reasoning (Santrock, 2012. Preconventional reasoning merupakan level
terendah dimana seseorang hanya memahami peristiwa berdasarkan hukuman dan ketaatan,
sementara conventional reasoning adalah level menengah, dimana individu patuh pada
standar internal yang dibentuk karena pengaruh dari standar eksternal, seperti orang tua, dan
hukum masyarakat. Level tertinggi adalah post-conventional reasoning dimana, pada tahap
ini individu telah memiliki pemahaman internal mengenai moralitas (Santrock, 2012).

Burns (2012) berpendapat bahwa moral judgment dilihat dari sejauh mana seseorang
melakukan evaluasi mengenai suatu hal atau membentuk opini mengenai apakah bertindak
atau tidak bertindak, niat, motif, karakter sifat, atau orang secara keseluruhan (kurang lebih)
baik atau buruk yang diukur terhadap beberapa standar yang “baik”.

Sementara menurut Forsyth (1980) moral judgment merupakan hubungan antara nilai-nilai
moral dan perilaku moral. Artinya keputusan moral yang diambil oleh individu dapat ditinjau
melalui keyakinan terhadap suatu etika, dan keputusan yang diambil terhadap dilemma moral
yang ada (Nazaruddin, 2011). Dimana perilaku moral merupakan hal yang tidak mudah untuk
diprediksi, Forsyth membagi moral judgment ke dalam dua dimensi dasar yaitu relativisme
dan idealism. Dimana disatu sisi, idealism memandang seseorang akan berpegang teguh
terhadap prinsip etika yang berlaku universal, sementara disisi lain relativism memandang
orang lain akan menolak prinsip etika secara skeptic dengan beberapa pertimbangan.

Menurut Haidt dan Greene (2002) dalam teorinya mengenai moral judgment, beliau
mengembangkan Social Institutionist Model (SIM), yang menyatakan bahwa keputusan moral
bukanlah termasuk penalaran, melainkan proses intuisi seseorang, yang secara otomatis, dan
tanpa melalui proses kognitif tingkat tinggi dapat menentukan perasaan setuju atau tidak
setuju ketika diperhadapkan dengan dilemma moral.

Berdasarkan konsep di atas dapat disimpulkan bahwa moral judgment adalah keputusan
tindakan yang diambil terhadap dilemma moral yang diperhadapkan, dengan
mempertimbangkan beberapa hal termasuk prinsip etika standar yang berlaku secara
universal, maupun pertimbangan yang berasal dari pengaruh internal dalam diri individu itu
sendiri.

2.2.2 Dimensi Moral Judgment

Forsyth (1980) membagi moral judgment ke dalam dua dimensi dasar yaitu relativisme dan
idealism, antara lain:
1. Idealisme adalah pandangan yang menekankan keyakinan individu akan keputusan
yang diambil tanpa melanggar nilai-nilai moral.
2. Relativisme adalah pandangan mengenai penolakan nilai moral yang didasari atas
keyakinan individu, bahwa suatu tindakan didefinisikan sebagai bermoral/melanggar
nilai moral berbeda antara individu yang satu dengan lainnya.

Moral judgment adalah konstruk psikologis yang mengkarakterisasikan proses bagaimana


seseorang memutuskan bahwa satu serangkaian tindakan dalam situasi tertentu adalah benar
secara moral dan serangkaian tindakan lain adalah salah. (Rest, Thoma, & Edwards, 1997).
Moral judgment melibatkan mendefinisikan apa saja isu moral yang ada, bagaimana konflik
antar pihak yang terlibat diselesaikan, dan alasan untuk memilih serangkaian tindakan
tertentu. Psikolog seperti Piaget dan Kohlberg telah menjelaskan perkembangan bagaimana
seseorang membuat moral judgment. Secara umum, perkembangan terjadi dari membuat
judgment berdasarkan faktor keuntungan pribadi yang terlihat langsung ke membuat
judgment berdasarkan konsep untuk mengatur sistem kerjasama di masyarakat yang
mengoptimalkan kesejahteraan anggotanya dan mendapatkan dukungan dari masyarakat.

Kohlberg membangun teorinya berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian selama lebih
dari duapuluh tahun. Berdasarkan teorinya, Kohlberg membuat dua pernyataan yaitu, (a)
strategi untuk memecahkan masalah yang digunakan oleh orang di seluruh dunia dapat
digabungkan ke dalam enam strategi saja, (b) keenam strategi ini membentuk urutan
perkembangan. Kohlberg menggunakan alasan yang sama dengan Piaget untuk menyatakan
bahwa moral judgment berurutan, yaitu bahwa tahapan yang sederhana mendahului tahapan
yang lebih rumit dalam urutan yang logis.

Rest (1994) berpendapat bahwa cara terbaik untuk memahami enam tahapan moral judgment
Kohlberg adalah dengan memandangnya sebagai enam cara untuk mengatur kerja sama. Pada
Tahap 1, the morality of obedience, anak-anak terkesan dengan kekuatan orang lain.
Orangtua atau orang lain yang mengasuh si anak membuat suatu permintaan dan si anak
secara cepat menyadari bahwa jika ia tidak patuh maka ia akan dihukum. Berbuat baik adalah
patuh kepada orang lain yang lebih kuat.

Pada Tahap 2, the morality of instrumental egoism and simple exchange, si anak menyadari
bahwa setiap orang memiliki keinginan masing-masing, termasuk si anak. Berbuat baik
adalah melakukan apa yang memuaskan diri sendiri. Walaupun pada Tahap 2 si anak
dipandang sebagai egosentris, tahap ini tetap memiliki konsep bagaimana orang dapat bekerja
sama. Orang dapat membuat perjanjian jangka pendek untuk saling menukarkan bantuan.
Kerja sama adalah pertukaran bantuan secara sederhana.

Si anak pada Tahap 3, the morality of interpersonal concordance, menyadari bahwa orang-
orang tidak hanya berhubungan satu sama lain dalam pertukaran yang diatur sementara.
Orang menjalin hubungan jangka panjang yang bertahan lama dan melibatkan kesetiaan, rasa
terima kasih, dan kasih sayang terhadap sesama. Dalam hubungan semacam ini orang tidak
menghitung bantuan spesifik (siapa yang berhutang budi kepada siapa). Ada komitmen yang
umum terhadap kesetiaan dan persahabatan. Oleh karena itu hal penting untuk bekerja sama
pada Tahap 3 adalah untuk mempertahankan hubungan baik dengan orang lain.
Pada Tahap 4, the morality of law and duty to the social order, seseorang menyadari
kekurangan dari Tahap 3 yang hanya menyediakan dasar untuk bekerja sama dengan teman.
Tahap 3 tidak memberikan panduan untuk bekerja sama dengan orang asing, pesaing, dan
musuh. Pada Tahap 4 ada skema kerja sama untuk masyarakat secara umum, bukan hanya
kerja sama dengan teman. Tahap 4 mengatur kerja sama dengan orang lain melalui hukum.
Dengan adanya hukum kita dapat dapat mengandalkan orang lain (walaupun kita tidak kenal)
untuk mengetahui hukum dan berperilaku sesuai dengan hukum yang berlaku. Hukum
mengatur kerja sama di masyarakat luas.

Pada tahap yang lebih tinggi (Tahap 5 dan Tahap 6) seseorang menyadari bahwa harus ada
dasar untuk membuat jaringan kerja sama di masyarakat. Seseorang menyadari bahwa
masyarakat bisa diatur oleh hukum yang berbeda-beda. Pada Tahap 5, the morality of
consensus-building procedures, dan Tahap 6, the morality of nonarbitrary social cooperation,
seseorang berorientasi kepada prinsip yang membentuk hukum apapun yang mungkin
dimiliki oleh masyarakat. Prinsip menentukan, mengatur, dan mengkritik hukum (oleh karena
itu Tahap 5 dan tahap 6 disebut principled morality).
Pendekatan Kohlberg terhadap moral judgment sering disebut sebagai pendekatan
Kohlbergian. Rest bersama dengan rekan-rekannya melakukan penelitian selama kurang lebih
duapuluh lima tahun untuk mempelajari moral judgment. Melalui penelitian-penelitian
tersebut mereka merumuskan pendekatan lain terhadap moral judgment yang mereka sebut
sebagai pendekatan neo-Kohlbergian (Narváez, 2002).

Pendekatan Kohlbergian dan neo-Kohlbergian sama-sama menekankan hak asasi manusia,


persamaan status moral individu, dan individu rasional dan otonom yang bebas memasuki
kontrak dan kewajiban. Kedua pendekatan ini berpendapat bahwa beberapa cara berpikir
lebih baik dalam mendukung hak asasi manusia dibanding cara berpikir yang lain.
Pendekatan neo-Kohlbergian merumuskan ulang teori Kohlberg sebagai reaksi atas kritik
terhadap pendekatan Kohlbergian.

Ada perbedaan antara pendekatan Kohlbergian dengan neo-Kohlbergian. Pendekatan


Kohlbergian menggunakan tahap sedangkan pendekatan neo-Kohlbergian menggunakan
skema. Dalam pendekatan Kohlbergian perkembangan dipandang sebagai tahap yang
berurutan seperti anak tangga sementara dalam pendekatan neo-Kohlbergian dipandang
sebagai distribusi. Dalam pendekatan neo-Kohlbergian perkembangan adalah berkembangnya
cara-cara berpikir baru dan lebih sering digunakan sementara cara-cara berpikir lama yang
lebih sederhana tetap digunakan tetapi lebih jarang. Perkembangan adalah perubahan
frekuensi penggunaan dari cara berpikir yang sederhana ke cara berpikir yang lebih rumit.
Ada tiga skema dalam pendekatan neo-Kohlbergian yaitu skema Primary Interest (yang
diturunkan dari Tahap 2 dan Tahap 3 pendekatan Kohlbergian), skema Maintaining Norms
(diturunkan dari Tahap 4), dan skema Postconventional (dari Tahap 5 dan Tahap 6).

Seseorang yang menggunakan skema Personal Interest mempertimbangkan apa yang akan
diperoleh oleh pihak yang terlibat dalam dilema moral tanpa mempertimbangkan kerja sama
di dalam masyarakat luas. Skema Personal Interest membenarkan tindakan dengan
mempertimbangkan kepentingan individu dan orang-orang yang memiliki hubungan dekat
dengan individu. Skema ini memiliki unsur-unsur yang digambarkan dalam Tahap 2 dan
Tahap 3 pendekatan Kohlbergian.

Orang yang menggunakan skema Maintaining Norms mulai mempertimbangkan orang lain
yang tidak ada hubungan langsung dengannya. Skema ini memiliki unsur-unsur (a) persepsi
mengenai kebutuhan akan norma sosial yang dapat diterima secara umum untuk memerintah
sebuah kelompok, (b) perlunya norma-norma tersebut diterapkan terhadap masyarakat secara
luas kepada setiap orang di dalam masyarakat (c) kebutuhan akan kejelasan, keseragaman,
dan kategori norma (d) setiap anggota masyarakat diharapkan untuk patuh, dan berharap
orang lain juga patuh, (e) adanya struktur peran yang hirarkis mengenai rantai komando,
otoritas, dan kewajiban. Seseorang harus mematuhi otoritas, bukan karena rasa hormat pada
kualitas pribadi otoritas tersebut tetapi karena rasa hormat terhadap sistem sosial.

Menurut skema Postconventional kewajiban moral harus berdasarkan idealisme bersama


yang dapat diuji oleh logika, pengalaman di masyarakat dan kesesuaian dengan praktik yang
diterima di masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai