Anda di halaman 1dari 88

TEKNOLOGI DAN SENI PENDIDIKAN SEBAGAI TEORI

KHUSUS PENDIDIKAN PRESKRIPTIF

Makalah Pengantar Teori Pendidikan

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Pengantar Teori
Pendidikan yang di ampu oleh:
Dr. Pupun Nuryani, M.Pd.
Dr. Cepi Triatna, M. Pd.

Oleh:
Agustien Dwi Dayanty [1802829]
Wisnu Frediansyah [1907221]

PROGRAM STUDI PEDAGOGIK


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2019
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-
Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Kemudian shalawat beserta salam kita sampaikan
kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup
yakni Al-Qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia.
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah
Pengantar Teori Pendidikan, Program Studi Pedagogik, Sekolah Pascasarjana,
Universitas Pendidikan Indonesia Tahun 2019, dengan judul “Teknologi dan Seni
Pendidikan sebagai Teori Khusus Pendidikan Preskriptif”.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.
Pupun Nuryani, M.Pd dan Dr. Cepi Triatna, M.Pd. selaku dosen pengampu mata
kuliah dan kepada segenap pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan
selama penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif
dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, …………………. 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .......................................................................................................... i


Daftar Isi.................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 3
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................. 3
1.4 Manfaat Penulisan ........................................................................................... 3

BAB II KAJIAN TEORI


2.1 Teknologi dan Seni Pendidikan sebagai Teori Khusus Pendidikan
Preskriptif ...................................................................................................... 5
2.1.1 Teori Khusus Pendidikan Preskriptif vs Teori Khusus Pendidikan
Deskriptif .......................................................................................... 5
2.1.2 Ruang Lingkup Teori Khusus Pendidikan Preskriptif ...................... 6
2.1.2.1 Manajemen Pendidikan ....................................................... 6
a. Pengertian Manajemen dan Manajemen Pendidikan ... 6
b. Sejarah Manajemen ...................................................... 9
c. Teori Manajemen ......................................................... 15
d. Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan ...................... 19
2.1.2.2 Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum ...................... 21
a. Asas Kurikulum............................................................ 21
b. Pendekatan Pengembangan Kurikulum ....................... 25
c. Scope dan Sequen dalam Pengembangan Kurikulum .. 28
2.1.2.3 Model-Model Pembelajaran ................................................ 28
a. Dasar Pertimbangan ..................................................... 28
b. Rumpun Model Pembelajaran ...................................... 29
2.1.2.4 Didaktik metodik ................................................................. 39
2.1.2.5 Evaluasi Pendidikan ............................................................ 53
a. Ruang Lingkup Evaluasi Pendidikan ........................... 54

ii
b. Rumpun Model Evaluasi .............................................. 56
c. Prinsif Evaluasi ............................................................ 60
d. Tujuan Evaluasi ............................................................ 61
e. Manfaat Evaluasi .......................................................... 61
f. Instrumen Evaluasi ....................................................... 63
2.1.2.6 Riset Pendidikan .................................................................. 63
a. Pentingnya Riset dalam Bidang Pendidikan ................... 63
b. Tujuan Riset Pendidikan ................................................. 65
c. Manfaat Riset Pendidikan ............................................... 65
d. Jenis-Jenis Riset Pendidikan ........................................... 65
e. Langkah-Langkah dalam Proses Penelitian .................... 66

BAB III PEMBAHASAN


3.1 Implikasi Teori Khusus Pendidikan Preskriptif ............................................ 67
3.1.1 Implikasi Teori Manajemen dalam Manajemen Pendidikan ............ 67
3.1.2 Implikasi Pendekatan Kurikulum dalam Pengembangan Kurikulum
di Indonesia serta Analisis Scope dan Sequence dalam Pembinaan
Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah ................................... 73
3.1.3 Implikasi Model Pembelajaran ........................................................ 75
3.1.4 Imlikasi Asas-Asas Didaktik Metodik dalam Pembelajaran ............. 76
3.1.5 Implikasi Model Evaluasi dalam Praktik Pendidikan ...................... 78

BAB IV KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI


3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 81
3.2 Implikasi ........................................................................................................ 81
3.3 Rekomendasi ................................................................................................. 82

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 83

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 1, ayat 1 berbunyi :
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara”.
Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa pendidikan itu dilakukan
oleh pendidik dengan usaha yang harus disadari, dalam rangka membantu
peserta didik untuk dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya. Agar
kualitas yang diharapkan dapat tercapai, diperlukan penentu berkembangnya
potensi peserta didik, yaitu tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan sendiri
menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3 adalah mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan
pendidikan inilah yang akan menentukan keberhasilan dalam proses
pembentukan pribadi manusia yang berkualitas, dengan tanpa
mengesampingkan peran unsur-unsur lain dalam pendidikan. Dalam proses
penentuan tujuan pendidikan dibutuhkan suatu perhitungan yang matang,
cermat, dan teliti agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.
Dalam mencapai tujuan pendidikan pendidikan di sekolah diperlukan
sebuah landasan dari teori-teori pendidikan. Mudyahardjo (2014, hlm.91)
menjelaskan bahwa teori pendidikan adalah sebuah pandangan atau
serangkaian pendapat perihal pendidikan yang disajikan dalam sebuah sistem
konsep. Dari pengertian tersebut peran teori adalah sebagai penjelasan tentang
sejumlah asumsi, sesuatu yang terjadi, akan terjadi, dan telah terjadi. Aspek
ini merujuk pada pola dari teori sebagai alat untuk penjelasan logis dan

1
2

membuat prediksi. Jika dihubungkan dengan pendidikan maka teori


pendidikan merupakan seperangkat penjelasan yang rasional sistematis
membahas tentang aspek-aspek penting dalam pendidikan sebagai sebuah
sistem.
Salah satu teori pendidikan adalah teori khusus pendidikan preskriptif.
Menurut Mudyahardjo (2001, hlm. 100) teori ini adalah seperangkat konsep-
konsep tentang sesuatu aspek pendidikan, yang penyajian konsep-konsepnya
bertujuan menjelaskan bagaimana seharusnya sesuatu kegiatan pendidikan
dilakukan. Teori pendidikan yang termasuk dalam kelompok ini adalah
teknologi pendidikan, yang antara lain mencakup studi-studi tentang
manajemen pendidikan, penyusunan dan pengembangan kurikulum
pendidikan, model-model pendidikan (model-model mengajar, model-model
membimbing, dan model-model melatih), evaluasi pendidikan, dan riset
pendidikan.
Dalam praktik pendidikan, teori khusus pendidikan preskriptif memiliki
kedudukan sebagai landasan dan standar keberhasilan. Teori sebagai landasan
memiliki makna bahwa sejatinya teori memberikan arah yang jelas bagi
praktik pendidikan. Namun, dalam penerapannya akan dipengaruhi oleh
kondisi-kondisi yang ada. Sehingga nantinya teori khusus pendidikan
preskriftif akan diuji kebenarannya berdasarkan kondisi-kondisi yang
mempengaruhi praktik pendidikan. Apabila dalam prakitik pendidikan teori
khusus pendidikan preskriftif tidak dapat diterapkan karena pertimbangan
kondisi yang ada, maka sejatinya praktik pendidikan tersebut akan menjadi
rujukan atau sumber dalam pengembangan teori baru dalam rangka
membantu mencapai tujuan, sehingga muncullah teori khusus pendidikan
deskriftif.
Dalam uraian makalah ini fokus penulis hanya pada teori khusus
pendidikan preskriftif sebagai landasan dan standar keberhasilan bagi praktik
pendidikan. Atas dasar itu penulis membuat makalah tentang “Teknologi dan
Seni sebagai Teori Khusus Pendidikan Preskriftif”. Dengan tujuan
memberikan gambaran kepada pembaca bagaimana teori khusus pendidikan
3

preskriftif menjadi landasan dan standar keberhasilan dalam praktik


pendidikan, khususnya bagi pendidikan di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, terdapat gambaran
pentingnya teori khusus pendidikan preskriftif bagi praktik pendidikan. Dengan
demikian, adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan makalah ini
adalah “Bagaimana teknologi dan seni sebagai teori khusus pendidikan
preskriftif menjadi landasan bagi praktik pendidikan di Indonesia?”. Mengacu
kepada rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi pertanyaan dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
2.1.1 Bagaimana perbedaan teori khusus pendidikan preskriftif dengan teori
khusus pendidikan deskriftif?
2.1.2 Bagaimana ruang lingkup teori khusus pendidikan preskriftif?
2.1.3 Bagaiamana implikasi teori khusus pendidikan preskriftif dalam
praktik pendidikan di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang telah dipaparkan, maka
yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Memahami perbedaan teori khusus pendidikan preskriftif dengan teori
khusus pendidikan deskriptif.
1.3.2 Memahami ruang lingkup teri khusus pendidikan preskriptif.
1.3.3 Memahami imlpikasi teori khusus pendidikan preskriptif dalam
praktik pendidikan di Indonesia.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Menambah wawasan dan pemahaman penulis mengenai teknologi dan
seni sebagai teori khusus pendidikan preskriptif, yang meliputi studi-
studi mengenai manajemen pendidikan, penyusunan dan
pengembangan kurikulum, model-model mengajar, didaktik metodik,
evaluasi pendidikan dan riset pendidikan, serta implikasinya bagi
praktik pendidikan di Indonesia.
4

1.4.2 Menambah wawasan dan pemahaman pembaca mengenai teknologi


dan seni sebagai teori khusus pendidikan preskriftif , yang meliputi
studi-studi mengenai manajemen pendidikan, penyusunan dan
pengembangan kurikulum, model-model mengajar, didaktik metodik,
evaluasi pendidikan dan riset pendidikan, serta implukasinya bagi
praktik pendidikan di Indonesia.
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Teori Khusus Pendidikan Preskriftif vs Teori Khusus Pendidikan


Deskriftif
Reigelut (dalam Siregar dan Nara, dalam Adyra Aradea Fevriana, 2017)
mengungkapkan bahwa teori preskriptif berkaiatan dengan gool oriented.
Sedangkan teori deskriptif berkaitan dengan goal free.
Lev N Landa (dalam Charles M. Reigeluth, 1983, hlm. 22-23)
menyatakan bahwa:
“Prescriptive prrinciples and theories are goal oriented, whereas
descriptive ones are goal free (the former is intended to achieve a goal,
whereas the latter is intended to describe the outcomes); and
prescriptive prinsiples have optimal methods as the variabel of interest,
whereas descriptive ones have outcomes as the variabel of interest.
Also the outcomes in prescriptive principles and theories are desired
outcomes, whereas in descriptive principles and theories they are
actual outcomes (usually in a probabilistic sense-that is, they are likely
outcomes) and may or may nit be desirable. A prescriptive theory is
concerned with prescribing whole models that will be optimal for given
sets of conditions and desired outcome. A descriptive theory, on the
other hand, is concerned with merely describing the likely outcomes of
using whole models under different sets of conditions”.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa teori
preskriptif berorientasi kepada metode apa yang seharusnya digunakan dalam
rangka mencapai tujuan yang diinginkan. Sedangkan teori deskriptif tidak
membicarakan metode apa yang seharusnya dalam mencapai tujuan yang
diinginkan, melainkan memberikan gambaran tentang kemungkikan hasil
berdasarkan metode yang dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang ada. Hasil
dalam teori preskriptif adalah hasil yang seharusnya, sedangkan hasil dalam
teori deskriptif adalah hasil yang memiliki dua kemungkinan, bisa yang
seharusnya bisa pula yang bukan seharusnya.
Kaitannya dengan pendidikan, Redja Mudyharjo (2014, hlm 101)
mengungkapkan bahwa teori khusus pendidikan preskriptif adalah seperangkat
konsep-konsep tentang sesuatu aspek pendidikan yang penyajian konsep-
konsepnya bertujuan menjelaskan bagaimana seharusnya suatu kegiatan
pendidikan di lakukan. Sedangkan teori khusus pendidikan deskriptif adalah

5
6

seperangkat konsep-konsep tentang sesuatu aspek pendidikan yang penyajian


konsepnya bertujuan menerangkan bagaimana peristiwa-peristiwa pendidikan
telah, dan diperkirakan terjadi di dalam masyarakat.
Pada dasarnya penulis memiliki pandangan yang sama dengan hemat
Redja Mudyharjo. Hal ini dikarenakan teori khusus pendidikan preskriptif
membicarakan tentang konsep-konsep apa yang seharusnya diterapkan dalam
kegiatan pendidikan. Sedangkan teori khusus pendidikan deskriptif
menjelaskan kegiatan-kegiatan pendidikan yang telah terjadi, sedang dan
diperkirakan terjadi berdasarkan konsep-konsep yang sudah terpengaruh oleh
kondisi-kondisi yang ada. Adapun fokus kajian penulis dalam makalah ini
adalah teori khusus pendidikan preskriptif.
2.2 Ruang Lingkup Teori Khusus Pendidikan Preskriptif
Redja Mudyhardjo (2014, hlm. 105-108) mengungkapkan bahwa teori
pendidikan yang termasuk dalam teori khusus pendidikan preskriptif adalah
teknologi pendidikan, yang antara lain mencakup studi-studi mengenai :
2.2.1 Manajemen Pendidikan
2.2.1.1 Pengertian Manajemen dan Manajemen Pendidikan
Luther Gullick (dalam Nurrasidah, 2015, hlm. 1)
mengungkapkan bahwa “Manajemen suatu ilmu (science)”.
Mary Parker Follet (dalam Nurrasidah, 2015, hlm. 1)
mengungkapkan bahwa “Manajemen merupakan seni (art)
dalam menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain”.
James AF Stoner (dalam Nurrasidah, 2015, hlm. 1)
mengungkapkan bahwa:
“Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan dan pengawasan usaha-usaha anggota organisasi
dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya
agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan”.
Karthryn M. Bartol dan David C. Marten (dalam
Nurrasidah, 2015, hlm. 1) mengungkapkan bahwa:
“Manajemen adalah proses mencapai tujuan-tujuan organisasi
dengan melakukan kegiatan-kegiatan dari empat fungsi utama
yaitu merencanakan (planning), mengorganisasi (organizing),
memimpin (leading), dan mengendalikan (controlling).”
7

George R Terry (dalam Nurrasidah, 2015, hlm. 2)


mengungkapkan bahwa:
‘Management is a distinct consisteing of planning, organizing,
actuating, and controlling performed to determine and
accomplish atted objective by the use human being and other
resources’.
Lubis (dalam Nurrasidah, 2015, hlm. 3)
mengungkapkan bahwa:
“Management is distinct consisting of planning, organizing,
actuating, controlling, utilizing in each both science and art
and follow in order to accomplish predetermined objectives”.
Chuk Williams Lubis (dalam Nurrasidah, 2015, hlm. 2)
mengungkapkan bahwa:
“Manajemen adalah menyelesaikan pekerjaan melalui orang
lain. Jadi seorang manajer bukanlah mengerjakan semua
pekerjaan sendiri. Dia bekerja melalui orang-orang yang
memiliki kemampuan-kemampuan teknis di lapangan, tanpa
mengerjakan teknisnya (walaupun bukan berarti seorang majer
tidak memiliki kemampuan teknis)”.
Berdasarkan uraian di atas penulis dapat memaknai
manajeman sebagai proses mencapai tujuan organisasi melalui
pelaksanaan empat fungsi utamanya, yaitu perencanaan,
pengorganisasian, kepemimpinan dan supervise yang
memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber daya yang
lainnya. Dengan demikian, dalam konsep manajemen terdapat
kerja sama dan pembagian tugas yang dapat mempermudah
pencapaian tujuan organisasi.
Pada awal perkembangannya, manajemen dimaknai
sebagai seni dan keterampilan yang berkembang secara
dinamis sebagai bagian dari peradaban manusia
(Handayaningrat, dalam Nurrasidah, 2015, hlm. 6).
Manajemen sebagi ilmu pengetahuan pada dasarnya baru
berkembang semenjak akhir abad ke-19 (U.Saefullah dalam
Nurrasidah, 2015, hlm. 6). Nurrasidah (2015, hlm. 91)
mengungkapkan bahwa manajemen merupakan seni sekaligus
ilmu. Menejemen merupakan seni memperoleh hasil melalui
8

berbagai kegiatan yang dilakukan oleh orang lain. Manajemen


juga merupakan ilmu untuk melakukan perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan dan pengawasaan organisasi.
Dengan demikian, penulis memiliki pemahaman bahwasannya
manajemen merupakan ilmu sekaligus seni. Hal ini
dikarenakan dalam manajemen membutuhkan ilmu tentang
bagaimana merencanakan, bagaiaman mengorganisasikan,
bagaimana kepemimpinan dan bagiamana pengawasann.
Selain itu dalam manajemen tentunya ada seni yang terdapat
pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan setiiap orangnya dalam
menjalankan fungsi manajemennya.
Selanjutnya, penulis akan membawa pembaca untuk
memahami manajemen pendidikan.
Engkoswara dan Komariah (dalam Nurrasidah, 2015,
hlm. 92) mengungkapkan bahwa manajemen dalam pendidikan
dapat diartikan sebagai penataan bidang garapan pendidikan
yang dilakukan melalui aktivitas perencanaan,
pengorganisasian, penyusunan staf, pembinaan,
pengkoordinasioan, pengkomunikasian, pemotivasian,
penganggaran, pengendalian, pengawasan, penilaian dan
pelaporan secara sistematis untuk mencapai tujuan pendidikan
yang berkualitas.
Djam’an Satori (dalam Hidayat dan Machali dalam
Nurrasidah, 2015, hlm. 93) mengungkapkan bahwa
manajemen pendidikan sebagai keseluruhan proses kerja sama
dengan memanfaatkan semua sumber personil dan materi yang
tersedia dan sesuai untuk mencapai tujuan pendidikan yang
telah ditetapkan secara efektif dan efisien.
Husaini usman (dalam Nurrasidah, 2015, hlm. 93)
mengungkapkan bahwa manajemen pendidikan sebagai seni
dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
9

peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya


untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketermpilan
yang diperlukan dirinya, masarakat, bangsa dan Negara.
Berdasarkan uraian di atas, penulis memiliki
pemahaman bahwasannya manajemen pendidikan merupakan
seni dan ilmu dalam mengelola sumberdaya pendidikan dalam
rangka mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien
melalui pelaksanaan fungsinya sebagai perencanaan,
pengorganisasian, penyusunan staf, pembinaan,
pengkoordinasioan, pengkomunikasian, pemotivasian,
penganggaran, pengendalian, pengawasan, penilaian dan
pelaporan yang dilakukan secara sistematis dan memalui
proses kerja sama.
2.2.1.2 Sejarah Manajemen
Nurrasidah (2015, hlm. 6-10) mengungkapkan bahwa
sejarah manajemen adalah sebagai berikut:
a. Fase prasejarah
1. Peradaban Mesopotamia, pada zaman ini prinsip-
prinsip manajemen sudah diterapkan terutama di
bidang pemerintahan, perdagangan, komunikasi
pengangkutan (sungai), dan uang logam sebagai alat
tukar perdagangan.
2. Peradaban babylonia, pada zaman ini perkembangan
manajemen sama dengan perkembangan pada zaman
Mesopotamia. Adapun manajemen yang telah
berkembang dengan baik adalah manajemen
pemerintaha, perdagangan dan perhubungan. Dalam
Codex of Hummurabi (Undang-Undang
Hummurabi) dikembangkan manajerial guideline
ware set of forth, yaitu petunjuk dan garis-garis yang
mengarahkan manajemen serta pentingnya effective
10

leader style (mengembangkan gaya kepemimpinan


yang efektif, dalam mendirikan Menara babble
setinggi 650 kaki (198,12 m) dengan struktur-
struktur bangunan yang indah, juga mengerjakan
sistem produksi dan pengendalian persediaan).
3. Peradaban mesir kuno, pada zaman ini manajemen
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada
zaman ini telah berkembang manajemen
pemerintahan, militer, perpajakan, perhubungan dan
pertanian (termasuk migrasi). Di samping itu,
ditemukan bukti bahwa orang Mesir telah
mempraktikan sistem desentralisasi dan penggunaan
staf penasihat pada 2000 tahun sebelum Masehi.
Pembuatan pyramid itu telah memaksa setiap orang
menerima bahwa dalam pembangunannya pasti ada
perencanaan, organisasi, kepemiminan, dan sistem
pengawasan formal. Pekerjaan itu menunjukan
adanya pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen yang
efektif dan efisien. Masyarakat pada zaman itu telah
bekerjasama membangun piamid di bawah
keepemimpinan Fir’aun. Ia memiliki para
pendamping, penasihat, selir, dan juru masak
khusus. Hal tersebut menunjukan bhawa
perkembangan manajemen pada masa Fir’aun sudah
cukup maju dengan baik. Fir’un menerapkan
kepemimpinan otoriter terhadap semua rakyatnya.
4. Tiongkok kuno, perkiraan tahun 1100 SM bangsa
Tingkok telah memiliki penyadaran akan perlunya
perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan
pengawasan. Akan tetapi yang paling meneonjol dari
masyarakat dan pemerintahan Tiongkok kuno yaitu
keberhasilan menciptakan sistem manajemen
11

kepegawaian yang sangat baik. Sehingga banyak


prinsif administrasi kepegawaian yang telah ada
pada masa Tiongkok Kuno, yang dikenal dengan
istilah merit system dan sekaligus merupakan
perkembangan yang belum pernah terjadi
sebelumnya yang melakukan penilaian terhadap
kariyawannya berdasarkan karya masing-masing
(Athoilah). Tokoh manajemen pertama pada zaman
ini adalah Confucius. Saat menjabat sebagai perdana
mentri, ia berhasil menjadikan Tiongkok Kuno
sangat teratur. Ia telah menyusun “ketenuan-
ketentuan administrasi Negara” (rules of public
administration), yang merupakan kode etik bagi para
pejabat pemerintah pada waktu itu. Tokoh kedua
adalah Chow yang juga pernah menjadi perdana
mentri, dimana dia telah menyusuin “Undang-
Undang Dasar Chow” (the constitution of chow)
yang berisi syarat syarat yang harus dipenuhi oleh
setiap pegawai negeri, yaitu kejujuran, kecakapan,
pengabdian dan kepentingan umum, pengetahuan
yang mendalam tentang kondisi Negara,
kemampuan unuk selalu sibuk, dan produktif. Tokoh
ketiga adalah Macius atau Mo Ti, ia merupakan
perdana mentri berpandangan sosialisme pertama.
Sumbangannya adalah bidang perbaikan manajemen
pertanian. Ia juga memperkenalkan pertama kalinya
pendekatan sistem, khususnya dalam manajemen
perniagaan.
5. Romawi kuno, pada zaman ini untuk mengetahui
bagaiaman perkembangan manajemen dapat
diketahui dengan mempelajari filsuf yang terkenal
yaitu Cicero. Dalam bukunya de Offici (the Office)
12

dan de lagibus (the law) dijelaskan tentang


pemerintahan Romawi yang berhasil memerintah
daerah yang sangat luas dengan pembagian tugas-
tugas pemerintahan dalam departemen yang disebut
magistrates, yang dipimpin oleh seorang magstrator.
Pada zaman ini, telah dikembangkan administrasi
militer, pajak dan perhubungan lebih dari zaman-
zaman sebelumnya.
6. Yunani kuno, pada dasarnya bangsa Yunai
merupakan bangsanya para filsuf yang telah banyak
membangun paradigm berpikir tentang
kepemimpinan dan demokrasi. Pada zaman ini,
pemilihan kepemimpinan dilakukan secara langsng
karena jumlah penduduknya masih sedikit.
b. Fase sejarah (1 M-1886M)
Perkembangan manajemen pada fase ini pada
dasarnya dimulai setelah diketahuinya gejala Katolik
Roma mempengaruhi perkembangan teori administrasi.
Hal ini mengindikasikan gerakan Katolik Roma telah
memberikan sumbanagn yang besar terhadap
perkembangan manajemen. Beberapa sarja bBarat
berpendapat bahwa pesatnya perkembangan agama
Katolik Roma bukan karena ajaran-ajarannya yang suci,
melainkan juga karena organisasinya yang sangat rapi.
Lembaga ini memberikan konstribusi kepada teori
administrasi dan manajemen dalam hal hierarki otoritas,
spesialisasi aktivitas sepanjang garis fungsional, dan
konsep staf. Struktur organisasi telah di desain dalm satu
scalar anc clain of commond (rantai perintah, artinya
perintah dipusakan sepenuhnya kepada kepemimpinan
paus) yang tetap dari paus (pope), melalui cardinal, kepada
uskup, dan pendeta atau pastor di tiap-tiap wilayah
13

Negara. Dengan dmeikian, pola dasar struktur organisasi


yang telah diciptakan pleh gereja Katolik Roma telah
ditiru oleh hamper semua organisasi modern saat ini,
meskipun sudah tentu semakin direkayasa sesuai dnegan
situasi dan kondisi saat ini.
Di Eropa muncul tiga kelompok sarjana yang
terdapat pada tiga Negara yang berbeda-beda pada waktu
yang kira-kira bersamaan, yaitu kaum kameralisten yang
terdapat di Jerman dan Audtralia, kaum merkanlisten yang
terdapat di Inggris, dan kaum fisiokreaten yang terdapat di
Prancis. Mereka dikatakan sebagai ahli ekonomi oleh
banyak sarjana. Padahal mereka adalah para pelopor
manajemen ilmiah karena inti teori mereka adalah
perekonomian suatu Negara hanya akan kuat jika kegiatan
administrasi dan manajemen dilaksanakan dengan
sebagaik-baiknya. Akan tetapi karena manajemen ilmiah
belum dikenal pada saat itu, maka mereka digolongkan
dalam ahli ekonomi. Bukti bahwa mereka merupakan
pelopor manajemen terdapat dalam hasil karyanya.
Perkembangan yang semakin pesat juga disebabkan
oleh revolusi industry I di Inggris yang mempunyai akibat
yang sangat luas. Pada waktu itu ditemukan mesin-mesin
produksi, seprti mesin uap oleh James Watt, yang ikut
mempercepat proses revolusi tersebut. Revolusi itu pula
mengakibatkan perubahan radikal dalam filsafat
administrasi yang semula job centered menjadi human
centerd. Orientasi pekerjaan berubah dari hanya
efektivitas menjadi efisiensi dan efektifitas.
Di bidang kepegawaian, semakin banyak jumlah
pegawai yang diperkerjakan. Hal ini mengakibatkan
hilangnya sistem apprenticeship dan guild sehingga
terbentuknya serikat-serikat buruh yang semakin
14

menyadari hak dan kewajibannya terhadap organisasi yang


dikembangakan kegiatan dalam industry yang dikenal
dengan industrial relation.
c. Fase modern (1886M-Sekarang)
Pada dasarnya fase ini ditandai dengan lahirnya
gerakan manajemen ilmiah yang dipelopori oleh F.W
Taylor dan Fayor, pelopor sistematik. Baik tylor maupun
Fayor, kedua-duanya merupakan para pelaksana suatu
organisasi. Hanya, Taylor menyoroti pelaksanaan dan
pimpinan tingkat atas dari suatu organisasi. Hasil-hasil
pemikiran kedua tokoh administrasi dan manajemen itu
telah salaing melengkapi tanpa diketahui oleh satu sama
lain. Untuk iu Fayor diberi julukan sebagai bapak
adminisrasi modern.
Siagian (dalam Nurrasidah, 2015, hlm. 10)
mengungkapkan bahwa ditinjau dari segi penahapan
perkembangan ilmu manajemen, sejak lahir hingga
sekarang ilmu manajemen telah melewati empat tahap
berikut:
1. Tahapan survival (1886-1930), tahap ini dimulai
sejak lahirnya manajemen ilmiah yang dikemukakan
oleh Taylor dan Fayor. Pada tahap ini ditegaskan
bahwa ilmu administrasi lahir dalam waktu yang
cukup panjang. Pada tahap ini pula banyak lahir
administrasi dan manajemen sehingga administrasi
dan manajemen dinyatakan sebagai ilmu.
2. Tahapan konsolidasi dan penyempurnaan (1930-
1945), tahap ini disebut tahap konsolidasi dan
penyempurnaan karena dalam jangka waktu inilah
prinsip, rumus, dali-dalil ilmu manajemen ilmiah
lebih disempurnakan sehingga kebenarannya tidak
dapat lagi dibantah.
15

3. Tahapan human relation (1945-1959), tahap ini


disebut tahap human relation karena setelah
terciptanya prinsip, rumus dan dalil-dalil yang telah
teruji kebenarannya, perhatian para ahli dan sarjana
mulai beralih pada faktor manusia serta hubungan
formal dan informal yang perlu diciptakan, dibina,
dan dikembangkan oleh dan antar manusia pada
semua tingkat organisasi demi terlaksananya
kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan dalam
susunan yang intim dan harmonis.
4. Tahapan behaviorisme (1959-sekarang), semakin
pentingnya peran mansuia dalam mencapai usaha
yang telah ditentukan, para ahli dan sarjana semakin
emusatkan perhatian penyeleidikannya terhadap
maslah manusia dan pekerjaanya. Penyelidikan ini
ditunjukan terhadap tindakan manusia dalam
berorganisasi dan alasan-alasan manusia melakukan
kegiatan. Sehingga, jika ada tindakan mansuia yang
menguntungkan bagi organisasi dicari cara
bagaimana meningkatkannya. Sebaliknya, jika ada
tindakan manusia yang merugikan organisasi maka
dicari pula solusinya.
2.2.1.3 Teori Manajmenen
Nurrasidah (2015, hlm. 11-16) mengungkapkan bahwa
terdapat tiga airan manajemen yang mengikuti evolusinya,
yaitu sebagai berikut:
a. Teori klasik
Teori klasik berasumsi bahwa para pekerja/manusia
itu sifatnya rasional, berfikir logika, dan kerja merupakan
sesuatu yang diharapkan. Oleh karena itu, teori klasik
berangkat dari premis bahwa organisasi bekerja dalam
proses yang logis dan rasional dengan pendekatan ilmiah
16

dan berlangsung menurut struktur atau anatomi organisasi


(Fattah, dalam Nurrasidah, 2015, hlm. 11).
Nurrasidah (2015, hlm. 11) mengungkapkan bahwa
teori klasik dibedakan menjadi dua cabang, yaitu sebagai
berikut:
1. Teori manajemen ilmiah (scientific management
theory)
Tokoh-tokoh teori ini adalah Frederick W.
Taylor, Henry L gantt, Frank Bunker Gillberth, dan
Lilian Gillberth. Pada dasarnya tokoh-tokoh tersebut
memikirkan suatu cara meningkatkan produktivitas
dengan menangani kondisi kekurangan tenaga
terampil melalui efisiensi pekerja. Fredrick W.
Taylor sebagai bapak manajemen ilmiah dengan
karnyanya scientific management yang telah
memberikan prinsip-prinsip dasar penerapan
pendekatan ilmiah pada manejemen, dan
mengembangkan sejumlah tehnik-tehnikknya untuk
mencapai efeisiensi. Adapun empat prinsif dasarnya
(dalam Engkoswara dan Aan Komariah, dalam
Nurrasidah, 2015, hlm. 11) adalah sebagai berikut:
a) Pengembanagan metode ilmiah dalam
manajemen agar suatu perjaan dapat ditentukan
metode pencapaian tujuannya secara maksimal.
b) Seleksi ilmiah untuk karyawan agar para
karyawan dapat diberikan tugas dan tanggung
jawab sesuai keahiliannya.
c) Pendidikan dan pengembangan karyawaan.
d) Kerjasama yang harmonis anatara manajemen
dan karyawan. Tehnik yang digunakan untuk
melaksanakan prinsip tersebut adalah melalui
studi gerak dan waktu, pengawasan fungsional,
17

sistem tariff berbeda, yaitu kariyawan yang


lebih produktif dan efisien mendapatkan gaji
lebih besar dari yang lainnya.
2. Teori manakemen adminisratif atau organisasi klasik
(classical organization theory)
Teori ini dipelopori oleh Henry Fayor (1841-1925).
Pada dasarnya timbulnya teori ini merupakan
dampak dari adanya organisasi yang kompleks.
Menurut Fayor, manajemen akan berjlan efektif jika
empat belas prinsip dan keterampilan dijalannka.
Adapun empat belas prinsip tersebut (dalam
Nurrasidah, 2015, hlm. 12) adalah pmbagian kerja,
otoritas atau wewenang, disiplin, kesatuan perintah,
kesatuan arah, mengemudiankan kepentingan
pribadi di bawah kepentingan umum, balas jasa atau
imbalan, sentralisasi, sierarki, tertib, keadilan,
stabilitas staf organisasi, intensiatif, dan semangat
korps.
b. Teori neo-klasik
Teori ini dikenal dengan teori manajemen hubungan
manusia atau aliran perillaku. Kemunculannya
dikarenakan adanya kelemahan dalam pendekatan klasik.
Pada dasarnya teori ini berasumsi bahwa manusia itu
mahluk sosial dengan mengaktualisasikan dirinya.
Tokohnya adalah Elton Mayo. Studi Elton Mayo tentang
stdi hubungan antar manusia, atau tingkah laku manusia
dalam situasi kerja, yang terkenal dengan studi
Hawthorne. Berdasarkan studinya ternyata kelompok
kerja informal lingkungan sosial pekerja mempunyai
pengaruh besar terhadap produktivitas. Tokoh lainnya
adalah Douglas McGregor, dimana ia menyatakan bahwa
manajemen akan mendapat manfaat besar apabila menaruh
18

perhatian pada kebutuhan sosial dan aktualisasi diri


karyawan.
Teori ini pada dasarnya memandang bahwa pekerja
yang menerima perhatian khusus akan bekerja lebih baik
hanya karena mereka menerima perhatian tersebut.
Adapun prinsip yang dianut oleh teori ini adalah sebagai
berikut:
1. Organisasi adalah suatu keseluruhan jangan
dipandang bagian perbagian.
2. Motivasi karyawan sangat penting yang
menghasilkan komitmen untuk pencapaian tujuan
organisasi.
3. Manajemen tidak dapat dipandang sebagai suatu
proses teknis secara ketat (perana, prosedur, prinsip).
(Ekoswara dan Aan Komariah, dalam Nurrasidah,
2015, hlm. 12).
c. Teori modern
Teori ini menggunakan pendekatan sistem.
Pendekatan sistem memandang bahwa organisasi sebagai
sistem tang dipersatukan dan diarahkan dari komponen-
komponen yang saling berkaitan. Chester I. Barnard
menjelaskan bahwa tugas manajer adalah mengupayakan
adanya suatu upaya kerja sama dalam berorganisasi
dengan menyarankan pendekatan komprehensif dalam
aktivitas managing. Komponen-komponen tersebut tidak
dapat dipisahkan satu sama lain, merupka satu kesatuan
utuh yang saling terkiat, terikat, mempengaruhi,
membutuhkan dan menentukan. Oleh karena itu, harus
disadari perubahan suatu komponen akan berpengaruh
terhadap komponen-komponen yang lainnya. Dengan
demikian berpikir dan bertindak sistem berarti tidak
memandang komponen secara parsial, tetapi salaing
19

terpadu satu sama lain secara sinergi (Engkoswara dan


Aan Komariah, dalam Nurrasidah, 2015, hlm. 15).
2.2.1.4 Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
Nurrasidah (2015, hlm 97) mengungkapkan bahwa
ruang lingkup manajemen pendidikan adalah sebagai berikut:
a. Manajemen kurikulum pada dasarnya meliputi
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi
kegiatan tentang pendataan mata pelajaran/mata kuliah
yang diajarkan/dipasarkan, waktu (jam) yang tersedia,
jumlah guru beserta pembagian jam pelajaran, jumlah
kelas, penjadwalan, kegiatan belajar mengajar, buku-buku
yang dibutuhkan, program semester, evaluasi, program
tahunan, kalender pendidikan, perubahan kurikulum
maupun inovasi-inovasi dalam pengembangan kurikulum.
b. Manajemen ketenagaan pendidikan pada dasarnya
meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
pengawasan dan evaluasi kegiatan penerimaan pegawai
baru, mutasi, surat keputusan, surat tugas, berkas-berkas
tenaga kependidikan, daftar umum kepegawaian, upaya
peningkatan SDM serta kinerja pegawai dan sebagainya.
c. Manajemen peserta didik pada dasarnya meliputi
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan,
dan evaluasi kegiatan penggalangan penerimaan siswa
baru, pelaksanaan tes penerimaan siswa baru, penempatan
dan pembagian kelas, kegiatan-kegiatan kesiswaan,
motivasi, dan upaya peningkatan kualitas lulusa dan
sebagainya.
d. Manajemen sarana dan prasarana pada dasarnya meliputi
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan,
dan evaluasi kegiatan pengadaan barang, pembagian dan
penggunaan barang (inventaris), perbaiakn barang, dan
tukar tambah maupun penghapusan barang.
20

e. Manajemen pembiayaan pendidikan pada dasarnya


meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
pengawasan, dan evaluasi kegiatan masuk dan keluarnya
dana, usaha-usaha menggali sumber pendanaan sekolah
seperti kegiatan koperasi serta penggunaan dana secara
efisien.
f. Manajemen perkantoran pada dasarnya meliputi
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan,
dan evaluasi kegiatan kantor agar memberikan pelayan
terbaik kepada semua orang yang membutuhkan serta
berhubungan dengan kegiatan lembaga.
g. Manajemen unit-unit penunjang pendidikan pada dasarnya
meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
pengawasan, dan evaluasi kegiatan unit-unit penunjang,
misalnya bimbingan dan penyuluhan, perpustakaan, UKS,
pramuka, lahraga, kesenian, dan sebagainya.
h. Manajemen layanan khusus pendidikan pada dasarnya
meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
pengawasan, dan evaluasi kegiatan pelayanan khusus,
misalnya menu makanan/konsumsi, layanan antar jemput,
bimbingan khusus di rumah dan sebagainya.
i. Manajemen tata lingkungan dan keaman sekolah pada
dasarnya meliputi perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi tata ruang
pertamanan sekolah, kebersihan dan ketertiban sekolah,
serta keamanan dan kenyamanan lingkungan sekolah.
j. Manajemen hubungan dengan masyarakat pada dasarnya
meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
pengawasan, dan evaluasi kegiatan hubungan masyarakat,
misalnya pendataan alamat kantor/orang yang dianggap
perlu, hasil kerjasama, program-program humas dan
sebagainya.
21

Rivai (dalam Nurrasidah, 2015, hlm. 98) mengungkapkan


bahwa semakin banyak ruang lingkup manajemen pendidikan
mengindikasikan semakin besar dan maju lembaga pendidikan
tersebut, begitupun sebaliknya.
Pada dasarnya pemikiran penulis tidak sejalan dengan apa
yang dikemukakan oleh Rivai. Hal ini dikarenakan dalam sudut
pandang penulis ruang lingkup manajemen itu bersifat relative,
bergantung pada kebijakan yang dibuat, dan tidak ditentukan
oleh besar atau kecilnya suatu lembaga pendidikan. Selain itu,
menurut penulis tidak selamanya suatu lembaga pendidikan
yang ruanglingkup manajemennya luas mengindikasikan bahwa
lembaga pendidikan tersebut maju. Hal ini dikarenakan maju
tidaknya suatu lembaga pendidikan tidak ditentukan oleh ruang
lingkup manajemennya melainkan ditentukan oleh efisiensi dan
efektifitas manajemen serta hubungan antar anggota
organisasinya yang berjalan harmonis.
2.2.2 Penyusunan dan Pengembangan Kurikulum Pendidikan
2.2.2.1 Asas-Asas Pengembangan Kurikulum
a. Asas filosofis
Nasution (1988) mengungkapkan bahwa asas
filososfis memfokukan diri pada persoalan untuk apa
kurikulum dibuat. Pada dasarnya kurikulum di buat untuk
mencapai tujuan, dan tujuan pendidikan pada dasarnya
bersifat normative. Tujuan yang sifatnya normative ini
bergantung kepada filsafat yang dianutnya. Perbedaan
filsafat yang dianut pada dasarnya membedakan pula
tujuan pendidikan yang akan dicapai.
Dalam pengembangan kurikulum ada beberapa
filsafah yang harus diperhatikan selain filsafah
pengembangnya, yaitu filsafah Negara, filsafah lembaga
pendidikan, dan filsafah pengajar atau pendidik (Nasution,
dalam Abdulah Idi, 2009).
22

1. Filsafah bangsa Indonesia, bangsa Indonesia adalah


bangsa yang menganut mazhab filsafat pancasila.
Atas dasar itu, pancasila merupakan dasar/ideologi
negara Indonesia, yang mana rumusannya termaktub
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
yaitu ketuhana Yang Maha Esa, kemanusian yang adil
dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Implikasinya dalam bidang
pendidikan, pancasila dijadikan dasar dalam
penyelenggaraan pendidikan nasional. Sebagaimana
Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal
1 ayat 2 yang menyatakan bahwa “Pendidikan
nasional adalah pendidikan yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan
tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”.
2. Filsafah lembaga pendidikan, pada dasarnya pancasila
dijadikan pedoman bagi lembaga pendidikan untuk
mengembangkan falsafah atau pandangan masing-
masing sesuai dengan misi dan tujuan nasional serta
nilai-nilai masyarakat yang dilayaninya. Nasution
(dalam Abdulah Idi, 2009, hlm. 72) mengungkapkan
bahwa dalam merumuskan filsafah lembaga
pendidikan secara tertulis, perlu memiliki komponen-
komponen, (1) alasan rasional mengenai eksistensi
lembaga pendidkan, (2) prinsip-prinsip pokok yang
mendasarinya, (3) nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang
dijunjung tinggi, (4) prinsip-prinsip pendidikan
23

mengenai hakikat anak, hakikat proses belajar


mengajar, dan hakikat pengetahuan.
3. Filsafah pendidik, pada dasarnya pendidik harus
memiliki pengetahuan tentang filsafat lembaga
pendidikan dimana ia bertugas. Hal ini dikarenakan
dalam operasional kurikulum pendidikan merupakan
pemeran utama. Akan sangat disayangkan apabila
kurikulum yag sudah baik dipahami, ditafsirkan, dan
dilaksanakan oleh pendidik yang memiliki filsafah
yang berbeda. Dengan demikian, adanya perbedaan
falsafah pendidikan dengan tujuan yang dicita-citakan
akan menghambat ketercapain tujuan pendidikan yang
telah dirumuskan dalam kurikulum.
b. Asas psikologis
Nasution (1988) mengungkapkan bahwa asas
psikologis memfokuskan diri pada persoalan untuk siapa
kurikulum diorganisasikan. Tentunya, kurikulum
diorganisasikan untuk siswa. Pada dasarnya setiap siswa
memiliki cara belajarnya masing masing, minat,
perkembangan, kebutuhan dan sebagainya. Dengan
demikian, dalam mengorganisasikan kurikulum perlu
memperhatikan psikologi belajar dan psikologi anak
dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan.
c. Asas psikologis
Nasution (1988) mengungkapkan bahwa pada
dasarnya kurikulum diorganisasikan untuk siswa/anak.
Tidak dapat dipungkiri bahwasannya anak tidak hidup
sendiri, dan tidak hidup untuk dirinya sendiri. Melainkan
ia senantiasa hidup dengan sesamanya di dalam suatu
lingkungan masyarakat. Di dalam lingkungan masyarakat
seorang anak harus memenuhi tugas-tugas dan tanggung
jawabnya untuk saat ini maupun kelak ketika ia dewasa.
24

Tentunya, dalam perwujudan tugas dan tanggung


jawabnya harus selaras dengan nilai, norma, adat istiadat
dan kebiasaan yang dianut oleh masyarakat tersebut.
Dengan demikian, nilai0nilai, norma, adat istiadat dan
kebiasaan suatu masyarakat menjadi faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam mengorganisasikan kurikulum.
d. Asas organisatoris
Nasution (1988) mengungkapkan bahwa pada
dasarnya asas ini berkaitan dengan bagaiman menyajikan
bahan pelajaran atau dalam arti bagaimana kurikulum
akan diorganisasikan. Selanjutnya, Nasution (dalam
Abdulah Idi, 2009, hlm 92) mengungkapkan bahwa ada
dua masalah pokok yang harus dipertimbangkan, pertama
pengetahuan apa yang paling berharga untuk diberikan
bagi anak dalam suatu bidang studi, kedua bagaiaman
mengorganisasikan bahan itu agar anak didik dapat
menguasainya dengan sebaik-baiknya. Abdulah Idi (2009)
menjawab pertanyaan Nasution dengan menyatakan
bahwa persoalan pertama hanya dapat dipecahkan oleh
para spesialis dalam disipluin ilmu yang bersangkutan,
dengan syarat para spesialis tersebut harus mengikuti
perkembangan ilmunya, dan memperhatikan asas filosofis,
sosiologis, dan psikologis dalam mengambil keputusan.
Sementara, para pengembang kurikulum mempunya tugas
untuk membantu para sepsialis agar memahami
sepenuhnya akan tugas mereka dalam menentukan
pengetahuan yang paling berharga. Pendekatan yang
paling memungkinkan adalah dibentuknya tim
pengembang kurikulum yang memiliki pengetahuan yang
memadai mengenai bidang studi tersebut. Persoalan kedua
menurut Nasution (dalam Abdulah idi, 2009) ada beberapa
cara mengorganisasikan bahan bagi keperluan pengajaran,
25

diantaranya berdasarkan topic, tema, kronologi, konsep,


logika, dan proses didiplin.
2.2.2.2 Pendekatan Pengembangan Kurikulum
Abdulah Idi (2009, hlm. 199-203) mengungkapkan
beberapa pendekatan kurikulum, yaitu sebagai berikut:
a. Pendekatan bidang studi (pendekatan subjek atau disiplin
ilmu), pada dasarnya pendekatan ini menggunakan mata
pelajar atau bidang studi sebagai dasar organisasi
kurikulum. Misalnya matematika, sejarah, geografi, IPA,
IPS, dsb.
b. Pendekatan beroientasi pada tujuan, pada dasarnya
pendekatan ini berorientasi terhadap tujuan yang hendak
dicapai, atau dalam arti menepatkan tujuan yang hendak
dicapai dalam posisi sentral. Adapun kelebihan
pendekatan pengembangan kurikulum yang berorientasi
terhadap tujuan adalah sebagai berikut:
1. Tujuan yang ingin di capai jelas bagi penyususnan
kurikulum
2. Tuuan yang jelas akan memberikan arah yang jelas pula
di dalam menetapkan materi pelajaran, metode, jenis
kegiatan, dan alat yang dipergunakan untuk mencapai
tujuan.
3. Tujuan-tujuan yang jelas itu juga akan memberikan
arah dalam mengadakan penilaian terhadap hasil yang
dicapai.
4. Hasil penelitian yang terarah itu akan membantu
penyususnan kurikulum di dalam mengadakan
perbaikan-perbaiakn yang diperlukan. (Soebandijah,
dalam Abdulah Idi, 2009).
c. Pendekatan dengan pola organisasi bahan
Pada dasarnya pendekatan ini terdiri dari tiga pola,
yaitu sebagai berikut:
26

1. Pendekatan pola subject matter curriculum, pendekatan


ini menekankan kepada berbagai mata pelajaran secara
terpisah-pisah, misalnya, sejarah, ilmu bumi, biologi,
berhitung, dsb. Mata pelajaran ini tidak berhubungan
satu sama lain.
2. Pendekatan dengan pola correlated curriculum,
pendekata ini merupakan pendekatan dengan pola
pengelompokan beberapa mata pelajaran yang sering
dan bisa secara dekat berhubungan, misalnya IPA, IPS.
3. Pendekatan dengan pola integrated curriculum,
pendekatan ini didasarkan kepada keseluruhan hal yang
mempunyai arti tertentu. Keseluruhan itu tidak hanya
merupakan kumpulan dari bagian-bagiannya, tetapi
mempunyai arti tertentu. Dalam hal ini tidak hanya
melalui matapelajaran yang terpisah-pisah, namun
harus dijalin suatu keutuhan yang meniadakan batas
tertentu dari masing-masing bahan pelajaran.
d. Pendekatan rekonstruksionalisme, pendekatan ini disebut
juga rekonstruksi sosial karena memfokuskan kurikulum
pada masalah penting yang dihadapai masyarakat, seperti
polusi, ledakan penduduk, dampak teknologi, dsb. Pada
dasarnya dalam pendekatan ini ada dua grakan yang
berbeda pandangan, yaitu sebagai berikut:
1. Rekonstruksionalisme konservatif, merupakan suatu
pendekatan yang menganjurkan agar pendidikan
ditunjukan kepada peningkatan mutu kehidupan
individu maupun masyarakat dengan mencari
penyelesaian masalah-masalah yang paling mendesak
yang dihadapi masyarakat.
2. Rekonstruksionalisme radikal, merupakan suatu
pendekatan yang menganjurkan agar pendidikan formal
maupun informal mengabdikan diri demi tercapainya
27

tatatanan sosial baru berdasarkan pembagian kekuasaan


dan kekayaan yang lebih adil dan mereta. golongan
radikal ini berpendapat bahwa kurikulum yang mencari
penyelesaian masalah sosial (rekonstruksionalisme
konservatif) tidaklah memadai. Pada dasarnya
kelompok radikal ini ingin menggunakan pendidikan
untuk merombak tata sosial dan lembaga sosial yang
ada dan membangun struktur sosial baru. (Nasution,
dalam Abdullah Idi, 2009).
e. Pendekatan Humanistik, pada dasarnya pendekatan ini
berpusat pada siswa (student-centered) dan
mengutamakan perkembangan afektif siswa sebagai
prasyarat dan sebagai bagian integral dari proses belajar.
Para pendidik humanistic meyakini bahwasannya
kesejahteraan mental dan emosional siswa harus
dipandang sentral dalam kurikulum agar belajar itu dapat
memberikan hasil maksimal. Prioritasnya adalah
pengalaman belajar yang diarahkan pada tanggapan minat,
kebutuhan, dan kemampuan anak. (Soemantrie, dalam
Abdullah Idi, 2009).
f. Pendekatan Akutabilitas, pada dasarnya pendekatan ini
merupakan pendekatan yang meminta pertanggung
jawaban lembaga pendidikan tentang pelaksanaan
tugasnya kepada masyarakat, dan akhir-akhir ini menjadi
hal yang penting dalam dunia pendidikan. Pada dasarnya
akuntabilitas yang sistematis pertama kali diperkenalkan
Fredrick Tylor dalam bidang ndustri pada permulaan abad
ini, yaitu scientific management. scientific management,
ini menetapkan tugas-tugas spesifk yang harus
diselesaikan pekerja dalam waktu tertentu, dan tiap
pekerja bertanggung jawab atas penyelesain tugas itu
(Nasution, dalam Abdullah idi, 2009).
28

2.2.2.3 Scope dan Sequence dalam Pengembangan Kurikulum


Nasution (1988) mengungkapkan bahwa “Scope”
berkaitan dengan apa yang akan diajarkan, yaitu ruang lingkup
atau luas bahan pelajaran, jenis, dan bentuk-bentuk
pengalaman belajar, pada berbagai tingkat perkembangan anak
guna mencapai tujuan pendidikan. Sedangkan “Sequence”
berkaitan dengan urutan pengalaman belajar itu diberikan atau
diartikan pula kapan pengalaman belajar atau bahan pelajaran
itu harus diberkan, atau disempitkan di kelas berapa bahan
pelajaran itu diberikan. Ada dua pendekatan yang dapat
dilakukan, pertama dengan cara menentukan terlebih dahulu
bahan pelajaran untuk kelas-kelas tertentu. Kemudian
diusahakan agar setiap anak dapat mencerna bahan pelajaran
tersebut. Pendekatan kedua, dilakukan dengan cara menyusun
bahan pelajaran sesuai dengan taraf perkembangan anak.
2.2.3 Model-Model Mengajar
2.2.3.1 Dasar Pertimbangan
Rusman (2012, hlm.134) mengemukakan empat unsur
yang menjadi dasar-dasar pertimbangan seorang guru dalam
memilih model pembelajaran yaitu sebagai berikut.
a. Pertimbangan terhadap tujuan yang hendak dicapai.
b. Pertimbangan yang berhubungan dengan bahan atau
materi pembelajaran.
c. Pertimbangan dari sudut peserta didik atau siswa.
d. Pertimbangan lainnya yang bersifat nonteknis, misalnya
keefektifan model.
Pada dasarnya penulis memiliki pandangan yang
sama dengan hemat Rusman, dimana proses pemilihan
model pembelajaran harus senantiasa memperhatikan
beberapa hal, seperti tujuan yang hendak dicapai, materi
pelajaran, peserta didik, dan keefektifan model. Selain hal-
hal tersebut, penulis menyarankan agar kemampuan guru
29

dalam menguasai model juga perlu menjadi pertimbangan


yang utama. Sebab, guru adalah orang yang
mengimplementasikannya. Meskipun sudah ada kesesuaian
tujuan yang hendak dicapai, materi yang akan dipelajari,
karakteristik siswa dan keefektifan model apabila guru
tidak memiliki penguasaan terhadap model tersebut maka
akan sangat disayangkan.
2.2.3.2 Rumpun Model Pembelajaran
a. Model Pemrosesan Informasi
Mudyahardjo (2014, hlm.106) mengungkapkan
bahwa:
“Model ini adalah model-model mengajar yang
berorientasi pada kemampuan memproses informasi
dari siswa dan cara-cara mereka dapat meningkatkan
kemampuan mereka menguasai infomasi”.
A.E Zainsyah (dalam Dahlan, 1984, hlm. 24)
mengungkapkan bahwa rumpum model pemprosesan
informasi terdiri atas model mengajar yang menjelaskan
bagaiaman cara individu memberikan respons yang datang
dari lingkungannya dengan cara mengorganisasikan data,
memformulasikan masalah, membangun konsep dan
rencana pemecahan masalah serta penggunaan symbol-
simbol verbal dan nonverbal. Diantara model yang
termasuk kedalam rumpun ini ada yang menitik beratkan
kepada proses siswa memecahkan masalah, ada yang
mengutamakan kecakapan intelektual umum, ada juga
yang model yang menonjolkan interaksi sosial dan
hubungan anatar pribadi serta perkembangan kepribadian
murid yang terintegrasi dan fungsional.
Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa
model pembelajaran ini memfokuskan diri pada
pengembangan kognitif, yaitu kemampuan siswa
memproses dan menguasai informasi, kemampuan siswa
30

menyelesaikan masalah, kemampuan siswa membangun


konsep.
Selanjutnya, Bruce Joyce, dkk (2011)
mengungkapkan bahwa model-model yang termasuk
dalam kategori ini, yaitu model berpikir induktif,
pencapaian konsep, induktif kata bergambar, penelitian
ilmiah dan latihan penelitian, menghafal, sinektik, dan
advance organizer.
1. Model Berpikir Induktif
Menurut Huda (2014, hlm. 79) Model berpikir
induktif itu berasumsi bahwa setiap manusia merupakan
konseptor alamiah. Maka dari itu, seorang guru harus
dapat mendesain pembelajaran yang efektif supaya
meningkatkan efektivitas dalam membangun konsep dan
membangun keterampilan konseptual.
2. Model Pencapaian Konsep
Menurut Huda (2014, hlm. 81). Model
pencapaian konsep merupakan proses mencari dan
mendaftar sifat-sifat yang dapat di gunakan untuk
membedakan contoh-contoh yang tepat dengan contoh-
contoh yang tidak tepat dari berbagai kategori. Pada model
pencapaian konsep ini mengharuskan siswa
menggambarkan sifat-sifat dari suatu kategori yang sudah
terbentuk dalam pikiran orang lain dengan cara
membandingkan dan membedakan contoh-contoh yang
berisi karakteristik konsep dengan contoh yang tidak berisi
karakteristik.
3. Model Induktif Kata Bergambar
Menurut Huda (2014, hlm. 85) Model induktif kata
bergambar dirancang untuk menghadapi tantangan
menjadi pembaca yang ahli, utamanya untuk pembaca
pemula di tingkat dasar dan tingkat yang lebih tinggi.
31

4. Model Penelitian Ilmiah


Menurut Huda (2014, hlm. 90). Inti dari model
penelitian ilmiah (scientific inquiry model) adalah
melibatkan siswa dalam masalah penelitian yang benar-
benar orisinal dengan cara menghadapkan mereka pada
bidang investigasi, membantu mereka mengidentifkasi
masalah konseptual atau metodologis dalam bidang
tersebut, dan mengajak mereka untuk merancang cara-cara
memecahkan masalah. Dari sini, mereka bisa bagaimana
suatu penegatahuan dibuat dan dibangun dalam komunitas
para ilmuwan. Pada waktu yang bersamaan, mereka akan
menghargai pengetahuan sebagai hasil dari proses
penelitian yang melelahkan dan mungkin juga akan beljar
tentang keterangan keterbatasan-keterbatasan dan
keunggulan-keunggulan pengetahuan masa kini.
5. Model Latihan Penelitian
Model latihan penelitian (inquiry training model)
berawal dari sebuah kebutuhan untuk mengembangkan
munitas para pelajar yang mandiri. Metodenya
mensyaratkan partisipasi aktif siswa dalam penelitian
ilmiah. Siswa sebenarnya memiliki rasa ingin tahu dan
hasrat yang besar untuk tumbuh berkembang; dan latihan
penelitian memanfaatkan eksplorsi kegairahan alami
mereka memeberikan mereka arahan-arahan khusus
sehingga mereka dapat engeksplorsi bidang-bidang
penelitian secara efektif. Tujuan umum latihan penelitian
adalah membantu siswa mengembangkan disiplin
intelektuan dan keterampilan yang mumpuni untuk
meningkatkan pertanyaan-pertanyaan dan pencaraian
jawaban yang terpendam rasa keinginan taahuan mereka
(Huda, 2014, hlm. 94).
32

6. Model Mnemonik (Menghafal)


Berbicara tentang metode menghafal/mnemonic,
ingatan kita mungkin tertuju pada masa-masa sekolah
dulu, bagaimana kita dituntut untuk menguasai daftar
materi yang tak tersrtuktur, seperti kata-kata baru, bunyi-
bunyi baru, hari-hari dalam seminggu, 50 kota, dan
negara-negara di dunia. Beberapa dari kita menjadi
penghafal yang efektif, tetapi beberapa yang lain tidak.
Saat kita mencoba mengingat kembali informasi yang
pernah kita hafal dulu, kita begitu mudah melupakannya.
Kita seakan menganggap semuanya segala hal yang remeh
yang tidak terlalu penting untuk diingat kembali. Namun,
bayangkan sejenak apa yang akan terjadi pada dunia tanpa
informasi yang kita peroleh beratahun-tahun disekolah?
Pada intinya, kita tetap membutuhkan informasi, dan
model menghafal disini dirancang untuk memenuhi
kebutuhan tersebut (Huda, 2014, hlm. 99).
7. Model Sinektik
Proses sinektik dikembangkan dari beberapa asumsi
tentang psikologi kreativitas (the psychology of
creatiivity). Asumsi pertama, dengan membawa proses
kreatif menuju kesadaran dan dengan mengembangkan
bantuan-bantuan eksplisit menuju kreativitas, kita dapat
secara langsung meningkatkan kapasitas kreatif secara
individu maupun kelompok. Asumsi yang kedua dalah
bahwa “kompnen emosional lebih penting daripada
intelektual irasional lebih penting dari pada rasional”
(Gordon dalam Huda, 2014, hlm. 102). Kreativitas
merupakan pengembangan pola-pola mental baru.
Interaksi yang tidak masuk akal menyisakan ruang bagi
keberlanjutan pemikiran yang dapat menuntut pada
kondisi mental dimana banyak gagasan baru muncul.
33

Asumsi ketiga adalah bahwa “unsur-unsur emosional dan


irasional harus dipahami dengan baik agar mampu
meningkatkan kemungkinan sukses dalam menyelesaikan
situasi permasalahan” (Gordon dalam Huda, 2014, hlm.
102).
8. Model Advance Organizer
Menurut Ausubel dalam Huda, (2014, hlm. 106).
Percaya bahwa siswa harus menjadi konstruktor
pengetahuan yang aktif. Hanya saja mereka perlu
diarahkan untuk memiliki metalevel disiplin dan
metagonisi untuk merespon pengajaran secara produktif,
dari pada mengawali pengajaran dengan dunia persepsi
mereka dan membimbing mereka untuk menginduksikan
struktur-struktur. Model advance organizer ini dirancang
untuk memperkuat struktur kognitif siswa. Pengetahuan
mereka tentang pelajaran tentu dan bagaimana mengelola,
memperjelas, dan memelihara pengetahuan tersebut
dengan baik. Seberapa banyak pengetahuan tersebut, dan
bagaimana pengetahuan ini dikelola.

b. Model Pengajaran Sosial


Mudyahardjo (2014, hlm. 107) mengungkapkan
bahwa “Model ini adalah model-model mengajar yang
berorientasi pada hubungan-hubungan individu dengan
masyarakat atau dengan orang lain”. Sasaran utamanya
adalah untuk membantu siswa belajar bekerja sama,
mengindetifikasi dan menyelesaikan masalah, baik yang
sifatnya akademik maupun sosial. Huda (2014, hlm.109)
mengemukakan tujuan-tujuan utama dalam model ini
adalah:
1. Membantu siswa bekerja sama untuk mengindetifikasi
dan menyelesaikan masalah.
34

2. Mengembangkan skill hubungan masyarakat.


3. Meningkatkan kesadaran akan nilai-nilai personal dan
sosial.
Bruce Joyce, dkk (2011) mengungkapkan bahwa
model-model yang termasuk dalam kategori ini, yaitu
model investigasi kelompok, model bermain peran, model
penelitian hukuman.
1. Model investigasi kelompok
Bekerja dalam sebuah kelompok yang terdiri
dari tiga atau lebih anggota pada hakikatnya dapat
memberikan daya dan manfaat tersendiri. Hal ini pernah
dikemukakan oleh Roger Johnson dari Universitas
Minnesota dalam Huda ( 2014, hlm. 111). Slavin dari
Universitas John Hopkins dan Shlomo dari Universitas Tel
Aviv dalam Huda (2014, hlm. 111) juga menyatakan hal
yang sama. Dengan menggunakan strategi yang sedikit
berbeda, baik tim Johnson dan Slavin melakukan
serangkaian investigasi yang secara langsung menguji
asumsi mengenai model pengajaran sosial. Secara khusus,
mereka meneliti apakah tugas kerja sama dan struktur
reward dapat memengaruhi hasil pembelajaran secara
positif ataukah tidak. Selain itu, mereka juga
merekomendasiakan adanya peningkatan kesatuan
kelompok, tingkah laku bekerja sama, dan relasi antar
kelompok melalui prosedur pembelajaran yang kooperatif.
Salah satu asumsi yang mendasari pengembangan
pembelajaran kooperatif (cooperative learning) adalah
bahwa sinergi yang muncul melalui kerja sama akan
meningkatkan motivasi yang jauh lebih besar daripada
melalui lingkungan kompetitif individual. Kelompok-
kelompok sosial integratif memiliki pengaruh yang lebih
besar daripada kelompok yang dibentuk secara
35

berpasangan. Perasaan saling keterhubungan (feelings of


connectedness), menurut mereka,dapat menghasilkan
energi yang positif.
2. Model Bermain Peran
Menurut Shaftel dalam Huda, (2014, hlm. 114)
Role playing (bermain peran) merupakan sebuah model
pengajaran yang berasal dari dimensi pendidikan individu
maupun sosial. Model ini membantu masing-masing siswa
untuk menemukan makna pribadi dalam dunia sosial
mereka dan membantu memecahkan dilema pribadi
dengan bantuan kelompok. Dalam dimensi sosial, model
ini memudahkan individu untuk bekerja sama dalam
menganalisis kondisi sosial, khususnya masalah
kemanusiaan. Model ini juga menyokong beberapa cara
dalam proses pengembangan sikap sopan dan demokratis
dalam menghadapi masalah. Esensi role playing adalah
keterlibatan partisipan dan peneliti dalam situasi
permasalahan dan adanya keinginan untuk memunculkan
resolusi damai serta memahami apa yang dihasilkan dalam
keterlibatan langsung ini. Role playing berfungsi (1)
mengeksplorasi perasaan siswa, (2) mentransfer dan
mewujudkan pandangan mengenai perilaku, nilai, dan
persepsi siswa, (3) mengembangkan skill pemecahan
masalah dan tingkah laku, dan, (4) mengeksplorasi materi
pelajaran dengan cara yang berbeda.
3. Model Penelitian Hukum
Oliver dan Shaver dalam Huda (2014, hlm. 120)
menggagas suatu gaya penelitian hukum untuk membantu
siswa belajar berfikir secara sistematis mengenai isu-isu
kontemporer. Model ini mengharuskan siswa merumuskan
isu-isu tersebut sebagai persoalan kebijakan publik dan
menganalisis posisi mereka sendiri. Pada intinya, model
36

ini merupakan model tingkat tinggi dalam mata pelajaran


pendidikan kewarganegaraan. Ketika masyarakat kita
mengalami perubahan sosial dan cultural di segala aspek
kehidupan saat ini, model penelitian hukum menjadi
sangat penting, khususnya untuk mereka yang kembali
merenungkan posisinya mengenai pertanyaan-pertanyaan
penting seputar isu-isu sosial, etika dan hukum. Warga
Negara harus memahami isu yang tengah beredar dan
mampu membahasnya dalam formulasi kebijakan tertentu.
Dengan mmberikan perangkat untuk menganalisis dan
mendiskusikan isu sosial, pendekatan hukum akan
membantu siswa berpartisipasi dalam menjabarkan
kembali nilai-nilai sosial.

c. Model Pengajaran Pribadi


Mudyahardjo (2014, hlm.107) mengungkapkan
bahwa “Model ini adalah model-model mengajar yang
berorientasi pada individu dan pengembangan diri
pribadi”.
A.E Zainsyah (dalam Dahlan, 1984, hlm. 24)
mengungkapkan bahwa rumpun model mengajar pribadi
terdiri atas model mengajar yang berorientasi kepada
perkembangan diri individu, yang lebih banyak
memperhatikan kehidupan emosional siswa.
Bruce Joyce, dkk (2011) mengungkapkan bahwa
model-model yang termasuk dalam kategori ini, yaitu
model pengajaran tidak terarah, dan model classroom
meeting.
1. Model Pengajaran Tak Terarah
Model pengajaran tak terarah didasarkan pada karya
Rogers dalam Huda (2014, hlm. 126) dan beberapa
penggagas lain yang turut berkontribusi pada model ini.
37

Kemunculan model ini diawali oleh sikap Rogers terhadap


konseling tak terarah, di mana klien yang memiliki
kapasitas untuk menghadapi hidupnya secara kontruktif
diberi kebebasan sepenuhnya untuk menentukan dan
memilih hidupnya dengan tetap dibimbing dan diarahkan.
Model ini menekankan pada pengembangan gaya
pembelajaran yang efektif dan jangka panjang serta
pengembangan karakter pribadi yang kuat dan bisa
diarahkan. Model ini tidak membidik intruksi jangka
pendek ataupun sasaran materi pembelajaran. Guru dalam
model ini haruslah sabar dan tidak memaksakan adanya
hasil secara cepat dan sesegera mungkin.
2. Model Classroom Meeting
Pada 1969, Glasser dalam Huda (2014, hlm. 130)
merekomendasikan pelaksanaan classroom meeting
sebagai salah satu bagian dari progamnya yang bertajuk
“Realty Therapy”. Progam ini dirancang untuk membantu
siswa yang punya masalah dalam perilakunya sehari-hari
untuk belajar bertindak dengan cara yang lebih
bertanggungjawab. Dalam pengajaran ini, suasananya
langsung positif. Guru tidaklah boleh menghakimi
siapapun dalam interaksinya dengan siswa. Para siswa
juga didorong untuk secara konstruktif berhadapan dengan
siswa lain, namun dengan cara yang respek dan hormat-
menghormati. Tentu saja sangat sulit menghindari suara-
suara negatif dalam proses pelaksanaannya, tetapi seiring
dengan waktu dan kebiasaan, progam pengajaran ini bisa
menjadi produktif bagi pengembangan sosio-emosional
siswa dalam memecahkan suatu masalah.
d. Model Sistem-Sitem Perilaku
Mudyahardjo (2014, hlm. 107) mengungkapkan
bahwa “Model ini adalah model-model mengajar yang
38

berorientasi pada pengubahan tingkah laku melalui


pengontrolan dan penguatan yang terus menerus terhadap
perangsang”.
Semua model dalam kelompok ini memiliki dasar
teoretis yang sama, suatu body of knowledge yang merujuk
pada teori behavioral. Model-model ini menekankan pada
upayanya untuk mengubah perilaku yang tampak dari para
siswa. Beberapa model yang termasuk dalam kategori ini
antara lain: (1) model intruksi langsung dan (2) model
simulasi (Huda, 2014, hlm.134). Sedangkan, menurut
Bruce Joyce, dkk (2011) mengungkapkan bahwa model-
model yang termasuk dalam kategori ini, yaitu belajar cara
belajar dari pembelajaran menguasai, model interaksi
lagsung, dan model simulasi.
1. Model Intruksi Langsung
Intruksi langsung memainkan peran yang terbatas
namun penting dalam progam pendidikan yang
komprehensif. Kritik terhadap kontruksi langsung
memperingatkan pada kita bahwa pendekatan ini
seharusnya tidak digunakan setiap saat, untuk semua
bidang pendidikan, atau untuk semua siswa. (Huda, 2014,
hlm. 137)
2. Model Simulasi
Menurut Huda (2014, hlm. 138) Simulasi pada
hakikatnya didasarkan pada prinsip sibernetik yang
dihubungkan dengan computer. Fokus utama dalam teori
ini adalah munculnya kesamaan antara mekanisme control
timbal balik dari sistem elektronik dengan sistem-sistem
manusia. Kompetisi sangatlah penting dalam simulasi-
simulasi besar. “Monopoli” misalnya, bisa mensimulasi
aktivitas spekulator dalam real estate dan menggabungkan
beberapa unsur spekulasi kehidupan nyata. Simulasi pada
39

akhirnya dapat menghidupkan suasana pelajaran


akademik.
2.2.4 Didikatik Metodik
Secara etimologi, didaktik berasal dari bahasa Yunani didasko
yang berasal dari kata didaskein yang berarti pengajaran atau
mengajar. Didaktus berarti pandai mengajar. Dari kata didaskein ada
istilah didaktike-techne yang berarti tehnik mengajar. Selanjutnya
didaktike berubah menjadi didaktika yang berarti saya mengajar atau
ilmu mengajar (Imansjah Alipandie, 1984).
Secara terminologi, Imansjah Alipandie (1984, hlm. 15)
menyatakan bahwa “Didaktik adalah ilmu mengajar yang memberikan
prinsip tentang cara-cara menyampaikan bahan pelajaran dengan baik
sehingga mudah diterima dan dikuasai oleh pihak yang menerima
pelajaran”.
Berdasarkan pengertian baru, Imansjah Alipandie (1984,
hlm.15) menyatakan bahwa “Didaktik dimaknai sebagai ilmu yang
memberi uraian tentang kegiatan proses mengajar yang menimbulkan
proses belajar”.
Dengan demikian, didaktik dapat kita maknai sebagai suatu
ilmu mengajar yang memberikan prinsip-prinsip (asas) tentang cara-
cara menyampaikan bahan pelajaran sehingga terjadinya proses
mengajar dan belajar. Sehingga, pendidik dan peserta didik terlibat
aktif dalam proses mengajar dan belajar.
Imansjah Alipandie (1984, hlm. 42) menyatakan bahwa secara
garis besar didaktik dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Didaktik umum, merupakan bagian dari didaktik yang
membicarakan mengenai prinsip-prinsip (asas) umum yang
berhubungan dengan penyajian bahan ajar, dengan tujuan agar
dapat dipahami oleh peserta didik.
b. Didaktik khusus, merupakan bagian dari didaktik yang
membicarakan tentang pelaksanaan cara-cara mengajarkan mata
pelajaran tertentu dimana prinsip-prinsisp (asas) didaktik umum
40

diterapkan. Hal ini dikarenakan setiap mata pelajaran yang satu


dengan yang lainnya memiliki karakteristik yang berbeda, yang
memungkinkan perlunya digunakan didaktik khusus.
Imansjah Alipandie (1984, hlm. 42) menyatakan bahwa
“Dalam dunia pendidikan, didaktik khusus ini disebut juga metodik”.
Metodik berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos, yang terdiri dari
kata meta dan hodos yang berarti mengajar, menyelidiki, cara
melakukan sesuatu atau prosedur (Imansjah Alipandie,1984).
Selanjutnya, Imansjah Alipandie (1984, hlm. 42-43) menyatakan
bahwa metodik dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Metodik umum, yaitu pengetahuan yang membahas mengenai
cara-cara mengajarkan sesuatu jenis mata pelajaran tertentu
secara umum.
b. Metodik khusus, yaitu pengetahuan yang membahas mengenai
cara-cara mengajarkan sesuatu jenis pelajaran tertentu secara
terperinci.
Imansjah Alipandie (1984, hlm. 16-41) menyatakan bahwa
terdapat 10 prinsip-prinsip (asas) didaktik, yaitu sebagai berikut:
a. Asas Motivasi
Pada dasarnya, pendidik berusaha membangkitkat minat
peserta didik agar tertuju dan terpusat kepada bahan pelajaran,
sehingga dapat memperoleh hasil pengajaran yang sebaik-
baiknya. Persoalannya, tidak semua bahan pelajaran menarik
perhatian peserta didik, dan tidak semua peserta didik tertarik
kepada bahan pelajaran. Atas dasar itu, pendidik dituntut
memiliki kecakapan untuk dapat memberikan motivasi dalam
rangka membangkitkan minat dan perhatian peserta didik.
Munculnya minat dan perhatian peserta didik terhadap
bahan pelajaran menunjukan bahwa azas motivasi dapat
membantu pendidik dalam menciptakan kelas yang kondusif.
Hal ini dikarenakan peserta didik fokus kepada bahan ajar,
41

sehingga ia tidak memiliki kesempatan melakukan hal-hal yang


melanggar ketertiban kelas.
Pada dasarnya, dilihat dari sudut pandang psikologis
seorang anak akan melakukan pengamatan terhadap suatu objek
secara jelas dan tajam apabila objek tersebut benar-benar
menarik perhatiannya. Sedangkan, dari sudut pandang
pendidikan pemusatan perhatian sangat penting bagi
pembentukan watak. Hal ini dikarenakan anak-anak yang sudah
terlatih memusatkan perhatiannya tidak akan terpusat kepada
hal-hal yang menarik perhatiannya saja, melainkan kepada hal-
hal yang tidak menarik perhatiannya. Dengan demikian, ketika
seorang anak belajar ia akan senantiasa mengerahkan
kemampuan perhatiannya dan memperkeras kemauannya.
Perhatian peserta didik pada dasarnya ada yang sifatnya
disengaja, yaitu perhatian yang dibangkitkan oleh pendidik. Ada
pula perhatian spontan, yaitu perhatian yang dengan sendirinya
muncul dalam diri peserta didik. Perhatian spontan bertahan
lebih lama dan lebih baik dari perhatian yang disengaja. Namun,
dalam rangka pembentukan watak peserta didik, perhatian
disengaja yang dilakukan oleh pendidik menjadi hal yang lebih
penting.
Adapun usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk
membangkitkan perhatian spontan adalah sebagai berikut:
1. Mengajar dengan cara yang menarik dan sesuai dengan
tahapan perkembangan anak.
2. Mengadakan selingan yang sehat.
3. Menggunakan alat peraga.
4. Meminimalisir pengaruh-pengaruh yang dapat
mengganggu konsentrasi.
Sedangkan, usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk
membangkitkan perhatian disengaja adalah sebagai berikut:
1. Menyampaikan manfaat bahan ajar
42

2. Melakukan apersepsi
3. Mengadakan kompetensi yang sehat
4. Adanya hadiah dan hukuman
b. Asas Aktivitas
Pada dasarnya, pendidik dituntut memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk aktif baik secara jasmani
maupun rohani, baik dalam pembelajaran perorangan ataupun
kelompok. Keaktifan jasmani dapat ditunjukan peserta didik
dengan melakukan kegiatan penelitian, percobaan, membuat
konstruksi model, bercocok tanam, dan masih banyak lagi.
Sedangkan, yang dimaksud keaktifan rohani yaitu bekerjanya
unsur-unsur kejiwaan peserta didik, seperti: ketekunan, cermat,
mengingat, berfikir dan masih banyak lagi. Dalam
pelaksanaannya aktivitas jasmani dan rohani saling berhubungan
satu sama lain. Keterhubungan yang baik antara aktivitas
jasmani dan rohani pada dasarnya dalam rangka memperoleh
hasil pengajaran yang sebaik-baiknya.
Dalam kurikulum 2013, keaktifan jasmani dan rohani
dapat dilakukan melalui kegiatan 5M, yaitu kegiatan mengamati,
menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi,
menyimpulkan. Dengan demikian, proses mengajar dan belajar
bukanlah proses yang sifatnya verbalisme, dimana peserta didik
hanya duduk dan mendengarkan pelajaran secara pasif.
Berikut ini adalah beberapa pandangan yang mendukung
azas aktivitas, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Konsep modern: Jiwa seseorang bersifat dinamis
mempunyai enersi sendiri dan dapat menjadi aktif bila di
dorong oleh berbagai macam dorongan.
2. Piaget: Seorang anak berpikir sepanjang ia berbuat. Tanpa
perbuatan anak tak berpikir, agar anak berpikir sendiri, ia
harus diberi kesempatan untuk berbuat sendiri.
43

3. Pestalozzi: Tugas pendidik adalah membantu anak dalam


perkembangannya sendiri.
4. Frobel: Pada anak terdapat dorongan alamiah untuk
mencipta. Prinsip utamannya adalah bekerja sendiri.
Semboyannya, berpikir dan berbuat mesra hubungannya.
5. Helen Parkhurst: Ruang kelas harus diubah menjadi
laboratorium pendidikan dimana anak-anak bekerja
sendiri.
6. Jhon Dewey: Sekolah disamping sebagai tempat belajar
harus dijadikan pula sebagai tempat bekerja. Dengan
demikian ia mengajukan metode proyek, dimana anak-
anak dirangsang untuk melakukan kegiatan karena
dihadapkan pada masalah-masalah. Ia juga mengatakan
bahwa aktivitas seseorang penting sekali untuk
memperoleh pengalaman.
7. Kershensteiner : Pencipta sekolah kerja. Dalam rangka
membentuk warga Negara yang susila, menurutnya setiap
anak harus mempelajari suatu pekerjaan sebagai
sumbangannya kepada kepentingan masyarakat. Namun ia
juga menekankan bahwa dalam melakukan kegiatan
senantiasa dihubungkan dengan pelajaran teoretis.
8. Dr. Maria Monstessori: Hakikatnya semua pendidikan
adalah pendidikan pribadi. Analoginya, tidak mungkin
seseorang (Misalkan: Seorang ayah) belajar naik sepeda
untuk orang lain (Misalkan: anaknya).
Adapun beberapa usaha yang dapat dilakukan pendidik
dalam rangka membangkitkan keaktifan jasmani adalah sebagai
berikut:
1. Menyelenggarakan aktivitas belajar bersifat keterampilan.
2. Mengadakan pekan olah raga dan seni, pameran, karya
wisata dan sebagainya.
44

Sedangkan, usaha-usaha yang dapat dilakukan pendidik


dalam rangka membangkitkan keaktifan rohani adalah sebagai
berikut:
1. Membimbing dan mendorong peserta didik melakukan
kegiatan diskusi.
2. Memberi tugas agar peserta didik memecahkan suatu
masalah, melakukan apersepsi, menganalisa, mengambil
keputusan, dan sebagainya.
3. Mengadakan berbagai penelitian dan percobaan,
menganalisa data, membuat kesimpulan, menyususn
laporan dan sebagainya.
c. Asas Apersepsi
Pada dasarnya kegiatan apersepsi merupakan bagaian
dari kegiatan pendahuluan yang menentukan sukses tidaknya
kegiatan inti. Hal ini dikarenakan proses belajar yang
merupakan kegiatan inti tidak dapat dipisahan antara peserta
didik dengan lingkungan pengalamannnya. Atas dasar itu,
pendidik sangat penting melakukan kegiatan apersepsi. Kegiatan
apersepsi dapat dilakukan dengan cara menghubungkan bahan
pelajaran dengan pengetahuan awal (pembelajaran sebelumnya,
pengalamannya) yang telah dimiliki peserta didik. Pengetahuan
awal peserta didik dapat diukur oleh pendidik melalui bentuk-
bentuk pertanyaan.
Adapun usaha-usaha yang dapat dilakukan pendidik
dalam melaksanakan azas apersepsi adalah sebagai berikut:
1. Sebelum melakukan pembelajaran, pendidik harus
menenmukan titik tolak sebagai batu loncatan unuk
menghubungkan bahan pelajaran dengan pengetahuan
awal yang dimiliki peserta didik.
2. Menerapkan pembelajaran induktif: mudah-sukar,
khusus-umum, konkreat-abstrak, contoh-dalil/hukum.
d. Asas Peragaan
45

Pada dasarnya azas peragaan menuntut seorang pendidik


agar menyediakan atau mewujudkan bahan ajar dalam bentuk
benda aslinya atau tiruannya, sehingga peserta didik dapat
mengamati secara jelas. Dengan demikian, pembelajaran tertuju
kepada hasil yang sebaik-baiknya.
Adapun beberapan peranan peragaan adalah sebagai
berikut:
1. Mendorong minat dan kegiatan belajar peserta didik
2. Membantu peserta didik yang tertinggal dalam
pembelajaran
3. Menghemat waktu belajar
4. Mengembangkan secara wajar perhatian, motivasi,
aktivitas belajar peserta didik.
Pada mulanya azas peragaan sudah banyak dikenal
orang, tetapi belum sampai pada pengamatan dunia sekitar. Ilmu
dan pengetahuan hanya dicari dari buku-buku, segala sesuatu
yang bertentangan dengan buku dianggap tidak benar.
Kemudian, sekitar tahun 1600 munculah aliran realisme. Suatu
aliran yang mengarahkan kepada dunia kenyataan. Artinya
pengetahuan diperoleh dari dunia realitas dengan penyelidikan
terhadap benda-benda itu sendiri. Dari sinilah terjadi peralihan
dari buku kepada alam yang nyata sebagai sumber pengetahuan.
Berikut ini adalah beberapa pandangan yang mendukung
azas peragaan, yaitu sebagai berikut;
1. Socrates : Prinsip peragaan dengan metode induksi, yaitu
membentuk prinsip-prinsip generalisasi berdasarkan hal
yang konkreat.
2. Aristoteles: Mengetengahkan teori berdasarkan proses
belajar pada pengamatan alat indra.
3. Thomas Aquino: Tidak ada sesuatu di dalam otak apa
yang lebih dahulu tidak ada ada di dalam alat indra.
46

4. M. Montessori: Menamakan alat indra sebagai gerbang


segala pengetahauan karena melalui indralah segala
macam pengetahuan yang dimiliki seseorang berupa
tanggapan, masuk kedalam jiwa orang itu. Atas dasar itu
banyak sekali metode belajar yang menggunakan alat
peraga untuk melatih indra anak-anak, dengan tujuan agar
pembelajaran mencapai hasil yang sebaik-baiknya.
Secara garis besar, peragaan dibedakan menjadi dua,
yaitu sebagai berikut:
1. Peragaan langsung, yaitu peragaan yang memperlihatkan
secara langsung benda asli dimuka kelas, mengadakan
praktik percobaan/penelitian, membawa peserta didik ke
laboratorium, pabrik-pabrik, proyek-proyek, museum,
kebun binatang dan sebagainya.
2. Peragaan tidak langsung, yaitu peragaan dengan
memperlihatkan benda-benda tiruannya berupa slide, film,
gambar, alat peraga dan sebagainya.
Adapun usaha pendidik dalam melaksanakan azas
peragaan dapat dilakukan dengan acara sebagai berikut:
1. Menggunakan alat peraga secara wajar dan tidak
berlebihan.
2. Meragakan pelajaran dengan perbuatan atau percobaan.
3. Membuat herbarium, runag eksposisi, bulltien board,
poster-poster.
4. Menyelenggarakan karyawisata
5. Mengadakan sandiwara, sosiodrama, pantomin, tablo dan
drama.
e. Asas Ulangan
Pada dasarnya azas ulangan ini bertujuan mengetahui
kemajuan atau hasil belajar peserta didik, baik dari segi
pengetahuan, keteramilan dan sikap. Azas pengulangan ini pada
dasarnya sangat penting dilakukan. Hal ini dikarenakan peserta
47

didik akan mudah lupa mengenai bahan ajar yang telah


dipelajari jika hanya dialami sekali saja, atas dasar itu perlu
diadakannya ulangan dengan tujuan mengulang bahan ajar agar
pengetahuan dapat bertahan lama dalam ingatan peserta didik.
Dengan demikian, pendidik perlu mengadakan ulangan secara
teratur.
Ulangan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Ulangan okasional, ulangan yang diberikan secara
kebetualan atau jika ada kesempatan.
2. Ulangan sistematis, ulangan yang diberikan secara teratur,
kontinu dan terrencana.
Azas ulangan ini sangat penting untuk mencapai hasil
proses pengajaran yang sebaik-baiknya jika dilakukan secara
tepat dan wajar, dengan beberapa alasan sebagai berikut:
1. Hasil ulangan dapat dijadikan pedoman bagi pendidik
untuk menilai dan mengontrol apakah bahan yang
diberikan sudah dikuasai oleh peserta didik atau belum.
Adapun usaha-usahan yang dapat dilakukan pendidik
dalam melaksanakan azas ulangan adalah sebagai berikut:
1. Mengadakan ulangan okasional berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan berikut ini:
a) Sebagian peserta didik mengalami kesukaran
sehingga tidak dapat mengerjakan tugas yang
diberikan.
b) Pelajaran sebelumnya belum dikuasi peserta didik
c) Bila memungkinkan ulangan dilakukan sebelum jam
pelajaran
2. Mengadakan ulangan sistematis diberikan pada waktu
setiap sebelum liburan, triwulan, semesteran.
f. Asas Korelasi
Pada dasarnya azas korelasi menuntut pendidik
menyajikan bahan pelajaran yang saling berhubungan antara
48

mata pelajaran yang satu dengan mata pelajaran yang lainnya,


atau mata pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Sehingga
proses mengajar bermakna bagi peserta didik. Dengan demikian
azas korelasi ini selain dapat meningkatkan minat peserta didik
juga dapat memperluas pengetahuan peserta didik dalam
kehidupan sehari-hari.
Adapun usaha yang dapat dilakukan pendidik dalam
melaksanakan azas korelasi adalah dengan mengaitkan bahan
ajar dengan kehidupan sehari-hari. Sehingga, dalam
memahaminya peserta didik tidak hanya mempelajari satu mata
pelajaran, melainkan beberapa mata pelajaran. Hal ini
dikarenakan didalam kehidupan sehari-hari terdapat beberapa
mata pelajaran yang diaplikasikan. Sebagai contohnya kegiatan
jual beli di pasar yang melibatkan mata pelajaran IPS,
Matematika, Pendidikan Kewarganegaraan, dan masih banyak
lagi.
g. Asas Konsentrasi
Pada dasarnya azas konsentrasi menuntut seorang
pendidik agar dapat membuat fokus/topik dari bahan ajar yang
dapat menarik minat, sesuai kebutuhan dan pengalaman peserta
didik. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar peseta didik terlibat
aktif didalam proses pembelajaran dan menemukan arti/makna
dan nilai yang dapat diplikasikan di dalam kehidupannya.
Adapun usaha-usaha yang dapat dilakukan pendidik
dalam melaksanakan azas konsentrasi adalah sebagai berikut:
1. Setiap bahan pelajaran diusakan mengandung suatu
masalah yang menarik perhatian peserta didik dan
merangsang mereka untuk bersedia melakukan
penyelidikan serta menemukan cara penyelesaian
masalahnya.
49

2. Menghubungan bahan pelajaran dengan masalah yang


dapat dikerjakan oleh peserta didik (memperhatkan
tahapan perkembangannya).
3. Menghubungkan bahan pelajaran dengan bidang kegiatan
tertentu dalam kehidupan sehari-hari.
h. Asas Individualitas
Pada dasarnya azas individualitas menekankan bahwa
peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lainnya tidak
mungkin sama, setiap peserta didik memiliki bakat, minat, cita-
cita, latar belakang kehidupan yang berbeda-beda dan masih
banyak lagi yang membedakannya. Sebagaimana hakikat
manusia itu sendiri yang berdimensi individualital. Waini
Rasyidin, dkk (2013, hlm.12) menyatakan bahwa manusia
berdimensi individualitas mengandung makna bahwa pada
dasarnya manusia bersifat unik, berbeda satu dengan yang
lainnya dan merupakan subjek yang otonom, ia memiliki
kebebasan untuk menentukan pilihannya dan bertanggung jawab
untuk setiap pilihan yang diambilnya.
Dengan demikian, penyajian bahan ajar yang sama,
kecepatan mengajar yang sama, cara mengajarkan dan cara
menilai yang sama tentunya menyalahi hakikat manusia sebagai
mahluk yang berdimensi individualitas.
Berikut ini adalah beberapa cara yang dapat dilakukan
untuk memenuhi prinsif-prinsif individualitas, yaitu sebagai
berikut:
1. Pengajaran individual, dimana peserta didik diberikan
tugas untuk diselesaikan berdasarkan kecepatan belajarnya
masing-masih, pembelajaran dengan tugas self instructure,
self corrective.
2. Tugas tambahan, pada dasarnya tugas tambahan ini
diberikan kepada peserta didik yang memiliki IQ tinggi,
sehingga pembelajaran akan tetap kondusif.
50

3. Pengajaran proyek, dalam pengajaran proyek ini setiap


peserta didik dikelompokan dalam rangka menyelesaikan
proyek. Setiap peserta didik dapat berkontribusi di dalam
kelompoknya berdasarkan kemampuan yang dimilikinya.
Dengan demikian, setiap peserta didik bekerja sama
dengan sesamanya dalam menyelesaikan proyek.
4. Pengelompokan menurut kepandaian, disini peserta didik
dikelompokan kedalam kriteria pandai, sedang dan
kurang. Selanjutnya pendidik memberikan bahan ajar dan
cara mengajar yang berbeda.
Berikut ini adalah pandangan beberapa ahli yang
menekankan akan pentingnya prinsif individualitas, adapun ahli-
ahli tersebut adalah sebagai berikut:
1. J.J. Rousseau : Mengemukakan prinsif kebebasan dan
meneyesuaikan pendididikan dengan masa-masa
perkembangan anak.
2. J. Dewey : Denga metode proyeknya yang menyesuaikan
pelajaran terhadap individualitas anak serta insting-insting
pada anak.
3. M. Montessori : Setiap anak mempunyai daya-daya untuk
berkembang sendiri, didorong oleh kebutuhan sendiri.
4. Miss Helen Parkhurst: Dengan teori Dalton-plannya
memberi kesempatan kepada anak-anak untuk
berkembang menurut kecepatan masing-masing dengan
tugas-tugas.
5. Ki Hajar Dewantara : Terkenal dengan anjurannya Tutwiri
Handayani yang berarti menghargai prinsip individualitas.
Adapun usaha-usaha yang dapat dilakukan pendidik
dalam melaksanakan azas individualitas, adalah sebagai berikut:
1. Mempelajari pribadi masing-masing peserta didik.
2. Memberikan tugas berdasarkan kemampuan peserta didik.
51

3. Memberikan tugas yang memberikan kemungkinan


kepada peserta didik untuk memilih macam-macam
kegiatan dan pengalaman bagi setiap peserta didik.
4. Memberikan tugas-tugas individual kepada beberapa
peserta didik dalam sebuah kelompok.
i. Asas Sosialisasi
Pada dasarnya, sekolah bertujuan mempersiapkan
peserta didik agar dapat terjun ke dalam lingkungan masyarakat.
Dengan demikian, sekolah harus senantiasa sesuai dengan
keadaan masyarakat, masyarakat menjadi laboratorium bagi
sekolah yang dapat memperkaya bahan ajar. Persoalannya,
ketika peserta didik menjadi anggota masyarakat, ia tidak
mungkin dapat hidup sendiri tanpa bantuan sesamnya. Dengan
demikian, sekolah tidak hanya memperhatikan azas
individualitas, melainkan sekolah juga perlu memperhatikan
azas sosialisasi. Atas dasar itu, pendidik harus mampu
menciptakan situasi sosial yang dapat membangkitkan semangat
kerja sama diantara peserta didik dalam menerima pelajaran agar
berdaya guna dan berhasil guna.
Adapun cara yang dapat dilakukan pendidik dalam
menggunakan sumber-sumber di dalam masyarakat untuk
kepentingan pelajaran dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
1. Membawa peserta didik ke dalam lingkungan masyarakat
untuk kepentingan pelajaran dalam bentuk karyawisata,
survey, pengabdian kepada masyarakat, perkemahan,
wawancara dan sebagainya.
2. Membawa masayarakat ke dalam kelas. Misalkan
mendatangkan tokoh-tokoh masyarakat, pegawai kantor,
pemimpin pabrik, usahawan, sarjana , orang asing, petani
dan sebagainya, untuk memberikan uraian mengenai suatu
52

masalah yang erat hubungannya dengan pelajaran yang


diberikan.
3. Membawa benda-benda, contoh-contoh, koleksi dan
sebagainya ke dalam kelas berupa hasil industry dan
pertanian, benda-benda alam atau koleksi berbagai jenis
binatang yang tidak berbahaya.
Adapun usaha-usaha yang dapat dilakukan pendidik
dalam melaksanakan azas sosialisasi adalah sebagai berikut:
1. Memberikan pelajaran berupa tugas kelompok.
2. Menyelenggarakan diskusi panel dalam rangka membahas
permaslaahan bahan ajar untuk mencari penyelesaiannya.
3. Mengadakan kegiatan sosialseperti pengabdian sosial,
pameran sekolah, karyawisata, dan sebagainya.
j. Asas Evaluasi
Asas evaluasi merupakan suatu alat yang digunakan
untuk mengukur dan menilai sejauh mana tujuan
pengajaran telah tercapai, baik dari sudut pandang peserta
didik maupun pendidik. Hasil evaluasi ini digunakan untuk
mengetahui sejauh mana kemampuan peserta didik,
sehingga pendidik mudah memberikan arahan dalam
memilih jurusan yang sesuai.
Adapun dalam pelaksanaannya evaluasi meliputi dua
aspek, yaitu sebagai berikut:
1. Aspek mengajar bagi pendidik, evalusi dapat dijadikan
umpan balik bagi pendidik dalam rangka memperbaiki
proses belajar mengajar dan memperbaiki program peserta
didik agar mencapai proses belajar yang lebih baik.
2. Aspek belajar bagi peserta didik, evaluasi dapat
memberikan nilai kemajuan/ hasil belajar peserta didik
untuk bahan pemberian laporan kepada orang tua,
pertimbnagan kenaiakan kelas, atau lulus tidaknya peserta
didik. Selain itu, peserta didik dapat mengukur
53

kemampuannya sendiri, kekurangannya, dan


kekeliruannya. Sehingga ia dapat memperbaiki prestasi
belajarnya dengan bantuan dan bimbingan dari pendidik.
Pada umumnya, alat evaluasi disekolah dibagi ke dalam
dua golongan, yaitu sebagai berikut:
1. Tes, merupakan alat evaluasi yang digunakan untuk
mengukur kemampuan peserta didik dalam aspek
pengetahuan dan keterampilan.
2. Non-test, merupakan alat evaluasi yang digunakan untuk
mengukur kemampuan peserta didik dalam aspek sikap.
Adapun usaha-usaha yang dapat dilakukan pendidik
dalam melaksanakan azas evaluasi adalah sebagai berikut:
1. Pendidik mengevaluasi hasil pekerjaan peserta didik
2. Pendidik mengevaluasi proses belajar peserta didik
3. Pendidik dituntut mengenal pribadi-pribadi setiap peserta
didik
2.2.5 Evaluasi Pendidikan
2.2.5.1 Evaluasi: Pengukuran, Penilaian
Redja Mudyhardjo (2012, hlm. 107) mengemukakan
bahwa “Evaluasi pendidikan: Studi tentang cara-cara,
prosedur-prosedur, tehnik-tehnik, melakukan pengukuran
(measurement) dan pengembangan (judgement) dalam
pendidikan”.
Berdasarkan hemat tersebut, penulis memaknai
evaluasi meliputi kegiatan mengukur dan menilai. Suharsimi
Arikunto (2009, hlm. 3) mengemukakan bahwa “Mengukur
adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran.
Pengukuran bersifat kuantitatif”. Selanjutnya, Suharsimi
Arikunto (2009, hlm. 3) mengemukakan bahwa “Menilai
adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan
ukuran baik buruk. Penilaian bersifat kualitatif”. Dengan
54

demikian, penilaian tidak dapat dilakukan sebelum pengukuran


dilakukan terlebih dahulu.
Ralph Tyler (dalam Suharsimi Arikunto, 2009, hlm. 3)
mengemukakan bahwa “Evaluasi merupakan sebuah proses
pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal
apa, dan bagaimana tujuan pendidikan sudah tercapai”.
Selanjutnya Cronbach dan Stufflebeam (dalam Suharsimi
Arikunto, 2009, hlm. 3) memberikan definisi yang lebih luas,
dimana ia mengatakan bahwa “Proses evaluasi bukan sekedar
mengukur sejauh mana tujuan tercapai, tetapi digunakan unutk
membuat keputusan”.
Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa
evaluasi merupakan kegiatan mengukur dan menilai sejauh
mana tujuan pendidikan sudah tercapai, dimana hasil evaluasi
tesebut digunahasilkan sebagai bahan untuk membuat
keputusan.
2.2.5.2 Ruang Lingkup Evaluasi Pendidikan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 57 ayat 1
menyatakan bahwa evaluasi dilakukan dalam rangka
mengendalikan mutu pendidikan secara nasional sebagai
bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan.
Dalam rangka mengendalikan mutu pendidikan, maka
muncul sebuah pertanyaan, yaitu “Siapa yang dievaluasi?”.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 57 ayat 2
menyatakan bahwa evaluasi dilakukan terhadap peserta didik,
lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan
nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan.
55

Selanjutnya, Sukardi (2011, hlm. 5) mengungkapkan


bahwa evaluasi pendidikan pada prinsipnya dapat
dikelompokan ke dalam tiga cakupan, yaitu sebagai berikut:
a. Evaluasi pembelajaran
Pada dasarnya evaluasi pembelajaran dilakukan
pada peserta didik. Adapun ruang lingkup evaluasi
pembelajaran menurut Uyu Wahyudin, dkk (2006, hlm.
29-31) adalah sebagai berikut:
1. Ranah Kognitif
Pada dasarnya pada ranah ini meliputi
kemampuan-kemampuan intelektual siswa. Secara
hierarki, berdasarkan taksonomi Bloom yang telah
direvisi oleh Lorin Anderson menyatakan bahwa
ranah kognitif terdapat enam tahapan, yaitu
mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis,
mengevaluasi, dan berkreasi.
2. Ranah Afektif
Pada dasarnya secara hierarki berdasarkan
taksonomi Bloom ranah ini meliputi kemampuan-
kemampuan menerima, merespons, memberikan
nilai, mengorganisasikan dan karakterisasi.
3. Ranah Psikomotor
Pada dasarnya ranah ini merujuk pada segi
keterampilan atau kemahiran meragakan suatu
kegiatan atau memperlihatkan suatu tindakan.
Perilaku ini lebih merupakan keterampilan fisik.
Aspek-aspek perilaku ini mencangkup tahapan
menirukan, memanipulasi, aktualisasi dan
maturalisasi.
b. Evaluasi program
Pada dasarnya evaluasi program dilakukan pada
lembaga pendidikan. Adapun yang menjadi ruang lingkup
56

evaluasi program berkaitan dengan delapan standar


pendidikan yang terdiri dari standar kompetensi
kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar
pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan
prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan
pendidikan dan standar penilaian pendidikan.
c. Evaluasi sistem
Pada dasarnya evaluasi sistem mencangkup
evaluasi diri, evaluasi internal, evaluasi eksternal dan
evaluasi kelembagaan untuk mencapai tujuan tertentu
suatu lembaga.
2.2.5.3 Rumpun Model Evaluasi
a. Model Tyler
Sukardi (2011, hlm. 56-57) mengungkapkan bahwa
model Tyler merupakan sebuah model evaluasi yang
pertama dan terpopuler dalam bidang pendidikan. Pada
dasarnya model evaluasi ini merupakan suatu model yang
menekankan pada evaluasi secara langsung yang
didasarkan kepada tujuan instruksional yang telah
ditetapkan dalam perencanaan pembelajaran. Menurut
model ini proses pembelajaran dikatakan berhasil apabila
siswa yang mengikuti proses pembelajaran dapat
mencapai tujuan instruksional. Selain itu, model ini juga
menekankan bahwa tujuan di ukur sebanyak dua kali,
yaitu sebelum dan sesudah perlakuan (treatment) dicapai.
b. Model evaluasi sumatif dan formatif
Sukardi (2011, hlm. 57-58) mengungkapkan bahwa
model evaluasi sumatif yang dilakukan evaluator
bertujuan mengetahui efek atau hasil pembelajaran yang
telah dilakuaknan. Dimana evaluasi ini dilakukan setelah
siswa mengikuti proses pembelajaran dengan waktu
tertentu, misalkan pada akhir proses pembelajaran (tujuan
57

instruksional dalam satu kali pertemuan), dan akhir


semester. Sedangkan, evaluasi formatif yang dilakukan
evaluator bertujuan untuk memperbaiki proses
pembelajaran maupun starategi pengajaran yang
dilakauakn Diaman evalausi ini dilakukan secara periodic
melalui blok atau unit-unit dalam proses belajar mengajar.
Maksudnya bahwa evalausi ini dilakukan pada awal,
tengah dan di akhir dari proses pembelajaran.
c. Penilaian Acuan Normatif (PAN) dan Penilaian Acuan
Patokan (PAP)
Sukardi (2011, hlm. 58-60) mengungkapkan bahwa
PAN merupakan pendekatan klasik, hal ini dikarenakan
pencapaian hasil pencapaian siswa dibandingkan dengan
pencapaian hasil siswa yang lain yang mengikuti tes yang
sama pula. Dengan demikin, ealuasi ini merupakan
evaluasi dengan belajar kompetitif. Sedangkan PAP yang
disebut juga sebagai criterion evaluation menetapkan hasil
pencapaian siswa dikomparasikan dengan krteria yang
telah ditentukan lebih dahulu dalam tujuan instruksional,
bukan dengan pencapaian hasil siswa yang lain.
d. Model Stake/Countenance
Sukardi (2011, hlm. 60) mengungkapkan bahwa
pada dasarya model ini merupakan model yang masih
berorientasi pada tujuan. Model ini memiliki dua
kelengkapan utama yang tercangkup dalam data matrik
yaitu matrik deskripsi dan matrik keputusan. Setiap matrik
dibagi menjadi dua kolom yaitu kolom tujuan dan kolom
pengamatan. Pada kolom ini mencangkup deskripsi matrik
dan deskripsi standar, sedangkan pada deskripsi keputusan
berisi matrik pertimbangan. Kedua matri dibagi menjadi
tiga baris yang berisi secara vertikal atau atas ke bawah,
disebut sebagai bagris awal (antecendent), transaksi
58

(transaction) dan hasil (outcome). Selanjutnya, yang


dimaksud standar dalam model ini adalah benchmarketing
of performance having widespred reference value atau
patok duga penampilan yang menjadi dasar nilai acuan.
Ada dua macam standarr yang dapat dugunakan pada
model ini yaitu standar absolut dan standar relative.
Standar absolut merupakan standar yang menggambarkan
satu kesauan ide spesifik yang diatur oleh kelomok
berwenang tertentu. Standar relative meruakan standar
perbandingan yang melibatkan para pesaiang, misalnya
kurikulum lain yang diarahkan pada objek yang sama.
e. Model bebas tujuan
Sukardi (2011, hlm. 61) mengungkapkan bahwa
model bebas tujuan ini merupakan model yang
diperkenalakan oleh Scieven pada tahun 1972. Menurut
model ini evalausi dapat dilakukan tanpa mengetahui
tujuannya. Untuk melakukan evaluasi ini seorang
evaluator memerlukan dua imte informasi yaitu penilian
tentang pengaruh nyata dan penilaian tentang profil
kebutuhan yang hendak di nilai. Dengan demikian, jika
suatu produk memiliki pengaruh yang dapat ditunjukan
secara nyata dan resfonsip terhadap suatu kebutuhan, ini
berarti bahwa suatu produk yang direncanakan berguna
dan secara positif perlu dikembangkan, begitupun
sebaliknya. Selain itu, model ini memungkinkan pengaruh
tidak saja yang direncanakan tetapi juga dapat
diperhatikan pengaruh sampingan lain yang muncul dari
suatu produk.
f. Model CIIP (context input process product)
Sukardi (2011, hlm. 62) menggungkapkan bahwa
model ini merupakan hasil kerja para tim peneliti, yang
tergabung dalam suatu organisasi komite Phi Delta Kappa
59

USA yang ketika itu diketuai oleh Daniel Stuffle-Beam.


Model ini merupakan model yang tidak terlalu
menekankan pada tujuan suatu program. Melainkan
sebuah model yang bertujuan untuk melengkapi dasar
pembuatan keputuasan dalam evaluasi sistem dengan
analisis yang berorientasi pada perubahan terencana.
g. Model Ahli
Sukardi (2011, hlm. 64) mengungkapkan bahwa
model ini diajukan oleh Esner pada tahun 1975.
Menurutnya, model ini memiliki dua karakteristik penting,
pertama model ini merupakan model yang menggunakan
manusia sebagai instrument, kedua model ini diturunkan
dari model metaphoric atau perumpamaan dan
menggunakan kiasaan kritik artistic untuk menghasilkan
konsep-konsep dasar evaluasi.
Model ini pada dasarnya menggunakan
pengumpulan data, analisis, penafsiran atau interpretasi
data yang langsung di dalam pikiran si pembuat
keputusan. Formulasi Esner berawal dari dua konsep
kembar, yaitu konsep ahli penddikan dan konsep kriti
pendidikan. Keuda konsep kembar tersebut merupakan
batasan yang dipinjam dari domain kritik artis yang
menyamakan praktik pendidikan dengan kerja sama
seniman.
2.2.5.4 Prinsif Evaluasi
Daryanto (2014, hlm. 19-21) menyatakan bahwa
terdapat beberapa prinsif evaluasi diantaranya sebagai berikut:
a. Keterpaduan, maksudnya bahwa perlu adanya keterpaduan
diantara tujuan instruksional, materi, metode pembelajaran
serta evaluasi. Dengan demikian, meskipun evaluasi
dilakukan diakhir namun perencanaanya harus sudah
ditetapkan pada waktu penyususnan satuan pengajaran.
60

b. Keterlibatan Peserta Didik, Pada dasarnya peserta didik


terlibat aktif di dalam proses belajar-mengajar. Atas dasar
itu, evaluasi menjadi suatu kebutuhan bagi peserta didik.
Hal ini dikarenakan peserta didik akan merasa kecewa
apabila mereka tidak mendapatkan informasi mengenai
kemajuannya dalam proses belajar-mengajar.
c. Koherensi, maksudnya bahwa evaluasi yang dilakukan
harus sesuai dengan materi pengajaran yang telah dilakukan
dan sesuai dengan ranah kemampuan yang hendak di ukur.
d. Pedagogis, maksudnya bahwa evaluasi selain sebagai alat
penilaian juga sangat perlu diterapkan sebagai suatu usaha
melakukan perbaikan baik dalam aspek sikap maupun
tingkah laku. Alangkah lebih baik jika hasil evaluasi yang
menunjukan adanya kemajuan hendaknya dirasakan sebagai
suatu bentuk hadiah, dan hasil evaluasi yang
mengecewakan hendaknya dirasakan sebagai suatu bentuk
hukuman. Dengan demikian, peserta didik melakukan suatu
usaha perbaikan jika hasil evaluasinya mengecewakan; dan
peseta didik yang telah mendapatkan hasil evaluasi yang
memuaskan akan senantias mempertahankan.
e. Akuntabilitas, maksudnya bahwa evaluasi merupakan suatu
bentuk pertanggung jawaban dalam rangka menyampaikan
keberhasilan program pengajaran kepada pihak-pihak yang
berkepentingan, seperti orang tua, lembaga pendidikan dan
sebagainya.
2.2.5.5 Tujuan Evaluasi
Suharsimi Arikunto (2009, hlm 10-11) menyatakan
bahwa tujuan atau fungsi dari penialain adalah sebagai berikut:
a. Penilaian berfungsi selektif, maksudnya bahwa dengan
adanya penilaian pendidik dapat melakukan seleksi kepada
peserta didik. Misalnya pendidik dapat menyeleksi mana
61

peserta didik yang berhak naik kelas dan mana peserta


didik yang harus tetap tinggal di kelas.
b. Penilaian berfungsi diagnostik, maksudnya bahwa dengan
adanya penilaian pendidik dapat melakukan diagnosis
terhadap peserta didik. Sehingga, pendidik mengetahui apa
yang mejadi kelemahan dan kelebihan setiap peserta
didiknya. Tentunya, dengan diketahuinya kelemahan-
kelamahan peserta didik, pendidik dapat mencari cara
untuk mengatasinya.
c. Penilaian berfungsi sebagai penempatan, maksudnya
bahwa dengan adanya penilaian pendidik dapat
menempatkan peserta didik dalam suatu kelompok
berdasarkan pencapaian hasil belajarnya.
d. Penilaian berfungsi sebagai pengukuran keberhasilan,
maksudnya bahwa dengan diadakan penilaian pendidik
dapat mengetahui sejauh mana suatu program telah
diterapkan
2.2.5.6 Manfaat Evaluasi
Suharsimi Arikunto (2009, hlm. 6-7) menyatakan
bahwa terdapat beberapa manfaat evaluasi jika ditinjau dari
berbagai segi, diantaranya sebagai berikut:
a. Bagi peserta didik, dengan diadakannya penilaian peserta
didik dapat mengetahui sejauh keberhasilannya dalam
mengikuti pelajaran disekolah. Ada dua kemungkinan
yang dapat diperoleh peserta didik, yaitu:
1. Memuaskan, ketika peserta didik mendapatkan hasil
yang memuaskan memungkinkan adanya peserta
didik yang termotivasi agar mendapatkan hasil yang
memuaskan kembali, dan memungkinkan adanya
peserta didik yang merasa puas dengan hasil yang
didapat sehingga ia tidak gigih lagi dalam proses
pembelajaran.
62

2. Tidak memuaskan, ketika peserta didik


mendapatkan hasil yang tidak memuaskan ia kan
berusaha agar hal tersebut tidak terulang kembali.
Namun, tidak menutup kemungkinan adanya peserta
didik yang putus asa.
b. Bagi pendidik
1. Dengan diadakannya penilaian pendidik dapat
mengetahui peserta didik yang sudah memahami
bahan ajar dengan peserta didik yang belum
memahami bahan ajar. Sehingga pendidik dapat
memfokuskan perhatiannya kepada peserta didik
yang belum memahami bahan ajar.
2. Dengan diadakan penilaian pendidik dapat
mengetahui apakah bahan ajar sudah sesuai atau
belum dengan peserta didik.
3. Dengan didadakannya penilaian pendidik dapat
mengetahui apakah metode yang digunakan sudah
tepat atau belum bagi peserta didik.
c. Bagi sekolah
 Ketika seorang pendidik melakukan penilaian, maka
akan diketahui bagaimana hasil belajar peserta
didiknya. Dengan demikian, dapat diketahui pula
apakah kondisi belajar disekolah sudah sesuai
harapan atau belum.
 Informasi dari pendidik mengenai tepat tidaknya
kurikulum yang di gunakan di sekolah dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi
perencanaan sekolah dimasa yang akan datang.
 Informasi penilaian dari pendidik dari tahun ke
tahaun, dapat digunakan sebagai pedoman bagi
sekolah untuk mengetahui apakah sekolah sudah
memenuhi standar atau belum.
63

2.2.5.7 Instrumen Evaluasi


Pada dasarnya alat evaluasi harus mampu mengevaluasi
sesuatu yang dievaluasinya. Suharsimi Arikunto (2009, hlm
26-41) menyatakan bahwa pada dasarnya seorang evaluator
menggunakan alat evaluasi dengan menggunakan tehnik.
Adapun tehnik evaluasi itu sendiri dianataranya adalah sebagai
berikut:
a. Tehnik Nontes
1. Skala bertingkat (rating scale)
2. Kuisioner (questionair)
3. Daftar cocok (check list)
4. Wawancara (interview)
5. Pengamatan (observation)
6. Riwayat hidup
b. Tehnik Tes
1. Tes diagnostik
2. Tes formatif
3. Tes Sumatif
2.2.6 Riset Pendidikan
2.2.6.1 Pentingnya Riset dalam Bidang Pendidikan
Jhon Creswell (2015, hlm. 5) mengemukakan bahwa
“Penelitian adalah suatu proses dari langkah-langkah yang
digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi
untuk meningkatkan pemahaman Anda tentang suatu topik atau
isu”.
Mohamad Ali (2013,hlm. 5) mengemukakan bahwa pada
dasarnya penelitian merupakan upaya untuk memahami dan
menyelesaikan masalah secara ilmiah, yang berarti mendasarkan
diri pada fakta-fakta empiris hasil penyelidikan yang sifatnya
objektif. Atas dasar itu penelitian ilmiah dilakukan berdasarkan
prosedur yang sistematis, yang berarti sesuai dengan aturan
tertentu dan logis, yang berarti mendasarkan diri pada penalaran.
64

Redja Mudyahardjo (2012, hlm. 107-108) mengemukakan


bahawa “Riset pendidikan: studi tentang cara-cara, prosedur-
prosedur, tehnik-tehnik pengukuran rancangan penelitian,
pengumpulan dan pengolahan data, dan pelaporan hasil
penelitian”.
Mohamad Ali (2013, hlm.5-6) mengemukakan bahwa
penelitian dibidang pendidikan memfokuskan diri pada masalah-
masalah yang timbul dalam system pendidikan, baik yang
sifatnya formal, informal, maupun nonformal.
Dengan demikian, riset pendidikan dapat dimaknai sebagai
penelitian ilmiah, yang dilakukan dengan menempuh prosedur
yang sistematis dan logis dalam rangka memahami dan
memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam system
pendidikan.
Jhon Creswell (2015, hlm.6) mengemukakan bahwa penelitian
sangat penting dikarenakan tiga alasan, yaitu sebagai berikut:
a. Penelitian menambah pengetahuan kita (peneliti)
b. Penelitian memberbaiki praktik
c. Penelitian menginformasikan perdebatan kebijakan
2.2.6.2 Tujuan Riset Pendidikan
Mohamad Ali (2013, hlm. 12) mengungkapkan bahwa tujuan
dari penelitian kependidikan dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Untuk menentukan pengetahuan, teori, konsep, atau
dalil/generalisasi baru tentang pendidikan.
b. Untuk memperbaiki atau memodifikasi teori pendidikan
lama.
c. Untuk memperkokoh suatu teori atau generalisasi yang sudah
ada.
2.2.6.3 Manfaat Riset Pendidikan
Mohamad Ali (2013, hlm. 12) mengungkapkan bahwa
manfaat dari penelitian kependidikan adalah sebagai berikut:
65

a. Hasil penelitian dapat dijadikan peta yang menggambarkan


tentang keadaan pendidikan dan melukiskan tentang
kemampuan sumber daya, kemungkinan pengembangan serta
hambatan-hambatan yang dihadapi atau mungkin ditemukan
dalam penyelenggaraan pendidikan.
b. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai sarana untuk
mendiagnosis apa yang menjadi penyebab kegagalan serta
masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan,
sehingga dengan mudah dapat dicari upaya penyelesainnya.
c. Hasil penelitian dapat dijadikan sarana untuk menyusun
kebijakan atau policy dalam menyusun strategi
pengembangan pendidikan.
d. Hasil penelitian dapat melukiskan tentang kemampuan dalam
pembiyayaan, peralatan, perbekalan, serta tenanga kerja, baik
secara kulitas maupun kuantitas yang sangat berperan bagi
keberhasilan dalam bidang pendidikan.
2.2.6.4 Jenis-Jenis Riset Pendidikan
Mohamad Ali (2013, hlm. 6) mengemukakan bahwa
ditinjau dari segi tujuan umumnya, penelitian kependidikan dapat
digolongkan kedalam tiga jenis, yaitu sebagai berikut:
a. Penelitian eksploratif, penelitian yang bertujuan untuk
menemukan problem-problem baru di dalam dunia
pendidikan.
b. Penelitian pengembangan, penelitian yang bertujuan untuk
mengembangkan pengetahuan teori pendidikan yang sudah
ada.
c. Penelitian verifikasi, penelitian yang bertujuan untuk menguji
kebenaran suatu pengetahuan atau teori dalam bidang
pendidikan.
Mohamad Ali (2013, hlm. 6) mengemukakan bahwa
ditinjau dari segi kegunaannya, penelitian kependidikan dapat
digolongkan kedalam lima jenis, yaitu sebagai berikut:
66

a. Penelitian dasar (fundamental research), penelitian yang


dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan
baru, generalisasi baru, maupun teori baru.
b. Penelitian terapan (applied research), penelitian yang
dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki proses tertentu
atau memodifikasinya melalui penerapan teori-teori yang ada.
c. Penelitian tindakan (action research), penelitian yang
dilakukan dengan tujuan untuk mencari sesuatu dasar
pengetahuan praktis dalam rangka memperbaiki keadaan atau
siatuasi yang dilakukan secara terbatas.
d. Penelitian Evaluasi (evaluation research), penilitian yang
dilakukan dengan tujuan untuk melakukan penilaian terhadap
pelaksanaan suatu kegiatan yang dilakukan dalam rangka
memperoleh feedback yang akan dijadikan dasar untuk
memperbaiki suatu system.
e. Penelitian Assesmen (assessment research), penelitian yang
dilakukan dengan tujuan untuk menentukan perubahan atau
perbaikan perilaku indivindu setelah memperoleh treatment
tertentu, selama jangka waktu tertentu, dan menurut suatu
program tertentu.
2.2.6.5 Langkah-Langkah dalam Proses Penelitian
Jhon Creswell (2015, hlm. 14) menyatakan bahwa
terdapat beberapa langkah dalam proses penelitian pendidikan,
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Identifkasi permasalahan penelitian
b. Tinjauan pustaka
c. Penetapan masksud penelitian
d. Pengumpulan data
e. Analisis dan interpretasi data
f. Pelaporan dan evaluasi penelitian
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Implikasi Teori Khusus Pendidikan Preskriptif


3.1.1 Implikasi Teori Manajemen dalam Manajemen Pendidikan
a. Implikasi Teori Manajemen Klasik dalam Pendidikan
1. Manajemen Ilmiah
Pada dasarnya orientasi teori adalah efisiensi
manajemen, yang memperhatikan empat prinsip dasar.
Keempat prinsip dasar tersebut diantaranya, (1)
Pengembanagan metode ilmiah dalam manajemen agar
suatu perkerjaan dapat ditentukan metode pencapaian
tujuannya secara maksimal. (2) Seleksi ilmiah untuk
karyawan agar para karyawan dapat diberikan tugas dan
tanggung jawab sesuai keahliannya. (3) Pendidikan dan
pengembangan karyawaan. (4) Kerjasama yang harmonis
anatara manajemen dan karyawan, yang dapat dilakukan
dengan tehnik studi gerak dan waktu, pengawasan
fungsional, sistem tariff berbeda, yaitu karyawan yang
produktif dan efisien mendapat gaji lebih besar dari yang
lainnya.
Implikasinya dalam dunia pendidikan persekolahan,
yaitu agar adanya efisiensi manajemen ketenagaan
pendidikan maka di Indonesia berlaku peraturan-peraturan
sebagai berikut :
a) Adanya seleksi bagi calon pegawai negeri sipil (CPNS)
untuk guru.
b) Adanya Peraturan Mentri Pendidikan Nasioanl
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2007 tentang
Standar kepala Sekolah /Madrasah, yang menyatakan
bahwa kualifikasi akademik kepala sekolah adalah

67
68

sarjana (S1) atau D-IV kependidikan atau


nonkependidikan.
c) Adanya Peraturan Mentri Pendidikan Nasioanal
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang
Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru
yang menyatakan bahwa kualifikasi akademik guru
PAUD minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana
(S1), kualifikasi guru SD/MI adalah minimum
dimploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) dalam bidang
pendidikan PGSD/PGMI atau psikologi, kualifikasi
akademik guru SMP/MTs adalah minimum diploma
empat (D-IV) atau sarjana (S1) progam studi yang
sesuai dengan mata pelajaran yang diampu, kualifikasi
akademik guru SMA/MA minimum diploma empat (D-
IV) atau sarjana (S1) program studi yang sesuai dengan
dengan mata pelajaran yang diampu, kualifikasi
akademik guru SDLB/SMPLB/SMALB minimum
diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) program
pendidikan khusus atau yang sesuai dengan mata
pelajaran yang diampu, kualifikasi akademi guru
SMK.MAK minimum diploma empat (D-IV) atau
sarjana (S1) program studi yang sesuai dengan mata
pelajaran yang diampu.
d) Adanya Peraturan Mentri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Standar Tendaga Administratif Sekolah/madrasyah
yang menyatakan kepala tenaga administrasi
SD/MI/SDLB berpendidikan minimum lulusan SMK
atau yang sederajat dan memiliki pengalaman bekerja
yang relevan selama 4 tahun, kepala tenaga
administrasi SMP/MTs/SMLB berpendidikan
minimum lulusan SMK atau D3 atau yang sederajat dan
69

memiliki pengalaman bekerja yang relevan selama 4


tahun, kepala tenaga administrasi
SMA/MA/SMK/MAK/SMALB berpendidikan S1 dan
memiliki pengalaman bekerja yang relevan selama 4
tahun, pelaksana urusan administrasi kepegawaian
minimum lulusan SMK/MA/SMK/MAK, pelaksana
urusan administrasi keuangan berpendidikan minimum
lulusan SMK/MAK/SMA/MA, pelaksana urusan
administrasi sarana dan prasarana berpendidikan
minimum SMA/SMK/MAK, pelaksana urusan
administrasi hubungan sekolah dengan masyarakat
berpendidikan minimum lulusan
SMA/MA/SMK/MAK, pelaksana urusan administrasi
persuratan dan pengarsipan berpendidikan minimum
lulusan SMK/MAK, pelaksana urusan administrasi
kesiswaan berpendidikan minimum lulusan
SMA/MA/SMK/MAK, pelaksana urusan administrasi
kurikulum berpendidikan minimum lulusan
SMA/MA/SMK/MAK, pelaksana urusan administrasi
umum untuk SD/MI/SDLB berpendidikan minimum
SMK/MAK/SMA/MA, petugas layanan khusus penjega
sekolah/madrasah berpendidikan minimum lulusan
SMP/MTs atau yang sederajat, petugas layanan khusus
tukang kebun berpendidikan minimum lulusan
SMP/Mts atau yang sederajat, petugas layanan khusus
tenaga kebersihan berpendidikan minimum SMP/MTs
atau yang sederajat, petugas layanan khusus pengemudi
berpendidikan minimum SMP/MTs atau yang sederajat,
petugas layanan khusus pesuruh berpendidikan
minimum SMP/MTs atau yang sederajat.
70

e) Adanya Peraturan Mentri Pendidikan Nasioanl


Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 tentang
Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah Madrasah,yang
menyatakan kepala perpustakaan sekolah/madrasah
yang melalui jalur pendidik berkualifikasi serendah-
rendahnya D-IV atau S1. Sedangkan, kepala
perpustakaan sekolah/madrasah yang melalui jalur
tenaga kependidikan berkualifikasi D2 ilmu
perpustakaan dan informasi, berkualifikasi D2 non-
ilmu perpustakaan dan informasi dengan sertifikat
kompetensi pengelolaan perpustakaan
sekolah/madrasah.
f) Adanya Peraturan Mentri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008 tentang
Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi
Konselor, yang menyatakan kualifikasi akademik
konselor dalam satuan pendidikan pada jalur
pendidikan formal dan nonformal adalah sarjana
pendidikan (S1) dalam bidang bimbingan dan
konseling, dan berpendidikan profesi konselor.
g) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 40
ayat 1 b poin yang menyatakan pendidik dan tenaga
kependidikan berhak memperoleh penghargaan sesuai
dengan tugas dan prestasi kerja, dan ayat 1 poin c yang
menyatakan pendidik dan tenaga kependidikan berhak
memperoleh pembinaan karier sesuai dengan tuntutan
pengembangan kualitas.
2. Organisasi Klasik
Pada dasarnya orientasi teori ini adalah keefektifan
manajemen yang berlandaskan 14 prinsif, yaitu pembagian
kerja, otoritas atau wewenang, disiplin, kesatuan perintah,
71

kesatuan arah, mengemudiankan kepentingan pribadi di


bawah kepentingan umum, balas jasa atau imbalan,
sentralisasi, hierarki, tertib, keadilan, stabilitas staf
organisasi, intensiatif dan semangat korps.
Implikasinya dalam dunia pendidikan persekolahan,
yaitu agar adanya efektivitas manajemen ketenagaan
pendidikan di Indonesia berlaku peraturan-peraturan
sebagai berikut:
a) Adanya Peraturan Mentri Pendidikan dan
kebudayaan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2019 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
b) Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 Tentang
Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah pasal 15
ayat 1 yang menyatakan bahwa tugas pokok kepala
sekolah adalah manajerial, pengembangan
kewirausahaan, dan supervisi kepada guru dan
tenaga kependidikan.
c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 39 ayat 1 yang menyatakan tenaga
kependidikan bertugas melaksanakan administrasi,
pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan
pelayanan teknis untuk menunjang proses
pendidikan pada satuan pendidikan. Ayat 2
menyatakan pendidik merupakan tenaga
professional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pemimbingan dan
pelatihan, serta melakukan penelitian dan
72

pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi


pendidik pada perguruan tinggi.
d) Adanya Undang-undang Republik Indoneisa Nomor
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
e) Adanya kode etik guru.
b. Implikasi Teori Manajemen Neo-Klasik dalam Pendidikan
Kemunculan teori ini dikarnakan adanya kelemahan dari
teori kalasik, dimana meneurut teori ini manajemen akan
mendapatkan manfaat yang lebih besar apa bila memperhatikan
hubungan antar manusianya, dibandingkan terfokus kepada
struktur. Teori ini pada dasarnya memandang bahwa pekerja
yang menerima perhatian khusus akan bekerja lebih baik hanya
karena mereka menerima perhatian tersebut.
Implikasinya dalam dunia pendidikan persekolahan adalah
dalam pelaksanaan manajemnnya menaruh perhatian tentang
bagaimana membangun hubungan yang baik diantara
manusianya, baik secara vertikal inter (kepala sekolah, guru,
murid), vertikal ekstren (sekolah dengan dinas pendidikan),
horizontal intern (guru, staf tata usaha, dan murid), dan
horizontal ekstern (sekolah dengan masyarakat, sekolah dengan
orang tua murid, sekolah dengan instansi pemerintah daerah).
c. Implikasi Teori Manajemen Modern dalam Pendidikan
Teori ini memandang bahwa organisasi sebagai sebuah
sistem. Dengan demikian, ada hubungan antar setiap komponen
organisasi baik struktur maupun manusianya. Berdasarkn teori
ini ketercapain tujuan tidak bisa ditentukan oleh strukturnya saja
atau faktor hubungan manusianya. Melainkan ada hubungan
timbal balik diantara keduanya. Implikasinya bagi dunia
pendidikan persekolah manajemen dilakukan dengan
memperhatikan struktur dan hubungan manusianya.
73

3.1.2 Implikasi Pendekatan Kurikulum dalam Pengembangan Kurikulum di


Indonesia serta Analisis Scope dan Sequence dalam Pembinaan
Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah
Adapun implikasi pendekatan kurikulum dalam
pengembangan kurikulum di Indonesia adalah sebagai berikut:.
a. Pendekatan pola subject matter curriculum, pada dasarnya
pengembangan kurikulum yang menggunakan pendekatan ini
adalah kurikulum KTSP dimana mata pelajaran bersifat parsial.
b. Pendekatan dengan pola correlated curriculum, pada dasarnya
pengembangan kurikulum yang menggunakan pendekatan ini
terdapat pada jenjang SD kelas tinggi dan SMP, dimana mata
pelajaran IPA sudah mencangkup fisika, kimia dan biologi, mata
pelajaran IPS sudah mencangkup mata pelajaran sejarah,
geografi dsb,
c. Pendekatan dengan pola integrated curriculum, pada dasrnya
pengembangan kurikulum yang menggunakan pendekatan ini
adalah kurukulum 2013 dimana setiap mata pelajaran didesain
dengan meniadakan batas-batas tertentu dari masing-masing
bahan ajar. Pada jenjang SD, pengintegrasian ini dikemas
melalui tema, dan subtema.
d. Pendekatan konstruktivisme konservatif, pada dasarnya
pengembangan kurikulum yang menggunakan pendekatan ini
adalah kurkulum pendidikan karakter. Adanya kurikulum
pendidikan karakter dilatarbelkangi karena adanya dekadensi
moral dalam masarakat kita. Atas dasar itu, untuk mengatasi
persoalan ini dibentuklah kurikulum pendidikan karakter.
e. Pendekatan konstruktivisme radikal, pada dasarnya dalam
perkembangan kurikulum di Indonesia belum ada yang
menggunakan pendekatan konstruktivisme radikal. Berdasarkan
analisis penulis perkembangan kurikulum di Indonesia pada
dasarnya berorientasi pada menyelesaian masalah yang dihadapi
oleh bangsa, bukan ingin merubah struktur sosial yang ada.
74

Namun, pada dasarnya telah ada pemikiran-pemikiran yang


mengarah kepada konstruktivisme radikal yaitu pemikiran
tentang adanya persoalan tentang dekadensi moral dapat diatasi
melalui diterapkannya sistem khilafah.
f. Pedekatan humanis, pada dasarnya pengembangan kurikulum
2013 menggunakan pendekatan humanis. Hal ini dikarenakan
kurikulum 2013 tidak hanya memperhatikan dimensi kognitif
dan psikomotor, melainkan memeperhatikan pula dimensi
afektif. Selain itu, kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang
berpusat pada peserta didik, dimana dalam pembelajaran siswa
yang aktif mengembangkan kemampuannya melalui kegiatan
5M, dan tugas guru sebagai fasilitator. Tugas guru sebagai
fasilitator dalam kurikulum 2013 tergambar melalui penggunaan
multimetod dan multimodal dalam rangka memfasilitasi
perbedaan gaya belajar siswa, minat belajar siswa, dsb.
g. Pendekatan akuntabilitas, pada dasarnya pengembangan
kurikulum senantiasa memperhatikan pendekatan akutabilitas
sebagai bentuk pertanggung jawaban kepada masyarakt sekitar.
Sebagai contoh kurikulum SMK bentuk pertanggung jawabnnya
dengan menghasilkan lulusan-lulusan yang siap kerja. Dengan
demikian, kurikulum SMK didesain sedemikian rupa agar setiap
siswa memiliki keterampilan yang diharapkan.
Selanjutnya, berdasarkan anilisis penulis scope kurikulum
pendidikan dasar dan menengah yang berlaku di Indonesia telah
tergambar secara jelas dalam Peraturan Mentri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan
Dasar dan Menengah. Sedangkan sequence kurikulum pendidikan
dasar dan menegah yang berlaku di Indonesia telah tergambar dengan
jelas dalam Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 37 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan
Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 24 Tahun 2016 tentang
Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Pelajaran Pada Kurikulum
75

2013 Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Pada


dasarnya sequence yang tertuang dalam peraturan tersebut
menerapkan pendekatan penyesuaian bahan ajar berdasarkan taraf
perkembangan anak.
3.1.3 Implikasi Model-Model Pembelajaran
3.1.3.1 Model pemprosesan informasi, memfokuskan diri pada
bagaimana siswa memproses dan menguasai informasi,
menyelesaikan masalah, dan membangun konsep. Dengan
demikian, teori ini menghendaki belajar dengan melandaskan
diri pada teori belajar kognitif Piaget. Sehingga, proses
belajar siswa berawal dari yang sifatnya kongkreat menuju
abstrak. Artinya, proses pembelajaran di desain dengan
memperhatikan tingkat perkembangan kognitif sisiwa.
3.1.3.2 Model pengajaran sosial, memfokuskan diri pada bagaiaman
individu (siswa) membangun hubungan dengan masyarakat
atau orang lain secara harmonis. Dengan demikian, model
pembelajaran ini menghendaki belajar dengan melandaskan
diri pada teori belajar Gestalt. Sehingga, dalam proses belajar
dikehendaki adanya penyajian bahan ajar secara keseluruhan
sebagai suatu bagian yang utuh sehingga mampu memberikan
makna.
3.1.3.3 Model pengajaran pribadi, memfokuskan diri pada
perkembangan diri individu, dan lebih banyak
memperhatikan kehidupan emosional siswa. Dengan
demikian, model pembelajaran ini menghendaki belajar
dengan melandaskan diri pada teori humanistic. Sehingga,
proses belajar dipandang sebagai suatu proses memanusiakan
manusia dengan segala potensi yang dimilikinya. Dimana
pencapaian dari proses belajar ialah aktualisasi diri,
pemahaman diri, serta realisasi orang yang belajar secara
optimal.
76

3.1.3.4 Model sistem perilaku, memfokuskan diri pada perubahan


tingkah lanku individu melalui pengontrolan dan penguatan
yang terus menerus terhadap perangsang. Dengan demikian,
model pembelajaran ini menghendaki belajar dengan
melandaskan diri pada teori behavioristik. Sehingga, dalam
proses belajar dikehendakai adanya conditioning melalui
adanya stimulus-respons-reinsforcement,
3.1.4 Implikasi Didaktik Metodik dalam Pembelajaran
Pada dasarnya implikasi didaktik metodik dalam pembelajaran
tergambar jelas dalam Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses
Pendidikan Dasar dan Menengah, khususnya dibagian lampiran.
Pada tahap perencanaan ada beberapa prinsip penyusunan RPP
yang perlu diperhatikan, yang jika kita analisis menerapkan asas-asas
didaktik metodik. Adapun prinsip-prinsif tersebut diantaranya adalah
sebagai berikut:
a. Perbedaan individual peserta didik antara lain kemampuan awal,
tingkat intelektual, bakat, potensi, minat, motivasi belajar,
kemampuan sosial, emosional, gaya belajar, kebutuhan khusus,
kecepatan belajar, latar belakang budaya, norma, nilan dan
lingkungan peserta didik. Pada dasarnya prinsip ini
mengindikasikan diterapkannya asas individualisasi.
b. Partisipasi aktif peserta didik. Pada dasarnya prinsip ini
mengindikasikan diterapkannya asas aktivitas.
c. Pengembangan budaya membaca dan menulis yang dirancang
untuk mengembangkan kegemaran membaca, pemahaman
beragam bacaan, dan berekspresi dalam berbagai bentuk. Pada
dasarnya prinsip ini mengindikasikan diterapkannya asas
aktivitas.
d. Pemberian umpan balik dan tindak lanjut RPP memuat rancangan
program pemberian umpan balik positif, penguatan, pengayaan,
77

dan remedial. Pada dasarnya prinsip ini mengindikasikan


diterapkannya asas evaluasi.
e. Penekanan pada keterkaitan dan keterpaduan anatara KD, materi
pelajaran, kegiatan pembelajaran, IPK, penilaian, dan sumber
belajar dalam suatu keutuhan pengalaman belajar. Pada dasarnya
prinsip ini mengindikasikan diterapkannya asas korelasi.
f. Mengakomodasi pembelajaran tematik-terpadu, keterpaduan
lintas pelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman budaya. Pada
dasarnya prinsip ini mengindikasikan diterapkannya asas
konsentrasi dan korelasi.
g. Penerapan teknologi informasi dan komunikasi secaraa
terintegrasi, sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi dan
kondisi. Pada dasarnya prinsip ini mengindikasikan diterapkannya
asas peragaan berbasis teknologi dan asas korelasi.
Namun, dalam Surat Edaran Nomor 14 Tahun 2019 tentang
Penyederhanan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, pada tahap
perencanaan atau penyususnan RPP dilakukan dengan
memperhatikan 3 prinsif, yaitu efektifitas, efisiensi dan berorientasi
kepada murid. Jika kita analisis, prinsif efektifitas mengindikasikan
diterapkannya asas peragaan, korelasi, ulangan, evaluasi, konsentrasi
dan sosialisasi. Hal ini dikarenakan asas-asas tersebut dapat
membantu efektifitas pembelajaran. Prinsif efisiensi mengindikasikan
diterapkannya asas motivasi, apersepsi, dan peragaan. Hal ini
dikarenakan asas-asas tersebut dapat membantu efisiensi
pembelajaran. Selanjutnya prinsif berorientasi kepada peserta didik
mengindikasikan diterapkannya asas aktivitas dimana dalam
pembelajaran siswa yang aktif membangun pengetahuannya melalui
kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi,
mengasosiasi, dan mengkomunikasikan; dan menerapkan asas
individual dimana pembelajaran memperhatikan perbedaa-perbedaan
diantara setiap peserta didik, dari mulai gaya, bakat, minat, kecepatan,
latar belakang, kebutuhan dsb.
78

Selanjutnya, tahap pelaksanaan pembelajaran pada bagian


pendahuluan pada dasarnya menerapkan asas motivasi dan apersepsi,
hal ini ditunjukan dengan adanya penyiapan siswa secara psikis dan
fisik untuk mengikuti proses pembelajaran; memberi motivasi belajar
siswa secara kontekstual sesuai manfaat dan aplikasi materi ajar dalam
kehiduapan sehari-hari, dengan memberikan contoh dan perbandingan
lokal, nasional dan internasional, serta disesuaikan dengan
karakteristik dan jenjang peserta didik; mangujukan pertanyaan-
pertanyyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi
yang akan dipelajari. Tehap pelaksanaan bagian kegiatan inti
merupakan implementasi dari asas aktivitas, peragaan, kolerasi,
konsentrasi, individual, sosial, ulangan. Terakhir, tahap pelaksanaan
bagian penutup merupakan implementasi asas evaluasi.
Uraian diatas merupakan implikasi asas-asas didaktik dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang berlaku umum bagi
semua matapelajaran.
3.1.5 Implikasi Model Evaluasi dalam Praktik Pendidikan
Dalam urain ini, tidak semua model-model evaluasi akan
dianalisis oleh penulis. Adapun model-model yang akan dianalisis
terdiri dari model Tyler, model sumatif dan formatif, model PAN dan
PAP, serta model Starke. Adapun hasil analisis penulis adalah sebagai
berikut:
a. Model Tyler, pada dasarnya model evaluasi Tyler ini biasa
digunakan pada lembaga nonformal seperti tempat kursus,
seperti tempat kursus bahasa asing. Setiap siswa yang mendaftar
biasanya melakukan pretes untuk menegtahui kemampuan
awalnya, selanjutnya mendapatkan treatmen. Setelah pemberian
treatment selesai siswa akan dihadapkan pada posttest untuk
mengetahuai perkembanagan hasil belajarnya setelah
mendapatkan treatment.
b. Model Sumatif dan Formatif, pada dasarnya model ini biasa
digunakan pada lembaga pendidikan formal dalam
79

mengevaluasi hasil belajar siswa meliputi dimensi kognitif


afektif, dan psikomotor yang dilakukan baik oleh guru, satuan
pendidikan maupun pemerintah. Penilaian hasil belajar dimensi
kognitif yang dilakukan guru dapat dilakukan melalui ulangan,
baik itu ulangan harian, ulangan Bab, PTS dan PAS; Penilaian
hasil belajar dimensi afektif yang dilakukan guru dapat
dilakukan melalui jurnal guru dan penilaian teman sebaya;
Penilaian hasil belajar dimensi psikomotor yang dilakukan guru
dapat dilakukan melalui penilaian praktik, produk, proyek;
Penilaian hasil belajar yang dilakukan satuan pendidikan dapat
dilakukan melalui Ujian Sekolah. Sedangkan, penilaian hasil
belajar siswa oleh pemerintah dilakukan melalui Ujian Negara.
c. Model PAN, pada dasarnya evalausi ini digunakan dalam situasi
pembelajaran kompetitif. Misalakan pada saat pemilihan siswa
yang akan mewakili olimpiade pada suatu sekolah.
d. Model PAP, pada dasarnya evaluasi dengan menggunakan
model PAP merupakan model evaluasi yang banyak digunakan
pula di sekolah-sekolah saat ini. Dimana hasil capaian siswa
dikomparasikan dengan kriteria ketuntasan minimum (KKM)
untuk setiap mata pelajaran. Namun dalam penggunaan aplikasi
rapor, KKM untuk setiap mata pelajar tidak digunaakan, sebab
dalam aplikasi rapor yang digunakan adalah kriteria ketuntasan
minimum (KKM) sekolah yang berlaku untuk setiap mata
pelajaran.
e. Model Stake/Countennance, berdasarkan pengalam penulis
model evaluasi ini diterapkan pada jenjang Taman Kanak-
Kanak. Sebab, rapor Taman Kanak-Kanak penulisannya
disajikan dalam sebuah matrik. Namun, matrik yang digunakan
tidak sedetail yang diajukan oleh model ini. Rapor Taman
Kanak-Kanak milik penulis hanya terdiri dari dua kolom, kolom
pertama berisi tentang standar yang harus di capai, dan kolom
kedua berisi tentang deskripsi ketercapaiannya.
80

f. Model CIIP, pada dasarnya digunakan untuk mengevaluasi


suatu program pendidikan. Contohnya digunakan untuk
mengevaluasi program pendidikan jangka panjang.
BAB IV

KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis
menyimpulkan bahwa teknologi dan seni sebagai teori khusus pendidikan
preskriftif pada dasarnya telah menjadi landasan bagi praktik pendidikan di
Indonesia. Hal ini ditunjukan pada beberapa aspek, diantaranya manajemen
pendidikan yang melandaskan diri baik pada teori manajemen klasik, neo
kalasik sampai dengan modren; perkembagan kurikulum yang melandaskan
diri pada pendekatan subject matter curriculum, correlated curriculum, pola
integrated curriculum, rekonstruksialisme konservatif, humanis, dan
akutabilitas; model pembelajaran yang menghendaki proses belajar
melandaskan diri pada teori belajar kognitif, gestalt, behavioristic dan
humanistuk; standar proses Pendidikan Dasar dan Menengah yang
melandaskan diri pada asas-asas didaktik metodik; dan evaluasi pendidikan
yang melandaskan diri pada model evaluasi Tyler, sumatif dan formatif, PAN
dan PAP, stake atau countenance, dan CIIP.

4.2 Implikasi
Pada dasarnya praktik pendidikan di Indonesia idealnya berusaha
melandaskan diri pada teori khusus pendidikan preskriftif. Dengan demikian,
hal ini berimplikasi pada keoptimalan pencapaian tujuan pendidikan. Sebab,
praktik pendidikan di Indonesia memiliki arah dan standar keberhasilan yang
jelas. Namun, tentunya dalam penerapan teori khusus pendidikan preskriptif
di pengaruhi oleh kondisi-kondisi yang ada di lapangan, yang mempengaruhi
terhadap pencapaian tujuan pendidikan.

81
82

4.3 Rekomendasi
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih
terdapat kekurangan baik dari segi konten maupun gaya penyajian penulis.
Keterbatasan penulis dalam menemukan sumber-sumber yang relavan
menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap konten makalah ini, dan
kualitas konten dipengaruhi oleh keterbatasan kemampuan penulis dalam
menginterpretasi berbagai sumber rujukan. Sedangkan, gaya penyajian
penulis dalam memaparkan konten dipengaruhi oleh faktor kurangnya
pengalaman penulis dalam menulis. Atas dasar itu, penulis mengharapkan
adanya tindak lanjut bagi pembaca demi penyempurnaan tulisan makalah ini
DAFTAR PUSTAKA

Alipandie, Imansjah. (1984). Didaktik Metodik Pendidikan Umum. Surabaya:


Usaha Nasional.

Ali, M. (2013). Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi. Bandung:


Angkasa.

Arikunto, Suharsimi. (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT


Bumi Aksara.

Creswell, John. (2015). Riset Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Dahlan. (1984). Model-Model Mengajar. Bandung: CV Diponogoro

Daryanto. (2014). Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Fevriana, Adyra Aradea. (2017). Implementasi Teori Preskriftif dan Deskriptif


dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia: The 1st Education and Language
International Conference Proceedings (hlm. 80-88). Semarang: Universitas
Islam Sultan Ageng.

Huda, M. (2014). Model-model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Joyce, Bruce. dkk. (2011). Models of Teaching: Model-Model Pengajaran.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Idi, Abdullah. (2009). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Jogjakarta:


Ar-ruzz Media

Mudyhardjo, Redja. (2014). Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang


Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia.
Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada.

Nasution. (1988). Asas-Asas Kurikulum. Bandung: Jemmars.

Nurrasidah. (2015). Manajemen Pendidkan 1. Bandung: Alfabeta.

Rusman. (2011). Manajemen Kurikulum. Jakarta: Rajawali Press.

Reigeluth, Charles M. (1983). Instructional Design Theories And Models An


Overview Of Their Current Status. London: Lawrence Erlbaum Associates.

Sukardi. (2011). Evaluasi Pendidikan Prinsip dan Operasinya. Jakarta: Bumi


Aksara.

75
76

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem


Pendidikan Nasional.

Wahyudin, Uyu. dkk. (2006). Evaluasi Pembelajaran Sekolah Dasar. Bandung:


UPI Press.

Anda mungkin juga menyukai