Anda di halaman 1dari 73

A.

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2016

tentang Standar Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Perkantoran mengatakan bahwa

Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang (K3) adalah segala kegiatan untuk menjamin

dan melindungi keselamatan dan kesehatan karyawan melalui upaya pencegahan

kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja

ditujukan untuk melindungi perkerja agar tidak membawa dampak atau akibat buruk

kepada tenaga kerja yang berupa penyakit atau gangguan kesehatan (Prayoga, D.

2014).

Penyakit akibat kerja (PAK) adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan

dan lingkungan kerja. Faktor risiko PAK antara lain: Golongan fisik, kimiawi,

biologis atau psikososial di tempat kerja. Faktor tersebut di dalam lingkungan kerja

merupakan penyebab yang pokok dan menentukan terjadinya penyakit akibat kerja.

Faktor lain seperti kerentanan individual juga berperan dalam perkembangan penyakit

di antara pekerja yang terpajan (Salawati , L. 2015).

Data International Labour Organization (ILO) tahun 2013, 1 pekerja di dunia

meninggal setiap 15 detik karena kecelakaan kerja dan 160 pekerja mengalami sakit

akibat kerja. Tahun sebelumnya (2012) ILO mencatatat angka kematian dikarenakan

kecelakaan dan penyakit akibat kerja (PAK) sebanyak 2 juta kasus setiap tahun

(Witara, K. 2016).
2

Data kecelakaan kerja di Indonesia menurut Badan Penyelenggara Jaminan

Sosial (BPJS), mencatat hingga akhir 2015 telah terjadi kecelakaan kerja sebanyak

105.182 kasus. Sementara itu, untuk kasus kecelakaan berat yang mengakibatkan

kematian tercatat sebanyak 2.375 kasus dari total jumlah kecelakaan kerja.

Sedangkan pada tahun 2016 kecelakaan akibat kerya mengalami peningkatan yaitu

terdapat 101.367 kasus di 17.069 perusahaan dari 359.724 perusahaan yang terdaftar

dengan korban meninggal dunia sebanyak 2.382 orang sampai dengan bulan

November tahun 2016. Penyebab utama terjadinya kecelakaan kerja adalah masih

rendahnya kesadaran akan pentingnya penerapan K3 di kalangan industri dan

masyarakat. Selama ini penerapan K3 seringkali dianggap sebagai cost atau beban

biaya, bukan sebagai investasi untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja.

Secara menyeluruh baik itu industri formal dan informal pada sebuah

perusahaan, diharapkan menerapkan K3 untuk setiap pekerjanya agar memperoleh

pelayanan kesehatan dan keselamatan kerja untuk meningkatkan produktivitas.

Keselamatan dan kesehatan kerja perlu diatur dalam suatu undang-undang atau

peraturan agar tenaga kerja terhindar dari potensi bahaya. Tenaga kerja harus

dihindarkan dari berbagai ancaman atau faktor yang dapat menyebabkan kecelakaan

kerja.

PT. Sung Cang Indonesia adalah salah satu Perusahaan Penanam Modal

Asing (PMA) yang bergerak dibidang Industri Pengolahan Rambut Palsu (WIG).

Perusahaan ini telah tersebar di berbagai daerah besar di Indonesia salah satunya

berlokasi di Kelurahan Lasiana, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang, Nusa


3

Tenggara Timur. Perusahaan ini berdiri sejak tahun 2015 dan menggontrak sebuah

rumah makan untuk dijadikan tempat produksi rambut palsu. Semua pekerja di

perusahaan ini merupakan tenaga kerja wanita. PT. Sung Cang Indonesia cabang

Kupang membagi sistem kerja atau sistem produksi menjadi 3 bagian yaitu sistem

magang, semi borong dan sistem borongan. Pekerja pada bagian magang dan semi

borong adalah mereka yang memiliki masa kerja kurang dari 6 bulan dan dikatakan

pekerja magang. Sedangkan pekerja di bagian sistem borongan adalah mereka yang

memiliki masa kerja yang sudah lebih dari 6 bulan. Semi borong dan borongan juga

memiliki beban kerja yang berbeda yaitu pekerja magang dan semi borong menyulam

rambut palsu dalam ukuran lace atau job kecil yaitu setengah kepala, sedangkan

sistem borongan menyulam rambut palsu dalam ukuran hand made atau job besar

yaitu 1 kepala penuh.

Berdasarkan survei awal yang telah dilakukan di PT. Sung Cang Indonesia

Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang terdapat beberapa masalah kesehatan yang

berkaitan dengan kelelahan kerja maupun kelelahan mata. Dilihat dari masa kerja

yang berbeda antara semi borong dan borongan, sama halnya dengan beban kerja

yang dikerjakan. Sehingga dari hasil wawancara, didapati bahwa sebagian besar

pekerja yang diwawancara mengalami kelelahan kerja berupa nyeri di bagian leher,

punggung dan pinggang karena sikap kerja yang tidak ergonomis. Hal ini

dikarenakan mereka sering bekerja dengan posisi kepala menunduk dan sikap duduk

yang membungkuk dengan durasi waktu yang cukup lama. Hal inilah yang membuat

pekerja mengalami kelelahan ketika melakukan pekerjaan.


4

Dari hasil wawancara awal selain mengalami kelelahan kerja, pekerja juga

mengalami keluhan yang berkaitan dengan kelelahan pada mata yaitu berupa sakit

dibagian mata paling dalam, pandangan terasa kabur, tidak fokus pada suatu objek,

mata terasa panas, kering dan bahkan memerah sehingga kehilangan konsentrasi,

mengantuk, dan pusing. Hal ini disebabkan karena jarak antara mata dengan objek

yang dikerjakan terlalu dekat dan memiliki ukuran yang sangat kecil, sehingga

memerlukan tingkat ketelitian dan konsentrasi yang tinggi. Dilihat dari masa kerja

yang lebih lama, beban kerja yang lebih berat serta berbagai faktor penyebab lainnya,

maka hal tersebut yang mendasari untuk menjadikan pekerja di bagian sistem

borongan menjadi populasi penelitian.

Lingkungan kerja juga mempengaruhi kesehatan seseorang dalam bekerja

dilihat dari hasil pengamatan dan wawancara awal pada lingkungan perusahaan,

didapatkan bahwa sumber pencahayaan dengan pekerja memiliki jarak yang sangat

dekat sehingga sering menimbulkan sakit pada mata dan pandangan yang tidak fokus.

Penerangan yang baik memungkinkan tenaga kerja melihat obyek yang dikerjakannya

secara jelas, cepat dan tanpa upaya yang tidak perlu begitu juga sebaliknya jika

penerangan kurang memadai maka akan menyebabkan kelelahan pada mata karena

memaksa otot-otot mata untuk melihat sebuah obyek.

Kelelahan kerja merupakan proses menurunnya efisiensi, performance kerja,

dan berkurangnya kekuatan atau ketahanan fisik tubuh untuk terus melanjutkan

kegiatan yang harus dilakukan. Menurut suma’mur, (2014) kelelahan timbul karena

adanya ketegangan pada otot. Menurut Richard Ablett (2001) terdapat 80% orang
5

hidup setelah dewasa mengalami nyeri pada bagian tubuh belakang karena berbagai

sebab, dan karena tubuh bagian belakang ini mengakibatkan 40% orang tidak masuk

kerja (Santoso, G. 2004). Sedangkan kelelahan pada mata menurut Ilyas (2008),

terjadi karena seseorang berupaya melihat obyek yang berukuran kecil pada jarak

yang dekat dengan durasi waktu yang lama sehingga menyebabkan ketegangan pada

otot-otot mata (Seko, F.A. 2014).

Hasil dari survei awal yang didapat menjadi satu motivasi tersendiri kepada

peneliti untuk tertarik melakukan penelitian dengan judul “Determinan yang

Berhubugan dengan Kelelahan Kerja dan Mata pada Pekerja Rambut Palsu

PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang”.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang ada maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah:

2.1. Apakah masa kerja berhubungan dengan kelelahan kerja pada pekerja rambut

palsu PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Lima Kota Kupang?

2.2. Apakah masa kerja berhubungan dengan kelelahan mata pada pekerja rambut

palsu PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Lima Kota Kupang?

2.3. Apakah sikap kerja berhubungan dengan kelelahan kerja pada pekerja rambut

palsu PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Lima Kota Kupang?

2.4. Apakah sikap kerja berhubungan dengan kelelahan mata pada pekerja rambut

palsu PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Lima Kota Kupang?


6

2.5. Apakah beban kerja berhubungan dengan kelelahan kerja pada pekerja rambut

palsu PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Lima Kota Kupang?

2.6. Apakah beban kerja berhubungan dengan kelelahan mata pada pekerja rambut

palsu PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Lima Kota Kupang?

2.7. Apakah pencahayaan berhubungan dengan kelelahan kerja pada pekerja rambut

palsu PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Lima Kota Kupang?

2.8. Apakah pencahayaan berhubungan dengan kelelahan mata pada pekerja rambut

palsu PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Lima Kota Kupang?

3. Tujuan Penelitian

Melihat rumusan masalah yang dibuat, maka tujuan yang hendak dicapai dalam

usulan penelitian ini adalah:

3.1. Tujuan Umum

Mengetahui determinan yang berhubungan dengan kelelahan kerja dan mata pada

Pekerja Rambut Palsu PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Kelapa Lima Kota

Kupang.

3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui hubungan antara masa kerja terhadap kelelahan kerja pada

pekerja rambut palsu PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Kelapa Lima

Kupang.
7

2. Untuk mengetahui hubungan antara masa kerja terhadap kelelahan mata pada

pekerja rambut palsu PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Kelapa Lima

Kupang.

3. Untuk mengetahui hubungan antara sikap kerja terhadap kelelahan kerja pada

pekerja rambut palsu PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Kelapa Lima

Kupang.

4. Untuk mengetahui hubungan antara sikap kerja terhadap kelelahan mata

pada pekerja rambut palsu PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Kelapa Lima

Kupang.

5. Untuk mengetahui hubungan antara beban kerja terhadap kelelahan kerja pada

pekerja rambut palsu PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Kelapa Lima

Kupang.

6. Untuk mengetahui hubungan antara beban kerja terhadap kelelahan mata

pada pekerja rambut palsu PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Kelapa Lima

Kupang.

7. Untuk mengetahui hubungan antara pencahayaan terhadap kelelahan kerja

pada pekerja rambut palsu PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Kelapa Lima

Kupang.

8. Untuk mengetahui hubungan antara pencahayaan terhadap kelelahan mata

pada pekerja rambut palsu PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Kelapa Lima

Kupang.
8

4. Manfaat Penelitian

4.1. Manfaat bagi pekerja rambut palsu

Untuk memberikan informasi serta pengetahuan kepada pekerja agar dapat

mencegah bahaya yang disebabkan akibat lingkungan kerja, maupun bahaya

yang ditimbulkan dari pekerja itu sendiri, seperti sikap kerja yang tidak

ergonomis sehingga tidak menimbulkan kelelahan saat kerja.

4.2. Manfaat bagi pengelola perusahaan

Penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi pihak perusahaan untuk melihat

berbagai potensi bahaya di tempat kerja. Dengan tujuan perusahaan dapat

meningkatkan keamanan dan diharapkan bisa memberikan solusi bagi pekerjanya

agar terhindar dari kelelahan akibat kerja. Sehingga dapat meningkatkan

produktivitas serta derajat kesehatan tenaga kerja secara optimal.

4.3. Manfaat bagi akademis

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dan referensi

bagi mahasiswa FKM terkhususnya di bidang kesehatan dan keselamatan kerja

tentang determinan yang berhubungan dengan kelelahan kerja dan kelelahan

mata pada pekerja rambut palsu.

4.4. Manfaat bagi peneliti lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi dan bahan pertimbangan

untuk dikembangkan lebih lanjut bagi peneliti lain dalam melakukan penelitian

yang sejenis.
9

4.5. Manfaat bagi peneliti

Mendapatkan pengalaman yang baru dalam meningkatkan pengetahuan dan

wawasan, serta mendapatkakan kesempatan untuk mengaplikasikan teori yang

telah diperoleh di perkuliahan untuk melakukan penelitian ilmiah.


B. TINJAUAN PUSTAKA

1. Masa Kerja

1.1. Definisi Masa Kerja

Masa kerja adalah suatu kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja di

suatu tempat. Masa kerja dapat mempengaruhi baik kinerja positif maupun negatif,

akan memberi pengaruh positif pada kinerja personal karena dengan bertambahnya

masa kerja maka pengalaman dalam melaksanakan tugasnya semakin bertambah.

Sebaliknya akan memberi pengaruh negatif apabila semakin bertambahnya masa

kerja maka akan muncul kebiasaan pada tenaga kerja (Suma’mur ,2014).

Masa kerja erat kaitannya dengan kemampuan beradaptasi antara seorang

pekerja dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya. Proses adaptasi dapat

memberikan efek positif yaitu dapat menurunkan ketegangan dan peningkatan

aktivitas atau performasi kerja, sedangkan efek negatifnya adalah batas ketahanan

tubuh yang berlebihan akibat tekanan yang didapatkan pada proses kerja. Hal

tersebut yang menjadi sebab timbulnya kelelahan yang membawa pada penuruan

fungsi psikologi dan fisiologi. Tekanan melalui fisik pada suatu waktu tertentu

akan mengakibatkan berkurangnya kinerja otot, gejala yang ditunjukkan dapat

berupa makin rendahnya gerakan, hal tersebut tidak hanya disebabkan karena beban

kerja yang berat namun lebih pada tekanan- tekanan yang terakumulasi setiap

harinya pada suatu masa yang panjang.


11

Masa kerja dapat mempengaruhi pekerja baik positif maupun negatif. Masa

kerja akan memeberikan pengaruh positif bila semakin lama seseorang bekerja maka

akan berpengalam dalam melakukan pekerjaanya. Sebaliknya akam memberikan

pengaruh negative apabila semakin lama bekerja akan menimbulkan kelelahan pada

pekerja. Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak terpapar

bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut (Budiono, S. 2003).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Atiqoh, J. Whyuni, I. Lestantyo, D (2014),

dalam jurnalnya dikatakan bahawa masa kerja pekerja bagian penjahitan sebagian

besar (71%) sudah bekerja lebih dari 10 tahun. Menurut peneliti hal tersebut

menunjukkan adanya pengaruh lamanya masa kerja pekerja dengan kegiatan

penjahitan yang dilakukan cenderung monoton sehingga akan mempengaruhi

keadaan otot yang bekerja secara statis. Penjahit dan pekerja rambut palsu memiliki

sikap kerja yang sama dimana pekerja rambut palsu juga melakukan pekerjaannya

secara monoton atau berulang-ulang dalam waktu yang lama.

2. Sikap Kerja

2.1. Definisi Sikap Kerja

Sikap tubuh dalam bekerja adalah suatu gambaran tentang posisi badan,

kepala, tangan kaki dan anggota tubuh lainnya saat melakukan pekerjaan. Sikap tubuh

saat bekerja sangat mempengaruhi kesehatan seorang pekerja. Tarwaka (2004), postur

kerja merupakan pengaturan sikap tubuh saat bekerja. Sikap kerja yang berbeda akan

menghasilkan kekuatan yang berbeda pula. Pada saat bekerja sebaiknya postur
12

dilakukan secara alamiah sehingga dapat meminimalisasi timbulnya cidera

muskuloskeletal. Kenyamanan tercipta bila pekerja telah melakukan postur kerja

yang baik dan aman. Postur kerja yang baik sangat ditentukan oleh pergerakan organ

tubuh saat bekerja (Masitoh, D. 2016).

Pekerja rambut palsu pada umumnya melakukan pekerjaanya dalam keadaan

duduk dengan durasi waktu yang lama, statis dan cenderung monoton. Sikap duduk

ketika bekerja memerlukan lebih sedikit energi dibandingkan berdiri, karena hal itu

dapat mengurangi banyaknya bebam otot statis pada kaki. Sikap duduk yang keliru

akan menyebabkan adanya masalah–masalah punggung tekanan pada bagian tulang

belakang akan meningkat pada saat duduk, dibandingkan dengan saat berdiri. Jika

diasumsikan ,posisi duduk yang tegang atau kaku akan menyebabkan tekanan

sebesar 140% dan cara duduk yang dilakukan dengan membungkuk ke depan akan

menyebabkan tekanan tersebut sampai 190% (Nurmianto, E. 1998). Gambar sikap

duduk membungkuk dan condong kedepan dapat dilihat pada gambar II.1 sebagai

berikut:

Gambar II.1 Sikap Duduk Tegang dan Condong ke depan.


Sumber: Nurmianto, E. (1998).
13

2.2. Pengukuran Sikap Kerja

Metode Penilaian Resiko Ergonomi, meliputi :

1) Baseline Risk Identification of Ergonomic Factor (BRIEF) Survey

2) Quick Exposure Checklist (QEC)

3) Ovako Working Posture Analyzing System (OWAS)

4) Rapid Upper Limb Assessment (RULA)

5) Rapid Entire Body Assessment (REBA)

6) Nordic Body Map Questionaire

Dalam penelitian ini metode RULA yang dipilih dan digunakan untuk

melakukan pengukuran sikap kerja pada pekerja rambut palsu karena secara garis

besar metode RULA digunakan untuk mengukur keluhan atau gangguan pada

anggota tubuh bagian atas dan yang menjadi populasi dan sampel pada penelitian ini

yaitu pekerja rambut palsu yang lebih menggunakan tubuh bagian atas dalam

melakukan pekerjaan

Menurut Dr. Lynn McAtamney (dalam Masitoh, D. 2016), memunculkan

metode RULA. Metode Rapid Upper Limb Assessment (RULA) merupakan metode

cepat penilaian postur tubuh bagian atas. Input metode ini adalah postur (telapak

tangan, lengan atas, lengan bawah, punggung dan leher), beban yang diangkat, tenaga

yang dipakai (statis/dinamis), jumlah pekerjaan. Metode ini menyediakan

perlindungan yang cepat dalam pekerjaan seperti resiko pada pekerjaan yang

berhubungan dengan upper limb disorders, mengidentifikasi usaha yang dibutuhkan

otot yang berhubungan dengan postur tubuh saat kerja (penggunaan kekuatan dan
14

kerja statis yang berulang). Input postur metode RULA dibedakan menjadi 2 grup

yaitu grup A (lengan atas dan bawah dan pergelangan tangan) dan grup B (leher,

tulang belakang dan kaki). McAtamney, et al (1993) menetapkan proses metode

RULA seperti pada gambar II.2 sebagai berikut :

Gambar II.2 Tahap Proses Pengukuran RULA.


Sumber : McAtamney, L & Corlett E.N, 1993.

Penilaian menggunakan RULA merupakan metode yang telah dilakukan oleh

McAtemey dan Corlett, 1993). Tahap-tahap menggunakan metode RULA adalah :

1. Tahap 1. Tahap pengembangan metode untuk pencatatan postur bekerja.

Tahap ini bertujuan untuk menghasilkan suatu metode yang cepat

digunakan, tubuh dibagi menjadi 2 bagian yang membentuk 2 kelompok, yaitu

grup A dan grup B. Grup A meliputi lengan atas dan lengan bawah serta

pergelangan tangan. Sementara grup B meliputi leher, badan, dan kaki. Hal ini
15

memastikan bahwa seluruh postur tubuh dicatat sehingga postur kaki, badan dan

leher yang terbatas yang mungkin mempengaruhi postur tubuh bagian atas dapat

masuk dalam pemeriksaan.

Kisaran gerakan untuk setiap bagian tubuh dibagi menjadi bagian-bagian

menurut kriteria yang berasal dari interpretasi literatur yang relevan. Bagian-

bagian ini diberi angka sehingga angka 1 berada pada kisaran gerakan atau postur

kerja dimana risiko faktor merupakan terkecil atau minimal. Sementara angka-

angka yang lebih tinggi diberikan pada bagian-bagian kisaran gerakan dengan

postur yang lebih ekstrim yang menunjukkan adanya faktor risiko yang meningkat

yang menghasilkan beban pada struktur bagian tubuh. Sistem penskoran (scoring)

pada setiap postur bagian tubuh ini menghasilkan urutan angka yang logis dan

mudah untuk diingat. Agar memudahakan identifikasi kisaran postur dari gambar

setiap bagian tubuh disajikan dalam bidang sagital.

Pemeriksaan atau pengukuran dimulai dengan mengamati operator selama

beberapa siklus kerja untuk menentukan tugas dan postur pengukuran. Pemilihan

mungkin dilakukan pada postur dengan siklus kerja terlama dimana beban terbesar

terjadi. Karena RULA dapat dilakukan dengan cepat, maka pengukuran dapat

dilakukan pada setiap postur pada siklus kerja. Kelompok A memperlihatkan

postur tubuh bagian lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan. Kisaran

lengan atas diukur dan diskor dengan dasar penemuan dari studi yang dilakukan

oleh Tichauer, Caffin, Herbert et al, Hagbeg, Schuld dan Harms Ringdalh dan

Shuldt Mc Atamney, (1993).


16

A. Kelompok A

Kelompok A, memperlihatkan postur tubuh bagian lengan atas, lengan

bawah dan pergelangan tangan. Kisaran lengan atas diukur dan diskor dengan

dasar penemuan dari studi yang dilakukan oleh Tichauer, Caffin, Herbert et al,

Hagbeg, Schuld dan Harms Ringdalh dan Shuldt Mc Atamney, (1993).

a. Postur Lengan Atas

Gambar II.3 Kisaran Sudut Gerakan Lengan Atas.


Sumber : Tarwaka, 2011.

Jangkauan gerakan untuk lengan bagian atas (upper arm) dinilai dan diberi

skor berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh Tichauer, Chaffin, Herberts et al,

Schuldt et al, dan Harms-Ringdahl & Schuldt dalam Mc Atamney, (1993).

Skornya dapat dilihat pada Tabel II.1 sebagai berikut:


17

Tabel II.1 Skor Postur untuk Lengan Atas

Skor Jarak/kisaran
1 Ekstensi 20° sampai fleksi
20°
2 Ekstensi > 20° atau fleksi
20°-45°
3 Fleksi 45°-90°
4 Fleksi > 90°
Sumber : McAtamney, L & Corlett E.N, 1993.

Skor postur lengan tersebut dapat dimodifikasi, baik ditingkatkan atau

diturunkan. Masing-masing keadaan akan menghasilkan peningkatan atau

penurunan nilai postur asli untuk lengan atas. Ketika tidak ada situasi di atas

berlaku, skor postur untuk lengan atas tidak akan dimodifikasi lebih lanjut. Skor

tersebut dapat dilihat dalam Tabel II.2 sebagai berikut:

Tabel II.2 Modifikasi untuk Skor Postur Lengan Atas

Skor Posisi

+1 Jika bahu diangkat atau atau


lengan diputar atau dirotasi

+1 Jika lengan diangkat menjauh


dari badan
-1 Jika berat lengan ditopang

Sumber : McAtamney, L & Corlett E.N, 1993.


18

b. Postur bagian lengan bawah

Gambar II.4 Kisaran Sudut Gerakan Lengan Bawah.


Sumber : Tarwaka, 2011.

Rentang untuk lengan bawah dikembangkan dari peneliti Granjean dan

Tichauer dalam Mc Atamney, 1993. Skor tersebut dapat dilihat pada Tabel II.3.

sebagai berikut:

Tabel II.3 Skor Postur untuk Lengan Bawah

Skor Kisaran

1 Fleksi 60°-100°

2 Fleksi <60° atau >100°

Sumber : McAtamney, L & Corlett E.N, 1993.


19

Gambar II.5 Posisi yang dapat Mengubah Skor Postur Lengan Bawah.
Sumber : Tarwaka, 2011.

Postur untuk lengan bawah dapat ditingkatkan jika lengan bawah bekerja di

garis tengah tubuh atau ke samping. Karena kedua kasus yang eksklusif sehingga

skor sikap awal hanya dapat meningkat nilai +1. Skor tersebut dapat dilihat pada

Tabel II.4 sebagai berikut:

Tabel II.4 Modifikasi Nilai Postur untuk Lengan yang Lebih Rendah

Skor Posisi

+1 Jika lengan bawah bekerja pada luar


sisi tubuh.

+1 Jika lengan bawah bekerja menyilang


dari garis tengah tubuh

Sumber : McAtamney, L & Corlett E.N, 1993.


20

c. Postur Pergelangan Tangan

Gambar II.6 Kisaran Sudut Gerakan Pergelangan Tangan.


Sumber : Tarwaka, 2011.

Panduan untuk pergelangan tangan dikembangkan dari penelitian Health and

Safety Executive, digunakan untuk menghasilkan skor postur dapat dilihat pada

Tabel II.5 sebagai berikut :

Tabel II.5 Skor Postur untuk Pergelangan Tangan

Skor Posisi

1 Jika dalam posisi netral.

2 Fleksi atau ekstensi : 0º sampai


15º

3 fleksi atau ekstensi : >15º

Sumber : McAtamney, L & Corlett E.N, 1993.


21

Gambar II.7 Deviasi Pergelangan.


Sumber : Tarwaka, 2011.

Skor sikap untuk pergelangan tangan akan meningkat nilai +1 jika

pergelangan tangan berada dalam salah satu ulnaris atau radial. Skor tersebut dapat

dilihat pada Tabel II.6 sebagai berikut:

Tabel II.6 Modifikasi Nilai Postur Pergelangan Tangan


Skor Posisi

+1 Pergelangan tangan pada saat


bekerja mengalami deviasi baik
ulnar maupun radial

Sumber : McAtamney, L & Corlett E.N, 1993.


22

Gambar II.8 Perputaran Pergelangan Tangan.


Sumber : Tarwaka, 2011.

Setelah memperoleh skor untuk pergelangan tangan, untuk perputaran

pergelangan tangan (wirst twist) akan dinilai. Skor baru ini menjadi independen

dan tidak akan ditambahkan dengan nilai sebelumnya, melainkan akan digunakan

untuk memperoleh nilai global untuk Kelompok A. Putaran pergerakan tangan

pronasi dan supinasi (pronation and supination) yang dikeluarkan oleh Health and

Safety Executive pada postur netral berdasar pada Tichauer dalam McAtamney,

1993. Skor tersebut dapat dilihat pada Tabel II.7 sebagai berikut :

Tabel II.7 Skor Postur untuk Memutar Pergelangan Tangan

Skor Posisi
1 Jika pergelangan tangan berada
dalam kisaran putaran
2 Jika pergelangan tangan berada
pada atau dekat ujung jangkauan
twist
Sumber : McAtamney, L & Corlett E.N, 1993.
23

B. Kelompok B

Setelah penilaian ekstremitas atas selesai, dilanjutkan dengan evaluasi kaki,

batang dan leher mereka yang terdiri dari kelompok B yaitu Leher, punggung dan

kaki. Jangkauan postur untuk leher (neck) didasarkan pada studi yang dilakukan

oleh Chaffin dan Kilbom et al dalam Mc Atamney, (1993).

a. Postur leher

Gambar II.9 Kisaran Sudut Gerakan Leher.


Sumber : Tarwaka, 2011.

Kelompok B, rentang postur untuk leher didasarkan pada studi yang

dilakukan oleh Chaffin dan Kilbom et al dalam Mc Atamney, 1993. Skor dan

kisaran tersebut dapat dilihat pada Tabel II.8. sebagai berikut:


24

Table II.8 Skor Postur untuk Leher

Skor Kisaran

1 Fleksi : 0 º -10 º.

2 Fleksi : 10 º - 20 º.

3 Fleksi: > 20 º.

4 Jika leher pada posisi


ekstensi
Sumber : McAtamney, L & Corlett E.N, 1993.

Skor Postur untuk leher dapat ditingkatkan jika leher dalam sisi-

membungkuk atau memutar, seperti yang ditunjukkan gambar II.10 sebagai

berikut :

Gambar II.10 Posisi yang Dapat Mengubah Skor Postur Leher.


Sumber : Tarwaka, 2011.
25

Tabel II.9 Modifikasi Nilai Postur untuk Leher

Skor Posisi

+1 Posisi leher berputar

+1 Jika leher dibengkokan

Sumber : McAtamney, L & Corlett E.N, 1993.

b. Postur batang tubuh (trunk)

Gambar II.11 Kisaran Sudut Gerakan Batang Tubuh (Trunk).


Sumber : Tarwaka, 2011
26

Kisaran untuk punggung dikembangkan oleh Druy, Grandjean dan

Grandjean et al dalam Mc Atamney, (1993) dapat dilihat pada Tabel II.10 sebagai

berikut:

Tabel II.10 Skor Postur Nilai Untuk Batang Tubuh (Trunk)

Skor Posisi
1 Pada saat duduk dengan kedua
kaki dan telapak kaki tertopang
dengan baik dan sudut antara
badan dan tulang pinggul
membentuk sudut ≥90°
2 Fleksi: 0º-20º.
3 Fleksi: 20º-60º
4 Fleksi: 60º atau lebih
Sumber : McAtamney, L & Corlett E.N, 1993 .

Postur skor untuk batang tubuh dapat ditingkatkan jika trunk dalam posisi

memutar atau menekuk. Posisi ini tidak eksklusif, skor dapat ditingkatkan menjadi

2 jika kedua postur terjadi secara bersamaan.

Gambar II.12 Posisi yang dapat Memodifikasi Nilai Postur Batang Tubuh
(Trunk).
Sumber : Tarwaka, 2011.
27

Tabel II.11 Modifikasi Skor Postur untuk Batang Tubuh

Skor Posisi

+1 Badan memuntir atau


membungkuk

+1 Jika bagian batah tubuh


menekuk

Sumber : McAtamney, L & Corlett E.N, 1993.

c. Postur kaki

Gambar II.13. Posisi Kaki.


Sumber : Tarwaka, 2011.
28

Tabel II.12 Skor Postur untuk Posisi Kaki

Skor Posisi
1 Kaki dan telapak kaki
tertopang dengan baik
pada saat duduk
1 Berdiri dengan berat
badan terdistribusi
dengan rata oleh kedua
kaki, terdapat ruang gerak
yang cukup untuk
merubah posisi
2 Kaki dan telapak kaki
tidak tertopang dengan
baik atau berat badan
tidak terdistribusi dengan
seimbang
Sumber : McAtamney, L & Corlett E.N, 1993 .

2. Tahap 2 Perkembangan sisten untuk pengelompokkan skor postur bagian

tubuh.

Sebuah skor tunggal dibutuhkan dari Kelompok A dan B yang dapat mewakili

tingkat pembebanan postur dari sistem muskuloskeletal kaitannya dengan kombinasi

postur bagian tubuh. Hasil penjumlahan skor penggunaan otot (muscle) dan tenaga

(force) dengan Skor Postur A menghasilkan Skor C. Sedangkan penjumlahan dengan

Skor Postur B menghasilkan Skor D.


29

1) Nilai postur untuk bagian tubuh dalam kelompok A.

Tabel II.13 Skor Postur Grup A

Sumber : McAtamney, L & Corlett E.N, 1993 .


30

2) Nilai postur untuk bagian tubuh dalam kelompok B.

Tabel II.14 Skor Postur Grup B

Sumber : McAtamney, L & Corlett E.N, 1993.

3) Nilai penggunaan otot dan beban atau tenaga

Kemudian sistem pemberian skor dilanjutkan dengan melibatkan otot dan

tenaga yang digunakan. Penggunaan yang melibatkan otot dikembangkan

berdasarkan penelitian Durry dalam Mc Atamney (1993), yaitu sebagai berikut :

a. Skor untuk penggunaan otot : + 1 jika postur statis (dipertahankan dalam

waktu 1 menit) atau penggunaan postur tersebut berulang lebih dari 4 kali

dalam 1 menit.

b. Penggunaan tenaga (beban) dikembangkan berdasarkan penelitian Putz-

Anderson dan Stevenson dan Baaida, yaitu dapat dilihat pada Tabel II.15

sebagai berikut:
31

Tabel II.15 Nilai Penggunaan Otot dan Beban atau Kekuatan

Skor Kisaran
0 pembebanan sesekali atau tenaga
< 2kg dan ditahan
1 Pembebanan sesekali 2-10 kg
2 Pembebanan statis 2-10 kg atau
berulang.
2 Pembebanan sesekali namun >10
kg.
3 Pembebanan dan pengerahan
tenaga secara repetitive atau statis
≥10kg
3 Pengerahan tenaga dan
pembebanan yang berlebihan dan
cepat
Sumber : McAtamney, L & Corlett E.N, 1993.

Skor penggunaan otot dan skor tenaga pada kelompok tubuh bagian A dan B

diukur dan dicatat dalam kotak-kotak yang tersedia kemudian ditambahkan dengan

skor yang berasal dari tabel A dan B, yaitu sebagai berikut :

a. Skor A + skor penggunaan otot + skor tenaga (beban) untuk kelompok A =

skor C.

b. Skor B + skor pengguanaan otot + skor tenaga (beban) untuk kelompok B =

skor D.

3. Tahap 3 Pengembangan grand score dan daftar tindakan.

Tahap ini bertujuan untuk menggabungkan Skor C dan Skor D menjadi suatu

grand score tunggal yang dapat memberikan panduan terhadap prioritas penyelidikan/

investigasi berikutnya. Tiap kemungkinan kombinasi Skor C dan Skor D telah diberikan

peringkat, yang disebut grand score dari 1-7 berdasarkan estimasi risiko cidera yang

berkaitan dengan pembebanan muskuloskeletal.


32

Tabel II.16 Grand Score

Sumber : McAtamney, L & Corlett E.N, 1993.

Berdasarkan table grand score, maka tindakan yang akan dilakukan dapat

dibedakan menjadi 4 action level berikut :

1. Action Level 1 : Skor 1 atau 2 menunjukkan bahwa postur dapat diterima

selama tidak dijaga atau berulang untuk waktu yang lama.

2. Action Level 2 : Skor 3 atau 4 menunjukkan bahwa penyelidikan lebih jauh

dibutuhkan dan mungkin saja perubahan diperlukan.

3. Action Level 3 : Skor 5 atau 6 menunjukkan bahwa penyelidikan dan perubahan

dibutuhkan segera.

4. Action Level 4 : Skor 7 menunjukkan bahwa penyelidikan dan perubahan

dibutuhkan sesegera mungkin (mendesak).


33

3. Beban Kerja.

3.1. Pengertian Beban Kerja

Menurut Pedoman Menteri dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2008, beban kerja

adalah besaran pekerjaan yang harus dipikul oleh suatau jabatan/unit organisasi dan

merupakan hasil kali antara volume kerja dan waktu. Beban kerja berkaitan dengan

kapasitas dan kemampuan seorang pekerja untuk mengerjakan pekerjaanya. Beban

kerja adalah kemampuan tubuh pekerja dalam menerima pekerjaan. Dari sudut

pandang ergonomic, setiap beban kerja yang diterima seseorang harus sesuai dan

seimbang terhadap kemampuan fisik maupun psikologis pekerja yang menerima

beban kerja tersebut beban kerja dapat berupa beban kerja fisik dan beban kerja

psikologis. Beban kerja erat kaitannya dengan kinerja, yang mana berkaitan pula

dengan performanya (Hrrianto, R. 2009). Apabila beban kerja berlebih akan

berpengaruh dengan kinerjanya, dimana hal ini berkaitan dengan tingkat kelelahan

seseorang.

3.2. Jenis Beban Kerja

Menurut Tarwaka (2003) ada 3 jenis beban kerja, yaitu (Monkoginta, L.M.

2016):

1. Beban keja fisik yaitu seseorang yang bekerja dengan cara

mengangkat/mengangkut, memikul, menjinjing barang-barang berat.

2. Beban kerja mental yaitu beban kerja yang lebih mengarah ke pada pekerjaan

yang mengandalkan pikiran seperti seorang manajer pada suatu pabrik yang

harus memikul tanggung jawab yang berat yang merupakan beban mental.
34

3. Beban kerja sosial yaitu misalnya bagaimana kondisi lingkungan sosial yang

dihadapi para pekerja, antara sesama pekerja, pekerja dengan atasan maupun

anggota keluarga dan masyarakat sekitarnya.

3.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Beban Kerja

Menurut Alamsyah dan Muliawati (2013), setiap pekerjaan merupakan beban

bagi pekerjanya. Beban tersebut dapat berupa beban fisik, metal, dan atau social.

Beban tambahan akibat dari pekerjaan. Ada beberapa factor yang dapat menjadi

beban tambahan, antara lain:

1. Faktor fisik, meliputi bangunan gedung, volume udara, luas lantai kerja,

penerangan, suhu, kelembaban, kebisingan, getaran, dal lain sebgaianya.

2. Factor kimiawi, meliputi semua zat kimia organic dan anorganik yang dapat

berupa gas, uap, dbu, kabut, fume (uap logam), asap, awan, cairan ataupun zat

padat

3. Factor biologi, meliputi makhluk hidup yang berada dalam lingkungan kerja

yang dapat menggangu pekerjan.

4. Factor fisiologi/ergonomi, yaitu interaksi antara faal kerja manusai dengan

pekerjaan dan lingkungan kerjanya, seperti konstruksi mesin yang disesuaikan

dengan fungsi alat indera manusia, postur dan cara kerja yang

mempertimbangkan aspek antropometri dan fisiologi manuaia.

5. Faktor mental dan psikologi, yaitu reaksi mental dan kejiwaan terhadap suasana

kerja, hubungan antara pengusaha dan tenaga kerja, struktur dan prosedur

organisasi pelaksanaan dan lain-lain.


35

Indikator beban kerja yang digunakan dalam penelitian ini diadopssi dari

penelitiannya yang dilakukan sebelumnya oleh Putra (2012:22) yang meliputi antara

lain (Monkoginta, L.M. 2016):

1. Target yang harus dicapai yaitu pandangan individu mengenai besarnya target

kerja yang diberikan untuk menyelesaikan pekerjaanya dan pandangan

mengenai hasil kerja yang harus diselelesaikan dalam jangka waktu tertentu.

2. Kondisi pekerjaan yaitu mencakup tentang bagaimana pandangan yang

dimiliki individu mengenai kondisi pekerjaanya, misalnyamelakukan

pekerjaan ekstra diluar waktu yang telah ditentukan untuk mengatasi kejadian

yang tak terduga.

3. Standar pekerjaan yaitu kesan yang dimiliki oleh individu mengenai

pekerjaannya, misalnya perasaan yang timbul mengenai beban kerja yang

harus diselesaikan dalam jangka wktu tertentu.

4. Pencahayaan

3.4. Definisi Pencahayaan

Pencahayaan yang baik memungkinkan tenaga kerja melihat objek yang

dikerjakan secara jelas, cepat tanpa upaya yang tidak diperlukan. Lebih dari itu,

penerangan yang memada memberikan kesan pemandangan yang lebih baik dan

keadaan lingkungan yang menyegarkan. Pencahayaan yang baik adalah penerangan

yang memungkinkan tenaga kerja dapat melihat obyek pekerjaannya dengan teliti,
36

cepat dan tanpa upaya yang tidak perlu, serta membantu menciptakan lingkungan

kerja yang nyaman dan menyenangkan (Suma’mur, 2014).

Menurut Prabu (2009), menyebutkan bahwa ada 5 sistem pencahayaan di

ruangan yaitu:

1) Sistem pencahayaan langsung (direct lighting)

Pada sistem ini 90-100% cahaya diarahkan secara langsung ke benda yang

perlu diterangi. Sistem ini dinilai paling efektif dalam mengatur pencahayaan,

tetapi ada kelemahannya karena dapat menimbulkan bahaya serta kesilauan

yang mengganggu, baik karena penyinaran langsung maupun karena pantulan

cahaya. Untuk efek yang optimal, disarankan langit-langit, dinding serta benda

yang ada di dalam ruangan perlu diberi warna cerah agar tampak menyegarkan.

2) Pencahayaan semi langsung (semi direct lighting)

Pada sistem ini 60-90% cahaya diarahkan langsung pada benda yang perlu

diterangi, sedangkan sisanya dipantulkan ke langit-langit dan dinding. Dengan

sistem ini kelemahan sistem penerangan langsung dapat dikurangi. Diketahui

bahwa langit-langit dan dinding yang diplester putih memiliki efisiensi

pemantulan 90%, sedangkan apabila dicat putih efisiensi pemantulan antara 5-

90%.

3) Sistem pencahayaan difus (general diffus lighting)

Pada sistem ini setengah cahaya 40-60% diarahkan pada benda yang perlu

disinari, sedangkan sisanya dipantulkan ke langit-langit dan dinding. Dalam

pencahayaan sistem ini termasuk sistem direct-indirect yakni memancarkan


37

setengah cahaya ke bawah dan sisanya ke atas. Pada sistem ini masalah

bayangan dan kesilauan masih ditemui.

4) Sistem pencahayaan semi tidak langsung (semi indirect lighting)

Pada sistem ini 60-90% cahaya diarahkan ke langit-langit dan dinding bagian

atas, sedangkan sisanya diarahkan ke bagian bawah. Untuk hasil yang optimal

disarankan langit-langit perlu diberikan perhatian serta dirawat dengan baik.

Pada sistem ini masalah bayangan praktis tidak ada serta kesilauan dapat

dikurangi.

5) Sistem pencahayaan tidak langsung (indirect lighting)

Pada sistem ini 90-100% cahaya diarahkan ke langit-langit dan dinding bagian

atas kemudian dipantulkan untuk menerangi seluruh ruangan. Agar seluruh

langit-langit dapat menjadi sumber cahaya, perlu diberikan perhatian dan

pemeliharaanya yang baik. Keuntungan sistem ini adalah tidak menimbulkan

kesilauan dan bayangan sedangkan kerugiannya adalah mengurangi efisiensi

cahaya total yang jatuh pada pemukaan kerja.

Pencahayaan yang tidak didesain dengan baik akan dapat menimbulkan

gangguan atau kelelahan penglihatan selama kerja. Pengaruh dari penerangan yang

kurang memenuhi syarat akan dapat mengakibatkan gangguan yaitu kelelahan mata

sehingga berkurangnya daya dan efisien kerja, kelelahan mental, keluhan pegal di

daerah mata, sakit kepala di sekitar mata, kerusakan indra mata, dan lain-lain.

Pengaruh kelelahan pada mata tersebut akan berpengaruh terhadap penurunan

performansi kerja termasuk kehilangan produktivitas, kualitas kerja rendah, banyak


38

terjadi kesalahan, dan kecelakaan kerja meningkat. Kelelahan pada mata, pada

prinsipnya tidak merusak mata, tetapi akan dapat mengakibatkan ketidaknyamanan

dan kepenatan pada mata (Odi, C. 2017).

Kelelahan mata merupakan salah satu masalah yang diakibatkan dari

pencahayaan yang kurang sehingga terjadi ketegangan pada mata yang disebabkan

oleh penggunaan indera penglihatan dalam bekerja yang memerlukan kemampuan

untuk melihat dalam jangka waktu yang lama dan biasanya disertai dengan kondisi

padangan yang tidak nyaman, sehingga banyak penyakt yang dapat menyerang mata

dan menyebabkan gangguan penglihatan atau kelainan refraksi mata (Prayoga, D.

2014). Kelainan reflaksi merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata sehingga

sinar tidak difukoskan pda retina atau bintik kuning, tetapi dapat di depan atau

dibelakang bintik kuning dan mungkin tidak terletak pada satu titik yang fokus.

Kelainan reflaksi mata disebabkan oleh adanya faktor radiasi cahaya yang berlebihan

atau kurang yang diterima oleh mata. Situasi tersebut menyebabkan otot berakomodsi

pada dan membuat mata cepet lelah (Wulandari. S, Rossa. I, Trisnawati. E. 2016).

Pengukuran pencahayaan diukur dengan menggunakan alat lux meter dan

dinyatakan dalam satuan lux. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan

Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, tercantum dalam Tabel II.17. sebagai

berikut:
39

Tabel II.17 Standar Tingkat Penerangan Menurut Kepmenkes No.1405 Tahun


2002

Jenis Pekerjaan Tingkat Keterangan


Penerangan
Minimal (Lux)
Pekerjaan kasar dan 100 Ruang penyimpanan dan ruang
tidak terus-menerus peralatan atau instansi yang
memerlukan pekerjaan yang
kontinyu.
Pekerjaan kasar dan 200 Pekerjaan dengan mesin dan
terus-menerus perakitan kasar.
Pekerjaan rutin 300 Ruang administrasi, ruang control,
pekerjaan mesin dan perakitan atau
penyusunan.
Pekerjaan agak kasar 500 Pembuatan gambar atau bekerja
dengan mesin, kantor, pekerja
pemeriksaan atau pekerjaan dengan
mesin.
Pekerjaan halus 1000 Pemilihan warna, pemrosesan
tekstil, pekerjaan mesin halus dan
perakitan halus.
Pekerjaan amat halus 150 tidak Mengukir dengan tangan,
menimbulkan pemeriksaan pekerjaan mesin dan
bayangan perakitan yang sangat halus.
Pekerjaan terinci 3000 tidak Pemeriksaan pekerjaan, perakitan
menimbulkan sangat halus.
bayangan
Sumber: Kepmenkes No.1405 Tahun 2002.

Tata cara pelaksanaan agar pencahayaan memenuhi persyaratan kesehatan

perlu dilakukan tindakan sebagai berikut :

1. Pencahayaan alam maupun buatan diupayakan agar tidak menimbulkan

kesilauan dan memilki intensitas sesuai dengan peruntukannya.

2. Kontras sesuai kebutuhan, hindarkan terjadinya kesilauan atau bayangan.


40

3. Untuk ruang kerja yang menggunakan peralatan berputar dianjurkan untuk

tidak menggunakan lampu neon.

4. Penempatan bola lampu dapat menghasilkan penyinaran yang optimum dan

bola lampu sering dibersihkan.

5. Bola lampu yang mulai tidak berfungsi dengan baik segera diganti.

5. Kelelahan Kerja

5.1. Definisi Kelelahan Kerja

Kelelahan kerja ialah respon total individu terhadap stres psikososial yang

dialami dalam suatu periode waktu tertentu dan kelelahan kerja yang cenderung

menurunkan prestasi maupu motivasi pekerja yang bersangkutan. Kelelahan kerja

merupakan criteria yang lengkap tidak hanya menyangkut kelelahan yang bersifat

fisik dan psikis saja tetapi lebih banyak kaitannya dengan adanya penurunan kinerja

fisik, adanya perasaan lelah, penurunan motivasi, dan penurunan produktivitas kerja

(Setyawati, 2010). Kelelahan kerja adalah aneka keadaan yang disertai penurunan

efisiensi dan ketahanan dalam bekerja , yang disebabkan oleh Suma’mur, (2014):

1) Kelelahan yang sumber utamanya adalah mata (kelelahan visual).

2) Kelelahan fisik umum.

3) Kelelahan saraf.

4) Kelelahan lingkungan yang monoton.

5) Kelelahan oleh lingkungan yang kronis terus-menerus sebagai factor secara

menetap.
41

Kelelahan kerja merupakan bagian dari permasalahan umum yang sering

dijumpai pada tenaga kerja. Menurut beberapa peneliti, kelelahan secara nyata dapat

mempengaruhi kesehatan tenaga kerja dan dapat menurunkan produktivitas.

Kelelahan kerja adalah suatu kondisi melemahnya kegiatan, movivasi, dan kelelahan

fisik untuk melakukan kerja. perasaan lelah, penurunan motivasi, dan penurunan

produktivitas kerja.

5.2. Pembagian Kelelahan Kerja.

Dalam bukunya Budiono, S. (2003) membagi kelelahan kerja dalam beberapa

jenis, yaitu:

1. Menurut proses pada otot.

Menurut prosesnya kelelahan kerja ada dua macam yaitu:

a. Kelelahan otot adalah menurunya kemampuan otot untuk melakukan suatu

aktivitas.

b. Kelelahan umum adalah suatu persaan yang menyebar, disertai adanya

penurunan kesiagaan dan kelambatan pada setiap aktivitasnya.

2. Menurut penyebab.

Menurut penyebabnya kelelahan kerja ada dua macam yaitu:

a. Kelelahan fisik disebabkan oleh factor fisik, seperti suhu, kebisingan,

radiasi, pencahayaan, getaran dll.


42

b. Kelelahan non fisik yang disebabkan oleh faktor-faktor non fisik seperti

adanya masalah psikosil dalam keluarga, tempat kerja maupun dalam

masyarakat di lingkungannya.

5.2. Gejala Kelelahan Kerja

Gambaran mengenai gejala kelelahan (fatigue symptom) secara subjektif dan

objektif antara lain; perasaan lesu, mengantuk dan pusing, berkurangnya konsentrasi,

berkurangnya tingkat kewaspadaan, presepsi yang bururk dan lambat, tidak ada atau

berkurangnya semangat untuk bekerja, menurunnya kinerja jasmani dan rohani

(Budiono, C. 2003).

Menurut Kroemer dan Grandjean (dalam Odi, C. 2017), gejala kelelahan

subjektif dan objektif, yang paling penting dibgi menjadi:

1) Perasaan subjektif seperti, keletihan, pusing, rasa tidak suka untuk bekerja

2) Berpikir lamban

3) Kewaspadaan berkurang

4) Presepsi lambat dan buruk

5) Enggan untuk melakukan pekerjaan

6) Penurunan kinerja fisik dan mental.

5.3. Pengukuran Kelelahan Kerja

Saat ini telah ada alat untuk mengukur kelelahan dengan menggabungkan

beberapa indikator untuk menginterpretasikan hasil yang dapat dipercaya.

Mengutamakan perasaan subjektif terhadap kelelahan perlu diperhatikan

(Kroemer dan Grandjean, 1997). Kuesioner khusus digunakan untuk menilai


43

perasaan kelelahan secara subjektif. Subjective Self Rating Test (SSRT) dari

Industrial Fatigue Research Committee (IFRC) Jepang, merupakan salah satu

kuesioner yang dibuat pada tahun 1967, berisi gejala kelelahan umum yang

dapat untuk mengukur tingkat kelelahan secara subjektif.

Semakin tinggi frekuensi gejala kelelahan muncul dapat diartikan

semakin besar pula tingkat kelelahan. Kuesioner ini kemudian dikembangkan

dimana jawaban-jawaban kuesioner diskoring sesuai empat skala Likert, maka

setiap skor atau nilai haruslah memiliki defenisi operasional yang jelas dan

mudah dipahami oleh responden.

6. Kelelahan Mata

6.1. Definisi Kelelahan Mata

Kelelahan mata adalah ketegangan pada mata dan disebabkan oleh penggunaan

indera penglihatan dalam bekerja yang memerlukan kemampuan untuk melihat dalam

jangka waktu yang lama dan biasanya disertai dengan kondisi pandangan yang tidak

nyaman. Kelelahan mata timbul sebagai stress intensif pada fungsi-fungsi mata

seperti terhadap otot-otot akomodasi pada pekerjaan yang perlu pengamatan secara

teliti atau terhadap retina akibat ketidak tepatan kontras (Suma’mur 2014).

Kelelahan mata atau astenophia menurut ilmu kedokteran adalah gejala yang

diakibatkan oleh upaya yang berlebihan dari system penglihatan yang berada dalam

kondisi kurang sempurna untuk memperoleh ketajaman penglihatan. Sedangkan

menurut kelelahan mata timbul sebagai stres intensif pada fungsi-fungsi mata seperti
44

terhadapa otot-otot akomodasi pada pekerjaan yang perlu pengamatan secara teliti

atau terhadap retina sebagai akibat ketidaktepatan kontras (Suma’mur, 1989).

Kelelahan mata adalah ketegangan pada mata dan disebabkan oleh penggunaan

indera penglihatan dalam bekerja yang memerlukan kemampuan untuk melihat dalam

jangka waktu yang lama yang biasanya disertai dengan kondisi pandangan yang tidak

nyaman.

Kelelahan mata dapat dipengaruhi dari kuantitas iluminasi, kualitas iluminasi

dan distribusi cahaya. Kualitas iluminasi adalah tingkat pencahayaan yang dapat

berpengaruh pada kelelahan mata, penerangan yang tidak memadai akan

menyebabkan otot iris mengatur pupil sesuai dengan intensitas penerangan yang ada.

Kualitas iluminasi meliputi jenis penerangan, sifat fluktuasi serta warna penerangan

yang digunakan. Distribusi cahaya yang kurang baik di lingkungan kerja dapat

menyebabkan kelelahan mata. Distribusi cahaya yang tidak merata sehingga

menurunkan efisiensi tajam penglihatan dan kemampuan membedakan kontras

(Firmansyah, F. 2010)

Kelelahan mata dikenal sebagai tegang mata atau Astenophia yaitu kelelahan

ocular atau ketegangan pada organ visual dimana terjadi gangguan pada mata dan

sakit kepala karena penggunaan mata secara intensif. Keletihan visual

menggambarkan seluruh gejala-gejala yang terjadi sesudah stress berlebihan terhadap

setiap fungsi mata , diantaranya adalah tegang otot siliaris yang berakomodasi saat

memandang obyek yang sangat kecil dan jarak yang sangat dekat.
45

6.2. Gejala-gejala Kelelahan Mata

Kelelahan mata disebabkan oleh stres yang terjadi pada fungsi penglihatan.

Stres pada otot akomodasi dapat terjadi pada saat seseorang berupaya untuk melihat

pada obyek berukuran kecil pada jarak yang dekat dalam waktu yang lama. Pada

kondisi demikian, otot-ototo mata akan bekerja secara terus-menerus dan lebih

dipaksakan. Ketegangan otot-otot pengakomodasi (otot-otot siliaris) makin besar

sehigga terjadi peningkatan asam laktat dan sebagai akibatnya terjadi kelelahan mata,

stress mata, stress pada retina dapat terjadi bila terdapat kontras yang berlebihan

dalam lapangan penglihatan dan waktu pengamatan yang cukup lama (Ilyas, 2008).

Tanda-tanda kelelahan mata diantaranya:

a. Iritasi pada mata (mata pedih, merah, dan mengeluarkan air mata).

b. Penglihatan ganda (double vision).

c. Sakit sekitar mata.

d. Daya akomodasi menurun.

e. Menurunnya ketajaman penglihatan, kepekaan terhadap kontras dan kecepatan

presepsi.

6.3. Pengukuran Kelelahan Mata

Pengukuran kelelahan mata dapat dilakukan dalam beberapa cara antara lain:

1) Photostress Recovery Test

2) Tes Frekuensi Kelipan Mata (Flicer Fusion Eyes Test)

3) Tes Uji Waktu Reaksi

4) Kuesioner kelelahan mata


46

Dalam penelitian untuk mendapatkan data kelelahan mata, diigunakan kuesioner

kelelahan mata dari peneliti lain untuk melakukan pengukuran kelelahan mata pada

pekerja rambut palsu PT. Sung Cang Indonesia.

7. Kerangka Konsep Penelitian

7.1. Dasar Pemikiran Variabel

Tenaga kerja di perusahaan rambut palsu sangat beresiko mengalami

kelelahan saat kerja yang disebabkan oleh berbagai faktor. Hal ini disebabkan karena

pekerja rambut palsu melakukan pekerjaan yang sifatnya monoton atau berulang-

ulang dalam waktu yang lama dan memiliki tingkat ketelitian yang rumit.

Pembebanan otot secara statis jika dipertahankan dalam waktu yang cukup lama akan

mengakibatkan nyeri otot, tulang, dan kelelahan yang diakibatkan oleh jenis

pekerjaan yang bersifat berulang. Kelelahan mata timbul akibat dari ketegangan otot

pada mata yang harus bekerja secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama

dan dilakukan secara teliti sehingga hal seperti itulah yang akan menyebabkan

kesehatan seorang pekerja terganggu. Terdapat berberapa faktor yang dapat

menyebabkan kelelahan kerja dan kelelahan mata pada pekerja rambut palsu ditinjau

dari determinan kesehatan kerja yaitu masa kerja, usia, jenis kelamin, sikap kerja,

beban kerja, dan pencahayaan, suhu, kebisingan, dan kelembaban. Tetapi variabel

yang diteliti hanya 4 yaitu masakerja, sikap kerja, beban kerja, dan pencahayaan.

Masa kerja adalah lamanya tenaga kerja bekerja di suatu tempat. Masa kerja

dapat mempengaruhi baik kinerja positif maupun negatif, akan memberi pengaruh
47

positif pada kinerja personal karena dengan bertambahnya masa kerja maka

pengalaman dalam melaksanakan tugasnya semakin bertambah. Sebaliknya akan

memberi pengaruh negatif apabila semakin bertambahnya masa kerja maka akan

muncul kebiasaan pada tenaga kerja Masa kerja erat kaitannya dengan kemampuan

beradaptasi antara seorang pekerja dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya. Proses

adaptasi dapat memberikan efek positif yaitu dapat menurunkan ketegangan dan

peningkatan aktivitas atau performasi kerja, sedangkan efek negatifnya adalah batas

ketahanan tubuh yang berlebihan akibat tekanan yang didapatkan pada proses kerja.

Hal tersebut yang menjadi sebab timbulnya kelelahan yang mengakibatkan penurunan

fungsi psikologi dan fisiologi. Tekanan melalui fisik pada suatu waktu tertentu akan

mengakibatkan berkurangnya kinerja otot, gejala yang ditunjukkan dapat berupa

makin rendahnya gerakan, hal tersebut tidak hanya disebabkan karena beban kerja

yang berat namun lebih pada tekanan-tekanan yang terakumulasi setiap harinya pada

suatu masa yang panjang.

Sikap kerja pekerja rambut palsu adalah duduk dalam waktu yang lama, sikap

tubuh yang statis seperti terlalu lama membungkuk pada saat menyulam rambut palsu

sangat beresiko menyebabkan keluhan kesehatan, kurangnya relaksasi atau

peregangan otot saat bekerja dapat menyebabkan penimbunan asam laktat pada otot

yang memicu timbulnya kelelahan. Sikap kerja menimbulkan kelelahan dikarenakan

sikap tubuh ketika bekerja tidak ergonomis sehingga menyebabkan sikap tubuh

responden saat posisi bekerja kurang benar seperti posisi kepala yang terlalu

menunduk dan miring, serta posisi punggung yang terlalu membungkuk. Hal ini yang
48

dapat menyebabkan kelelahan kerja maupun mata akibat sikap kerja yang tidak

alamiah.

Pada pekerja rambut palsu beban kerja yang diterima oleh pekerja dipengaruhi

dari jumlah pekerjaan yang didapatkan serta kondisi lingkungan kerja fisik. Dalam

determinan kesehatan kerja, beban kerja dan lingkungan fisik mempengaruhi

kesehatan seorang pekerja. Pada pekerja rambut palsu, mereka ditugaskan untuk

menyelesaikan target dalam waktu yang ditentukan dan dalam rentang waktu yang

tidak lama. Sehingga beban kerja yang mera kerjakan terasa berat untuk dilakukan.

Pada penelitian ini lingkungan fisik yang mempengaruhi sehingga terjadinya

kelelahan kerja dan mata adalah intesnsitas pencahayaan atau penerangan.

Lingkungan kerja fisik dengan intensitas penerangan yang kurang sehingga terjadi

keluhan lelah pada mata akan menambah beban kerja yang dirasakan pekerja,

sehingga semakin mempengaruhi keadaan kelelahan pekerja. Semakin berat suatu

pekerjaan maka semakin banyak pula oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh untuk

melakukan oksidasi dan makin banyak pula aliran darah yang membawa oksigen.

Peningkatan aliran darah ini menyebabkan peningkatan aktivitas pemompaan jantung.

Pada orang dengan beban kerja berat aktivitas pemompaan jantung menjadi berubah,

sehingga saat orang tersebut bekerja transport oksigen ke otot menjadi terganggu dan

pekerja menjadi cepat lelah.

Pencahayaan berhubungan dengan jumlah cahaya yang tersedia dan

dibutuhkan di tempat kerja untuk memperjelas obyek yang sedang dikerjakan, apabila

pencahayaan ditempat kerja tidak memenuhi standar maka akan beresiko


49

menimbulkan kelelahan kerja terlebih kelelahan pada mata. Pekerja rambut palsu

sangat beresiko umtuk mengalami kelelahan kerja dan kelelahan mata karena

disebabkan oleh pencahayaan yang kurang baik. Karena obyek yang dikerjakan

sangat kecil dan memiliki tingkat ketelitian yang tinggi. Jika intensitas pencahayaan

di tempat kerja tidak sesuai maka akan menimbulkan kelelahan kelelahan kerja dan

kelelahan pmata pada pekerja. Pencahayaan yang intensitasnya rendah akan

menimbulkan kelelahan karena fungsi utama pencahayaan ditempat kerja adalah

untuk mengurangi objek pekerjaan agar terlihat secara jelas.

Alasan usia, jenis kelamin, suhu, kebisingan dan kelembaban tidak diteliti

karena. Usia dari pekerja rambut palsu dikatogorikan usia produktif sehingga

kemungkinan kecil mengalami kelelahan kerja maupun kelelahan mata. Jenis kelamin

tidak diteliti karena seluruh pekerja rambut palsu yang dijadikan sampel berjenis

kelamin perempuan. Faktor suhu dan kelembaban tidak diteliti karena sirkulasi udara

dalam rungan bisa dikatakan normal dan baik untuk melakukan suatu aktivitas atau

pekerjaan dilihat dari alat pendingin ruangan yang disediakan, ventilasi udara yang

baik, dan pntu yang selalu dibiarkan terbuka untuk mendapatkan udara dan suhu

dengan volume yang lebih besar. Sedangkan factor kebisingan tidak diteliti karena

gedung yang tertutup dan jauh dari jalan umum dan tidak ada aktivitas produksi yang

menggunakan mesin yang menimbulkan suara bising. Alasan yang telah dipaparkan

menjadi dasar variabel tersebut tidak diteliti.


50

8. Kerangka Hubungan Antar Variabel

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelelahan Kerja dan Kelelahan Mata


Faktor Internal:
 Masa Kerja

 Usia
 Jenis Kelamin Kelelahan
Kerja dan
Kelelahan
mata
Faktor Eksternal:
 Sikap Kerja
 Beban Kerja
 Pencahayaan

 Suhu
 Kebisingan
 Kelembaban

Keterangan :

= Variabel independen yang tidak diteliti

= Variabel independen yang diteliti

= Variabel dependen yang diteliti.


51

9. Hipotesis Penelitian

9.1. Ada hubungan antara masa kerja terhadap kelelahan kerja pada pekerja rambut

palsu di PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang.

9.2. Ada hubungan antara masa kerja terhadap kelelahan mata pada pekerja rambut

palsu di PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang.

9.3. Ada hubungan antara sikap kerja terhadap kelelahan kerja pada pekerja rambut

palsu di PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang.

9.4. Ada hubungan antara sikap kerja terhadap kelelahan mata pada pekerja rambut

palsu di PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang.

9.5. Ada hubungan antara beban kerja terhadap kelelahan kerja pada pekerja rambut

palsu di PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang.

9.6. Ada hubungan antara beban kerja terhadap kelelahan mata pada pekerja rambut

palsu di PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang.

9.7. Ada hubungan antara pencahayaan terhadap kelelahan kerja pada pekerja rambut

palsu di PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang.

9.8. Ada hubungan antara pencahayaan terhadap kelelahan mata pada pekerja

rambut palsu di PT. Sung Cang Indonesia Kecamatan Kelapa Lima Kota

Kupang.
C. METODOLOGI PENELITIAN

1. Rancangan atau Jenis Penelitian

Jenis penelitian merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode

penelitian survei analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian cross

sectional adalah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antra factor-

faktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data

sekaligus pada suatu saat (point time approach). Tiap subjek penelitian hanya

diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau

variable subjek pada saat pemeriksaan. (Notoadmodjo, S. 2012).

2. Lokasi dan Waktu Penelitian

2.1. Lokasi

Penelitian ini dilakukan di PT. Sung Cang Indonesia, Kelurahan Liliba,

Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang.

2.2. Waktu

Penelitian ini akan dilakukan dari bulan Desember 2017 sampai Februari 2018.

3. Populasi dan Sampel Penelitian

2.3. Populasi

Populasi adalah siapa atau golongan mana yang menjadi sasaran penelitian

(Notoadmodjo, S. 2012). Populasi dalam penelitian ini adalalah seluruh karyawan

di bagian Borongan yang berjumlah 127 orang.


53

2.4. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi

tersebut (Sugiyono, 2013). Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan rumus

cross sectional dengan formula sebagai berikut:

Pa = nilai proporsi populasi menurut penelitian sebelumnya yaitu 0,6

(didapat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Atiqoh, J. Whyuni, I.

Lestantyo, D. 2014 tentang kelelahan kerja pada penjahit dimana sebesar

(61,3%) pekerja mengalami kelelahan kerja)

Po = proporsi populasi yang diperkirakan yaitu 0,8

Z1α/2 = 5% = 1,96

Z1β = 90% = 1,28


𝛼 2
{𝑍1− √𝑃𝑜(1−𝑃𝑜)+ 𝑍1−𝛽√𝑃𝑎(1−𝑃𝑎)}
2
n= (𝑃𝑎−𝑃𝑜) 2

2
{1,96 √0,8(1−0,8)+ 1,28 √0,6 (1−0,6)}
n= (0,6−0,8) 2

2
{1,96 √(0,8)(0,1)+ 1,28 √(0,6) (0,2)}
n= (−0,2) 2

2
{(1,96)(0,4)+ (1,28) (0,48)}
n= 0,04

2
{ 0,784+0,6144}
n= 0,04

1,95
n = 0,04

n = 48
54

2.5. Teknik Pengambilan Sampling

Cara pengambilan sampel ini menggunakan teknik simple random sampling yaitu

hakikat dari pengambilan sampel secara acak sederhana adalah bahwa setiap

anggota atau unit dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk

diseleksi sebagai sampel. Apabila besarnya sampel diinginkan itu berbeda-beda,

maka besarnya kesempatan bagi setiap satuan elementer untuk terpilih pun

berbeda-beda. Teknik pengambilan sampel secara acak sederhana ini dibedakan

menjadi dua cara, yaitu dengan mengundi anggota populasi (lottery technique)

atau teknik undian, dan dengan menggunakan tabel bilangan atau angka acak

(random number) (Notoadmodjo, S. 2012). Dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan teknik pengambilan sampel secara acak sederhana dengan cara

undian dengan maksud semua pekerja memiliki kesempatan untuk dijadikan

sampel.
55

4. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

No Variabel Definisi Kriteria Objektif Alat Ukur Skala


Operasional
1. Masa Kerja Masa kerja Lama kerja Kuesioner Ordinal
adalah lamanya dihitug dalam
seorang bulan:
karyawan  Baru : 6-12
menyumbangkan bulan
tenaganya pada  Sedang: 13-19
perusahaan bulan
tertentu.  Lama: 20-26
(Oktaviani, bulan
2009)
2. Sikap Kerja Kenyamanan  skor terendah Form Ordinal
tercipta bila 1-2 Penilaian
pekerja telah  Skor sedang Metode
melakukan 3-4 RULA
postur kerja  Skor tinggi
yang baik dan 5-6
aman. Postur  Skor sangat
kerja yang baik tinggi >7
sangat (sumber :
ditentukan oleh handbook of
pergerakan human factors and
organ tubuh saat ergonomics
bekerja. methods, Stanton
et al, 2005).
3. Beban Kerja Beban kerja  Beban kerja Kuesioner Ordinal
adalah beban berat = ≥ 75 %
yang diterima  Beban kerja
pekerja untuk ringan < 75%
seseorang (Sugiono, 2013)
menyelesaikan
pekerjaannya
baik itu beban
fisik maupun
mental.
56

4. Pencahayaan Pencahayaan  Tidak Lux Meter Ordinal


yang memenuhi
memungkinkan syarat jika
tenaga kerja hasil
dapat melihat pengukuran <
objek-objek 300 dan > 500
yang dikerjakan lux.
secara jelas,  Memenuhi
cepat dan tanpa syarat jika
upaya-upaya hasil
yang tidak perlu. pengukuran
300-500 lux.
(Kepmenkes RI
No 1405, 2002).
5. Kelelahan Kelelahan kerja  Kelelahan Kuesioner Ordinal
Kerja adalah randah 25-43
keadaanya yang  Kelelahan
dialami sedang 44-62
seseorang akibat  Kelelahan
berbagai hal tinggi 63-81
seperti  Kelelahan
penurunan sangat tinggi
kinerja fisik atau 82-100
kekuatan ketika (Tarwaka,
bekerja 2013)
penurunan
motivasi,
efisiensi kerja
dll, sehingga
mengakibatkan
penurunan
produktivitas
kerja.
57

6. Kelelahan Kelelahan mata Tidak terasa skor Kuesioner Ordinal


Mata adalah 1.
ketegangan pada Tidak terasa skor
mata yang 2.
disebabkan oleh Agak terasa skor
penggunaan 3.
indera Terasa skor 4.
penglihatan (Odi, K.D. 2017)
dalam bekerja
yang
memerlukan
kemampuan
untuk melihat
dalam jangka
waktu yang
lama yang
biasanya disertai
dengan kondisi
pandangan yang
tidak nyaman.

5. Jenis Data, Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data.

5.1. Data Primer.

Data primer adalah data yang di peroleh langsung dari responden dengan

melakukan wawancara menggunakan kuesioner, maupun pengukuran

menggunakan lux meter dan dokumentasi langsung pada pekerja rambut palsu.

Data primer yang dikumpulkan berupa data yang berkaitan dengan variable yang

diteliti, yaitu:

1) Kelelahan Mata 4) Sikap Kerja

2) Kelelahan Kerja 5) Beban Kerja

3) Masa Kerja 6) Pencahayaan


58

5.2. Data Sekunder

Data yang diperoleh dari instansi terkait dalam hal ini PT.Sung Cang meliputi

karakteristik pekerja (nama, umur, jenis kelamin).

5.3. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yaitu dengan wawancara, pengukuran, dan

dokumentasi. Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah:

1) Kuesioner

Kuesioner digunakan untuk memperoleh data masa kerja, sikap kerja, beban

kerja, kelelahan kerja dan kelelahan mata. Kuesioner yang digunakan diadopsi

dari penelitiansebelumnya yang berhubungan denga variabel-varibel tersebut.

a. Masa Keja

Data masa kerja dilihat dari Indentitas responden yang ditanyakan pada

lampiran kuesioner secara umum. Penilaian masa kerja dihitung dengan

interval 6 bulan, karena pekerja rambut palsu di PT. Sung Cang Indonesia

Kecamatan Kelpa Lima Kota Kupang resmi menjadi karyawan tetap jika

pekerja telah melewati 6 bulan masa magang dan semi borongan. Kategori

penilaian masa kerja yaitu:

1. Baru : 6-12 bulan

2. Sedang : 13-19 bulan

3. Lama : 20-26 bulan


59

b. Beban Kerja

Pengukuran beban kerja menggunakan kuesioner yang pernah digunakan

dalam penelitian sebelumnya oleh Odi, K.D. 2017. Terdapat 2 kategori

jawaban yaitu:

Maka kategori untuk penilaian beban kerja adalah (Sugiono, 2013):

Jumlah pilihan :2

Jumlah soal : 10

Skor terendah :1

Skor tertinggi :2

Jumlah skor terendah = skor terendah x jumlah pertanyaan

= 1 x 10 = 10

= 10/20 x 100% = 25%

Jumlah skor tertinggi = skor tertinggi x pertanyaan

= 2 x 10 = 20

= 20/20 x 100% = 100%

Range (R) = skor tertinggi – terendah

= 100% - 50% = 25%

Kategori (K) = banyaknya kriteria yang disusun pada criteria

obektif variabel beban kerja adalah 2

𝑅𝑎𝑛𝑔𝑒 (𝑅) 50%


Interval (I) = = = 25%
𝐾𝑎𝑡𝑒𝑔𝑜𝑟𝑖 (𝐾) 2

Kriteria penilaian = 100% - 255 = 75%


60

Berat = ≥ 75% dari total skor

Ringan = < 75% dari total skor

c. Sikap Kerja

Penilaian sikap kerja dalam penelitian ini menggunakan form penilaian

RULA Employe Assessment Worksheet. Pengukuran dan penilaian RULA

telah dijelaskan sebelumnya dalam tinjauan pustaka tentang pengukuran sikap

kerja. Berdasarkan pengukuran menggunakan form penilaian untuk

mendapatkan nilai sikap kerja maka skor yang diberikan terhadap responden

adalah sebagai berikut:

1. Skor terendah = 1-2 (menunjukkan bahwa postur dapat diterima selama

tidak dijaga atau berulang untuk waktu yang lama)

2. Skor sedang = 3-4 (menunjukkan bahwa penyelidikan lebih jauh

dibutuhkan dan mungkin saja perubahan diperlukan).

3. Skor tinggi = 5-6 (menunjukkan bahwa penyelidikan dan perubahan

dibutuhkan segera).

4. Skor sangat tinggi = >7 (menunjukkan bahwa penyelidikan dan

perubahan dibutuhkan sesegera mungkin atau mendesak).

d. Kelelahan Kerja

Dalam penelitian ini pengukuran kelelahan kerja menggunakan kuesioner

Subjective Self Rating Test (SSRT). Terdapat 4 kategori jawaban dalam

kuesioner kelelahan kerja yang masing-masing jawaban tersebut diberi

skor atau nilai sebagai berikut:


61

1) Skor 4 = Sangat Sering merasa kelelahan

2) Skor 3 = Sering merasa kelelahan

3) Skor 2 = Kadang-kadang merasa kelelahan

4) Skor 1 = Tidak pernah merasa kelelahan

Setelah selesai melakukan wawancara dan pengisian kuesioner, maka

langkah berikutnya adalah menghitung jumlah skor pada masing-masing

kolom (1, 2, 3, dan 4) dari 25 pertanyaan tersebut dan akan

dijumlahkan, total nilai yang didapat akan menggambarkan kategori

kelelahan dari tiap responden adalah:

1) Nilai 25-43 = Kelelahan rendah

2) Nilai 44-62 = Kelelahan sedang

3) Nilai 63-81 = Kelelahan tinggi

4) Nilai 82-100 = Kelelahan sangat tinggi

e. Kelelahan Mata

Dalam penelitian ini pengukuran kelelahan kelelahan mata yang diadopsi dari

penelitian sebelumnya oleh Odi, K.D. 2017. Terdapat 4 kategori jawaban

dalam kuesioner kelelahan mata yang masing-masing jawaban tersebut

diberi skor atau nilai sebagai berikut:

1) Skor 4 = Sangat terasa

2) Skor 3 = Sering terasa

3) Skor 2 = Agak Terasa


62

4) Skor 1 = Sangat Terasa

Setelah selesai melakukan wawancara dan pengisian kuesioner, maka

langkah berikutnya adalah menghitung jumlah skor pada masing-masing

kolom (1, 2, 3, dan 4) dari 10 pertanyaan tersebut dan akan

dijumlahkan, total nilai yang didapat akan menggambarkan kategori

kelelahan dari tiap responden adalah:

5) Nilai 10-18 = Kelelahan rendah

6) Nilai 19-27 = Kelelahan sedang

7) Nilai 28-36 = Kelelahan tinggi

8) Nilai 37-44 = Kelelahan sangat tinggi

9) Lux meter

Dalam penelitian ini Lux meter digunakan untuk memperoleh data

pencahayaaan pada tempat kerja. Perhitungan data untuk pencahayan yaitu

sebgai berikut:

1. Tidak memenuhi syarat jika hasil pengukuran < 300 dan > 500 lux..

2. Memenuhi syarat jika hasil pengukuran 300-500 lux.

10) Kamera

Kamera digunakan untuk memperoleh gambaran posisi duduk ketika

melakukan pengukuran sikap kerja dan digunakan untuk mendokumentasikan

(foto dan video) proses penelitian.


63

6. Teknik Pengolahan, Analisis Dan Penyajian Data

5.4. Teknik Pengolahan

Data yang telah dikumpulkan, diolah secara manual dan komputerisasi dimulai

dari editing, coding, entry, cleaning, dan tabulasi data (Notoadmodjo, 2012).

5.5. Analisis Data

1) Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendiskripsikan karakteristik

setiap varibel penelitian. Pada umumya dalam analisis hanya meghasilkan

distribusi frekuensi dan presentase dari tiap variable. Misalnya distribusi frekuensi

responden berdasarkan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan sebagainnya

(Notoadmodjo, S. 2012).

2) Analisis Bivariat.

Analisis bivariat yaitu analisis terhadap dua variabel yang diduga berhubungan

atau berkorelasi (Notoadmodjo, S. 2012). Analisis bivariat digunakan untuk

mencari hubungan antara variabel independen dan variabel dependen dengan uji

statistik. Data yang diperoleh dianalisa secara analitik untuk mengetahui hubungan

sikap kerja, pencahayaan dan suhu terhadap kelelahan, dan kelelahan mata pada

penjahit. Pengujian hipotesis menggunakan uji statistik Chi Square (X²), dengan

menggunakan batas kemaknaan (α=0,05) dengan ketentuan :

a. Nilai ρ ≤ 0,05 berarti Ho ditolak (nilai ρ ≤ α) : menunjukkan adanya

hubungan yang signifikan.


64

b. Nilai ρ > 0,05 berarti Ho diterima (nilai ρ > α) : menunjukkan tidak ada

hubungan yang signifikan (Syamruth, Y. 2009).

Syarat uji Chi Square adalah :

a. Tidak boleh ada sel yang mempunyai nilai harapan (nilai E) < 1.

b. Tidak boleh ada sel yang mempunyai nilai harapan (nilai E) < 5, lebih dari

20% dari keseluruhan sel.

c. Btila syarat uji chi square tidak terpenuhi, dapat menggunakan uji Fisher’s

exact test untuk tabel 2x2 dan uji binomial untuk tabel 1x2.

7. Penyajian Data.

Cara penyajian data penelitian dilakukan melalui berbagai bentuk . pada

umumnya dikolomopkan menjadi tiga, yakni penyajian dalam bentuk teks

(textular), penjajian dalam bentuk table, dan penyajian dalam bentuk

grfik.penyajuan secara textular biasanya digunakan untuk penelitian kuantitatif,

penyajian dengan table digunakan untuk data yang sudh diklasifikasikan dan

ditbulsi (Notoadmodjo, S. 2012).


65

8. Jadwal Kegiatan Penelitian

No Uraian/kegiatan Waktu Pelaksanaan Magang (bulan)

Jan Feb Mar Apr Mei Jun


1 Penyusunan dan seminar
usulan penelitian
2 Persiapan penelitian:
 Perijinan
 Persiapan bahan
alat/instrument
3 Pengumpulan data
4 Tabulasi data
5 Penulisan laporan/ skripsi
dan seminar hasil penelitian
6 Revisi laporan/skripsi
7 Laporan akhir/Ujian skripsi

9. Rencana Anggaran

No Jenis Kegiatan Biaya


1 Penyusunan dan seminar usulan penelitian Rp. 350.000
2 Perbaikan usulan penelitian Rp. 150.000
3 Pengumpulan data Rp. 400.00
4 Pengolahan data RP. 300.000
5 Penyusunan laporan hasil dan seminar Rp. 600.000
6 Revisi laporan hasil/skripsi Rp. 450.000
7 Ujian skripsi Rp. 500.000

Total Biaya Rp. 2.750.000


66

DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, D. Muliawati, R. 2013. Pilar Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat,


Yogyakarta; Nuha Mudika.

Amelia, N.R. 2015. Publikasi Ilmiah.. Hubungan Tingkat Presentase Cardiovascular


Load (% CVL) dengan Tingkat Kelelahan pada Kuli Angkut Buah di Pasar
Gede Hardjonagoto Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
http://eprints.ums.ac.id/38809/1/naskah%20publikasi.pdf. (Diakses 24/11/2017.
Pukul 23:20 WITA).

Atiqoh, J. Whyuni, I. Lestantyo, D. 2014. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal).


Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Kerja pada Pekerja
Konveksi Bagian Penjahitan di CV. Aneka Garment Gunungpati Semarang: 2
(2): 119-126. https://media.neliti.com/media/publications/18340-ID-faktor-
faktor-yang-berhubungan-dengan-kelelahan-kerja-pada-pekerja-konveksi-
bagi.pdf (Diakses 11/05/2017. Pukul 21:35 WITA).

Budiono, S. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan Keselamatan Kerja. Semarang Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.

Departemen Kesehatan RI. 2003. Traning Material Keselamatan Kerja dan


Keselamatan Kerja Bidang Kesehatan Kerja.

Firmansyah, F. 2010. Pengaruh Intensitas Penerangan terhadap Kelelahan Mata


pada Tenaga Kerja di Bagian Pengepakan PT. Ikapharmindo Putramas
Jakarta Timur. Skripsi. Universita Sebelas Maret Surakarta
https://core.ac.uk/download/pdf/12345209.pdf (Diakses 11/17/2017. Pukul
20:03).

Hariyono, W. Suryani, D. Wulandari, Yanuk. 2009. Hubungan Antara Beban Kerja,


Stres Kerja dan Tingkat Konflik Dengan Kelelahan Kerja Perawat Di Rumah
Sakit Islam Yogyakarta PDHI Kota Yogyakarta: 3: 162-232.
http://journal.uad.ac.id/index.php/KesMas/article/download/1107/pdf_29
(Diakses 11/12/2017. Pukul 18:22).

Hrrianto, R. 2009. Buku Ajar Kesehatan Kerja. EGC: Jakarta.


67

Maharja, R. 2015. The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health:


Analisis Tingkat Kelelahan Kerja Brdasarkan Beban eKrja Fisik Perawat di
Instansi Rawat Inap RSU Haji Surabaya: 4 (1): 93–102. http://e-
journal.unair.ac.id/index.php/IJOSH/article/view/1651 (Diakses 10/11/2017.
Pukul 20:18 WITA).

Masitoh, D. 2016. Analisis Postur Tubuh dengan Metode Rula pada Pekerja Welding
di Area Sub Assy PT. Fuji Techinca Indonesia Karwang. Skripsi. Universitas
Sebelas Maret. http://abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/R0013035_bab3.pdf
(Diakses 11/25/2017. Pukul 12:09).

Monkoginta, L.M. 2016. Kajian Beban Kerja dan Tingkat Stres Kerja Pada Pegawai
PT. Dosa Ni Roha Kupang Tahun 2016. Skripsi. (Belum dipublikasi)

Notoadmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Nurmianto, E. 1998. Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Guna Widya:


Surabaya.
Odi, K.D. 2017. Hubungan Sikap Kerja, Pencahayan dan Suhu terhadap Kelelahan
Kerja dan Kelelahan Mata pada Penjahit di Kampung Solor Kupang 2017.
Skripsi. (Belum Dipublikasi)
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2008. Tentang Pedoman Analisis
Beban Kerja di Lingkungan Departemen dalam Negeri dan Pemerintah
Daerah. Jakart
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1405/MENKES/SK/XI/2002. Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja
Perkantoran dan Industri. Jakarta.
Prayoga, D. 2014. Intensitas Pencahayaan dan Kelainan Refraksi Mata terhadap
Kelelahan Mata. Jurnal Kesehatan Masyarakat: Vol 9 (2):131-136.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=149847&val=5652&title=I
NTENSITAS%20PENCAHAYAAN%20DAN%20KELAINAN%20REFRAK
SI%20MATA%20TERHADAP%20KELELAHAN%20MATA. (Diakses
02/12/17. Pukul 16:32).

Santoso, G. 2004. Ergonomi Manusia, Peralatan dan Lingkungan. Prestasi Pustaka


Publisher: Sidoarjo.
68

Seko, F.A. 2014. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Mata pada
Penjahit di Kelurahan Kuanino Kecamatan Kota Raja Kota Kupang. Skripsi.
Universitas Nusa Cendana (Belum dipublikasi).

Sugiono, 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & d. Bandug:


Alfabeta.

Summa’mur. 2014. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES) Edisi 2.


CV Segung Seto: Jakarta.

Suma’mur. 1989. Keselamatan Kerja dan Penceghan Kecelakaan. Jakarta: PT.


Gunung Agung.

Staton, N. Hedge, A. Salas, E. Hendrik, H. 2015. Hanbook of Human Factors and


Ergonomics Metods. Washington, D.C: CRC PRESS

Syamruth, Y. 2009. Buku Ajar Biostatistika Inferensial. Kupang: Undana Press.

Witara, K. 2016. ISO 45001-Standarrd Kesehatan dan Keselamatan Kerja.Vol


54:28-30. http://stiemahardhika-sia.ac.id/utama/artikel/54.%20KT%20-
%20Jul%2016%20(45001).pdf. (Diakses p24/11/2017. Pukul 23:00 WITA).

Wulandari. S, Rossa. I, Trisnawati. E. 2016. Faktor-Faktor yang Berhubungan


dengan Kelelahan Mata pada Pengguna Komputer di Perusahaan Bursa Efek
Indonesia Perwakilan Pontianak. Universitas Muhammadiyah Pontianak.
http://repository.unmuhpnk.ac.id/250/2/Jurnal.docx. (Diakses 02/12/17. Pukul
17:02).
69

Lampiran 1

Kuesioner Penelitian

Determinan Kelelahan Kerja dan Kelelahan Mata pada Pekerja Rambut Palsu
PT. SUNG CANG Indonesia Kecamatan Kelapa Lima Kelurahan Lasiana Kota
Kupang

Selamat Pagi/Siang/Sore…
Saya Febri Mahalinda Maisal, Mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Nusa Cendana. Dalam rangka penyusunan tugas akhir sebagai syarat untuk mencapai
gelar sarjana, saya meminta kesediaan saudara untuk menjawab pertanyaan pada
kuesioner ini dengan lengkap dan sejujurnya untuk membantu kelancaran penelitian
yang sedang saya lakukan. Setiap data yang saudara isi pada kuesioner ini dijamin
kerahasiaannya.
Terimakasih.
Petunjuk Penguisian Kuesioner
Berilah tanda centang (√) pada kolom/kotak yang disediakan untuk setiap jawaban
yang saudara isikan.

1. Identitas Responden
1. Nama :
2. Umur :
3. Masa Kerja : ……..Tahun………..Bulan.
70

Lampiran 2
Kuesioner Kelelahan Kerja
Petunjuk
1 = TP : Tidak Pernah
2 = K : Kadang-kadang
3 = S : Sering
4 = SS : Sangat Sering
NO PERTANYAAN TP K S SS
1 Apakah Saudara merasa berat di bagian kepala ?
2 Apakah Saudara merasa lelah pada seluruh bagian badan ?
3 Apakah kaki saudara terasa berat ?
4 Apakah pikiran saudara terasa kacau ?
5 Apakah saudara merasa mengantuk ?
6 Apakah Saudara merasa beban dimata ?
7 Apakah saudara merasa kaku atau canggung dalam bergerak ?
8 Apakah saudara merasa sempoyongan ketika berdiri ?
9 Apakahada perasaan ingin berbaring ?
10 Apakah saudara susah berpikir ?
11 Apakah saudara merasa lelah berinteraksi/berkomunikasi
dengan orang lain?
12 Apakah ada perasaan ingin berbaring ?
13 Apakah saudara sulit untu berkosentrasi ?
14 Apakah saudara tidak dapat memusatkan perhatian thd
sesuatu?
15 Apakah saudara punya kecendrungan untuk lupa ?
16 Apakah saudara merasa kurang percaya diri ?
17 Apakah saudara merasa cemas terhadap sesuatu ?
18 Apakah saudara merasa tidak dapat mengontrol sikap ?
19 Apakah saudara merasa tidak dapat tekun dalam pekerjaan ?
20 Apakah saudara merasa sakit kepala ?
21 Apakah saudara merasa sakit/pegal dibagian bahu ?
22 Apakah saudara merasakan nyeri di punggung ?
23 Apakah nafas saudara terasa tertekan/ sulit untuk bernafas ?
24 Apakah saudara merasa pening/pusing?
25 Apakah saudara merasa kurang sehat ?
Terimakasih atas kesediaan saudara megisi kuesioner kelelahan kerja ini dengan
lengkap dan sejujurnya.
71

Lampiran 3
Kuesioner Kelelahan Mata
Petunjuk
1 = TT : Tidak Terasa
2 = AT : Agak Terasa
3=T : Terasa
4 = ST : Sangat Terasa

Dari tabel dibawah ini, manakah keluhan yang biasanya dirasakan ketika
sedang/setelah melakukan pekerjaan:
NO JENIS KELUHAN TINGKAT
KELUHAN
TT AT T ST
1 Mata merah
2 Mata berair
3 Mata perih
4 Mata terasa gatal
5 Mata kering
6 Mata terasa tegang
7 Mata terlihat kabur
8 Penglihatan terlihat ganda terhadap suatu objek
9 Penglihatan tidak fokus terhadap suatu objek
10 Mata terasa mengantuk
Terimakasih atas kesediaan saudara megisi kuesioner kelelahan mata ini dengan
lengkap dan sejujurnya.
72

Lampiran 4

Kuesioner Beban Kerja

No Pertanyaan Ya Tidak

1. Pekerjaan saya terasa berat pada satu


minggu terakhir ini
2. Saya harus bekerja dengan cepat untuk
menyelesikan pekerjaan saya/ mengejar
target
3. Pada jam istirahat saya juga mengerjakan
pekerjaan saya untuk mengejar target
4. Waktu luang saya bersama keluarga tersita
karena saya juga mengerjakan pekerjaan
kantor saya dirumah
5. Saya merasa tidak mampu menyelesaikan
pekerjaan saya sesuai target
6. Saya merasa waktu untuk menyelesaikan
pekerjaan tidak cukup dengan beban kerja
yang diberikan
7. Tanggung jawab dalam melaksanakan
pekerjaan terlalu besar sehingga membuat
saya tidak percaya diri untuk
mengerjakannya
8 Terkadang saya merasa sangat lelah dan
capek karena pekerjaan yang saya lakukan
terlalu berat
9. Saya pernah berpikir untuk berhenti dari
pekerjaan karena memiliki beban kerja
yang terlalu berat
10. Saya merasa upah/gaji yang diberikan
tidak sesuai dengan beban kerja saya
Terimakasih atas kesediaan saudara megisi kuesioner kelelahan mata ini dengan
lengkap dan sejujurnya.
73

Lampiran 5

Form penilaian Sikap Kerja Dengan metode RULA

Anda mungkin juga menyukai