Anda di halaman 1dari 18

ASUHAN KEPERAWATAN SPINA BIFIDA

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Diskusi Kelompok Pada Mata Kuliah Neurologi
Semester Tiga Yang Diampu Oleh Ns. Desi Ariyana R, M. Kep.

Oleh :

Kelompok 3

Elman Hardiasyah G2A016084 Agus Supriono G2A016091

Fivie Fridayanti G2A016085 Eka Sarima Hardiyani G2A016092

Shindy Mayangsari G2A016086 Yoga Angga Trinanda G2A016093

Agstri Dwi Marsela G2A016088 Fitrian Dewi W. G2A016094

Endah Titis Ningrum G2A016089 Khairisa Islamiati U . G2A016095

Hanifah Sahar Alafra G2A016090

PRODI S1 ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2017
BAB I : PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang
timbul sejak kehidupan hasiI konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat
merupakan sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera
setelah lahir. Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya sering
diakibatkan oleh kelainan kongenital yang cukup berat, hal ini seakan-akan
merupakan suatu seleksi alam terhadap kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan.
Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenitaI besar, umumnya akan dilahirkan
sebagai bayi berat lahir rendah bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa
kehamilannya. Bayi berat lahir rendah dengan kelainan kongenital berat, kira-kira
20% meninggal dalam minggu pertama kehidupannya.
Disamping pemeriksaan fisik, radiologik dan laboratorik untuk menegakkan
diagnose kelainan kongenital setelah bayi lahir, dikenal pula adanya diagnosisi
pre/- ante natal kelainan kongenital dengan beberapa cara pemeriksaan tertentu
misalnya pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban dan darah janin.
Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar diketahui. Pertumbuhan
embryonal dan fetaI dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor genetik, faktor
lingkungan atau kedua faktor secara bersamaan. Banyak kelainan kongenital yang
tidak diketahui penyebabnya. Faktor janinnya sendiri dan faktor lingkungan hidup
janin diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Masalah sosial, hipoksia,
hipotermia, atau hipertermia diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Seringkali
penyebab kelainan kongenitai tidak diketahui.
Salah satu kelainan congenital yang sering terjadi adalah meningokel.
Angka kejadiannya adalah 3 di antara 1000 kelahiran. Terjadi karena adanya
defek pada penutupan spina yang berhubungan dengan pertumbuhan yang tidak
normal korda spinalis atau penutupnya. Biasanya terletak di garis tengah.
Meningokel biasanya terdapat di daerah servikal atau daerah torakal sebelah atas.
Kantong hanya berisi selaput otak, sedangkan korda tetap dalam korda spinalis
(dalam durameter tidak terdapat saraf).
B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Untuk memenuhi tugas mata kuliah sistem neurobehavior. Agar mahasiswa
mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan spina bifida dan dapat
memberikan Asuhan Keperawatan yang sesuai.
2. Tujuan Khusus
Agar para pembaca mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan spina
bifida dan bisa memberikan Asuhan Keperawatan yang sesuai dengan standar
keperawatan yang telah ditentukan.

C. METODE PENULISAN
Pada penulisan amkalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada Gangguan
Sistem Imunology (Anafilaksis)” ini, penulis hanya menggunakan metode
penulisan dengan literatur saja. Dengan metode literatul ini penulis menemukan
berbagai sumber pada buku yang bersangkuta dengan judul.

D. SISTEMATIKA PENULISAN
A. BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penulisan,
Sistematika penulisan
B. BAB II KONSEP DASAR
Pengertian, Klasifikasi, Etiologi, Patofisiologi, Manifestasi klinik,
Penatalaksanaan, Pengkajian Fokus, Pathways Keperawatan, Diagnosa
Keperawatan, dan Fokus Intervensi
C. BAB III PENUTUP
Saran dan Penutup
BAB II : KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN

Menurut Arif Mutaqqin (2008:416) “Spina Bifida merupakan suatu kelainan


bawaan berupa defek pada arcus pascaerior tulang belakang akibat kegagalan
penutupan elemen saraf dari kanalis spinalis pada pekermbangan awal dari
embrio.”

Spina bifida adalah kondisi yang terjadi ketika janin berkembang di dalam
rahim dan tulang belakangnya tidak membentuk dengan benar (cacat tabung
saraf). Beberapa vertebra (ruas tulang di tulang belakang) tidak menutup untuk
membentuk lingkar normal mereka di sekitar sumsum tulang belakang. (Lionel
Ginsberg, 2005:162)

Menurut Bilqis (2014:10) “Spina Bifida merupakan jenis kelainan pada tulang
belakang yang ditandai dengan terbukanya satu atau tiga ruas tulang belakang dan
tidak tertutupnya kembali selama proses perkembangan. :

Jadi menurut kami spina bifida adalah suatu kondisi bawaan dimana terdapat
kelainan pada tulang belakang akibat dari kegagalan penutupan elemen saraf
kanalis spinalis yang menyebabkan terbukanya beberapa rua tulang belakang dan
tidak menutup kembali selama perkembangan.

Kalsifikasi Spina Bifida menurut Arif Mutaqqin (2008:417) :


a. Spina bifida okulta. Jenis ini termasuk yang paling ringan dan umum karena
hanya mengakibatkan terbentuknya celah kecil di antara ruas tulang punggung.
Spina bifida okulta umumnya tidak memengaruhi saraf sehingga penderitanya
cenderung mengalami gejala ringan atau bahkan tanpa gejala.
b. Meningokel. Pada jenis ini, pembukaan yang terbentuk berukuran cukup besar
sehingga selaput pelindung sumsum tulang belakang mencuat keluar dari
beberapa celah di tulang punggung dan membentuk kantung. Meningokel
merupakan jenis spina bifida yang paling jarang terjadi.
c. Mielomeningokel. Ini merupakan jenis spina bifida yang paling serius, di mana
kanal spinal bayi terbuka sepanjang beberapa ruas tulang belakang sehingga
membentuk kantung berisi selaput dan sumsum tulang belakang yang menonjol
keluar pada daerah punggung. Pada kasus yang sangat berat, kantung ini
bahkan tidak memiliki kulit. Akibatnya, bayi rentan mengalami infeksi yang
bisa mengancam jiwa
B. ETIOLOGI
Menurut Kenneth, Gary, Norman, dkk (2009:879)Penyebab di balik spina
bifida belum diketahui secara pasti, namun diduga ada sejumlah faktor yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya kecacatan ini. Di antaranya adalah:

a. Kekurangan asam folat. Memiliki kadar asam folat yang cukup terutama
sebelum dan selama masa kehamilan sangat penting untuk menurunkan risiko
bayi lahir dengan spina bifida. Sebaliknya, defisiensi asam folat merupakan
faktor pemicu yang paling signifikan dalam kasus spina bifida serta jenis
kecacatan tabung saraf lainnya.
b. Faktor keturunan. Orang tua yang pernah memiliki anak dengan spina bifida
mempunyai risiko lebih tinggi untuk kembali memiliki bayi dengan kelainan
yang sama.
c. Jenis kelamin. Kondisi ini lebih sering dialami oleh bayi perempuan.
d. Obat-obatan tertentu, khususnya asam valproat dan carbamazepine yang
digunakan untuk epilepsi atau gangguan mental, seperti gangguan bipolar.
e. Diabetes. Wanita yang mengidap diabetes memiliki risiko lebih tinggi untuk
melahirkan bayi dengan spina bifida.
f. Obesitas.Obesitas pada masa sebelum kehamilan akan meningkatkan risiko
seorang wanita untuk memiliki bayi dengan kecacatan tabung saraf, termasuk
spina bifida.
C. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi Cacat terbentuk pada trisemester pertama kehamilan,
penyebabnya karena tidak terbentuknya mesoderm pada daerah tersebut sehingga
bagian yang telah menyatu (prosesus nasalis dan maksilaris) pecah kembali.
Prosesnya bermula ketika perkembangan awal dari embrio mengalami kelainan
kongenital dimana hal ini akan mempengaruhi kegagalan penutupan elemen
syaraf dari kanalis spinalis sehingga terjadi defek pada arkus pascaerior tulang
belakang dan terjadi kegagalan fungsi arkus pascaerior vertebra pada daerah
lumbosakral maka terjadilah penyakit yang dinamakan spina bifida. Spina bifida
sendiri ada tiga jenis yaitu oculta, meningokel dan aperta (myelomeningokel).
Pada tipe okulta dan meningokel akan terjadi paralisis spastik dan peningkatan
TIK yang akan beresiko pada herniasi dan defisit neurologis. Pada
myelomeningokel justru lebih parah lagi dimana terlibatnya struktur syaraf dalam
spina bifida tersebut yang juga dapat menyebabkan defisit neurologis.
Kesemuanya dapat menyebabkan paralisa visera, motorik dan sensorik yang pada
akhirnya akan berakibat pada hambatan mobilitas fisik. (Muttaqin, 2008 : hal 250)
D. MANIFESTASI KLINIK
Gejalanya bervariasi, tergantung kepada beratnya kerusakan pada korda
spinalis dan akar saraf yang terkena. Beberapa anak memiliki gejala ringan atau
tanpa gejala; sedangkan yang lainnya mengalami kelumpuhan pada daerah yang
dipersarafi oleh korda spinalis maupun akar saraf yang terkena.
Terdapat beberapa jenis spina bifida:
1. Spina bifida okulta : merupakan spina bifida yang paling ringan. Satu atau
beberapa vertebra tidak terbentuk secara normal, tetapi korda spinalis dan
selaputnya (meningens) tidak menonjol.
Gejala pada spina bifida okulta:
 seberkas rambut pada daerah sakral (panggul bagian belakang)
 lekukan pada daerah sakrum.
2. Meningokel : meningens menonjol melalui vertebra yang tidak utuh dan teraba
sebagai suatu benjolan berisi cairan di bawah kulit.
3. Mielokel : jenis spina bifida yang paling berat, dimana korda spinalis menonjol
dan kulit diatasnya tampak kasar dan merah.
Gejalanya berupa:
 penonjolan seperti kantung di punggung tengah sampai bawah pada bayi baru
lahir
 jika disinari, kantung tersebut tidak tembus cahaya
 kelumpuhan/kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki - penurunan sensasi
 inkontinensia uri (beser) maupun inkontinensia tinja
 korda spinalis yang terkena rentan terhadap infeksi (meningitis).
E. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Medis
Pembedahan mielomeningokel dilakukan pada periode neonatal untuk
mencegah ruptur. Perbaikan dengan pembedahan pada lesi spinal dan pirau
CSS pada bayi hidrocefalus dilakukan pada saat kelahiran. Pencangkokan pada
kulit diperlukan bila lesinya besar. Antibiotic profilaktik diberikan untuk
mencegah meningitis. Intervensi keperawatan yang dilakukan tergantung ada
tidaknya disfungsi dan berat ringannya disfungsi tersebut pada berbagai
sistem tubuh. Berikut ini adalah obat-obat yang dapat diberikan :

Antibiotic digunakan sebagai profilaktik untuk mencegah infeksi


saluran kemih (seleksi tergantung hasil kultur dan sensitifitas). Antikolinergik
digunakan untuk meningkatkan tonus kandung kemih. Pelunak feces dan
laksatif digunakan untuk melatih usus dan pengeluaran feces. (Cecily L Betz
dan Linda A Sowden, 2002, halaman 469)

Penatalaksanaan Keperawatan
Preoperasi segera setelah lahir daerah yang terpapar harus dikenakan
kasa steril yang direndam salin yang ditutupi plastik, atau lesi yang terpapar harus
ditutupi kasa yang tidak melekat, misalnya telfa untuk mencegah jaringan
syaraf yang terpapar menjadi kering. Perawatan prabedah neonatus rutin
dengan penekanan khusus pada mempertahankan suhu tubuh yang dapat
menurun dengan cepat. Pada beberapa pusat tubuh bayi ditempatkan dalam
kantong plastik untuk mencegah kehilangan panas yang dapat terjadi akibat
permukaan lesi yang basah.- Suatu catatan aktivitas otot pada anggota gerak
bawah dan spingter analakan dilakukan oleh fisioterapist.- Lingkaran oksipito-
frontalis kepala diukur dan dibuat grafiknya.
Pasca operasi- Perawatan pasca bedah neonatus umum- Pemberian makanan
peroral dapat diberikan 4 jam setelah pembedahan.- Jika ada drain penyedotan
luka maka harus diperiksa setiap jam untuk menjamin tidak adanya belitan atau
tekukan pada saluran dan terjaganya tekana negatif dalam wadah. Cairan akan
berhenti berdrainase sekitar 2 atau 3 hari pasca bedah, dimana pada saat ini
drain dapat diangkat.Pembalut luka kemungkinan akan dibiarkan utuh, dengan
inspeksi yangteratur, hingga jahitan diangkat 10 - 12 hari setelah pembedahan.
Akibat kelumpuhan anggota gerak bawah, maka rentang gerakan pasif yang
penuh dilakukan setiap hari. Harus dijaga agar kulit di atas perinium dan bokong
tetap utuh dan pergantian popok yang teratur dengan pembersihan dan
pengeringan yang seksama merupakan hal yang penting. Prolaps rekti dapat
merupakan masalah dini akibat kelumpuhan ototdasar panggul dan harus
diusahakan pemakaian sabuk pada bokong . Lingkaran kepala diukur dan dibuat
grafik sekali atau dua kali seminggu. Seringkali terdapat peningkatan awal dalam
pengukuran setelah penutupan cacad spinal dan jika peningkatan ini berlanjut dan
terjadi perkembangan hidrosefalus maka harus diberikan terapi yang sesuai.
(Rosa.M.Sacharin,1996).
F. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan keluarga.
Adakah yang menderita penyakit sejenis, bagaimana kondisi kehamilan ibu
(demam selama kehamilan, epilepsi, mengkonsumsi obat-obat tertentu, dsb), kaji
kehamilan sebelumnya (angka kejadian semakin meningkat jika pada kehamilan
dua sebelumnya menderita meningomielokel atau anencefali).
2. Riwayat kesehatan sekarang.
Apa keluhan utama (kelumpuhan, gangguan eliminasi, dsb), adakah penderita
yang samadi lingkungan penderita, sudah berapa lama menderita, kapan gejala
terasa dan keluhan lain apa yang mengikutinya.
3. Pengkajian fisik
pada pengkajian fisik didapat data-data sebagai berikut :
- aktivitas/istirahat
Tanda : kelumpuhan tungkai tanpa terasa atau refleks pada bayi.gejala : dislokasi
pinggul.
- sirkulasi
Tanda : pelebaran kapiler dan pembuluh nadi halus, hipotensi, ekstremitas dingin
atau sianosis
.- eliminasi
Tanda : diurnal ataupun nocturnal, inkontinensia urin/alfi, konstipasi kronis.
.- nutrisi
Tanda : distensi abdomen, peristaltic usus lemah/hilang (ileus paralitik).
- neuromuskuler
Tanda : gangguan sensibilitas segmental dan gangguan trofik paralisis kehilangan
refleksasimetris termasuk tendon dalam, kehilangan tonus otot/vasomotor ;
kelumpuhan lengan tungkai dan otot bawah
.- pernapasan
Tanda : pernapasan dangkal, periode apneu, penurunan bunyi napas.
Gejala : napas pendek, sulit bernapas.
- kenyamanangejala : suhu yang berfluktuasi

4. Pemeriksaan diagnostic
- mri, ct scan, x-ray
- tes serum alfa fetoprotein (afp)
- ultrasound
(cecily l betz dan linda a sowden, 2002)
G. PATHWAYS

Perkembangan awal dari embrio


Gangguan
Kelainan kongenital
pertumbuhan dan
perkembangan
Kegagalan penutupan elemen saraf
dari kanalis spinalis

Defek pada arkus pascaerior


tulang belakang

Kegagalan fungsi arkus pascaerior vertebra pada


daerah lumbosakral

Spina Bifida Okulta Spina Bifida Aperta

Terlibatnya struktur
Paralisis spastik Peningkatan TIK saraf

Resiko tinggi cedera

Defisit neurologis

Paralisis visera Paralisis motorik Paralisis sensorik

Gangguan Inkontinensia Paralisis anggota gerak Kehilangan sensorik


urine dan inkontinensia bawah anggota gerak bawah
alvi

Hambatan Mobilitas
Risiko tinggi kerusakan
Fisik
integritas kulit
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan spinal malformation dan luka


operasi
2. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan
kebutuhan positioning, defisit stimulasi dan perpisahan
3. Hambatan Mobilitas Fisik berhubungan dengan Paralisis anggota gerak
bawah
4. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan peningkatan intra kranial (TIK)
5. Risiko tinggi kerusakan integritas kulit dan eleminasi urin berhubungan
dengan paralisis, penetesan urin yang kontinu dan feses.

I. INTERVENSI DAN RASIONAL

1. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan spinal malformation dan luka


operasi
TUJUAN DAN INTERVENSI RASIONAL
KRITERIA
HASIL
Pasien bebas dari 1. Monitor tanda-tanda 1. Untuk melihat
infeksi dan pasien vital. Observasi tanda tanda-tanda
menunjukan respon infeksi : perubahan suhu, terjadinya resiko
neurologik yang warna kulit, malas infeksi
normal. minum , irritability, 2. Untuk melihat dan
Dengan kriteria perubahan warna pada mencegah
hasil : myelomeingocele. terjadinya TIK dan
- Suhu dan TTV 2. Ukur lingkar kepala hidrosepalus
normal, setiap 1 minggu sekali, 3. Untuk mencegah
- Luka operasi, observasi fontanel dari terjadinya luka
- insisi bersih cembung dan palpasi infeksi pada kepala
sutura kranial (dekubitus)
3. Ubah posisi kepala setiap 4. Menghindari
3 jam untuk mencegah terjadinya luka
dekubitus infeksi dan trauma
4. Observasi tanda-tanda terhadap
infeksi dan obstruksi jika pemasangan shun
terpasang shunt, lakukan
perawatan luka pada
shunt dan upayakan agar
shunt tidak tertekan

2. Hambatan Mobilitas Fisik berhubungan dengan Paralisis anggota gerak


bawah

TUJUAN DAN INTERVENSI RASIONAL


KRITERIA HASIL
Setelah diberikan 1.Kaji tingkat kemampuan 1.ROM aktif dapat
asuhan keperawatan ROM aktif pasien membantu dalam
selama 5x24 jam 2. Anjurkan pasien untuk mempertahankan/
diharapkan pasien melakukan body meningkatkan kekuatan

mampu mechanic dan ambulasi dan kelenturan otot,


mempertahankan fungsi
menggerakkan 3. Berikan sokongan
cardiorespirasi, dan
bagian tubuh yang (support) pada ekstremitas
mencegah kontraktur dan
mengalami yang luk
kekakuan sendi
inkontinuitas, dengan 4. Ajarkan cara-cara yang
2. Body mechanic dan
kriteria hasil : benar dalam
melakukan ambulasi merupakan
1. Pasien mampu macam-macam mobilisasi usaha koordinasi diri
melakukan ROM seperti body mechanicROM muskuloskeletal dan
aktif, body mechanic, aktif, dan ambulasi sistem saraf untuk
dan ambulasi dengan KOLABORASI : mempertahankan

perlahan 5. Kolaborasi dengan keseimbangan yang tepat


2. Neuromuskuler fisioterapi dalam 3. Memberikan
sokongan pada
dan skeletal tidak penanganan traksi yang
ekstremitas yang luka
mengalami atrofi dan boleh digerakkan dan yang
terlatih belum boleh digerakkan dapat mingkatkan kerja
3. Pasien mampu vena, menurunkan

sedini mungkin edema, dan mengurangi


rasa nyeri
melakukan
4. Agar pasien
mobilisasi apabila
terhindar dari kerusakan
kontinuitas
kembali pada ekstremitas
neuromuskuler dan
yang luka
skeletal berada dalam
tahap penyembuhan
total
5. Penanganan yang
tepat dapat mempercepat
waktu penyembuhan

3. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan


kebutuhan positioning, defisit stimulasi dan perpisahan

TUJUAN DAN INTERVENSI RASIONAL


KRITERIA HASIL
Anak mendapat 1. Ajarkan orangtua 1. Supaya orangtua
stimulasi cara merawat bayinya dapat mandiri dan
perkembangan. Dengan dengan memberikan menerima segala
kriteria hasil : terapi pemijatan bayi sesuatu yang sudah
2. Posisikan bayi prone terjadi
- Bayi / anak
atau miring 2. Untuk mencegah
berespon terhadap
kesalahasatu sisi terjadinya luka
stimulasi yang
3. Lakukan stimulasi infeksi dan tekanan
diberikan
taktil/pemijatan saat terhadap luka
- Bayi / anak tidak
melakukan perawatan 3. Untuk mencegah
menangis
kulit terjadinya luka
berlebihan memar dan infeksi
- Orangtua dapat yang melebar
melakukan disekitar luka
stimulasi
perkembangan
yang tepat untuk
bayi / anaknya

4. Risiko tinggi trauma berhubungan dengan lesi spinal

TUJUAN DAN INTERVENSI RASIONAL


KRITERIA HASIL
Pasien tidak mengalami 1. Rawat bayi dengan 1. Untuk mencegah
trauma pada sisi cermat kerusakan pada
bedah/lesi spinal 2. Tempatkan bayi pada kantung
Kriteria Hasil: posisi telungkup atau 2. meningeal atau sisi
miring pembedahan Untuk
- Kantung
3. Gunakan alat meminimalkan
meningeal tetap
pelindung di sekitar tegangan pada
utuh
kantung ( mis : slimut kantong meningeal
- Sisi pembedahan
plastik bedah) atau sisi
sembuh tanpa
4. Modifikasi aktifitas pembedahan
trauma
keperawatan rutin 3. Untuk memberi
(mis : memberi lapisan pelindung
makan, member agar tidak terjadi
kenyamanan) iritasi serta infeksi
4. Mencegah
terjadinya trauma
5. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan peningkatan intra kranial (TIK)

TUJUAN DAN INTERVENSI RASIONAL


KRITERIA HASIL
Pasien tidak mengalami 1. Observasi dengan 1. Untuk mencegah
peningkatan tekanan cermat adanya keterlambatan
intrakranial tanda-tanda tindakan
Kriteria Hasil : peningkatan TIK 2. Sebagai pedoman
- Anak tidak 2. Lakukan pengkajian untuk pengkajian
menunjukan bukti- Neurologis dasar pascaoperasi dan
bukti peningkatan pada praoperasi evaluasi fungsi firau
TIK 3. Ajari keluarga 3. Praktisi kesehatan
tentang tanda-tanda untuk mencegah
peningkatan TIK dan keterlambatan
kapan harus tindakan
memberitahu

6. Risiko tinggi kerusakan integritas kulit dan eleminasi urin berhubungan


dengan paralisis, penetesan urin yang kontinu dan feses.

TUJUAN DAN INTERVENSI RASIONAL


KRITERIA HASIL
pasien tidak mengalami 1. Jaga agar area 1. Untuk mengrangi
iritasi kulit dan perineal tetap bersih tekanan pada lutut
gangguan eleminasi dan kering dan dan pergelangan
urin tempatkan anak pada kaki selama posisi
Kriteria hasil : permukaan telengkup
- kulit tetap bersih pengurang tekanan. 2. Untuk meningkatkan
dan kering tanpa 2. Masase kulit dengan sirkulasi.
bukti-bukti iritasi perlahan selama 3. Untuk memberikan
dan gangguan pembersihan dan kelancaran eleminasi
eleminasi. pemberian lotion.
3. Berikan terapi
stimulant pada bayi
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Spina bifida adalah kondisi yang terjadi ketika janin berkembang di dalam rahim
dan tulang belakangnya tidak membentuk dengan benar (cacat tabung saraf).
Beberapa vertebra (ruas tulang di tulang belakang) tidak menutup untuk
membentuk lingkar normal mereka di sekitar sumsum tulang belakang. (Lionel
Ginsberg, 2005:162).
Kelainan pada spina bifida bervariasi, sehingga dikelompokkan menjadi beberapa
jenis yaitu : spina bifida okulta, meningokel, dan myelomeningokel.
Faktor genetik dan lingkungan (nutrisi atau terpapar bahan berbahaya) dapat
menyebabkan resiko melahirkan anak dengan spina bifida.
Kelainan yang umumnya menyertai penderita spina bifida antara lain:
hidrosefalus, siringomielia,dan dislokasi pinggul.
Tanda-tanda fisik yang umumnya bisa dilihat adalah penonjolan seperti kantung
di punggung tengah sampai bawah pada bayi baru lahir jika disinari, kantung
tersebut tidak tembus cahaya dan kelumpuhan/kelemahan pada pinggul, tungkai
atau kaki.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada klien dengan spina bifida adalah
pembedahan, bowel training, ambulasi, rehabilitasi medik, orthopedik, dan
urologi.

3.2 SARAN
Deteksi dini dan pencegahan pada awal kehamilan dianjurkan untuk semua ibu
yang telah melahirkan anak dengan gangguan ini dan dan pemeriksaan ditawarkan
bagi semua wanita hamil.
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily L,dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC.3.

Bilqis. 2014. Lebih dekat dengan anak tunadaksa. Jakarta: Diandra Kreatif.

Catzel, Pincus. 1994. Kapita Selekta Pediatri. Edisi II. Editor : Adrianto, Petrus. Jakarta :EGC.2.

Corwin, Elizabeth J.2009.Buku saku Patofisiologi.Jakarta: EGC.

Doenges Marillyn E,dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan pedoman untuk perencanaan
pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3..Jakarta: EGC.

Ginsberg, Lionel.2005. Lecture note:Neurologi edisi 8. Jakarta: Airlangga

Kenneth, Gary, Norman, dkk. 2009. Obstetri William:Panduan Ringkas edisi 21.
Jakarta:EGC

Muttaqin, Arif.2008.Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Persyarafan.Jakarta: Salemba Medika.

Rendle, John Dkk. 1994. Ikhtisar Penyakit Anak Edisi 6 Jilid 2. Bina Rupa Aksara:Jakarta4.

Sacharin, Rosa M. 1996. Prinsip Keperawatan Pediatrik. Editor : Ni Luh Yasmin.


Jakarta:EGC.5.

Wong, Donna L. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi IV. Jakarta: EGC.6.

Anda mungkin juga menyukai