Anda di halaman 1dari 10

ASkep spina bifida

ASKEP SPINA BIFIDA

BAB 1
Pendahuluan
A. Latar belakang
Penyakit spina bifida atau sering dikenal sebagai sumbing tulang belakang adalah
salah satu penyakit yang banyak terjadi pada bayi. Penyakit ini menyerang medula spinalis
dimana ada suatu celah pada tulang belakang (vertebra). Hal ini terjadi karena satu atau
beberapa bagian dari vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh dan dapat
menyebabkan cacat berat pada bayi, ditambah lagi penyebab utama dari penyakit ini masih
belum jelas.
Hal ini jelas mengakibatkan gangguan pada sistem saraf karena medula spinalis
termasuk sistem saraf pusat yang tentunya memiliki peranan yang sangat penting dalam
sistem saraf manusia. Jika medula spinalis mengalami gangguan, sistem-sistem lain yang
diatur oleh medula spinalis pasti juga akan terpengaruh dan akan mengalami ganggusn pula.
Hal ini akan semakin memperburuk kerja organ dalam tubuh manusia, apalagi pada bayi yang
sistem tubuhnya belum berfungsi secara maksimal.
Fakta mengatakan dari 3 kasus yang sering terjadi pada bayi yang baru lahir di
Indonesia yaitu ensefalus, anensefali, dan spina bifida, sebanyak 65% bayi yang baru lahir
terkena spina bifida. Sementara itu fakta lain mengatakan 4,5% dari 10.000 bayi yang lahir di
Belanda menderita penyakit ini atau sekitar 100 bayi setiap tahunnya. Bayi-bayi tersebut
butuh perawatan medis intensif sepanjang hidup mereka. Biasanya mereka menderita lumpuh
kaki, dan dimasa kanak-kanak harus dioperasi berulang kali.
Dalam hal ini perawat dituntut untuk dapat profesional dalam menangani hal-hal yang
terkait dengan spina bifida misalnya saja dalam memberikan asuhan keperawatan harus tepat
dan cermat agar dapat meminimalkan komplikasi yang terjadi akibat spina bifida.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menjelaskan tentang konsep penyakit spina bifida serta pendekatan asuhan
keperawatannya.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi definisi dari spina bifida.
b. Mengidentifikasi etilogi spina bifida.
c. Mengidentifikasi manifestasi klinis spina bifida.
d. Menguraikan patofisiologi spina bifida
e. Mengidentifikasi penatalaksaan serta pencegahan pada spina bifida
f. Mengidentifikasi pengkajian pada klien dengan spina bifida.
g. Mengidentifikasi diagnosa pada klien dengan spina bifida.
h. Mengidentifikasi intervensi pada klien dengan spina bifida.
i. Mengidentifikasi evaluasi pada klien dengan spina bifida.

BAB 2
Tinjauan Teori

A. Definisi
Spina bifida merupakan suatu kelainan bawaan berupa defek pada arkus tulang
belakang akibat kegagalan penutupan elemen saraf dari kanalis spinalis pada perkembangan
awal embrio (Rasjad, 1998).
Spina bifida adalah defek pada penutupan kolumna vertebralis dengan aatau tanpa
tingkatan protusi jaringan melalui celah tulang (Wong,2003).
Spina bifida adalah kegagalan arkus vertebralis untuk berfusi di posterior
(Sacharin,1996)

B. Klasifikasi
1. Spina bifida okulta
Merupaka spina bifida yang paling ringan satu atau beberapa vertebra tidak terbentuk
secara normal, tetapi korda spinalis dan selaput otak ( meningitis ) tidak menonjol.
Gejalanya:
a. Seberkas rambut pada daerah sakral (panggul bagian belakang)
b. Lekukan pada daerah sacrum
2. Spina bifida aperta
Bentuk cacat tabung saraf tempat kantong selaput otak menonjol melalui lobang.
Kulit diatas pembengkakan biasanya tipis, tekanan pada kantong menyebabkan fontanella
menonjol. Spina Bifida Aperta dapat terjadi 2 keadaan :
a. Meningokel
Adalah ketika kantung berisi cairan cerebro-tulang belakang (cairan yang
mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang) dan meninges (jaringan yang meliputi
sumsum tulang belakang), tidak ada keterlibatan saraf. meningens menonjol melalui vertebra
yang tidak utuh dan teraba sebagai suatu benjolan dari cairan dibawah kulit.
Meningokel melibatkan meningen, yaitu selaput yang bertanggung jawab untuk
menutup dan melindungi otak dan sumsum tulang belakang. Meningokel memiliki gejala
lebih ringan daripada myelomeningokel karena korda spinalis tidak keluar dari tulang
pelindung, Meningocele adalah meningens yang menonjol melalui vertebra yang tidak utuh
dan teraba sebagai suatu benjolan berisi cairan di bawah kulit dan ditandai dengan
menonjolnya meningen, sumsum tulang belakang dan cairan serebrospinal. Meningokel
seperti kantung di pinggang, tapi disini tidak terdapat tonjolan saraf corda spinal. Seseorang
dengan meningocele biasanya mempunyai kemampuan fisik lebih baik dan dapat mengontrol
saluran kencing ataupun kolon.
b. Myelomeningokel
Myelomeningokel ialah jenis spina bifida yang kompleks dan paling berat, dimana
korda spinalis menonjol dan keluar dari tubuh, kulit diatasnya tampak kasar dan merah.
Penaganan secepatnya sangat di perlukan untuk mengurangi kerusakan syaraf dan infeksi
pada tempat tonjolan tesebut. Jika pada tonjolan terdapat syaraf yang mempersyarafi otot atau
extremitas, maka fungsinya dapat terganggu, kolon dan ginjal bisa juga terpengaruh. Jenis
myelomeningocale ialah jenis yang paling sering dtemukan pada kasus spina bifida.
Kebanyakan bayi yang lahir dengan jenis spina bifida juga memiliki hidrosefalus, akumulasi
cairan di dalam dan di sekitar otak.

C. Etiologi
1. Kekurangan Asam Folat
Resiko melahirkan anak dengan spina bifida berhubungan erat dengan kekurangan
asam folat, terutama yang terjadi pada awal kehamilan.
2. Faktor genetic (congenital)
3. Lingkungan (nutrisi atau terpapar bahan berbahaya)
Dapat menyebabkan resiko melahirkan anak dengan spina bifida. Pada 95 % kasus
spina bifida tidak ditemukan riwayat keluarga. Resiko akan melahirkan anak dengan spina
bifida 8 kali lebih besar bila sebelumnya pernah melahirkan anak spina bifida.

D. Manifestasi klinik
Gejalanya bervariasi, tergantung kepada beratnya kerusakan pada korda spinalis dan
akar saraf yang terkena. Beberapa anak memiliki gejala ringan atau tanpa gejala; sedangkan
yang lainnya mengalami kelumpuhan pada daerah yang dipersarafi oleh korda spinalis
maupun akar saraf yang terkena.
Gejalanya berupa:
1. Penonjolan seperti kantung di punggung tengah sampai bawah pada bayi baru lahir jika
disinari, kantung tersebut tidak tembus cahaya
2. Kelumpuhan/kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki
3. Penurunan sensasi untuk merasakan rabaan.
4. Inkontinensia urin (beser) maupun inkontinensia tinja
5. Korda spinalis yang terkena rentan terhadap infeksi (meningitis).
6. Seberkas rambut pada daerah sakral (panggul bagian belakang).
7. Lekukan pada daerah sakrum.
8. Abnormalitas pada lower spine selalu bersamaan dengan abnormalitas upper spine (arnold
chiari malformation) yang menyebabkan masalah sulit bergerak.
9. Deformitas pada tulang belakang, panggul, dan kaki sering terjadi akibat ketidakseimbangan
kekuatan otot dan fungsi.
10. Masalah bladder dan bowel berupa ketidakmampuan untuk merelaksasikan otot (sphincter)
sehingga menahan urine pada bladder dan feses pada rectum.

E. Patofisiologi
Penyebab terjadinya spina bifida dipengaruhi dari factor congenital dan konsumsi
asam folat ibunya saat tidak hamil. Kongenintal akan menurunkan gen untuk terjadinya spina
bifida. Kekurangan konsumsi asam folat oleh ibu saat hamil membuat proses maturasi organ-
organ tubuh bayi terganggu sehingga berakibat lahir spina bifida. Pengaruh perkembangan
embrio yang tergaganggu mengakibatkan kanalis vertebra tidak mampu menutup dengan
sempurna sehingga mengakibatkan kegagalan fungsi arkus pada lumbal dan sacral yang
mengakibatkan adanya benjolan massa pada tulang vertebra di lumbosacral.
Spina bifida terbagi menjadi dua yaitu, spina bifida okulata dan spina bifida aperta.
Spina bifida mengakibatkan paralisis spatik dan peningkatan TIK yang berakibat terjadinya
resiko cidera. Sedangkan spina bifida aperta berpengaruh terhadap struktur saraf sehingga
berakibat deficit neuorologis. Deficit neurologis menyebabkan paralisis sensorik dan motorik
yang berakibat paralisis anggota gerak bagian bawah dan terjadi hambatan mobilitas fisik.
Deficit neuorologis menyerang paralisis visera yang menyebabkan tertahannya spinkter
uretra sehingga urin tertahan di kantong kemih. Tindakan pembedahan mengakibatkan
adanya luka insisi yang berisiko terjadinya infeksi serta rasa nyeri.

F. Pathway
Kekurangan Asam folat faktor genetik

Mempengaruhi Perkembangan awal embrio

Kelainan Kongenital

Defek penutupan kanalis vertebra

Defek pada arkus pascaerior tulang belakang

Kegagalan fungsi arkus pada lumbal dan sacral

Spina bifida Okulta

Spina bifida aperta


Terlibatnya StrukturSaraf
Paralisis spatik Peningkatan TIK

Resiko Tinggi Cidera Defisit

neurologis

Paralisis visera Paralisis motorik Paralisis sensorik

Gg. Inkontinesia paralisisis anggota kehlngan

snsri angg.grk bwh


Urine gerak bawah

Hambatan Mobilitas Fisik

Pemebedahan
Insisi luka opresi Injuri Fisik

Resiko infeksi Nyeri akut

G. Komplikasi
Komplikasi lain dari spina bifida yang berkaitan yang berkaitan dengan kelahiran antara
lain adalah :
1. Paralisis Cerebri
2. Retardasi Mental
3. Atrofi Otot
4. Osteoporosis
5. Fraktur (akibat penurunan massa otot).

H. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Pada trimester
pertama wanita hamil menjalani pemeriksaan darah yang disebut Triple Screen. Tes ini
merupakan tes penyaringan untuk spina bifida, sindroma down dan kelainan bawaan lainnya.
85 % wanita yang mengandung bayi dengan spina bifida akan memiliki kadar serum alfa
feytoprotein yang tinggi. Tes ini memiliki angka positif palsu yang tinggi, karena itu jika
hasilnya positif, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk memperkuat diagnosis.
Dilakukan USG yang biasanya dapat menemukan adanya spina bifida. Kadang dilakukan
amniosentesis (analisa cairan ketuban) Setelah bayi lahir, dilakukan pemeriksaan berikut :
1. Rontgen tulang belakang untuk menentukan luas dan lokasi kelainan.
2. USG tulang belakang bisa menunjukkan adanya kelainan pada korda spinalis maupun
vertebra.
3. CT-Scan atau MRI tulang belakang kadang dilakukan untuk menentukan lokasi dan luasnya
kelainan.

I. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
Pembedahan mielomeningokel dilakukan pada periode neonatal untuk mencegah
ruptur. Perbaikan dengan pembedahan pada lesi spinal dan pirau CSS pada bayi hidrocefalus
dilakukan pada saat kelahiran. Pencangkokan pada kulit diperlukan bila lesinya besar.
Antibiotic profilaktik diberikan untuk mencegah meningitis. Intervensi keperawatan yang
dilakukan tergantung ada tidaknya disfungsi dan berat ringannya disfungsi tersebut pada
berbagai sistem tubuh.
Berikut ini adalah obat-obat yang dapat diberikan :
a. Antibiotic digunakan sebagai profilaktik untuk mencegah infeksi saluran kemih (seleksi
tergantung hasil kultur dan sensitifitas).
b. Antikolinergik digunakan untuk meningkatkan tonus kandung kemih.
c. Pelunak feces dan laksatif digunakan untuk melatih usus dan pengeluaran feces. (Cecily L
Betz dan Linda A Sowden, 2002, halaman 469)
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Pre operasi
Segera setelah lahir daerah yang terpapar harus dikenakan kasa steril yang direndam
salin yang ditutupi plastik, atau lesi yang terpapar harus ditutupi - Perawatan prabedah
neonatus rutin dengan penekanan khusus pada mempertahankan suhu tubuh yang dapat
menurun dengan cepat. Pada beberapa pusat tubuh bayi ditempatkan dalam kantong plastik
untuk mencegah kehilangan panas yang dapat terjadi akibat permukaan lesi yang basah.
Suatu catatan aktivitas otot pada anggota gerak bawah dan spingter anal akan dilakukan oleh
fisioterapist. Lingkaran oksipito-frontalis kepala diukur dan dibuat grafiknya.

b. Pasca operasi
1) Perawatan pasca bedah neonatus umum
2) Pemberian makanan peroral dapat diberikan 4 jam setelah pembedahan.
3) Jika ada drain penyedotan luka maka harus diperiksa setiap jam untuk menjamin tidak
adanya belitan atau tekukan pada saluran dan terjaganya tekanan negatif dalam wadah.
Cairan akan berhenti berdrainase sekitar 2 atau 3 hari pasca bedah, dimana pada saat ini drain
dapat diangkat. Pembalut luka kemungkinan akan dibiarkan utuh, dengan inspeksi yang
teratur, hingga jahitan diangkat 10 12 hari setelah pembedahan.
4) Akibat kelumpuhan anggota gerak bawah, maka rentang gerakan pasif yang penuh dilakukan
setiap hari. Harus dijaga agar kulit di atas perinium dan bokong tetap utuh dan pergantian
popok yang teratur dengan pembersihan dan pengeringan yang seksama merupakan hal yang
penting.
5) Prolaps rekti dapat merupakan masalah dini akibat kelumpuhan otot dasar panggul dan harus
diusahakan pemakaian sabuk pada bokong .
6) Lingkaran kepala diukur dan dibuat grafik sekali atau dua kali seminggu. Seringkali terdapat
peningkatan awal dalam pengukuran setelah penutupan cacad spinal dan jika peningkatan ini
berlanjut dan terjadi perkembangan hidrosefalus maka harus diberikan terapi yang sesuai.
(Rosa.M.Sacharin,1996).

J. Diagnosa yang mungkin muncul


1. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan spinal malformation dan luka operasi
2. Berduka berhubungan dengan kelahiran anak dengan spinal malformation
3. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan kebutuhan positioning,
defisit stimulasi dan perpisahan
4. Risiko tinggi trauma berhubungan dengan lesi spinal
5. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan peningkatan intra kranial (TIK)
6. Risiko tinggi kerusakan integritas kulit dan eleminasi urin berhubungan dengan paralisis,
penetesan urin yang kontinu dan feses.
BAB 3
Asuhan keperawatan kasus
a. Pengkajian (Gordon)
b. Analisa data
no Data Masalah etiologi
DO :
DS
c. Perencanaan keperawatan
no Diagnose/masalah kolaborasi NOC NIC
Label outcome Label intervensi
Criteria hasil intervensi
d. Catatan perkembangan
Diagnose : .
no Hari/tgl waktu intervensi Evaluasi
Bubuhkan nama +ttd S
O
A
P
Bubuhkan nama+ttd
BAB 4
Kesimpulan

BAB 5
Daftar pustaka.
Diposkan 17th May oleh WWahyu Yuliana

Anda mungkin juga menyukai