Anda di halaman 1dari 12

Budaya Ilmiah

Aug 21 Posted by Tri Sagirani in Catatan Pendek Bicara tentang budaya berati kita sedang fokus pada value of life, budaya terbukti bertahun-tahun yang pada akhirnya menjadi sebuah tradisi. Siapapun orangnya yang masuk kedalam wilayah itu harus ikut dan tunduk pada apa yang diyakini oleh para pendahulu-pendahulunya. Suatu misal diaerah tertentu seseorang (warga) harus berjalan merunduk jika ketemu seorang raja, maka jika suatu ketika kita masuk ke daerah tersebut maka kita harus juga merunduk jika ketemu sang raja, satu kali saja kita tidak mengikuti arus maka kita menjadi orang aneh buat mereka (kata orang jawa: ngowah-ngowahi adat). Sedangkan budaya ilmiah, dicirikan dengan adanya rasionalitas didalamnya dan indikatornya adalah adanya sebab akibat yang dikendalikan dengan sebuah data, analisa dan pengecekan/ pemeriksaan terhadap benar dan tidaknya (cek recek, cek croscek dan cek total cek). Budaya ilmiah menjauhkan diri seseorang dari usahausaha plagiat, mengambil hasil karya orang lain dan mengatasnamakan sesuatu yang bukan menjadi hak nya. Budaya ilmiah bukan hanya sekedar bagaimana kita menulis sebuah karya ilmiah, tapi lebih pada bagaimana kita menempatkan sebuah pemikiran, perkataan dan perbuatan kita pada budaya yang berlaku di daerah kita dengan berpikir ilmiah. Pada titik tertentu ada sesuatu yang tidak boleh diungkapkan pada khalayak ramai, karena kita ketahui bahwa pada titik tertentu tersebut sesuatu hal yang dianggap benar di suatu daerah, bisa jadi menjadi hal yang tabu di daerah kita (dengan kata lain yang benar di suatu tempat belum tentu benar ditempat yang lain)
http://blog.stikom.edu/tris/2010/08/21/budaya-ilmiah/

Jurnal Ilmiah Dorong Dosen dan Mahasiswa Miliki Tradisi Ilmiah

Jakarta Kewajiban mempublikasikan karya tulis ilmiah di jurnal ilmiah setidaknya melibatkan dua pihak dalam civitas akademika, yaitu mahasiswa dan dosen. Dalam membuat karya ilmiah, mahasiswa harus berada di bawah bimbingan dosen pembimbing. Hal ini akan menimbulkan tanggung jawab dalam diri mahasiswa maupun dosen, untuk menghasilkan karya ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan sesuai kaidah-kaidah dan prinsip ilmiah. Kesadaran akan tanggung jawab menghasilkan karya ilmiah yang baik, diharapkan dapat mendorong dosen atau mahasiswa untuk masuk ke wilayah tradisi ilmiah. Demikian diungkapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, kepada wartawan, pada Selasa malam, (14/2), di Gedung A Kemdikbud. Kalau saya pakai bahasa positif, dosen harus didorong untuk memberikan pendampingan pada anak-anak kita. Anak-anak ini kan dititipkan orang tuanya, membayar, dan minta dibimbing dengan baik, ujar Mendikbud. Ia mengatakan, dalam situs Ditjen Dikti, yaitu www.dikti.go.id , sudah ada pedoman penulisan jurnal. Baik mahasiswa maupun dosen, bisa mengacu pada pedoman itu untuk bekerjasama menghasilkan karya ilmiah yang bertanggungjawab. Syarat publikasi karya ilmiah untuk program S-1 tidak diwajibkan untuk dimuat di jurnal ilmiah yang terakreditasi. Cukup jurnal ilmiah saja. Jurnal ilmiah tersebut bisa yang dikeluarkan pihak universitas, fakultas, maupun jurusan. Hal ini diberlakukan untuk mendorong semua mahasiswa dan dosen, baik di universitas negeri maupun swasta, untuk meningkatkan daya pikir ilmiahnya. Selanjutnya, daya pikir yang melahirkan tulisan ilmiah tersebut bisa mendorong munculnya temuan-temuan ilmiah. Hal ini berimplikasi juga untuk dialektika keilmuan dan atmosfer akademik, dalam menumbuhkan tradisi ilmiah. Kalau punya implikasi ke dosen dan mahasiswa, serta dialektika keilmuan dan atmosfer akademik, bisa jadi modal untuk menulis jurnal dengan kualifikasi yang lebih baik, sehingga membuka peluang untuk temuan-temuan karya ilmiah, tutur Menteri Nuh. Ia menambahkan, temuan ilmiah selanjutnya juga bisa membuat pencitraan yang baik untuk universitas sebagai institusi pendidikan, atau Indonesia sebagai negara. Kalau kita tidak membangun tradisi budaya ilmiah seperti itu, jargon yang diomongkan saja, tidak menunjukkan scientific community, tuturnya. Sumber : www.kemdiknas.go.id

Membangun (kembali) tradisi ilmiah kita Reading makes a full man, conference makes a ready man, and writing makes an exact man. (Francois Bacon; 1561-1626) Saat ini kita berada pada dunia yang nyaris tak bersekat. Jarak menjadi tak berarti, sebab ilmu pengetahuan (baca: sains -pen) dan teknologi yang telah dicapai manusia hari ini telah memampukan kita untuk berinteraksi dalam dunia yang kian borderless ini. Ada satu pertanyaaan besar yang mesti kita jawab dengan jujur, dimana posisi dan peran kaum muslimin yang merupakan salah satu komunitas mayor di bumi ini, dalam pengembangan sains dan teknologi dalam rangka mewujudkan kesejahteraaan umat manusia? Bukankah Allah SWT telah mewariskan bumi dan pengelolaannya kepada kita? Tidak berlebihan rasanya jika kita menyimpulkan bahwa kaum muslimin, secara umum, masih tetap menjadi pasar dari perkembangan sains dan teknologi yang dikibarkan oleh dunia Barat dan sebagian kecil wilayah Asia. Kita (baca: kaum muslimin -pen) begitu bangga menggunakan produk-produk mutakhir, seperti handphone buatan negara lain (yang mayoritas penduduknya adalah kaum non-muslim -pen), tanpa merasa perlu dan terusik untuk berfikir kapan kiranya kita mampu memproduksi barang semisal dengan kualitas yang jauh lebih baik? Dan lebih jauh, kita mampu menjadi produsen barang-barang tersebut? Dunia pendidikan kita pun tak kalah menyedihkan. Realitas menunjukkan bahwa kualitas pendidikan kaum muslimin, mulai tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi masih jauh tertinggal. Pertanyaan yang patut kita ajukan adalah; ada apa dengan tradisi ilmiah kita hari ini? Membaca; budaya yang kerap ditinggalkan Sungguh beruntung kaum muslimin yang dibekali oleh Allah SWT dengan Al-Quran. Kitab suci ini tidak hanya mampu menambah keimanan bagi para pembacanya, namun juga memberikan sebuah pencerahan intelektualitas. Bahkan, ayat pertama yang termaktub di dalamnya telah memberikan landasan dan motivasi yang besar bagi kaum muslimin untuk menjadi pandu kemajuan sains dan teknologi, melalui perintah membaca. Membaca adalah langkah awal dalam memelihara dan

mengembangkan tradisi ilmiah dalam diri seseorang maupun sebuah komunitas. Ia menjadi gerbang antara ketidaktahuan (ignorence pen) dan kejelasan (clarity -pen) mengenai berbagai hal. Cermatilah tentang budaya membaca kaum muslimin hari ini! Beberapa pertanyaan sederhana layak kita ajukan, seperti; dalam 24 jam waktu yang Allah karuniakan pada kita setiap hari, berapa lama kita luangkan waktu untuk membaca? Berapa jumlah koleksi buku yang kita miliki di ruang baca kita? Berapa anggaran yang kita alokasikan setiap bulan untuk membeli buku? Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini membawa kita pada suatu kenyataan menyedihkan, bahwa minat baca kita masih teramat rendah. Pun koleksi buku-buku kita minim. Sebagian kita mungkin beralasan bahwa hal tersebut lebih disebabkan karena harga-harga buku yang relatif mahal. Namun sadarkah kita, banyak diantara kita yang mampu mengisi pulsa handphonenya secara reguler setiap bulan dengan nominal Rp 100.000, namun sedikit sekali anggaran yang benar-benar dialokasikan untuk membeli buku, yang harganya mungkin hanya beberapa puluh ribu rupiah saja. Mungkin karena kita belum memandang membaca dan membeli buku sebagai sebuah investasi. Kita masih menganggapnya sebagai beban anggaran, bukan investasi pendidikan. Ini tentu saja sangat bertolak-belakang dengan adigium yang kita fahami bersama; siapa yang menguasai informasi, maka dia akan mengusai dunia. Bagaimana mungkin kita bisa menguasai dunia, memperbaiki tatanannya dengan sentuhan nilai-nilai islam, jika langkah awalnya saja, membaca, enggan kita tempuh? Menulis; langkah kedua yang amat menentukan Garis tegas yang membedakan antara masa prasejarah dengan sejarah adalah masa penggunaan tulisan. Melalui tulisan, manusia mengenal dan mengkaji kejadian, sejarah serta mendokumentasikan perkembangan peradaban suatu entitas maupun komunitas tertentu, dengan presisi yang lebih dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Hal ini tentu berbeda dengan budaya lisan (verbal pen) yang relatif lebih banyak dikembangkan oleh sebagian besar kita (baca: kaum muslimin pen). Mayoritas kita lebih gemar menggunakan komunikasi verbal dalam mengungkapkan ide, pemikiran ataupun gagasan. Konsekuensinya jelas, kita cenderung gagap ketika menuangkan ide dalam bentuk tulisan.

Padahal, kita ketahui bahwa komunikasi verbal memiliki banyak kelemahan dalam aspek ilmiah, antara lain ia tidak dapat menjadi rujukan ilmiah, karena komunikasi verbal amat bergantung pada ingatan manusia yang amat terbatas. Akurasi dari suatu pernyataan verbal tidak dapat dipergunakan sebagai pijakan ilmiah. Menulis adalah langkah kedua yang amat menentukan dalam pewarisan tradisi ilmiah. Budaya menulis sesungguhnya adalah suatu kebiasaan baik (good habit pen) yang bisa dikondisikan dan ditumbuhkan. Bayangkan jika para tenaga pengajar (baca: guru-pen) atau dosen membiasakan murid atau mahasiswanya menulis, dengan memberikan rangsangan yang mendidik, misalnya dengan memberikan tambahan nilai dalam suatu mata pelajaran bagi mereka yang mampu menulis artikel ilmiah di media massa mengenai topik tertentu. Tentu hal semacam ini akan menumbuh-suburkan budaya menulis. Pembentukan komunitas-komunitas penulis juga akan mempercepat pengembangan budaya menulis ini. Melalui komunitas ini, arus informasi dan pertukaran pengalaman menulis diantara anggotanya bisa berlangsung dengan baik. Sehingga peningkatan kemampuan dan produktifitas diantara mereka akan berjalan secara konsisten. Di Indonesia memang masih banyak kendala yang menghambat pengembangan budaya menulis. Antara lain masih relatif mahal dan sulitnya mendapat sumber-sumber referensi. Namun, hal ini sesungguhnya dapat diatasi dengan memperbanyak dan mengoptimalkan penggunaan perpustakaan umum. Selain itu, kurangnya rangsangan dari luar juga menghambat tumbuhnya budaya menulis, antara lain kurangnya apresiasi secara materil bagi para penulis di Indonesia. Para penulis mendapatkan insentif yang relatif kurang memadai ketika karya-karya mereka diterbitkan dalam suatu media massa. Selain itu pembajakan juga masih menjadi potret buram perlindungan karya cipta dan hak atas kekayaan intelektual di negeri ini. Pemerintah semestinya mampu mengambil peran lebih besar dalam meminimalkan pembajakan karya ilmiah. Sesungguhnya kita patut berterima kasih kepada para penulis yang tetap mempertahankan idealisme dan konsistensinya dalam menulis ditengah berbagai keterbatasan yang mereka hadapi. Semoga Allah memuliakan mereka yang tulus menebarkan ilmu pengetahuan melalui tulisan-tulisannya.

http://www.mail-archive.com/sma1bks@yahoogroups.com/msg01114.html

Membangun Tradisi Ilmiah Ditulis oleh Administrator Rabu, 23 Maret 2011 02:53 OSAMA kata Fisk, seorang wartawan Inggris yang pernah menemuinya, adalah sedikit orang Arab yang tidak merasa malu untuk berpikir sebelum berbicara. Kesan wartawan Barat yang dinukil majalah Tempo itu kemudian dijadikan ciri yang membedakan Osama dengan Saddam Hussain atau Muammar Qaddafi, misalnya. Kesan itu mungkin mengejek tradisi orang Arab yang gemar berbicara tanpa berpikir. Tapi menurut saya, itu bukan hanya ciri orang Arab atau bangsa lainnya. Itu merupakan satuan mutu yang menandai tingkat peradaban baru masyarakat. Berpikir sebelum berbicara adalah salah satu dari tradisi ilmiah yang kokoh. Tapi tradisi ilmiah yang kokoh, yang merupakan salah satu faktor yang dapat mengubah keragaman menjadi sumber produktivitas kolektif kita, tidak hanya ditandai oleh ciri di atas. Ia juga ditandai oleh banyak ciri. Pertama, berbicara atau bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan. Kedua, tidak bersikap apriori dan tidak memberikan penilaian terhadap sesuatu sebelum mengetahuinya dengan baik dan akurat. Ketiga, selalu membandingkan pendapatnya dengan pendapat kedua dan ketiga sebelum menyimpulkan atau mengambil keputusan.Keempat, mendengar lebih banyak daripada berbicara. Kelima, gemar membaca dan secara sadar menyediakan waktu khusus untuk itu. Keenam, Lebih banyak diam dan menikmati saat-saat perenungan dalam kesendirian. Ketujuh, selalu mendekati permasalahan secara komprehensif, integral, objektif, dan proporsional. Kedelapan, gemar berdiskusi dan proaktif dalam mengembangkan wacana dan ide-ide, tapi tida suka berdebat kusir. Kesembilan, berorientasi pada kebenaran dalam diskusi dan bukan pada kekenangan. Kesepuluh, berusaha mempertahankan sikap dingin dalam bereaksi terhadap sesuatu dan tidak bersikap emosional dan meledak-ledak. Kesebelas, berpikir secara sistematis dan berbicara secara teratur. Keduabelas, tidak pernah merasa berilmu secara permanen dan karenanya selalu ingin belajar. Ketiga belas, menyenangi hal-hal yang baru dan menikmati tantangan serta perubahan. Keempat belas, rendah hati dan bersedia menerima kesalahan. Kelima belas, lapang dada dan toleran dalam perbedaan. Keenam belas, memikirkan ulang gagasannya sendiri atau gagasan orang lain dan senantiasa menguji kebenaran. Ketujuh belas, selalu melahirkan gagasan-gagasan baru secara produktif. Tentu saja ketujuh belas ciri di atas bukanlah semua ciri yang menandai tradisi ilmiah yang kokoh. Itu hanyalah ciri yang pangling menonjol. Apa yang terlihat pada ciri-ciri itu adalah nuansa yang kuat tentang keyakinan, kepastian, fleksibilitas, dinamika, pertumbuhan, kemerdekaan, kebebasan, dan keakraban. Mereka yang hidup dalam sebuah komunitas dengan tradisi ilmiah yang kokoh meraskan kemandirian, aktualisasi diri, kebebasan, kemerdekaan, tapi juga menikmati

perbedaan, tantangan, dan segala hal yang baru. Mereka juga telah menelusuri detil dan kerumitan, sabar dalam ketidakpastian, dingin dalam kegaduhan, tapi sangat percaya diri dalam mengambil keputusan. Tapi, darimanakah tradisi itu terbentuk ? Faktor-faktor apakah yang mendukung proses pembentukannya ? Tidakkah itu kelihatan terlalu ideal ? Sulitkah membangun tradisi itu ? Tradisi ilmiah bukanlah sekedar kebiasaan-kebiasaan ilmiah yang baik tapi lebih merupakan standar mutu yang menjelaskan kepada kita diperingkat mana peradaban suatu bangsa atau suatu komunitas itu berada. Tradisi ilmiah bukanlah gambaran dari suatu kondisi permanen. Namun, lebih mengacu kepada suatu proses yang dinamis dan berkembang secara berkesinambungan. Tradisi ilmiah mengakar kepada cara pandang kita terhadap ilmu pengetahuan. Tentang fungsi dan perannya dalam membentuk kehidupan kita. Tentang seberapa besar kita memberinya ruang dan posisi dalam kehidupan kita. Tentang sejauh mana kita bersedia mengikuti kaidah-kaidahnya. Tentang berapa banyak harga yang dapat kita bayar untuk memperolehnya. Kata ilmu terulang lebih dari 800 kali dalam Al-Quran. Rasulullah saw. menyebutnya sebagai syarat untuk merebut dunia dan akhirat sekaligus. Itulah sebabnya Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, kebutuhan manusia terhadap ilmu pengetahuan sama besarnya dengan terhadap makan dan minum. Atau, bahkan lebih besar lagi. Tradisi ilmiah selanjutnya dibentuk oleh susunan pengetahuan yang benar. Sebab, pengetahuan yang terserap dengan susunan yang salah akan membuat kita mengalami keracunan dalam berpikir. Ilmu-ilmu yang kita serap tidak saling terkorelasi secara fungsional dengan benar. Seseorang akan gagal memahami Islam dengan benar jika tidak mempelajari ilmu-ilmu Islam dalam susunan yang terangkai secara benar. Misalnya, jika ia hanya mempelajari tasawwuf. Demikian juga jika seseorang mempelajari kewirausahaan dalam ekonomi modern dan tasawwuf pada waktu bersamaan. Mungkin sekali akan mengalami split jika tidak mempelajari system Islam secara menyeluruh dan sistem ekonomi Islam secara khusus. Setiap kelompok ilmu pengetahuan mempunyai susunannya sendiri-sendiri, termasuk pola hubungan internalnya. Misalnya, kelompok ilmu-ilmu keislaman, kelompok ilmu-ilmu sosial, humaniora, kelompok ilmu-ilmu alam. Tapi, semua kelompok ilmu itu juga mempunyai korelasi antara mereka yaitu struktur, fungsi dan sejarah perkembangan yang berakar pada sebuah paradigma besar, yang kemudian kita sebut sebagai filsafat ilmu. Tapi, apa yang penting bagi kita, dalam kaitan dengan susunan pengetahuan itu, adalah sifat dan pola pengetahuan kita. Setiap pendidik hendaknya menggabungkan antara pengetahuan yang komprehensif, bersifat lintas disiplin, dan generalis dengan penguasaan yang tuntas terhadap satu bidang ilmu sebagai spesialisasinya. Yang pertama mengacu kepada keluasan. Sedang yang kedua mengacu pada kedalaman. Yang pertama memberinya wawasan makro, yang kedua memberinya penguasaan mikro. Yang pertama memberi efek integralitas, yang kedua memberi efek ketepatan. Dengan begitu seorang pendidik senantiasa berbicara dengan isi yang luas dan dalam, integral dan tajam, berbobot dan terasa penuh.

Tradisi ilmiah selanjutnya dibentuk oleh sistematika pembelajaran yang benar. Waktu kita tidak memadai untuk menguasai banyak ilmu. Waktu kita tidak cukup untuk membaca semua buku. Tetapi, kita tetap dapat menguasai banyak ilmu melalui sistematika pembelajaran yang benar. Untuk itu, kita memerlukan seorang guru, seorang ulama, yang mengetahui struktur dari setiap ilmu dan cara mempelajarinya. Akhirnya, membaca adalah instrumen utamanya. Dan, jika kita ingin mengokohkan tradisi ilmiah kita, sudah saatnya kita berhenti membaca apa yang kita senangi. Beralihlah untuk membaca apa yang seharusnya kita baca. Membangun sebuah tradisi ilmiah yang kokoh tentu saja membutuhkan kesungguhan dan keseriusan serta kesabaran yang melelahkan. (Sumber Web Masyarakat Literasi Indonesia) http://cintabaca.org/index.php?option=com_content&view=article&id=62:memba ngun-tradisi-ilmiah&catid=52:opini-terbaru&Itemid=79

Membangun Tradisi Ilmiah di Kampus

Kampus merupakan wadah yang tepat untuk menyiapkan sebuah generasi yang memiliki nilai-nilai intelektual dan kepemimpinan yang tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Dikampuslah kita dapat melihat bagaimana kondisi bangsa kita kedepannya, karena kondisi kampus hari ini merupakan bangsa ini esok hari. Sebagian besar pemimpin kita saat inipun tidak terlepas dari dunia kampus. kemampuan kepemimpinan mereka dilahirkan dari setiap tradisi yang terbangun dikampus. Saat ini, bangsa kita memiliki ekspektasi yang sangat besar terhadap kampus. Diera globalisasi yang kita rasakan saat ini, Kampus ditantang untuk melahirkan generasi-generasi (mahasiswa) yang memiliki kemampuan daya saing dengan bangsa lain. Tantangan yang dibebankan terhadap kampus ini cukup beralasan karena kanpus sendiri memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif yang akan dapat eksis dan survive di tengah masyarakat global.

Namun apa jadinya jika kampus tidak mampu untuk menjawab tantang tersebut. bisa jadi hal ini merupakan pertanda awal dari kehancuran bangsa kita. Salah satu faktor yang menyebabkan kampus tidak dapat melahirkan generasi yang memiliki nilai-nilai intelektual adalah karena masih kurangnya ruang-ruang di kampus untuk membangun tradisi ilmiah bagi mahasiswanya. Dilihat dari permasalahan inilah maka kita mesti memulai untuk membangun tradisi ilmiah dikampus sehingga dapat mengembangkan pemikiran yang konstruktif dan kreatif bagi pengembangan iptek yang sejalan dengan pencapaian tujuan bangsa kita.

tradisi ilmiah dikampus merupakan tradisi yang mengedepankan suatu proses obyektifitas yang tumbuh dan lahir dari dunia kampus karena membiasakan

mahasiswanya untuk memiliki perilaku terdidik dan konstruktif yang tendensi pergulatan pemikirannya sangat dipengaruhi oleh pola pikir ilmiah, yaitu pola pikir yang rasional, aktual, faktual dan obyektif sehingga akan mencerminkan eksistensi dan kompetensi di era globalisasi saat ini.

Saat ini, tradisi yang mesti kita bangun pertama kali adalah tradisi membaca. Dengan membaca kita dapat mengembangkan wawasan kepahaman dan khasanah keilmuan kita. Karena dari hasil membaca, mahasiswa bisa memperkaya pengetahuan tentang informasi yan didapatkan. Seorang ilmuwan yang terkenal dan juga dikenal sebagai seorang filsuf dari inggris, Francis Bacon, juga pernah mengutarakan bahwa Membaca menciptakan manusia yang lengkap. Dengan membaca, kita menjadi tahu apa yang sebelumnya kita ketahui dan menjadi mengerti apa yang sebelumnya tidak kita mengerti. Sejarah kemajuan bangsa-bangsa di dunia, seperti Jepang, Amerika,

dan bangsa-bangsa di Eropa pun berawal dari ketekunan mereka membaca. Ini menunjukkan bahwa betapa besarnya manfaat membaca buku bagi kemajuan suatu bangsa dikarenakan bangsa yang maju adalah bangsa yang mampu menguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dari membaca. Sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh UNESCO pada tahun 2005 ternyata membuktikan bahwa mahasiswa di negara industri maju ternyata memiliki rata-rata membaca selama delapan jam per hari. Sedangkan di negara berkembang, termasuk Indonesia, hanya dua jam setiap hari. Maka dari itu, kita sebagai mahasiswa mestinya mulai peduli dengan membiasakan membaca apapun sumber bacaannya, asalkan bernilai positif.

Tradisi yang mesti kita bangun yang kedua adalah tradisi menulis. Menulis adalah bentuk ekspresi diri yang didasari dengan ide, konsep dan gagasan. Dengan menulis, akan menambah nilai kapasitas dan kapabilitas kita sebagai mahasiswa dengan julukan kaum intelektual. Frank tibolt dalam bukunya berjudul Meraih yang Terbaik, membuktikan bahwa menulis dapat membantu kita untuk memecahkan masalah hidup kita dengan baik hingga dia mengatakan bahwa menulis adalah solusi yang ampuh. Dengan mebiasakan menulis, diharapakan akan tumbuh taradisi dari mahasiswa untuk mengespresikan ide dan dan gagasannya sebagai upaya untuk berkontribusi bagi terciptanya budaya ilmiah dikampus.

Yang ketiga, kita mesti membangun tradisi berdiskusi. Secara sederhana diskusi merupakan sarana bertukar pikiran antar sesama dengan anggota paling sedikit dua orang ditempat dan waktu tertentu. Sama halnya seperti menulis, diskusi juga bisa dijadikan sebagai sarana untuk menuangkan ide, konsep dan gagasan kita. Namun dengan berdikusi kita bisa mengetahui sejauh mana ide, konsep dan gagasan kita diterima oleh orang lain. Karena diskusi merupakan sebuah forum yang dapat menguji sejauhmana kemampuan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki untuk dijadikan konsensus atau untuk dikritisi sebagai sesuatu yang masih banyak kelemahan dan kekurangannya dari berbagai aspek kajian. Dan dengan membiasakan diskusi dapat meningktakan kemampuan nalar berpikir dan kemampuan komunikasi kita untuk dapat mempengaruhi dan meyakinkan orang lain. Oleh karena itu, mahasiswa yang tidak menyukai diskusi, kini diharapkan dapat menyukai diskusi.

Tradisi yang mesti kita bangun selanjutnya adalah aktif dalam organisasi atau menjadi organisatoris. Tak dapat kita pungkiri bahwa minat mahasiswa untuk berorganisasi saat ini sangat rendah, padahal dengan berorganisasi banyak sekali hal yang dapat kita peroleh. Aktif dalam sebuah organisasi dapat menambah kualitas dan kompetensi kita yang dapat mewujudkan generasi intelektual. Tradisi berorganisasi bagi mahasiswa juga dapat berperan sebagai bentuk kontribusi terhadap permasalahan bangsa kita dan juga dapat sebagai sarana untuk menambah jaringan. Setiap mahasiswa akan terlihat cerdas dan unggul baik wawasan maupun ilmu pengetahuan yang digelutinya.

Dengan membangun tradisi ilmiah dikampus adalah solusi terbaik bagi ketertinggalan bangsa kita. kampus diharapkan dapat menjadi pencetak generasi (mahasiswa) yang memiliki daya saing dengan bangsa lain. Mahasiswa diharapkan dapat menyibukkan diri dengan berbagai aktifitas positif diatas hingga dapat menjadi generasi yang unggul, memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas. Karena mahasiswa yang diharapkan dapat membawa bangsa kita disegani dengan bangsa lain.

http://cahayalangitmu.blogspot.com/2012/03/membangun-tradisi-ilmiah-dikampus.html

Anda mungkin juga menyukai