Anda di halaman 1dari 2

BURANGIR NA HOMBANG MULAI LAYU

Oleh: Doli Parlindungan, S.Pd

Isemu ma na mambuat iboto ni ayahmu? Ahama na idokkon boltok siubeon?


Segelintir pertanyaan sederhana tersebut masih terukir jelas dalam ingatan saya. Tentu
kita masih ingat bersama bahwa sistem pendidikan kita pernah dihiasi dengan nuansa
lokal. Ya, betul sekali kita pernah mendengar pertanyaan tersebut dari guru sewaktu
dibangku SD. Pelajaran tersebut merupakan pelajaran tambahan dikenal dengan istilah
pelajaran Partuturan ni Halak Hita, yang tertuang dalam pelajaran muatan lokal. Secara
implisit, mata pelajaran ini mengajarkan kita nilai-nilai budaya yang harus kita jaga
dalam konteks kehidupan beragama dan beradat.
Mata pelajaran ini masih diterapkan disekolah sekitar tahun 2005 ke bawah dan
biasanya di-setting pada jam terakhir pelajaran sekolah. Namun tidak bisa dipungkiri
dalam kurun waktu 10 tahun belakang ini, nilai-nilai tersebut mulai habis terkikis.
Bahkan hanya segelintir sekolah saja yang masih menerapkan pelajaran tersebut,
khususnya di Padang Lawas Utara yang kita banggakan bersama ini. Padahal nilai
esensial yang terkandung dalam pelajaran Partuturan ni Halak Hita ini memiliki peranan
yang sangat penting dalam membangun karakter generasi muda yang kuat terhadap
hempasan arus globalisasi. Sekilas permasalahan ini memang tampak sepele dan tidak
begitu krusial bagi perkembangan maupun pertumbuhan suatu daerah. Namun kita
tidak boleh lupa bahwa suatu daerah yang besar adalah daerah yang senantiasa
menjaga kearifan lokalnya.
Memang bagi generasi kita yang lahir pada tahun 1995 ke bawah masih
memahami akan mekanisme Partuturan ni Halak Hita maupun dialek asli Batak Padang
Bolak. Namun yang kita khawatirkan adalah generasi di atasnya, akankah mereka
masih mengerti warisan leluhur kita tersebut? Berdasarkan riset yang dilakukan oleh
penulis bersama beberapa dosen dari salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Tabagsel
tentang Analisis Kekerabatan Bahasa Batak Mandailing, Angkola dan Padang Bolak,
ditemukan suatu masalah yang diperoleh dari sampel penelitian bahwa banyak anak-
anak SD/SMP sekarang ini sudah tidak mengenal istilah-istilah penting dalam budaya
Batak kita. Misalnya seperti penggunaan kosa kata siamun (kanan), siambirang (kiri),
bobok (mengikat), haduan (besok), siriaon (suka cita), siluluton (duka cita), horbo
janggut (kambing) dan lain sebagainya. Hal ini bukanlah suatu perkara sepele yang
boleh kita biarkan berlarut-larut. Terkecuali jika kita ingin generasi muda kita kehilangan
jati dirinya sebagai suku Batak. Belum lagi jika kita masuk ke ranah Partuturon maupun
Paradaton, pasti banyak sekali permasalahan yang akan kita temui. Saya rasa kita
bersama memiliki tanggungjawab bersama terhadap permasalahan. Sungguh kita tidak
rela jika generasi kita tidak lagi ikut menikmati indahnya kearifan lokal yang diwariskan
oleh leluhur kita.
Memangnya kenapa kalau hal ini kita biarkan berlarut-larut begitu saja. Apakah
akan muncul dampak suatu masalah? Ya, tentu akan muncul suatu dampak negatif jika
hal ini kita biarkan saja terjadi. Dampak yang muncul cenderung berupa permasalahan
sosial (society problem). Kita tentu mengetahui bersama bahwa masyarakat Padang
Lawas Utara ini masih menjaga adat istiadatnya, misalnya saja dalam acara siriaon
(suka cita/pernikahan). Dalam acara tersebut terkandung nilai dan tahapan-tahapan
adat yang harus ditempuh dalam pengaplikasiannya. Jika nilai-nilai tersebut tidak kita
tanamkan sejak dini bagi generasi muda kita, apakah mereka bisa memahaminya. Lalu
apa yang akan terjadi 50 tahun ke depan jika mereka tidak mengetahuinya mulai dari
sekarang? Bisa dipastikan acara-acara adat di daerah kita ini akan mulai hilang secara
perlahan. Karena orang yang memahami adat tersebut jumlah semakin berkurang. Dan
Burangir Na Hombang bertuah yang diwariskan leluhur kita akan layu.
Maka melalui tulisan ini, penulis menghimbau dan mengajak semua elemen
masyarakat beserta Pemerintah Daerah untuk bersama-sama melestarikan kearifan
lokal yang kita miliki. Penulis menyarankan agar mata pelajaran Partuturan ni Halak
Hita dan Paradaton kembali diterapkan kembali dalam kurikulum pendidikan kita (Dinas
Pendidikan Daerah, red). Agar warisan tersebut dapat diketahui oleh generasi kita
selanjutnya. Dan juga kita bisa melestarikan kearifan lokal ini dengan mengenalkannya
melalui event positif seperti Festival Makkobar, Marbondong dan Margondang yang
saya rasa bisa kita laksanakan minimal sekali dalam setahun (Dinas Pemuda Olahraga
Kebudayaan dan Pariwisata Paluta, red). Semoga harta karun tersebut tetap terjaga
untuk masa yang akan datang.
Muda kehe hamu koum tu Ujung Batu
Ikkon boluson doi baya huta Simangambat
Mare ma hita rab bahu membahu
Mambangun Paluta maju, maradat dohot marmartabat

Anda mungkin juga menyukai