Anda di halaman 1dari 10

PERAN PERAWAT DALAM PEMBERIAN OBAT BRONKODILATOR

PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN

BRONKODILATOR
Bronkodilator adalah obat yang mempunyai efek antibronkokonstriksi.1 Bronkodilator
dapat mengembalikan obstruksi jalan nafas pada asma. Cara kerjanya adalah melalui efek
langsung obat pada otot polos saluran nafas. Bronkodilator dapat diberikan secara enteral,
parenteral, atau inhalasi. Obat-obat tersebut mempunyai indeks terapeutik yang lebih baik
bila diberikan sebagai aerosol daripada parenteral atau enteral. Di klinik aerosol dapat
diperoleh melalui nebulizer (jets atau ultrasonik), metered dose inhaler (MDI), dan dry
powder inhaler (DPI).2
Ada tiga golongan bronkodilator yang biasa digunakan, yaitu :

1. Agonis β-adrenergik
2. Antikolinergik
3. Metilsantin

1. Agonis β-adrenergik
Epinefrin telah digunakan untuk pengobatan asma sejak awal abad ke-20, berefek
mengurangi pembengkakan mukosa bronkus. Epinefrin menstimulasi baik reseptor  maupun
β adrenergik. Efek bronkodilatornya dimediasi oleh reseptor β.1
Isoproterenol merupakan agonis β yang kuat dan kurang berpengaruh terhadap
reseptor  adrenergik. Telah digunakan sejak tahun 1940-an untuk pengobatan asma.
Namun, isoproterenol merupakan agonis β nonselektif sehingga obat ini menstimulasi baik
reseptor β1 maupun β2. Pada tahun 1960-an kemudian diperkenalkan agonis β2 yang
seklektif seperti albuterol atau salbutamol dan terbutalin.1

1.1 Farmakologi
Agonis β adrenergik menyebabkan bronkodilatasi melalui stimulasi langsung obat
terhadap reseptor β adrenergik pada otot polos jalan nafas yang menyebabkan relaksasi otot
polos jalan nafas. Reseptor β adrenergik pada jalan nafas terdapat mulai trakea hingga
bronkioli terminalis.1
Agonis β adrenergik mempunyai beberapa efek. Selain mengurangi resistensi jalan
nafas, agonis β adrenergik mempunyai efek kuat untuk mencegah pelepasan mediator dari
sejumlah sel termasuk sel mast paru manusia secara invitro dan invivo. Dengan mekanisme
berbeda, agonis β-adrenergik dapat mengurangi leakage mikrovaskuler yang mendasari
terjadinya edema mukosa jalan nafas. Selain itu agonis β adrenergik juga meningkatkan
sekresi mukus kelenjar submukosa dan transportasi ion melalui epitel saluran nafas.1
1.2 Farmakodinamik
Epinefrin adalah obat yang paling sering digunakan untuk pengobatan reaksi
anafilaktik akut karena berefek terhadap reseptor  dan β adrenergik. Namun, epinefrin
merupakan pilihan obat lini kedua untuk asma karena kurang selektif terhadap β2 (
mengakibatkan perangsangan kardiak melalui stimulasi β 1), durasi kerja yang singkat dan
efeknya yang prominent terhadap reseptor  (mengakibatkan vasokonstriksi). Pemberian
subkutan dengan dosis 0,01mg per kgBB menghasilkan bronkodilator cepat. Pemakaian
efinefrin harus dibatasi pada penderita tua terutama yang menderita penyakit jantung iskemik
karena obat ini dapat menimbulkan efek samping seperti iskemia miokard, aritmia dan
hipertensi sistemik.2
Isoproterenol juga merupakan agonis β nonselektif, sehingga mempunyai efek
perangsangan terhadap jantung. Sebagai bronkodilator, isoproterenol mempunyai onset of
action < 2 jam.
Telah diperkenalkan beberapa agonis β2 selektif dengan efek bronkodilatasi yang
sama dengan β agonis nonselektif. Obat-obat ini kurang memiliki efek stimulasi jantung
dibandingkan isoproterenol. Contoh obat yang digunakan di klinik antara lain albuterol,
terbutalin, fenoterol, bitolterol, metaproterenol, dan isoetarin. Long acting β2 agonist lebih
efektif pada pemberian inhalasi. Efek bronkodilator formoterol dan salmeterol lebih dari 12
jam sehingga cukup diberikan dua kali sehari.1,3

1.3 Indikasi
Agonis β adrenergik digunakan secara luas untuk penanganan asma. Bila diinhalasi
dengan metered-dose-aerosol disamping mudah digunakan, onsetnya cepat dan tanpa efek
samping yang signifikan. Pemberian dengan nebulizer pada serangan asma akut sama
efektifnya dengan pemberian intravena dengan efek samping sistemik yang kurang.1,4

1.4 Efek samping dan kontra indikasi


Efek agonis β adrenergik yang tidak dinginkan bersifat dose-related dan berhubungan
dengan stimulasi reseptor β ekstrapulmoner antara lain :

- Tremor.
Disebabkan oleh perangsangan reseptor β2 pada otot skeletal dan merupakan efek samping
yang paling sering dijumpai, lebih mudah terjadi pada usia lanjut.

- Kardiovskuler
Takikardia dan palpitasi yang diakibatkan oleh refleks cardiac stimulation sekunder terhadap
vasodilatasi perifer disebabkann oleh stimulasi reseptor β di pembuluh darah, dan stimulasi
langsung reseptor β di atrium. Takikardi juga dapat terjadi pada pemberian β2 selektif dengan
dosis yang melebihi dosis lazim karena terjadi perangsangan pada reseptor β1.

- Metabolik
Peningkatan asam lemak bebas, pelepasan insulin, glukosa, piruvat dan laktat. Hipokalemia
merupakan efek metabolik yang paling serius karena dapat mencetuskan aritmia jantung.
Hipokalemia terjadi karena perangsangan reseptor β2 sehingga menyebabkan masuknya ion
kalium ke dalam sel otot skeletal.

- Hipoksemia
Agonis β adrenergik dapat meningkatkan mismatch ventilasi-perfusi akibat vasodilatasi
arteriol paru yang sebelumnya mengalami vasokonstriksi akibat hipoksia. Hal ini
menimbulkan terjadinya shunt aliran darah ke daerah dengan ventilasi buruk sehingga
mengakibatkan terjadinya penurunan tekanan parsial oksigen. Hipoksemia dapat dicegah
dengan pemberian oksigen bersama-sama agonis adrenergik. Perlu dilakukan pemantauan
analisa gas darah untuk mengevaluasi PaO2, PaCO2 dan pH.1
Contoh sediaan dan dosis obat β 2 agonis yang umum digunakan di Indonesia dapat dilihat
pada tabel 1.
Tabel 1. Sediaan dan dosis obat β 2 agonis 4

Medikasi Sediaan obat Dosis dewasa Dosis anak


Agonis β2
Kerja singkat

Terbutalin IDT 0,25mg/semprot Inhalasi Inhalasi 0,25 mg


Turbuhaler 0,25 mg ; 0,25 – 0,5 mg 3 – 4 x / hari
0,5mg/hirup 3 – 4 x / hari (> 12 tahun)
Respule/solutio 5m/2ml
Tablet 2,5 mg Oral 1,5 – 2,5 mg Oral 0,05
Sirup 1,5 ; 2,5 mg/ 5 3 – 4 x / hari mg/kgBB/x
3 – 4 x / hari

IDT 100 mcg/semprot Inhalasi 200 mcg, 3 - Inhalasi 100 mcg, 3 - 4


Salbutamol Nebules / solutio x / hari
4 x / hari
2,5 mg/2 ml, 5 mg / ml
Tablet 2 mg, 4 mg Oral 1 – 2 mg, 3 – 4 Oral 0,05mg / kg BB /
Sirup 1 mg, 2 mg / 5 ml x / hari x 3 – 4 x / hari

IDT100,200mcg/semprot 200 mcg, 3 -4 x / hari 100 mcg, 3 - 4 x / hari


Fenoterol Solutio 100 mcg / ml 10 – 20 mcg 10 mcg

IDT 10 mcg/semprot 2 – 4 x / hari 2 x / hari


Tablet 25, 50 mcg 2 x 50 mcg / hari 2 x 25 mcg / hari
Prokaterol Sirup 5 mcg / ml 2 x 5 ml / hari 2 x 2,5 ml / hari

Agonis β 2 kerja
lama
IDT 25 mcg/semprot 2 -4 semprot, 1 - 2 semprot,
Salmeterol Rotadisk 50 mcg 2 x / hari 2 x / hari

Tablet 10 mcg 1 x 10 mg / hari, -


Bambuterol Malam

Tablet 25, 50 mcg 2 x 50 mcg / hari 2 x 25 mcg / hari


Prokaterol Sirup 5 mcg / ml 2 x 5 ml / hari 2 x 2,5 ml / hari

IDT 4,5 ; 9 mcg/semprot 4,5 – 9 mcg 2 x 1 semprot


Formoterol 1 – 2 x / hari ( > 12 tahun )

Keterangan:- Agonis β 2 kerja singkat digunakan sebagai pelega (reliever) pada penatalaksanaan serangan
akut asma. Sedangkan β 2 agonis kerja lama digunakan untuk mengontrol gejala asma
(controller) pada asma persisten.

- IDT (Inhalasi dosis terukur) = MDI (Metered-dose inhaler)

2. Antikolinergik
Pada binatang dan manusia normal sebagian kecil tonus bronkomotor pada saat
istirahat berhubungan dengan impuls tonus vagal yang melepaskan asetilkolin pada otot polos
saluran nafas. Bronkokonstriksi melalui mekanisme ini dapat diblok dengan obat-obat
antikolinergik. Tidak seperti agonis β, antikolinergik sedikit mempunyai efek terhadap sel
mast.2,3
2.1 Farmakodinamik
Ipratroprium bromide merupakan antikolinergik yang paling luas digunakan.
Diberikan secara inhaler baik dengan metered-dose-inhaler (MDI) maupun nebulizer. Onset
bronkodilatasinya relatif lambat, biasanya 30-60 menit setelah inhalasi,tetapi efikasinya dapat
menetap hingga 8 jam. Obat ini biasanya diberikan 4 kali sehari dengan MDI, atau dapat juga
secara intermiten untuk mengontrol gejala.3
Oksitroprium bromide merupakan antikolinergik baru dengan efek kerja yang lebih
panjang.
2.2 Indikasi
a. Asma
Antikolinergik kurang efektif sebagai bronkodilator pada asma bila dibandingkan
dengan agonis β. Antikolinergik lebih efektif digunakan pada pasien tua. Pemberian dalam
bentuk nebulizer dapat digunakan pada penanganan serangan asma akut yang berat.
b. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
Pada COPD antikolinergik sama efektif atau mungkin lebih superior bila
dibandingkan dengan agonis β. Efek yang lebih baik pada pasien COPD dibandingkan
dengan pasien asma karena penghambatan efek tonus vagal oleh antikolinergik.1

2.3 Efek samping


Pemberian secara inhalasi umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Bila pemberian
antikolinergik inhalasi dihentikan secara tiba-tiba dapat terjadi rebound bronkokonstriksi.
Efek samping dari atropin bersifat dose-related berhubungan dengan antagonis
kolinergik pada beberapa sistem organ selain paru. Efek tersebut diantaranya mulut kering,
pandangan kabur, dan retensio urine. Tetapi efek samping ipratroprium sangat jarang karena
obat ini tidak diabsorbsi dengan baik dari paru-paru sehingga konsentrasinya yang beredar di
sirkulasi sistemik rendah. Ipratroprium bromide nebulizer dapat mencetuskan glaukoma pada
pasien tua karena efek midriatiknya pada mata.1
Bronkokonstriksi paradoksikal dapat terjadi pada pemberian ipratroprium bromide.
Komplikasi ini timbul bila obat diberikan dengan nebulizer dimana larutannya bersifat
hipotonisitas dan adanya tambahan antibakterial seperti benzalkonium klorida dan EDTA.
Kadang-kadang dapat terjadi bronkokostriksi setelah pemberian ipratroprium bromide dengan
MDI. Reaksi ini mungkin berhubungan dengan blok reseptor prejungsional muskarinik pada
saraf kolinergik.1
Sediaan obat antikolinergik yang sering digunakan untuk penangan asma dan COPD di
Indonesia dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Sediaan dan dosis obat antikolinergik.4

Medikasi Sediaan Obat Dosis dewasa Dosis anak

Ipratroprium bromid IDT 20 mcg / semprot 40 mcg 20 mcg


3 – 4 x hari 3 – 4 x / hari

Solutio 0,25 mg / ml 0,25 mg 0,25 – 0,5 mg

(0,025 % ) setiap 6 jam setiap 6 jam

nebulisasi

3. Metilsantin
3.1 Latar Belakang dan Farmakologi
Efek bronkodilator dari strong coffee pada mulanya digambarkan oleh Hyde Salter.
Metilsantin (teofilin) berhubungan dengan kafein dan telah digunakan untuk mengobati asma
sejak tahun 1930-an. Sejak saat itu teofilin digunakan secara luas untuk pengobatan asma.
Efek primer dari teofilin adalah relaksasi otot polos jalan nafas. Teofilin juga menghambat
pelepasan mediator dari sel mast dan meningkatkan bersihan mukosilier. Namun, karena
agonis β lebih efektif dan steroid inhalasi memiliki efek antiinflamasi yang lebih baik
dibandingkan teofilin maka pemakaian teofilin menjadi berkurang.1
3.2 Struktur Kimia
Teofilin adalah suatu metilsantin yang memiliki struktur kimia mirip dengan santin
pada diet umum, kafein dan teobromin. Aminofilin adalah garam etilendiamin yang disintesis
untuk meningkatkan kelarutan santin pada pH netral.
3.3 Cara Kerja
Walaupun teofilin telah digunakan lebih dari 50 tahun namun cara kerjanya sebagai
bronkodilator belum dipahami dengan jelas. Ada beberapa teori yang disampaikan antara
lain:1
a. Penghambatan Fosfodiesterase
Efek bronkodilatasi dari teofilin adalah dengan cara menghambat enzim
fosfodiesterase, suatu enzim yang bekerja menginaktifkan cAMP. Akumulasi konsentrasi
cAMP intraseluler merupakan kunci utama bronkodilatasi.
b. Antagonis Reseptor Adenosin
Pada konsentrasi terapeutik, teofilin merupakan penghambat yang poten terhadap
adenosin. Hambatan ini memberikan efek bronkodilatasi. Dapat didemonstrasikan bahwa
bronkokonstriksi yang diinduksi oleh adenosin dapat dicegah dengan pemberian teofilin.
c. Pelepasan Katekolamin Endogen
Teofilin meningkatkan sekresi epinefrin dari medula adrenal. Peningkatan
konsentrasi epinefrin di dalam darah menimbulkan efek bronkodilatasi.
d. Penghambatan Prostaglandin
Teofilin melawan efek prostaglandin pada otot polos vaskuler secara invitro, tetapi
belum ada bukti bahwa efek ini muncul pada konsentrasi terapeutik pada jalan nafas.
e. Influks Kalsium
Teofilin mempengaruhi mobilisasi kalsium pada otot polos jalan nafas.
3.4 Farmakokinetik
Ada hubungan yang kuat antara perbaikan fungsi jalan nafas dengan konsentrasi
teofilin. Konsentrasi <10 mg / l efek terapeutiknya kurang, sebaliknya >25 mg / l
menimbulkan efek samping. Konsekuensinya, dosis terapeutiknya adalah 10 – 20 mg/l.
Aminofilin IV ( 85 % teofilin) telah digunakan selama beberapa tahun untuk
penanganan serangan akut asma. Loading dosis yang direkomendasikan adalah 6 mg / kg BB
yang diberikan selama 20 – 30 menit diikuti oleh dosis pemeliharaan 0,5 mg / kg BB per jam.
Jika pasien telah menggunakan teofilin sebelumnya maka dosis loading-nya dikurangi.3,5
Teofilin tablet atau eliksir cepat diabsorpsi dari saluran cerna. Aminofilin dapat
diberikan dalam bentuk supositoria tetapi mudah terjadi proktitis sehingga tidak dianjurkan.
Pemberian dengan cara inhalasi kurang efektif disamping dapat menimbulkan iritasi.
Sedangkan pemberian injeksi intramuskuler menimbulkan nyeri sehingga tidak
direkomendasikan.1,3
3.5 Indikasi
Pemberian aminofilin intravenus kurang efektif dibandingkan nebulizer agonis β
untuk pengobatan serangan akut asma. Aminofilin diberikan bila pemberian inhalasi agonis β
tidak berespon dengan baik. Pemberian teofilin bersama-sama dengan agonis β mempunyai
efek aditif. Teofilin juga dapat digunakan pada COPD.
3.6 Efek Samping dan Kontra Indikasi
Efek yang tidak diinginkan berhubungan dengan konsentrasi obat dalam plasma,
biasanya muncul pada konsentrasi > 20 mg/l. Efek samping yang paling sering adalah sakit
kepala, mual muntah, abdominal discomfort dan restlessness. Dapat juga terjadi peningkatan
sekresi asam lambung dan pengeluaran urin. Pada dosis tinggi dapat menimbulkabn aritmia
dan kejang-kejang. Beberapa efek samping ( stimulai SSP, sekresi asam lambung, diuresis,
dan aritmia) mungkin disebabkan oleh antagonis reseptor adenosin. Hal ini dapat dicegah
dengan obat seperti enprofilline yang tidak memblok reseptor ini pada dosis terapeutik. 1,5
Tabel 3. Sediaan dan dosis obat metilsantin 4
Medikasi Sediaan Dosis dewasa Dosis anak
Teofilin Tablet 130, 150 mg 3 – 5 mg / kgBB / x 3 – 5 mg / kgBB / x
Aminofilin Tablet 200 mg 3 – 4 x / hari 3 – 4 x / hari
Teofilin lepas lambat Tablet 125, 250, 300 mg 2 x 125 – 300 mg 2 x 125 mg ( > 6 tahun)
400 mg 200 – 400 mg, 1 x / hari

Aminofilin lepas lambat Tablet 225 mg 2 x 1 tablet ½ - 1 tablet, 2 x ./ hari


( > 12 tahun)

Keterangan: Sediaan lepas lambat digunakan sebagai pengontrol (controller)


Peran perawat dalam pemberian obat-obat bronkodilator
Perawat bertanggung jawab dalam pemberian obat yang aman karena obat dapat
menyembuhkan, namun sebaliknya obat dapat pula merugikan pasien. Perawat harus
mengetahui semua komponen dari perintah pemberian obat dan menanyakan perintah
tersebut jika tidak lengkap atau tidak jelas atau dosis yang diberikan di luar batas yang
direkomendasikan.
Hal-hal yang harus diperhatikan oleh perawat adalah :
1. Sebelum obat diberikan
a. Kondisi pasien secara umum (muntah, sukar menelan, tidak dapat minum obat tertentu, dll).
Juga harus diperhatikan faktor gangguan visual, pendengaran, intelektual, atau motorik pada
pasien yang berpengaruh saat minum obat.
b. Prinsip lima benar.
 Benar pasien
 Benar obat
 Benar dosis
 Benar cara atau rute pemberian obat
 Benar waktu
c. Pendidikan kesehatan yang diberikan kepada pasien sebelum memberikan obat.
2. Selama obat diberikan
a. Pantau dan awasi pemberian obat, yakinkan bahwa obat sudah diminum oleh pasien.
b. Pada pemberian obat selain oral, dimana harus perawat sendiri yang melakukan, obat
tersebut sesui dengan prosedur pemberian.
3. Setelah obat diberikan
a. Awasi reaksi pasien setelah diberikan obat.
b. Kontrak waktu untuk pemberian obat selanjutnya.
c. Dokumentasi obat yang diberikan.

PENDIDIKAN KESEHATAN
Pendidikan kesehatan yang perlu diberikan pada pasien dan keluarganya selain
mengenai penyakitnya juga cara penggunaan obat bronkodilator yang benar dan teknik
pemberiannya, karena kegagalan seringkali akibat teknik yang keliru. Jelaskan kepada pasien
dan keluarganya bahwa asma maupun COPD bukan merupakan penyakit yang dapat
disembuhkan melainkan hanya bisa dikontrol. Bila pasien anak, orang tuanya harus
dilibatkan. Pasien harus mengetahui obat mana untuk pelega (reliever) dan obat mana
pengontrol/pencegah (controller).

DAFTAR PUSTAKA

1. Barnes PJ, 1992. Pulmonary Disorders. In : Melmon KL, Morrelli HF, Hoffman BB,
Nierenberg DW (editors). Clinical Pharmacology, Basic Principles in Therapeutics,
third edition. McGRAW-HILL,INC.p 186-218
2. Alasagaff H, Mukti HA, 2002. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Penerbit Airlangga
University Press, Surabaya. Hal 292-95
3. Arini Setiati, 1995. Adrenergik. Dalam: Ganiswarna SG, Setiabudi R, Suyatna FD,
Purwantyastuti Nafrialdi (editor). Farmakologi dan Terapi, edisi 4. Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hal 57-76
4. Mangunnegoro H, Widjaja A, Kusumo D dkk, 2004. Asma, Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia ( Tim Kelompok
Kerja Asma). Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Hal 28-79
5. Purwanto SL, Budipronoto G, Sembiring SU, Effendie R, Kamil, Virginia, Slamet A,
Widodo K, 1994. DOI, Data Obat di Indonesia, edisi 9. Penerbit PT Grafidian Jaya,
Jakarta. Hal 307-312, 374-378, 522-523

Anda mungkin juga menyukai