Epidermolisis Bullosa
Epidermolisis Bullosa
I. PENDAHULUAN
Penyakit ini adalah penyakit genetik dan belum ditemukan pengobatan yang
tepat. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang dikontraindikasikan. 4
Dikarenakan epidermolisis bulosa menyebabkan masalah, bukan hanya bula
pada kulit, tetapi pada mukosa, akral, saluran cerna, mata dan lain-lain, maka
penatalaksaan pasien pun harus multidisiplin dan secara holistik. 1,2,4
II. EPIDEMIOLOGI
1
per satu juta kelahiran hidup, epidermolisis bulosa distrofik (EBD) subtipe
dominan sebesar 3 per satu juta kelahiran hidup serta EBD subtipe resesif
sebesar 2 per satu juta kelahiran hidup.2
III. ETIOPATOGENESIS
Untuk dapat mengerti etiopatogenesis dan klasifikasi epidermolisis bulosa
maka penting untuk mengetahui struktur dan target protein di taut
dermoepidermal (Basement Membrane Zone=BMZ).
2
Epidermolisis bulosa terbagi menjadi 4 tipe, yaitu epidermolisis bulosa
simplex (EBS), epidermolisis bulosa junctional (EBJ), epidermolisis bulosa
distrofik (EBD) dan sindrom Kindler. Target protein dari EBS berada di
desmosom yang menghubungkan keratinosit yang satu dengan yang lainnya.
Sebagian besar target protein yang terlibat di EB di temukan di taut
dermoepidermal. EBS memiliki bula intraepidermal sebab memiliki target protein
keratin 5 (K5) dan 14 (K14) serta K15 dan K17 yang terletak di basal keratinosit
di taut dermoepidermal. Dengan adanya mutasi pada gen keratin menyebabkan
terbentuknya struktur filamen keratin interseluler yang tidak stabil dan mudah
rusak. Selain itu, EBS dapat terjadi akibat pembentukan enzim sitolitik dan
pembentukan protein abnormal yang sensitif terhadap perubahan suhu. Sitolisis
keratinosit dan bula intradermal terjadi karena abnormalitas keratin.7 Diduga juga
terjadi defisiensi enzim galatomsylhidroxylysyl-glocosyltransferase dan
gelatinase (enzim degradase kolagen). Selain itu juga terjadi mutasi pada gen
plektin. Plektin adalah proein yang terdapat di membran basal pada attachment
plaque/hemidesmosom yang berfungsi sebagai penghubung filamen
intermediate ke membran plasma. Hampir semua tipe EBS diturunkan secara
autosomal dominan kecuali pada EBS dengan muscular dystrophy, EBS letal
autosomal resesif dan kemungkinan EBS lokalisata.8
Bula yang terjadi pada EBJ terletak di intralamina lusida karena target
protein utamanya adalah laminin-332 yang menyusun anchoring filaments, serta
kolagen tipe XVII dan integrin α6β4. Integrin tersebut terdapat di hemidesmosom
yang merupakan molekul adhesi laminin yang menyebabkan attachment plaque
tidak berfungsi dengan baik. Selain itu, mutasi gen pengkode antigen pemfigoid
bulosa 2 (BPA-2) dijumpai pada EB junctional ringan yang disertai atrofi..
Pearson dan Scachner menduga EBJ terjadi akibat membran abnormal sel
pecah dan mengeluarkan enzim proteolitik sehingga terbentuk celah di lamina
lusida.1
EBD mempunyai target protein kolagen tipe VII yang menyusun anchoring
fibrils di sublamina densa,8 sehingga bula pada EBD terbentuk di sublamina
densa. Pada EBD resesif terjadi peningkatan aktifitas kolagenase, sedangkan
pada yang dominan umumnya tidak terjadi. Pada sindrom Kindler, bula
3
terbentuk pada lebih dari satu lapisan, yaitu di intralamina lusida dan sublamina
densa.
Gejala klinis dari EB adalah adanya bula, dan bula terbentuk di tempat yang
mudah mengalami trauma walaupun trauma yang ringan, misalnya trauma jalan
lahir. Bula yang terbentuk biasanya jernih, kadang hemoragik, pada
penyembuhan perlu diperhatikan, apakah meninggalkan bekas jaringan parut.
Selain kulit, biasanya mukosa juga ikut terkena, seperti mukosa oral,
nasofaringeal, okular, genitourinaria, gastrointestinal, atau sistem respirasi,
demikian pula kuku dapat mengalami distrofik. Pada tipe distrofik resesif dapat
disertai retardasi mental dan pertumbuhan, kontraktur dan perlekatan (fusi) jari-
jari tangan.4
4
Gambar 2. Epidermolisis bulosa simplex subtipe Weber-Cockayne
Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1062939-clinical#a0217
5
Gambar 4. Papul hiperkeratosis dan plak pada telapak tangan EBS Koebner
Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1062939-clinical#a0217
7
Gambar 6. Gigi pasien dengan EBJ Generalized non-Herlitz
Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1062939-clinical#a0217
9
e. Sindrom BART
Bula terbentuk di bagian dermal membran basal menyebabkan erosi di
bagian ekstremitas, intertriginosa, leher dan bokong. Sembuh spontan dan
meninggalkan bekas hipopigmentasi. Nama lain dari sindrom Bart adalah EB
dengan Congenital Localized Atrophic of Skin.3
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah lengkap
Pemeriksaan darah lengkap bertujuan untuk melihat apakah terjadi
infeksi bakteri atau virus yang menyertai EB serta untuk menyingkirkan
diagnosis banding, dengan melihat jumlah leukosit dan hitung jenis. Darah
10
lengkap juga digunakan untuk melihat apakah pasein sedang menderita
anemia yang biasanya ada pada pasien EBD resesif.
b. Endoskopi
Endoskopi dilakukan untuk mengevaluasi disfungsi gastrointestinal,
untuk melihat apakah terdapat striktur esofagus yang berhubungan dengan
EBJ, EBD, atau atresia pilorus terkait dengan EBJ.
c. Mikroskop imunoflorosens
Dengan kemajuan ilmu di bidang patologi, telah banyak ditemukan
antibodi untuk masing-masing target protein yang mengalami defek pada
EB. Dengan pemeriksaan ini, maka dapat ditentukan klasifikasi dari EB
berdasarkan target proteinnya. Pemeriksaan ini dilaporkan memiliki
sensitivitas dan spesitifitas yang lebih baik dibandingkan mikroskop elektron
(97% vs 71%) dan (100% vs 81%).12
d. Mikroskop elektron
Pemeriksaan dengan mikroskop elektron memiliki kelebihan, karena
mampu melihat ultrastruktur, serta protein-protein di taut dermoepidermal
yang mengalami defek. Dengan diketahuinya hal tersebut dapat ditentukan
klasifikasi tipe EB. 1 Kelemahan dari pemeriksaan mikroskop elektron adalah
biayanya yang mahal dan hanya laboratorium tertentu yang memilikinya,
serta dibutuhkan tenaga spesialis yang berpengalaman untuk melihat
ultrastruktur di taut dermoepidermal tersebut.9
e. Pemeriksaan DNA
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat adanya mutasi pada gen
pengkode protein pada DNA. DNA pasien dan kedua orang tua diambil dan
diekstrak untuk dlakukan pemeriksaan mutasi tersebut. Dengan
pemeriksaan ini, berbagai diagnosis subtipe EB dapat ditegakkan,
khususnya dari kelompok dengan penurunan autosom dominan seperti
mutasi K5 dan K14 pada EBS, dan mutasi kolagen tipe VII pada EBD
subtipe dominan.9
f. DIAGNOSIS
Kunci utama diagnosis EB secara klinis didasarkan lokalisasi bula yang
terbentuk, yaitu di tempat yang mudah mengalami trauma walaupun trauma
11
yang ringan. Lokalisasi bula ditentukan berdasarkan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik secara lengkap ditujukan untuk menilai kelainan pada mukosa
mulut, mata, serta kuku dan akral yang biasanya menyertai EB. Untuk
pemeriksaan penunjang, diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan
pemeriksaan dengan mikroskop elektron untuk melihat letak bula terhadap
membrana basalis, pemeriksaan imunoflorosens untuk melihat target protein
yang mengalami defek serta untuk menentukan klasifikasi atau pemeriksaan
mutasi DNA untuk melihat mutasi pada gen yang spesifik dari subtipe
epidermolisis bulosa. Untuk saat ini, pemeriksaan yang menjadi gold standart
untuk menegakkan diagnosis epidermolisis bulosa adalah pemeriksaan dengan
menggunakan mikroskop elektron.9
a. Impetigo neonatorum
Merupakan varian dari impetigo bulosa pada neonatus. Gejalanya
adalah bula hipopion yang lokasinya menyeluruh dan dapat disertai
demam.13
12
daerah sekitar kemerahan. Lokasinya di daerah fleksor seperti ketiak dan
lipat paha.13
IX. PENATALAKSANAAN
a. Promotif
Untuk penatalaksanaan promotif adalah dengan memberikan edukasi
pada masyarakat tentang apa itu epidermolisis bulosa dan bagaimana
13
mengenali gejala dari penyakit ini. Diedukasikan juga bagi keluarga yang
memiliki riwayat epidermolisis bulosa untuk melakukan konseling genetik
bagi yang hendak memiliki anak.4
b. Preventif
Lakukan konseling genetik pada pasangan yang memiliki riwayat
penyakit epidermolisis bulosa di keluarganya. Untuk sekarang, pengambilan
sampel dapat dilakukan dari vili korionik pada minggu 8-10 atau cairan
amnion pada kehamilan trimester kedua. Dengan melakukan konseling
genetik, dapat dilihat apakah janin menderita epidermolisis bulosa dan
apakah janin viabel atau tidak.4 Untuk keluarga yang memiliki anak dengan
epidermolisis bulosa, sebaiknya diedukasikan mengenai kondisi dan
perawatan yang diperlukan oleh anak, pencegahan trauma dengan memakai
bantalan pada ekstremitas untuk mencegah terjadinya bula, serta nutrisi
yang baik yang diperlukan oleh anak untuk mencegah terjadinya erosi
mukosa oral dan esofagus. Untuk pencegahan masalah di mulut, kunjungan
teratur ke dokter gigi sangat disarankan karena pasien dengan EBJ dan
EBD sering mengalami masalah gigi karena defek enamel.4
c. Kuratif
1. Medikamentosa
a) Topikal
Sebagai pengobatan topikal dapat diberikan kortikosteroid dan
antibiotik bila terdapat infeksi sekunder. Glutaraldehid 5% 3 kali
sehari berfungsi sebagai pelumas dan dapat membantu mengurangi
gesekan pada tangan dan kaki.14 Untuk masalah lesi pada mata,
bisa diberikan antibiotik topikal bila ada erosi kornea. Pasien EBS
subtipe weber-Cockayne dan Dowling-Meara dapat mengalami
blefaritis yang berulang dan bisa menyebabkan ektropion sikatrik
dan keratitis. Lubrikasi mata dengan tetes mata artifisial sering
digunakan.
b) Sistemik
Pemberian antibiotik sistemik hanya kalau ada indikasi saja.
Pemberian kortikosteroid sistemik bermanfaat pada kasus yang
berat dan fatal, antara lain untuk mencegah mutilasi, distrofik dan life
saving. Akan tetapi pemberian kortikosteroid jangka panjang
14
dikontraindikasikan, karena efek samping yang tidak diinginkan.4
Diberikan prednison 140-160 mg/hari lalu segera dilakukan
tappering off. Terapi lainnya adalah pemberian vitamin E 600-2000
iu/hari atau difenilhidantoin 2,5-5,0 mg/kgBB/hari yang bertujuan
untuk menghambat aktivitas kolagenase.1 Terapi juga perlu
diperhatikan pada kasus yang mengenai jaringan mukosa, yang
paling sering adalah masalah di esofagus (pada Hallopeau-Siemens
dan EBD inversa, Dowling-Meara, dan sebagian besar subtipe EBJ)
yang membuat anak sulit makan. Terapi yang bisa diberikan adalah
fenitoin dan steroid oral sirup untuk mengurangi gejala disfagia.
2. Bedah
Tata laksana secara bedah diperlukan apabila sudah terjadi striktur
esofagus, fusi jari-jari tangan atau pseudosindaktil, dan karsinoma sel
skuamosa.4
3. Perawatan
Dijelaskan kepada keluarga pasien mengenai kondisi pasien. Sebisa
mungkin hindari terjadinya gesekan dan trauma yang bisa memicu
terjadinya bula. Hindari menggunakan plester, karena bisa memicu
terjadinya bula. Bula dipecahkan dengan jarum steril yang ditusukkan
dan atapnya dibiarkan. Pada anak-anak, sebaiknya dipilihkan jenis
sepatu yang lunak dan hindari sepatu yang sempit. Kaos kaki dari bahan
katun untuk membantu menyerap keringat dan menghindari gesekan.
Hindari gosokan pada saat memandikan pasien. Suhu lingkungan
diupayakan agar cukup dingin, karena bula mudah terjadi pada suhu
panas. Bagian yang erosi diolesi krim atau salep antibiotik, perawatan
jari tangan harus hati-hati, upayakan mencegah terjadinya kontraktur
dan fusi jari-jari dengan menggunakan bidai jari-jari tangan pada saat
malam hari.1,4
4. Diet
Sebaiknya diberikan makanan tinggi kaori dan tinggi protein dalam
bentuk lunak yang mudah ditelan, terutama apabila terdapat luka di
daerah mulut. Penggonaan dot dihindarkan, karena bisa menembukan
gelembung dan luka di mulut, untuk mencegah trauma, bayi disuapi
15
dengan sendok. Penelitian mengkonfirmasi, bahwa kekurangan gizi
pada anak dengan epidermolisis bulosa akan menghambat
penyembuhan luka.1,4
d. Rehabilitatif
Pasien dengan epidermolisis bulosa perlu mendapatkan perawatan yang
ketat untuk luka dan nutrisinya. Inaktivitas karena nyeri dan pembentukan
jaringan parut dapat memicu terjadinya kontraktur. Terapi fisik diperlukan
untuk mencegah terjadinya kontraktur ekstremitas. Whirlpool therapy bisa
digunakan untuk membantu membersihkan luka, sehingga membantu
penyembuhan luka.
X. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi adalah infeksi kulit sekunder karena kuman
Staphylococcus atau Streptococcus. Pembentukan jaringan parut dan milia
terjadi akibat pembentukan bula yang dalam. Epidermolisis bulosa yang berat
bisa menyebabkan fibrosis di tangan dan menyebabkan pseudosindaktil
sehingga mengurangi ruang gerak dari palmar dan digiti. Karena luka dan
fibrosis di kaki, pasien dengan epidermolisis bulosa akan mengalami kesulitan
berjalan, Banyak pasien epidermolisis bulosa yang kehilangan kukunya. Pasien
dengan keterlibatan mukosa bisa mengalami striktur esofagus, sehingga
mengurangi asupan gizi pada anak. Akhirnya epidermolisis bulosa bisa
menyebabkan anak gagal bertumbuh. Komplikasi yang fatal lainnya adalah
terjadinya karsinoma sel skuamosa akibat dari luka kronis dan jaringan parut,
terutama pada tipe epidermolisis bulosa yang diturunkan secara autosom
resesif.4
XI. PROGNOSIS
EBS mempunyai prognosis yang baik. Pasien akan bertambah baik seiring
dengan usia, namun pada EBS subtipe herpetiformis yang menyerang neonatus,
mempunyai prognosis yang buruk karena bula generalisata yang luas. Pasien
dengan EB juctional subtipe Herlitz mempunyai angka mortalitas sebesar 87%
16
dalam 1 tahun pertama kehidupan. Penyebab kematian adalah sepsis, gagal
bertumbuh dan komplikasi trakeolaringeal.5 Prognois buruk juga dialami pasien
EBJ dengan atresia pilorus. Pada pasien dengan EBJ non-letal, akan mengalami
perbaikan klinis seiring dengan pertambahan usia. Pada pasien dengan EBD
tipe resesif, prognosisnya sulit ditentukan karena gejala klinisnya lebih berat dari
EBS tapi lebih ringan dari EBJ.
XII. KESIMPULAN
Epidermolisis bulosa adalah penyakit yang jarang dan bila ditemukan maka
pasien harus diawasi dengan ketat. Tata laksana secara holistik dan multidisiplin
diperlukan oleh pasien. Dikarenakan penyakit ini adalah penyakit kronis, maka
edukasi pada pasien dan keluarga mutlak diperlukan.
17
DAFTAR PUSTAKA
18