Diterjemahkan dari: Bullous disorders of chilhood Dalam Buku: Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology fourth edition; bab 13, hal 308-313. Anthony J. Mancini, MD & Amy S. Paller, MD
Oleh: Azhar Ramadan Nonci Pembimbing: dr. I.G.A.A Dwi Karmila, Sp.KK
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RS SANGLAH DENPASAR 2013
Klasifikasi dan penyebab dari bentuk mayor epidermolisis bulosa distrofik Tipe Penurunan Kerusakan gen genetik
Dominan Generalisata Akral Pretibia Pruriginosa Kuku Dermolisis bulosa pada bayi baru lahir Resesif Generalisata berat Generalisata lainnya Inversa Pretibia Pruriginosa Sentripetal Dermolisis bulosa pada bayi baru lahir Tabel 13.6 AR AD AR AR AR AR AR Kolagen VII Kolagen VII Kolagen VII Kolagen VII Kolagen VII Kolagen VII Kolagen VII AD AD AD AD AD AD AD Kolagen VII Kolagen VII Kolagen VII Kolagen VII Kolagen VII Kolagen VII Kolagen VII
Tipe
Distrofik dominan
Manifestasi klinis
Onset saat lahir sampai awal masa bayi Bula predominan pada punggung tangan, siku, lutut dan kaki bagian bawah Lesi milia dengan skar Beberapa pasien terdapat lesi seperti skar, terutama pada badan 80% memiliki kuku distrofik
Onset saat lahir Bula yang menyebar luas, skar, lesi milia Deformitas: pseudosyndactily, kontraktur sendi Keterlibatan membran mukosa berat, kuku; alopesia Retardasi mental & pertumbuhan, gizi buruk Anemia Mottled, karies gigi Osteoporosis, terlambat puberitas, kardiomiopati, glomerulonefritis, amiloidosis renal, nefropati IgA Predisposisi menjadi karsinoma sel skuamus pada area skar yang parah Bula generalisata sejak lahir dengan skar lesi milia (Anemia, retardasi pertumbuhan dan mukosa) lebih jarang terjadi, namun sering terdapat masalah esofagus pada usia lebih dewasa
Gambar 13.13. EB distrofik dominan. Ditandai dengan bula pada area punggung tangan, predominan diatas area ruas-ruas jari dengan skar residual dan milia
Gambar 13.14. EB distrofik dominan. Distrofik kuku, terutama pada jari kaki sering terdapat pada individu dengan EB distrofik dominan
Gambar 13.15. Dermolisis bulosa transien pada bayi baru lahir. Setelah perluasan bula pada ekstremitas bawah saat lahir, tidak muncul bula lagi setelahnya. Pemeriksaan immunomapping terjadi pemisahan pada lapisan atas dermis dan pewarnaan pada kolagen tipe IV berkurang.
Dermolisis bulosa pada bayi baru lahir (EBD-DBB, yang sebelumya disebut DBB transien) menujukkan adanya bula pada kulit yang cukup luas, saat kelahiran atau
di awal masa bayi (Gambar. 13.15). Bula secara dramatis akan membaik mulai pada bulan pertama sampai usia dua tahun dan terjadinya bula bukan merupakan suatu masalah meskipun dapat menyebabkan atrofi residual ringan, pembentukan skar, distrofi kuku dan peningkatan risiko karies gigi,. Kelainan ini disebabkan oleh adanya mutasi ringan pada COL7A1, dan dapat menurun secara dominan atau resesif.
Gambar 13.16. EB distrofik resesif. Pada anak perempuan ini terdapat shawl sign dari EBDR. Meskipun rambut sudah dipotong, dilakukan dressing dan proteksi ketat dari trauma, area ini telah menjadi bula yang terbuka selama 5 tahun.
Seringkali bula akan menjadi suatu skar atrofik dan berbagai macam derajat hiperpigmentasi dan hipopigmentasi. Tampak skar milia yang khas. Pada pemeriksaan dermoskopi, kadang-kadang tampak bercak gelap menjadi kehitaman dengan bentuk ireguler, namun secara histologis tampak nevus jinak atau peningkatan deposit pigmen basal. Lesi perubahan warna kulit dapat hilang secara spontan. Pada tangan dan kaki bagian bawah sering terjadi bula dan skar yang berat. Jari-jari tangan dan kaki dapat menyatu, yang menyebabkan pseudosyndactyly dimana jari-jari disatukan oleh kantung epidermal menyerupai gambaran sarung tangan sehingga menyebabkan claw-like clubbing atau mittenlike deformities (Gambar. 13.17).
Gambar 13.17. EB distrofik resesif. Pseudosyndactyly atau deformitas mitten pada kedua tangan seorang anak perempuan berusia 5 tahun ini, disertai skar atrofik yang tangan luas Jari-jari dan kaki menjadi tidak dapat bergerak
tahun), dan pergelangan tangan, siku, lutut serta pergelangan kaki dapat menetap
pada posisi fleksi karena kontraktur, menyebabkan imobilitas dan sering menjadi tergantung pada kursi roda. Keterlibatan mukosa oral sering terjadi segera setelah lahir, menyebabkan disfagia dan keterbatasan kemampuan untuk menyusui dengan baik. Erosi pada esofagus dapat menyebabkan stenosis segmental (paling sering pada sepertiga bagian atas) menyebabkan kesulitan dalam penyerapan. Seringkali terjadi gastroesophageal reflux disease, terutama yang menyebabkan muntah yang parah. Konstipasi sering terjadi dan mungkin disebabkan oleh fisura ani, kurang konsumsi serat dan efek pemberian zat besi. Anak yang menderita penyakit ini memiliki rasa enggan untuk makan dan sering terjadi fisik yang gagal berkembang, sehingga membutuhkan peningkatan kebutuhan nutrisi akibat defisit protein dan nutrisi lainnya karena adanya luka. Seiring perkembangan usia terdapat kecenderungan penyakit menjadi lebih ringan, tapi harus menghindari minum air yang hangat, makanan yang kasar dan partikel besar yang dapat menyebabkan bula pada rongga mulut, faring atau esofagus. Pasien mengalami kelainan khas mikrostomia yang disebabkan oleh pembentukan skar intraoral dan suatu frenulum yang membatasi gerak. Pada mata dapat timbul bula yang disertai dengan inflamasi okular dan menjadi skar pada kornea yang dapat menyebabkan gangguan penglihatan. Bula dan skar pada laring dapat menyebabkan suara parau, suara hilang dan bahkan stenosis laring. Pada pasien epidermolisis bulosa, khususnya EBDR terdapat kandungan mineral yang rendah pada tulang, sehingga mungkin dapat terjadi insufisiensi nutrisi campuran, penurunan akitivitas fisik dan inflamasi kronik. Gigi pada penderita EBDR sering mengalami karies gigi dini yang berat. Pembentukan skar intra oral yang progresif menyebabkan mikrostomia dan penurunan produksi saliva. Bahkan perawatan gigi berkala dapat menyebabkan erupsi bula dan erosi pada bibir, ginggiva dan mukosa oral. Kuku dapat terjadi distrofi yang berat atau hilangnya kuku keseluruhan. Rambut dan kulit kepala dapat terlihat jarang secara menyeluruh dan bisa terdapat bercak alopesia sikatrik. Pada pasien dengan EBDR bentuk generalisata berat, kematian dapat terjadi pada masa bayi dan anak-anak yang disebabkan oleh sepsis, pneumonia atau gagal ginjal. Pasien dengan EBDR (dan jarang pada EBDD) memiliki risiko
tinggi mengalami glomerulonefritis, amiloidosis renal dan nefropati IgA. Kehilangan banyak cairan, darah dan protein melalui beberapa area di kulit yang disertai malnutrisi dapat menyebabkan hipoalbumin dan anemia. Kardiomiopati yang luas merupakan komplikasi yang jarang terjadi, tetapi dapat berakibat fatal terutama pada pasien yang secara bersamaan mengalami gagal ginjal kronik. Kardiomiopati disebabkan oleh banyak faktor, antara lain kelebihan zat besi akibat tranfusi, miokarditis oleh karena virus dan defisiensi dari selenium dan karnitin. Komplikasi lain dari EBDR diantaranya erosi dan skar pada daerah anal (sering menyebabkan rasa tidak nyaman yang berat, konstipasi kronis dan keadaan anal yang kotor), stenosis uretra, retensi urin, hipertrofi kandung kencing dan kadang-kadang hidronefrosis. Pasien dengan EBDR (dan sedikit banyak EBJ tapi bukan EBDD) menunjukan suatu peningkatan progresif risiko terjadinya karsinoma sel skuamus (secara berurutan 7,5%, 68%, 80% dan 90% pada usia 20, 35, 45 dan 55 tahun) pada area kulit dengan ulserasi dan skar yang berat. Lesi ini sering timbul diatas area persendian dan ekstremitas bagian distal sebagai lesi nodular atau ulkus yang sulit sembuh. Adanya masa yang dicurigai suatu keganasan, sebaiknya dilakukan biopsi untuk membedakan karsinoma sel skuamus dari suatu lesi jinak seperti verruciform xanthoma. Karsinoma kulit cenderung menjadi agresif pada area setempat. Seringkali harus diamputasi dan cenderung mengalami metastasis yang menyebabkan kematian. Kematian yang terjadi pada masa kanak-kanak paling sering pada jenis EBJ (pertengahan usia 4-6 bulan). Sepsis, gagal berkembang dan gagal nafas merupakan penyebab tersering terjadinya kematian pada masa kanak-kanak. Anak-anak dengan EBDR umumnya masih bertahan hidup pada masa neonatus dan bayi, namun tidak dapat bertahan terhadap infeksi selanjutnya pada masa kanak-kanak atau menjadi karsinoma kulit yang agresif pada usia dewasa.
abnormalitas yang diturunkan dari orang tua. Ketika kondisi dipastikan oleh suatu gen dominan (seperti pada EBDD) dan orang tua menderita, risiko terjadi kelainan pada anak-anaknya sebesar 50%. Pada suatu keluarga dimana seorang anak memiliki abnormalitas akibat suatu gen resesif (seperti pada EBDR), risiko orang tua memiliki kemungkinan terjadi abnormalitas pada keturunan selanjutnya di setiap kehamilan sebesar 25%. Memberikan konseling genetik yang sesuai berdasarkan diagnosis yang akurat. Karena perjalanan klinis dari bermacam bentuk epidermolisis bulosa sangat beragam, terutama selama masa neonatus dan bayi, direkomendasikan bahwa pasien sebaiknya dievaluasi sedini mungkin dengan pemeriksaan imunofluoresen, pemeriksaan antibodi monoklonal dan analisis DNA jika dianggap sesuai dalam upaya untuk menentukan diagnosis yang tepat. Diagnosis prenatal pada semua bentuk dari epidermolisis bulosa saat ini dapat menggunakan cara molekular, namun akan lebih mudah jika gen yang terkena sudah diketahui dari keluarganya. Diagnosis preimplantasi telah ada, dan merupakan suatu pilihan dengan menggunakan fertilisasi in vitro untuk memastikan suatu fetus yang normal tanpa risiko keguguran. Efek psikososial pada epidermolisis bulosa terutama bentuk yang lebih berat, pada individu dan keluarga yang terkena, memiliki efek paling dramatis diantara penyakit kulit lainnya. Anak-anak yang menderita merasa memiliki kulit yang gatal, nyeri, memiliki kesulitan berpartisipasi, sulit untuk memahami individu yang lain dan merasa berbeda. Orang tua dari anak yang menderita kuatir anaknya menjadi lain; anak mengeluh kesakitan; merasa tidak percaya diri; keterbatasan dalam melakukan pekerjaan dan waktu luang, masalah dalam mengatur perawatan, menjadi tidak produktif dalam pekerjaan; masalah keluarga; ketidakpedulian serta ketidakcakapan dari pemberi perawatan lainnya dan adanya perlawanan oleh anak tersebut dalam perawatan. Masalah-masalah ini sebaiknya dibicarakan dan diberikan bantuan psikologis untuk pasien dan keluarganya sebagai bagian dari perawatan optimal. Terapi epidermolisis bulosa adalah paliatif, dengan melindungi dari gesekan atau panas yang berlebihan, mencegah dari abrasi dan kontriksi, penanganan infeksi sekunder, suplementasi nutrisi dan penanganan nyeri. Karena bula disebabkan oleh cedera mekanis, sebaiknya diambil tindakan untuk
mengurangi tekanan dan mencegah trauma yang tidak perlu. Pakaian seharusnya yang terbuat dari bahan yang lembut dan dipakai secara terbalik. Label pakaian baru yang dapat menggesek kulit sebaiknya dibuang. Penutup baju jenis velcro lebih tidak traumatis dibandingkan jenis lain. Sarung tangan dapat digunakan untuk meminimalisir trauma akibat diri sendiri. Sepatu sebaiknya dari bahan halus dan berukuran yang sesuai; sepatu kulit dengan permukaan kulit di bagian dalam, direkomendasikan idealnya dengan lipatan pada bagian luar (seperti sepatu orang indian). Selama musim panas, sepatu kanvas dan sandal jelly merupakan pilihan yang terbaik. Sepatu sebaiknya cukup longgar untuk mengakomodasi dressings dan meminimalisir gesekan. Sol dapat dibuat dari cooling gel, kulit domba atau dressing pelindung. Bayi yang terkena dapat diangkat dan dipindahkan pada alas yang lembut, bak mandi bayi dapat dilapisi dengan handuk tebal. Lingkungan sekitar yang dingin dan lubrikasi untuk meminimalisir gesekan pada permukaan kulit sangat membantu memperbaiki lesi bula. Ketika bula timbul, perluasan dapat dicegah dengan aspirasi cairan bula secara aseptik. Apabila masih memungkinkan, atap bula sebaiknya dibiarkan tetap intak untuk melindungi kulit dasarnya. Pada epidermolisis bulosa simpleks, menjaga telapak tangan dan telapak kaki tetap dingin dan kering membantu untuk meminimalisir timbulnya bula, terutama saat musim panas. Hiperhidrosis sering terjadi secara bersamaan, dan sebaiknya dilakukan langkah untuk meminimalisir timbulnya bula yang terjadi akibat hiperhidrosis. Aplikasi terapi dapat diberikan 20% alumunium chloride hexahydrate pada waktu malam hari dan dikeringkan dengan pengering rambut temperatur dingin, menggunakan kaos kaki yang menyerap keringat dan menaburi area yang terkena dengan bedak yang menyerap seperti Zeasorb. Untuk kasus yang parah dan pasien usia lebih tua dengan EBS lokalisata, injeksi botulinum toxin telah dilaporkan. Penggunaan silver-impregnated socks dapat mengurangi infeksi dan membuat kaki terasa lebih nyaman. Kasur air dan lapisan bulu yang lembut akan membantu mengurangi gesekan dan trauma. Mandi rutin setiap hari dan pengolesan krim pelindung pada area erosi atau pemberian salep antibiotik (biasanya basitrasin) terutama jika terdapat sedikit krusta. Dressing pelindung yang tidak melekat pada luka sebaiknya diaplikasikan pada area erosi untuk membantu penyembuhan namun
harus
mencegah
pengelupasan
selanjutnya
ketika
penggantian
dressing
(contohnya: petrolatum-impregnated gauze, Telfa, Mepilex, Mepilex transfer, Mepitel, Restore). Pada anak-anak dengan EBDR, dressing sebaiknya dilakukan secara hati-hati pada lokasi yang tepat diantara jari-jari untuk mencegah risiko terjadi pseudosyndactyly (Gambar. 13.18).
Gambar 13.18. EB distrofik resesif. Non-adherent dressings sebaiknya ditempatkan diantara jarijari tangan dan kaki pada anak-anak dengan EBDR untuk mencegah risiko terjadinya pseudosyndactyly. Ditandai dengan skar pada kulit dan anonikia
Penggantian dressing harus dilakukan secara steril untuk mencegah risiko terjadinya infeksi oleh bakteri. Dressing pada area terkena dapat menggunakan kasa gulung (seperti Kerlix) dengan plester yang dilekatkan hanya pada dressing itu sendiri atau dengan stockinette seperti (Surgifix atau Spandage). Dressing dengan bahan perak telah memperbaiki keadaan pasien dari infeksi yang berulang, namun penggunaan silver sulfadiazine dilaporkan telah mengakibatkan argyria. Keuntungan pemberian preparat perak pada kulit penderita EB dan akibat yang tidak diketahui dari kadar perak yang tinggi dalam darah, banyak keluarga yang mempertimbangkan keuntungan pemberian pada penurunan infeksi dan mempercepat penyembuhan luka menjadi bisa mendapat risiko yang lebih berat. Suatu penggunaan preparat topikal lainnya sedang dilakukan atau dalam penelitian untuk tujuan mempercepat penyembuhan luka seperti thymosin beta 4 dan madu yang dapat menyembuhkan. Area yang berkrusta dan purulen sebaiknya dilakukan kultur dan diterapi sesuai sensitifitas tehadap organisme penyebab. Pemberian secara topikal salep mupirosin dan atau gentamisin bermanfaat pada
area dengan krusta yang tidak luas. Keterlibatan yang lebih luas membutuhkan terapi antibiotik sistemik. Penggunaan antibiotik sistemik secara berlebihan sebaiknya dihindari karena berisiko tinggi terjadi resistensi. Larutan gentamisin (480 mg/L salin), larutan asam asetik (cuka putih yang diencerkan) dan penambahan sedikit pemutih pada air untuk mandi (misal seperempat sampai setengah gelas per bak mandi) telah digunakan untuk menghambat kembang-biak organisme staphylococcal dan pseudomonas. Pada bayi dan neonatus berisiko tinggi mengalami sepsis dan pasien harus diamati dan dimonitor secara cermat. Pemberian steroid sistemik dan topikal umumnya tidak diperlukan pada pasien dengan EB dan sebaiknya dihindari karena dapat memicu terjadi infeksi dan efek samping yang lain. Pemberian steroid topikal poten yang dibatasi, atau talidomid telah membantu pembentukan jaringan granulasi pada laminin 332 yang terkena. Penanganan nyeri merupakan suatu hal yang penting pada perawatan EB, terutama pada bayi. Penggantian dressing pada lokasi bula menyebabkan nyeri yang sangat hebat bagi pasien, harus dilakukan mulai dari beberapa kali seminggu hingga dua kali sehari berdasarkan luas drainase dan adanya infeksi. Metadon dan sirup penekan batuk dekstrometorfan telah digunakan untuk menghilangkan rasa tidak nyaman pada bayi. Pada anak yang lebih tua, asetaminofen dengan kodein, midazolam oral atau morfin telah digunakan sebelum penggantian dressing dan mandi untuk mengurangi nyeri. Amitriptilin dan cara perawatan yang benar juga telah diberikan untuk mengurangi nyeri kronis dan ketidaknyamanan. Pemberian suplemen nutrisi penting untuk pasien EB dengan bentuk yang lebih parah untuk mencegah terjadinya gagal tumbuh kembang yang terkait dengan mortalitas pada 20,5% pasien dengan EBJ-H umur dua tahun. Kekurangan protein, zat besi dan darah melalui area kulit yang tebuka menyebabkan hipoalbumin, defisiensi besi dan kekurangan mineral. Selanjutnya, gangguan kronis dari epitel usus halus menyebabkan gangguan penyerapan nutrisi dan nyeri dengan penurunan asupan makan. Konsultasi ke ahli gizi penting untuk memaksimalkan asupan kalori dan protein serta pemberian nutrisi dan vitamin khusus, seperti zat besi, zinc dan vitamin D3. Preparat besi oral memiliki efek toleransi yang buruk pada saluran pencernaan dan konstipasi merupakan masalah penting; pemberian zat besi secara intravena atau tranfusi darah mungkin
diperlukan untuk menjaga nilai Hgb setidaknya 8 g/dL pada anak-anak yang sakit berat. Sebaiknya menggunakan dot yang lembut seperti haberman feeder dengan lubang yang lebar untuk mengurangi keinginan menghisap. Bibir harus dilindungi dengan petrolatum sebelum mulai makan. Biasanya, pemberian makan melalui saluran nasogastrik sebaiknya dihindari atau jika diperlukan dapat menggunakan saluran yang sesuai untuk pemberian makan. Penempatan titik lubang saluran gastrotomi sebaiknya dipertimbangan pada bayi yang mulai mengalami penurunan grafik dari kurva tumbuh kembang. Sebagai sarana pemberian makanan tambahan untuk asupan kalori dan sebagai rute alternatif untuk pemberian oral, sebaiknya dipikirkan penempatan dini posisi gastrostomi pada EBJ-H dan EBDR. Intervensi gigi rutin, bagus untuk mencegah karies; gigi dapat dibersihkan dengan kasa lembab yang halus dan dicuci klorheksidin. Implan endosseous telah ditempatkan dengan berhasil pada pasien dengan EB. Pada EBDR, disfagia merupakan keluhan yang sering timbul akibat adanya keterlibatan mukosa. Ini dapat disebabkan dari adanya suatu reaksi inflamasi yang reversible atau dari striktur yang permanen. Pada pemeriksaan barium tampak lesi esofagus; namun pemeriksaan endoskopi tidak disarankan. Mengkonsumsi makanan yang lunak selama beberapa minggu tidak rnenghasilkan perbaikan keluhan yang signifikan. Jika dalam pemberian asupan makan yang baik secara konservatif gagal, sebaiknya dilakukan dilatasi esofagus dengan tuntunan fluoroskopi, dan dapat diulang kembali jika terjadi stenosis yang rekuren. Terjadinya perforasi pada esofagus merupakan komplikasi yang paling serius dari tindakan dilatasi esofagus. Pembedahan merupakan tindakan alternatif, melalui interposisi dan reseksi pada lokasi terjadinya striktur dengan tindakan end-to-end anastomosis, tetapi tindakan ini berisiko tinggi. Dilatasi esofagus juga dapat menyebabkan eksaserbasi gastroesophageal reflux, tapi membaik dengan pengobatan H2-blockers, proton pump inhibitors atau pro-motility agents dan komposisi susu yang lebih kental. Konstipasi ditangani dengan asupan cairan dan konsumsi makanan berserat yang adekuat serta pemberian laksatif seperti polyethylene glycol 3350 (Miralax). Perbaikan fungsi dari fusi yang berat dan deformitas fleksi pada tangan dan kaki sering berhasil dengan tindakan fisioterapi dan bedah plastik. Penyembuhan pada tindakan degloving ini dapat dilakukan
dengaan penggunaan biological dressing dengan tissue engineered skin subsitutes dan autologous epidermal grafts pada luka tersebut (Gambar. 13.19). Pada prosedur anestesi terdapat penyulit, namun dapat menggunakan mask anesthesia, endotracheal tube, sedasi secara intravena dan blok lokal anestesi.
Gambar 13.17. Dressing biologi pada EB Dressing biologi dapat digunakan secara selektif, untuk mempercepat penyembuhan pada area
Karsinoma sel skuamus (KSS) yang melibatkan kulit atau membran mukosa pada EBDR sampai EBJ-H yang tidak terlalu luas, terjadi akibat adanya bula dan ulkus yang berulang serta pembentukan skar. Luka yang sulit sembuh atau tampak menetap terutama pada usia dewasa, dibutuhkan biopsi untuk mencari kemungkinan suatu KSS. KSS jarang terjadi pada lidah dan esofagus. Risiko akumulatif pada EBDR sebesar 13% pada usia 20 tahun, 57% pada usia 35 tahun dan 87% pada usia 45 tahun. Melanoma dapat terjadi pada anak-anak dengan EBDR dan risiko terjadinya karsinoma sel basal tampak meningkat pada usia dewasa dengan EBS-DM. Intervensi dini merupakan langkah tepat untuk melakukan eksisi full-thickness dengan margin luas. Mohs surgery tidak memberikan keuntungan jangka panjang dalam mencegah rekurensi lokal, metastase atau kematian. Pada 42% pasien EBDR dan KSS diperlukan tindakan amputasi, dengan insiden yang hampir sama pada tangan dan kaki. Pembedahan pengangkatan tumor dan terapi radiasi merupakan tindakan paliatif untuk mengurangi nyeri dan perdarahan. Cetuximab (EGFR antagonis) merupakan terapi terkini yang telah dilaporkan pada satu pasien dapat mengontrol metastase pada KSS. Selama beberapa tahun belakangan ini, penelitian pada binatang telah menunjukan hasil adanya perubahan gen dan protein pada EB bentuk resesif. Transplantasi gene-corrected cultured epidermal stems cells dari pasien EBJ-non-
Herlitz menunjukan hasil kulit yang tampak normal dalam waktu kurang lebih satu tahun tapi tindakan ini menggunakan insersi retroviral. Injeksi intradermal allogeneic fibroblasts secara temporal menstimulasi peningkatan ekspresi dari kolagen tipe VII dari pasien (bukan donor) fibroblas, terutama pada pasien EBDR dengan kondisi yang tidak parah. Studi terkini, dilaporkan beberapa pasien EBDR telah menunjukan perbaikan secara gradual setelah transplantasi stem cell. Penelitian lebih lanjut seperti penurunan intensitas pengondisian regimen sedang dilakukan.
Sindroma Kindler
Sindroma kindler ditandai dengan poikiloderma generalisata yang progresif, bula kongenital pada kulit daerah akral, atrofi kulit difus (Gambar. 13.20), kerapuhan pada kulit, webbing pada jari-jari tangan dan kaki, distrofi kuku, lesi mukosa oral dan fotosensitifitas yang kadang-kadang terjadi hanya dalam beberapa menit setelah paparan. Gambaran klinis yang lain adalah hiperkeratosis pada telapak tangan dan kaki, leukokeratosis, red friable hyperplastic gums, konstipasi dan kadang-kadang kolitis berat; stenosis pada esofagus, laring, anal, vaginal dan saluran uretra; dan fimosis. Meskipun fotosensitifitas dan bula tampak menurun seiring peningkatan usia, terjadinya skar atrofi dan poikiloderma tampak meningkat. Terdapat peningkatan insiden dari karsinoma sel skuamus pada area akral dan mulut. Pada kelainan ini dibutuhkan penanganan seperti menghindari trauma, penggunaan emolien yang sesuai, pelindung matahari yang tepat dan penggunaan antibiotik yang rasional untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Perawatan gigi berkala dan skrining dini adanya metastasis sangat penting, seperti pemberian zat besi pada kondisi anemia dan penanganan dari stenosis dan kolitis. Mutasi gen yang terjadi pada sindroma Kindler adalah FRMT1 (dahulu disebut KIND-1), mengatur fermitin family homolog 1 (FFH 1) protein atau Kindlin-1, suatu protein adhesi fokal yang menghubungkan sitoskeleton aktin dengan matrik ekstraselular dan mengontrol bentuk lamellipodia pada keratinosit, demikian itu merupakan proses adhesi dan motalitas sel.
Gambar. 13.20. Sindroma Kindler pada anak-anak. Kasus pada seorang anak laki-laki menunjukkan adanya poikiloderma, atrofi kulit, distrofi kuku dan webbing pada jari-jari tangan