Anda di halaman 1dari 12

MODUL DENTOCRANIOFACIAL GROWTH AND DEVELOPMENT

SELF-LEARNING REPORT

SMALL GROUP DISCUSSION

Kelainan Kongenital Genetik dan Sindrom pada Rahang dan Lidah

Tutor:
drg. Amilia Ramadhani, M.Sc.

Disusun oleh:
Syerihan
G1B019024

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

JURUSAN KEDOKTERAN GIGI

PURWOKERTO

2021
A. Ankyloglossia
1. Definisi
Ankyloglossia secara etimologi berasal dari Bahasa Yunani “agkilos” yang berarti
melengkung dan “glossa” yang berarti lidah. Ankyloglossia atau tongue-tie adalah
kelainan kongenital yang dicirikan dengan frenulum yang pendek dan tebal yang
mengganggu pergerakan lidah (Bhattad dkk., 2013; Neville dkk., 2019).
Dalam Yohmi dkk. (2017) disebutkan bahwa ankyloglossia terjadi pada 4,2-10%
bayi baru lahir dan 25% dari kasus tersebut mengalami kesulitan menyusui. Sebagian
besar kasus ankyloglossia tidak memberikan dampak klinis besar sehingga seringkali
perawatan tidak dibutuhkan. Akan tetapi untuk bayi yang mengalami kesulitan
menyusu, dapat dilakukan frenotomy, yaitu pemotongan dan pembebasan frenulum,
untuk memperbaiki mobilitas lidah (Yohmi dkk., 2017; Neville dkk., 2019).
2. Etiologi
Ankyloglossia berasal dari sisa embriologis dari jaringan membrane frenulum di
midline antara permukaan ventral lidah dan dasar mulut. Pada awal perkembangan,
lidah masih menjadi satu dengan dasar mulut. Seiring berjalannya perkembangan,
terjadi kematian sel dan resorbsi yang membebaskan lidah dari dasar mulut dan
menyisakan frenulum. Frenulum lingual biasanya menjadi kurang menonjol seiring
berkembangnya anak, dibarengi dengan tumbuhnya alveolar ridge dan gigi geligi yang
mulai erupsi. Proses ini terjadi pada usia 6 bulan hingga 5 tahun.
3. Pola pewarisan sifat
Menurut penelitian Han dkk. (2012), ankyloglossia merupakan kelainan herediter
yang diturunkan oleh kromosom X. Diasumsikan bahwa ankyloglossia diturunkan
melalui kromosom X resesif dan lebih banyak terjadi pada laki-laki. Ankyloglossia
sering muncul sebagai kelainan tunggal, tetapi terkadang juga dapat bermanifestasi
dalam sindrom langka seperti cleft palate (CFX) (Han dkk., 2012).
4. Patogenesis
Ankyloglossia berasal dari sisa embriologis dari jaringan membrane frenulum di
midline antara permukaan ventral lidah dan dasar mulut. Pada awal perkembangan,
lidah masih menjadi satu dengan dasar mulut. Seiring berjalannya perkembangan,
terjadi kematian sel dan resorbsi yang membebaskan lidah dari dasar mulut dan
menyisakan frenulum. Frenulum lingual biasanya menjadi kurang menonjol seiring
berkembangnya anak, dibarengi dengan tumbuhnya alveolar ridge dan gigi geligi yang
mulai erupsi. Proses ini terjadi pada usia 6 bulan hingga 5 tahun. Pada ankyloglossia,
terjadi gangguan pada proses tersebut sehingga tersisa jaringan membrane frenulum
yang berlebih.
5. Gambaran klinis
Ankyloglossia dibedakan menjadi empat tipe berdasarkan lokasi anatomisnya
(klasifikasi Coryllos), yaitu:
• Tipe 1: frenulum melekat pada ujung ventral lidah
• Tipe 2: frenulum melekat 2-4 mm di belakang ujung lidah atau di belakang
alveolar ridge
• Tipe 3: perlekatan frenulum pada bagian tengah ventral lidah dan bagian tengah
dasar mulut, biasanya frenulum lebih kencang dan kurang elastis
• Tipe 4: perlekatan pada pangkal lidah, frenulum tebal, mengkilat, dan tidak
elastis.
(Neville dkk., 2019)

Gambar 1.1 Ankyloglossia pada seorang anak (Neville dkk., 2019)


6. Case report
B. Makroglossia
1. Definisi
Makroglossia adalah lidah dengan ukuran yang lebih besar daripada normal yang
sering berkaitan dengan sindrom Beckwith-Wiedermann. Makroglossia dicirikan
dengan ukuran lidah yang mejorok melebihi alveolar ridge. Makroglossia dapat
menyebabkan komplikasi seperti kelainan cacat pada gigi geligi, otot, atau tulang
wajah, serta obstruksi wicara dan saluran udara (Cameron & Widmer, 2013; Martinez
dkk., 2017).
Makroglossia dibedakan menjadi dua oleh Vogel dan kawan-kawan, yaitu
makroglossia sejati dan makroglossia relative. Makroglossia sejati bersifat kongenital
atau acquired dan disebabkan oleh alterasi kondisi lidah. Makroglossia relative
disebabkan oleh rahang yang sempit atau disfungsi neurologis, seperti yang ditemukan
pada anak penderita sindrom Down yang mulutnya cenderung selalu terbuka dengan
lidah yang menjulur (Martinez dkk., 2017).
2. Etiologi
Balaji (2013) dalam Martinez dkk. (2017), mengelompokkan makroglossia menjadi
empat kategori berdasarkan penyebabnya.
a. Tissue overgrowth (pertumbuhan jaringan yang berlebih) seperti yang ditemukan
dalam sindrom Beckwith-Wiedemann, hipotiroidisme kongenital, kelainan
kromosom, hemihiperplasia, dan mucopolysaccharidoses.
b. Infiltrasi jaringan
c. Relative macroglossia seperti yang terjadi pada sindrom Down, micrognathia,
hypotonia otot, dan angioedema.
d. Penyebab inflamasi atau infeksi.
Penyebab paling umum dari makroglossia adalah hemangioma, hiperplasi
kelenjar, dan limfangioma. Makroglossia juga sering bermanifestasi dalam sindrom
Beckwith-Wiedemann dan penyakit Pompe. Dalam kasus acquired macroglossia,
penyebabnya dapat berupa penyakit sistemik seperti amyloidosis, limfoma, dan lain-
lain (Martinez dkk., 2017).
3. Pola pewarisan sifat
Pada beberapa kasus, makroglossia manifestasi sebagai kelainan herediter yang
terisolasi yang diturunkan melalui cara autosomal dominan. Ini berarti bahwa adanya
mutasi dalam satu salinan gen yang terlibat itu cukup untuk memunculkan
karakteristik kelainan tersebut. (Martinez dkk., 2017).
4. Patogenesis
Pada kebanyakan kasus makroglossia, yang terjadi adalah hipertrofi otot atau
hiperplasi kelenjar. Pada kasus acquired macroglossia¸ patogenesisnya bervariasi
tergantung pada apakah disebabkan oleh kondisi infiltrasi, trauma, atau malformasi
pembuluh atau darah atau limfa. Contohnya, ditemukan endapan amyloid di dalam
lidah sehingga dapat disimpulkan bahwa makroglossia disebabkan oleh amyloidosis.
Makroglossia juga dapat muncul karena akumulasi jaringan adiposa di bawah
submucosa lidah. Pada kasus lain, makroglossia yang bermanifestasi pada
hipotiroidisme disebabkan oleh meningkatnya akumulasi mukopolisakarida di lapisan
submucosa karena degradasi mukopolisakarida yang menurun (Sridharan & Rokkam,
2020).
5. Gambaran klinis
• Lidah yang memanjang, menebal, dan melebar.
• Open bite anterior atau posterior.
• Prognatisme.
• Maloklusi dengan atau tanpa crossbite.
• Lidah yang menjorok kronis pada posisi istirahat.
• Fissured tongue dan ulcer.
• Glossitis dikarenakan prevalensi oral breathing.
Juga dapat muncul masalah dalam berbicara seperti artikulasi, lalu lengkung
maksila dan mandibula yang asimetri, kesulitan dalam mengunyah dan menelan,
sialorrhea, obstruksi jalan napas, hingga sleep apnea.

Gambar 2.1 Makroglossia pada anak dengan sindrom Beckwith-Wiedemann


(Martinez dkk., 2017)
6. Case report

C. Mikroglossia
1. Definisi
Mikroglosia adalah kelainan perkembangan yang jarang ditemukan yang dicirikan
dengan ukuran lidah yang sangat kecil. Pada kasus langka, dapat terjadi aglossia
dimana tidak ada lidah atau lidah tidak terbentuk. Mikroglossia sering diikuti dengan
hypoplasia mandibula dan gigi insisiv bawah yang tidak ada. Mikroglossia juga
berhubungan dengan rahang yang sempit dan crossbite posterior (Rao, 2012).
2. Etiologi
Dalam Nepram dkk. (2015) disebutkan bahwa mikroglossia merupakan kecacatan
yang sangat langka dan sejak kasus pertama yang terekam pada tahun 1718, hanya ada
kurang dari 50 kasus lainnya. Kelainan ini tidak menunjukkan predileksi jenis kelamin
dan tidak ada implikasi genetik. Ada kemungkinan bahwa terjadi trauma pada sel fetus
pada minggu-minggu pertama kehamilan. Penyebab mikroglossia masih belum
dipahami dengan baik (Nepram dkk., 2015).
3. Pola pewarisan sifat
-
4. Patogenesis
Dalam Nepram dkk. (2015) disebutkan bahwa mikroglossia merupakan kecacatan
yang sangat langka dan sejak kasus pertama yang terekam pada tahun 1718, hanya ada
kurang dari 50 kasus lainnya. Kelainan ini tidak menunjukkan predileksi jenis kelamin
dan tidak ada implikasi genetik. Ada kemungkinan bahwa terjadi trauma pada sel fetus
pada minggu-minggu pertama kehamilan (Nepram dkk., 2015)
5. Gambaran klinis
Mikroglossia bermanifestasi sebagai ukuran lidah yang sangat kecil daripada
ukuran lidah normal. Mikroglossia sering diikuti dengan hypoplasia mandibula dan
gigi insisiv bawah yang tidak ada. Mikroglossia juga berhubungan dengan rahang
yang sempit dan crossbite posterior (Rao, 2012).
6. Case report

D. Cherubism
1. Definisi
Cherubism adalah penyakit herediter yang muncul pada masa kana-kanak dan
dicirikan dengan pembengkakan bagian sepertiga bawah wajah dimana tulang tahang
digantikan oleh lesi giant cell. Cherubism mengakibatkan tanggalnya gigi desidui
secara prematur, perpindahan benih gigi, maloklusi berat, dan gigi yang malformasi.
Cherubism melibatkan maksila dan mandibula, lebih spesifiknya angulus mandibula
dan keempat kuadran sering juga terlibat. Kelainan ini terjadi pada 10 tahun pertama
kehidupan, biasanya pada usia 5 tahun. Cherubism berpredileksi laki-laki (Nowak,
2019).
2. Etiologi
Cherubism disebabkan oleh kelainan genetik dikarenakan mutase gen SH3BP2 dari
kromosom 4p16. Kelainan genetik ini terjadi pada 80% kasus cherubism. Setidaknya
11 mutasi terjadi pada gen SH3BP2. Mutase frameshift yang terjadi pada daerah
krusial gen SH3BP2 memunculkan bentuk protein yang lebih aktif. Protein yang
bermutasi tersebut menyebabkan perubahan pada jaras pesinyalan sel system imun
dan pemeliharaan jaringan tulang (Cameron & Widmer, 2013; Chrcanovic dkk., 2021;
Firdaus & Auerkari, 2018).
Protein yang hiperaktif menstimulasi peningkatan produksi osteoklas di dalam
tulang rahang. Penghancuran abnormal jaringan tulang di dalam maksila dan
mandibula didukung oleh osteoklas yang berlebihan. Manifestasi cherubism yang
berbentuk seperti kista disebabkan oleh gabungan resorpsi tulang dan infeksi yang
terjadi. Gen SH3BP2 disini berfungsi sebagai pengatur homeostasis tulang melalui
efek spesifik pada osteoklas dan melalui efek dari diferensiasi dan fungsi osteoblast
(Firdaus & Auerkari, 2018).
3. Pola pewarisan sifat
Cherubism diturunkan melalui cara autosomal dominan yang berarti bahwa adanya
mutasi dalam satu salinan gen yang terlibat itu cukup untuk memunculkan
karakteristik penyakit tersebut. Beberapa penderita cherubism memiliki orang tua
yang juga menderitanya (Kannu dkk., 2018).
4. Patogenesis
Cherubism disebabkan oleh kelainan genetik dikarenakan mutase gen SH3BP2 dari
kromosom 4p16. Kelainan genetik ini terjadi pada 80% kasus cherubism. Setidaknya
11 mutasi terjadi pada gen SH3BP2. Mutase frameshift yang terjadi pada daerah
krusial gen SH3BP2 memunculkan bentuk protein yang lebih aktif. Protein yang
bermutasi tersebut menyebabkan perubahan pada jaras pesinyalan sel system imun
dan pemeliharaan jaringan tulang (Cameron & Widmer, 2013; Chrcanovic dkk., 2021;
Firdaus & Auerkari, 2018).
Protein yang hiperaktif menstimulasi peningkatan produksi osteoklas di dalam
tulang rahang. Penghancuran abnormal jaringan tulang di dalam maksila dan
mandibula didukung oleh osteoklas yang berlebihan. Manifestasi cherubism yang
berbentuk seperti kista disebabkan oleh gabungan resorpsi tulang dan infeksi yang
terjadi. Gen SH3BP2 disini berfungsi sebagai pengatur homeostasis tulang melalui
efek spesifik pada osteoklas dan melalui efek dari diferensiasi dan fungsi osteoblast
(Firdaus & Auerkari, 2018).
5. Gambaran klinis
• Onset antara usia 2 hingga 7 tahun.
• Pembesaran yang bilateral dan simetris pada mandibula dan/atau maksila,
melibatkan processus coronoideus tetapi terkadang tidak melibatkan processus
condylaris.
• Pembengkakan nodus limfa submandibular dan servikal pada tahap awal.
• Lesi rahang yang berkembang lambat dan berhenti ketika pubertas dimulai.
• Bola mata yang miring ke atas pada tahap lanjutan dan pinggiran sklera yang
terlihat di bawah selaput pelangi mata.
• Abnormalitas gigi, seperti gigi molar kedua dan ketiga yang tidak ada secara
kongenital, tanggalnya gigi permanen sebelum waktunya, perpindahan posisi gigi
permanen karena lesi di dalam rahang, dan maloklusi.
(Kannu dkk., 2018)

Gambar 4.1 Cherubism pada anak usia 10 tahun (Friedrich dkk., 2016)
6. Case report
Daftar Pustaka

Ababneh, O., Alghanem, S., Al-Shudifat, A., Khreesha, L., Obeidat, S., Bsisu, I. 2020. Acute
macroglossia post craniotomy in sitting position: A case report and proposed
management guideline. International Medical Case Reports Journal. 2020(13): 391-
397.

Bahadure, R.N., Jain, E., Singh, P., Pandey, R., Chuk, R. 2016. Labial ankyloglossia: A rare case
report. Contemp Clin Dent. 7(4): 555-562.

Bhattad, M.S., Baliga, M.S., Kriplani, R. 2013. Clinical guidelines and management of
ankyloglossia with 1-year follow up: report of 3 cases. Hindawi Publishing
Corporation. Vol. 13 Article ID 185803.

Cameron, A.C., Widmer, R.P. 2013. Handbook of Pediatric Dentistry. 4th Edition. Mosby Elsevier.
Cina.

Chrcanovic, B.R., Guimaraes, L.M., Gomes, C.C., Gomez, R.S. 2021. Cherubism: a systematic
literature review of clinical and molecular aspects. Int J Oral Maxillofac Surg. 50:43-
53.

Firdaus, N.S., Auerkari, E.I. 2018. Genetics of cherubism. Advances in Health Sciences Research.
4: 190-198.

Friedrich, R.E., Scheuer, H.A., Zustin, J., Grob, T. 2016. Cherubism: a case report with surgical
intervention. Anticancer Research. 36: 3109-3116.

Han, S.H., Kim, M.C., Choi, Y.S., Lim, J.S., Han, K.T. 2012. A study on the genetic inheritance
of ankyloglossia based on pedigree analysis. Arch Plast Surg. 39(4): 329-332.

Kannu, P., Baskin, B., Bowdin, S. 2018. Cherubism. GeneReviews [Internet].

Martinez, P.M.N., Delgado, C.G., Barosso, V.F.M., Gutierrez, L.J. 2017. Congenital
macroglossia: clinical features and therapeutic strategies in pediatric patients. Bol Med
Hosp Infant Mex. 73(3): 212-216.
Nepram, S.S., Jain, P., Huidrom, R.D. 2015. Isolated macroglossia: A rare case report. J Med Soc.
29(3): 180-181.

Neville, B.W., Damm, D.D., Allen, C.M., Chi, A.C. 2019. Color Atlas of Oral and Maxillofacial
Diseases. Elsevier. Cina.

Nowak, A.J. 2019. Pediatric Dentistry: Infancy Through Adolescence. 6th Edition. Elsevier. Cina.

Rao, A. 2012. Principles and Practice of Pedodontics. 3rd Edition. Jaypee Medical Publishers.

Sridharan, G.K., Rokkam, V.R. 2020. Macroglossia. StatPearls Publishing.

Yohmi, E., Partiwi, I.G.A.N., Pambudi, W., Ananta, Y. 2017. Diagnosis dan Tata Laksana
Ankyloglossia (Tongue-Tie). Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai