Anda di halaman 1dari 24

DENTURE INDUCED STOMATITIS PADA LANSIA:

GAMBARAN KLINIS DAN PENATALAKSANAAN

LAPORAN KASUS KOMPLEKS PENYAKIT MULUT

Disusun Oleh:

Nama : NICHOLAS LIMANDA., S.KG

NIM : 2018-16-077

Pembimbing :

Dwi Ariani, drg., Sp.PM

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)

JAKARTA

2019

1
BAB 1

PENDAHULUAN

Denture induced stomatitis (DIS) adalah salah satu kelainan oral paling umum pada

pengguna gigi tiruan.1,2 Proses inflamasi kronis pada membran mukosa penyangga yang

tertutup oleh permukaan anatomis gigi tiruan sebagian maupun lengkap, bukan merupakan

lesi prekanker dengan gambaran kemerahan, edema dan biasanya tidak sakit.2,3,4 Beberapa

istilah lain yakni, stomatitis prostetica, chronic atrophic candidiasis, denture sore mouth.5

Insiden DIS sering terjadi pada daerah palatum di bawah gigi tiruan rahang atas dan jarang

terjadi pada rahang bawah.4 Penelitian epidemiologi menunjukkan, prevalensi DIS berkisar

60-70% penderita geriatrik dan lebih banyak ditemukan pada wanita.1,2,6

Pada DIS Newton tipe I, trauma dianggap penyebab inflamasi fokal. Gigi tiruan

inadekuat (ill fitting), menyebabkan trauma pada mukosa mulut (adaptasi jaringan buruk,

clenching atau inter-ridge space inadekuat). Tekanan mekanis dapat menginduksi peradangan

mukosa dan resorpsi tulang. Sedangkan DIS Newton tipe II dan III, denture bearing mucosa

yang terlibat secara difus, etiologinya bersifat multifaktorial.7

Kolonisasi kandida, umumnya karena oral hygiene yang buruk dan pemakaian gigi

tiruan terus menerus. Gigi tiruan sebagai media akumulasi sel-sel epitel yang terkelupas dan

melindungi mikroorganisme dari pengaruh fisik seperti aliran saliva. DIS bisa terkait dengan

infeksi oportunistik yang disebabkan yeast komensal dan hifa dari genus kandida, terutama C.

albicans tipe klonal. Virulen ini bersifat invasif, mengikat epitel dan mengganggu integritas

epitel.3,8

Faktor predisposisi seperti (1) reaksi alergi terhadap bahan dasar gigi tiruan, (2)

perubahan flora normal rongga mulut (pemakaian antibiotik spektrum luas, penggunaan obat

2
kumur berlebihan dan xerostomia, pH saliva rendah, penurunan aktivitas enzim antimikroba

saliva), (3) konsumsi gula rutin, (4) iritasi lokal kronis (pemakaian gigi tiruan dan piranti

ortodontik), (5) kebersihan rongga mulut yang buruk, (6) kehamilan, (7) penurunan

kekebalan tubuh (AIDS, diabetes mellitus, kelainan hematologis, kemoterapi dan radiasi), (8)

malapsorbsi dan malnutrisi. 4

Diagnosis tergantung pada temuan klinis, umumnya asimptomatik, namun dapat juga

disertai gejala halitosis, pruritus, rasa sakit dan terbakar (dysgeusia), eritema dan edema pada

mukosa palatal dan gingiva yang tertutup basis protesa. Secara klinis inflamasi memiliki

derajat dan klasifikasi yang berbeda-beda, klasifikasi Newton paling umum diterima.4,9

Hingga saat ini belum ditentukan perawatan terbaik, mengingat jumlah relaps yang

tinggi. Pemeriksaan penunjang diperlukan, apabila DIS disertai angular cheilitis atau lesi

sistemik lainnya, seperti blood picture, swab, smears, culture dan biopsi lesi.4,6 Sehingga

penatalaksanaan tepat dapat dilakukan. Makalah ini bertujuan untuk melaporkan suatu kasus

DIS, diikuti selama ± dua minggu beserta penatalaksanaannya.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian

DIS adalah perubahan patologis disertai inflamasi kronis bisa lokalis atau generalis,

edema, eritema, umumnya asimptomatik pada mukosa dan gingiva penyangga yang

berkontak dengan permukaan dalam gigi tiruan lepasan. Bukan merupakan lesi prekanker,

sering terjadi di mukosa denture-bearing palatal, dan jarang terlibat pada mukosa mandibula.

Hal ini juga berkaitan dengan pemakai alat ortodonti atau obturator pada cleft palate.2,6,7,10

Infeksi oportunistik kandida berperan dalam perkembangan DIS. Meskipun

keberadaan kandida di rongga mulut dianggap komensalisme, transisi kondisi ke parasitisme

terkait ketidakseimbangan terjadi antara host dan kandida.11 C. albicans lebih sering

menyebabkan infeksi apabila dibandingkan dengan jenis candida lainnya. C. glabrata

menduduki tempat kedua. Kemudian diikuti C. tropicalis, C parapsilosis, dan C. krusei.3,4

Klasifikasi manifestasi klinis dari kandidiasis dalam rongga mulut menurut Holmstrup

dkk dibagi menjadi dua yaitu kandidiasis oral primer, hanya ditemukan pada jaringan oral

dan perioral. (1) tipe akut: pseudomembran dan eritematosa. (2) tipe kronis: pseudomembran,

eritematosa, plak, nodul. (3) lesi terkait kandida: angular keilitis, DIS, median rhomboid

glossitis. Kandidiasis oral sekunder, bermanifestasi menyeluruh (umum) baik pada rongga

mulut dan mukosa lain serta permukaan kutan (infeksi kandida mukokutan sistemik). Hal ini

disebabkan oleh kondisi langka (kecuali pada penderita infeksi HIV seperti thymic aplasia

dan penyakit endokrin kronik).2

Prevalensi

Merupakan lesi umum pada pemakai gigi tiruan, dua pertiga atau lebih individu

pemakai gigi tiruan penuh lepasan dapat menderita DIS.1,3 Beberapa penelitian melaporkan,

60%-70% merupakan penderita geriatrik berusia lebih dari 60 tahun. Lebih banyak

4
ditemukan pada wanita usia paruh baya atau lebih tua.2,3 Terbukti dalam penelitian Karine

dkk, frekuensi DIS lebih tinggi pada kelompok usia antara 41-60 tahun, dan prevalensi

wanita 84-86%. DIS dialami kelompok ras manapun di seluruh dunia, selaras dengan

penelitian Sandra dkk, bahwa tidak ada perbedaan bermakna prevalensi DIS antara kelompok

ras Afrika Amerika, kaukasoid dan mongoloid.11

Etiopatogenesis

DIS jarang terjadi tanpa setidaknya satu faktor predisposisi yang dapat menurunkan

resistensi pasien. Faktor perilaku dan cara pemakaian gigi tiruan adalah faktor paling

bermakna. Cawson, menyimpulkan bahwa trauma dan infeksi kandida adalah penyebab

signifikan DIS. C.albicans adalah mikroorganisme komensal, dan hingga 67% individu

membawa organisme ini tanpa bukti klinis infeksi.1,2,3 Faktor lokal dan sistemik dapat

menentukan transformasi C.albicans dari komensal menjadi organisme patogen. Garis antara

statusnya sebagai yeast dan hifa sangat tipis dan ketika host menjadi immunocompromised,

kandida menjadi aktif dan mengeluarkan enzim hidrolitik seperti proteinase dan fosfolipase

yang membantu mencerna dinding sel host untuk suplai nutrisi dan invasi lanjut.4,5,9

Tingkat inflamasi berkaitan dengan adanya kolonisasi yeast di permukaan gigi tiruan.

Trauma telah terbukti berperan dalam perubahan membrane basement yang melibatkan

ekspresi kolagen tipe IV dan laminin (alpha 1), menyebabkan terjadinya DIS. Reaksi alergi

berupa mucositis kontak mungkin terkait dengan adanya monomer resin, hidrokuinon

peroksida, dimetil-p-toluidin, atau metakrilat dalam gigi tiruan. Sensitivitas kontak lebih

umum terjadi pada cold cured resin daripada bahan heat cured.3,13

Faktor lokal

1. Gigi tiruan inadekuat, maloklusi, dan traumatik oklusi menimbulkan trauma

lokalis terkait dengan DIS Newton tipe 1. Menurut Koteswara dkk, trauma

5
menyebabkan gambaran DIS secara terlokalisir. Sedangkan, bentuk generalis

disebabkan oleh infeksi kandida. Trauma menjadi co-factor yang mendukung

adhesi dan penetrasi yeast, menopang phlogosis palatum dan meningkatkan

permeabilitas epitel terhadap toksin dan zat terlarut yang diproduksi oleh yeast

kandida.3,5,9

2. Pemakaian gigi tiruan konstan, seperti kebiasaan memakai saat tidur di malam

hari dapat mempertahankan kondisi pH yang relatif anaerob dan rendah antara

basis gigi tiruan dan mukosa. Budtz-Jorgensen dan Bertram melaporkan,

kebersihan gigi tiruan yang buruk terkait dengan multiplikasi kolonisasi kandida

di mukosa mulut dan gigi tiruan, trauma mukosa, dan keparahan inflamasi di

antara 58 pasien DIS (usia ±57 tahun) yang telah memakai gigi tiruan penuh

selama ±26,8 tahun.3,9,12

3. Kebersihan gigi tiruan yang buruk, menyebabkan akumulasi biofilm plak.

Sebagian besar dialami lansia dan mungkin mengalami kesulitan dalam merawat

dan menjaga kebersihan gigi tiruannya. Untuk membersihkan, menyikat, atau

mencuci gigi tiruan dengan air saja tidak cukup untuk mencegah pembentukan

biofilm permukaan (Gambar 1).3,9,12

Gambar 1. Representasi skematis dari penampang biofilm pada permukaan gigi tiruan.3

4. Porositas resin atau gigi tiruan yang abrasif. Von Fraunhofer dan Loewy

melaporkan, bahwa permukaan gigi tiruan yang kasar bersifat hidrofobik,

sehingga mendukung perlekatan mikroorganisme dan perkembangan biofilm.


6
Penelitian in vitro telah menunjukkan, bahwa penurunan hidrofobisitas permukaan

dengan menggunakan bahan pelapis hidrofilik dapat menurunkan kemampuan

adaptasi hifa C. albicans.9

5. Komensal flora. Ditemukannya kontaminan bakteri yakni, 26-32 filotipe bakteri

unik untuk subjek sehat dan subjek dengan DIS, serta tiga spesies yeast kandida

dari tes swab. Song dkk mengkarakterisasi isolat yeast dari pasien DIS; C.

albicans adalah spesies dominan. C. albicans dapat tumbuh sebagai bentuk hifa

atau miselium. Bentuk hifa C. albicans lebih invasif di mukosa mulut karena

mampu beradapatasi dengan baik pada permukaan fisur gigi tiruan. Gigi tiruan

sebagai media akumulasi sel-sel epitel yang terkelupas dan melindungi

mikroorganisme dari pengaruh fisik seperti aliran saliva. Selain invasi kandida,

bakteri dari beberapa genera, seperti Streptococcus-, Veillonella-, Lactobacillus-,

Prevotella-, dan Actinomyces-. Namun, tidak diketahui pasti peran bakteri dalam

patogenesis DIS.3,7,9

6. Saliva memiliki molekul defensif seperti lisozim, laktoferin, calprotectin, IgA

yang menurunkan adhesi kandida dengan permukaan mukosa mulut. Penurunan

atau ketiadaan saliva pada individu dengan xerostomia, Sjögen syndrome, dan

sedang menjalani radioterapi atau kemoterapi, menginduksi perubahan dan

ketidakseimbangan mikroba normal, mendukung proliferasi kandida dan bakteri

Staphylococcus aureus yang menghambat adaptasi normal komensal.2,9

7. Infeksi rekuren. Telah dilaporkan, bahwa kuku pasien bisa menyebabkan

kontaminasi kandida terhadap flora mulut. Penelitian di India menunjukkan,

bahwa 25 sampel penderita DIS pemakai gigi tiruan penuh, memiliki prevalensi

lebih tinggi sebagai hand carriage kandida. Oleh karena itu, pasien DIS dapat

membawa lebih banyak kandida di ujung jari mereka, sehingga berisiko kambuh

7
dengan inokulasi ulang ke protesa dari reservoir kandida di tangan, bahkan resiko

infeksi silang.14 Selain itu, faktor lokal juga dapat disebabkan karena konsumsi

tinggi karbohidrat dan merokok.2,3,4

Faktor Sistemik

Kondisi fisiologis karena lansia, masa bayi, dan kehamilan. Kondisi sistemik tertentu

seperti diabetes mellitus, defisiensi nutrisi (zat besi, folat, atau vitamin B12), hipotiroidisme,

kondisi immunocompromised (infeksi HIV), keganasan (leukemia akut, agranulositosis), obat

imunosupresif iatrogenik, seperti kortikosteroid, juga dapat mempengaruhi host dengan DIS

terkait kandida.2,3,9 Infeksi jamur mempengaruhi mekanisme imun lokal dalam berbagai cara.

Respon imun mukosa terhadap patogen jamur berupa, neutrofil sebagai efektor mayor respon

bawaan dan sitokin yang dilepaskan dari sel epitel setelah deteksi patogen. Sel epitel juga

menghasilkan β-defensin 2 dan chemokine (C-C motif)ligand 20, yang mengatur sel dendritik.

Sel dendritik primer ke kelenjar getah bening lokal dan membawa antigen jamur ke sel T,

berdiferensiasi menjadi sel Th1, Th2, Th17 dan Treg. Sel Th17 dan Treg berperan penting

melawan infeksi jamur.15

Diagnosis

Diagnosis ditetapkan dari anamnesis dan gambaran klinis. Secara umum terjadi

akumulasi biofilm plak dengan yeast dan bakteri pada permukaan gigi tiruan dan mukosa di

bawahnya. Dalam varietas papiler hiperplastik, kandida tidak menginvasi epitel. Faktor

etiologi lain, seperti iritasi mekanis atau reaksi alergi terhadap bahan dasar gigi tiruan

(meskipun jarang) perlu dikecualikan dalam kasus persisten.2 Pemeriksaan penunjang full

blood picture, pemeriksaan hematin, smears atau swab untuk hifa dan kultur jamur mungkin

diperlukan. Jika disertai keilitis angular, atau lesi sistemik lainnya, atau kecurigaan kondisi

imunokompromi, maka diabetes dan HIV khususnya harus dikecualikan.6

8
Pemeriksaan mikologi, sampel bisa diperoleh dari mukosa penyangga maupun gigi

tiruan dengan swab kalsium alginat. Swab kemudian dipindahkan ke dalam 1 ml

phosphatebuffered saline steril dan dibilas dengan vortex untuk membersihkan yeast sel dari

swab. Dari sampel yang diencerkan, 0,1 ml diinokulasi ke Saboraud Dextrose Agar (SDA)

ditambah dengan 1% kloramfenikol. Plat diinkubasi pada suhu 370 C hingga 7 hari.4,10,12,13

Ritchie dkk melaporkan, bahwa bakteri, leukosit, dan hifa yeast dapat ditemukan pada

semua pasien bahkan ketika kultur negatif. Pemeriksaan sitologi eksfoliatif mukosa untuk

mengetahui ada atau tidaknya infeksi C. albicans yang ditentukan oleh Periodic Acid-Schiff

(PAS) smears, menunjukkan jumlah sel yeast lebih tinggi pada pasien DIS, selaras juga

dengan penelitian Budtz-Jorgensen dkk.4,8

Gambar 2. PAS sitologi eksfoliatif. DIS hifa jamur; apusan sitologi oral dari mukosa palatal menunjukkan hifa

kandida. (40×).8

Tabel 1. Spesimen yang diperlukan untuk diagnosis laboratorium infeksi Candida Oral. + = berguna; ± = dapat
berguna; - = tidak cocok. Catatan: berkumur dengan 10 ml saline selama 1 menit, untuk evaluasi pembawa
kandida dalam satuan Colony forming units/ml (CFU/ml).

Pada DIS Newton tipe III, secara histologi nodula terdiri dari jaringan ikat fibrosa

yaitu serat-serat kolagen, ditutupi oleh epitel berlapis gepeng yang mengalami akantosis serta

adanya infiltrasi sel-sel inflamasi kronis.2,5 Manifestasi oral pada DIS memiliki gambaran

9
hampir sama dengan stomatitis kontak alergika, kandidiasis atropik akut (antibiotic sore

mouth), kandidiasis eritematus, stomatitis nikotin dan lesi traumatik yang merupakan

diagnosis bandingnya.1,4,6,7,13

Gambaran Klinis

Menurut klasifikasi Newton (1962), DIS terdiri dari 3 tipe yaitu: (1) Inflamasi eritema

terlokalisir atau hiperemia sebesar ujung jarum (pinpoint), umumnya di muara kelenjar liur

palatal. (2) Eritema difus generalis dan konfluen, disertai pengelupasan epitel penyangga gigi

tiruan dan edema, mengenai sebagian atau seluruh mukosa yang tertutup. (3) Granular atau

hiperplasia papiler, umumnya melibatkan sisi tengah palatum durum dan puncak alveolar

(Gambar 2).1,2,3,4,6,7,13

Gambar 2. Gambaran klinis DIS. (A) Tipe I DIS, ditandai oleh peradangan lokal dan atau hiperemia. (B) Tipe II

DIS, ditandai oleh eritema difus. (C) Tipe III DIS, ditandai oleh hiperplasia papiler. 1

Stomatitis diidentifikasi oleh tanda-tanda klinis kehadirannya area petekie, makula

kemerahan berbatas jelas dan edema dicakup oleh protesa, umumnya bisa terkait dengan

angular cheilitis. sering terjadi di mukosa denture-bearing palatal dan gingiva yang

berkontak dengan permukaan dalam gigi tiruan atas, jarang terlibat pada mukosa rahang

bawah. Kebanyakan kasus asimptomatik, dan sering ditemukan saat pemeriksaan mulut rutin.

Namun, beberapa kasus mukosa dapat disertai hemoragik, pruritus, rasa terbakar/panas,

nyeri, halitosis dan xerostomia.1,2,6,7,9

Lesi dipengaruhi tingkat keparahan inflamasi, kadang dijumpai makula diffus,

papillomatosa “cobblestone”, granular atau terbentuk beberapa nodula. Erna dkk, melaporkan

10
kasus DIS Newton tipe III disertai pertumbuhan jaringan fibroma berbentuk nodula pada

mucobuccal fold oleh karena daerah tersebut sering berkontak dengan tepi sayap gigi tiruan

yang longgar.5

Penatalaksanaan

Perawatan untuk infeksi kandida salah satunya DIS, tidak akan selalu berhasil kecuali

faktor predisposisi yang menyebabkan kekambuhan dapat diatasi.7,11 Seperti, meningkatkan

oral hygiene, melepaskan gigi tiruan saat tidur di malam hari, instruksi menyikat gigi tiruan

dengan sabun cair antiseptik, dan disinfeksi rutin dengan merendam air hangat/larutan

natrium hipoklorit/sodium hipoklorit (0,1-0,2%)/baking soda/alkalin peroksida/klorheksidin

selama ± 5 menit.2,4,7,11

Kebersihan gigi tiruan penting untuk menghilangkan sel epitel deskuamasi, yang

berfungsi sebagai sumber nitrogen, untuk pertumbuhan yeast. Mengganggu kematangan

lingkungan mikroba yang terbentuk di bawah gigi tiruan. Porositas dalam gigi tiruan dapat

menampung mikroorganisme yang tidak dapat dihilangkan dengan pembersihan fisik,

sehingga perlu direndam dalam larutan antimikroba. Klorheksidin dapat digunakan, namun

menyebabkan diskolorasi gigi tiruan dan menetralkan efek nistatin. Selain itu, penilaian

kecekatan gigi tiruan untuk menghilangkan trauma dan menganjurkan pembuatan gigi tiruan

baru.7 Konsumsi makanan rendah karbohidrat yang terfermentasi. Pada perokok,

menghentikan kebiasaan dapat menghilangkan infeksi bahkan tanpa pengobatan anti

jamur.2,4,7,9

Obat antijamur paling umum digunakan adalah kelompok poliena atau azoles. Poliena

seperti Nistatin dan Amfoterisin B umumnya pilihan utama dalam pengobatan kandidiasis

oral primer. poliena tidak diserap pada saluran pencernaan dan tidak menyebabkan resistensi.

11
Poliena bekerja melalui efek negatif dari produksi ergosterol, yang penting untuk

mempengaruhi integritas membran sel yeast, dan adhesi jamur.9,11

Menurut Regezi, Nistatin topikal seharusnya diaplikasikan 4 kali/hari selama

seminggu setelah gejala benar-benar hilang, sedangkan menurut Laskaris digunakan selama

dua minggu. Selain itu, pemberian secara simultan antara suspensi dan tablet memberikan

hasil yang lebih baik, dibandingkan monoterapi. Pemberian kombinasi Nistatin topikal

dengan Amfoterisin B juga menunjukkan penyembuhan klinis yang bermakna. Nistatin

merupakan standar pengobatan topikal untuk oral kandidiasis, dengan menghambat ikatan

dan kolonisasi C albicans. Harga yang terjangkau merupakan kelebihan lain dari obat ini

dibandingkan dengan anti jamur lain. Amfoterisin B juga umum digunakan, karena rasa yang

dapat diterima, khasiatnya dan toksisitas rendah. 11

Aplikasi langsung Miconazole gel 2% pada protesa agar obat lebih lama berkontak

dengan lesi, sehingga mempercepat proses penyembuhan. Dipakai dua atau tiga kali sehari

selama satu sampai dua minggu. Pemberian Ketoconazole tidak dianjurkan secara sistemik

karena efek samping, seperti penurunan nafsu makan, mual, muntah, kelelahan atau demam.

Menurut Khozeimeh dkk keberhasilan topikal Ketoconazole 2% dengan sistemik, terbukti

bahwa keduanya efektif, diketahui pemberian secara topikal memiliki efek samping yang

lebih ringan. Czerninski dkk membandingkan efektivitas dari Clotrimazole troches (5 troches

10mg/hari) dengan Clotrimazole varnish (50 mg/hari) diterapkan selama 14 hari. Setelah

analisis mikrobiologi hasil menunjukkan, bahwa tingkat kandida lebih rendah dalam saliva

pasien yang dirawat dengan varnish. Fluconazole dan Itraconazole tidak lebih efektif

daripada pengobatan topikal anti jamur lain, karena masih terjadinya kekambuhan empat

minggu setelah perawatan.11

12
Penggunaan obat kumur klorheksidin glukonat dan Nistatin tidak dapat dilakukan

bersamaan, karena akan berakibat hilangnya kedua efektivitas obat.4,7 Pemakaian anti jamur

sistemik lebih tepat diberikan pada pasien dengan intoleransi dan sukar sembuh dengan terapi

topikal atau memiliki penyakit sistemik yang mempersulit penyembuhan.4 Pada kasus DIS

tipe III, hiperplastik relatif meninggalkan jaringan parut, sehingga perlu dilakukan eksisi

bedah. konstruksi atau relining gigi tiruan yang lama juga diperlukan untuk mencegah

kekambuhan.1,7,9

13
BAB 3

LAPORAN KASUS

Pasien wanita berusia 76 tahun, budaya Tionghoa, domisili Medan, berat/tinggi badan

81 kg/152 cm, tekanan darah 130/80 mmHg, 20 Maret 2019 datang ke klinik integrasi RSGM

UPDM (B). Keluhan utama, langit-langit di bawah gigi tiruan terasa tidak nyaman karena

panas, kadang disertai rasa gatal dan sedikit nyeri. Keluhan dirasa sejak 6 bulan ini. Pasien

jarang melepas gigi tiruan saat tidur malam, dan hanya membersihkan bagian luar gigi tiruan

(yang tidak menempel pada palatum dan gingiva). Gigi tiruan dibuat di tukang gigi dan sudah

dipakai selama ± 30 tahun. Pasien tidak melakukan pengobatan pada keluhan dan tidak

pernah ke dokter gigi. Pasien pernah di rawat inap, diketahui ada riwayat penyakit sistemik

yakni, diabetes melitus dan hipertensi terkontrol, tidak ada riwayat alergi terhadap obat

maupun makanan, tidak merokok dan minum alkohol. Keadaan umum pasien baik dan

sedang konsumsi obat rutin.

Pada pemeriksaan klinis ekstraoral, kelenjar limfe servikal kanan kiri teraba, lunak,

dan tidak sakit, mata tampak pucat. Pada pemeriksaan intraoral, tampak inflamasi ringan

berupa garis putih difus, edema, licin, berbatas jelas di mukosa palatum durum regio 16-26,

jaringan sekitar lesi merah pucat, bentuk lesi mengikuti landasan anatomi gigi tiruan.

Inflamasi eritema terlokalisir atau hiperemia sebesar ujung jarum (pinpoint) di mukosa

palatum regio 23,24,27 dan mukosa gingiva labial regio 13,12,32,42. Tampak fisur pada

dorsal lidah dan varikositas pada lateral posterior dan dasar lidah. OH buruk karena terdapat

kalkulus di RA RB, gangren pulpa gigi 23,27 dan gangren radiks 43.

14
Gambar 3. Foto ekstraoral pandangan frontal dan profil

Gambar 4. Bagian permukaan dalam gigi tiruan lepasan yang menempel pada mukosa tampak debris.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, diagnosis pada pasien ini diduga

adalah Denture Induced Stomatitis (DIS) Newton tipe I. Tindakan perawatan yang dilakukan

adalah mengedukasi pasien mengenai sariawan langit-langit yang diderita dan penyebabnya

dapat dikaitkan dengan iritasi kronis dari gigi tiruan yang inadekuat (ill-fitting), kebiasaan

memakai gigi tiruan lepasan semalaman, OH buruk, dan penyakit sistemik diabetes melitus.

Pasien tidak dianjurkan untuk swab test, karena pemeriksaan klinis tidak ditemukan plak

putih. Pasien mendapat terapi obat kumur klorheksidin glukonat 0,2% dikumur 3x10 ml

selama sehari, mengganti pasta gigi dengan paradontax, kemudian dilakukan pengurangan

landasan gigi tiruan 1–2mm dari batas pinggiran lesi. Pasien diberikan instruksi untuk

melepas gigi tiruan saat tidur malam hari, menyikat gigi tiruan dengan sabun cair antiseptik

15
dan merendamnya dengan klorheksidin. Pasien dianjurkan scaling, ekstraksi gigi 17,23,27

dan 43 sisa akar, pembuatan gigi tiruan baru, dan konsumsi makanan rendah karbohidrat

yang terfermentasi. Pasien diminta untuk kontrol dalam waktu satu minggu kemudian.

Gambar 5. Tampak garis putih difus, edema, licin, berbatas jelas di mukosa palatum regio 16-26, jaringan

sekitar lesi merah pucat, petekie di mukosa palatum regio 23,24,27 dan mukosa gingiva labial regio 13,12,32,42

Kunjungan selanjutnya di hari ke-10, pasien tidak dapat kontrol tepat waktu karena

pergi ke luar kota. Pasien menjelaskan saat memakai gigi tiruan, sudah tidak terasa panas dan

sakit pada gusi dan langit-langit mulut. Obat kumur dikumur 3 x 1 sehari. Gigi tiruan sudah

dilepas setiap tidur di malam hari, dibersihkan dengan sabun mandi tiap kali menyikat gigi

dan merendamnya dengan klorheksidin glukonat 0.2%. Pasien sudah melakukan scaling 2

minggu lalu. Obat kumur telah habis digunakan, maka kembali diberikan resep yang sama.

Pasien membawa hasil pemeriksaan lab hematologi DPL lengkap, menunjukkan tidak

anemia, namun diketahui sel batang rendah (0%) dan LED tinggi (42 mm/jam).

Gambar 6. hasil pemeriksaan lab hematologi DPL lengkap, menunjukkan sel batang rendah (0%) dan

LED tinggi (42 mm/jam)

16
Pemeriksaan ekstraoral tidak ada kelainan. Pada pemeriksaan intraoral garis putih

diffuse pada palatum tampak berkurang. Jaringan sekitar lesi tidak lagi kemerahan, pin point

eritema menghilang di regio 23-27 dan gingiva labial regio 13-12 (Gambar ). Pada kunjungan

ini dilakukan kembali pengurangan landasan 1-2 mm, pasien tetap dianjurkan memakai obat

kumur sesuai yang diinstruksikan, menjaga kebersihan gigi tiruan dan melepasnya saat tidur

di malam hari. Pasien kembali diingatkan agar membuat gigi tiruan baru segera, konsumsi

makanan rendah karbohidrat dan istirahat cukup.

Gambar 7. Kunjungan sebelum dan sesudah penatalaksanaan. Mukosa palatum di bawah gigi tiruan tampak
berwarna normal dan tidak disertai keluhan lagi

17
BAB 4

PEMBAHASAN

DIS merupakan inflamasi kronis pada mukosa mulut yang berkontak dengan landasan

anatomi gigi tiruan sebagian lepasan atau lengkap, umumnya di palatum dan jarang pada

mandibula.1,2,4 Gambaran klinis, umumnya berupa makula eritema lokal, granular atau

berbentuk beberapa nodula.5 Penelitian epidemiologi melaporkan prevalensi DIS pemakai

gigi tiruan, 60-70% merupakan penderita geriatrik berusia lebih dari 60 tahun. Lebih banyak

ditemukan pada wanita usia paruh baya atau lebih tua.2,3,6

Pemakaian gigi tiruan membentuk lingkungan yang menunjang pertumbuhan

mikroorganisme. Hal ini disebabkan karena oksigen, pH rendah, dan kondisi anaerob serta

faktor predisposisi adanya kebersihan mulut yang buruk dan pemakaian gigi tiruan saat tidur

di malam hari. Faktor-faktor tersebut dapat melindungi mikroorganisme dari pengaruh fisik

seperti aliran saliva yang tidak dapat mencapai permukaan mukosa (sIgA, albumin, amylase,

lysozyme, high molecular weight mucin (MGI)). Permukaan gigi tiruan menjadi bersifat

hidrofobik, sehingga mendukung perlekatan dan meningkatnya jumlah/densitas

mikroorganisme. Kolonisasi melepas endotoksin, memicu terjadinya DIS.2,3,8,9

Hasil anamnesis dan pemeriksaan klinis pada kasus ini, diagnosisnya adalah DIS

Newton tipe I.4,5 Manifestasi inflamasi berupa kemerahan, memiliki gambaran yang hampir

sama dengan stomatitis kontak alergika dan lesi traumatik, yang merupakan diagnosis

bandingnya.4 Keluhan utama pasien baru terjadi 6 bulan ini dan bukan saat awal pemakaian

gigi tiruan, yang membuktikan pasien tidak mengalami reaksi kontak alergi. Pemeriksaan

intraoral yang khas, berupa gambaran inflamasi eritema terlokalisir, hiperemia sebesar ujung

jarum (pinpoint), disertai keluhan langit-langit di bawah gigi tiruan terasa tidak nyaman

karena panas, kadang disertai rasa gatal dan sedikit nyeri, pasien sudah memakai gigi tiruan

selama ±30 tahun, merupakan hal-hal yang mendukung diagnosis tersebut.1,3,9

18
Faktor perilaku dan cara pemakaian gigi tiruan adalah faktor paling bermakna,

penyebab terjadinya DIS.1,7,10 Gigi tiruan inadekuat menimbulkan trauma lokalis terkait

dengan DIS Newton tipe I.4,5 Trauma adalah bentuk cedera atau kerusakan yang disebabkan

oleh mekanis, termal dan kimia pada jaringan mukosa mulut yang dapat menyebabkan

inflamasi. Gigi tiruan yang tidak stabil (ill-fitting) atau sayap landasan yang terlalu panjang

akan menyebabkan trauma kronis pada mukosa.5

Trauma kronis akan mengakibatkan inflamasi lalu menghasilkan jaringan granulasi

dan adanya sel-sel inflamasi kronis yang akan melepaskan local growth factor yang lebih

meningkat. Peranan local growth factor untuk mengirimkan signal ke sel fibroblas sehingga

sel tersebut berproliferasi dan menghasilkan serat-serat kolagen, pada kasus parah dapat

bermanifestasi sebagai jaringan hiperplastik reaktif atau DIS Newton tipe III. Pada kondisi

normal, sel fibroblas merupakan komponen dari lamina propria yang berfungsi menjaga

integritas jaringan konektif dengan cara menghasilkan serat kolagen yang memiliki tingkat

poliferasi yang sangat rendah.5

Retensi, stabilitas gigi tiruan dan freeway space yang inadekuat, dapat meningkatkan

beban pada denture bearing area sehingga timbul rasa panas (burning mouth syndrome)

seperti yang dirasakan penderita tersebut. Pentingnya melepas gigi tiruan di malam hari agar

menghilangkan gejala. Xerostomia oleh karena aliran saliva yang rendah dapat memicu

infeksi kandida. Selain itu, lubrikasi yang buruk menyebabkan lengketnya lidah, bukal, dan

palatum, terkadang menimbulkan sensasi panas. Beberapa kasus juga bisa karena reaksi

alergi terhadap bahan gigi tiruan.8

Pertumbuhan C. albicans ditemukan pada 70% penderita DIS. Pada penderita

tersebut, dicurigai C. albicans ditemukan pada permukaan anatomis, terutama daerah porus

dan undercut. Kandida merupakan jamur oportunis patogen, menyebabkan penyakit yang

19
disebut kandidiasis. Faktor patogenitas, yakni kemampuan untuk melekat pada mukosa mulut

karena pada permukaan sel terdapat adesin, dapat menghasilkan enzim seperti proteinase dan

fosfolipase. Adanya faktor-faktor tersebut memudahkan C. albicans untuk berproliferasi,

sehingga membentuk koloni kemudian merusak epitel dan ahirnya jamur tersebut menginvasi

epitel mukosa mulut. Selanjutnya, C.albicans berubah bentuk menjadi hifa yang bersifat lebih

patogen. Beberapa bakteri telah diketahui berperan sebagai etiologi DIS, antara lain

streptococcus, lactobacillus dan prevotella, walaupun belum diketahui patogenesisnya. Pada

kasus, diketahui hasil laboratorium darah rutin, laju endapan darah (LED) pasien tinggi. Pada

infeksi akut, kronis, inflamasi, keganasan dan nekrosis atau infark jaringan, akan terjadi

peningkatan protein plasma yang menyebabkan sel darah merah memiliki kecenderungan

menempel satu sama lain. Hal ini akan meningkatkan berat sel darah merah dan lebih cepat

mengendap sehingga nilai LED meningkat. Pada beberapa penyakit, LED dapat digunakan

untuk melihat perjalanan penyakit dan memonitor pengobatan.2,3,4,5,7,9

Faktor predisposisi lainnya, pada kasus diketahui pasien DM imunokompromis.

Kondisi tersebut, umumnya mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh dan kualitas jaringan

epitel, karena gangguan produksi sitokin IL-1β dan TNF-α, kelainan fungsi fagositosis PMN

dan makrofag, penurunan jumlah aktivitas sel T baik secara kuantitas maupun kualitas,

sehingga terjadi gangguan pengenalan terhadap Antigen. Selain itu, kondisi ini dapat

meningkatkan kadar glukosa yang mendukung proses kolonisasi mikroorganisme.9,12

Terapi DIS tergantung pada faktor predisposisinya. Tahap pertama perawatan pada

kasus DIS yang terkait trauma adalah harus menghilangkan iritan, yaitu memperbaiki atau

mengganti gigi tiruan. Lesi biasanya akan sembuh tanpa tindakan bedah, hal ini tergantung

dari ukuran lesi tersebut. Pasien mendapat terapi obat kumur klorheksidin glukonat 0,2%

dikumur 3x10 ml selama sehari, mengganti pasta gigi dengan paradontax. Klorheksidin dapat

mengurangi mikroba patogen yang berhubungan dengan tanda-tanda inflamasi penyakit

20
mulut. Pada kasus ini, pasien tidak dapat dibuatkan gigi tiruan baru karena pasien tidak ingin

dicabut giginya, sehingga dilakukan perbaikan gigi tiruan dengan cara landasan dikurangi

yang dimaksudkan untuk menghilangkan iritasi sehingga diharapkan akan terjadi

pengurangan garis putih difus dan eritema pada palatum. Pemeriksaan intraoral terdapat

kalkulus, sehingga pasien dianjurkan untuk dilakukan scaling.4,5,6,7

Untuk menjaga kebersihan gigi tiruan, maka pasien dianjurkan melepas gigi tiruan

saat tidur di malam hari, serta menyikatnya dengan sabun mandi agar permukaan gigi tiruan

tidak porus dan merendam dengan klorheksidin glukonat 0.2%. Perendaman gigi tiruan tidak

boleh terlalu lama, karena dapat menyebabkan perubahan warna. Perlunya dilakukan

penyikatan pada permukaan gigi tiruan untuk menghilangkan mikroorganisme yang

menempel pada permukaan gigi tiruan yang tidak rata dan cenderung porus. Selain itu

dilakukan pelepasan gigi tiruan pada saat tidur malam hari bermanfaat untuk meningkatkan

suplai darah dan keratinisasi pada mukosa.4,6

Kunjungan berikutnya, scaling sudah dilakukan satu minggu lalu. Lesi tampak

membaik. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa, jika faktor iritasi dihilangkan maka local

growth factor akan berkurang, sehingga diharapkan lesi juga dapat berkurang. Munculnya

lesi pada kasus ini, diduga juga dipicu adanya faktor lokal kalkulus, sebab setelah dilakukan

scaling, manifestasi klinis inflamasi tampak berkurang. DIS sering mendapatkan infeksi dari

banyak mikroba terutama dari jamur yang sering ditemukan bersama dengan bakteri yang

berasal dari host. Hal ini dikarenakan adanya bakteri dari kalkulus dapat memodulasi kandida

menjadi bertambah virulensinya. Pada kunjungan ini dilakukan kembali pengurangan

landasan 1-2 mm di atas margin lesi untuk menghindarkan masih adanya iritasi pada saat

digunakan untuk mastikasi.5

21
BAB 5

KESIMPULAN

Meskipun C. albicans dianggap sebagai penyebab utama dalam etiologi DIS, namun

tidak semua kasus DIS terkait kandida. Oleh karena itu, penting untuk tidak memberi

perawatan anti jamur tanpa pemeriksaan mikologi. Penatalaksanaan kasus DIS dengan cara

menghilangkan iritan, pemberian obat kumur klorheksidin glukonat dan diberikan instruksi

untuk melepas gigi tiruan saat tidur di malam hari serta senantiasa menjaga kebersihan gigi

tiruan, selain itu juga dilakukan scaling untuk meningkatkan oral hygiene dan menghilangkan

kalkulus yang diduga sebagai faktor lokal pencetus. Diketahui memberikan hasil efektif pada

pasien, terbukti dari perbaikan kondisi yang berarti. DIS umumnya asimptomatik; oleh

karena itu, perlunya kerjasama yang baik dengan pasien yang memakai gigi tiruan, karena

harus diperiksa secara berkala. Selain itu kerjasama antar bagian terkait agar dapat

memberikan penatalaksanaan tepat terhadap pasien.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaomongkolgit R, Wongviriya A, Daroonpan P, Chansamat R, Tantanapornkul W,


Palasuk J. Denture Stomatitis and its Predisposing Factors in Denture Wearers.
JIDMR. 2017; 10(1): 89-93.
2. Warnakulasuriya S, Tilakaratne WM. Oral Medicine and Pathology A Guide to
Diagnosis and Management. Jaypee; 2014: 365-6.
3. Gendreau L, Loewy ZG. Epidemiology and Etiology of Denture Stomatitis. ACP.
2011; 7(20): 251-60.
4. Apriasari ML, Soebadi B. Penatalaksanaan chronic atrophic candidiasis pada pasien
gigi tiruan lepasan. Dentofasial. 2009; 8(2): 95-103.
5. Herawati E, Novani D. Denture stomatitis terkait trauma: Gambaran klinis dan
tatalaksananya. J Ked Gi Unpad. 2017; 29(3): 179-83.
6. Scully C. Oral and Maxillofacial Medicine The Basis of Diagnosis and Treatment. 3rd
edition. Saunders of Elsevier; 2013: 264-6.
7. Burket. Oral Medicine. 12th edition. USA: People Medical Publishing House; 2015:
81-3.
8. Altarawneh S, Bencharit S, Mendoza L, Curran A, Barrow D, Barros S, dkk. Clinical
and Histological Findings of Denture Stomatitis as Related to Intraoral Colonization
Patterns of Candida albicans, Salivary Flow, and Dry Mouth.ACP. 2013; 22(1): 13-
22.
9. Pachava KR, Shenoy K, Nadendla LK, Reddy MR. Denture Stomatitis A Review.
IJDA. 2013; 5(1): 1107-1112.
10. Gade J, Pawar VS, Singh N. Review on Denture Stomatitis: Classification, clinical
features and treatment. IOSR-JDMS. 2015; 12(1): 114-22.
11. Martins KV, Gontijo SML. Treatment of denture stomatitis: literature review. Rev
Bras Odontol. 2017; 74(3): 215-20.
12. Cumming CG, Wight C, Blackwell CL, Wray D. Denture stomatitis in the elderly.
Oral Microbiol Immunol. 1990; 5: 82-5.
13. Langlais RP, Miller CS, Gehrig JS. Color atlas of common oral diseases. 5th edition.
Philadephia: Wolters Kluwer; 2017: 95-7.
14. Thilakumara IP, Jayalath AMS, Jayatilake, Ranjith W, Arjuna NB, Ellepola. Denture-
induced stomatitis and associated factors in a group of patients attending a university
dental hospital in Sri Lanka. Journal of Investigative and Clinical Dentistry.
2017; 8: 1-7.
15. Joanna M, Tomasz M, Paweł M, Ryszard N, Agnieszka S, Anna M, dkk. Systemic T
Cells and Monocyte Characteristics in Patients with Denture Stomatitis. Journal of
Prosthodontics. 2017; 26: 19-28.

23
24

Anda mungkin juga menyukai