Anda di halaman 1dari 5

Pengertian Religiusitas

Diposkan oleh tanto

1. Definisi Religiusitas
Ada beberapa istilah untuk menyebutkan agama, antara lain religi, religion (Inggris), religie
(Belanda), religio/relegare (Latin), dan dien (Arab). Kata religion (Inggris) dan religie (Belanda) adalah
berasal dari bahasa induk dari kedua bahasa tersebut, yaitu bahasa Latin “religio” dari akar kata
“relegare” yang berarti mengikat (Kahmad, 2002). Menurut Cicero (Ismail, 1997), relegare berarti
melakukan sesuatu perbuatan dengan penuh penderitaan, yakni jenis laku peribadatan yang dikerjakan
berulang-ulang dan tetap. Dalam bahasa Arab, agama dikenal dengan kata al-din dan al-milah. Kata al-
din sendiri mengandung berbagai arti. Ia bisa berarti al-mulk (kerajaan), al-khidmat (pelayanan), al-
izz (kejayaan), al-dzull (kehinaan), al-ikrah (pemaksaan), al-ihsan (kebajikan), al-adat(kebiasaan), al-
ibadat (pengabdian), al-qahr wa al-sulthan (kekuasaan dan pemerintahan), al-tadzallul wa al-
khudu (tunduk dan patuh), al-tha’at (taat), al-islam al-tauhid (penyerahan dan mengesakan Tuhan)
(Kahmad, 2002).

Dari istilah agama inilah kemudian muncul apa yang dinamakan religiusitas. Meski berakar kata
sama, namun dalam penggunaannya istilah religiusitas mempunyai makna yang berbeda dengan religi
atau agama. Kalau agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan-aturan dan
kewajiban-kewajiban; religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh individu di dalam
hati (Mangunwijaya, 1982). Religiusitas seringkali diidentikkan dengan keberagamaan. Religiusitas
diartikan sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah
dan kaidah dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya. Bagi seorang Muslim,
religiusitas dapat diketahui dari seberapa jauh pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan
atas agama Islam (Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, 2002).
Hawari (1996) menyebutkan bahwa religiusitas merupakan penghayatan keagamaan dan
kedalaman kepercayaan yang diekspresikan dengan melakukan ibadah sehari-hari, berdoa, dan
membaca kitab suci.
Ancok dan suroso (2001) mendefinisikan religiusitas sebagai keberagamaan yang berarti meliputi
berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual
(beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Sumber
jiwa keagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend). Adanya ketakutan-
ketakutan akan ancaman dari lingkungan alam sekitar serta keyakinan manusia itu tentang segala
keterbatasan dan kelemahannya. Rasa ketergantungan yang mutlak ini membuat manusia mencari
kekuatan sakti dari sekitarnya yang dapat dijadikan sebagai kekuatan pelindung dalam kehidupannya
dengan suatu kekuasaan yang berada di luar dirinya yaitu Tuhan.
Berdasarkan uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa religiusitas adalah kedalaman penghayatan
keagamaan seseorang dan keyakinannya terhadap adanya tuhan yang diwujudkan dengan mematuhi
perintah dan menjauhi larangan dengan kaiklasan hati dan dengan seluruh jiwa dan raga.

2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Religiusitas


Religiusitas atau keagamaan seseorang ditentukan dari banyak hal, di antaranya: pendidikan
keluarga, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilakukan pada waktu kita kecil atau pada masa kanak-
kanak. Seorang remaja yang pada masa kecilnya mendapat pengalaman-pengalaman agama dari kedua
orang tuanya, lingkungan sosial dan teman-teman yang taat menjalani perintah agama serta mendapat
pendidikan agama baik di rumah maupun di sekolah, sangat berbeda dengan anak yang tidak pernah
mendapatkan pendidikan agama di masa kecilnya, maka pada dewasanya ia tidak akan merasakan
betapa pentingnya agama dalam hidupnya. Orang yang mendapatkan pendidikan agama baik di rumah
mapun di sekolah dan masyarakat, maka orang tersebut mempunyai kecenderungan hidup dalam aturan-
aturan agama, terbiasa menjalankan ibadah, dan takut melanggar larangan-larangan agama (Syahridlo,
2004).
Thoules (azra, 2000) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi religiusitas, yaitu:
a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial (faktor sosial) yang mencakup semua
pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keagamaan, termasuk pendidikan orang tua, tradisi-tradisi
sosial untuk menyesuaikan dengan berbagai pendapatan sikap yang disepakati oleh lingkungan.
b. Berbagai pengalaman yang dialami oleh individu dalam membentuk sikap keagamaan terutama
pengalaman mengenai:
1) Keindahan, keselarasan dan kebaikan didunia lain (faktor alamiah)
2) Adanya konflik moral (faktor moral)
3) Pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif)
c. Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian yang timbul dari kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi,
terutama kebutuhan terhadap keamanan, cinta kasih, harga diri, dan ancaman kematian.

Read more: http://jalurilmu.blogspot.com/2011/10/religiusitas.html#ixzz24MZ4y6hO


inttelektualitas

1. cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu

pengetahuan; 2 n (yg) mempunyai kecerdasan tinggi;

cendekiawan; 3 n totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yg

menyangkut pemikiran dan pemahaman

Qona’ah: Penggabungan Kecerdasan Intelektual, Emosial


dan Spiritual
Posted by Anoenk at 08:34 AM on 12, Jan 2010
Anda tentu sering mendengar bahasan tentang dimensi kecerdasan manusia, mulai dari kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosi dan akhirnya kecerdasan spiritual. Para ahli psikologi banyak membahas tentang ketiga dimensi
kecerdasan ini.

Awalnya, dunia benar-benar mengarahkan perhatian pada pendidikan intelektual. Semakin tinggi intelektual
seseorang dianggaplah dia sebagai sosok yang pandai dan cerdas. Kecerdasan intelektual dimanifestasikan pada
titel pendidikan akademis atau gelar seseorang, apakah itu gelar sarjana, doktor atau proffesor. Semakin tinggi gelar
yang dicapai seseorang, makin dianggap tinggi kecerdasaan intelektualnya.
Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan hapalan, berhitung, logika, membaca ruang.
Kemampuan ini dahulu benar-benar di dewa-dewakan. Istilah yang digunakan untuk orang yang cerdas secara
intelektual ini adalah jenius. Kaitan yang paling erat dengan kecerdasan ini adalah apa yang disebut hard skill atau
kemampuan khusus di bidang tertentu. Misal seorang dengan gelar dokter adalah orang yang pandai mengobati
orang, seorang arsitek adalah orang yang pandai merancang design bangunan yang megah, dan sebagainya.
Karenanya banyak para ahli menyatakan bahwa kecerdasan ini merupakan sebuah dimensi kebahagian materi
karena kecerdasannya terkait langsung dengan keahliannya sendiri dalam menghasilkan sesuatu.

Kecerdasan intelektual ini mulai dipertanyakan ketika seseorang dihadapkan dengan permasalahan interaksi dengan
orang banyak. Seseorang yang memiliki titel intelektual yang tinggi belum tentu bisa dikatakan “cerdas” dalam
berinteraksi dengan banyak orang. Kecerdasan ini disebut kecerdasan emosi. Kecerdasan ini benar benar diuji jika
seseorang berada pada suatu organisasi yang berjalan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, sering kali
kecerdasan ini diuji saat seseorang lolos ujian intelektual dalam seleksi lowongan kerja yang disebut tes kepribadian.

Dalam kajian psikologi, terdapat 3 spektrum posisi manusia dalam berinteraksi dengan manusia, yakni agresif, asertif
dan pasif/pesimis. Orang yang bersifat agresif sudah barang tentu sifatnya dominan terhadap orang lain.
Orientasinya adalah “aku”. Semua harus “By my way”. Tentu saja orang seperti ini akan tidak disukai dan ditakuti jika
mempunyai kekuasaan. Sementara orang yang bersifat pasif/pesimis justru lebih parah. Dia sama sekali tidak
bergairah atau terkungkung oleh bayangan ketakutan atau prasangka buruk untuk mencapai tujuan. Orang ini
nasibnya akan terinjak-injak dan disingkirkan dalam pergaulan. Nah, sifat yang merupakan manifestasi kecerdasan
emosi adalah sifat yang asertif. Karena sifat ini merupakan pertengahan antara sifat agresif dan pasif, maka orang
asertif digambarkan sebagai orang yang selalu optimis atau percaya diri tapi mampu bergaul dan menjaga
kebersamaan dengan orang lain. Sifat inilah yang dicari dan maksud dari kecerdasan emosi yang baik.

Sementara jika seseorang mampu mendapatkan kedua kecerdasan itu, apakah cukup? Bagaimanakan jika orang
yang pandai keilmuan, pandai memanage seseorang, tapi dia tidak cerdas secara spiritual. Kemanakah kesemuanya
itu didedikasikan?. Jika dia tidak cerdas spiritual, bisa saja ia menggunakan segala kepandaiannya itu untuk
kepentingan dirinya. Dia akan membawa suatu organisasi untuk memenuhi hawa nafsunya. Lalu misal jika
mengalami kegagalan, dia akan berputus asa atau bahkan frustasi lalu bunuh diri. Dia merasa pandai segalanya, tapi
ia lupa ada yang mengatur segalanya.

Lalu, apakah Agama Islam yang agung ini tidak mengatur masalah dimensi-dimensi kecerdasan ini? Sungguh Islam
merupakan agama yang telah disempurnakan oleh Allah. Dalam Islam kecerdasan atau sifat manusia yang
diharapkan adalah Qona’ah. Sempat saya lontarkan ke dinding facebook saya menanyakan definisi dari qona’ah ini.
Kebanyakan menjawab bahwa qona’ah adalah cenderung dengan keikhlasan, ada juga yang mendefinisikan “tidak
neko-neko” yang berarti tidak berbuat yang berlebihan. Definisi ini benar, tetapi kurang lengkap. Karena keikhlasan
lebih tertuju pada kecerdasan spiritual. Saya menyebutkan bahwa sesungguhnya qona’ah adalah kecerdasan yang
meliputi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual.

Sesungguhnya sangat jelas, bahwa perintah yang dibawa atau surat yang diturunkan pertama kali adalah suatu
perintah untuk membaca. Surat itu adalah surat Al-Alaq (96) Perintah itu sangat jelas yakni merubah sesorang yang
jahiliyah berperilaku tanpa didasari ilmu pengetahuan agar belajar. Pelajaran yang pertama kali banyak dipelajari
tentunya adalah basik intelektualitas yang terkait dengan logika, penalaran, sunnatullah dan apa yang dilihat. Tanpa
melakukannya, manusia akan tetap bodoh dan besifat jahiliyah. Dan tanpa dipungkiri, sebenarnya apa yang
dipelajari manusia dalam berbagai bidang adalah bersumber dari Al-Qur’an. Lihatlah, bahwa ilmu intelektualitas itu
sudah dipelajari manusia saat dia masih kecil, mulai dari ajaran orang tuanya tentang apa yang dia tidak ketahui,
ketika sekolah dasar dengan gurunya, sampai ia beranjak dewasa. Dengan belajar intelektualitas, seseorang
mendapatkan pengetahuan/bekal untuk kehidupannya. Dengan kecerdasan intelektual inilah dia meraih keahlian
yang disematkan dengan gelar akademis yang diperolehnya.

Seiring dengan bertambahnya usia dan kedewasaan, maka manusia dihadapkan dengan interaksi. Dari sebuah
interaksi ini manusia lahirlah sebuah tanggung jawab atau konsekuensi dari interaksi itu. Walaupun tanggung jawab
itu baru dipikul oleh seseorang yang akhil baligh (dewasa), akan tetapi interaksi dengan sesama tentulah sudah
dimulai sejak kecil. Di situ seharusnya manusia harus segera belajar cara berinteraksi. Jika ia sibuk terhadap dirinya
walaupun itu adalah belajar (tentu saja mendalami kecerdasan intelektual), maka alokasi pembelajaran kecerdasan
emosinya pun terbengkalai. Saat manusia sudah terjun untuk mengamalkan ilmu (intelektual)nya, alangkah kaget
atau tidak siapnya ia berinteraksi dengan khalayak. Yang lebih parah lagi adalah jika ia tidak tahu bahwa sepak
terjangnya dalam berinteraksi adalah salah.

Terkait dengan ini Islam mempunyai konsep yang sangat nyata dalam hal kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi ini
telah diatur dalam konsep Hablumminannash (hubungan dengan manusia). Konsep inilah yang seharusnya dipelajari
agar manusia menjadi pribadi yang berakhlak baik bagi manusia lain. Hatinya sangat lembut dan mampu menyelami
perasaan orang lain. Sifat empati, ukhuwah, dan akhlaknya sangat baik. Kecerdasan hati yang islami adalah unsur
kedua dari sifat Qona’ah pribadi Muslim

Kecerdasan Spriritual dalam Islam pun sudah diatur, yakni konsep Hablumminallah (Ibadah terkait dengan Allah).
Kebanyakan Orang-orang mendefinisikan Qona’ah dengan konsep ini. Padahal jika manusia hanya mencermati
spritualnya saja, yakni mengenai keikhlasan, syukur dan ibadah langsung terhadap Tuhannya tanpa di dasari dengan
kecerdasan intelektual dan emosi, maka cermiannya dia hanya akan menjadi orang yang sufi yang diam di masjid,
tapi tidak bekerja karena tidak punya keahlian dan berinteraksi dengan manusia karena merasa interaksi itu akan
merusak dirinya tanpa terkecuali.

Sekarang apakah yang dinamakan Qona’ah itu hanya sekedar ikhlas, menerima apa adanya, dan tidak “neko-neko”
saja. Apakah jika dia melakukan sesuatu kegiatan tidak didasari ilmu? Apakah dia terus menjauhi khalayak seakan-
akan dia paling suci? Dan apakah dia terus-menerus diam di masjid tanpa peduli dengan semua itu. Sungguh itu
bukan yang diharapkan

Jadi, definisi Qona’ah yang benar adalah pribadi muslim yang tangguh dengan ilmu yang dimilikinya, baik akhlaknya
terhadap sesama, serta dia mendedikasikan kesemuanya itu kepada Allah Swt yang tergambarkan dengan
keikhlasan dan rasa syukurnya.

Semoga tulisan saya ini bermanfaat, dan tentunya saya tak lepas dari kesalahan. Kritik dan saran saya terima..

Wassalam

Anda mungkin juga menyukai