TINJAUAN PUSTAKA
Di antara berbagai organ tubuh, pembuluh darah mungkin merupakan salah satu
organ yang mempunyai peranan penting dan sistemnya sangat kompleks. Dikenal
dua sistem sirkulasi di mana pembuluh darah memegang peranan utama yaitu:
sistem sirkulasi sistemik dan sistem sirkulasi paru-paru (Guyton, 2000). Di setiap
sistem kapiler dan sistem venosa. Aorta adalah pembuluh darah besar bagian dari
sistem sirkulasi sistemik, yang keluar dari jantung dan berfungsi untuk membawa
darah jantung yang penuh berisi oksigen ke pembuluh arteri. Dari pembuluh aorta
yang besar kemudian bercabang menjadi beberapa pembuluh darah arteri yang
ukurannya lebih kecil dan membawa darah dari percabangan aorta keseluruh
tubuh, kecuali arteri paru-paru yang berfungsi sebaliknya (Guyton, 2000; High
beam encyclopedia, 2008; Farlex, 2008). Di target organ, pembuluh darah arteri
bercabang-cabang dan berakhir menjadi pembuluh darah yang lebih kecil yang
disebut dengan arteriol. Arteriol bekerja sebagai katup pengatur di mana darah
berfungsi untuk menukar cairan dan bahan gizi di antara darah dan ruang
12
13
makin besar. Vena adalah pembuluh darah yang berfungsi sebagai penyalur yang
dengan fungsi utamanya masing-masing. Aorta dan pembuluh darah arteri, karena
tekanan yang tinggi. Sehingga pembuluh darah arteri memiliki dinding vaskuler
Arteriol yang berfungsi sebagai katup pengatur dari sistem arteri, memiliki
dinding otot yang kuat yang dapat menutup sama sekali arteriol tersebut sehingga
Kapiler, karena fungsinya sebagai penukar cairan dan bahan gizi, memiliki
dinding yang sangat tipis dan permeabel terhadap zat yang bermolekul kecil.
tekanan dinding yang sangat rendah dan sebagai akibatnya dinding vena tipis.
mengecil dan membesar, sehingga vena mampu menyimpan darah dalam jumlah
pembuluh darah, diameter lumen dan luas area sesuai dengan fungsinya dalam
sistem.
Tabel. 2.1. Tebal Dinding Pembuluh Darah, Diameter Lumen dan Luas
Penampang Lintang (Area) Pembuluh Darah
SISTEM
TEBAL
PEMBULUH LUMINAL AREA
DINDING
DARAH
Aorta 2 mm 2.5 cm 4.5 cm2
Arteri 1 mm 0.4 cm 20 cm2
Arteriol 20 μm 30 μm 400 cm2
Kapiler 1 μm 5 μm 4500 cm2
Venol 2 μm 20 μm 4000 cm2
Vena 0.5 mm 5 mm 40 cm2
Vena Kava 1.5 mm 3 cm 18 cm2
Sumber: Kardiologi Molekuler oleh Baraas F., 2006, hal. 187
Dinding pembuluh darah terdiri dari 3 (tiga) lapisan, yaitu: lapisan terdalam yang
disebut sebagai tunika intima; yang ditengah disebut sebagai tunika media dan
yang terluar disebut sebagai tunika adventisia (Gambar 2.1). Tunika intima terdiri
dari selapis sel endotel yang bersentuhan langsung dengan darah yang mengalir
dalam lumen, dan selapis jaringan elastin yang berpori-pori yang disebut
membran basalis. Tunika media terdiri dari sel-sel otot polos, jaringan elastin,
jaringan elastin yang membentuk tunika media aorta dan pembuluh darah besar
pembuluh darah arteri lebih banyak dijumpai sel otot polos yang membentuk
tunika medianya. Perbedaan sel dalam tunika media menjadi tidak jelas (tidak bisa
bahwa di dalam arteriol jaringan ikat dari tunika adventisia menjadi lebih dominan
tunika media dan yang ada adalah lapisan sel endotel. Pada sistem venosa,
arterial. Tunika media tidak begitu berkembang dan hanya terdapat pada vena
kava dan pembuluh darah vena besar lainnya. Pada vena-vena kecil dan venol,
hanya jaringan ikat tuna adventisia yang lebih dominan. Oleh karena itu sistem
venosa lebih mudah mengalami dilatasi yang ireguler dan menampung pembuluh
tunika media yang terdiri dari tiga tipe yaitu, tipe I dan tipe II mengandung sel-sel
fibril dengan diameter 20-90 nm, dan tipe III yang bersifat lebih elastik. Jaringan
ikat kolagen yang ada dalam tunika intima adalah jaringan kolagen tipe IV,
sedangkan yang tipe V ada di membran basal. Tunika adventisia yang merupakan
lapisan terluar bertindak sebagai pelindung dan terdiri dari banyak jaringan ikat,
saraf otonom, pembuluh darah limfe dan vasa vasorum (Guyton, 2000; Baraas F.,
2006).
Lapisan terdalam dari tunika intima, terdiri dari selapis sel yang disebut sel
endotel. Sel ini berbentuk pipih, poligonal dengan ukuran sekitar 10 x 50 μm dan
tebalnya 1-3 μm, dengan sumbu panjang sel sejajar dengan aliran darah (Baraas F.,
2006). Sel ini berada disemua struktur pembuluh darah mulai dari jantung sampai
dengan kepiler dan berhubungan langsung dengan aliran darah (Guyton, 2000,
Sel endotel berfungsi untuk mengatur aliran darah yang dipompa oleh
jantung menuju ke seluruh tubuh, begitu juga sebaliknya (Baraas F., 2006),
memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mengadaptasikan dirinya, baik secara
(Bruce A, et al., 2002). Disamping itu sel ini, bilamana rusak akan mudah diganti
1998), hanya saja diperlukan waktu untuk proses regenerasi tersebut (Reidy etal.,
masing-masing (Baraas F., 2006). Secara umum sel endotel memiliki 3 (tiga)
fungsi dasar, yaitu: Pertama, endotel berfungsi sebagai garis pertahanan utama
(barrier) terhadap hampir semua elemen asing yang mencoba invasi ke dalam
mempertahankan tonus pembuluh darah (Bruce, 2002, Böger, 2004), yaitu antara
dan berbabagi faktor hemostasis lainnya (Guyton, 2000; Libby P., et al., 2002;
Najjar et al., 2005; Baraas F., 2006). Fungsi di atas disebabkan karena peran
utama sel endotel adalah mengendalikan sifat-sifat arteri seperti tonus vaskuler,
et al., 2005)
relaksasi pembuluh darah (Libby P., et al., 2002; Böger, 2004; Najjar et al., 2005;
Baraas F., 2006). NO merupakan hasil dari proses perubahan L-Arginine menjadi
sitrulin yang dikatalisis oleh enzym Nitric Oxyde Syntase (NOS) yang termasuk
dalam kelompok sitokrom P-450. Telah dapat diidentifikasi 3 (tiga) isoform NOS
yaitu: neuralNOS (nNOS) yang berasal dari kromosom 7, inducible NOS (iNOS)
18
yang berasal dari kromosom 12 dan endothelial constitutive NOS (ecNOS) yang
Gaya gesek pulsatil (shear stress) darah dan dengan adanya ion Ca2+ dari
luar sel dapat menyebabkan ecNOS menjadi aktif. Oleh karena itu produksi NO
oleh sel endotel distimulasi dan dipertahankan oleh faktor-faktor yang dapat
Oksida Nitrit bekerja lokal (autokrin dan parakrin) oleh karena waktu
paruhnya sangat pendek dan segera bereaksi dengan air dan oksigen membentuk
nitrit dan nitrat. Oksida Nitrit ini selalu diproduksi dan didegradasi secara sangat
hidup manusia akan tetap berlangsung. Seluruh organ beserta fungsinya, termasuk
pembuluh darah, juga mengalami proses menua. Penuaan organ ditandai dengan
tentang perubahan yang terjadi pada pembuluh darah sebagai akibat dari penuaan.
19
darah besar (Mengden, 2006; Nilson, 2008), seperti diameter lumen, ketebalan
2006, Najjar et al., 2005). Pembuluh darah yang paling sering terkena adalah yang
bersifat elastis seperti aorta sentralis dan arteri carotis (Science Blog, 2003,
Lakatta, 2003; Najjar et al., 2005). Lumen pembuluh darah besar akan mengalami
dilatasi, dindingnya semakin tebal dan semakin kaku (Lakatta, 2003; Najjar et al.,
biokimiawi dinding oleh karena faktor umur yang kemudian berakibat pada
menurunnya arterial compliance dan kakunya dinding (Jani & Rajkumar, 2006;
Laurent et al., 2006; Nilson, 2008). Najjar et al., 2005, yang mengutip pendapat
dinding pembuluh darah adalah akibat dari siklus tekanan yang terus menerus dan
jaringan elastisnya untuk digantikan dengan jaringan kolagen. Selain itu Lakatta
dan Levy, 2003, dalam review artikelnya menyebutkan juga bahwa kekakuan
arteri ini berkaitan dengan pengaruh regulasi endotel terhadap tonus otot polos
oleh adanya specific gene polymorphism (Hanon et al., 2001; Safar, 2005).
20
Perubahan struktur dan fungsi arteri yang berkaitan dengan umur pada orang sehat
Tabel. 2.2.: Perubahan Struktur dan Fungsi Arteri yang berkaitan dengan Umur
pada Manusia, Kera dan pada beberapa Mahluk Monogastrik
MENUA
HIPER- ATERO-
PARAMETER ARTERI MANUSIA KERA TIKUS KELINCI TENSI SKLEROSIS
> 65 TH 15-20 TH 24-30 BL. 3-6 TH.
Lumen melebar + + + + ± ?
↑ Kekakuan + + + + + ?
↑ Collagen + + + + ± ?
↓ Elastin + + + + ± ?
Disfungsi endotel + + + + + +
Intima menebal difus + + + + + +
Keterlibatan lemak - - - - ± +
↑ jmlh VCMC + + + + + +
Macrophage + - - - + +
T sel + - - - + +
↑ Matriks + + + + + +
↑ Local Ang II-ACE + + + + + +
Disregulasi MMP + + + ? + +
↑ MCP-1/CCR2 + + + + + +
↑ ICAM ? ? + ? + +
↑ TGFB ? + + ? + +
↑ NADPH oxidase ? ? + ? + +
↓ VEGF + ? ? + + +
↓ NO bioavailability ? ? + + + +
↓ panjang telomer + + + ? ? +
Hipertensi ± ± ± ± + ±
Aterosklerosis ± - - - ± +
Sumber: Najjar et al., 2005,
ketebalan tunika intima dan media. Pada penelitian post mortem dijumpai bahwa
penebalan dinding aorta terjadi secara difus dan terutama terjadi di lapisan intima,
aterosklerosis yang rendah (gambar 2.2) (Lakatta, 2003; Najjar et al., 2005).
21
Penebalan berjalan secara linier dan secara epidemiologis, dapat mencapai 2-3
kali lipat dari ukuran sebelumnya pada rentang usia 20-90 tahun walaupun tanpa
diikuti oleh plak aterosklerosis (Nagai et al., 1998, Lakatta, 2003; Najjar et al.,
2005). Penebalan terjadi secara tidak merata di dinding pembuluh darah, sangat
bervariasi, yang menunjukkan bahwa penebalan dinding oleh karena umur ini
sangat heterogen. Sehingga ada istilah mereka yang ”sukses” atau yang
Gambar 2.2: Penebalan dinding arteri yang menua. Sumber Najjar, 2005
Secara histologis, dinding intima yang menebal secara difus terdiri dari
(VSMCs). Otot polos vaskuler di tunika intima yang menua diduga berasal dari
22
Pada tunika media yang menua, perubahan yang menonjol antara lain
deposisi dari matriks protein ekstraseluler seperti Fibronectin dan type 2 matrix
matriks protein dan memfasilitasi migrasi dari sel otot polos vaskuler (Pauly et al.,
1992).
Sel otot polos vaskuler di media aorta tikus yang tua ukurannya lebih besar
tetapi jumlahnya lebih sedikit bila dibandingkan dengan tikus dewasa (Najjar,
2005).
Karakteristik lainnya dari media yang menua adalah pergesaran isi dan
integritas dari struktur matriks protein yang disebut elastin dan collagen di mana
jaringan elastin akan berkurang dan hal ini berimplikasi pada semakin kakunya
bersumber terutama dari sel endotel dan selain itu juga dari tunika intima dan
media. Perubahan ini, pada manusia, mirip sekali dengan perubahan yang terjadi
sehingga sering sekali perubahan dini dikatakan sebagai fase subklinik dari
terjadinya penyakit pembuluh darah tersebut (Lakatta, 2003; Najjar, 2005, Nilson,
2008).
Sel endotel arteri yang tua mensekresi lebih banyak plasminogen activator
pada arteri yang menua ini terjadi peningkatan dari endotelin dan
vasoconstructing growth factors yang diproduksi oleh sel endotel, antara lain
darah karena penuaan ini memberikan suasana aktif baik secara enzimatis maupun
(Najjar, 2005)
dan ini berbanding terbalik dengan umur, gradasi aterosklerosis dan tekanan nadi
(Lakatta, 2003). Hilangnya telomer pada arteri yang menua menginduksi disfungsi
akan menekan proses disfungsi sel yang berkaitan dengan umur (Minamino et al.,
2002).
terakumulasi oleh karena umur akan mengaktivasi NAD(P)H oksidase yang akan
products (AGE) dan reseptornya (RAGE) di sel endotel akan memicu pengerahan
menstimulir agregasi platelet (Wautier, 2004). Oleh karena itu proses menua dapat
dikatakan sebagai proses inflamasi kronis yang lamban dan ditandai oleh
munculnya sitokins pro inflamasi, seperti TNF-α, IL-6 and NFκB (Donato et.al.,
2009)
Pada tunika intima dinding arteri binatang primata dan binatang pengerat
yang tua didapatkan penebalan yang difus, walaupun kedua binatang ini tidak
juga meningkat yang menyebabkan penebalan dan invasi sel otot polos (VSMCs)
ke dalam intima (Spinetti G. et al., 2004). Najjar et al. (2005) yang mengutip
25
laporan dari Boring et al., (1998) menjelaskan bahwa hal ini berimplikasi terhadap
patogenesis dari proses aterosklerosis (Boring etal, 1988; Najjar et al., 2005).
oleh sel endotel dan sel otot polos (VSMCs), sedangkan pada binatang tidak
dijumpai sel inflamasi tradisional seperti lekosit di dinding pembuluh darah aorta
(Najjar, 2005).
juga meningkat (Wang & Lakatta, 2002). Faktor pertumbuhan inilah yang
mengatur replikasi dan sintesis komponen matriks ekstra sel dan memberikan
respon terhadap injury (Roberts and Sporn ,1990, Shah M etal., 1995).
oxygen species juga meningkat (Cernadas et al., 1998; Hamilton et al., 2001).
Keadaan ini akan memberi kesempatan terjadinya peroksidasi lipid dan modifikasi
Pada tunika media yang menua, perubahan yang menonjol antara lain
deposisi dari matriks protein ekstraseluler seperti Fibronectin dan type 2 matrix
protein dan memfasilitasi migrasi dari sel otot polos vaskuler (Pauly et al., 1992).
26
penotip ke arah dedifferentiated dan synthetic state. Menurut Najjar, 2005, proses
migrasi sel otot polos dari media ke intima menjadi lebih masuk akal yaitu oleh
karena peningkatan jumlah sel otot polos di dinding intima arteri sentral yang
menebal seiring dengan pertambahan usia. Selanjutnya, bila terjadi arterial injury
pada tikus yang tua, sel otot polos disini akan bertumbuh menyertai formasi
terhadap ekspresi gen elastin oleh B-Myb dan degradasi serabut elastin yang
tingkat dan aktivitasnya meningkat dengan bertambahnya usia (Wang et al., 2003).
yang ada di beberapa permukaan sel termasuk sel endotel dan sel otot polos dan
Sebaliknya pada binatang ini terjadi penimbunan kolagen tipe I dan III di
tunika media pembuluh darah yang sudah menua (Wang et al., 2002). Jaringan
collagen yang berdekatan akan mengalami glikasi enzimatis dan oksidasi sehinga
berjalan seiring dan saling mempengaruhi. Teori-teori yang dapat menjelaskan hal
merespon setiap invasi molekul antigen, sehingga dapat dikatakan bahwa sel
otomatis akan direspon oleh sel endotel dalam upaya untuk mengembalikan atau
2002).
Invasi molekul yang mengenai endotel ini disebut sebagai stres oksidasi,
di mana stres ini dapat menimbulkan kerusakan pada sel endotel ini. Stress ini
dapat disebabkan oleh perubahan tekanan gaya gesek pulsatil pada permukaan sel
endotel, iritasi bahan kimiawi, trauma fisik, infeksi, polusi, asap rokok, hipoksia,
Setiap saat sel endotel akan selalu mengalami proses ini sehingga dapat
dikatakan peristiwa ini merupakan salah satu mekanisme dasar dari terjadinya
kerusakan endotel. Stress oksidasi yang kronis walaupun ringan akan memotong
meningkat (Brandes et al., 2005). Produksi O2- yang meningkat tampaknya akan
studi menyebutkan ekspresi eNOS meningkat dan peningkatan ini dirangsang oleh
tingginya O2- (van der Loo et al., 2000). Meningkatnya O2- besar kemungkinan
pembuluh darah yang menua (Csiszar et al., 2002). O2- merangsang eNOS untuk
O2- yang terus menerus akan membentuk peroxynitrite (ONOO-) dan uncoupling
dari Enos (gambar 2.3). Peroxynitrite inilah yang mengikis ketersediaan NO dan
dalam plasma yang sedianya akan mengubah Radikal Superoksida (O2- ) segera
menjadi H2O2 (van der Loo et al., 2000, Griendling et al., 2003, Brandes et al.
2005, Schiffrin, 2008), untuk selanjutnya oleh enzym Catalse dan GSH H2O2 akan
segera dirubah menjadi H20 dan O2 (Griendling and FitzGerald, 2003). Disamping
lemak termasuk oksidasi LDL dan proses nitrasi protein yng berujung pada
terpapar terhadap stres oksidatif yang berakibat pada kerusakan DNA. Biasanya
O2- cepat diubah menjadi H2O2 oleh manganese superoxide dismutase (MnSOD),
untuk selanjutnya diubah menjadi H2O dan O2 tadi. Sebagai akibat dari produksi
O2- yang terus menerus, maka jumlah mitokondria akan berkurang, ekspresi
proteinnya akan melemah seperti format disfungsi protein yang mengarah pada
deplesi energi seluler yang berlanjut dengan terbentuknya radikal lanjutan seperti
Kerusakan DNA tidak terbatas di mitokondria saja dan ada satu enzym
(PARP) yang ternyata juga terlibat dalam penipisan endotel yang menyebabkan
Gambar 2.3:
Proses munculnya
radikal bebas dalam
endotel yang menua
Beberapa enzym yang ikut dalam proses pembentukan radikal antara lain,
juga dapat dikatakan sebagai sumber dari pembentukan radikal karena enzym ini
dapat mengaktifkan GTPase NADPH oxidase subunit Nox4 yang ternyata mampu
membentuk O2- dan sel senescence (Brandes et al., 2005). Bahkan NADPH
oxidase dianggap sebagai sumber terpenting dari terbentuknya O2- dalam dinding
vasoactive hormones dan protein G-protein rac-1 yang berat molekulnya kecil
oleh karena pemberian kholesterol yang tinggi secara terus menerus, dan hal ini
ini juga akan memodifikasi lemak dan protein, meregulasi beberapa bagian dari
konsentrasi lemak dalam darah tetap tinggi (Berliner etal, 1985, Griendling, 2003),
Di dalam tunika intima yang menebal pada tikus yang tua ditemukan
Proses inflamasi ini merupakan respon terhadap lesi yang terjadi pada sel
endotel (vascular respon to injury) oleh karena tekanan dan oleh karena gaya
gesek dari darah. Ada dua jalur respon terhadap lesi endotel yaitu melewati jalur
koagulasi dan reaktivasi platelet, yang sangat besar peranannya dalam proses
B). Faktor ini kemudian bergerak ke dalam inti sel untuk berikatan dengan DNA
untuk ekspresi beberapa gen target yang mengkode sitokin-sitokin, protein fase
akut dan sebagainya. Beberapa sitokin yang diekspresi antara lain TNFα-β, IL1-
17, IFN-γ. (Baraas F., 2006). Sitokin-sitokin inilah, pada sel otot polos pembuluh
Platelet Derive Growth Factor (PDGF) dan peningkatan TGF-β yang merangsang
formasi matriks fibronectin dan collagen (Lakatta, 2003). Respon lokal yang
muncul akibat ekspresi sitokin tersebut antara lain munculnya ICAM-1, VCAM-1
Adhesion Molecule-1) pada dinding pembuluh darah (Libby et al., 2002, Baraas F.,
2006).
maka respon proinflamasi dan protrombosis yang semula bersifat akut akan
berubah menjadi kronis. Akan terjadi infiltrasi sel-sel leukosit, terutama sel
makrofag. Sel ini kemudian akan “menelan” berbagai sisa LDL yang teroksidasi
membentuk sel busa dan kemudian menjadi ateroma (Baraas F., 2006).
DNA NF–interleukin-6 (IL-6) berada pada promoter dari Receptor Glication End
RAGE dengan respon inflamasi (Li & Schmidt, 1997). RAGE adalah receptor dari
33
Advanced Glycation End Product (AGE) yang merupakan modifikasi protein atau
lipid yang mengalami glikasi nonenzymatik dan teroksidasi setelah kontak dengan
gula aldosa (Singh et al., 2001). AGE dibentuk oleh 3 faktor kunci yaitu
darah, dan keadaan lingkungan yang menimbulkan stress oksidasi. AGE dapat
linking AGE pada collagen tipe I dan elastin menyebabkan peningkatan matrik
(Yamagishi etal., 1998; Wautier & Guillausseau, 2001; Basta et al. 2004) .
Disamping itu NF- B adalah essensial dalam menginduksi adhesi monosit dan
migrasi oleh AGE (Morigi et al., 1998) dan meginduksi hiperpermeabilitas sel
AGE yang ada di basal membran menghambat migrasi monosit dan menginduksi
proses yang disebut sebagai apostaxis. AGE juga berkontribusi terhadap ekspresi
reseptor oxidized LDL (OxLDL) pada monosit yang menjadi makrofag yaitu
homeostasis dari sistim vaskular. Disfungsi endotel dianggap sebagai awal yang
Sel endotel yang sehat mensekresi substrat yang bersifat proteksi dan yang
terpenting disini adalah Nitric Oxide (NO). Dalam keadaan “sakit” atau “injury”
35
disekresinya faktor kontraksi yang bekerja justru merugikan dan bahkan mengikis
NO. Disamping itu faktor kontraksi ini juga mencegah dan mengaktivasi berbagai
Begitu juga dalam kondisi semakin tua, fungsi sel endotel dalam
oleh karena adanya stress oksidatif oleh Reactive Oxygen Species (ROS). Stres
integritas telomere inilah yang yang memicu proses senescence prematur dari sel
Pada endotel arteri yang tua didapatkan telomere yang mengalami keausan
dan supresi terhadap aktivitas telomerase (Chang & Harley, 1995, Lakatta, 2005).
penggantian sel dan diikuti dengan perubahan ekspresi gen yang tampak dalam sel
yang mengalami senescence (Chang & Harley, 1995, Najjar et al., 2003, Nilson,
2008) Proses ini terutama terjadi di pembuluh arteri yang mengalami tekanan
hemodinamika yang lebih banyak (Chang & Harley, 1995). Bila senescence cell
dari endotel ini terakumulasi di daerah yang proses penggantian selnya tinggi,
36
menurunnya kemampuan memecah diri akan membuat tunika media menjadi satu
lapis saja dan mengeksposnya terhadap faktor mutasi mitogenic dan adhesi yang
disebabkan oleh stres oksidasi yang ringan tetapi berulang-ulang secara kronis.
Dijelaskan di sini bahwa di dalam sel endotel yang normal, stres oksidasi yang
ringan tetapi kronis yang diinduksi oleh pengaruh pertahanan antioksidan seperti
glutation, justru mengaselerasi erosi telomere dan onset sel yang mengalami
senescence.
Di samping teori yang disampaikan oleh Chang dan Harley, 1995, Wautier
(2004) juga mengemukakan bahwa pada telomere yang memendek dan aktivitas
dari jaringan kolagen yang dapat menginduksi munculnya perubahan penotip sel
endotel seperti sel senescence. Advanced glycation end products (AGE) yang
products dan reseptornya di sel endotel akan memicu pengerahan dan aktifasi sel
bahkan dapat disebutkan bahwa faktor risiko utama dari aterosklerosis adalah
37
pembuluh darah yang menua, atau dengan kata lain aterosklerosis pada usia muda
Faktor risiko dan perjalanan dari proses penuaan pembuluh darah tidak
mana umur merupakan faktor utama yang independen terhadap lamanya proses
gambar 2.5.
Gaya gesek
pulsatil Iskemia
Reperfusi Infeksi
Kelebihan makan
Polusi Merokok
Obesitas Stress
Alograf
Diabetes
Oksidatif
ROS ↑ Bahan kimia
Dislipidemia Bahan Fisika
Hipertensi
Respon NO
Trombosis
Aterosklerosis
Respon imunologik
Gambar 2.5: Proses penuaan pembuluh darah yang ditandai dengan kerusakan sel
endotel berakhir pada aterosklerosis
(Modifikasi dari: Baraas F., 2006, Kardiologi Molekuler, Yayasan
Kardia Iqratama, hal 200)
38
stress oksidatif yang sebetulnya merupakan suatu proses yang alami. Stres ini
dapat meningkat oleh beberapa keadan antara lain: Gaya gesek pulsatil pembuluh
darah, Iskemia reperfusi, infeksi, polusi khususnya oleh asap rokok, Alograf,
makan berlebihan (Baraas F., 2006). Plasma kolesterol, khususnya kolesterol yang
terbentuknya O2- yang menimbulkan apoptosis pada dinding sel vaskuler (Awal
ROS
lemak pada dinding sel termasuk sel endotel yang menimbulkan jejas pada sel
tersebut (Endothelial injury). Jejas di dalam sel endotel inilah yang ditunjukkan
oleh munculnya respon NO dalam bentuk peningkatan yang diikuti dengan respon
ringan dapat mengaselerasi sel senescence. Kejadian ini bila berulang terus akan
Advanced glycation end products (AGE), dan AGE yang terakumulasi oleh
mengarah kepada trombosis (Baraas F., 2006). NAD(P)H oksidase tidak hanya
meningkat oleh karena meningkatnya umur, tetapi terjadi juga pada keadaan
di mana LDL akan teroksidasi dan dimakan oleh macrophage dan atau
macrophage sendiri juga teroksidasi sehingga memproduksi foam cell, yang dapat
bahwa proses oksidasi lemak lebih disebabkan oleh lamanya LDL yang
terakumulasi di endotel dibandingkan dengan tingginya kadar LDL dan LDL yang
terhadap memburuknya proses inflamasi dan formasi pusat nekrosis pada stadium
yang lanjut.
Disamping itu macrofag foam cell yang terbentuk oleh karena asupan
lemak yang tinggi tidak hanya berasal dari teroksidasnya LDL menjadi oxLDL
tetapi juga dapat berasal dari penyerapan Very Low Density Lipoprotein (VLDL)
Endotel
yaitu lipid peroksida molekul lemak radikal ( .L) dan atau peroksida lemak (LOO.).
.
OH + LH => .L + H2O
.
L + O2 => LOO.
hidroksi, epoksi dan beberapa asam lemak lebih pendek lainnya (Velasco et al.,
jalur cyclooxygenase oleh mekanisme yang di katalisis oleh radikal bebas. Jadi,
metabolit ini dihasilkan sebagai ester phospolipid dari proses penyusunan kembali
stereo dan struktur isomer derivat PGH2 yang diproduksi oleh proses
cyclooxigenase asam arachidonat yang diinduksi oleh radikal bebas (Morrow J.D.
et al. 1990). Secara invitro F2-isoprostan terbentuk dari peroksidasi lemak LDL
oleh Cu2+ atau juga oleh pengoksida larut dalam air lainnya seperti 2,2-azo-bis-2-
Asam Arachidonat yang termasuk dalam seri (n-6) asam lemak tak jenuh
Thromboxane (TX). Tetapi secara non enzymatik melalui jalur radikal bebas
untuk mengukur stress oksidasi baik di eksperimen maupun dalam study klinik
Senyawa ini sudah dibuktikan dapat menjadi indeks yang sangat berarti
untuk melihat peroksidasi lemak secara invivo (Morrow J.D. etal., 1998). Salah
satunya dipakai untuk mengukur munculnya radikal bebas oleh karena oksidasi
Low Density Lippoprotein (oxLDL) di dalam plasma darah (Dhawan etal., 2004),
menggambarkan proses kalsifikasi pada arteri koroner (Gross M. etal., 2005) dan
kerusakan endotel yang disebabkan oleh radikal bebas endogen (Lavi S etal.,
42
2008). Sehingga saat ini F2-isoprostan digunakan sebagai marker yang spesifik
dan ajeg dalam menggambarkan stress oksidasi secara invivo (Milne etal., 2005;
(28.06 ± 8.26 ng/dl) dibandingkan tikus yang normal (21.99 ± 5.70 ng/dl).
marker invivo adalah kecepatan eliminasinya. Haliwell B. dan Lee C.Y.J (2010)
dan kemudian diekskresi melalui urin sehingga dapat memberikan hasil yang
berbeda bila dilakukan pada waktu yang berbeda, walaupun sampelnya sama.
IL-6 adalah sitokin 26 kDa yang diproduksi oleh berbagai macam sel
seperti limposit, monosit, fibroblast dan endotel termasuk juga makrofag. Melihat
spektrum fungsinya dalam proses inflamasi sistemik, IL-6 terlibat pada fase akut
tingkatan IL-6 berkaitan erat dengan faktor risiko aterosklerosis baik itu
43
tradisional maupun non tradisional. Sehingga data ini sangat berguna untuk
fisiologis. Tuomisto etal., 2006 yang diperkuat oleh Saremi etal., yang
menyatakan bahwa IL-6 adalah salah satu inflamatory marker yang berkaitan erat
disebabkan karena tingginya kadar IL-6 dalam serum orang sehat berkaitan erat
metabolisme lemak dimana IL-6 ini dapat menekan aktivitas dari Lipoprotein
trigliserida (Greenberg etal., 1990). Hal ini akan berakibat dengan meningkatnya
kadar lemak yang kronis dalam darah yang dapat berkontribusi terhadap kejadian
LDL yang terjebak di intima akan mengalami oksidasi menjadi oxLDL dan hal ini
Seperti disebutkan oleh Berliner et al., 1995 dan diperkuat oleh Omoigui,
2007, munculnya ROS dan jejas pada endotel ini akan merangsang terjadinya
proses inflamasi, begitu juga sebaliknya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
molekul inflamasi seperti monosit adan neutrofil yang akan melekat di endotel
dan sekresi sitokin pro inflamasi. Respon yang akut diawali dengan keluarnya
Kappa-B). Aktivasi NFκB dipicu oleh berbagai stimulus, seperti sitokin inflamasi,
ROS, lemak dan kekuatan-kekuatan mekanis yang mengenai sel endotel dinding
(Donato etal. 2009). Faktor ini kemudian bergerak ke dalam inti sel untuk
berikatan dengan DNA untuk mengekspresi beberapa gen target yang mengkode
diekspresi antara lain TNFα-β, IL1-17, IFN-γ. (Baraas F., 2006, ), dan terutama
yang terekpresi adalah yang dapat menyebabkan disfungsi endotil atau bersifat
End Products (RAGE) dan pro-oxidant enzyme NADPH oxidase (Donato etal.
2009). Akan tetapi ekspresi dari sitokin ini yaitu IL-6, TNF-α dan CRP di dinding
sitokin-sitokin ini saja di dalam darah tidak dapat dipakai untuk mengukur status
IL-6 yang terekspresi dalam sel berinti akan mudah terelminasi bersamaan
dengan lepas atau hilangnya sel tersebut di dalam darah (Melani etal., 1993).
Disamping itu produksi IL-6 menurun oleh adanya genestein yang merupakan
Anti oksidan didefinisikan sebagai semua substrat yang dalam jumlah yang lebih
sedikit dibanding dengan zat yang teroksidasi tapi dapat mencegah proses oksidasi
45
dari zat tersebut (Bachem et al., 1999). Sistim kerja antioksidan sangat kompleks,
tetapi secara garis besar antioksidan dapat dikelompokkan menjadi dua jenis
antioksidan yaitu: pertama, yang bersifat enzymatis, biasanya berasal dari dalam
tubuh (endogen) dan bergerak sebagai lini pertahanan pertama, antara lain:
lain-lain, dan kedua, yang bersifat radical scavenging antioxdants yang umumnya
dan terpenoid (Bahorun et al., 2006) (gambar 2.6). Kedua jenis antioksidan ini
bekerja bersama di dalam melawan efek dari radikal bebas (What are antioxidant,
2011).
yang eksogen, antioksidan dari luar ini dapat mencegah proses inisiasi dan
antioksidan dapat mencegahnya (Cameron and Cotter, 1999). Selain itu sel
endotel yang mengalami jejas dapat diregenerasi oleh adanya progenitor sel
endotel yang berasal dari sumsum tulang tetapi beredar di pembuluh darah, dan
ROS mengurangi efek keerja dari progenitor ini (Dimmeler and Zeiher, 2004).
endogen untuk melawan Radikal Bebas. Antioksidan tersebut ada yang bersifat
enzymatik seperti SOD yang merubah O2- menjadi H2O2 dan H2O, Catalase yang
merubah H2O2 menjadi H2O dan O2 dan Glutathione Peroksidase yang merubah
H2O2 menjadi H2O. Disamping itu antioksidan yang bersifat non enzymatic antara
lain Glutathione (GSH), Alpha Lipoic Acid (ALA) dan Coenzym Q10 (CoQ10)
(Fouad T, 2010, ).
Antioksidan ini disebut juga antioksidan primer karena sifatnya yang awal
yaitu mencegah munculnya radikal bebas baru dengan memutus rantai berantai
dengan mengubahnya menjadi bentuk yang lebih stabil seperti menjadi air (H2O)
protein p45 NF-E2 yang bilamanan aktif dapat mengekspresi gen antioksidan
47
protein endogen. Aktifnya protein ini adalah suatu bentuk pertahanan sel
(Kobayashi and Yamamoto, 2005). Senyawa yang diekspresi oleh Nrf2 antara lain
etal., 1997). Disamping itu Nrf2 juga mengkode phase 2 detoxifying enzymes
microsomal epoxide hydrolase (Kwak etal., 2001) dan ekspresi gen enzyme
etal., 1999).
SH), antotoksin dan kofaktor enzym. GSH ada dimana-mana termasuk hewan,
tumbuhan, tanaman dan mikroorganisme, larut dalam air dan berada di dalam
cytosol dari sel atau substrat larut dalam air lainnya. Dan karena jumlahnya yang
cukup besar maka disebutkan sebagai antioksidan dalam sel yang mayor (Kidd P,
1997).
dikenal dengan istilah GSH, dan dalam bentuk teroksidasi yang dikenal dengan
menjadi alkohol dan hidrogen peroksida menjadi air. Pada saat mengkatalisis tadi
(GSSG) , dan enzym glutathione reduktase dapat mendaur ulang GSSG menjadi
GSH kembali dengan cara mengoksidasi NADPH. Ketika sel terekspos dengan
stress oksidasi maka akan terjadi penumpukan GSSG dan rasio GSH/GSSG akan
Mekanisme kerja dari GSH didalam proses peredaman radikal bebas yaitu
dalam segi kemampuananya mereduksi hidroksil radikal (.OH) yang berasal dari
Peroksida (H2O2) dengan cara mengambil hydrogen untuk membentuk 2 H2O dan
kembali
Dengan kata lain glutathione di sini mencegah hidroksil radikal yang dapat
merubah molekul lemak menjadi lemak radikal ( .L) atau peroksida lemak (LOO.)
melalui dua sisi yaitu mencegah terbentuknya hydroksil radikal (.OH) bereaksi
49
dalamnya penuaan pembuluh darah tersebut. Gaya hidup seperti diatas dianggap
class II major histocomtability antigen (MHC-II) (Li H. et al., 1993). Temuan ini
pemberian diet tinggi lemak dan tinggi kolesterol memberikan efek sedang
terhadap dilatasi yang dependen terhadap endotel di arteriol koroner dan efek ini
dapat dicegah bahkan dipulihkan dengan olah raga (Henderson et al., 2004). Hal
senada juga diungkapkan oleh Soinio dan kawan-kawan (2003) yang melakukan
menyatakan bahwa pada kelompok laki-laki yang memperoleh diet lemak dengan
risiko penyakit koroner terendah dibandingkan dengan yang rasio P/Snya rendah
(rasio 5 % dan 14.2 %). Dari sini Soinio menyimpulkan bahwa rendahnya rasio
efek merusak endotel dan merupakan faktor risiko dari penyakit kardiovaskuler
walaupun secara individu asam lemak memberikan efek yang berbeda-beda. Dari
semua jenis asam lemak jenuh, asam miristat, palmitat yang ada pada lemak
hewan dan asam laurat yang ada kelapa memberikan efek terbesar, karena asam
lemak ini yang menyebabkan LDL susah untuk dihilangkan dari sirkulasi (Hu
etal., 1999; Denke, 2006). LDL yang lama beredar dalam darah akan teroksidasi
yang nantinya akan dimakan oleh macrophage untuk menimbulkan foam cell di
Seperti disebutkan di atas bahwa antioksidan dibedakan atas dua yaitu antioksidan
endogen yang bersifat primer dan antioksidan eksogen atau eksternal yang
umumnya berasal dari luar terutama dari makanan. Yang termasuk dalam
antitoksidan eksogen ini antara lain vitamin A, E dan C, β-carotene, flavonoid dan
scavenging antioxdants, oleh karena umumnya berasal dari luar seperti: Vitamin
2006).
Disebutkan bahwa antioksidan dari luar ini dapat mencegah proses inisiasi
bahkan Myhrstad et al., menyebutkan bahwa ekstrak bawang onion dan quercetin,
lagi (Myhrstad et al. 2002). Vitamin E dan C terbukti telah dapat mengurangi
efek stimulasi Angiotensin II pada aktivitas JNK dan p38 dari Vascular Smooth
Muscle Cell (VSMC) (Kyaw et al., 2001), dan hal ini mendukung temuan dalam
stress oksidasi bilamana dibiarkan akan merusak lapisan endotel yang berakibat
membuat penelitian dengan komposisi polyphenol yang ada pada tanaman buah
beri dan melihat efek putatif antioksidan dan efek antiinflamasinya yang dapat
menyimpulkan bahwa senyawa polyphenol yang ada pada buah cranberry dan
sampai di lapisan endotel dan dapat menurunkan kerentanan sel endotel baik di
seperti IL-8, MCP-1 dan ICAM-1, sehingga senyawa ini dapat dikatakan
memberikan efek proteksi terhadap kerusakan sel endotel (Youdim et al., 2001).
Quercetin dan senyawa phenol yang ada pada jahe seperti gingerol dan shogaol
dapat mencegah penumpukan dan oksidasi LDL (Fuhrman et al., 2000, Narayana
et al., 2001). Disamping itu, zat yang ada dalam bawang putih seperti kaemferol
radical dan dapat mencegah oksidasi dari LDL (Fuhrman dan Aviram, 2002).
yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan linier antara asupan flavonoid
terhadap kejadian penyakit jantung koroner (Sesso et al., 2003), tetapi Xu dan
yang tentu sangat berguna untuk mencegah proses aterosklerosis (Xu et al. 2007)
disebutkan bahwa VCO dapat mencegah oksidasi dari LDL oleh oksidan, dan hal
ini oleh karena sifat VCO yang mengandung unsaponifiable component seperti
Vitamin E., provitamin A., polyphenols dan phytosterol (Nevin and Rajamohan,
54
2004). Selain itu Seneviratne et al. (2008) menyebutkan bahwa minyak kelapa
yang diolah dengan pemanasan memiliki sifat lebih stabil dibandingkan dengan
Babi guling adalah salah satu makanan yang biasanya dipergunakan untuk
pelengkap kebutuhan upacara. Pada masa lalu, makanan ini biasanya dikonsumsi
oleh masyarakat Bali hanya pada waktu upacara. Tetapi makanan ini sekarang
dikonsumsi. Makanan ini unik karena kandungan bahan yang digunakan, disatu
sisi kandungan makanan ini, daging dan lemak, kaya akan lemak jenuh yang
bersifat aterogenik tapi disisi lain makanan ini kaya juga akan serat dan flavonoid
yang berasal dari bumbu dan tambahan lagi makanan ini juga banyak
(Indraguna, 2009).
Babi guling di Bali, pada awalnya dan sampai sekarang, dikenal sebagai makanan
yang dipersembahkan pada saat upacara. Di desa adat Timbrah, bagian dari desa
Tenganan Pegringsingan dan merupakan salah satu desa adat tradisional di Bali
timur, menggunakannya sebagai salah satu kelengkapan upacara yang sampai saat
ini masih dipertahankan (Bajra, 2009). Cole (1983) dalam disertasinya tentang
prilaku makan orang bali menyebutkan bahwa babi guling merupakan salah satu
makanan upacara disamping sate, urutan, oretan, lawar, ares, tum dan sebagainya.
55
Saat ini babi guling dapat diperoleh di mana-mana. Dari restoran sampai dengan
warung lesehan kecil di seluruh kabupaten di Bali, dapat diperoleh babi guling. Di
makan lesehan. Babi guling dapat dikatakan sebagai salah satu menu favorit tidak
Bahan utama dari makanan ini adalah anak babi yang memang dipelihara
untuk itu. Untuk kebutuhan upacara, babi yang dipakai biasanya anak babi lokal
yang masih berumur muda dengan berat sekitar 8-15 kg.. Untuk kebutuhan
komersial, babi yang digunakan lebih besar yaitu beratnya mencapai 60 kg.,
bahkan dapat mencapai 80 kg. dan jenis babinyapun bukan lagi babi lokal tetapi
babi jenis Landrace atau kawin silang antara babi lokal dengan Landrace. Babi
diimport dan dikembangkan di Australia (Taylor et al., 2005). Babi jenis ini
sekarang sudah mulai diternakkan secara luas di Bali (Saka, 2003). Peternak babi
di Bali lebih memilih jenis babi Landrace ini karena, babi ini lebih mudah
dipelihara dibandingkan dengan babi lokal, babinya cepat besar dan dagingnya
lebih banyak sehingga lebih cepat dapat dijual dibandingkan dengan babi lokal.
Saka (1996 dan 2003) dalam laporannya menyebutkan bahwa babi Landrace ini
Saddleback maupun kawin silang antara babi bali dan babi Saddleback. Dipihak
lain pedagang babi guling khususnya yang membuat untuk tujuan komersial, juga
lebih memilih babi jenis ini karena dagingnya lebih banyak dibandingkan yang
Babi yang akan diolah, dibunuh dengan memotong nadi di daerah leher
supaya keluar darahnya, kemudian bulu dan kulit dibersihkan dengan cara dikuliti,
dan kemudian bagian dalamnya: isi perut dan semua organ viscera dikeluarkan.
Setelah semua bersih, anus babi ditusuk dengan kayu bulat panjang melewati
perut sampai keluar dari mulut, baru kemudian rongga perut dan dada diisi dengan
bumbu. Setelah itu, perut babi dijahit kemudian kulit babi kemudian diolesi
dengan larutan dari remasan kunyit yang dicampur dengan gula merah untuk
kemudian dipanggang di atas bara api sampai dianggap matang dengan warna
Bumbu babi guling tidak jauh berbeda dengan bumbu yang dipakai dalam
diharuskan untuk memenuhi 5 (lima) kriteria rasa yaitu rasa pahit, rasa manis, rasa
asam, rasa pedas dan rasa asin. Untuk itu komponen dalam bumbu babi guling
dibedakan menjadi tiga bagian yaitu bumbu dasar (base genep), bumbu wangén
dan bumbu penyedap (base penyangluh) (Sudharsana, 2001). Bumbu dasar terdiri
dari Lengkuas (Langua galanga), jahe (ginger atau Zingiber officinale), kencur
besar (Capsicum annum), cabe rawit (bird chilli atau Capsicum frutescens),
kemiri (candle nut atau Aleurites moluccana), merica hitam (black pepper atau
yang terdiri dari pala (Myristica sp.), tabya bun (Piper retrofactum), begarum,
57
cengluh dan mesui (Cinammomum), dan bumbu penyangluh yang terdiri dari
terasi (Shrimp paste), garam, daun salah ada atau tomat, daun salam (Eugenia
Polyantha), jeruk limau dan minyak kelapa (Coconut oil). Semua bumbu
dicincang halus kecuali garam, terasi, daun salam dan minyak kelapa. Pewangèn
yang digunakan biasanya sudah dalam bentuk bubuk (Eiseman Jr., 1998;
Sudharsana, 2001).
Semua bumbu yang telah dicincang dicampur dengan bahan yang lain
kemudian diaduk bersama minyak kelapa yang diolah secara tradisional. Baru
dibersihkan.
Sebagai sayur, di beberapa daerah digunakan daun ubi kayu atau daun
kayu-manis atau daun-daunan lainnya yang berwarna hijau yang biasa dipakai
sayur, yang dicampur dengan bumbu yang kemudian dimasukkan kedalam perut
58
babi. Di beberapa daerah, ada yang memasukkan batu hitam ke dalam perut babi
sempurna. Setelah dijahit, sebelum dipanggang kulit babi diolesi dulu dengan
kulit, sosis babai (urutan) dan gorengan organ dalam tubuh yang kemudian
dengan nasi, lawar babi dan atau sayur nangka muda (gambar 2.9).
Secara teoritis, daging babi mentah yang berlemak, per 100 gramnya,
mengandung 11,9 gram protein, 45 gram lemak dan 0 gram karbohidrat dan
jumlah energinya adalah 453 Kcal. Daging babi yang kurus, per 100 gramnya
59
mengandung 14,1 gram protein dan 35,0 gram lemak (Oey Kam Nio, 1992).
Universitas Udayana Bali, disebutkan bahwa, per 100 gram daging babi guling
mengandung energi 375,76 Kkal, karbohidrat 5,96 gram, protein 8,15 gram dan
Tabel 2.3.
Kandungan dan Aktivitas Antioksidan dalam Bumbu Bali Guling (Secara teoritis)
Lemak jenuh yang berasal dari babi umumnya bersifat rantai panjang
seperti palmitat (C16:0) dan stearat (C18:0) (Anne, 2008, Wikipedia, 2008, Ard
Jamy D., 2006). Seperti diketahui sebelumnya bahwa lemak jenuh rantai panjang
bersifat aterogenik, maka lemak ini dapat dikatakan sebagai makanan yang
antara lain bawang merah, lengkuas, jahe, kunyit, merica hitam, kemiri, dan jeruk
limau. Tabel 2.3 menunjukkan komposisi dari bumbu yang diambil dari
teoritis dari masing-masing bahan yang diambil dari Tangkanakul et al., 2009.
bumbu babi guling sangat banyak dan hampir semua bumbu seperti bawang
merah, lengkuas, bawang putih, cabe rawit dan lainnya, yang bila dilihat
selected Food (2003) maka disebutkan bahwa bawang merah (Allium Cepa)
kecil mengandung quercetin, luteolin dan vitamin C; air jeruk limau selain
61
bertindak sebagai scavenger terhadap radikal bebas dan ion metal. Sehingga ia
etal., 2004, menyebutkan bahwa jahe dapat juga mencegah peroksida lemak
(2005) dan Bozin et al. (2008) mengatakan kalau bawang putih dan kemiri
hydrogen peroksida (.OH) menjadi tidak aktif (Prasad etal., 1995). Gorenstein dan
bahwa pemberian tambahan bawang putih pada tikus yang mendapatkan makanan
kaya lemak dan kolesterol, dapat menekan pembentukan plasma lipid dan
bahwa kandungan poli fenol pada ekstrak kunyit adalah 216,57 ppm, dan jahe
adalah 127,97 ppm. Kandungan curcuminnya untuk kunyit adalah 55,93 ppm dan
jahe adalah 4,6 ppm. Aktivitas antioksidan pada kunyit dan jahe ternyata lebih
antioksidan yang ada pada bumbu yang dipakai masakan Thailand dan ternyata
dan Chang, 2006), bahkan Yin, Shu dan Chang secara lebih eksplisit
diperoleh kandungan zat aktif dari bumbu adalah senyawa mengandung terpenoid,
Tabel 2.4.
anti radikal bebas pada konsentrasi 8000 ppm mencapai di atas 100%, bahkan
dalam bumbu matang kemampuan meredam radikal bebas mencapai 250% pada
masih mencapai 50% ke atas, dan kemampuan bumbu matang sebagai anti radikal
bebas lebih tinggi dibandingkan dengan bumbu yang mentah (Indraguna, 2009).