Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ada dua juta cedera kepala yang terjadi setiap tahunnya di Amerika Serikat. Satu
setengah juta merupakan cedera ringan yang ditangani sebagai pasien rawat-jalan,
sedangkan 500.000 kasus mengalami cedera yang cukup parah dan memerlukan
perawatan di rumah sakit. Jumlah tersebut memprediksikan besarnya kemungkinan
menghadapi pasien-pasien cedera kepala. Cedera otak merupakan penyebab kematian
utama pada satu organ yang berkaitan dengan trauma. Cedera kepala merupakan
penyebab separuh dari seluruh kematian akibat kecelakaan kendaraan bermotor.
Orang muda yang berusia 15-24 tahun, memiliki insiden cedera kepala yang paling
tinggi. Orang tua merupakan kelompok berikutnya yang mempunyai angka insiden
tertinggi. Perawat kegawatdaruratan harus dapat mengkaji secara adekuat pasien
cedera kepala dan memulai tindakan perawatannya. Meskipun peranan perwat dalam
program pencegahan amat penting, peranannya dalam mengenali dan merawat cedera
otak juga tidak kalah pentingnya.

Setiap tahun 8.000-10.000 orang Amerika Serikat mengalami cedera medula spinalis
disertai dengan paralisis. Usia rata-rata korban cedera tulang belakang adalah 25
tahun; jumlah korban laki-laki melebihi wanita dengan perbandingan 4 : 1. Dari
riwayatnya, banyak di antara korban dengan cedera medula spinalis akut meninggal
akibat komplikasi respirasi. Perbaikan pada sistem penanganan trauma, telah
menurunkan angka komplikasi dan meningkatkan angka keberhasilan. Keberhasilan
dan kualitas hidup pasien bergantung pada perawatan kegawatdaruratan yang
didapatkan. Pengenalan dan perawatan awal akan mempertahankan potensi
rehabilitasi yang optimal.

1
B. Rumusan Masalah
Berkaitan dengan latar belakang diatas maka rumusan masalah dari makalah ini
adalah “Bagaimana konsep dan asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien trauma
kepada dan tulang belakang”

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui konsep teori, masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien

dengan trauma kepala dan tulang belakang.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui pengertian trauma kepala dan tulang belakang

b. Mengetahui etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis,

pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan pasien dengan trauma kepala

dan tulang belakang.

c. Mengetahui masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien dengan

trauma kepala dan tulang belakang

2
BAB II

PEMBAHASAN

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT GANGGUAN ASISTEM


PERSYARAFAN

Cidera Kepala

A. Pendahuluan
Fokus utama dalam pengkajian dan manajement trauma kepala adalah
memproteksi otak. Walaupun otak hanya merupakan 2% dari berat badan, otak
bertanggung jawab terhadap 20% konsumsi oksigen istirahat dan demam 15% curah
jantung untuk mencapai pemenuhan kebutuhan metabolisme. Otak secara khusus
mempunyai demam tinggi terhadap metabolisme – oksigen 49 ml/menit dan glukosa
60 mg/menit. Sangat mudah untuk diterima bahwa usaha awal pasca trauma adalah
mempertahankan oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan untuk fungsi-fungsi otak.
Hipoglikemia dapat menyebabkan terjadinya gangguan aktivitas neuronal, kejang,
koma, dan kematian. Jika sel-sel otak tidak bekerja secara benar, system tubuh
lainnya secara negative berpengaruh dan disfungsi siklus organ yang berbahaya
terjadi pada beberapa system tubuh. Resusitasi awal otak secara berfrekuensi akan
termauk tidak hanya penatalaksanaan oksigen secara agresif tetapi koreksi
hipoglikemia melalui penatalaksanaan 50ml dari 50% dextrose, bersama dengan 100
mg thiamine untuk mencegah encephalopati wernicke.
B. Pengertian
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang diseretai
perdarahan interstitial dalam substansi otak, tanpa terputusnya kontinuitas otak.
Trauma Cerebral adalah suatu bentuk trauma yang dapat mengubah
kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan aktivitas fisik, intelektual,
emosional, social dan pekerjaan
C. Patofisiologi
Suatu sentakan traumatic pada kepala menyebabkan cidera kepala. Sentakan
biasanya tiba-tiba dan dengan kekuatan penuh, seperti jatuh, kecelakaan kendaraan
bermotor, atau kepala terbentuk. Jika sentakan menyebabkan suatu trauma akselerasi
– deselerasi atau coup – countercoup, maka kontusio serebri dapat terjadi. Trauma

3
akselerasi deselerasi dapat terjadi langsung dibawah sisi yang terkena ker=tika otak
terpantul kearah tengkorak dari kekuatan suatu sentakan (suatu pukulan benda
tumpul, sebagai contoh), ketika kekuatan sentakan mendorong otak terpantul kearah
sisi berlawanan tengkorak, atau ketika kepala terdorong kedepan dan terhenti
seketika. Otak terus bergerak dan terbentur kembali ketengkorak (akselerasi) dan
terpantul (deselerasi).
D. Mekanisme Trauma
Trauma kepala bila ada kekuatan mekanik yang ditransmisikan kejaringan
otak. Mekanisme yang berkontribusi terhadap trauma kepala :
1) Akselerasi : kepala yang diam (tak bergerak) ditabrak oleh benda yang
bergerak
2) eselerasi : kepala membentur benda yang tidak bergerak
3) Deformasi : benturan pada kepala (tidak menyebabkan fraktur tulang
tengkorak) menyebabkan pecahnya pembulu darah vena terdapat di permukaan
kortikal sampai ke dura sehingga terjadi perdarahan subdural.
E. Menurut Penyebabnya cidera kepala dibagi atas :
a. Trauma tumpul
Kekuatan benturan akan menyebabkan kerusakan yang menyebar. Berat
ringannya cidera yang terjadi tergantug pada proses akselerasi – deselerasi, kekuatan
benturan dan kekuatan rotasi internal. Rotasi internal dapat menyebabkan perpindahan
cairan dan perdarahan petekie karena pada saat otak “bergeser” akan terjadi
“pergesekan” antara permukaan otak dengan tonjolan-tonjolan yang terdapat
dipermukaan dalam tengkorak laserasi jaringan otak sehingga mengubah intergitas
vaskuler otak.
b. Trauma tajam
Disebabkan oleh pisau atau peluru, atau fragmen tulang pada fraktur tulang
tengkorak. Kerusakan tergantung pada kecepatan gerak (velocity) benda tajam
tersebut menancap kekepala otak. Kerusakan terjadi pada area dimana benda tersebut
merobek otak (lokal).
Objek dengan velocity tinggi (peluru) menyebabkan kerusakan struktur otak yang
luas. Adanya luka terbuka menyebabkan infeksi.
c. Coup dan contracoup

4
Pada cedera coup kerusakan terjadi segera pada daerah benturan sedangkan
pada cedera contracoup kerusakan terjadi pada sisi yang berlawanan dengan cedera
coup.
5 menurut berat ringannya trauma, Hudak dkk (1996) membagi cedera kepala
sebagai berikut:
1. Cedera kepala ringan
 Nilai GCS 13-15
 Amnesia kurang dari 30 menit
 Trauma sekunder dan trauma neurologis tidak ada
 Kepala pusing beberapa jam sampai beberapa hari
2. Cedera kepala sedang
 Nilai GCS 9-12
 Penurunan kesadaran 30 menit-24 jam
 Terdapat trauma sekunder
 Gangguan neurologis sedang
3. Cedera kepala berat
 Nilai GCS 3-8
 Kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam sampai berhari-hari
 Terdapat cedera sekunder : kontusio, fraktur tengkorak, perdarahan dan atau
hematoma intracranial.
F. Klasifikasi cedera kepala
a. Scalp wounds (trauma kuit kepala)
Kulit kepala harus diperiksa adakah bukti luka atau perdarahan akibat fraktur
tengkorak. Adanya obyek yang berpenetrasi atau benda asimg harus diangkat atau
ditutupi kain steril, perawatan untuk tidak menekan area luka. Laserasi pada kulitr
kepala cenderung menyebabkan pendarahan hebat dan harus ditangani dengan
pengaplikasian penekan langsung. Kegagalan mengontrol perdarahan dapat
menyebabkan terjadinya syok. Semenjak bebeapa laserasi tidak dapat dideteksi
dengan mudah, periksa kulit kepala dengan menggunakan sarung tangan, sisihkan
rambut untuk memfasilitasi inspeksi. Palpasi tengkorak dan catat adanya fragmen
tulang. Jangan memberikan tekanan pada tulang tengkorak atau jaringan otak yang
tidak stabil jika fraktur ditemukan, sejak jaringan otak dan area sekitarnya dikelilingi
oleh pembuluh-pembuluh darah dapat menyebabkan cedera lebih lanjut.

5
Rambut disekitar laserasi kulit kepala harus dicukur dan luka dibersihkan, di
debridement, diinspeksi keseluruhan areanya sebelum ditutup.

b. Fraktur tengkorak
Fraktur klafaria (atap tengkorak) apabila tidak terbuka (tidak ada hubungan
otak dengan dunia luar) tidak memerlukan perhatian segera. Yang lebih penting
adalah keadaan intrakranialnya. Fraktur tengkorak tidak memerlukan tindakan
pengobatan istimewa apabla ada fraktur impresi tulang maka operasi untuk
mengembalikan posisi.
Pada fraktur basis cranium dapat berbahaya terutama karena perdarahan yang
ditimbulkan sehingga menimbulkan ancaman terhadap jalan nafas. Pada fraktur ini,
aliran cairan serebro spinal berhenti dalam 5-6 hari dan terdapat hematom kacamata
yaitu hematom sekitar orbita.

c. Komosio serebri (gegar otak)


Kehilangan keabaran sementara (kurang dari 15 menit). Sesudah itu klien
mungkin mengalami disorientasi dan bingung hanya dalam waktu yang raltif singkat.
Gejala lain meliputi: sakit kepala, tidak mampu berkonsentrasi, gangguan memori
sementara, pusing dan peka. Beberapa klien mengalami amnesia retrograd.
Kebanyakan klien sembuh sempurna dan cepat, tetapi beberapa penderita lainnya
berkembang kea rah sindrom pasca gegar dan dapat mengalami gejala lanjut selama
beberapa bulan.

d. Kontusio serebri
Kehilangan kesadaran lebih lama. Dikenal juga dengan Diffuse Axonal Injury
(DAI), yang mempunyai prognosis lebih buruk.

e. Pendarahan intra cranial


Dapat berupa perdarahan epidural, perdrahan subdural atau perdaran
intracranial. Terutama perdarahan epidural dapat berbahaya kaena perdarahan
berlanjut akan menyebabkan peningkatan tekanan intracranial yang semakin berat.
G. Tekanan Intra Kranial (TIK)
Isi kranium termasuk jaringan otak, darah, cairfan serebrospinal (CSF).
Komponen-komponen ini terbungkus dalam tengkorak yang kaku. Dalam ruang ini,

6
terdapat suatu ruang kecil untuk komponen-komponen untuk berekspansi atau
meningkatkan volume. Melalui proses akomodasi dan komplians, tekanan intra
cranial dipertahankan dalam tingkat normal antara 10-15 mmHg (136 – 204
mmH2O) dan adanya tekanan ini terutaa oleh karena peranan pulsasi arteri yangdi
transmisikan langsung ke otak atau melalui pleksus khoroideus. Menurut hipotesa
Monro-Kellie, adanya peningkatan volume pada satu komponen haruslah
dikompensasikan dengan penurunan volume salah satu dari komponen lainnya.
Dengna kata lain, terjadinya peningkatan TIK selalu diakibatkan oleh adanya
ketidakseimbangan antara volume intracranial dengan isi cranium.

H. Manifestasi Klinik
a. Peningkatan TIK, dengan manifestasi sebagai berikut:
1) Trias TIK: penurunan tingkat kesadaran, gelisah, irritable, papil edema,
muntah proyektil
2) Penurunan fungsi neurologis, seperti: perubahan bicara, perubahan reaksi
pupil, sensori motorik berubah
3) Sakit kepala, mual, pandangan kabur (diplopia)
b. Fraktur tengkorak, dengan manifestasi sebagai berikut:
1) CSF atau darah mengalir dari telinga dan hidung
2) Perdarahan dibelakang membrane timpani
3) Periorbital ekhimosis
4) Battle’s sign (memar di daerah mastoid)
c. Kerusakan saraf cranial dan telinga tengah dapat terjadi saat kecelakaan terjadi
atau kemudian dengan manifestasi sebagai berkut:
1) Perubahan penglihatan akibat kerusakan nervus optikus
2) Pendengaran berkurang akibat kerusakan nervus auditory
3) Hilangnya daya penciuman akibat kerusakan nervus olfaktorius
4) Pupil dilatasi, ketidakmampuan mata bergerak akibat kerusakan nervus
okulomotor
5) Vertigo akibat kerusakan otolith ditelinga tengah
6) Nistagmus karena kerusakan system vestibular
d. Komosio serebri, dengan manifestasi sebagai berikut:
1) Sakit kepala-pusing
2) Retrograde amnesia

7
3) Tidak sadar lebih dari atau sama dengan 5 menit
e. Kontusio serebri, dengan manifestasi sebgai berikut:
Terjadi pada injuri berat, termasuk fraktur servikalis
1) Peningkatan TIK
2) Tanda dan gejala herniasi otak
 Kontusio serebri
Manifestasi tergantung area hemisfer otak yang kena. Kontusio pada lobus
temporal: agitasi, confuse; kontusio frontal: hemiperase, klien sadar;
kontusio frontotemporal: aphasia.
Tanda dan gejala tersebut reversible.
 Kontusio batang otak
 Respon segera menghilang dan pasien koma
 Penurunan tingkat kesadaran terjadi berhari hari, bila kerusakan berat
 Pada sistem riticular comatose permanen
 Pada perubahan tingkat kesadaran:
- Respirasi: dapat normal/periodik/cepat
- Pupil: simetris konstriksi dan reaktif
- Kerusakan pada batang otak bagian atas pupil abnormal
- Gerakan bola mata: tidak ada
I. Penatalaksanaan
a. Perawatan emergensi
1) Primary survey
 Nilai tingkat kesadaran
 Lakukan penilaian ABC
A – Airway : kaji apakah ada muntah, perdarahan, benda asing dalam mulut
B – Breathing : kaji kemampuan bernapas, peningkatan PCO2 akan
memperburuk edema serebri
C – Circulation : nilai denyut nadi dan perdarahan
 Imobilisasi kepala atau leher dengan coller neck atau alat lain dipertahankan
sampai x-ray membuktindakan tidak ada fraktur cervical
2) Intervensi primer
a) Buka jalan nafas dengan tehnik “jaw-thrust” – kepala jangan ditekuk, isap lendir
kalu perlu

8
b) Beri O2 4-6 liter/menit untuk mencegah anoksia serebri
c) Hiperventilasi 20 – 25 x/m meningkatkan vasokontriksi pembukuh darah otak
sehingga edema serebri menurun
d) Control perdarahan, jangan beri tekanan pada luka perdarahan di kepala, tutup
saja dengan kassa, diplester. Jangan berusaha menghentikan aliran darah dari
lubang telinga atau hidung dengan menyumbat/menutup lubang tersebut.
e) Pasang infus
3) Secondary survey
a) Kaji rwayat trauma
 Mekanisme trauma
 Posisi klien saat ditemukan
 Memori
b) Tingkat kesadaran
 Nilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
c) Ukur tanda – tanda vital
 Hipertensi dan bradikardia menandakan peningkatan TIK
 Nadi irregular atau cepet menandakan distrimia jantung
 Apnea, perubahan pola napas terdapat pada cedera kepala
 Suhu meningkat dihubungkan dengan heat injuri (trauma panas)
d) Respon pupil, apakah simetris atau tidak
e) Gangguan penglihatan
f) Sunken eyes (mata terdorong kedalam) : satu atau keduanya
g) Aktivitas kejang
h) Tanda Battle’s yaitu “blush discoloration” atau memar dibelakang telinga
(mastoid) menandakan adanyan fraktur dasar tengkorak
i) Rinorea atau otorea menandakan kebocoran CSF
j) Periorbital ecchymosis akan ditemukan pada fraktur anterior basilar
b. Penatalaksanaan jalan nafas dan proteksi spinal cord
Pasien dengan kepala, leher, atau trauma wajah juga diduga mengalami trauma
tulang belakang, maka pencegahan trauma tulang belakang harus dipertahankan
melalui periode pengkajian awal sampai perkembangan trauma dapat dipastikan. Jalan
nafas harus dipertahankan tanpa hiperekstensi. Tehnik jaw-thrust dan maneuver chin-
lift direkomendasikan untuk mempertahankan jalan nafas, dan pernapasan mungkin

9
memerlukan bantuan awal dengan suatu unit bag-valve-mask, sejak kekurangan
oksigen berkontribusi pada edema serebral. Otak mempunyai kemampuan
menyimpan supali oksigen dalam waktu singkat (misalnya sekitar 10 detik), sehingga
kebutuhan metabolic jaringan vital menderita pada saat kurangnya ventilasi dan
perfusi. Pasien trauma kepala serius harus inventilasi dengan oksigen tambahan (10-
12 L/menit) dengan pernapasan 24 x/m. jika pasien tidak sadar, nilai normal Analisa
gas darah harus diperhitungkan dan intubasiendotrakeal (ET) mungkin diberikan.
Perawatan diberikan untuk memastikan plester atau alat yang dignakan lain terpasang
dengan tube ET tidak melintang atau menekan area jugularis, yang mungkin
menghambat aliran vena dari kepala. Sedasi dan analgetik narkotika mungkin
digunakan dalam intubasi pasien untuk mengontrol stimulasi letal, yang dapat
meningkatkan tekanan intra kranial. Agen neuromuscular-blocking juga mungkin
diberikan untuk mencegah peningkatan tekanan vena yang berhubungan dengan efek
Valsava yang mengimbang pemberian ventilator.
Hiperkarbia adalah suatu vasodilator serebral yang efektif. Pengontrolan
hierventilasi harus dipertahankan jika seseorang diduga tinggi TIK. Tujuan akhir
adalah mempertahankan tekanan parsial oksigen (PO2) lebih dari 70 mmHg dan
PaCO2 antara 25 dan 30 mmHg, yang menyebabkan vasokontriksi, sehingga
menurunkan volume darah serebral. Nilai PCO2 sebaiknya tidak rendah terus –
menerus, akan tetapi, sejak vasokontriksi ekstrim dapat menyebabkan baik iskemia
atau infrak serebral. Kadar Ph seharusnya antara 7.50 – 7.55. sejak edema paru
neurogenic dapat menginduksi perpindahan caian ke jaringan sirkulasi bertekanan
rendah seperti penampang paru selama stimulasi simpatis massif setelah trauma,
status pernapasan harus secara ketat diobservasi.
Ancaman muntah dan aspirasi selalu muncul setelah trauma. Intubasi
nasogastric (NG) awal dan dekompresi adalah penting untuk mencegah hal diatas,
yang dapat memperburuk TIK. Jika terdapat trauma wajah yang dapat menggangu
konfigurasi tulang pada saluran nafas atas (contoh nasal, orbital, atau fraktur
maxillary mandibular), alat pelindung harus digunakan untuk mencegah kemungkinan
trauma otak iatrogenic lebih lanjut dari pemasangan NGT, yang dapat masuk kedalam
ruang cranium melalui suatu fraktur cribriform plate. Jika terdapat adanya kebocoran
cairan CSF dari hidung (rhinorrhea) atau dari telinga ( otorrhea, atau
hemotympanum), terdaat kecenderungan suatu fraktur tulang tengkorak basal atau
frotal, membuat suatu komunikasi langsung dari struktur jalan napas atas ke otak.

10
Aliran CSF tersebut seharusnya tidak dihambat dengan cara apapun. Kadang – kadang
psien akan mengeluh “terasa garam” dalam mulut atau tenggorokan, diperirakan
kebocoran cairan CSF. Sution harus dihindari, sejak ini meningkatkan TIK dan
mungkin suatu alat untuk memasukan mikroorganisme kedalm otak melalui penetrasi
pada meningen. Monitoring TIK adalah suatu tehnik yang berguna untuk mengetahui
elevasi TIK.

c. Tanda – tanda Vital


Tanda – tanda vital seharusnya secara teratur harus diukur, sejak tanda – tanda
vital mungkin memberikan petunjuk adanya perkemangan syok sebaiknya ada
peningkatan TIK. Montoring harus dilakukan untuk pengukuran oksimetri,
pembacaan EKG, dan tekanan darah, dan untuk pengkajian suhu konstan.
1) Tekanan Darah

Tekanan darah dan nadi aslinya adalah stabil pada awal periode setelah trauma

kepala, tetapi ketika tekanan perfusi cerebral menjadi terancam, karena berbagai

sebab, reseptor pressor dalam pusat vasomotor medulla terstimulasi untuk menaikan

tekanan darah. Elevasi tekanan darah dan pelebaran tekanan nadi adalah refleksi

proses iskemik mempengaruhi medulla peningkatan TIK, atau disebabkan miokardial

dalam banyak kasus. Tekanan darah rendah tidaklah spesifik pada neorulogi sampai

kematian dapat terjadi segera.

2) Nadi

Nadi biasanya lambat dan terikat hubungannya dengan trauma kepala mayor.

Jika bradikardia muncul, ini mendorong penekanan pada batang otak, suatu massa

dalam fossa posterior, atau suatu trauma spinal, diaman jalur simpatis asendens

terputus. Dalam kasus-kasus peningkatan TIK yang berat, nadi melambat dan penuh,

kadang kala 40-50 bpm. Adanya tachikardia menimbulkan hipotensi membutuhkan

resusitasi volume. Nadi yang cepat, tidak beraturan mungkin mengikuti dekompensasi

11
TIK terminal. Disritmia terjadi pada pasien dengan darah dalam CSF dan

berhubungan dengan otot tertentu, seperti yang melibatkan fossa posterior.

3) Suhu

Suhu mungkin berguna dalam pengkajian koma, sejak pasien-pasien dengan

masalah-masalah metabolic mungkin dapat meningkat atau menurun dari normal yang

dimediasi oleh hipotalamus. Rupture anerisma ventricular dan infeksi tertentu dari

sistim saraf pusat yang diikuti dengan peningkatan suhu. Akan tetapi, pada trauma

kepala yang akut, suhu mungkin berfluktuasi dan mungkin mengalami baik

hipotermia atau hipertermia.

4) Pernafasan

Pola pernafasan mungkin sangat menolong pada pengkajian pasien trauma

kepala.

Pernafasan cheyne-stokes dikarakteristikan dengan peningkatan dan

penurunan kedalaman ekspursi diikuti dengan suatu periode apnea. Pola yang dipicu

karena peninggian sensitifitas medulla terhadap karbondioksida. Fase apnea

berhubungan dengan penurunan stimuasi dari hemisfer cerebral. Pernafasan cheyne-

stokes berhubungan dengan perdarahan kedalam ganglia basalis, kondisi yang

mendorong tekanan pada pusat pernafasan medullris, lesi hemisfer bilateral dala

cerebrum, atau suatu disfungsi cerebrum, otak tengan, pons atas. Hipertensi

ensepalopati dapat juga meningkatkan fenomena ini.

Hiperventilasi neurogenic pusat adalah hiperventilasi berkelanjutan pada RR

40-50 x/menit; ini mungkin terjadi pada infark pons atau akibat dari lesi di pons

(seperti Hematoma cerebral). Ini juga mungkin diikuti lesi hipotalamus-otak tengan

dan beberapa metabolic yang menyebabkan tingkat kesadaran, seperti ketoasidosis

12
diabetikum, asidosis laktat dari banyak penyebab, atau uremia. Dalam hal konfirmasi

pola nafas ini, pasien harus mempunyai PaO2 > 70 mmHg untuk setidaknya 24 jam.

Pernafasan apneustik (misalnya pernafasan dalam yang cepat diikuti dengan 2-

3 detik pause) menunjukan kerusakan struktur pada pusat kontrol pernafasan

dipertengahan sampai bawah pons, biasanya akan menunjukan kematian yang akan

segera terjadi.

Pernafasan cluster suatu pola pernafasan irregular dengan interval apnea

irregular. Ini berhubungan dengan lesi bawah pons atau medulla atau atas medulla.

Pernafasan attaksik sama dengan Pernafasan cheyne-stokes kecuali bahwa

periode apnea ireeguler. Pernafasan attaksik menunjukan kerusakan medullar atau

peningkatan tekanan dalam fossa posterior. Perdarahan cerebral dan meningitis berat,

juga meningkatkan terjadinya pernafasan attaksik.

5) Parameter monitor lainnya

Reflex dan system motoric juga harus secara berseri dievaluasi sejalan dengan

kelanjutan pengkajian motoric, kedua sisi harusdi tes dan dibandingkan. Postur

abnormal harus dicatat.

Tanda peningkatan TIK harus dicatat yaitu termasuk :

 Sakit kepala

 Muntah proyektil

 Deviasi mata kesisi lesi

 Perubahan kekuatan atau tonus otot

 Kejang

 Peningkatan tekanan darah dan penurunan tekanan nadi

 Perubahan pernafasan

 Tachycardia

13
 Postur abnormal (contoh deserebrasi atau dekontrikasi)

Asuhan keperawatan trauma kepala

1) gangguan rasa nyaman : nyri local berhubungan dengan adanya edema serebral dan

hipoksia

kriteria :

 pasien tidak mengeluh nyeri

 hematom dan pembengkakan hilang/berkurang

 pasien dapat beristirahat dengan tenang

rencana tindakan :

 kaji tipe, lokasi, dan durasi nyeri

 kaji perubahan intensitas nyeri

 observasi perubahan perilaku terhadap perasaan tidak nyaman

 batasi pergerakan pada daerah yang cedera

 berikan kompres dingin pada lokasi cedera

 jelaskan patofisiologi terjadinya rasa nyeri akibat dari cedera

 ajarkan tehnik relaksasi

 kerjasama dengan tim kesehatan : pemberian obat-obat penghilang rasa nyeri

2) gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan edema serebral dan hipoksia

kriteria :

 kesadaran mulai membaik

 pasien dapat mengingat kejadian sebelumnya

 TTV dalam batas normal

14
 Pengisisan kapiler 3-5 detik tidak ada pucat dan sianosis

Rencana tindakan :

 Identifikasi penyebab penurunan perfusi serebral

 Observasi tanda-tanda vital tiap 1 jam

 Observasi pupil, pernapasan

 Berikan kompres dingin bila terjadi peningkatan suhu

 Observasi intake dan output, awasi intake tidak lebih dari 800 cc per 24 jam

 Tinggikan bagian kepala 15-45 derajat untuk mendorong drainage vena dan

mengurangi bendungan pada serebral

 Anjurkan pasien bedrest total

 Kerjasama dengan tim kesehatan :

 Pemberian oksigen tambahan

 Pembrian kortikosteroid untuk mengurangi edema

 Pemberian Adona Ac 17 untuk memperkuat dinding pembuluh darah

3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuh tubuh berhubungan dengan perubahan

fungsi neurologis dan stress injuri

Kriteria Hasil :

 Serum albumin dalam batas normal

 Makanan dihabiskan oleh klien

Rencana tindakan :

 Nilai pristaltik usus

 Kaji tanda-tanda mual/ muntah

 Cek residu/ isi lambung dengan memasang NGT

 Beri makanan lunak kalau perlu makanan cair/ sonde

 Bila pasien puasa, kolaborasi untuk pemberian nutrisi per parenteral.

15
Trauma Medulla Spinalis

A. Pengertian
Kebanyakan injuri medulla spinalis terjadi dari trauma dan biasanya
dihubungkan dengan hilangnya fungsi secara menyeluruh dibwah level injuri. Faktor
– factor risiko termasuk kurangnya praktek pengamanan saat mengemudi, menyelam
dalam air yang dangkal, dan aktivitas olahraga lainnya. Kerusakannya mungkin
berhubungan dengan tumor, abses, dan kondisi patologis spinal lainnya, seperti
malformasi kongenital atau arthritis.
Trauma medulla spinalis complete mengacu pada transeksi medulla baik
dalam bentuk trauma retakan, kontusio perdarahan, atau robekan pada parenkim
medulla. Injuri komplit berhubungan dengan kehilangan total seluruh fungsi motorik
dan sensorik dibawah level injuri dan adanyan kerusakan medulla spinalis
irreversible. Injuri tulang servikal berhubungan dengan adanya hilangnya fungsi
motoric pada ekstermitas atas dan bawah (quadriplegia), dimana injuri dibawah juncta
cervicothoraric mempengaruhi hanya ekstermitas bawah (paraplegia).
Trauma medulla spinalis incomplete dimanifestasikan dengan aneka derajat
kehilangan motoric dan sensorik.
Syok spinal adalah salah satu keadaan yang dikarakteristikan dengan areflexia
dan flaccid paralysis yang terjadi segera setelah trauma. Hilangnya fungsi reflex dan
sensori motoric dan otonom dibawah level injuri sementara dan mungkin bertahan
sampai beberapa jam sampai beberapa minggu. Adanya gerakan spastik involunter
mengindikasikan bahwa syok spinal telah berakhir.
Syok neurogenic adalah suatu sindrom yang dikarakteristikan dengan
hipotensi dan bradikardia. Ini dapat terjadi pada pasien trauma tulang servikal.
Perubahan hemodinamik terjadi dari terputusnya system saraf otonom dimana
terdapat kehilangan aliran simpatis.

B. Patofisiologi
Mekanisme Trauma

16
Ketika adanya kekuatan yang mendorong medulla spinalis, kerusakan terjadi
pada deficit neurologis. Sumber kekuatan termasuk trauma kolumna vertebra (fraktur,
dislokasi, dan sublukasi) atau trauma penetrasi (luka tembak atau tusukan). Walaupun
pada beberapa kasus medulla ini mungkin tidak rusak, pada lain waktu medulla
mengalami proses kerusakan disebabkan oleh kontusio, kompresi, atau komosio.
Penyebab trauma medulla spinalis dapat dibagi menjadi mekanisme trauma
primer dan sekunder (Okonkwo, 2003, dikutip dari Ignatavicius, 2006). Empat
mekanisme primer yang mungkin menyebabkan suatu trauma medulla spinalis :
hiperfleksi, hiperekstensi, axial loading (kompresi vertical), dan rotasi total trauma
penetrasi pada medulla mungkin juga terjadi.
Suatu trauma hiperfleksi terjadi ketika kepala tiba – tiba dan dengan kekuatan
penuh terakselerasi kedepan, menyebabkan fleksi ekstrim pada leher. Tipe trauma ini
kadang terjadi pada tubrukan kepala dan kecelakaan mengemudi. Trauma fleksi pada
thorak bawah dan lumbal spinal mungkin juga terjadi ketika leher tiba – tiba terfleksi
dengan sendirinya seperti yang terjadi pada keadaan jatuh terduduk. Ligament
posterior terengang atau sobek, atau vertebra mungkin fraktur atau dislokasi. Proses
lain yang menggangu integritas medulla spinalis, menyebabkan perdarahan, edema,
dan nekrosis.
Trauma hiperekstensi terjaid lebih sering pada kecelakaan kendaraan dimana
kendaraan klien ditabrak dari belakang atau saat jatuh ketika dagu kien ditabrak dari
belakang atau saat jatuh ketika dagu klien terantuk. Kepala tiba – tiba terakselerasi
dan lalu terdeselerasi. Peregangan ini atau robekan ligament kongitudinal anterior,
fraktur atau sublukasi vertebra, dan mungkin ruptur disk intevertebra. Seperti trauma
fleksi, medulla spinalis mungkin mudah rusak.
Kecelakaan meyelam, jatuh terduduk, atau melompat dimana klien mendarat
pada kakinya dapat menyebabkan banyak trauma yang berkaitan dengan axial loading
(kompresi vertical). Sentakan kea rah atas kepala menyebabkan vertebra hancur
berkeping – keping. Pecahan tulang masuk ke kanal spinal dan merusak medulla.
Trauma rotasi disebabkan karena terputarnya kepala melebihi batas putaran
normal.
Trauma penetrasi ke medulla spinalis diklasifikasikan dengan kecepatan gerak
suatu benda (misalnya pisau atau peluru) menyebabkan trauma. Trauma – trauma
kecepatan rendah atau dampak lemah menyebabkan kerusakan langsung pada sisi atau
kerusakan lokal medulla spinalis atau saraf spinal. Kontaksinya, trauma kecepatan

17
tinggi yang terjadi dari luka tembak menyebabkan baik kerusakan langsung maupun
tidak langsung.
Trauma sekunder memperburuk trauma primer dan menyebabkan kematian.
Trauma sekunder termasuk dibawah ini :
a. Syok neurogenic
b. Gangguan vaskuler
c. Perdarahan
d. Iskemia
e. Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit

Medulla spinalis mungkin mengalami kontusio, laserasi, atau kompresi yang


diakibatkan oleh trauma. Perdarahan petekie pada are sentral abu – abu, dan kemudian
ke area putih, dapat disebabkan oleh suatu kontusio atau laserasi pada medulla
spinalis. Edema medulla spinalis terjadi sebagai akibat dari kompresi medulla karena
perdarahan, fragmen tulang, atau laserasi. Nekrosis pada medulla spinalis terjadi dari
sirkulasi kapiler dan aliran balik vena yan terhambat.

C. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala tergantung pada tingkatan dan derajat trauma
Lesi Medulla Spinalis Incomplate dan Hubungannya dengan Kehilangan Fungsi Akut
a. Sindrom Medulla Anterior
Sindrom medulla anterior disebabkan oleh kerusakan atau adanya infark pada
2/3 medulla spinaslis anterior. Injuri hiperfleksi pada tulang servikal mungkin
menyebabkan fragmen tulang, atau material disk kolaps atau menekan arteri
spinal anterior, yang mensuplai 2/3 medulla anterior.
Presentasi pasien :
1. Hilangnya fungsi spinotalamus (control nyeri dan suhu) dibawah tingkat lesi
2. Paralisis complete dibawah tingkat injuri
3. Fungsi kolum posterior terpisah (posisi, tekanan, vibrasi dan sensasi sentuhan
lembut)
4. Hiperestesia (sensitive yang tidak biasa pada suatu stimulus sensorik) dan
hipalgesia (berkurangnya sensasi nyeri) dibawah tingkat injuri
b. Sindrom Medulla Spinalis
Sindrom ini disebabkan oleh kerusakn atau edema pada bagian tengah medulla
spinalis pada area servikal. Terjepitnya medulla, dimana permukaan medulla

18
terpisah. Pola ini biasanya berhubungan dengan arthritis atau osteopitis
degenerative yang terjadi pada vertebra servika. Injuri hiperekstensi dapat
menyebabkan bengkok pada ligamentum flavum.
Persentasi padien :
1. Hilangnya motoric ekstermitas atas lebih besar dari pada ekstermitas bawah
dan lebih ditemukan pada tangan dan jari – jari
2. Fungsi kaki biasnaya melemah
3. Hilangnya sensorik pada ekstermitas atas lebih besar dari pada ekstermitas
bawah dan lebih ditemukan pada tangan dan jari – jari
4. Masalah buang aiar besar atau buang air kecil mungkin ditemukan, mungkin
juga tidak
c. Sindrom Medulla Posterior
Sindrom medulla posterior adalah suatu kondisi yang terjadi dimana bagian
posterior ketiga medulla spinalis terkena. Biasanya disebabkan oleh injuri
hiperekstensi atau mekanisme penetrasi langsung, seperti luka tusukan pisau.
Persentasi pasien :
1. Hilangnya rasa vibrasi dan sentuhan ringan dibawah tingkat injuri
2. Penurunan fungsi motoric, rasa nyeri, dan suhu
d. Sindrom Brown-Sequard
Sindrom brown sequard disebabkan oleh transverse hemisection pada medulla.
Kerusakan hanya pada satu sisi medulla dan biasanya dihubungkan dengan injuri
penetrasi, hernia disk, atau fragmen tulang.
Persentasi pasien
1. Hilangnya sensasi vibrasi dan sentuhan lembut pada sisi tubuh yang sama
(ipsilateral) dibawah tingkat injuri
2. Hilangnya fungsi motrik pada sisi tubuh yang sama (ipsilateral) dibawah
tingkat injuri
3. Hilangnya sensasi nyeri dan suhu pada sisi tubuh yang berlawanan
(kontralateral) dibawah tingkat injuri
e. Sindrom Horner
Sindrom ini disebabkan oleh transeksi sebagian medulla pada T1 atau
diatsnya. Lesi preganglionic sympathetic trunk atau neuron simpatis
postganglionic dari ganglion servikal superior yang menyebabkan sindrom ini.
Persentasi pasien

19
1. Pupil pada sisi yang sama (ipsilateral) dari injuri menjadi mengecil (miosis)
dari pupil yang berseberangan
2. Bolamata ipsilateral tenggelam (enophthalamus) dan mempengaruhi jatuhnya
kelopak mata (ptosis)
3. Sisi ipsilateral wajah tidak berkeringat (anhidrosis)
4. Kesulitan berbicara atau serak (disfonia) mungkin terjadi dengan sprain
hiperekstensi yang juga menyebabkan injuri pada saraf laryngeal
D. Tanda – tanda vital
1. Syok neurgenik
2. Tekanan darah : hipotensi
3. Nadi : bradikardia
4. Suhu : hipotermia 35.5oC – 36.6oC
E. Pemeriksaan Diagnostik
Tidak ada tes diagnostic yang dilakukan, kombinasi test dan manifestasi klinis
mengkonfrimasi diagnose trauma vertebral dan atau trauma spinalis.
1. Radiografi Spinal
a. Radiografi spinal multiple mengkonfrimasikan tipe dan lokasi fraktur vertebra
b. Fraktur dan atau dislokasi dapat terjadi dalam segmen – segmen berbeda pada
20% psien trauma berat
c. Tumor, perubahan arthritik, dan abnormalitas kongenital mungkin
tervisualisasikan
2. Computed Tomography (CT Scan)
a. Mengvisualisasikan fraktur yang tidak terdeteksi dengan radiografi
b. Reflek terhubung dengan kanal spinal atau akar saraf dengan fragmen tulang
atau fraktur ekstensif
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
a. Mengidentifikasi perluasan kerusakan medulla spinalis, derajat kontusio
tulang
b. Mendemonstasikan adanya darah, edema, jaringan nekrotik, herniasi disk, atau
pertumbuhan tumor.
F. Penatalaksanaan Pasien Akut
1. Tujuan perawatan
a. Stabilisasikan tulang belakang dan mecegah trauma sekunder pada medulla :
1) Cervical collar atau brace

20
2) Traksi servikal dengan tongs
3) Halo brace
4) Tempat tidur kinetis
5) Kortikosteroid, seperti methylprednisolone (kontroversial)
6) Diuretic osmotic seperti mannitol (kontroversial)
7) Pembedahan : laminektomi dekompresi, reduksi terbuka atau tertutup dari
fratur, atau spinal fusion
b. Dukung fungsi kardiopulmoner :
1) Oksigen suplemen
2) Intubasi dan ventilasi mekanik
3) Tempat tidur kinetic
4) Infus kristaloid
5) Agen inotropin dna atau vasopressor
6) Atropin untuk bradikardia
c. Menurunkan atau mengurangi nyeri dan spasme otot :
1) Analgesik (contoh acetaminophen, kodein, morfin)
2) Relaksan otot (contoh diazepam, baclofen)
d. Menurunkan atau mencegah sekuel manifestasi klinis

G. Pengkajian
1) Primary Survey
 Airway
Pengkajian Jalan Nafas
 “Apa kabar?”, untuk mengetahui informasi kepatenan jalan nafas dan tingkat
kesadaran
 Looking : tanda-tanda hipoksia, trauma jelas yang ada jalan nafas
 Listening : suara nafas abnormal contoh Stridor
 Imobilisasi tulang belakang dengan hard collar atau imobilisasi yang dilakukan
dengan alas keras, panjang dan datar (long spine board)
 Oksigen tambahan (aliran rendah)
 Pemeliharaan kepatenan jalan nafas dengan : jaw thrust/ chin lift, oral airway,
suction

21
 Intubasi endotrakeal, indikasi : kebutuhan untuk menjaga kepatenan jalan nafas,
koreksi terhadap hipoksemia, trauma kepala berat, tingkat kesadaran yang
berubah-ubah, injuri traumatic mayor
 Breathing
 Identifikasi dan rawat injuri thorak mayor Pneumotorax (simple, terbuka, dan
tension), Haemopneumothorax, Fraktur iga, Fail Chest
 Jika hal diatas ada, perlu dipertimbangkan : trauma tracheobtanchial, trauma
jantung (kontusio atau temponade), kontusio pulmonar, terputusnya
aorta/esophageal, trauma diafragma
 Circulation dengan kontrol perdarahan
 Cek nadi dan iramanya
 Cek perfusi perifer
 Pasang infuse di dua vena untuk akses IV
 Kirimkan sample darah untuk persiapan transfuse
 Hipotensi merupakan tanda hipovolemia, waspada dengan ukur tekanan darah

 Disability
 Pengkajian awal neurologi dibatasi hanya pada tingkat kesadaran dengan
menggunakan skala AVPU :
A : Alert (waspada)
V : responds to Voice (respon terhadap suara)
P : responds to Pain (respon terhadap nyeri)
U : Unresponsive (tidak berespon)
 Observasi pupil
 Adanya perubahan pada AVPU menandakan perlunya pengkajian ulang Airway,
Breathing, dan Circulation
 Exposure
 Perlunya inspeksi keseluruhan tubuh pasien
 Selimuti klien untuk mengurangi kehilangan panas tubuh
 Pemasangan kateter Foley
 Pemasangan NGT (Naso Gastric Tube)
 Pemasangan monitor jantung atau EKG

22
PENGKAJIAN MEDULLA SPINALIS

Tingkatan Fungsi Refleks


Innervasi
C-4 Pergerakan leher, pernafasan diafragmatik
C-5 Abduksi bahu Biseps (C5)
C5-6 Fleksi siku Brachioradialis (C6)
C7-8 Ekstensi siku Triseps (C7)
C6,7,8 Dorsifleksi pergelangan tangan
C8 Genggaman tangan
C6-8, T1 Ekstensi dan fleksi jari-jari
L2-4 Fleksi paha
L4-5, S1 Ekstensi paha
L2-4 Ekstensi lutut
L4-5, S1 Fleksi lutut Patellar (L4)
L5 Dorsifleksi kaki
S1 Plantar fleksi kaki

2) Secondary survey

 Anamesis dan mekanisme trauma, riwayat medis, identifikasi mencatat obat yang
diberikan kepada penderita sewaktu datang dan selama pemerikasaan dan
penatalaksanaan.
 Penilaian ulang tingkat kesadaran dan pupil, penilaian GCS , penilaian tulang
belakang (palpasi, nyeri, paralysis, parastesia, sensasi, fungsi motorik, refles tendon
dalam, pencatatan dan pemerikasaan ulang), evaluasi ulang akan adanya cedera
penyerta atau cedera tersembunyi.

Kotak 2

Panduan Umum Penderita dengan Cedera Servikal


1. Adanya paraparesis atau tetraparesis adalah bukti pendahuluan adanya instabilitas
servikal
2. Jika kondisi korban sadar atau habis mabuk sangat jarang terjadicederal servikal,
namun posisi harus dipertahankan dalam posisi netral , dan pakaian kolar untuk

23
curiga. Lakukan pemerikasaan palpasi daerah leher adakah rasa nyeri atau tidak, jika
ada rasa nyeri lakukan foto
3. Jangan sekali-kali mamaksakan menggerakan leher
4. Letakkan penderita di atas long spine board dengan terpasang kolar
5. Lakukakn foto servikalis untuk melihat adakah deformitas tulang, fraktur korpus atau
prosesus, hilangnya kesegarisan (alignment) aspek posterior korpus, jarak yang
meningkat antar beberapa prosesus spinosus, penyempitan kanalis vetebralis,
bayangan jarringan lunak yang melebar

H. Diagnosa Keperawatan
1) Resiko tinggi injuri
2) Kerusakan pertukaran gas
3) Risiko tinggi penurunan curah jantung
4) Tidak efektifnya pola nafas
5) Tidak efektifmya bersihan jalan nafas
6) Risiko tinggi perubahan proteksi
7) Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
8) Risiko tinggi perubahan proses keluarga

24
Asuhan Keperawatan Trauma Medulla Spinalis

1. Resiko tinggi injuri, berhubungan dengan fraktur, syok spinal, atau edema tulang

asendens

Kriteria Hasil :

 Disfungsi neurologis progresif tidak terjadi

 Peningkatan fungsis ensorik, motoric, dan refleks

Monitoring pasien :

Tekanan CVP dan PA mungkin digunakan untuk mengevaluasi status volume cairan;

baik overhidrasi dan dehidrasi keduanya dapat berpengaruh buruk terhadap sirkulasi

medulla spinalis.

Pengkajian fisik :

a. Kaji fungsi motoric dasar (kekuatan dan tonus) dan lakukan pengkajian

menyeluruh terhadap perubahan yng mungkin mengindikasikan peningkatan

edema medulla

b. Kaji tingkatan sensorik dasar (nyeri, sentuhan ringan, dan posisi indera) dan

catat tingkat sensasi pada tubuh pasien. Lakukan pengkajian menyeluruh

untuk mengkaji pemulihan atau keparahan. Juga catat keluhan parestesia

pasien (kebal atau kesemutan) pada ekstremitasnya.

c. Observasi untuk priapism, kanji tonus rectum, dan catat aktivitas reflex untuk

mengevaluasi penyebabs yok spinal dan/ atau kembalinya fungsi neurologis.

d. Kaji perkembangan sekuel manifestasi klinis pasien.

Pengkajian diagnostic :

Review seri radiografi untuk alignment spinal yang sesuai.

Penatalaksanaan pasien:

25
a. Pertahankan alignment leher sampai tongs atau halo ring terpasang: hindari

fleksi, ekstensi, ataur otasi leher.

b. Catat beratbeban yang diperlukan untuk realignment. Patikan bahwa beban

tergantung bebas dan tubuh dalam alignment yang sesuai untuk optimalisasi

traksi. Jika alignment vertebral leher tidak tepat, tambahan beban diberikan

pada tongs dan diikuti radiografis ervikal lateral sampai realignment tercapai.

Alignment tubuh yang sesui harus dipastikan, khususnya jika tempat tidur

kinetis digunakan.

c. Kortikosteroid, contoh methylprednisolone (kontroverisal), mungkin

diberikan. Umumnya, dosis blus diberikan selama 1 jam, diikuti oleh

infuskonstans elama 23 jam. Diuretik osmotic, seperti mannitol, mungkin

diberikan untuk mengurangi edemapadasisi trauma. Relaksan otot misalnya

diazepam, baclofen, dan analgesic misalnya acetaminophen, kodein,

ataumorfin, mungkin diberikan untuk mengurangi nyeri dan/ atau spasme otot

untuk memfasilitasi realignment spinal.

d. Antisipasi dekompresi pembedahan dan reduksi terbuk ajika alignment tidak

tercapai dengan reduksi tertutup

2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan hipoventilasi alveoli sekunder

terhadap paresis atau paralisis otot pernafasan (tidak efektifnya polanafas); dan

sekresi bronkial dan gangguan batuk (tidak efektifnya bersihan jalan nafas).

Kriteria hasil :

 Waspada dan orientasi

 O2 saturasi> 95%

 PaO2 80-100 mmHg

 PaCO2 35-45 mmHg

26
 VC: 15 ml/kg

 NIF >-30 cmH2O

 VT (Tidal Volume) > 5 ml/ kg

 RR 12-20 x/ menit

 Nadi 60-100 x/ menit

 Tekanan Darah sistolik 90-140 mmHg

 Paru- paru bersih saat auskultasi

Monitoring pasien :

a. Monitor berkelanjutan EKG, sejak hipoksemia adalah suatu factor resiko

untuk disritmia

b. Monitor berkelanjutan saturasi oksigen dengan pulse oxymetry (SpO2).

Monitor intervensi dan aktivitas pasien yang mungkin memperburuk saturasi

oksigen.

c. Monitor ventilasi spontan, usaha inspirasi negative, tidal volume, dan

kapasitas vital setiap 4-8 jam. Penurunan nilai menunjukkan hilangnya

kekuatan dan gerakan otot intercostal dan abdomen dan menjadi parameter

untuk memprediksi terjadinya segera gagal nafas yang memerlukan intubasi

dan ventilasi mekanik.

Pengkajianfisik :

a. Kaji RR, pola, penggunan otot-otot asesoris, dan kemampuan dan kekuatan

batuk per jam (ataulebihseringjikaterindikasi) untuk 24-48 jam pertama lalus

etiap 4 jam jika kondisi pasien tetap stabil. Inspeksi kesimetrisan ekspansi

dada dan untuk mengkaji kekuatan otot intercostal dan observasi area

epigastrium untuk mengkaji fungsi diafragma. Peningkatan kesulitan menelan

27
atau batuk mungkin mengindikasikan edema tulang asenden. Jika halo traksi

dilepas, cek apakah jaket fiberglass tidak menghambat usaha ventilasi.

b. Auskultasi seluruh area paru dan catat suara nafas setiap 2-4 jam. Waspada

untuk area dimana suara nafas tidak ada atau menurun atau perkembangan

bunyi adventitious (contoh krekels, ronchi). Hipoventilasi umum terjadi dan

memicu akumulasi secret, atelectasis, dan kemungkinan pneumonia.

c. Kaji untuk tanda distress pernafasan, misalnya keluhan pasien nafas dangkal

dan cepat, VC < 15 ml/ kg, dan perubahan sensorium

d. Auskultasi abdomen dalam keempat kuadran untuk adanya bising usus. Ukur

dan catat penampang abdomen setiap 4-8 jam, sejak ileus paralitik dan distensi

abdomen dapat mengganggu pernafasan dan potensial resiko aspirasi.

e. Kaji pasien untuk perkembangan sekuel manifestasi klinis.

Pengkajian diagnostic :

a. Review serianalisa gas darah untuk keadekuatan pertukaran gas

b. Review seri radiografi dada untuk mengevaluasi kongesti paru dan

kemungkinan perkembangan atelectasis, konsolidasi, atau pneumonia.

c. Review abdomen datar (jika ada) jika distensi muncul

d. Review seri kadar Hb dan Ht untuk mendeteksi kemungkinan kehilangan

darah dari perdarahan internal. Kemampuan membawa oksigen dapat

memburuk karena kehilangan darah.

Penatalaksanaan pasien :

a. Kurangi factor-faktor yang dapat meningkatkan demam oksigen, seperti

demam dan kecemasan.

28
b. Jika injuri servikal terjadi, atau belum diketahui diagnosisnya, jangan

hiperekstensi leher pasien untuk intubasi oral- gunakan metoda jaw- thrust

untuk mencegah perluasan injuri servikal lebih lanjut.

c. Sekali trauma medulla spinalis terstabilitaskan, lakukan hyginene paru :

incentive spirometry, fisioterapi dada, dan rubah posisi setiap 2 jam.

Posisikan pasien untuk ekskursi dada yang efektif. Tempat tidur kinetis

mungkin digunakan untuk mendorong mobilisasi secret. Jika pasien tidak

dapat batuk efektif, secara manual bantu dengan menempatkan telapak tangan

dibawah diafragma (antara xiphoid dan umbilicus) dan dorong otot abdomen

saat pasien menghembuskan nafas

d. Berikan oksigen sesuai intruksi. Ventilasi mekanik mungkin dibutuhkan.

e. Suction secret pasien jika dibutuhkan. Hiperoksigenisasi paru pasien sebelum

melakukan suction dan batasi pemasukan kateter suction hanya 15 detik atau

kurang untuk menghindari periode desaturasi dan bradikardia.

Dokumentasikan kualitas dan kuantitas secret.

f. Cek kepatenan dan fungsi NGT setip 2-4 jam, sejak distensi abdominal dapat

mengganggu pernafasan diafragmatik

g. Ajarkan ROM pasif dan pasangkan stoking anti embolisme untuk

memfasilitasi venous returns dan penurunan resiko deep-vein-thrombosis

(DVT) dan emboli pilmonar. Terapi Heparin (kontroversial) mungkin jug

adigunakan.

3. Resiko tinggi penuruna curah jantung berhubungan dengan hipovolemia relative dan

bradikardia sekunder terhadap syok neurogenic/ spinal.

KriteriaHasil :

 Waspada dan orientasi

29
 Tekanan darah sistolik 90-140 mmHg

 Nadi 60-100 x/ menit

 CVP (Central Venous Pressure) 2-6 mmHg

 PAP (Pulmonary Artery Pressure) (Sistolik) 15-30 mmHg, (Diastolik) 5-15

mmHg

 PAWP (Pulmonary Artery Wedge Pressure) 4-12 mmHg

 CI (Cardiac index) 2.4-4.0 L/ menit/ m2

 SVR (Systemic Vascular Resistence) 900-1200 dynes/ detik/ cm-5

 Nadi peripheral kuatdansama

 Urine Output 30 ml/ jam atau 0.5- 1 ml/ kg BB/ jam

Monitoring klien

a. Monitor irama EKG dan perkembangan disritmia. Hipotermia mungkin

memperburuk bradikardia.

b. Monitor berkelanjutan tekanan darah( melalui kateter arterial jika mungkin)

sejak syok spinal atau dysreflexia otonom dapat menyebabkan perubahan

tekanan darah

c. Monitoring tekanan CVP dan PA (Pulmonary Artery) mungkin digunakan

untuk mengevaluasi status volume cairan. Kelebihan volume cairan dapat

menyebabkan edema paru. Pertahankan curah jantung dan ukur CI.

d. Ukur intake dan output per jam dan hitung volume balace cairan setiap

pargantian shift. Pengeluaran urine < 30 ml/ jam selama dua jam berturut-

turut mungkin menunjukkan adanya penurunan perfusi ginjal sekunder

terhadap penurunan curah jantung.

Pengkajian fisik

30
a. Kaji suhu permukaan kulit dan warna, capillary refill, dan nadi perifer sebagai

indicator curah jantung

b. Kaji tingkat kesadaran untuk mengevaluasi perfusi serebral; kepala terasa

ringan, perasaan ingin pingsan, atau pusing berputar mungkin terjadi dengan

suatu perubahan posisi pada pasien (hipotensi ortostatik).

c. Observasi untuk penampilan pergerakani nvolunter spastik, yang

mengindikasikan syok spinal telah berakhir dan berpotensial untuk munculnya

dysrelexiaotonom.

d. Kaji pasien untuk perkembangan sekuel manifestasi klinis.

Pengkajian diagnostic :

Tidak Ada

Penatalaksanaan pasien :

a. Optimalkan aliran balik vena atau penurunan resiko hipotensi dengan merubah

posisi pasien perlahan- lahan dan ajarkan latihan ROM pasif setiap dua jam.

Jika perlu, tinggalkan ekstremitas bawah untuk mensuporttekanan darah.

Gunakan stoking antiemboli, pelindungan sendi kaki, dan/ ataubalutan

abdomen (korset) saat pasien bangun dari tempat tidur.

b. Berikan infuskri staloid (Ringer lactate/ RL, D5 ½ normal saline) sesuai

instruksi untuk mempertahankan hidrasi dan sirkulasi volume dan untuk

mengontrol hipotensi ringan. Monitor adanya dehidrasi ringan atau

overhidrasi, sejak kedua kondisi tersebut dapat mempengaruhi sirkulasi spinal.

c. Dopamine atau dobutamin mungkin diberikan sesuai instruksi untuk

mensupporttekanan darah terkait dengan pengaruh aliran simpatis.

d. Berikan atropine sesuai dengan instruksi untuk menangani bradidisritmia.

31
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Trauma kepala terdiri dari trauma kulit kepala, tulang kranial dan otak. Klasifikasi

cedera kepala meliputi trauma kepala tertutup dan trauma kepala terbuka yang

diakibatkan oleh mekanisme cedera yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera

perlambatan (deselerasi).

Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema serebral, laserasi atau

hemorragi. Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma kepala menyebabkan

berkurangnya kemampuan autoregulasi pang pada akhirnya menyebabkan terjadinya

hiperemia (peningkatan volume darah dan PTIK).

B. Saran

Mahasiswa diharapkan supaya lebih bekerja sama dalam pembuatan makalah

asuhan keperawatan Trauma Kepala dan Trauma Medula Spinalis.

32
Daftar Pustaka

Cristianty, paula. 2009. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta: Transinfo Media

Oman, kethleen S. 2008. Panduan Belajar Emergansi. Jakarta: EGC

33

Anda mungkin juga menyukai