Anda di halaman 1dari 19

I.

PENDAHULUAN

Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen. Penyebab perforasi
gastrointestinal adalah : ulkus peptik, inflamasi divertikulum kolon sigmoid, kerusakan akibat
trauma, perubahan pada kasus penyakit Crohn, kolitis ulserasi, dan tumor ganas di sistem
gastrointestinal. Perforasi paling sering adalah akibat ulkus peptik lambung dan duodenum.
Perforasi dapat terjadi di rongga abdomen (perforatio libera) atau adesi kantung buatan
(perforatio tecta).5

Pada tahun 1799 gejala klinik ulkus perforasi dikenali untuk pertama kali, meskipun baru
pada tahun 1892, Ludwig Hensner, seorang Jerman, pertama kali melakukan tindaka bedah pada
ulkus peptik lambung. Pada tahun 1894, Henry Percy Dean melakukan tindakan bedah pada
ulkus perforasi usus kecil duodenum. Gastrektomi parsial, meskipun sudah dilaksanakan untuk
ulkus gaster perforasi dari awal 1892, tidak menjadi terapi populer sampai tahun 1940. Hal ini
karena dirasakan adanya rekurensi yang tinggi dari gejala-gejala setelah perbaikan sederhana.
Efek fisiologis vagotomi trunkal pada sekresi asam telah diketahui sejak awal abad 19, dan
pendekatan ini diperkenalkan sebagai terapi ulkus duodenum pada tahun 1940.5

Perkembangan selanjutnya terapi ulkus peptik adalah diperkenalkannya vagotomi selektif


tinggi pada akhir 1960. Namun, tidak ada satupun pencapaian ini yang terbukti berhasil, dan
beberapa komplikasi postoperatif, termasuk angka rekurensi ulkus yang tinggi, telah membatasi
penggunaan teknik-teknik ini. Akhir-akhir ini, pada pasien dengan perforasi gaster, penutupan
sederhana lebih umum dikerjakan daripada reseksi gaster.5

Perforasi terjadi apabila isi dari kantung masuk ke dalam kavum abdomen, sehingga
menyebabkan terjadinya peritonitis. Contohnya seperti pada kasus perforasi gaster atau perforasi
duodenum.5

Selain itu, 10 – 15 % pasien yang didiagnosa divertikulitis akut akan berkembang


menjadi perforasi. Pasien biasanya akan datang ke tempat perawatan dengan gejala peritonitis
umum. Kadar mortalitas secara relatifnya tinggi yaitu hampir 20 – 40 %. Kebanyakkan
disebabkan oleh komplikasi seperti syok septik kegagalan multi organ.6
Kecederaan berkaitan usus yang disebabkan endoskopi (endoscopy-associated bowel
injuries) jarang menyebabkan terjadinya perforasi. Contohnya, perforasi yang berkaitan dengan
endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) terjadi pada 1 % pasien.6

II. PERFORASI

Perforasi akut mungkin merupakan gejala pertama daripada ulkus peptik dan kasus
mortilitas pada orang tua dapat mencapai sehingga 20 peratus. Tanda dan gejala klasik seperti
nyeri epigastrium yang berat, rigiditas seperti papan (board-like rigidity) serta adanya udara
bebas di bawah diafragma pada foto toraks, selalu mengarah kepada 80 peratus diagnosis pada
pasien. Namun, tidak semua kasus perforasi kelihatan jelas gejalanya (straightforward).7

Perforasi ke dalam bursa omental dapat memberikan gejala mirip dengan pancreatitis (di
mana pada kasus ini, kadar serum amilase dapat mengalami sedikit peningkatan karena absorpsi
cairan pancreas dari kavum peritoneum). Perforasi terutamanya sukar untuk didiagnosa pada
pasien yang menerima pengobatan steroid dosis tinggi, karena tanda dan gejala biasanya samar
(tidak pada gambaran radiologi).

Kadar mortilitas pada pasien dengan kasus perforasi mempunyai kaitan dengan
keterlambatan pengobatan. Diagnosis banding paling sering pada kasusu peritonitis dengan udara
di bawah diafragma adalah perforasi divertikulum pada kolon.7

III. ANATOMI LAMBUNG

Lambung merupakan bagian sistem gastrointestinal yang terletak di antara esofagus dan
duodenum. Dari hubungan anatomi topografik lambung-duodenum dengan hati, pankreas, dan
limpa, dapat diperkirakan bahwa tukak peptik akan mengalami perforasi ke rongga sekitarnya
secara bebas atau penetrasi ke dalam organ di dekatnya, bergantung pada letak tukak.2
Gambar 1.

Berdasarkan faalnya, lambung dibagi dalam dua bagian. Tiga perempat proksimal yang
terdiri dari fundus dan korpus, berfungsi sebagai penampung makanan yang ditelan serta tempat
produksi asam lambung dan pepsin, sedangkan dinding korpus, apalagi antrum, tebal, dan kuat
lapisan ototnya.2

Ciri yang cukup menonjol pada anatomi lambung adalah peredaran darahnya yang sangat
kaya dan berasal dari empat jurusan dengan pembuluh nadi besar di pinggir kurvatura mayor dan
minor serta dalam dinding lambung. Di belakang dan tepi madial duodenum, juga ditemukan
arteri besar (a.gastroduodenalis). Perdarahan hebat bisa terjadi karena erosi dinding arteri itu
pada tukak peptik lambung atau duodenum.2

Vena dari lambung duodenum bermuara ke vena porta. Peredaran vena ini kaya sekali
dengan hubungan kolateral ke organ yang ada hubungan embrional dengan lambung dan
duodenum. Saluran limf dari lambung juga cukup rumit. Semuanya akan berakhir di kelenjar
paraaorta dan preaorta di pangkal mesenterium embrional. Antara lambung dan pangkal
embrional itu terdapat kelenjar limfe yang letaknya tersebar di mana-mana akibat putaran
embrional.2
Gambar 2.

Persarafan simpatis lambung seperti biasa melalui serabut saraf yang menyertai arteri.
Impuls nyeri dihantarkan melalui serabut eferen saraf simpatis. Serabut parasimpatis berasal dari
n.vagus dan mengurus sel parietal di fundus dan korpus lambung. Nervus vagus anterior
(sinister) memberikan cabang ke kandung empedu, hati dan antrum sebagai saraf Laterjet
anterior, sedangkan n.vagus posterior (dekstra) memberikan cabang ke ganglion seliakus untuk
visera lain di perut kan ke antrum sebagai saraf Laterjet posterior.2

Fisiologi lambung

Fungsi utama lambung adalah penerima makanan dan minuman, dikerjakan oleh fundus
dan korpus, dan penghancur dikerjakan oleh antrum, selain turut bekerja dalam pencernaan awal
berkat kerja kimiawi asam lambung dan pepsin.3

Motilitas
Fungsi lambung yang berkaitan dengan gerakan adalah penyimpanan dan pencampuran
makanan serta pengosongan lambung. Kemampuan lambung menampung makanan mencapai
1500 ml karena mampu menyesuaikan ukurannya dengan kenaikan tekanan intraluminal tanpa
peregangan dinding (relaksasi reseptif). Fungsi ini diatur oleh n.vagus dan hilang setelah
vagotomi. Ini antara lain yang mendasari turunnya kapasitas penampungan pada penderita tumor
lambung lanjut sehingga cepat kenyang.

Peristalsis terjadi bila lambung mengambang akibat adanya makanan dan minuman.
Kontraksi yang kuat pada antrum (dindingnya paling tebal) akan mencampur makanan dengan
enzim lambung, kemudian mengosongkannya ke duodenum secara bertahap. Daging tidak
berlemak, nasi, dan sayuran meninggalkan lambung dalam tiga jam, sedangkan makanan yang
tinggi lemak dapat bertahan di lambung 6-12 jam.3

Cairan lambung

Cairan lambung yang jumlahnya bervariasi antara 500-1500 ml/hari mengandung lendir,
pepsinogen, faktor intrinsik dan elektrolit, terutama larutan HCl. Sekresi basal cairan ini selalu
ada dalam jumlah sedikit. Produksi asam merupakan hal yang kompleks, namun secara
sederhana dibagi atas tiga fase perangsangan. Ketiga fase, yaitu fase sefalik, fase gastrik, dan
fase intestinal ini saling mempengaruhi dan berhubungan.3

Fase sefalik

Rangsang yang timbul akibat melihat, menghirup, merasakan, bahkan berpikir tentang makanan
akan meningkatkan produksi asam melalui aktivitas n.vagus.3

Fase gastrik
Distensi lambung akibat adanya makanan atau zat kimia, seperti kalsium, asam amino, dan
peptida dalam makanan akan merangsang produksi gastrin, refleks vagus, dan reflek kolinergik
intramural. Semua itu akan merangsang sel parietal untuk memproduksi asam lambung. 3

Fase intestinal

Hormon enterooksintin merangsang produksi asam lambung setelah makanan sampai di usus
halus. Seperti halnya proses sekresi dalam tubuh, cairan lambung bertindak sebagai penghambat
sekresinya sendiri berdasarkan prinsip umpan balik. Keasaman yang tinggi di daerah antrum
akan menghambat produksi gastrin oleh sel G sehingga sekresi fase gastrik akan berkurang. Pada
pH di bawah 2.5 produksi gastrin mulai dihambat.3

IV. PERFORASI GASTER

Pada orang dewasa, perforasi ulkus peptik adalah penyebab umum dari morbiditas dan
mortalitas akut abdomen sampai sekitar 30 tahun lalu. Angka kejadian menurun secara paralel
dengan penurunan umum dari prevalensi ulkus peptik. Ulkus duodenum 2-3 kali lebih sering dari
perforasi ulkus gaster. Sekitar satu pertiga perforasi gaster berkaitan dengan karsinoma gaster.1

Etiologi

Perforasi non-trauma, misalnya:

 akibat volvulus gaster karena overdistensi dan iskemia

 spontan pasa bayi baru lahir yang terimplikasi syok dan stress ulcer.

 Ingesti aspirin, anti inflamasi non steroid, dan steroid : terutama pada pasien usia lanjut.

 Adanya faktor predisposisi: termasuk ulkus peptik

 Perforasi oleh malignansi intraabdomen atau limfoma


 Benda asing (misalnya jarum pentul) dapat menyebabkan perforasi esofagus, gaster, atau
usus dengan infeksi intraabdomen, peritonitis, dan sepsis.

Perforasi trauma (tajam atau tumpul) misalnya:

 Trauma iatrogenik setelah pemasangan pipa nasogastrik saat endoskopi.

 Luka penetrasi ke dada bagian bawah atau abdomen (misalnya tusukan pisau)

 Trauma tumpul pada gaster : trauma seperti ini lebih umum pada anak daripada dewasa
dan termasuk trauma yang berhubungan dengan pemasangan alat, cedera gagang kemudi
sepeda, dan sindrom sabuk pengaman.

Ruptur lambung akan melepaskan udara dan kandungan lambung ke dalam peritoneum.
pasien akan menunjukkan rasa nyeri hebat, akut, disertai peritonitis. Dari radiologis, sejumlah
besar udara bebas akan tampak di peritoneum dan ligamentum falsiparum tampak dikelilingi
udara.4

V. PATOFISIOLOGI

Dalam keadaan normal, lambung relatif bersih dari bakteri dan mikroorganisme lain
karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi. Kebanyakan orang yang mengalami trauma
abdominal memiliki fungsi gaster normal dan tidak berada dalam resiko kontaminasi bakteri
setelah perforasi gaster.4

Namun, mereka yang sebelumnya sudah memiliki masalah gaster beresiko terhadap
kontaminasi peritoneal dengan perforasi gaster. Kebocoran cairan asam lambung ke rongga
peritoneal sering berakibat peritonitis kimia yang dalam. Jika kebocoran tidak ditutup dan
partikel makanan mencapai rongga peritoneal, peritonitis kimia bertahap menjadi peritonitis
bakterial. Pasien mungkin bebas gejala untuk beberapa jam antara peritonitis kimia awal sampai
peritonitis bakterial kemudian.4

Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang influks sel-sel inflamasi akut. Omentum
dan organ dalam cenderung untuk melokalisasi tempat inflamasi, membentuk flegmon (ini
biasanya terjadi pada perforasi usus besar). Hipoksia yang diakibatkan di area memfasilitasi
pertumbuhan bakteri anaerob dan menyebabkan pelemahan aktivitas bakterisid dari granulosit,
yang mengarah pada peningkatan aktivitas fagosit granulosit, degradasi sel, hipertonisitas cairan
membentuk abses, efek osmotik, mengalirnya lebih banyak cairan ke area abses, dan pembesaran
abses abdomen. Jika tidak diterapi, bakteremia, sepsis general, kegagalan multi organ, dan syok
dapat terjadi.4

VI. TANDA DAN GEJALA

Perforasi gaster akan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi
akan tampak kesakitan hebat, seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak, terutama
dirasakan di daerah epigastrium karena rangsang peritoneum oleh asam lambung, empedu
dan/atau enzim pankreas. Cairan lambung akan mengalir ke kelok parakolika kanan,
menimbulkan nyeri perut kanan bawah, kemudian menyebar ke seluruh perut menimbulkan nyeri
seluruh perut.4

Pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, fase ini disebut fase peritonitis kimia.
Adanya nyeri di bahu menunjukkan adanya rangsangan peritoneum di permukaan bawah
diafragma. Reaksi peritoneum berupa pengenceran zat asam yang merangsang itu akan
mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.4

Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan defans muskuler. Pekak hati bisa
hilang karena adanya udara bebas di bawah diafragma. Peristaltis usus menurun sampai
menghilang akibat kelumpuhan sementara usus. Bila telah terjadi peritonitis bakteria, suhu badan
penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi, dan penderita tampak letargik karena syok
toksik. Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan
pergeseran peritoneum dengan peritoneum.4

Nyeri subjektif dirasakan waktu penderita bergerak, seperti berjalan, bernapas,


menggerakkan badan, batuk, dan mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri ketika digerakkan
seperti pada saat palpasi, tekanan dilepaskan, colok dubur, tes psoas, dan tes obturator.4
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Sejalan dengan penemuan klinis, metode tambahan yang dapat dilakukan adalah foto
polos abdomen pada posisi berdiri, ultrasonografi dengan vesika urinaria penuh, CT-scan murni
dan CT-scan dengan kontras.

Jika temuan foto Rontgen dan ultrasonografi tidak jelas, sebaiknya jangan ragu untuk
menggunakan CT-scan, dengan pertimbangan metode ini dapat mendeteksi cairan dan jumlah
udara yang sangat sedikit sekali pun yang tidak terdeteksi oleh metode yang disebutkan
sebelumnya.

Radiologi

Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen. Isi yang keluar dari
perforasi dapat mengandung udara, cairan lambung dan duodenum, empedu, makanan, dan
bakteri. Udara bebas atau pneumoperitoneum terbentuk jika udara keluar dari sistem
gastrointestinal. Hal ini terjadi setelah perforasi lambung, bagian oral duodenum, dan usus besar.4

Gambar 3. Gambaran udara bebas pada foto toraks.


Pada kasus perforasi usus kecil, yang dalam keadaan normal tidak mengandung udara,
jumlah udara yang sangat kecil dilepaskan. Udara bebas terjadi di rongga peritoneum 20 menit
setelah perforasi.4

Manfaat penemuan dini dan pasti dari perforasi gaster sangat penting, karena keadaan ini
biasanya memerlukan intervensi bedah. Radiologis memiliki peran nyata dalam menolong ahli
bedah dalam memilih prosedur diagnostik dan untuk memutuskan apakah pasien perlu
dioperasi.4

Deteksi pneumoperitoneum minimal pada pasien dengan nyeri akut abdomen karena
perforasi gaster adalah tugas diagnostik yang paling penting dalam status kegawatdaruratan
abdomen. Seorang dokter yang berpengalaman, dengan menggunakan teknik radiologi, dapat
mendeteksi jumlah udara sebanyak 1 ml. dalam melakukannya, ia menggunakan teknik foto
abdomen klasik dalam posisi berdiri dan posisi lateral decubitus kiri.4

Untuk melihat udara bebas dan membuat interpretasi radiologi dapat dipercaya, kualitas
film pajanan dan posisi yang benar sangat penting. Setiap pasien harus mengambil posisi adekuat
10 menit sebelum pengambilan foto, maka, pada saat pengambilan udara bebas dapat mencapai
titik tertinggi di abdomen. Banyak peneliti menunjukkan kehadiran udara bebas dapat terlihat
pada 75-80% kasus. Udara bebas tampak pada posisi berdiri atau posisi decubitus lateral kiri.4

Pada kasus perforasi karena trauma, perforasi dapat tersembunyi dan tertutup oleh
kondisi bedah patologis lain. Posisi supine menunjukkan pneumoperitoneum pada hanya 56%
kasus. Sekitar 50% pasien menunjukkan kumpulan udara di abdomen atas kanan, lainnya adalah
subhepatika atau di ruang hepatorenal. Di sini dapat terlihat gambaran oval kecil atau linear.4

Gambaran udara bentuk segitiga kecil juga dapat tampak di antara lekukan usus.
Meskipun, paling sering terlihat dalam bentuk seperti kubah atau bentuk bulan setengah di
bawah diafragma pada posisi berdiri. Football sign menggambarkan adanya udara bebas di atas
kumpulan cairan di bagian tengah abdomen.4
Ultrasonografi
Ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan kondisi akut abdomen.
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi cairan bebas dengan berbagai densitas, yang pada
kasus ini adalah sangat tidak homogen karena terdapat kandungan lambung. Pemeriksaan ini
khususnya berharga untuk mendeteksi cairan bebas di pelvik kecil menggunakan teknik kandung
kemih penuh. Kebanyakan, ultrasonografi tidak dapat mendeteksi udara bebas.

CT Scan

CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk mendeteksi udara setelah
perforasi, bahkan jika udara tampak seperti gelembung dan saat pada foto rontgen murni
dinyatakan negatif. Oleh karena itu, CT scan sangat efisien untuk deteksi dini perforasi gaster.
Ketika melakukan pemeriksaan, kita perlu menyetel jendelanya agar dapat membedakan antara
lemak dengan udara, karena keduanya tampak sebagai area hipodens dengan densitas negatif.

Jendela untuk parenkim paru adalah yang terbaik untuk mengatasi masalah ini. Saat CT
scan dilakukan dalam posisi supine, gelembung udara pada CT scan terutama berlokasi di depan
bagian abdomen. Kita dapat melihat gelembung udara bergerak jika pasien setelah itu mengambil
posisi decubitus kiri. CT scan juga jauh lebih baik dalam mendeteksi kumpulan cairan di bursa
omentalis dan retroperitoneal. Walaupun sensitivitasnya tinggi, CT scan tidak selalu diperlukan
berkaitan dengan biaya yang tinggi dan efek radiasinya.

Jika kita menduga seseorang mengalami perforasi, dan udara bebas tidak terlihat pada
scan murni klasik, kita dapat menggunakan substansi kontras nonionik untuk membuktikan
keraguan kita. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan udara melalui pipa nasogastrik 10
menit sebelum scanning.

Cara kedua adalah dengan memberikan kontras yang dapat larut secara oral minimal 250
ml 5 menit sebelum scanning, yang membantu untuk menunjukkan kontras tapi bukan udara.
Komponen barium tidak dapat diberikan pada keadaan ini karena mereka dapat menyebabkan
pembentukkan granuloma dan adesi peritoneum. Beberapa penulis menyatakan bahwa CT scan
dapat memberi ketepatan sampai 95%.
VIII. PENATALAKSANAAN

Penderita yang lambungnya mengalami perforasi harus diperbaiki keadaan umumnya


sebelum operasi. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit, pemasangan pipa nasogastrik, dan
pemberian antibiotik mutlak diberikan.4

Jika gejala dan tanda-tanda peritonitis umum tidak ada, kebijakan nonoperatif mungkin
digunakan dengan terapi antibiotik langsung terhadap bakteri gram-negatif dan anaerob.

Tujuan dari terapi bedah adalah:


• Koreksi masalah anatomi yang mendasari
• Koreksi penyebab peritonitis
• Membuang setiap material asing di rongga peritoneum yang dapat menghambat fungsi leukosit
dan mendorong pertumbuhan bakteri (seperti darah, makanan, sekresi lambung).

Penatalaksaan tergantung penyakit yang mendasarinya. Intervensi bedah hampir selalu


dibutuhkan dalam bentuk laparotomi explorasi dan penutupan perforasi dan pencucian pada
rongga peritoneum (evacuasimedis). Terapi konservatif di indikasikan pada kasus pasien yang
nontoxic dan secara klinis keadaan umumnya stabil dan biasanya diberikan cairan intravena,
antibiotik, aspirasi NGT, dan dipuasakan pasiennya.

Laparotomi dilakukan segera setelah upaya suportif dikerjakan. Jahitan saja setelah eksisi
tukak yang perforasi belum mengatasi penyakit primernya, tetapi tindakan ini dianjurkan bila
keadaan umum kurang baik, penderita usia lanjut, dan terdapat peritonitis purulenta. Bila
keadaan memungkinkan, tambahan tindakan vagotomi dan antrektomi dianjurkan untuk
mencegah kekambuhan.
Terapi utama perforasi gastrointestinal adalah tindakan bedah. Terapi gawat darurat dalam
kasus perforasi gastrointestinal adalah:

 Pasang akses intravena (infuse). Berikan terapi cairan kristaloid pada pasien dengan
gejala klinis dehidrasi atau septikemia.8

 Jangan berikan apapun secara oral.8

 Berikan antibiotik secara intravena pada pasien dengan gejala septicemia. Berikan
antibiotik spectrum luas. Tujuan pemberian antibiotik adalah untuk eradikasi infeksi dan
mengurangkan komplikasi post operasi.8

Antibiotik

Antibiotik terbukti efektif dalam menurunkan kadar infeksi post operasi dan dapat
memperbaiki hasil akhir dari pasien dengan infeksi intra peritoneum dan septikemia. 8 Contoh
antibiotik yang diberikan adalah seperti:

Metronidazol

Dosis dewasa yang diberikan adalah 7,5 mg per kilogram. (7,5 KG/BB). Biasa diberikan
sebelum operasi. merupakan sejenis obat kategori B dalam kehamilan (pregnancy category B
drug).8

Gentamisin

Sejenis antiobiotik aminoglikosida. Regimen dosis yang diberikan adalah berbeda yaitu
tergantung kepada klirens kreatinin dan perubahan distribusi volume. Dapat diberikan secara
intravena atau intra muskular. Pada dewasa, dosis yang diberikan sebelum operasi adalah 2
mg/kg secara intravena. Merupakan obat kategori C dalam kehamilan (pregnancy category C
drug).8

Cefoprazone

Sefalosporin generasi ketiga yang menginhibisi sintesis dinding sel bakteri dengan
berikatan pada satu atau lebih penicillin-binding-protein. Dosis dewasa adalah 2 – 4 d per hari.
Juga merupakan sejenis obat kategori B dalam kehamilan (pregnancy category B drug).8
TERAPI BEDAH

Tujuan utama terapi bedah pada kasus perforasi gaster adalah seperti berikut:

 Koreksi masalah dasar secara anatomis.9

 Koreksi penyebab peritonitis.9

 Mengeluarkan sebarang materi asing pada ronga peritoneum yang dapat menginhibisi
fungsi sel darah putih dan menggalakkan pertumbuhan bakteri. Contohnya feses, sekresi
gaster dan darah.9

Preoperatif

 Koreksi sebarang ketidakseimbangan cairan atau elektrolit. Ganti kehilangan cairan


ekstraseluler dengan administrasi cairan Hartmann (Hartmann solution) atau sebarang
cairan yang mempunyai komposisi elektrolit sama seperti plasma.9

 Administrasi antiobiotik sistemik seperti ampisilin, gentamisin dan metronidazol.9

 Pasang kateter urin untuk menghitung output cairan.9

 Administrasi analgesik seperti morfin, dengan dosis kecil, dianjurkan secara infus
kontinu (continuous infusion).9

Intraoperatif

Manajemen operasi tergantung kepada kausa daripada perforasi. Semua materi nekrosis
dan cairan yang terkontaminasi harus dibuang dan diteruskan dengan lavase dengan antibiotic
(tetrasiklin 1 mg/mL). Usus yang mengalami distensi dikompres dengan nasogastric tube.10
Post operatif

 Menggantikan cairan secara intravena

Tujuannya adalah untuk menjaga volume intravascular dan hidrasi pasien. Dimonitor dengan
peritungan menggunakan CVP dan output urin.11

 Drainase nasogastric

Lakukan drainase nasogastric secara kontinu sehinggalah drainase minimal.11

 Antibiotik

Tujuan pemberian antibiotik pada post operasi adalah untuk mencapai kadar antibiotik pada
tempat infeksi yang melebihi konsentrasi inhibisi minimum pertumbuhan patogen. Pada infeksi
intra abdomen, fungsi gastrointestinal sering terhambat. Oleh kerana itu, pemberian antibiotic
secara oral tidak efektif dan dianjurkan pemberian secara intravena.11

 Analgesik

Analgesik seperti intravena morfin diberikan secara kontinu atau pada dosis kecil dengan
interval yang sering.11

X. PROGNOSIS

Apabila tindakan operasi dan pemberian antibiotik berspektrum luas cepat dilakukan
maka prognosisnya dubia ad bonam. Sedangkan bila diagnosis, tindakan, dan pemberian
antibiotik terlambat dilakukan maka prognosisnya menjadi dubia ad malam.12

Hasil terapi meningkat dengan diagnosis dan penatalaksanaan dini.12 Faktor-faktor


berikut akan meningkatkan resiko kematian:

• Usia lanjut
• Adanya penyakit yang mendasari sebelumnya
• Malnutrisi
• Timbulnya komplikasi
XI. KOMPLIKASI

Kegagalan luka operasi

Kegagalan luka operasi (kerusakan parsial atau total pada setiap lapisan luka operasi) dapat
terjadi segera atau lambat.13 Faktor-faktor berikut ini dihubungkan dengan kegagalan luka
operasi:

 Malnutrisi

 Sepsis

 Uremia

 Diabetes mellitus

 Terapi kortikosteroid

 Obesitas

 Batuk yang berat

 Hematoma (dengan atau tanpa infeksi)

 Abses abdominal terlokalisasi

 Kegagalan multiorgan dan syok septik

Syok septik

Septikemia adalah proliferasi bakteri dalam darah yang menimbulkan manifestasi sistemik,
seperti kekakuan, demam, hipotermi (pada septikemia gram negatif dengan endotoksemia),
leukositosis atau leukopenia (pada septikemia berat), takikardi, dan kolaps sirkuler.13

Syok septik dihubungkan dengan kombinasi hal-hal berikut:

 Hilangnya tonus vasomotor

 Peningkatan permeabilitas kapiler


 Depresi myokardial

 Pemakaian leukosit dan trombosit

 Penyebaran substansi vasoaktif kuat, seperti histamin, serotonin, dan prostaglandin,


menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler

 Aktivasi komplemen dan kerusakan endotel kapiler


XII. DAFTAR PUSTAKA

1. Wim De Jong, Sjamsuhidajat R. Perforasi. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke – 2. 2003.
Jakarta. 245.

2. Wim De Jong, Sjamsuhidajat R. Lambung dan Duodenum, Anatomi. Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi ke – 2. 2003. Jakarta. 643 – 644.

3. Wim De Jong, Sjamsuhidajat R. Lambung dan Duodenum, Fisiologi. Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi ke – 2. 2003. Jakarta. 644 – 645.

4. Wim De Jong, Sjamsuhidajat R. Lambung dan Duodenum. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi
ke – 2. 2003. Jakarta. 642 - 705.

5. Intestinal perforation. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/195537-


overview#a0103 pada 25 April 2013.

6. Epidemiology. Intestinal Perforation. Diunduh


http://emedicine.medscape.com/article/195537-overview#a0199 pada 25 April 2013.

7. Oxford Textbook Of Surgery, 2nd Edition. The Acute Abdomen.

8. Medical Therapy. Diunduh http://emedicine.medscape.com/article/195537-


treatment#a1127 pada 25 April 2013.

9. Preoperative Details. Diunduh http://emedicine.medscape.com/article/195537-


treatment#a1132 pada 25 April 2013.

10. Intra Operative Details. Diunduh http://emedicine.medscape.com/article/195537-


treatment#a1133 pada 25 April 2013.

11. Post Operative Details. Diunduh http://emedicine.medscape.com/article/195537-


treatment#a1134 pada 25 April 2013.

12. Outcome and Prognosis. Diunduh http://emedicine.medscape.com/article/195537-


treatment#a25 pada 25 April 2013.
13. Complications. Diunduh http://emedicine.medscape.com/article/195537-treatment#a17
pada 25 April 2013.

Anda mungkin juga menyukai