Anda di halaman 1dari 93

DRAFT

PROGRESS REPORT - 22 January 2017

COVER
SUMMA THEOLOGIAE
Oleh

St. Thomas Aquinas

i
Tentang Edisi Terjemahan Bahasa Indonesia

Penanggung Jawab : Tim Penerjemah Summa Theologiae Indonesia


Kontak : https://www.facebook.com/Summa.Theologiae.Indonesian

Tentang Sumber Terjemahan Bahasa Indonesia

Sumber Terjemahan : Summa Theologica by St. Thomas Aquinas


URL Sumber : http://www.ccel.org/ccel/aquinas/summa.html
Hak Cipta Sumber : Public Domain
Penerjemah Sumber : Fathers of the English Dominican Province

ii
DAFTAR ISI

Tentang Edisi Terjemahan Bahasa Indonesia ............................................................................. ii


DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... iii
BAGIAN SATU (PERTANYAAN 1 – 119) .....................................................................................1
RISALAH TENTANG DOKTRIN SUCI ..........................................................................................1
Pertanyaan 1 : Sifat dan Lingkup dari Doktrin Suci (sepuluh artikel) .............................. 1
Artikel 1 : Apakah, selain filsafat, doktrin apa pun lebih lanjut diperlukan? .................. 1
Artikel 2 : Apakah Doktrin Suci adalah Ilmu? ............................................................. 3
Artikel 3 : Apakah Doktrin Suci Terdiri dari Satu Ilmu? ................................................ 3
Artikel 4 : Apakah Doktrin Suci adalah Ilmu Praktis? .................................................. 4
Artikel 5: Apakah Doktrin Suci lebih Mulia dari Ilmu-ilmu Lainnya? ............................. 5
Artikel 6 : Apakah Doktrin Ini Sama dengan Kebijaksanaan? ..................................... 6
Artikel 7 : Apakah Allah adalah Obyek dari Ilmu ini? .................................................. 8
Artikel 8 : Apakah Doktrin Suci adalah Tentang Argumen? ........................................ 9
Artikel 9 : Apakah Tepat jika Kitab Suci Menggunakan Metafora? ........................... 11
Artikel 10 : Apakah dalam Kitab Suci Satu Kata mungkin Memiliki Beberapa
Makna? ..................................................................................................................... 12
RISALAH TENTANG SATU ALLAH ............................................................................................14
Pertanyaan 2 : Keberadaan Allah (Tiga Artikel) ............................................................ 14
Artikel 1: Apakah Keberadaan Allah Self-Evident?.................................................... 15
Artikel 2 : Apakah Dapat Ditunjukkan bahwa Allah Ada? ......................................... 17
Artikel 3 : Apakah Allah Ada?.................................................................................... 18
Pertanyaan 3 : Tentang Ketunggalan Allah (Delapan Artikel) ....................................... 22
Artikel 1 : Apakah Allah adalah Suatu Zat? ............................................................... 23
Artikel 2 : Apakah Allah Terdiri dari Materia dan Forma? .......................................... 25
Artikel 3 : Apakah Tuhan Sama dengan Esensi atau Hakikat-Nya? .......................... 26
Artikel 4 : Apakah dalam Allah Esensi dan Keberadaan adalah Sama? .................... 28
Artikel 5 : Apakah Allah Termasuk dalam Suatu Genus? .......................................... 29
Artikel 6 : Apakah dalam Allah Terdapat Aksiden?.................................................... 31
Artikel 7 : Apakah Allah Sepenuhnya Tunggal? ........................................................ 32
Artikel 8 : Apakah Allah Masuk ke Dalam Komposisi dengan Hal-hal Lain? .............. 33
Pertanyaan 4 : Kesempurnaan Allah (Tiga Artikel) ....................................................... 39
Artikel 1 : Apakah Allah Sempurna?.......................................................................... 40

iii
Artikel 2 : Apakah Kesempurnaan Segala Sesuatu Ada Dalam Allah ? ..................... 41
Artikel 3 : Apakah Ciptaan dapat Menyerupai Allah? ................................................ 43
Pertanyaan 5 : Tentang Hal Baik secara Umum (Enam Artikel).................................... 45
Artikel 1 : Apakah Hal Baik Berbeda dengan Keberadaan? ...................................... 45
Artikel 2 : Apakah Hal Baik Dalam Bentuk Gagasan Ada Lebih Dahulu daripada
Keberadaan? ............................................................................................................ 47
Artikel 3 : Apakah Setiap Keberadaan adalah Baik? ................................................. 49
Artikel 4 : Apakah Hal Baik Memiliki Aspek sebagai Suatu Final Cause? .................. 51
Artikel 5 : Apakah Esensi Hal Baik terdiri dari Moda, Species dan Urutan?............... 52
Artikel 6 : Apakah Hal Baik Secara Tepat Dibagi Menjadi Kebajikan*, Kegunaan
dan Kepuasan? (*Bonus honestum adalah kebaikan luhur yang dianggap
sebagai ketepatan) ................................................................................................... 54
Pertanyaan 6 : Kebaikan Allah (Empat Artikel) ............................................................. 56
Artikel 1 : Apakah Allah Baik ? .................................................................................. 56
Artikel 2 : Apakah Allah adalah Kebaikan Utama? .................................................... 57
Artikel 3 : Apakah Menjadi Secara Esensial Baik Hanya Bisa Terjadi Pada Allah
Saja? ........................................................................................................................ 58
Artikel 4 : Apakah Segala Sesuatu Menjadi Baik oleh Kebaikan Ilahi? ...................... 60
RISALAH TENTANG TRITUNGGAL MAHA KUDUS ...............................................................61
Pertanyaan 27 : Tentang Prosesi dari Pribadi-pribadi Ilahi ........................................... 61
Artikel 1 : Apakah Terdapat Prosesi dalam Allah? .................................................... 62
Artikel 2 : Apakah Ada Prosesi dalam Allah yang Bisa Disebut Memperanakkan?.... 64
Artikel 3 : Apakah Ada Prosesi Lain dalam Allah Selain Pemunculan
(Generation)? ........................................................................................................... 65
Artikel 4 : Apakah Prosesi Kasih dalam Allah adalah Pemunculan (Generation)? ..... 67
Artikel 5 : Apakah Ada Lebih Dari Dua Prosesi dalam Allah? .................................... 68
Pertanyaan 28 : Tentang Hubungan-hubungan Ilahi .................................................... 69
Artikel 1 : Apakah Ada Hubungan-hubungan Nyata di Dalam Allah? ........................ 69
Artikel 2 : Apakah Hubungan dalam Allah sama dengan Esensi-Nya?...................... 71
Artikel 3 : Apakah Hubungan-hubungan dalam Allah Sungguh Berbeda Satu
Sama Lain? .............................................................................................................. 74
Artikel 4 : Apakah dalam Allah Hanya Ada Empat Hubungan yang Nyata –
Paternity, Filiation, Spiration dan Procession? .......................................................... 75
Pertanyaan 29 : Tentang Pribadi-pribadi Ilahi ............................................................... 77
Artikel 1 : Definisi pribadi. ......................................................................................... 77
Artikel 2 : Apakah “Pribadi” Sama dengan Hypostasis, Subsistensi, dan Esensi? ..... 80
Artikel 3 : Apakah Kata “Pribadi” Tepat Diberikan pada Allah?.................................. 82

iv
Daftar Istilah ....................................................................................................................................85
Daftar Referensi ..............................................................................................................................87
Links .................................................................................................................................................88

v
BAGIAN SATU (PERTANYAAN 1 – 119)

RISALAH TENTANG DOKTRIN SUCI


(Pertanyaan 1)

Pertanyaan 1 : Sifat dan Lingkup dari Doktrin Suci (sepuluh artikel)

Untuk menempatkan tujuan kami dalam batas-batas yang tepat, kami pertama kali
berusaha untuk menyelidiki sifat dan tingkat doktrin suci ini. Mengenai ini ada
sepuluh poin penyelidikan:

1. Apakah Doktrin Suci diperlukan?


2. Apakah Doktrin Suci adalah ilmu?
3. Apakah Doktrin Suci ada satu atau banyak?
4. Apakah Doktrin Suci spekulatif atau praktis?
5. Bagaimana dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya?
6. Apakah Doktrin Suci adalah sama dengan kebijaksanaan?
7. Apakah pokok bahansannya adalah Allah?
8. Apakah Doktrin Suci adalah tentang argumen?
9. Apakah benar menggunakan metafora dan kiasan?
10. Apakah Kitab Suci menurut Doktrin ini dapat diuraikan secara berbeda
makna?

Artikel 1 : Apakah, selain filsafat, doktrin apa pun lebih lanjut


diperlukan?

Keberatan 1 : Tampaknya bahwa, selain ilmu filsafat, kita tidak membutuhkan


pengetahuan lebih lanjut. Karena manusia sebaiknya tidak berusaha untuk
mengetahui apa yang melebihi akalnya : "Janganlah menyelidiki hal-hal yang terlalu
tinggi untukmu" (Sir 3:22). Tapi apa saja yang tidak melampaui nalar telah dibahas
sepenuhnya dalam ilmu filsafat. Oleh karena itu pengetahuan lain selain ilmu filsafat
adalah berlebihan.

Keberatan 2: Lebih lanjut, pengetahuan hanya dapat dihubungkan dengan


keberadaan, karena tak ada yang diketahui, kecuali sesuatu itu nyata; dan segala
yang ada, adalah nyata. Tetapi segala sesuatu yang ada, telah dibahas dalam ilmu
filsafat---bahkan Allah sendiri; sehingga ada bagian dari ilmu filsafat yang disebut
teologi, atau Sains Ilahi, sebagaimana dibuktikan Aristoteles (Metaph. vi). Oleh
karena itu, selain ilmu filsafat, ada tidak perlu ada pengetahuan lebih lanjut.

1
Sebaliknya, Ada ditulis (2 Timotius 3: 16): "Seluruh Alkitab diilhami oleh Allah dan
menguntungkan untuk mengajar, untuk menegur, untuk memperbaiki, untuk
mengarahkan kepada keadilan." Sekarang Kitab Suci, diilhami oleh Allah, bukanlah
bagian dari ilmu filsafat, yang dibangun oleh akal manusia. Oleh karena itu sangat
berguna bahwa selain ilmu filsafat, ada pengetahuan lainnya, yaitu yang diilhami
oleh Allah.

Saya menjawab bahwa, Adalah perlu untuk keselamatan manusia bahwa harus
ada pengetahuan yang diungkapkan oleh Allah selain ilmu filsafat yang dibangun
oleh akal manusia. Pertama, memang, karena manusia diarahkan kepada Allah,
sebagai akhir yang melampaui pemahaman akalnya : " dan tidak ada mata yang
melihat seorang allah yang bertindak bagi orang yang menanti-nantikan dia" (Yes
64:4)). Tapi pertama-tama, akhir harus diketahui oleh orang-orang yang akan
mengarahkan pikiran dan tindakan menuju kepada akhir. Maka itu perlu bagi
keselamatan manusia bahwa kebenaran tertentu yang melebihi akal manusia harus
diberitahukan kepadanya oleh wahyu ilahi. Bahkan dalam hal kebenaran tentang
Allah yang dapat diketahui oleh akal manusia, tetap diperlukan bahwa orang harus
diajarkan oleh wahyu ilahi; karena kebenaran tentang Allah yang dapat diketahui
oleh akal manusia seperti itu, hanya akan dikenal oleh sedikit orang saja, setelah
waktu yang lama, dan dengan campuran banyak kekeliruan. Sedangkan seluruh
keselamatan manusia, yang adalah dalam Allah, tergantung pada pengetahuan
tentang kebenaran ini. Oleh karena itu, supaya keselamatan manusia dapat
disampaikan dengan lebih baik dan lebih pasti, adalah perlu bahwa mereka harus
diajarkan kebenaran ilahi oleh wahyu ilahi. Oleh karena itu perlu bahwa selain ilmu
filsafat yang dibangun melalui akal manusia, harus ada ilmu suci yang dipelajari
melalui pewahyuan.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Meskipun hal-hal tersebut yang berada di luar


pengetahuan manusia tidak boleh dicari oleh manusia melalui nalarnya sendiri,
namun, setelah mereka yang dinyatakan oleh Allah, mereka harus diterima melalui
iman. Maka teks Suci berlanjut, "karena hal-hal yang banyak hal ditunjukkan
kepadamu di atas pemahaman manusia" (Sir. 3: 25). Dalam di sinilah letak dari ilmu
suci.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Ilmu pengetahuan dibedakan menurut


berbagai sarana yang melaluinya pengetahuan dapat diperoleh. Astronom dan
fisikawan keduanya dapat membuktikan kesimpulan yang sama: bumi, misalnya,
adalah bulat: astronom melakukannya melalui matematika (yaitu melakukan
abstraksi dari benda), tapi fisikawan melakukannya melalui benda itu sendiri. Oleh
karena itu tidak ada alasan mengapa hal-hal yang dapat dipelajari dari ilmu filsafat,
sejauh mereka bisa diketahui dengan nalar alami, tidak boleh diajarkan pula melalui
ilmu lain sejauh mereka berada dalam pewahyuan. Maka teologi yang termasuk
dalam Doktrin Suci berbeda jenisnya dari teologi yang merupakan bagian dari ilmu
filsafat.

2
Artikel 2 : Apakah Doktrin Suci adalah Ilmu?

Keberatan 1 : Tampaknya bahwa Doktrin Suci bukanlah ilmu. Karena setiap ilmu
berasal dari prinsip-prinsip yang jelas. Tetapi Doktrin Suci adalah hasil dari artikel
iman yang tidak jelas, karena kebenarannya tidak diterima oleh semua orang : "
sebab bukan semua orang beroleh iman" (2 Tes. 3: 2). Oleh karena itu Doktrin Suci
bukanlah ilmu.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, ilmu tidak berkaitan dengan fakta-fakta individu. Tetapi
ilmu suci ini membicarakan fakta individu, seperti perbuatan Abraham, Ishak dan
Yakub dan lainnya yang serupa. Oleh karena itu Doktrin Suci bukanlah ilmu.

Sebaliknya, Agustinus mengatakan (De Trin. xiv, 1) "hanya pada ilmu inilah iman
yang menyelamatkan dilahirkan, dipelihara, dilindungi dan diperkuat." Tapi hal
tersebut tidak dapat dipenuhi oleh ilmu manapun kecuali Doktrin Suci. Oleh karena
itu Doktrin Suci adalah ilmu.

Aku menjawab bahwa, Doktrin Suci adalah ilmu. Kita harus mengingat bahwa ada
dua jenis ilmu. Ada beberapa yang lahir dari sebuah prinsip yang dikenal dalam
terang alami dari akal, seperti aritmetika, geometri, dan sejenisnya. Ada beberapa
yang lahir dari prinsip-prinsip yang telah diketahui oleh ilmu yang lebih tinggi: Jadi
ilmu perspektif lahir dari prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh geometri, dan musik
dari prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh aritmetika. Maka Doktrin Suci adalah ilmu
karena berasal dari prinsip-prinsip ditetapkan melalui terang ilmu yang lebih tinggi,
yaitu, ilmu Allah dan para kudus-Nya. Oleh karena itu, sama seperti musisi
menerima otoritas prinsip-prinsip yang diajarkan kepadanya oleh matematikawan,
maka Ilmu Suci didirikan di atas prinsip-prinsip yang diungkapkan oleh Allah.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Prinsip-prinsip ilmu adalah entah jelas dalam


diri mereka sendiri, atau dirunut dari ilmu yang lebih tinggi; dan hal seperti ini, seperti
yang telah kita katakan, adalah asas-asas dari Doktrin Suci.

Tanggapan terhadap Keberatan 2: Fakta-fakta individu dibicarakan dalam Doktrin


Suci, bukan karena hal tersebut terutama bersangkutan dengan mereka, tapi
mereka diperkenalkan lebih sebagai contoh untuk diikuti dalam kehidupan kita
(seperti dalam ilmu moral) dan untuk menegaskan kekuasaan orang-orang tersebut
yang melalui mereka wahyu ilahi, yang mana merupakan dasar dari Kitab Suci atau
doktrin ini, telah diturunkan kepada kita.

Artikel 3 : Apakah Doktrin Suci Terdiri dari Satu Ilmu?

Keberatan 1 : Tampaknya Doktrin Suci tidak hanya terdiri dari satu ilmu; karena
menurut Sang Filsuf (Poster. i) " satu ilmu membahas hanya satu kelas subjek." Tapi
pencipta dan ciptaan, yang keduanya dibicarakan dalam Doktrin Suci, tidak dapat
dikelompokkan bersama di bawah satu kelas subjek. Oleh karena itu Doktrin Suci
tidak hanya terdiri dari satu ilmu.

3
Keberatan 2 : Lebih jauh lagi, dalam Doktrin Suci kita membicarakan tentang para
malaikat, makhluk jasmani dan moralitas manusia. Tapi hal-hal ini ini adalah milik
ilmu-ilmu filsafat yang terpisah. Oleh karena itu Doktrin Suci tidak mungkin hanya
satu ilmu.

Sebaliknya, Kitab Suci berbicara tentangnya sebagai satu ilmu: "Kebijaksanaan


memberinya pengetahuan [scientiam] tentang hal-hal kudus" (Keb. Salomo 10: 10).

Saya menjawab bahwa, Doktrin Suci adalah ilmu yang satu. Suatu kesatuan sifat
diukur melalui objeknya. Bukan dalam aspek materialnya, melainkan berhubungan
dengan aspek formalnya yang membawahi obyek tersebut. Sebagai contoh,
manusia, keledai, batu berada dalam satu aspek formal yaitu memiliki warna; dan
warna adalah objek formal dari pandangan. Maka, karena hala-hal yang dibicarakan
dalam Kitab Suci berada di bawah satu aspek formal yaitu tentang sesuatu yang
diwahyukan oleh Allah. Maka apa pun yang telah diwahyukan secara ilahi memiliki
aspek formal sebagai objek dari ilmu ini, sehingga digolongkan dalam satu kesatuan
ilmu di bawah Doktrin Suci.

Tanggapan terhadap Keberatan 1: Doktrin Suci tidak membahas Allah dan


makhluk dalam cara yang sama, tetapi lebih mengutamakan Allah, dan makhluk
hanya dibahas sejauh mereka dihubungkan dengan Allah sebagai awal atau akhir
mereka. Karena itu kesatuan ilmu ini tidak terkoyak.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Tidak ada yang menghalangi sifat-sifat yang


lebih rendah untuk dikelompokkan oleh sifat-sifat yang lebih tinggi; karena sifat-sifat
yang lebih tinggi memandang objek-objek tersebut dalam aspek formal yang lebih
universal, sebagaimana objek dari "akal sehat" adalah apa pun yang menggerakkan
akal, termasuk apa pun yang dapat dilihat atau didengar. Oleh karena itu "akal
sehat", meskipun merupakan satu sifat kemampuan, menjangkau ke semua objek
panca indera. Demikian pula, benda-benda yang adalah subjek dari beberapa ilmu
filsafat yang berbeda, dapat bahas oleh Ilmu Suci yang tunggal ini di bawah satu
aspek sejauh mereka dapat dimasukkan sebagai suatu wahyu. Sehingga dalam cara
ini, Doktrin Suci adalah merupakan, seolah-olah, stempel dari Sains Ilahi yang satu
dan sederhana, namun meluas ke segala sesuatu.

Artikel 4 : Apakah Doktrin Suci adalah Ilmu Praktis?

Keberatan 1 : Tampaknya Doktrin Suci adalah ilmu praktis; karena ilmu praktis
adalah ilmu yang tujuan akhirnya adalah tindakan menurut Sang Filsuf (Metaph. ii).
Tetapi Doktrin Suci ditujukan terhadap tindakan : " Tetapi hendaklah kamu menjadi
pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja" (Yak 1: 22). Oleh karena itu Doktrin
Suci adalah ilmu praktis.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, Doktrin Suci dibagi menjadi Hukum Lama dan Baru. Tapi
hukum mengandung suatu ilmu moral yang merupakan ilmu praktis. Oleh karena itu
Doktrin Suci adalah ilmu praktis.

4
Sebaliknya, Setiap ilmu praktis berhubungan dengan tindakan manusia; contohnya
seperti ilmu moral yang bersangkutan dengan tindakan manusia, dan arsitektur
dengan bangunan. Tetapi Doktrin Suci adalah terutama tentang Allah dengan hasil
karya tangan-Nya yang adalah manusia. Oleh karena itu ilmu ini tidaklah bersifat
praktis tetapi merupakan ilmu spekulatif [atau kontemplatif] (1).

Aku menjawab bahwa, Satu Doktrin Suci dapat meluas ke wilayah-wilayah yang
menjadi milik ilmu-ilmu filsafat yang berbeda karena Doktrin Suci
mempertimbangkan bahwa dalam setiap ilmu tersebut terkandung aspek formal
yang sama, yaitu, mereka dapat dikenal melalui wahyu ilahi. Oleh karena itu,
meskipun di antara ilmu-ilmu filsafat terdapat beberapa yang bersifat spekulatif dan
yang lain bersifat praktis, namun Doktrin Suci mencakup keduanya; sebagaimana
Allah, melalui ilmu-Nya yang satu dan sama, tahu tentang diri-Nya dan karya-karya-
Nya. Namun, Doktrin ini lebih bersifat spekulatif daripada praktis karena Doktrin ini
lebih menaruh perhatian pada hal-hal ilahi daripada terhadap tindakan manusia.
Namun, Doktrin ini tetap membahas tindakan-tindakan manusia tersebut karena
manusia diarahkan oleh tindakan-tindakannya tersebut menuju pada pengetahuan
sempurna tentang Allah yang di dalamnya terkandung kebahagiaan abadi. Ini adalah
jawaban yang cukup untuk keberatan-keberatan yang ada.

…………
(1) Reginald Garrigou-Lagrange, O. P, “A Commentary on the First Part of St
Thomas' Theological Summa”, http://www.thesumma.info/one/one17.php

Artikel 5: Apakah Doktrin Suci lebih Mulia dari Ilmu-ilmu Lainnya?

Keberatan 1 : Tampaknya Doktrin Suci tidak lebih mulia dari ilmu-ilmu lainnya;
karena sifat mulia dari suatu ilmu tergantung pada kepastian yang dibentuknya.
Tetapi ilmu-ilmu lainnya, yang prinsip-prinsipnya tidak teragukan, tampaknya lebih
pasti daripada Doktrin Suci yang prinsip-prinsipnya ---yaitu, artikel iman---dapat
diragukan. Oleh karena itu ilmu-ilmu lain tampaknya lebih mulia dari ilmu ini.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, adalah tanda dari suatu ilmu yang lebih rendah untuk
bergantung pada ilmu yang lebih tinggi; sebagaimana musik bergantung pada
aritmetika. Tetapi Doktrin Suci dalam pemahamannya bergantung pada ilmu filsafat,
seperti yang diamati oleh Jerome dalam suratnya kepada Magnus,yaitu bahwa "para
Doktor Gereja begitu memperkaya buku-buku mereka dengan ide-ide dan frase-
frase para filsuf, sehingga engkau tidak tahu lagi mana yang harus dikagumi dari
mereka, pengetahuan profane mereka atau pembelajaran kitab suci mereka." Oleh
karena itu Doktrin Suci lebih rendah daripada ilmu-ilmu lainnya.

Sebaliknya,Iilmu-ilmu lainnya disebut pelayan dari satu ini: "Kebijaksanaan


mengirim pelayannya untuk berseru-seru dari menara" (Amsal 9: 3).

Aku menjawab bahwa, Karena ilmu ini sebagian bersifat spekulatif [atau
kontemplatif] dan sebagian praktis, ilmu ini melampaui semua ilmu spekulatif dan
praktis. Sekarang suatu ilmu spekulatif dikatakan lebih mulia dari lainnya karena

5
adanya kepastiannya yang lebih besar, atau karena adanya nilai yang lebih tinggi
dari subjeknya. Dalam kedua hal ini Doktrin Suci ini melebihi ilmu spekulatif lain.
Dalam hal kepastian yang besar, Doktrin Suci memperoleh kepastiannya dari terang
pengetahuan ilahi, yang tidak dapat keliru, sedangkan dalam ilmu lain, kepastian
mereka peroleh dari terang alami akal manusia, yang dapat keliru. Dalam hal nilai
subjeknya yang lebih tinggi, Doktrin Suci ini membahas terutama tentang hal-hal
yang, karena keagungannya, melampaui akal manusia; sedangkan ilmu-ilmu lainnya
hanya membahas hal-hal yang ada dalam genggaman nalar. Sedangkan dalam ilmu
pengetahuan praktis, satu ilmu lebih mulia jika dimaksudkan untuk tujuan yang lebih
luas, seperti ilmu politik lebih mulia dari ilmu militer; karena kebaikan tentara
ditujukan bagi kebaikan negara. Tapi tujuan Doktrin Suci ini, dalam hal
kepraktisannya, adalah kebahagiaan kekal, yang merupakan tujuan akhir utama dari
segala ilmu praktis. Karena itu jelas bahwa dari setiap sudut pandang, Doktrin Suci
lebih mulia dari ilmu-ilmu lainnya.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Mungkin terjadi bahwa apa yang dalam dirinya
merupakan suatu kepastian, bagi kita akan tampak kurang pasti sehubungan
dengan kelemahan akal kita, "yang disilaukan oleh hal yang paling jelas; seperti
sang burung hantu silau oleh cahaya matahari"(Metaph. ii, lect. i). Oleh karena itu
fakta bahwa dalam artikel iman ada beberapa hal yang tampak kurang pasti bukan
karena sifat kebenarannya yang tidak pasti, tetapi karena kelemahan akal manusia;
Namun pengetahuan yang kurang jelas sekalipun, yang diperoleh dari hal-hal yang
tertinggi, lebih diinginkan daripada pengetauan yang pasti tetapi diperoleh dari hal-
hal yang lebih rendah, seperti yang dikatakan dalam de Animalibus xi.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Doktrin Suci ini dalam pengertian tertentu


bergantung pada ilmu filsafat, bukan seolah-olah itu dalam keadaan membutuhkan
mereka, tetapi hanya untuk membuat ajarannya lebih jelas. Karena Doktrin Suci ini
menerima prinsip-prinsipnya tidak dari ilmu-ilmu lainnya, tetapi langsung dari Allah
melalui pewahyuan. Oleh karena itu Doktrin Suci tidak tergantung pada ilmu-ilmu
lainnya seolah tergantung pada ilmu lain yang lebih tinggi, tetapi memanfaatkan
mereka sebagai ilmu yang lebih rendah, dan sebagaimana seorang pelayan:
meskipun ilmu-ilmu utama menggunakan ilmu-ilmu lain untuk mendukungnya
mereka, seperti politik menggunakan ilmu militer. Dengan demikian penggunaan
tersebut bukan karena cacat atau kekurangan dalam dirinya sendiri, tetapi karena
cacat akal kita, yang lebih mudah dipimpin oleh apa yang dikenal melalui nalar alami
(yang dari nalar tersebut lahir ilmu-ilmu lainnya) menuju pada sesuatu yang
melampaui nalar, yang adalah ajaran dari Doktrin Suci ini.

Artikel 6 : Apakah Doktrin Ini Sama dengan Kebijaksanaan?

Keberatan 1 : Tampaknya bahwa doktrin ini tidak sama dengan kebijaksanaan,


karena tidak ada doktrin yang prinsip-prinsipnya bukan dari dirinya sendiri, layak
menyandang nama kebijaksanaan; dengan memperhatikan bahwa orang yang bijak
mengarahkan, dan tidak mengarahkan (Metaph. i). Tetapi prinsip-prinsip Doktrin ini
bukan dari ditinya sendiri. Oleh karena itu Ilmu ini bukanlah kebijaksanaan.

6
Keberatan 2 : Lebih lanjut, adalah bagian dari kebijaksanaan untuk membuktikan
prinsip-prinsip ilmu-ilmu lainnya. Karena itu kebijaksanaan disebut kepala ilmu,
seperti yang jelas dalam Ethic. VI. Tetapi Doktrin ini tidak membuktikan prinsip-
prinsip ilmu-ilmu lainnya. Oleh karena itu Doktrin ini tidaklah sama dengan
kebijaksanaan.

Keberatan 3 : Lebih jauh lagi, doktrin ini diperoleh melalui studi, sedangkan
kebijaksanaan diperoleh dari inspirasi Allah, sehingga kebijaksanaan termasuk di
antara karunia dari Roh Kudus (Yes. 11: 2). Oleh karena itu Doktrin ini tidaklah sama
dengan kebijaksanaan.

Sebaliknya, ada tertulis (Ul 4: 6): " sebab itulah yang akan menjadi
kebijaksanaanmu dan akal budimu di mata bangsa-bangsa."

Aku menjawab bahwa, Doktrin ini adalah kebijaksanaan di atas semua


kebijaksanaan manusia; bukan hanya dalam hal urutan, tapi benar-benar secara
mutlak. Karena seperti tugas dari orang bijak untuk mengatur dan untuk menilai, dan
karena hal-hal yang lebih rendah harus dinilai dalam terang dari beberapa prinsip
yang lebih tinggi, dia dikatakan bijaksana dalam urutan tertentu oleh orang yang
menganggapnya tertinggi dalam urutan tersebut: dengan demikian dalam tata
bangunan, dia yang merencanakan bentuk rumah disebut bijaksana dan perencana,
dalam posisi berlawanan terhadap buruh rendah yang memotong kayu dan
menyiapkan batu: " aku sebagai seorang ahli bangunan yang cakap telah
meletakkan dasar" (1 Korintus 3: 10). Sekali lagi, dalam urutan semua kehidupan
manusia, seseorang disebut bijaksana, sejauh ia mengarahkan tindakan kepada
akhir yang tepat: "Berlaku cemar adalah kegemaran orang bebal, sebagaimana
melakukan hikmat bagi orang yang pandai" (Amsal 10: 23). Oleh karena itu dia yang
benar-benar mempertimbangkan penyebab tertinggi seluruh alam semesta, yaitu
Allah, sebagian besar disebut bijaksana. Maka kebijaksanaan dikatakan sebagai
pengetahuan tentang hal-hal yang ilahi, seperti dikatakan Agustinus (De Trin. xii,
14). Tetapi Doktrin Suci pada dasarnya membahas Allah yang dipandang sebagai
penyebab tertinggi---tidak hanya sejauh ia dapat diketahui melalui ciptaan
sebagaimana para filsuf mengenal-Nya---" Karena apa yang dapat mereka ketahui
tentang Allah nyata bagi mereka" (Roma 1: 19)---tetapi juga sejauh Ia dikenal oleh
Diri-Nya sendiri dan diungkapkan kepada ciptaan. Oleh karena itu Doktrin Suci
terutama disebut kebijaksanaan.

Tanggapan terhadap Keberatan 1: Doktrin Suci memperoleh prinsip-prinsipnya


tidak dari pengetahuan manusia, tetapi dari pengetahuan ilahi, yang melaluinya,
seperti melalui kebijaksanaan tertinggi, semua pengetahuan kita diurutkan.

Tanggapan terhadap Keberatan 2: Prinsip-prinsip ilmu lainnya entah berada dalam


posisi jelas ataukah tidak dapat dibuktikan, atau dibuktikan oleh nalar alami melalui
beberapa ilmu lainnya. Tapi pengetahuan yang tepat dari Doktrin ini datang melalui
Wahyu dan tidak melalui nalar alami. Oleh karena itu Doktirn ini tidak memiliki
kepentingan untuk membuktikan prinsip-prinsip ilmu-ilmu lainnya, tapi hanya untuk
menilai mereka. Apa pun yang ditemukan dalam ilmu-ilmu lainnya, yang
bertentangan dengan kebenaran apapun dari Doktrin ini harus dikutuk sebagai
palsu: " yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan
akan Allah" (bdk. 2 Korintus 10: 4, 5).

7
Tanggapan terhadap Keberatan 3: Karena tindakan menilai tergolong dalam
kebijaksanaan, dua macam cara menilai menghasilkan dua macam kebijaksanaan.
Seorang pria dalam satu cara dapat menilai dengan kecenderungan, sebagaimana
siapa saja yang terbiasa bergaul dengan kebajikan, menilai dengan benar menurut
kecenderungan kebajikannya itu mengarahkannya kesana. Maka, orang yang
salehlah, seperti yang kita baca, yang ditempatkan sebagai ukuran dan aturan
terhadap tindakan manusia. Di lain pihak, lewat pengetahuan, seperti seseorang
yang telah belajar dalam ilmu moral, mungkin mampu menilai dengan benar
tindakan-tindakan yang saleh, meskipun ia tidak memiliki kebajikan. Cara pertama di
atas dalam menilai hal-hal yang ilahi, berasal dari kebijaksanaan yang diberikan di
antara karunia-karunia dari Roh Kudus: "manusia rohani menilai segala sesuatu" (1
Korintus 2: 15). Dan Dionysius mengatakan (Div. Nom. ii): "Hierotheus diajar bukan
hanya melalui usaha belajarnya, tetapi melalui pengalaman terhadap hal-hal ilahi."
Cara kedua di atas adalah milik dari Doktrin ini yang diperoleh melalui studi,
meskipun prinsip-prinsipnya diperoleh melalui pewahyuan.

Artikel 7 : Apakah Allah adalah Obyek dari Ilmu ini?

Keberatan 1 : Tampaknya bahwa Allah bukanlah objek dari ilmu ini. Karena dalam
setiap ilmu, sifat dari objeknya adalah suatu asumsi. Tetapi ilmu ini tidak bisa
mengasumsikan esensi Allah, seperti yang dikatakan Damaskus (De Fide Orth. I, iv):
"Adalah mustahil untuk mendefinisikan esensi Allah." Oleh karena itu Allah bukanlah
objek dari ilmu ini.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, apa pun kesimpulan yang dicapai dalam ilmu
pengetahuan harus tentang objek ilmu tersebut. Tapi dalam Kitab Suci kita
mencapai kesimpulan bukan hanya tentang Allah, tetapi tentang banyak hal lain,
seperti tentang ciptaan dan moralitas manusia. Oleh karena itu Allah bukanlah objek
dari ilmu ini.

Sebaliknya, Objek dari suatu ilmu adalah sesuatu yang dibahas secara pokok di
dalamnya. Namun dalam ilmu ini, pembahasan utama adalah tentang Allah;
sehingga ilmu ini disebut teologi, karena membahas tentang Allah. Oleh karena itu
Allah adalah obyek dari ilmu ini.

Aku menjawab bahwa, Allah adalah obyek dari ilmu ini. Hubungan antara ilmu
pengetahuan dan objeknya adalah sama dengan hubungan antara suatu tindakan
atau keadaan dengan objeknya. Sekarang dengan tepat dikatakan bahwa objek dari
suatu tindakan atau keadaan adalah sesuatu yang berada di bawah aspek yang
berhubungan dengan tindakan atau keadaan tersebut, seperti manusia dan batu
yang berhubungan dengan tindakan memandang sesuatu yang berwarna. Oleh
karena itu sesuatu yang berwarna adalah objek yang tepat dari penglihatan. Tapi
dalam Ilmu Suci, semua hal dibahas di bawah aspek mengenai Allah : entah tentang
Allah sendiri atau tentang hal-hal yang berhubungan dengan Allah sebagai awal dan
akhirnya. Oleh karena itu Allah adalah pokok dari objek ilmu ini. Ini jelas juga dari
prinsip-prinsip ilmu ini, yaitu, artikel-artikel iman, karena iman adalah tentang Allah.
Objek prinsip dan keseluruhan ilmu harus sama, karena sebagian besar ilmu

8
tersebut terkandung dalam prinsip-prinsipnya. Namun, beberapa orang yang melihat
pada apa yang dibahas dalam ilmu ini, bukannya pada aspek yang membahasnya,
bersikeras bahwa objek dari ilmu ini adalah hal lain selain Allah---yaitu, entah
tentang hal-hal atau tanda-tanda, atau tentang karya-karya keselamatan; atau
tentang keseluruhan Kristus, sebagai kepala dan anggota. Tentang semuanya itu,
sungguh, kita memang membahasnya dalam ilmu ini, tetapi sejauh hal-hal tersebut
ada hubungannya dengan pembahasan tentang Allah.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Walaupun kita tidak tahu seperti apa esensi
Allah itu, namun dalam ilmu ini kita menggunakan efek-efek yang keluar dari-Nya,
entah tentang alam atau tentang rahmat, dalam definisi yang berhubungan dengan
apa yang dibahas dalam ilmu ini mengenai Allah; bahkan seperti dalam beberapa
ilmu filsafat kita membahas suatu sebab dari efek yang dihasilkannya, dengan
meletakkan efeknya ke dalam definisi suatu sebab.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Kesimpulan apapun yang dicapai dalam ilmu


suci ini adalah difahami di bawah pemahaman tentang Allah, bukan sebagai bagian
atau spesies atau aksiden [cat. Penerj. : tentang aksiden ini akan dibahas secara
terpisah] yang tersendiri, tetapi dalam suatu pemahaman yang berhubungan dengan
Allah.

Artikel 8 : Apakah Doktrin Suci adalah Tentang Argumen?

Keberatan 1 : Tampaknya Doktrin ini bukan tentang argument karena Ambrosius


mengatakan (De Fide 1): "Kesampingkan argument saat iman dicari" Tetapi dalam
Doktrin ini, imanlah yang terutama dicari: "Tetapi hal-hal ini dicatat supaya kamu
percaya" (Yohanes 20: 31). Oleh karena itu Doktrin Suci bukanlah tentang argumen.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, jika ini adalah tentang argumen, argumen tersebut
berasal dari suatu otoritas atau dari nalar. Jika berasal dari otoritas, tampaknya tidak
sesuai dengan martabat Doktrin ini, karena menggunakan suatu otoritas sebagai
alasan adalah bentuk pembuktian yang paling lemah. Tapi jika berasal dari nalar, ini
bertentangan dengan tujuan akhirnya, karena, menurut Gregory (Hom. 26), "iman
tidak memiliki pengaruh dalam hal-hal yang dapat dipahami oleh akal manusia."
Oleh karena itu Doktrin Suci bukanlah tentang argumen.

Sebaliknya, Kitab Suci mengatakan bahwa seorang Uskup harus " berpegang
kepada perkataan yang benar, yang sesuai dengan ajaran yang sehat, supaya ia
sanggup menasihati orang berdasarkan ajaran itu dan sanggup meyakinkan
penentang-penentangnya" (Titus 1: 9).

Aku menjawab bahwa, Seperti ilmu-ilmu lainnya yang tidak berargumen tentang
bukti-bukti dalam prinsip-prinsipnya, melainkan berargumen melalui prinsip-prinsip
tersebut untuk menunjukkan kebenaran-kebenaran lainnya dalam ilmu-ilmu tersebut,
maka doktrin ini tidak berargumen mengenai prinsip-prinsipnya, yaitu artikel-artikel
iman, tetapi dari prinsip-prinsip tersebut Doktrin ini beranjak untuk membuktikan
sesuatu yang lain; seperti para Rasul beranjak dari kebangkitan Kristus untuk

9
berargumen tentang kebangkitan umum (1 Korintus 15). Namun, harus diingat
bahwa, dalam hubungannya dengan ilmu-ilmu filsafat, ilmu-ilmu yang lebih rendah
tidak membuktikan prinsip-prinsip mereka ataupun berdebat dengan mereka yang
menolak prinsip-prinsip tersebut, melainkan meninggalkan hal-hal tersebut untuk
ilmu pengetahuan yang lebih tinggi. Sedangkan yang tertinggi dari ilmu-ilmu itu, yaitu
metafisika, dapat berdebat dengan pihak yang menyangkal prinsip-prinsipnya, hanya
jika pihak tersebut memiliki beberapa pemahaman terhadapnya; tetapi jika ia
memahami apapun, ilmu tersebut tidak dapat berdebat dengannya, meskipun
keberatan-keberatannya dapat dijawab. Oleh karena itu Kitab Suci, karena tidak ada
ilmu apapun di atasnya, dapat berdebat dengan pihak yang menyangkal prinsip-
prinsip, hanya jika pihak tersebut memahami sedikitnya beberapa kebenaran yang
diwahyukan secara ilahi; dengan demikian kita dapat berdebat dengan para bidat
dari teks-teks dalam Kitab Suci, dan terhadap mereka yang menolak satu artikel
iman, kita bisa berdebat dari artikel yang lain. Jika pihak tersebut tidak mempercayai
apapun tentang wahyu ilahi, tidak ada cara lain untuk membuktikan artikel-artikel
keimanan lewat penalaran, tetapi hanya menjawab keberatannya---jika ada---
terhadap keimanan. Karena iman didasarkan pada kebenaran yang sempurna, dan
karena kebalikan dari suatu kebenaran tidak pernah dapat didemonstrasikan, jelas
bahwa argumen yang diajukan untuk menentang iman tidak dapat
didemonstrasikan, tetapi lebih merupakan kesulitan-kesulitan yang dapat dijawab.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Meskipun argument-argumen dari nalar


manusia tidak dapat membantu untuk membuktikan apa yang harus diterima melalui
iman, namun demikian, Doktrin ini berargumen dari artikel iman untuk kebenaran-
kebenaran lain.

Tanggapan terhadap Keberatan 2: Doktrin ini terutama didasarkan pada argumen


dari otoritas, sejauh prinsip-prinsip tersebut diperoleh melalui pewahyuan. Jadi kita
harus percaya pada otoritas yang kepadanya telah diberikan wahyu. Hal tersebut
tidak mengurangi martabat dari Doktrin ini, meskipun argumen berdasarkan otoritas
manusia adalah hal yang paling lemah, namun argumen dari otoritas yang
didasarkan pada wahyu ilahi adalah yang terkuat. Tetapi, sebenarnya, Doktrin Suci
memanfaatkan nalar manusia tidak untuk membuktikan iman (sehingga dengan
demikian hal beriman adalah yang akan diperhitungkan di akhir), tetapi untuk
membuat jelas hal-hal lain yang diajukan dalam Doktrin ini. Karena itu rahmat tidak
merusak alam tetapi menyempurnakannya, nalar alami harus melayani iman
sebagai kecenderungan alami seperti kehendak yang melayani kasih. Maka para
Rasul mengatakan: " Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada
Kristus" (2 Korintus 10: 5). Oleh karena itu Doktrin Suci memanfaatkan juga otoritas
para filsuf dalam pertanyaan-pertanyaan di mana mereka mampu mengetahui
kebenaran melalui nalar alami, sebagaimana Paulus mengutip perkataan Aratus: "
seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari
keturunan Allah juga" (Kis. 17: 28). Namun demikian, Doktrin Suci memanfaatkan
otoritas ini sebagai argumen yang bersifat ekstrinsik dan masuk akal; tetapi dengan
tepat menggunakan otoritas Kitab kanonik sebagai bukti yang tak terbantahkan, dan
otoritas para Doktor Gereja sebagai salah satu hal yang dapat digunakan namun
hanya jika hal tersebut dimungkinkan. Karena iman kita didasarkan pada wahyu
yang diberikan pada para rasul dan nabi-nabi yang menulis buku-buku yang
kanonik, dan bukan pada wahyu (jika ada yang seperti itu) yang diberikan pada para
Doktor tersebut. Maka Agustinus mengatakan (Epis. ad. Hieron. xix, 1): "hanya

10
buku-buku dari Kitab Suci yang disebut kanonik yang telah saya pelajari dengan
penghormatan dalam kepercayaan bahwa para penulis tersebut tidak keliru dalam
cara apapun saat menulis mereka. Tetapi terhadap penulis lain saya membaca
tulisan mereka tidak dalam pertimbangan bahwa segala yang mereka tulis dalam
karya-karya mereka adalah benar, hanya dalam pertimbangan bahwa apapun yang
telah mereka pikir dan tuliskan dapat merupakan bagian dari kekudusan dan
pembelajaran mereka. "

Artikel 9 : Apakah Tepat jika Kitab Suci Menggunakan Metafora?

Keberatan 1 : Tampaknya Kitab Suci tidak boleh menggunakan metafora karena


apa yang tepat untuk ilmu terendah tampaknya tidak cocok untuk ilmu ini, yang
memegang tempat tertinggi dari semua ilmu. Tetapi bertindak dengan menggunakan
bantuan dari metafora dan penggambaran adalah tepat bagi puisi, yang menduduki
tempat paling akhir dalam ilmu pengetahuan. Oleh karena itu sangat tidak tepat jika
Doktrin Suci menggunakan metafora tersebut.

Keberatan 2 : Lebih jauh lagi, Doktrin ini tampaknya dimaksudkan untuk membuat
kebenaran menjadi lebih jelas. Maka upah diberikan pada siapa yang berpegang
padanya : "Mereka yang menjelaskan tentang aku akan memiliki hidup yang kekal"
(Sir. 24: 31). Tetapi dengan menggunakan metafora, kebenaran menjadi dikaburkan.
Oleh karena itu, untuk membahas kebenaran ilahi melalui perbandingan dengan
makhluk-makhluk ragawi tidak tepat bagi ilmu ini.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, semakin tinggi suatu makhluk, semakin serupa mereka
dengan keilahian. Karena itu, Jika suatu makhluk digunakan untuk
merepresentasikan Allah, representasi ini harus terutama diambil dari makhluk-
makhluk yang lebih tinggi, dan bukan dari yang rendah, namun hal ini justru sering
ditemukan dalam Kitab Suci.

Sebaliknya, Ada tertulis (Hos 12: 10): " Aku berbicara kepada para nabi dan banyak
kali memberi penglihatan dan memberi perumpamaan dengan perantaraan para
nabi" Tetapi menerangkan sesuatu dengan menggunakan perumpamaan adalah
menggunakan metafora. Oleh karena itu Ilmu suci ini dapat menggunakan metafora.

Aku menjawab bahwa, Adalah tepat bagi Kitab Suci untuk menyampaikan
kebenaran ilahi dan spiritual melalui perbandingan dengan hal-hal ragawi, karena
Allah menyediakan bagi segala sesuatu sesuai dengan sifat alaminya. Sekarang
adalah alami bagi manusia untuk mencapai kebenaran intelektual melalui benda
yang dapat diindera, karena semua pengetahuan kita berasal dari indera. Oleh
karena itu dalam Kitab Suci, kebenaran-kebenaran rohani tepat jika diajarkan
menggunakan perbangingan dengan hal-hal ragawi. Inilah yang dikatakan Dionysius
(Coel. Hier. i): "Kami tidak dapat dicerahkan oleh cahaya ilahi kecuali cahaya
tersebut tersembunyi dalam selubung suci". Adalah tepat juga bagi Kitab Suci, yang
disampaikan untuk semua tanpa perbedaan orang---" Aku berhutang… baik kepada
orang terpelajar, maupun kepada orang tidak terpelajar" (Rm. 1: 14)---bahwa
kebenaran-kebenaran rohani diuraikan dengan gambaran-gambaran yang diambil
dari hal-hal ragawi, agar dengan demikian mereka yang paling sederhana sekalipun,

11
yang tidak mampu memahami hal-hal intelektual tanpa bantuan, akan mampu
memahaminya.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Puisi menggunakan metafora untuk


menghasilkan representasi, karena merupakan sesuatu yang alami bagi manusia
untuk dipuaskan dengan representasi. Tetapi Doktrin Suci menggunakan metafora
sebagai sesuatu yang perlu sekaligus bermanfaat.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Cahaya wahyu ilahi tidak dipadamkan oleh


penggambaran indrawi yang menyelubunginya, sebagaimana dikatakan Dionysius
(Coel. Hier. i); dan kebenarannya tetap utuh karena cahaya tersebut tidak
membiarkan pikiran orang-orang yang diberi pewahyuan untuk tetap tinggal dalam
metafora-metafora tersebut, tetapi meningkatkannya menuju pada pengetahuan
tentang kebenaran; dan melalui orang-orang yang diberi pewahyuan itu maka orang
lain juga memperoleh petunjuk-petunjuk tentang wahyu tersebut. Oleh karena itu
hal-hal yang diajarkan dengan menggunakan kiasan di salah satu bagian Kitab Suci,
diajarkan secara terbuka di bagian lain. Kebenaran yang tersembunyi dalam
gambaran-gambaran tersebut berguna untuk melatih pikiran bijaksana dan sebagai
pertahanan terhadap ejekan orang tak beriman, menurut kata-kata "Jangan berikan
sesuatu yang kudus pada anjing" (Matius 7: 6).

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Sebagaimana dikatakan Dionysius (Coel. Hier.


i) adalah lebih tepat bagi kebenaran ilahi untuk diuraikan menggunakan gambaran-
gambaran dari sesuatu yang kurang mulia daripada menggunakan gambaran dari
sesuatu yang lebih mulia, dan ini karena tiga alasan. Pertama, karena dengan
demikian pikiran manusia dapat dipagari dari kesalahan. Maka sangat jelas bahwa
hal-hal yang ada dalam Kitab Suci bukanlah deskripsi harafiah tentang kebenaran
ilahi, yang dapat menjadi suatu keragu-raguan jika diekspresikan menggunakan
gambaran tentang sesuatu yang lebih mulia, terutama bagi mereka yang tidak bisa
memikirkan sesuatu yang lebih mulia daripada hal-hal ragawi. Kedua, karena ini
adalah lebih tepat bagi pengetahuan tentang Allah yang kita miliki dalam hidup ini,
karena seperti apa Allah itu sungguh tidak jelas bagi kita. Oleh karena itu
perbandingan yang diambil dari hal-hal yang terjauh dari Allah membentuk dalam diri
kita suatu perkiraan yang lebih benar bahwa Allah berada di atas apapun yang dapat
kita katakan atau pikirkan. Ketiga, karena dengan demikian kebenaran ilahi dapat
tersembunyi dari mereka yang tidak layak.

Artikel 10 : Apakah dalam Kitab Suci Satu Kata mungkin Memiliki


Beberapa Makna?

Keberatan 1 : Tampaknya bahwa dalam Kitab Suci satu kata tidak dapat memiliki
sekaligus makna sejarah atau harfiah, alegoris, tropologis atau moral, dan anagogis,
karena banyaknya makna yang berbeda dalam satu teks akan menghasilkan
kebingungan dan penipuan dan menghancurkan semua kekuatan argumen. Oleh
karena itu tidak ada argumen, tetapi hanya kesalahan, yang dapat dirumuskan dari
suatu proposisi ganda. Tetapi Kitab Suci harus mampu menyatakan kebenaran
tanpa kesalahan apapun. Oleh karena itu di dalamnya tidak bias terdapat beberapa
makna dalam satu kata.

12
Keberatan 2 : Lebih lanjut, Agustinus mengatakan (De util. cred. iii) bahwa
"Perjanjian Lama memiliki empat pembagian sebagai sejarah, etiologi, analogi dan
alegori." Sekarang keempat hal tersebut tampak sama sekali berbeda dari empat
divisi yang disebutkan dalam keberatan pertama. Oleh karena itu tampaknya tidak
tepat untuk menjelaskan satu perkataan dari Kitab Suci dengan menggunakan
keempat pemahaman yang disebutkan di atas.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, selain makna-makna tersebut, ada makna parabolis,


yang bukan merupakan salah satu dari empat makna tersebut.

Sebaliknya, Gregorius mengatakan (Moral. xx, 1): "Kitab Suci, dalam caranya
berbicara, melampaui setiap ilmu pengetahuan, karena dalam kalimat yang satu dan
sama, saat di satu pihak ia menyatakan suatu fakta, di lain pihak ia mengungkapkan
suatu misteri."

Saya menjawab bahwa, Penulis Kitab Suci adalah Allah, yang dengan kuasa-Nya
memberitahukan maksud-Nya, tidak hanya melalui kata-kata (seperti yang juga
dilakukan manusia), tetapi juga melalui hal-hal itu sendiri. Jadi, sebagaimana dalam
setiap ilmu lain, hal-hal diartikan melalui kata-kata, ilmu ini juga memiliki alat, yaitu
bahwa hal-hal yang diartikan oleh kata-kata juga memilki makna. Oleh karena itu
tanda pertama yang diberikan oleh kata-kata tersebut adalah makna pertama yaitu
historis atau harafiah. Makna dimana hal-hal yang ditandakan oleh kata-kata juga
memiliki artinya sendiri, disebut sebagai makna rohani, yang didasarkan pada
makna harafiah, dan diisyaratkan dari makna harafiah tersebut. Sekarang makna
rohani ini memiliki tiga bagian. Sebagaimana yang dikatakan sang Rasul (Ibrani 10:
1) Hukum Lama adalah gambaran dari Hukum Baru, dan Dionysius mengatakan
(Coel. Hier. i) "Hukum Baru itu sendiri adalah gambaran kemuliaan masa depan."
Sekali lagi, dalam Hukum Baru, apa pun yang telah dilakukan oleh Kepala kita
adalah gambaran apa yang seharusnya kita lakukan. Oleh karena itu, sejauh Hukum
Lama menandakan sesuatu dari Hukum Baru, maka di dalamnya terkandung makna
alegoris, dan selama hal-hal tersebut dilakukan dalam KRistus, atau selama hal-hal
tersebut menandakan Kristus, mereka adalah gambaran tentang apa yang
seharusnya kita lakukan, dan di dalamnya terdapat makna moral. Tapi sejauh
mereka mengartikan sesuatu yang berkaitan dengan kemuliaan kekal, maka
terdapat makna anagogis. Karena makna harafiah adalah makna yang dimaksudkan
oleh penulis, dank arena penulis Kitab Suci adalah Allah, yang melalui satu tindakan
telah memahami segala sesuatu dalam pengetahuan-Nya, maka bukannya tidak
tepat, seperti dikatakan Agustinus (Confess. xii), jika dalam arti harafiahnya
sekalipun, suatu kata dalam Kitab Suci dapat memiliki beberapa makna.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Banyaknya makna tersebut tidak


menghasilkan pengelakan atau jenis lainnya, dengan memahami bahwa makna-
makna tersebut bukannya diartikan lain karena satu kata memiliki beberapa arti,
tetapi karena hal-hal yang ditandakan oleh kata-kata dapat dalam dirinya sendiri
merupakan gambaran dari hal-hal lainnya. Dengan demikian dalam Kitab Suci tidak
ada kebingungan, karena semua makna didasarkan pada satu makna---yaitu makna
harfiah---yang hanya darinya suatu argumen dapat ditarik, dan bukan dari makna
alegorinya, seperti dikatakan Agustinus (Epis. 48). Namun demikian, tidak ada
satupun dalam Kitab Suci yang hilang karena memiliki beberapa makna, karena

13
tidak ada hal yang perlu bagi iman yang terkandung dalam arti rohani, yang tidak
ditempatkan dalam makna harafiahnya dalam Kitab Suci.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Tiga hal ini---sejarah, etiologi, analogi---


dikelompokkan dalam makna harfiah. Karena disebut sebagai sejarah, seperti
diuraikan Agustinus (Epis. 48), setiap kali sesuatu dihubungkan secara langsung;
disebut etiologi ketika penyebabnya ditetapkan, sebagaimana ketika Tuhan kita
memberi pemahaman mengapa Musa memperbolehkan seorang istri dijauhkan ---
yaitu, karena kekerasan hati manusia; Disebut analogi jika kebenaran satu teks
dalam Kitab Suci ditampilkan secara tidak bertentangan dengan kebenaran lain. Dari
keempatnya, hanya alegori yang berdiri untuk tiga makna rohani. Dengan demikian
Hugh St Victor (Sacram. iv, 4 Prolog.) memasukkan makna anagogis sebagai bagian
dari makna alegoris, dan memberikan tiga makna saja ---sejarah, alegoris dan
tropologis.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Makna parabolis terkandung dalam makna


harfiah, karena oleh kata-kata, hal-hal ditandakan dengan tepat dan secara kiasan.
Bukan tentang gambarannya itu sendiri, tapi tentang makna yang dikiaskan dalam
makna harfiah. Ketika Alkitab berbicara tentang lengan Allah, arti harfiahnya
bukanlah bahwa Allah memiliki anggota tubuh seperti itu, tapi hanya apa yang
dikiaskan oleh anggota tubuh ini, yaitu kuasa operatif. Karena itu jelas bahwa tidak
ada yang dapat keliru dalam pemahaman harafiah tentang Kitab Suci.

RISALAH TENTANG SATU ALLAH


(PERTANYAAN 2-26)

Pertanyaan 2 : Keberadaan Allah (Tiga Artikel)

Karena tujuan utama dari Doktrin Suci adalah untuk mengajarkan pengetahuan
tentang Allah, bukan hanya tentang Ia dalam diri-Nya sendiri, tetapi juga tentang Ia
sebagai awal dan akhir dari segala hal, dan terutama dari makhluk-makhluk rasional,
sebagaimana jelas dari apa yang telah dikatakan sebelumnya. Karena itu, dalam
usaha kita untuk menjelaskan ilmu ini, kita akan membahas :
1. Tentang Allah;
2. Tentang langkah makhluk rasional menuju Allah;
3. Tentang Kristus, yang sebagai manusia, adalah jalan kita menuju Allah.

Dalam pembahasan tentang Allah akan terdapat tiga bagian, karena kami akan
mempertimbangkan :
1. Hal-hal yang berhubungan dengan Esensi Ilahi;
2. Hal-hal yang berhubungan dengan pembedaan Pribadi;
3. Hal-hal yang berhubungan dengan prosesi ciptaan dari-Nya.

14
Tentang Esensi Ilahi, kita harus mempertimbangkan:

1. Apakah Tuhan ada?


2. Sifat keberadaan-Nya, atau lebih tepatnya, apa yang bukan merupakan sifat dari
keberadaan-Nya;
3. Hal-hal tentang tindakan-Nya ---yaitu, pengetahuan, kehendak, dan kekuatan-
Nya.

Mengenai hal pertama di atas, ada tiga poin penyelidikan

1. Apakah proposisi "Allah ada" adalah self-evident [cat. penerj. : terbukti-dengan-


sendirinya, yaitu dapat dipahami melalui istilah itu sendiri]?
2. Apakah keberadaan Allah dapat ditunjukkan?
3. Apakah Allah ada?

Artikel 1: Apakah Keberadaan Allah Self-Evident?

Keberatan 1 : Tampaknya bahwa keberadaan Allah adalah self-evident . Sekarang


hal-hal disebut self-evident adalah jika pemahaman tentangnya telah secara alami
ada dalam diri kita, yang kita pahami sebagai prinsip utama. Tetapi sebagaimana
dikatakan Damaskus (De Fide Orth. i, 1,3), "pengetahuan tentang Allah secara alami
telah ditanamkan di semua orang." Oleh karena itu keberadaan Allah adalah self-
evident.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, hal-hal disebut self-evident jika diketahui segera setelah
istilah tersebut dipahami, yang oleh Sang Filsuf (1 Poster. iii) dikatakan dengan
benar mengenai prinsip-prinsip pertama tentang suatu demonstrasi. Dengan
demikian, ketika sifat dari suatu keseluruhan dan suatu bagian diketahui, segera
diakui bahwa setiap keseluruhan adalah lebih besar daripada bagiannya. Tapi
segera setelah makna kata "Allah" dipahami, saat itu juga dapat dilihat bahwa Allah
ada, karena dengan kata-kata tersebut dimaknai bahwa tidak ada sesuatu yang
dapat lebih besar lagi dari-Nya. Tapi hal-hal yang secara actual ada dan diakui oleh
pikiran adalah lebih besar daripada keberadaan yang ada hanya dalam pikiran. Oleh
karena itu, karena kata "Allah" segera dipahami maknanya, keberadaannya ada
dalam pikiran, sekaligus diakui bahwa ia ada secara aktual. Oleh karena itu
proposisi "Allah ada" adalah self-evident.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, keberadaan kebenaran adalah self-evident, karena


siapapun yang menyangkal keberadaan kebenaran mengakui bahwa kebenaran
tidak ada: dan, jika kebenaran tidak ada, maka proposisi "bahwa kebenaran tidak
ada" adalah benar: dan jika ada sesuatu yang benar, harus ada kebenaran. Tetapi
Allah adalah kebenaran itu sendiri: "Akulah jalan, kebenaran, dan hidup" (Yohanes
14: 6). Karena itu "Allah ada" adalah self-evident.

Sebaliknya, Tak seorang pun dapat dalam pikirannya mengakui kebalikan dari
sesuatu yang self-evident; sebagaimana dinyatakan oleh Sang Filsuf (Metaph. iv,

15
lect. vi) tentang prinsip-prinsip utama tentang demonstrasi. Tetapi kebalikan dari
proposisi "Allah ada" dapat diakui oleh pikiran : "Orang bebal berkata dalam hatinya :
Tidak ada Tuhan" (Mazmur 53:1). Oleh karena itu, bahwa Allah ada bukanlah self-
evident.

Aku menjawab bahwa, Suatu hal dapat menjadi self-evident dalam dua cara : di
satu sisi, jelas dalam dirinya sendiri, meskipun tidak bagi kita; di sisi lain, jelas dalam
dirinya sendiri, dan juga bagi kita. Suatu proposisi menjadi self-evident karena
predikat tersebut termasuk dalam esensi dari subjek, seperti dalam "Manusia adalah
binatang," karena binatang terkandung dalam esensi manusia. Jika esensi dari
subjek dan predikat dikenal oleh semua, proposisi tersebut akan self-evident bagi
semua; seperti jelas berkenaan dengan prinsip-prinsip pertama demonstrasi, syarat-
syarat dimana hal-hal yang umum tidaklah tidak diketahui oleh siapapun, seperti
tentang ada dan tiada, perbedaan antara keseluruhan dan bagian, dan hal lain
semacam itu. Tetapi, jika ada hal-hal yang esensi predikat dan subjeknya tidak
diketahui, proposisi tersebut akan menjadi jelas dalam dirinya sendiri, tetapi tidak
bagi orang-orang yang tidak tahu arti dari predikat dan subjek proposisi tersebut.
Oleh karena itu, hal itu terjadi, seperti dikatakan Boethius (Hebdom., dengan judul :
"Apakah semua yang memiliki keberadaan, adalah baik"), "bahwa ada beberapa
konsep dalam pikiran yang jelas hanya untuk yang belajar, sebagaimana tentang
sosok rohani yang tidak berada dalam ruang." Oleh karena itu saya mengatakan
bahwa proposisi "Allah ada," itu sendiri self-evident, karena predikatnya adalah
sama dengan subjeknya, karena Allah adalah keberadaan-Nya itu sendiri
sebagaimana akan dibahas selanjutnya (Pertanyaan 3, Artikel 4). Sekarang karena
kita tidak tahu esensi Allah, maka proposisi tersebut tidaklah self-evident bagi kita;
tapi perlu dibuktikan melalui hal-hal yang lebih dikenal oleh kita, walaupun secara
alami kurang dikenal ---yaitu, melalui efek.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Secara umum dan tidak jelas, pemahaman


bahwa Allah ada dalam diri kita secara alami, sebab Allah adalah kebahagiaan
manusia. Karena manusia secara alami menginginkan kebahagiaan, dan apa yang
secara alami diinginkan oleh manusia harus secara alami dikenal olehnya. Namun,
Ini bukan berarti manusia secara mutlak tahu bahwa Allah ada, seperti saat
seseorang tahu ada orang lain yang mendekat bukan berarti ia tahu bahwa yang
mendekat adalah Peter, meskipun memang Peter yang mendekat, karena ada
banyak orang yang membayangkan kesempurnaan kebahagiaan manusia terletak
pada kekayaan, dan yang lainnya mengira ada dalam kepuasan, dan lainnya ada
dalam hal lain.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Mungkin tidak semua orang yang mendengar


kata "Allah" memahami bahwa kata itu memiliki arti tentang sesuatu yang tidak ada
yang melebihinya, karena beberapa orang memahami Allah sebagai suatu makhluk
ragawi. Namun, seandainyapun semua orang memahami bahwa kata "Allah"
menandakan sesuatu yang tidak ada yang lebih besar darinya, bukan dengan
sendirinya berarti bahwa sesuatu yang ditandakan oleh kata itu sungguh ada secara
aktual, tapi dipahami hanya melalui pikirannya saja. Tidak bisa juga dinyatakan
bahwa sesuatu yang ditandakan oleh kata “Allah” tersebut sungguh ada secara
actual, kecuali juga diakui [oleh mereka yang tidak percaya](2) bahwa secara actual
ada sesuatu yang tidak dapat dilampaui kebesarannya oleh apapun, Tetapi inilah
yang tidak diakui oleh mereka yang beranggapan bahwa Allah tidak ada.

16
Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Keberadaan kebenaran secara umum
adalah self-evident tetapi keberadaan Kebenaran Utama tidaklah self-evident bagi
kita.

Artikel 2 : Apakah Dapat Ditunjukkan bahwa Allah Ada?

Keberatan 1 : Tampaknya keberadaan Allah tidak dapat ditunjukkan, karena


keberadaan Allah adalah suatu artikel iman. Tapi segala sesuatu yang berasal dari
iman tidak dapat dibuktikan, karena pembuktian menghasilkan pengetahuan ilmiah;
sedangkan iman adalah tentang sesuatu yang tak terlihat (Ibrani 11: 1). Oleh karena
itu tidak dapat dibuktikan bahwa Allah ada.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, esensi adalah term tengah (3) dari suatu pembuktian.
Tapi kita tidak tahu terdiri dari apa esensi Allah, tetapi hanya tahu tentang apa yang
tidak merupakan bagian dari esensi Allah, seperti dikatakan Damaskus (De Fide
Orth. i, 4). Oleh karena itu kita tidak dapat membuktikan bahwa Tuhan ada.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, jika keberadaan Allah dapat dibuktikan, maka hanya
berdasarkan efek-Nya. Tapi efek-Nya tidak sebanding dengan esensi-Nya, karena Ia
adalah tak terbatas sedangkan efek-Nya terbatas; dan antara tak terbatas dengan
terbatas tidak dapat diperbandingkan. Oleh karena itu, karena suatu sebab tidak
dapat dibuktikan melalui efeknya yang tidak sebanding, maka sepertinya
keberadaan Tuhan tidak dapat dibuktikan.

Sebaliknya, Sang Rasul mengatakan: " Sebab apa yang tidak nampak dari pada-
Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada
pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, " (Roma 1: 20). Tapi hal tersebut tidak
akan terjadi kecuali keberadaan Allah dapat dibuktikan melalui ciptaan; karena hal
pertama yang harus kita ketahui dari sesuatu apapun adalah apakah sesuatu
tersebut ada. (4)

Aku menjawab bahwa, Pembuktian dapat dilakukan dalam dua cara: satu adalah
melalui penyebab, dan disebut "a priori", dan ini adalah berargumen dari apa yang
sebelumnya secara mutlak telah ada. Yang lain adalah melalui efek, dan disebut
pembuktian "a posteriori"; ini adalah berargumen dari apa yang dari sisi kita
dipandang secara relative telah ada. Ketika suatu efek lebih kita ketahui daripada
penyebabnya, maka dari efek tersebut kita berproses menuju pada pengetahuan
tentang penyebabnya. Dan dari setiap efek, keberadaan dari penyebabnya dapat
dibuktikan, asalkan efek tersebut lebih kita ketahui; karena setiap efek tergantung
pada penyebabnya. Jika ada efek, maka sebelumnya harus ada penyebab. Maka
keberadaan Tuhan, karena hal tersebut tidak jelas bagi kita, dapat dibuktikan dari
hal-hal yang membuat kita tahu tentang efek-Nya.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Keberadaan Allah dan kebenaran lainnya


tentang Allah, yang bisa diketahui melalui nalar alami, bukanlah artikel iman, tetapi
merupakan dasar bagi artikel-artikel iman (5); karena iman mempresuposisikan

17
(mengandaikan, mendasarkan) pada pengetahuan alami, sebagaimana rahmat
mempresuposisikan keberadaan suatu sifat [tamb. : yang akan diberi rahmat], dan
kesempurnaan mempresuposisikan sesuatu yang dapat disempurnakan. Namun,
tidak ada yang dapat mencegah manusia, yang tidak dapat memahami suatu bukti,
menerima sesuatu yang dalam dirinya sendiri dapat diketahui dan dibuktikan secara
ilmiah, sebagai sesuatu yang [hanya bisa diterima] melalui iman.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Ketika keberadaan suatu penyebab dibuktikan


dari suatu efek, efek ini mengambil definisi dari penyebab dalam upaya pembuktian
keberadaan penyebab. Hal ini terutama dalam kaitannya dengan Allah, karena,
untuk membuktikan keberadaan apa pun, adalah perlu untuk menerima arti kata-
kata sebagai term tengahnya, bukan esensinya, karena pertanyaan tentang esensi
mengikuti pertanyaan tentang eksistensi. Sekarang nama yang diberikan kepada
Allah berasal dari efek-Nya; Akibatnya, dalam membuktikan keberadaan Allah dari
efek-Nya, kita dapat mengambil term tengah makna dari kata "Allah".

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Dari efek-efek yang tidak sebanding dengan


penyebab, tidak ada pengetahuan yang sempurna yang dapat diperoleh tentang
penyebab. Namun dari setiap efek, keberadaan penyebab dapat dengan jelas
dibuktikan, maka kita dapat menunjukkan keberadaan Allah dari efek-Nya; meskipun
dari efek-efek tersebut kita tidak dapat dengan sempurna mengetahui Allah
sebagaimana Ia ada dalam esensi-Nya.

Artikel 3 : Apakah Allah Ada?

Keberatan 1 : Tampaknya Allah tidak ada; karena jika salah satu dari dua hal yang
saling berlawanan adalah tak terbatas, maka yang lain akan sama sekali hancur.
Tapi kata "Allah" berarti bahwa Ia adalah kebaikan yang tak terbatas. Oleh karena
itu, jika Allah ada, tidak akan ada kejahatan; Tapi kejahatan ada di dunia. Oleh
karena itu Allah tidak ada.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, adalah berlebihan untuk beranggapan bahwa apa yang
dapat dijelaskan oleh sedikit prinsip adalah merupakan produk dari banyak prinsip.
Sekarang, seandainya Allah tidak ada, tampaknya segala sesuatu yang kita lihat di
dunia dapat dijelaskan oleh prinsip-prinsip lain, karena semua hal alami dapat
dirunut menuju satu prinsip yaitu prinsip alami; dan setiap tindakan dapat dirunut
menuju satu prinsip yaitu akal maupun kehendak manusia. Oleh karena itu, tidak
perlu berandai-andai tentang keberadaan Allah.

Sebaliknya, Dikatakan bahwa dalam Pribadi Allah: "Aku adalah Yang Ada" (6)
(Keluaran 3: 14).

Aku menjawab bahwa, Keberadaan Allah dapat dibuktikan dalam lima cara. Yang
pertama dan lebih nyata adalah argumen dari gerak. Pasti, dan jelas untuk indra
kita, bahwa di dunia, beberapa hal bergerak. Sekarang apa pun yang bergerak
adalah digerakkan oleh hal lain, karena tidak ada yang bisa bergerak kecuali dalam
potensialitas untuk menjadi bergerak; sedangkan hal yang bergerak karena ia

18
berada dalam kenyataan bergerak, karena gerak tak lain daripada perubahan
sesuatu dari potensialitas menuju aktualitas (kenyataan). Tetapi tidak yang dapat
berubah dari potensialitas menuju aktualitas, kecuali oleh sesuatu yang berada
dalam aktualitas. Jadi apa yang secara aktual panas, seperti api, membuat kayu,
yang berpotensi panas, untuk menjadi panas secara aktual, dan dengan demikian
api menggerakkan dan mengubah kayu. Sekarang tidak mungkin bahwa hal yang
sama dapat sekaligus berada dalam keadaan aktual dan potensial dalam hal yang
sama, tetapi hanya dalam hal yang berbeda. Karena apa yang secara aktual panas
tidak dapat secara bersamaan berpotensi panas; tetapi secara bersamaan bisa
berpotensi dingin [atau lebih panas]. Karena itu mustahil bahwa dalam hal yang
sama dan dengan cara yang sama, sesuatu menjadi penggerak sekaligus yang
digerakkan, dalam arti bahwa sesuatu tersebut bergerak sendiri. Oleh karena itu,
apa pun yang bergerak harus digerakkan oleh sesuatu lainnya. Jika sesuatu yang
menggerakkan tersebut menjadi bergerak, maka sesuatu tersebut harus digerakkan
oleh sesuatu lainnya, dan terus berlanjut demikian. Tapi ini tidak dapat berlanjut
sampai tak terbatas, karena jika demikian maka tidak akan ada penggerak pertama,
dan akibatnya, tidak ada penggerak lagi; karena penggerak berikutnya bergerak
hanya sejauh mereka digerakkan oleh penggerak pertama; sebagaimana batang
bergerak hanya jika digerakkan oleh tangan. Oleh karena itu sangat diperlukan
untuk sampai pada penggerak pertama, yang tidak digerakkan oleh apapun, dan ini
dipahami sebagai Allah (7).

Cara kedua adalah dari sifat tentang kausa efisien (8). Dalam dunia indera, kita
menemukan adanya aturan tentang kausa efisien. Tidak ada kasus yang pernah
dikenal (dan sungguh, hal itu memang tidak mungkin) di mana suatu hal merupakan
kausa efisien bagi dirinya sendiri, karena itu berarti sesuatu itu ada di luar dirinya
sendiri, yang adalah tidak mungkin. Sekarang dalam suatu kausa efisien tidak
mungkin untuk terus berlanjut sampai tak berhingga, karena dalam semua kausa
efisien berada dalam urutan, yaitu bahwa yang pertama menjadi penyebab dari
kausa intermediate, dan kausa intermediate menjadi penyebab dari kausa akhir,
entah kausa intermediate tersebut berjumlah banyak atau hanya ada satu. Sekarang
dengan menghilangkan penyebab maka berarti juga menghilangkan efek. Oleh
karena itu, jika tidak ada penyebab pertama di antara kausa efisien, tidak akan ada
kausa akhir ataupun kausa intermediate setelahnya. Tapi jika kausa efisien dapat
berlanjut hingga tak terbatas, maka tidak aka nada kausa pertama, sehingga tidak
aka nada kausa akhir ataupun kausa intermediate, yang semua itu telah nyata keliru.
Maka adalah perlu untuk mengakui adanya satu kausa efisien yang pertama, yang
disebut Allah.

Cara ketiga diambil dari hal tentang kemungkinan dan kebutuhan, dan berjalan
dengan demikian. Kita menemukan di alam hal-hal yang mungkin dan tidak mungkin
untuk terjadi, karena mereka ada dengan cara diperanakkan, dan dapat rusak, dan
konsekuensinya, mereka dapat mungkin ada atau dapat mungkin tidak ada. Tapi
kedua kemungkinan tersebut tidak selalu ada, karena suatu saat sesuatu mungkin
ada, di saat lain ia tidak dapat mungkin tidak ada. Oleh karena itu, jika segala
sesuatu mungkin ada, di saat lain adalah mungkin bagi segala sesuatu untuk tidak
ada. Sekarang, jika hal tersebut benar, maka saat ini tidak ada apapun yang
memiliki keberadaan karena hal yang tidak memiliki keberadaan akan ada hanya jika
melalui sesuatu yang telah ada. Oleh karena itu, jika suatu saat tidak ada satupun
yang ada, maka tidak mungkin bagi segala sesuatu untuk menjadi ada, sehingga

19
saat ini akan tidak ada apapun – dan hal tersebut adalah absurd. Oleh karena itu,
bukan hanya mungkin, tapi harus ada sesuatu yang keberadaannya diperlukan.
Tetapi segala sesuatu yang diperlukan tersebut dapat tergantung dari suatu
penyebab ataupun tidak. Sekarang ketergantungan terhadap lainnya tersebut tidak
mungkin untuk menuju pada ketakberhinggaan, seperti yang sudah dibuktikan dalam
hal kausa efisien. Oleh karena itu kita tidak bisa berkata lain kecuali mendalilkan
keberadaan sesuatu yang tergantung pada dirinya sendiri, dan tidak tergantung
pada hal lain, tapi justru menjadi sebab ketergantungan mereka. Ini yang disebut
Allah.

Cara keempat diambil dari gradasi yang ditemukan dalam keberadaan. Di antara
keberadaan-keberadaan, ada beberapa yang lebih dan beberapa kurang baik,
benar, mulia dan sejenisnya. Tetapi "lebih" dan "kurang" dipredikatkan pada hal-hal
yang berbeda, berdasarkan kemiripan mereka terhadap sesuatu yang maksimum,
seperti sesuatu dikatakan lebih panas karena sesuatu tersebut lebih menyerupai
sesuatu yang terpanas; sehingga ada sesuatu yang paling benar, sesuatu yang
terbaik, sesuatu yang paling mulia, dan, akibatnya, sesuatu yang sepenuhnya ada;
karena hal-hal yang terbesar dalam kebenaran adalah terbesar dalam keberadaan,
sebagaimana ditulis dalam Metaph. ii. Sekarang yang maksimum dalam genus
apapun adalah penyebab dari segala sesuatu dalam genus itu; seperti api, yang
merupakan maksimum dalam panas, adalah penyebab dari segala sesuatu yang
panas. Oleh karena itu juga harus ada sesuatu yang merupakan penyebab dari
segala keberadaan, segala kebaikan dan segala kesempurnaan. Ini yang kita sebut
Allah.

Cara kelima diambil dari bagaimana dunia ada dalam keteraturannya. Kita melihat
bahwa keberadaan yang tidak memiliki akal, seperti tubuh, bertindak menuju suatu
akhir, dan ini jelas dari cara mereka bertindak yang selalu, atau hampir selalu, dalam
cara yang sama, seolah untuk mencapai hasil yang terbaik. Karena jelas bahwa hal
tersebut bukanlah suatu kebetulan, tetapi terdesain, tentang cara mereka menuju
suatu akhir. Sekarang apapun yang tidak berakal tidak dapat bergerak menuju suatu
akhir tanpa diarahkan oleh sesuatu yang memiliki pengetahuan dan akal,
sebagaimana anak panah ditembakkan menuju sasarannya oleh seorang pemanah.
Oleh karena itu ada suatu keberadaan yang memiliki akal yang mengarahkan segala
benda alami menuju akhir mereka. Dan keberadaan ini disebut Allah (9).

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Sebagaimana dikatakan Agustinus


(Enchiridion xi): "Karena Allah merupakan kebaikan tertinggi, Ia tidak akan
membiarkan setiap kejahatan ada dalam karya-karya-Nya, kecuali kemahakuasaan
dan kebaikan-Nya dapat membawa kebaikan muncul dari kejahatan." Ini adalah
bagian dari kebaikan Allah yang tak berhingga, yaitu bahwa Ia mengijinkan
kejahatan ada, dan darinya memunculkan kebaikan.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Karena alam bekerja untuk suatu akhir yang
pasti di bawah arahan dari agen lebih tinggi, apapun yang dilakukan oleh alam harus
perlu ditelusuri kembali sampai kepada Allah, sebagai penyebabnya yang pertama.
Begitu juga apa pun dilakukan secara bebas harus juga ditelusuri kembali
kepada suatu sebab yang lebih tinggi dari akal atau kehendak manusia, karena hal-
hal yang ada pada manusia tersebut dapat berubah ataupun gagal. Sedangkan
segala sesuatu yang dapat berubah ataupun dapat rusak harus ditelusuri kembali

20
sampai pada suatu sebab pertama yang tak tergerakkan dan tergantung pada
dirinya sedniri, sebagaimana telah ditunjukkan pada bagian utama artikel ini.

…………

(2) Reginald Garrigou-Lagrange, O. P., A Commentary on the First Part of St


Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one26.php

(3) Term tengah adalah salah satu dari tiga term yang menyusun suatu silogisme
yang benar (bdk. Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran
Sistematis, Yogyakarta, Penerbit Yayasan Kanisius, 1996, h. 48). Contohnya :
Premis mayor : Semua manusia akan mati.
Premis minor : Orang Yunani adalah manusia.
Kesimpulan : Orang Yunani akan mati.
Manusia adalah term tengah yang menghubungkan antara premis mayor dan premis
minor.

(4) Ayat dalam Roma 1:20 tersebut menjadi tidak benar jika keberadaan Allah tidak
dapat dibuktikan melalui ciptaan-Nya (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P. A
Commentary on the First Part of St Thomas' Theological
Summa, http://www.thesumma.info/one/one28.php). Jadi teks tersebut menyangkal
pernyataan bahwa keberadaan Allah tidak dapat dibuktikan melalui ciptaan-Nya.

(5) Suatu hal tidak bisa sekaligus diimani dan diketahui oleh orang yang sama.
Contohnya : seseorang tidak mengimani, tapi mengetahui keberadaan pensil yang
ada dalam genggamannya (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P. A Commentary
on the First Part of St Thomas' Theological
Summa, http://www.thesumma.info/one/one31.php).

(6) Duoay-Rheims Bible : “I AM WHO AM”


, http://www.intratext.com/IXT/ENG0011/_P1H.HTM.

(7) Tentang gerak ini St. Thomas menjelaskan secara lebih jelas dalam Summa
Contra Gentiles Bab 13
( http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/ContraGentiles1.htm#13 ). Dikatakan
bahwa segala sesuatu bergerak karena digerakkan. Jika sesuatu digerakkan oleh
dirinya sendiri, maka penggeraknya haruslah ada dalam dirinya, bukan bagian dari
dirinya. Sebagai contoh, binatang yang bergerak karena digerakkan oleh kakinya
tidak dapat disebut digerakkan oleh dirinya sendiri karena yang menggerakkan
adalah bagian dari dirinya yaitu kakinya. Dengan demikian, jika sesuatu dikatakan
digerakkan oleh dirinya sendiri, maka ia secara keseluruhan harus bergerak saat itu
juga, bukan per bagian.

Dijelaskan juga bahwa harus ada penggerak pertama, karena jika proses penggerak
dan yang digerakkan ini dirunut hingga tak berhingga, maka semua penggerak
adalah penggerak antara. Keadaan ini tidak mungkin karena penggerak antara
hanya meneruskan gerak dari penggerak sebelumnya. Jika semua adalah
penggerak antara dan tidak ada penggerak pertama, maka tidak ada sesuatupun
yang bergerak, dan ini adalah absurd.

21
(8) Kausa efisien adalah penyebab yang menghasilkan efek yang berbeda dari
dirinya sendiri ( Catholic
Encyclopedia, Cause, http://www.newadvent.org/cathen/03459a.htm )

(9) Tentang lima cara pembuktian ini, Rm. Reginald Garrigou-Lagrange, O.P.
memberi tabel sebagai berikut :

Setiap ciptaan :

a.) Bergerak : dan tergantung pada Penggerak pertamanya yang


tak tergerakkan
b.) Menyebabkan dan disebabkan : dan tergantung pada Penyebab pertama yang
tak memiliki penyebab
c.) Memiliki ketergantungan : dan tergantung pada Keberadaan yang
Pertama
d.) Terdiri dari beberapa bagian dan tidak sempurna : dan tergantung pada
Keberadaan yang paling sempurna dan sederhana
e.) Mengarah pada sesuatu : dan tergantung dari Pengarah tertingginya
(http://www.thesumma.info/one/one32.php)

Lima pembuktian St. Thomas ini sering diserang oleh para atheis, salah satunya
oleh Richard Dawkins, seorang professor di Oxford sekaligus ahli biologi
evolusioner. Tapi pendapat Dawkins telah dibuktikan sebagai pendapat yang tidak
memahami ajaran St. Thomas Aquinas. Salah satu tulisan yang menunjukkan hal
tersebut adalah artikel berjudul Who’s Deluded, An Atheist Just Doesn’t Get
Aquinas oleh Christopher Kaczor yang dimuat di majalah “This Rock” volume 20
nomor 3, Maret 2009 (http://www.catholic.com/magazine/articles/who%E2%80%99s-
deluded ). Buku Dawkins The God Delusion banyak mendapat sanggahan antara
lain dari Rm. Thomas Crean, O.P. dan Scott Hahn. Untuk lebih lengkapnya tentang
sumber-sumber yang menunjukkan kekeliruan Dawkins tersebut silakan
kunjungi http://www.catholic.com/magazine/articles/dawkins%E2%80%99-
debunkers.

Pertanyaan 3 : Tentang Ketunggalan Allah (Delapan Artikel)

Ketika keberadaan suatu hal telah dipastikan masih ada pertanyaan lebih lanjut
tentang cara keberadaannya, agar kita dapat tahu esensinya. Sekarang, karena kita
tidak tahu seperti apakah Allah itu, melainkan apa yang bukan Allah. Kita tidak
memiliki sarana untuk mempertimbangkan bagaimana Allah itu, melainkan
bagaimana yang bukan Allah itu. Oleh karena itu, kita harus mempertimbangkan:

(1) Bagaimana yang bukan Ia;


(2) Bagaimana Ia dikenal oleh kita;
(3) Bagaimana Ia disebut.

22
Sekarang dapat ditunjukkan bagaimana yang bukan Allah, dengan menyangkal
pemahaman apapun yang bertentangan dengan gagasan tentang-Nya, yaitu
pemahaman tentang komposisi, gerak, dan sejenisnya. Oleh karena itu
(1) Kita harus membahas ketunggalan-Nya, dimana kita menyangkal adanya
komposisi pada-Nya; dan karena apa pun yang tunggal dalam hal-hal materia
adalah tidak sempurna dan merupakan bagian dari sesuatu yang lain, maka kita
akan membahas
(2) Kesempurnaan-Nya;
(3) Kekekalan-Nya;
(4) Kemahakuasaan-Nya;
(5) Kesatuan-nya.

Tentang ketunggalan-Nya, ada delapan poin penyelidikan:

(1) Apakah Allah adalah suatu tubuh?


(2) Apakah Ia terdiri dari materia dan forma?
(3) Apakah dalam diri-Nya ada komposisi hakekat, esensi atau sifat, dan subjek?
(4) Apakah Ia terdiri dari esensi dan keberadaan?
(5) Apakah Ia terdiri dari genus dan perbedaan?
(6) Apakah Ia terdiri dari subjek dan aksiden?
(7) Apakah Ia dengan cara apapun adalah komposit, atau sepenuhnya tunggal?
(8) Apakah Ia berkomposisi dengan hal-hal lain?

Artikel 1 : Apakah Allah adalah Suatu Zat?

Keberatan 1 : Tampaknya Allah adalah suatu zat karena zat adalah sesuatu yang
memiliki tiga dimensi. Tetapi Kitab Suci mengatribusikan tiga dimensi kepada Allah,
sebab ada tertulis: " Tingginya seperti langit--apa yang dapat kaulakukan? Dalamnya
melebihi dunia orang mati--apa yang dapat kauketahui? Lebih panjang dari pada
bumi ukurannya, dan lebih luas dari pada samudera"(Ayub 11: 8, 9). Oleh karena itu
Allah adalah suatu zat.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, segala sesuatu yang memiliki bentuk adalah suatu zat,
karena bentuk adalah kualitas dari suatu kuantitas. Tetapi Allah tampaknya memiliki
bentuk, sebab ada tertulis: "Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan
rupa kita" (Kej. 1: 26). Sekarang, bentuk disebut sebagai gambar, menurut teks: "
Yang menjadi kecemerlangan kemuliaan dan wujud-Nya" yaitu gambaran, "dari
substansi-Nya" (Ibrani 1: 3) (10). Oleh karena itu Allah adalah suatu zat.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, apa pun memiliki bagian jasmani adalah suatu zat.
Sekarang, Kitab Suci mengatribusikan bagian jasmani kepada Allah. " Apakah
lenganmu seperti lengan Allah?" (Ayub 40:4); dan " Mata TUHAN tertuju kepada
orang-orang benar" (Mazmur 33:16); dan " tangan kanan TUHAN berkuasa
meninggikan" (Mazmur 117:16). Oleh karena itu Allah adalah suatu zat.

23
Keberatan 4 : Lebih lanjut, postur hanyalah milik dari zat. Tetapi dalam Kitab Suci
Allah diandaikan memiliki postur : "Aku melihat Tuhan duduk" (Yes 6: 1), dan "
TUHAN mengambil tempat untuk menuntut dan berdiri untuk mengadili bangsa-
bangsa" (Yes 3: 13). Oleh karena itu Allah adalah suatu zat.

Keberatan 5 : Lebih lanjut, hanya zat atau benda jasmani yang dapat menggunakan
istilah yang berhubungan dengan lokasi "darimana" atau "kemana" Tapi dalam Kitab
Suci Allah disebut menggunakan istilah-istilah local “pada” menurut kata-kata, "
Tujukanlah pandanganmu kepada-Nya, maka mukamu akan berseri-seri" (Mazmur
33:6), dan sebagai istilah "dari": orang-orang yang menyimpang dari pada-Mu akan
dilenyapkan di negeri" (Yeremia 17: 13). Oleh karena itu Allah adalah suatu zat.

Sebaliknya, Ada ditulis dalam Injil Yohanes (Yoh 4: 24): "Allah adalah Roh."

Aku menjawab, Adalah sungguh benar bahwa Allah bukanlah suatu zat; dan ini
akan ditampilkan dalam tiga cara. Pertama, karena zat tidak bergerak kecuali itu
digerakkan, sebagaimana jelas dalam hal induksi. Sekarang telah sudah terbukti
(P[2], A[3]), bahwa Allah adalah Penggerak pertama, dan Ia tak tergerakkan. Oleh
karena itu sangat jelas bahwa Allah bukanlah suatu zat. Kedua, karena keberadaan
yang pertama harus ada dalam aktualitas, bukannya potesialitas. Karena walaupun
dalam setiap hal yang berproses dari potensialitas menuju aktualitas, potensialitas
selalu mendahului aktualitas, tetapi, tepatnya, aktualitas ada sebelum potensialitas,
karena apapun yang ada dalam potensialitas dapat direduksi menjadi aktualitas
hanya oleh suatu keberadaan yang berada dalam aktulitas. Sekarang telah
dibuktikan bahwa Allah adalah Keberadaan yang pertama. Oleh karena itu tidak
mungkin bahwa Tuhan harus ada dalam potensialitas apapun. Tapi setiap zat ada
dalam potensialitas karena ia terus berada dalam potensialitas yang tak terbatas.
Oleh karena itu tidak mungkin bahwa Allah harus berupa zat. Ketiga, karena Allah
adalah yang paling mulia dari segala keberadaan. Sekarang tidaklah mungkin bagi
zat untuk menjadi yang paling mulia dari segala keberadaan karena zat harus selalu
dalam keadaan dapat bergerak ataupun tidak dapat bergerak; dan zat yang dapat
bergerak adalah lebih mulia dari zat yang tak dapat bergerak. Tapi zat yang dapat
bergerak tidak secara tepat bergerak sebagai satu zat, karena jika demikian maka
seluruh zat pada saat yang bersamaan akan bergerak. Oleh karena gerakannya
tergantung dari benda lain, seperti tubuh kita bergerak tergantung dari jiwa kita.
Maka sesuatu yang menggerakkan zat adalah lebih mulia dari zat. Dengan demikian
tidaklah mungkin bahwa Allah adalah suatu zat.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Seperti yang telah kita bahas di atas (P [1],
A[9]), Kitab Suci menjelaskan bagi kita hal-hal spiritual dan Ilahi dalam perbandingan
dengan hal-hal jasmani. Oleh karena itu, ketika hal-hal tiga dimensi tentang makhluk
jasmani itu diatribusikan kepada Allah, ini menyiratkan kuantitas-Nya yang
sesungguhnya. Dengan demikian, tentang kedalaman, hal itu menandakan
kekuatan-Nya untuk mengetahui hal-hal tersembunyi; tentang ketinggian, adalah
tentang kekuasaan-Nya yang teramat luar biasa; tentang panjang, adalah tentang
durasi keberadaan-Nya; tentang luas, adalah tentang tindakannya cinta-Nya untuk
semua. Atau, seperti yang dikatakan Dionysius (Div. Nom. ix), dengan kedalaman
Allah yang dimaksudkan adalah ketidakdapatdimengertian tentang esensi-Nya;
dengan panjang, adalah prosesi semua kuasa-Nya; dengan luas, adalah Ia

24
menjangkau segala sesuatu, sebab segala sesuatu berada di bawah perlindungan-
Nya.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Manusia dikatakan sebagai gambar Allah,


tidak mengenai tubuhnya, tetapi sehubungan dengan bagaimana ia mengungguli
hewan lainnya. Oleh karena itu, ketika dikatakan, "Baiklah kita menjadikan manusia
menurut gambar dan rupa kita", ada ditambahkan, "dan biarkan Dia berkuasa atas
ikan di laut" (Kej. 1: 26). Sekarang manusia unggul atas semua hewan oleh nalar
dan akalnya; maka dalam hal memiliki akal dan nalar, yang bukan merupakan hal-
hal jasmani, manusia dikatakan serupa dengan gambar Allah.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Hal-hal jasmani diatribusikan kepada Allah


dalam Kitab Suci untuk menyatakan tindakan-Nya, dan ini adalah karena paralel
tertentu. Misalnya tindakan mata adalah untuk melihat; maka mata yang dikaitkan
dengan Allah menandakan kekuasaan melihat melalui akal, bukannya indrawi; dan
seterusnya dengan hal-hal lain.

Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Apapun yang berkenaan dengan postur, juga,


hanya diatribusikan kepada Allah dengan semacam paralel. Ia disebut duduk karena
ketaktergerakkan-Nya dan dominasi-Nya; dan sebagai berdiri, karena kekuasaan-
Nya melampaui apa pun yang ada dihadapan-Nya.

Tanggapan terhadap Keberatan 5 : Kita menghampiri Allah bukan melalui langkah


jasmani, karena ia ada di mana-mana, tetapi dengan jiwa kita, dan dengan tindakan
jiwa yang sama kita undur dari-Nya; dengan demikian, untuk mendekat atau undur
dari-Nya hanya menandakan tindakan rohani, berdasarkan metafora terhadap
tindakan bergerak.

Artikel 2 : Apakah Allah Terdiri dari Materia dan Forma?

Keberatan 1 : Tampaknya bahwa Allah terdiri dari materia dan forma karena apa
pun yang memiliki jiwa selalu terdiri dari materia dan forma (11); sebab jiwa adalah
bentuk dari tubuh (12). Tetapi Kitab Suci mengatribusikan jiwa kepada Allah; karena
disebutkan dalam Surat kepada Jemaat di Ibrani (Ibrani 10: 38), dimana Allah
menyatakan: "Tetapi orang-orang-Ku yang benar hidup oleh iman, tetapi jika dia
menarik dirinya, ia tidak akan memuaskan jiwa-Ku"(13). Oleh karena itu Allah terdiri
dari materia dan forma.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, kemarahan, sukacita dan sejenisnya adalah gairah dari
suatu komposit. Tapi hal-hal tersebut diatribusikan kepada Allah dalam Kitab Suci:
"Tuhan sungguh murka pada umat-Nya" (Mazmur 105:40). Oleh karena itu Allah
terdiri dari materia dan forma.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, materia adalah principal dari individualisasi. Tetapi Allah
tampaknya individual, karena Ia tidak ada banyak. Oleh karena itu ia terdiri dari
material dan forma.

25
Sebaliknya, Apa pun yang terdiri dari materia dan forma adalah suatu tubuh; karena
sifat dimensional dari suatu kuantitas adalah ciri pertama dari materia. Tetapi Allah
bukanlah suatu tubuh seperti telah dibuktikan dalam artikel sebelumnya. Oleh
karena itu Allah tidak terdiri dari materia dan forma.

Aku menjawab bahwa, Adalah mustahil bahwa dalam Allah ada materia. Pertama,
karena materia selalu berada dalam potensialitas. Tapi kita telah menunjukkan (P
[2], A[3]) bahwa Allah adalah aktualitas murni, tanpa ada potensialitas di dalam-Nya.
Karena itu mustahil bahwa Allah terdiri dari materia dan forma. Kedua, karena
segala sesuatu yang terdiri dari materia dan forma mengandalkan
kesempurnaannya pada forma; oleh karena itu kebaikannya adalah kebaikan karena
keikutsertaan, sejauh materia ikut serta dalam bentuk. Sekarang sesuatu yang
pertama dan terbaik---yaitu Allah---bukanlah kebaikan karena keikutsertaan, karena
kebaikan yang utama telah ada sebelum kebaikan karena keikutsertaan. Karena itu
mustahil bahwa Allah terdiri dari materia dan forma.

Ketiga, karena setiap agen bertindak melalui formanya; oleh karena itu caranya
memiliki forma adalah caranya berada sebagai agen. Oleh karena itu jika suatu agen
bersifat utama dan pokok dalam hal apapun, ia juga harus utama dan pokok dalam
formanya. Sekarang, Allah adalah agen pertama, karena Ia adalah Penyebab efisien
pertama. Karena itu, Ia dalam esensi-Nya adalah suatu forma, dan tidak terdiri dari
materia dan forma.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Jiwa diatribusikan kepada Allah karena


perbuatan-perbuatan-Nya yang menyerupai tindakan jiwa; bahwa kita menghendaki
sesuatu, adalah karena jiwa kita. Oleh karena itu apa berkenan kepada kehendak-
Nya dikatakan menyenangkan untuk jiwa-Nya.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Kemarahan dan sejenisnya diatribusikan


kepada Allah karena kesamaan efek. Dengan demikian, karena untuk menghukum
adalah tindakan dari orang yang marah, hukuman Tuhan adalah secara metaforis
disebut sebagai kemarahan-Nya.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Forma yang dapat diterima dalam materia


menjadi terindividualisasi oleh materia, yang tidak dapat berada di sesuatu lainnya
sebagai subjek karena forma tersebut adalah subjek dari materia itu sendiri;
meskipun forma itu sendiri dapat diterima oleh banyak materia lainnya, kecuali
sesuatu yang lain mencegah hal tersebut. Tapi forma yang tidak bisa diterima dalam
materia, tetapi dalam dan dari dirinya sendiri ada, menjadi sungguh terindividualisasi
karena forma tersebut tidak bisa diterima dalam suatu subjek, dan forma semacam
itu adalah Allah. Maka tidak berarti bahwa Allah harus memiliki materia.

Artikel 3 : Apakah Tuhan Sama dengan Esensi atau Hakikat-Nya?

Keberatan 1 : Tampaknya Allah tidak sama dengan esensi atau hakikat-Nya, karena
tidak ada yang bisa ada dalam dirinya sendiri. Tetapi substansi atau hakikat Allah---

26
yaitu Ke-Allahan---dikatakan ada dalam Allah. Oleh karena itu tampaknya Allah tidak
sama dengan esensi atau hakikat-Nya.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, efek dihubungkan dengan penyebabnya; karena setiap


agen menghasilkan sesuatu yang serupa dengan dirinya. Tapi dalam ciptaan,
"suppositum"(14) tidaklah identik dengan hakikatnya; karena manusia tidaklah sama
dengan kemanusiaannya. Oleh karena itu Allah tidak sama dengan ke-Allahan-Nya.

Sebaliknya, Dikatakan mengenai Allah bahwa Ia adalah kehidupan itu sendiri, dan
tidak hanya sekedar bahwa Ia adalah sesuatu yang hidup: "Akulah jalan, kebenaran,
dan hidup" (Yohanes 14: 6). Sekarang hubungan antara ke-Allahan dan Allah adalah
sama seperti hubungan antara kehidupan dan makhluk hidup. Oleh karena itu Allah
adalah sungguh ke-Allahan-Nya.

Aku menjawab bahwa, Tuhan adalah sama dengan esensi atau hakikat-Nya. Untuk
memahami hal ini, harus diperhatikan bahwa dalam hal-hal yang terdiri dari materia
dan forma, hakikat atau esensi harus berbeda dari "suppositum," karena esensi atau
hakikat menjelaskan hanya apa yang termasuk dalam definisi tentang spesies;
seperti kemanusiaan menjelaskan semua yang termasuk dalam definisi tentang
manusia, karena adalah dengan kemanusiaan maka manusia menjadi manusia, dan
tentang manusia inilah yang dijelaskan dalam kemanusiaan, yaitu, bahwa manusia
adalah manusia. Sekarang materia individual, dengan segala aksiden (15) yang
mengindividualisasikannya, tidak termasuk dalam definisi tentang spesies, karena
daging tertentu ini, tulang tertentu ini, hitam atau putihnya individu ini, dll, tidak
termasuk dalam definisi tentang manusia. Oleh karena itu daging ini , tulang ini dan
kualitas aksidental yang membedakan materia tertentu ini, tidak termasuk dalam
kemanusiaan; namun mereka termasuk dalam hal-hal tentang manusia. Oleh karena
itu hal yang ada dalam seorang manusia adalah lebih dari sekedar kemanusiaannya.
Akibatnya kemanusiaan dan manusia tidak sepenuhnya sama; tetapi kemanusiaan
diambil untnuk mengartikan bagian formal dari seorang manusia, karena prinsip-
prinsip yang mendefinisikan suatu hal adalah unsur formal yang pokok dalam suatu
materia yang terindividualisasi. Di lain pihak, dalam hal-hal yang tidak terdiri dari
materia dan forma, di mana individualisasi bukan tentang materia individual---
katakanlah, materia “ini”---maka forma terindividualisasi oleh dirinya sendiri ---
sehingga forma itu sendiri menjadi “supposita”. Maka “suppositum” dan hakikat
mereka menjadi teridentifikasi. Karena Allah tidak terdiri dari materia dan forma,
maka ke-Allahan-Nya adalah Ia sendiri, kehidupan-Nya sendiri, dan hal apa pun
yang diperdikasikan pada-Nya.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Kita dapat berbicara tentang hal-hal sederhana


hanya seolah-olah mereka merupakan hal-hal komposit yang menyusun
pengetahuan kita. Oleh karena itu dalam berbicara tentang Allah, kita menggunakan
kata benda konkrit untuk menandakan subsistensi-Nya, karena bagi kita, hanya hal-
hal kompositlah yang ada; dan kita menggunakan kata benda abstrak untuk
menandakan kesederhanaan-Nya. Dalam mengatakan bahwa ke-
Allahan, kehidupan atau sejenisnya yang ada dalam Allah, kita menggunakan cara
komposit yang dipahami oleh akal kita, tetapi tidak berarti bahwa ada komposisi
dalam Allah (16).

27
Tanggapa terhadap Keberatan 2 : Efek dari Allah tidak mengimitasi diri-Nya secara
sempurna, tapi hanya sejauh yang mereka dapat; dan imitasi di sini tidak sempurna
justru karena apa yang sederhana dan satu, hanya dapat diwakili oleh beberapa hal;
Akibatnya, komposisi menjadi aksiden untuk hal-hal tersebut, dan oleh karena itu,
dalam diri mereka, "suppositum" tidaklah sama dengan hakikat (17)

Artikel 4 : Apakah dalam Allah Esensi dan Keberadaan adalah Sama?

Keberatan 1 : Tampaknya dalam Allah esensi dan keberadaan tidaklah sama (18).
Jika menjadi demikian, maka terhadap keberadaan ilahi tidak ada sesuatu pun yang
dapat di ditambahkan. Sekarang suatu keberadaan yang tidak ditambahi apapun
padanya adalah suatu keberadaan universal yang dipredikasikan kepada segala hal.
Jika demikian maka Allah adalah suatu keberadaan dalam arti umum yang dapat
dipredikasikan pada segala sesuatu. Tapi ini keliru : "Karena manusia memberikan
nama dengan pemahaman tertentu pada kayu dan batu" (Keb 14: 21). Oleh karena
itu keberadaan Allah tidak sama dengan esensi-Nya.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, kita dapat mengetahui apakah Allah ada seperti yang
dikatakan di atas (P [2], A[2]); Tapi kita tidak tahu "apa" Allah itu. Oleh karena itu
keberadaan Allah adalah tidak sama dengan esensi-Nya---yaitu sebagai hakekat
atau inti-Nya.

Sebaliknya, Hilary mengatakan (Trin. vii): "Dalam Allah keberadaan bukanlah suatu
kualitas aksidental, tetapi merupakan kebenaran yang menjadikan ada (subsisting
truth)." Oleh karena itu apa yang ada dalam Allah adalah keberadaan-Nya.

Aku menjawab bahwa, Allah bukan hanya esensi-Nya sendiri, seperti yang
ditunjukkan dalam artikel sebelumnya, tetapi juga keberadaan-Nya sendiri. Ini dapat
ditunjukkan dalam beberapa cara. Pertama, apa pun yang dimiliki oleh sesuatu
selain esensinya, harus disebabkan oleh principal pokok dari esensi tersebut (seperti
sebuah kelayakan yang selalu menyertai spesies---contohnya hal tertawa adalah hal
yang layak bagi seorang manusia---dan disebabkan oleh principal pokok dari
spesies tersebut). Yang kedua adalah disebabkan oleh agen eksterior---seperti air
yang menjadi panas karena disebabkan oleh api. Oleh karena itu, jika keberadaan
dari sesuatu berbeda dari esensinya, keberadaan tersebut harus disebabkan oleh
agen eksterior atau oleh principal pokoknya. Sekarang tidak mungkin keberadaan
sesuatu hal adalah karena disebabkan oleh principal pokoknya, karena tidak ada
yang dapat menjadi penyebab dari keberadaannya sendiri, jika keberadaannya itu
adalah merupakan suatu akibat. Oleh karena itu, pada suatu keberadaan yang
berbeda dari esensinya, keberadaannya tersebut harus disebabkan oleh suatu
keberadaan lain. Tapi keberadaan Allah tidak seperti itu; karena Allah kita sebut
sebeagai kausa efisien pertama. Oleh karena itu mustahil bahwa keberadaan Allah
berbeda dari esensi-Nya (19). Kedua, keberadaan adalah sesuatu yang membuat
setiap bentuk atau hakikat menjadi aktual; karena kebaikan dan kemanusiaan
dikatakan aktual, hanya jika dibicarakan tentang keberadaannya. Oleh karena itu
keberadaan harus dibandingkan dengan esensi, jika esensi adalah sebuah realitas
yang berbeda dari keberadaan, seperti aktualitas dibandingkan dengan

28
potensialitas. Oleh karena itu, karena dalam Allah tidak ada potensialitas, seperti
yang ditunjukkan di atas (A[1]), maka di dalam Dia esensi tidak berbeda dari
keberadaan. Oleh karena itu esensi-Nya adalah keberadaan-Nya (20). Ketiga,
karena, seperti yang telah terbakar oleh api, tetapi tidak api itu sendiri, adalah ada
dalam api karena keikutsertaan; sehingga ikut ada tetapi bukan keberadaan itu
sendiri, adalah suatu keberadaan karena keikutsertaan. Tetapi Allah adalah esensi-
Nya sendiri, seperti yang ditunjukkan di atas (A[3]) oleh karena itu, jika Ia bukan
keberadaan-Nya sendiri maka Ia bukan ada secara esensial, tapi ada karena ikut
serta. Jika demikian, maka Ia bukanlah keberadaan yang pertama---yang adalah
absurd. Oleh karena itu Allah adalah keberadaan-Nya sendiri, dan bukan hanya
sekedar esensi-Nya sendiri.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Sesuatu yang tidak tertambahi apapun ke


dalamnya dapat menjadi dua jenis. Yang pertama adalah sesuatu yang esensinya
memang tidak bisa ditambahi, contohnya, adalah esensi dari binatang irasional yang
kedalamnya tidak bisa ditambahi sifat rasional. Jenis yang kedua adalah suatu
esensi yang tidak memerlukan apapun untuk ditambahkan padanya, jadi genus
binatang adalah tanpa sifat rasional, karena secara umum bukanlah esensi dari
binatang untuk memiliki sifat rasional. Maka ke dalam keberadaan ilahi tidak dapat
ditambahi apapun, sedangkan dalam keberadaan universal tidak perlu ditambahi
apapun.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : "Ada" dapat berarti salah satu dari dua hal. Ini
mungkin berarti tindakan dari esensi, atau mungkin berarti komposisi proposisi yang
dilakukan oleh pikiran dalam mengenakan suatu predikat pada suatu subyek. Dalam
artian “ada” yang pertama, kita tidak dapat memahami keberadaan Allah ataupun
esensi-Nya; tapi kita hanya memahaminya dalam pengertian kedua. Kita tahu bahwa
proposisi “Allah ada” adalah benar, dan ini kita ketahui dari efek-Nya (P [2], A [2]).

Artikel 5 : Apakah Allah Termasuk dalam Suatu Genus?

Keberatan 1 : Tampaknya Allah termasuk dalam suatu genus, karena suatu


substansi adalah suatu keberadaan yang ada pada dirinya sendiri (21). Tetapi Allah
ada dalam diri-Nya sendiri. Oleh karena itu Allah ada dalam genus substansi.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, tidak suatupun dapat diukur kecuali oleh genusnya
sendiri; seperti panjang diukur dengan panjang dan angka oleh angka. Tetapi Allah
adalah ukuran dari segala substasnsi, seperti ditunjukkan oleh Komentator (Metaph.
x). Oleh karena itu Allah termasuk dalam genus substansi.

Sebaliknya, Dalam pikiran, genus telah ada sebelum sesuatu yang terkandung di
dalamnya ada. Tapi tidak ada sesuatupun yang ada, baik secara nyata maupun
hanya dalam pikiran. Oleh karena itu Allah tidak terkandung dalam genus apapun.

Aku menjawab bahwa, Sesuatu dapat ada dalam suatu genus dengan dua cara;
secara absolute dan secara tatanan, seperti suatu spesies yang terkandung dalam
suatu genus (22); atau seperti sesuatu yang direduksi hingga menuju suatu genus,

29
seperti suatu principal dan suatu kekurangan. Sebagai contoh, suatu titik dan suatu
kesatuan direduksi ke dalam genus kuantitas sebagai prinsipalnya; Sementara
kebutaan dan semua kekurangan lain yang dimasukkan dalam untuk genus kondisi.
Tapi dalam cara apapun Allah tidak termasuk dalam suatu genus. Bahwa Ia tidak
dapat menjadi suatu spesies dari suatu genus dapat ditunjukkan dalam tiga cara.
Pertama, spesies dihasilkan dari genus dan perbedaan. Sekarang, perbedaan yang
darinya suatu spesies diketahui, selalu berhubungan dengan sesuatu yang darinya
suatu genus berasal, seperti aktualitas yang dihubungkan dengan potensialitas (23).
Karena binatang berasal dari suatu hakikat yang mampu mengindera, sebagai suatu
perwujudan dari hakikat tersebut, karena binatang adalah sesuatu yang mempunyai
kemampuan untuk mengindera. Makhluk rasional, di sisi lain, dikelompokkan dalam
hakikat berakal, karena sesuatu disebut rasional, jika memiliki akal, dan akal
dibandingkan dengan rasa, seperti aktualitas dibandingkan dengan potensialitas.
Argumen yang sama berlaku baik dalam hal-hal lain. Maka karena dalam Allah tidak
terdapat potensialitas yang berubah menjadi aktualitas, adalah mustahil bahwa Allah
harus berada di bawah genus sebagai suatu spesies. Kedua, karena keberadaan
Allah adalah sekaligus esensi-Nya. Jika Allah berada di bawah suatu genus, Ia
seharusnya berada di bawah genus "keberadaan". Karena genus dipredikasikan
sebagai suatu hal yang esensial, maka genus berhubungan dengan esensi dari
suatu hal. Tapi sang Filsuf telah menunjukkan (Metaph. iii) bahwa “keberadaan”
tidak dapat menjadi suatu genus, karena setiap genus memiliki esensi yang
berbeda. Sekarang, keberadaan tidak memilik pembeda dengan hal lain, karena
ketidakberadaan tidak dapat dijadikan suatu pembeda (24). Dengan demikian Allah
yang tidak termasuk dalam genus apapun. Ketiga, karena hal-hal yang berada
dalam satu genus memiliki kesamaan hakekat atau esensi dari genus yang
dipredikasikan pada mereka, tetapi hal-hal tersebut saling berbeda dalam
keberadaan mereka, karena keberadaan manusia dan kuda tidaklah sama; juga
keberadaan orang ini dan orang itu tidaklah sama. Maka dalam setiap anggota
genus, keberadaan harus berbeda dengan hakekat---yaitu esensinya. Tapi dalam
Allah keberadaan dan esensi tidaklah berbeda, seperti yang telah ditunjukkan dalam
artikel sebelumnya. Oleh karena itu jelas bahwa Allah tidak termasuk dalam genus
apapun, seolah-olah Ia adalah suatu spesies. Dari ini juga jelas bahwa Ia tidak
memiliki genus atau pembeda, tidak juga ada definisi tentang-Nya; tidak juga ada
pembuktian tentang-Nya, kecuali lewat efek-efek-Nya, karena suatu definisi
berhubungan dengan genus dan pembeda, dan suatu pembuktian hanya bisa terjadi
melalui definisi. Bahwa Allah tidak memiliki suatu genus sebagai principal-
Nya,adalah jelas dari hal berikut, bahwa suatu principal yang dapat direduksi ke
dalam suatu genus tidak akan menjangkau hal-hal di luar genus tersebut, seperti
suatu titik hanya merupakan principal dari kuantitas berkesinambungan, sedangkan
untuk kuantitas tak berkesinambungan ada di bawah principal kesatuan. Tetapi Allah
adalah principal dari segala sesuatu. Oleh karena itu Ia tidak terdapat dalam genus
apapun sebagai principal-Nya.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Kata “substansi” tidak hanya mengacu pada


cara keberadaan sesuatu---karena keberadaan sendiri tidak dapat menjadi suatu
genus, seperti yang ditunjukkan dalam tubuh artikel ini; Tapi, kata itu juga
menandakan esensi yang memiliki cara keberadaan yang demikian---yaitu, ada
dalam dirinya sendiri; Namun, keberadaan ini bukanlah esensinya. Dengan demikian
jelas bahwa Allah tidak termasuk dalam genus substansi.

30
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Keberatan ini mengacu pada sarana ukur
proporsional yang harus homogen dengan apa yang diukur. Sekarang, Allah
bukanlah sarana ukur yang sebanding dengan apapun. Namun, Ia tetap disebut
sebagai sarana ukur terhadap segala sesuatu, dalam pemahaman bahwa segala
sesuatu memiliki keberadaan dalam cara menyerupai keberadaan-Nya (25).

Artikel 6 : Apakah dalam Allah Terdapat Aksiden?

Keberatan 1 : Tampaknya dalam Allah ada aksiden, karena suatu substansi tidak
bisa menjadi akesiden, sebagaimana dikatakan Aristoteles (Phys. i). Oleh karena itu
apa yang menjadi aksiden di suatu tempat, tidak bisa menjadi substansi di tempat
lain. Dengan demikian terbukti bahwa panas tidak dapat menjadi bentuk substatnsial
dari api, karena panas adalah aksiden dalam hal lain. TApi kebijaksanaan, kebajikan
dan sejenisnya, yang merupakan aksiden pada diri kita, diatribusikan pada Allah.
Maka dalam Allah ada aksiden.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, dalam setiap genus ada prinsipal pertama. Tetapi ada
banyak "genera" [cat. : bentuk jamak dari genus] untuk banyak aksiden. Maka, jika
tiap principal pertama tersebut tidak ada dalam Allah, maka aka nada keberadaan
prima lainnya selain Allah—yang adalah absurd.

Sebaliknya, Setiap aksiden ada dalam suatu subjek. Tetapi Allah tidak dapat
menjadi subjek, karena "suatu forma sederhana tidak dapat menjadi suatu subjek ",
sebagai dikatakan Boethius (De Trin.). Oleh karena itu dalam Allah tidak ada
aksiden.

Aku menjawab bahwa, Dari semua yang telah kita katakan, adalah jelas bahwa
dalam Allah tidak ada aksiden. Pertama, karena suatu subjek dibandingkan dengan
aksidennya sebagai suatu potensialitas menuju kepada aktualitas, karena suatu
subjek dalam pengertian tertentu dijadikan actual oleh aksiden-aksidennya. Tapi
tidak ada potensialitas dalam Allah, sebagaimana telah ditunjukkan (P[2], A[3]).
Kedua, karena Allah adalah keberadaan-Nya sendiri; dan sebagaimana
dikatakan Boethius (Hebdom.), meskipun setiap esensi mungkin punya sesuatu
yang ditambahkan padanya, ini tidak berlaku untuk keberadaan yang absolut:
dengan demikian suatu substansi yang menerima panas dapat menerima sesuatu
selain panas, sebagaimana warna putih, namun panas yang absolute tidak memiliki
apapun selain panas di dalamnya (26). Ketiga, karena esensi telah ada terlebih
dahulu daripada aksiden. Karena Allah adalah keberadaan prima yang absolute,
maka tidak ada aksiden di dalam-Nya. Tidak pula Ia memiliki aksiden esensial
apapun (sebagaimana kemampuan untuk tertawa adalah suatu aksiden esensial
dalam manusia) , karena aksiden semacam itu disebabkan oleh principal pokok
suatu subjek. Sekarang, tidak ada penyebab dalam Allah, karena Ia sendiri adalah
Penyebab pertama. Maka tidak ada aksiden dalam Allah.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Kebajikan dan kebijaksanaan tidak


dipredikasikan pada Allah dan pada diri kita dalam cara yang sama. Maka tidak
berarti ada aksiden dalam Allah seperti yang ada pada kita.

31
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Karena substansi ada terlebih dahulu daripada
aksiden, principal-prinsipal dari aksiden ditarik mundur sampai pada principal-
prinsipal substansi tersebut sebagai sesuatu yang telah ada terlebih dahulu, seolah-
olah terkandung dalam genus substansi tersebut. Namun Allah adalah yang
keberadaan yang pertama, dan berada di luar genus apapun.

Artikel 7 : Apakah Allah Sepenuhnya Tunggal?

Keberatan 1 : Tampaknya Allah tidak sepenuhnya tunggal, karena apa pun yang
berasal dari Allah harus mengimitasi dia. Dengan demikian keberadaan yang
pertama adalah asal dari segala keberadaan; dan dari kebaikan yang pertama
muncul segala kebaikan. Tapi dalam hal-hal yang diciptakan Allah, tidak ada
satupun yang sepenuhnya tunggal. Oleh karena itu Allah juga tidak sepenuhnya
tunggal.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, apa pun terbaik harus dikaitkan kepada Allah. Tetapi kita
melihat bahwa suatu komposit lebih baik daripada sesuatu yang sepenuhnya
tunggal; dengan demikian, senyawa kimia lebih baik daripada sekedar unsur-unsur
yang sepenuhnya tunggal, dan hewan lebih baik daripada bagian-bagian yang
membentuk mereka. Oleh karena itu tidak dapat dikatakan bahwa Allah sama sekali
sepenuhnya tunggal.

Sebaliknya, Agustinus mengatakan (De Trin. iv, 6,7): "Allah sungguh dan secara
absolut tunggal."

Aku menjawab bahwa, Ketunggalan absolut Allah dapat ditampilkan dalam banyak
cara. Pertama, dari artikel sebelumnya dalam pertanyaan ini. Karena ada tidak
komposisi kuantitatif yang menjadi bagian dalam Allah, karena Ia bukanlah suatu
zat; juga bukan komposisi materia dan forma; juga tidak hakikat-Nya yang berbeda
dari "suppositum"-Nya; maupun esensi dari keberadaan-Nya; tidak ada pula di
dalam-Nya komposisi dari genus dan perbedaan, maupun dari subjek dan aksiden.
Oleh karena itu, jelas bahwa Allah bukanlah suatu komposit, tapi sama sekali
tunggal. Kedua, karena setiap komposit ada setelah disusun oleh komponen-
komponennya, dan bergantung pada mereka; tetapi Allah adalah keberadaan yang
pertama, seperti yang ditunjukkan di atas (P [2], A[3]). Ketiga, karena setiap
komposit memiliki suatu penyebab, karena hal-hal yang berbeda tidak bisa bersatu
kecuali ada sesuatu yang menyebabkan mereka bersatu. Tetapi Allah tidak
disebabkan oleh apapun, seperti yang ditunjukkan di atas (P [2], A[3]), karena Ia
adalah penyebab efisien pertama. Keempat, karena dalam setiap komposit harus
ada potensialitas dan aktualitas; Tapi ini tidak berlaku untuk Allah; karena dalam
komposit salah satu bagian mengaktualisasikan yang lain, atau setidaknya semua
bagian memiliki potensialitas bagi keseluruhan komposit. Kelima, karena tidak ada
komposit yang dapat dipredikasikan pada salah satu bagiannya. Dan ini jelas dalam
suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang berbeda; karena tidak ada
bagian dari seorang laki-laki yang adalah sekaligus seorang laki-laki, atau salah satu
bagian kaki adalah keseluruhan kaki. Tetapi dalam suatu keseluruhan yang terdiri
dari bagian-bagian yang sama, meskipun sesuatu yang dipredikasikan pada

32
keseluruhan, dapat dipredikasikan pada bagian (sebagaimana bagian dari udara
adalah udara, dan bagian dari air adalah air), namun demikian terdapat hal-hal
tertentu yang dapat dipredikasikan pada keseluruhan namun tidak bisa
dipredikasikan pada bagian; misalnya, jika seluruh volume air adalah dua cubit,
maka dua hasta tidak bisa dipredikasikan pada bagian-bagian air itu. Dengan
demikian dalam setiap komposit terdapat sesuatu yang bukan merupakan dirinya
sendiri. Namun, bahkan jika hal ini bisa dikatakan pada apa pun yang memiliki
forma, yaitu bahwa ia memiliki sesuatu yang bukan dirinya sendiri, seperti dalam
objek berwarna putih ada sesuatu yang bukan merupakan esensi dari putih; Namun
demikian dalam forma sendiri, tidak ada apapun selain dirinya sendiri. Dengan
demikian, karena Allah adalah suatu forma absolut, atau keberadaan absolut, Ia bisa
ada tanpa melalui komposit. Hilary menyiratkan argumen ini, ketika ia berkata (De
Trin. vii): "Allah, yang adalah kekuatan, tidak terdiri dari hal-hal yang lemah; juga
tidak bahwa Ia yang adalah cahaya, terdiri dari hal-hal yang redup."

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Apa pun yang dari Allah adalah meniru Dia,
seperti hal-hal yang disebabkan meniru sebab pertama. Tetapi esensi dari hal-hal
tersebut harus ada dalam semacam komposit; karena setidaknya keberadaannya
berbeda dari esensinya, seperti yang akan ditunjukkan selanjutnya, (P [4], A[3]).

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Pada kita, hal-hal komposit lebih baik daripada
hal-hal tunggal, karena kesempurnaan dari kebaikan dalam ciptaan tidak ditemukan
dalam satu hal yang tunggal, tetapi dalam banyak hal. Tapi kesempurnaan kebaikan
Ilahi ditemukan dalam satu hal yang tunggal(P [4], [1] dan P [6], A[2]).

Artikel 8 : Apakah Allah Masuk ke Dalam Komposisi dengan Hal-hal


Lain?

Keberatan 1 : Tampaknya Allah masuk ke dalam komposisi hal-hal lain, karena


Dionysius mengatakan (Coel. Hier. IV): "Ke-Allah-an adalah keberadaan dari segala
sesuatu yang mengatasi semua keberadaan." Tetapi keberadaan segala sesuatu
masuk ke dalam komposisi dari segala sesuatu. Oleh karena itu Allah masuk ke
dalam komposisi dengan hal-hal lain.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, Tuhan adalah suatu forma; karena Agustinus


mengatakan (De Verb. Dom., [* Serm. xxxviii]) bahwa, "Firman Allah, yang adalah
Allah, merupakan suatu forma yang tak terciptakan." Tapi forma merupakan bagian
dari suatu senyawa. Oleh karena itu Allah adalah bagian dari beberapa senyawa.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, segala sesuatu yang ada, yang dalam cara apapun tidak
memiliki perbedaan dari sesuatu lainnya, adalah sama satu dengan lainnya. Tetapi
Allah dan materia utama ada, dan dalam cara apapun tidak saling berbeda. Oleh
karena itu mereka adalah benar-benar sama. Tetapi materia utama masuk ke dalam
komposisi. Oleh karena itu Allah masuk ke dalam komposisi. Bukti dari premis minor
tersebut adalah bahwa hal-hal apa pun yang berbeda, mereka dibedakan dengan
beberapa perbedaan, dan oleh karena itu harus merupakan suatu komposit. Tetapi

33
Allah dan materia utama sama sekali sederhana. Oleh karena itu mereka sama
sekali sama satu dengan yang lain.

Sebaliknya, Dionysius mengatakan (Div. Nom. ii): "Tak ada yang dapat menyentuh-
Nya," yaitu Allah, "dan tidak ada persatuan apapun dengan Dia melalui pembauran
bagian dengan bagian."(27). Lebih lanjut, suatu sebab pertama mengatur segala
sesuatu tanpa bercampur dengan mereka, seperti dikatakan oleh sang Filsuf (De
Causis).

Aku menjawab bahwa, Pada titik ini ada tiga kesalahan. Beberapa telah
menegaskan bahwa Allah adalah jiwa dari dunia, seperti yang dijelaskan oleh
Augustine (De Civ. Dei vii, 6). Ini adalah hampir sama dengan pendapat mereka
yang menegaskan bahwa Allah adalah jiwa dari surga yang paling tinggi. Juga,
orang lain telah mengatakan bahwa Allah adalah prinsip formal dari segala sesuatu;
dan ini adalah teori Almaricians. Kesalahan ketiga adalah David Dinant, yang
dengan sangat absurd mengajarkan bahwa Allah adalah materia utama. Sekarang
semuanya ini berisi ketidakbenaran yang jelas; karena tidak mungkin bagi Allah
untuk masuk ke dalam komposisi dari apa pun, baik sebagai prinsip forma atau
materia. Pertama, karena Allah adalah penyebab efisien pertama. Sekarang
penyebab efisien tidak identik dalam hal jumlah dengan forma yang disebabkannya,
tetapi hanya secara khusus: seperti manusia melahirkan manusia. Tetapi materia
utama dapat tidak identik dalam hal jumlah maupun secara spesifik dengan dengan
suatu penyebab efisien; karena materia utama hanya sekedar suatu potensialitas,
sedangkan suatu penyebab efisien berada dalam aktualitas. Kedua, karena Allah
adalah penyebab efisien pertama, maka Allah bertindak secara primer dan melalui
esensi-Nya. Namun sesuatu yang masuk ke dalam suatu komposisi dengan sesuatu
lainnya, tidak bertindak secara primer dan esensial, melainkan komposit itulah yang
bergerak; seperti tangan tidak bertindak, tetapi manusialah yang bertindak melalui
tangannya; dan, api menghangatkan sesuatu melalui panasnya. Maka Allah tidak
dapat menjadi bagian dari suatu senyawa. Ketiga, karena tidak ada bagian dari
senyawa dapat benar-benar bersifat primal dalam suatu keberadaan ---bahkan
materia atau forma sekalipun, meskipun mereka adalah bagian primal dari setiap
senyawa. Karena materia hanya bersifat potensial; dan potensialitas secara absolute
ada setelah aktualitas, sebagaimana dijelaskan sebelumnya (P [3], A[1]): saat suatu
forma yang merupakan bagian dari senyawa adalah bersifat ikut serta, dan karena
sesuatu yang berpartisipasi ada setelah sesuatu yang esensial ada, maka begitulah
sesuatu yang ada karena keikutsertaan; seperti api dalam objek yang menyala ada
setelah sebelumnya ada api secara esensial. Sekarang sudah terbukti bahwa Allah
adalah benar-benar keberadaan primal (P [2], A[3]).

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Ke-Allah-an disebut sebagai keberadaan dari


segala sesuatu, sebagai kausa efisien dan contohnya, namun tidak menjadi esensi
dari segala keberadaan tersebut.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Sabda merupakan suatu forma eksemplar; tapi


bukan merupakan suatu forma yang menjadi bagian dari suatu senyawa (28).

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Hal-hal sederhana tidak dibedakan melalui


tambahan-tambahannya, karena tambahan tersebut adalah milik dari suatu
senyawa. Dengan demikian manusia dan kuda berbeda dalam perbedaan mereka,

34
rasional dan tidak rasional; namun pembedaan tersebut, tidak menjadi berbeda satu
sama lain karena hal-hal tambahan lainnya. Oleh karena itu, untuk menjadi cukup
akurat, lebih baik untuk mengatakan bahwa manusia dan kuda tidak berbeda, tetapi
beragam. Oleh karena itu, menurut sang Filsuf (Metaph. x), "hal-hal yang beragam
benar-benar berbeda, tetapi hal-hal yang berbeda dibedakan karena sesuatu
lainnya." Oleh karena itu, secara tegas dikatakan, materia primer dan Allah tidaklah
berbeda, tapi beragam melalui keberadaan masing-masing. Maka dengan demikian
Allah dan materia primer tidaklah sama.

…………

(10) Duoay-Rheims : “Who being the brightness of his glory, and the figure of his
substance”;
(http://www.intratext.com/IXT/ENG0011/_PZT.HTM )
KJV : “Who being the brightness of his glory, and the express
image of his person”.
Textus Receptus : “ὃς ὢν ἀπαύγασμα τῆς δόξης καὶ χαρακτὴρ τῆς
ὑποστάσεως αὐτοῦ”
(hos ōn apaugasma tēs doxēs kai charaktēr tēs
hypostaseōs autou)
(bdk. http://www.blueletterbible.org/Bible.cfm?b=Hbr&c=1
&v=3&t=KJV#conc/3,
http://biblos.com/hebrews/1-3.htm)
TB LAI : “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud
Allah”

Tampaknya TB LAI mengabaikan kata hypostaseōs dan tidak menerjemahkannya,


padahal keberatan 2 di atas berangkat dari situ yaitu bahwa hypostaseōs Allah
mempunyai gambaran sehingga Allah disangka memiliki bentuk. KJV
menerjemahkannya sebagai person. Dalam Konsili Nikea 325, hypostaseōs adalah
sama artinya dengan ousia (http://www.newadvent.org/cathen/07610b.htm ), yaitu
esensi (http://www.newadvent.org/cathen/07449a.htm ). Kata hypostaseōs ini
muncul dalam Surat-surat Rasul Paulus (2 Kor 9:4; 11:17; Ibr 1:3-3:14) tapi tidak
dalam pemahaman sebagai person. Perbedaan pemahaman ini menimbulkan
heresy dalam Kristologi (http://www.newadvent.org/cathen/07610b.htm ).

(11) Materia : elemen yang membentuk atau menyusun sesuatu


( Catholic Encyclopedia, Matter, http://www.newadvent.org/cathen/10053b.htm )
Forma : sesuatu yang terlihat, yang tampak
( Catholoc Encyclopedia, Form, http://www.newadvent.org/cathen/06137b.htm )
(12) Jiwa adalah forma substansial dari tubuh manusia (ajaran St. Thomas ini
ditetapkan sebagai harus diimani oleh Konsili Vienne)
(http://www.newadvent.org/cathen/06137b.htm ). Forma substansial adalah suatu
principal dari tindakan, dan karenanya sesuatu ada sebagaimana ia ada. Jiwa
sebagai forma substantial membedakan tubuh hidup dengan tubuh mati, dan ia
membedakan antara tubuh hidup satu dengan lainnya.

35
(13) Duoay-Rhimes : “But my just man liveth by faith; but if he withdraw himself, he
shall not please my soul.”
(http://www.intratext.com/IXT/ENG0011/_P102.HTM )
KJV : “Now the just shall live by faith: but if any man draw back,
my soul shall have no pleasure in him”
Textus Receptus : “ὁ δὲ δίκαιός ἐκ πίστεως ζήσεται καὶ ἐὰν ὑποστείληται οὐκ
εὐδοκεῖ ἡ ψυχή μου ἐν αὐτῷ”
(ho de dikaios mou ek pisteōs zēsetai kai ean hyposteilētai
ouk eudokei hē psychē mou en autō)
(http://www.blueletterbible.org/Bible.cfm?b=Hbr&c=10&v=38
&t=KJV#conc/38 ,
http://biblos.com/hebrews/10-38.htm )
TB LAI : “Tetapi orang-Ku yang benar akan hidup oleh iman, dan
apabila ia mengundurkan diri, maka Aku
tidak berkenan kepadanya.”

Berhubung dengan banyaknya kata yang hilang dalam TB LAI, maka teks-teks Kitab
Suci berikutnya akan langsung diterjemahkan dari apa yang ditulis oleh St. Thomas,
karena tulisan-tulisan St. Thomas lebih sesuai dengan Textus Receptus maupun
terjemahannya dalam bahasa Inggris, terutama Duoay-Rheims.

(14) Suppositum adalah sesuatu yang terindividualisasi, yang memiliki sesuatu yang
membedakannya dengan yang lain (bdk. Catholic
Encyclopedia Person, http://www.newadvent.org/cathen/11726a.htm, dan Individual,
Individuality, http://www.newadvent.org/cathen/07762a.htm ). Istilah tersebut
digunakan baik untuk makhluk berakal maupun tak berakal (rasional dan irasional).
Untuk makhluk berakal terdapat istilah sendiri yaitu “pribadi”.

(15) “Aksiden” adalah suatu sifat tidak khusus yang melekat pada genus atau
species sehingga bukan merupakan bagian yang hakiki. Contoh : buku yang
berwarna hijau, rambut pada manusia, dan sejenisnya (bdk. Rapar, Jan
Hendrik, Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis, Yogyakarta, Penerbit
Kanisius, 1996, h.21).

(16) Permasalahan di sini adalah pemahaman tentang “keberadaan” (to be) dan
“kepemilikan” (to have). Allah tidak memiliki “ke-Allahan”, kasih dan hidup, tapi Allah-
lah ke-Allahan, kasih dan hidup itu sendiri. Dengan demikian tidak ada komposisi
dalam Allah, karena suatu komposit akan selalu berada dalam potensialitas,
sedangkan dalam Allah tidak ada potensialitas (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald,
O. P., The One God — A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological
Summa ,http://www.thesumma.info/one/one39.php, dan St. Thomas Aquinas, Contra
Gentiles I, ch.21, http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/ContraGentiles1.htm#21 )

(17) Suppositum disini berarti hakikat ditambah dengan beberapa komposisi lainnya,
seperti manusia adalah kemanusiaannya ditambah beberapa hal lain (bdk. St.
Thomas Aquinas, Contra Gentiles I,
ch.21, http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/ContraGentiles1.htm#21 )

(18) Keberadaan : Keberadaan dapat dikelompokkan menjadi dua. Yang pertama


adalah keberadaan yang dapat dibagi-bagi menjadi beberapa kategori (bdk. St.

36
Thomas Aquinas, De Ente et
Essentia, http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/DeEnte&Essentia.htm ,
art.4, dan Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran
Sistematis,Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1996, h.19). Yang kedua adalah
keberadaan yang menandakan kebenaran suatu proposisi. Di sini suatu “privasi”
(privation) atau ketiadaan/kekurangan dan negasi (penyangkalan), dapat menjadi
suatu keberadaan. Contohnya adalah “kebutaan”. Kebutaan adalah sifat dari kurang
atau tiadanya kemampuan melihat dan negasi dari “bisa melihat” (buta=tidak bisa
melihat). Di sini proposisi “Kebutaan adalah sifat dari kurang atau tiadanya
kemampuan melihat” adalah benar, sehingga “kebutaan” adalah suatu keberadaan.
Namun demikian, “kebutaan” sebagai suatu keberadaan tidaklah memiliki esensi,
karena ia ada sebagai negasi atau privasi (privation). Sedangkan keberadaan jenis
pertama di atas adalah keberadaan yang memiliki esensi, karena merupakan
keberadaan nyata, dan bukan hanya sekedar suatu proposisi.

Esensi : Esensi dipahami sebagai sesuatu yang menjadikan sesuatu lainnya menjadi
ada dan dapat dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok tersendiri (bdk. St.
Thomas Aquinas, De Ente et
Essentia, http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/DeEnte&Essentia.htm , art.6).
Sebagai contoh, “kemanusiaan” menjadikan “manusia” ada dan berbeda dengan
kelompok binatang lainnya.

Esensi hanya ada dalam keberadaan jenis pertama, karena keberadaan ini adalah
keberadaan nyata, bukan hanya sekedar suatu proposisi (ibid. art.5).

(19) Sesuatu diluar esensi menjadi ada karena dua hal, yaitu dijadikan ada oleh
esensi itu sendiri (seperti tertawa yang ada karena merupakan bagian dari
kemanusiaan), atau disebabkan oleh agen eksterior. Sekarang, Allah tidak dijadikan
ada oleh agen eksterior karena Allah adalah Penyebab pertama, dan esensi Allah
(yaitu ke-Allahan-Nya) tidak bisa menjadi sebab dari keberadaan-Nya, karena untuk
menjadi sebab maka sesuatu harus ada terlebih dahulu. Maka keberadaan Allah
adalah sama dengan esensi-Nya (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The
One God — A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological
Summa, http://www.thesumma.info/one/one39.php)

(20) Esensi (contohnya : kemanusiaan) berada dalam potensialitas, dan hanya


menjadi actual jika ia berada dalam suatu keberadaan (contohnya : manusia). Tapi
dalam Allah tidak ada potensialitas. Maka esensi Allah (ke-Allahan-Nya) tidak
muncul dari aktualitas keberadaan-Nya, tapi selalu ada dalam aktualitas. Ini berarti
esensi Allah adalah identik dengan keberadaan-Nya (bdk. Garrigou-Lagrange,
Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First Part of St Thomas'
Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one40.php).

(21) Substansi : adalah suatu keberadaan yang tinggal di dalam dirinya sendiri, dan
menjadi subjek dari segala aksiden dan perubahan aksidental (Catholic
Encyclopedia, Substance, http://www.newadvent.org/cathen/14322c.htm ).
Contohnya adalah kayu. Kayu dapat utuh, terpotong-potong, kering ataupun basah,
dan semuanya itu adalah kayu dengan segala aksiden dan perubahan
aksidentalnya. Tapi jika kayu terbakar habis sehingga hanya menyisakan abu, maka
substansi kayu sudah tida ada dalam abu tersebut.

37
Sebagai perbandingan dengan suppositum, maka suppositum adalah substansi
yang terindividualisasi (bdk. Catholic
Encyclopedia Personhttp://www.newadvent.org/cathen/11726a.htm ). Misalnya kayu
ini dan kayu itu masing-masing adalah suppositum sedangkan substansinya adalah
kayu.

(22) Genus dan species :


Genus adalah jenis yang merupakan himpunan benda, perorangan atau hal lainnya
yang meliputi kelompok-kelompok terbatas yang berada di bawahnya (bdk. Rapar,
Jan Hendrik, Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis, Yogyakarta,
Penerbit Yayasan Kanisius, 1996, h. 20).

Species adalah kelompok-kelompok terbatas di bawah genus (ibid.). Hubungan


genus-species adalah genus selalu meliputi species, sedangkan species tersebut
dapat menjadi genus bagi kelompok-kelompok di bawahnya. Contoh (Stanford
Encyclopedia of Philosophy, Aristotle's
Categories, http://plato.stanford.edu/entries/aristotle-categories/:
Substansi :
- Tak tergerakkan
- Tergerakkan :
- Bersifat kekal
- Bersifat tidak kekal :
- Mati
- Hidup :
- Rasional
- Irasional

(23) Suatu genus ditentukan oleh perbedaannya dengan genus lainnya. Jadi genus
selalu berada dalam potensialitas untuk ditentukan oleh factor pembedanya. Maka
Allah yang adalah aktualitas murni tidak dapat dimasukkan dalam suatu genus (bdk.
Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First
Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one41.php).

(24) Jika “keberadaan” adalah suatu genus, maka ia harus memiliki pembeda
dengan genus lain. Namun “ketidakberadaan” tidak dapat digunakan sebagai
pembanding terhadap “keberadaan” karena hal tersebut adalah absurd (bdk.
Stanford Encyclopedia of Philosophy, Aristotle's
Categories, http://plato.stanford.edu/entries/aristotle-categories/ ). Maka
“keberadaan” bukanlah genus.

(25) Allah bukanlah sarana ukur yang homogen, tetapi heterogen, karena Ia adalah
keberadaan yang sempurna, yang mana segala keberadaan berusaha mendekati
kesempurnaan-Nya (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A
Commentary on the First Part of St Thomas' Theological
Summa, http://www.thesumma.info/one/one41.php)

(26) Kepada suatu keberadaan yang absolute dan tidak menerima keberadaannya
dari apapun tidak dapat ditambahkan apapun ke dalamnya. Tapi Allah adalah

38
keberadaan semacam itu. Maka dalam Allah tidak dapat ditambahkan aksiden
apapun (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary
on the First Part of St Thomas' Theological
Summa, http://www.thesumma.info/one/one42.php).

(27) Artikel 8 ini adalah untuk menjawab pandangan bahwa Allah dapat bersatu
dengan sesuatu lainnya dan secara terpisah menjadi jiwa dari sesuatu tersebut,
suatu pandangan yang dianut dalam Pantheism. Paham ini mengimani bahwa Allah
adalah jiwa dari seluruh dunia (bdk. Catholic
Encyclopedia Pantheism, http://www.newadvent.org/cathen/11447b.htm ). Namun ini
tidak mungkin karena jika Allah adalah jiwa dari seluruh dunia, maka Ia menjadi
bagian dari esensi seluruh dunia. Hal ini tidak mungkin karena jika menjadi bagian,
itu berarti Allah membentuk sesuatu yang lebih sempurna, lebih utama dari-Nya,
yang adalah tidak mungkin.

Namun di lain pihak, dalam pribadi Kristus terdapat hypostatic union (persatuan
hakikat, nature). Ini bukan berarti hakikat (nature) Ilahi menjadi bagian dari
keseluruhan pribadi Kristus, melainkan semacam mengikat hakikat manusia.
Dengan demikian dalam Inkarnasi, Sabda tidak menjadi bagian dari pribadi Kristus,
tapi mengambil alih jiwa dan raga manusia Yesus (bdk. Garrigou-Lagrange,
Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First Part of St Thomas'
Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one43.php, dan Glenn, Paul
Joseph, Mgr., A Tour of the Summa, http://www.catholictheology.info/summa-
theologica/summa-part3.php?q=46 ).

(28) Seperti dijelaskan di P.3, Art.2 di atas, Allah terdiri dari forma tapi tanpa materia
sehingga tidak merupakan bagian dari suatu komposit.

Forma eksemplar : suatu forma yang melahirkan forma serupa lainnya. Keserupaan
ini bisa ada dua jenis yaitu secara esensi alami, seperti manusia melahirkan
manusia dan api menghasilkan api, atau secara esensi intelek, seperti rancangan
dalam pikiran seorang arsitek melahirkan rumah yang serupa dengan rancangannya
(bdk. Catholic
Encyclopedia, Cause, http://www.newadvent.org/cathen/03459a.htm#fn-c ). Sabda
sebagai forma eksemplar ini akan lebih jelas pembahasannya dalam Risalah tentang
Tritunggal Maha Kudus.

Pertanyaan 4 : Kesempurnaan Allah (Tiga Artikel)

Setelah mempertimbangkan tentang kesederhanaan ilahi, kita beralih berikutnya


kepada kesempurnaan Allah. Sekarang karena segala sesuatu sejauh sesuatu itu
sempurna disebut sebagai baik, maka kita akan berbicara pertama tentang
kesempurnaan ilahi; kedua tentang kebaikan ilahi.

Mengenai hal yang pertama tersebut terdapat tiga poin penyelidikan :

(1) Apakah Allah sempurna?

39
(2) Apakah Allah sempurna secara universal, dalam pemahaman bahwa seluruh
kedempurnaan segala sesuatu ada
dalam DIa?
(3) Apakah ada makhluk yang dapat menyerupai seperti Allah?

Artikel 1 : Apakah Allah Sempurna?

Keberatan 1 : Tampaknya Allah tidak sempurna, karena kita menyebut sesuatu


sebagai sempurna dalam hubungannya dengan sesuatu yang telah selesai dibuat.
Tapi tidak tepat jika dikatakan bahwa Allah dibuat. Maka Ia tidak sempurna.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, Allah adalah awal dari segala. Tapi awal dari segala hal
tampaknya tidak sempurna, seperti benih yang merupakan awal dari kehidupan
binatang dan tumbuhan. Oleh karena itu Allah tidak sempurna.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, seperti yang ditunjukkan di atas (P [3], A[4]), esensi Allah
adalah keberadaan. Tapi keberadaan tampaknya merupakan sesuatu yang paling
tidak sempurna, karena merupakan sesuatu yang paling universal dan bersifat
menerima segala bentuk modifikasi. Oleh karena itu Allah tidak sempurna.

Sebaliknya, Ada tertulis: "Jadilah sempurna sama seperti Bapamu di surga adalah
sempurna " (Matius 5: 48).

Aku menjawab bahwa, Sebagaimana dikatakan sang Filsuf (Metaph. xii), beberapa
filsuf kuno, yaitu, Pythagoras dan Leukippos, tidak mempredikasikan "terbaik" dan
"paling sempurna" pada prinsip pertama. Alasannya adalah bahwa para filsuf kuno
tersebut hanya membahas suatu principal material, dan suatu principal material
adalah sesuatu yang paling tidak sempurna. Karena materia seperti itu hanya
memiliki potensialitas, maka principal material pertama harus berupa potensialitas
saja, dan dengan demikian paling tidak sempurna. Sekarang Allah adalah prinsipal
pertama, bukan secara materia, tetapi dalam urutan penyebab efisien, yang harus
paling sempurna. Karena jika materia hanyalah berupa potensialitas, maka suatu
penyebab efisien pertama harus dalam keadaan actual. Oleh karena itu, prinsipal
aktif pertama harus paling aktual, dan karena itu adalah paling sempurna; karena
sesuatu disebut sempurna dalam takaran keadaan aktualnya, dan kita menyebut
sesuatu sebagai sempurna jika sesuatu tersebut tidak kehilangan apapun dari cara
ia menjadi sempurna.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Sebagaimana dikatanan Gregorius (Moral. v,


26,29): "Meskipun bibir kita hanya dapat tergagap, kita tetap mengidungkan hal-hal
yang tinggi tentang Allah." Karena itulah sesuatu yang tidak dibuat tidak dapat
dengan tepat disebut sebagai sempurna. Namun demikian karena hal-hal yang
dibuat kemudian disebut sempurna, yaitu ketika hal-hal tersebut dibawa dari
potensialitas menuju pada aktualitas, kata “sempurna” ini menunjukkan pada
keadaan dimana tidak ada apapun yang diinginkan dalam aktualitas, entah keadaan
tersebut dicapai melalui tahap penyempurnaan ataupun tanpa melalui tahapan
tersebut.

40
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Prinsipal material yang kita temukan sebagai
tidak sempurna, tidak dapat menjadi benar-benar primal; tetapi harus didahului oleh
sesuatu yang sempurna. Karena benih, meskipun menjadi principal dari kehidupan
binatang yang bereproduksi melalui benih, memiliki binatang atau tumbuhan lain dari
mana benih tersebu muncul. Karena sesuatu yang ada sebelum suatu potensialitas
adalah sesuatu yang actual, dank arena suatu yang potensial ada hanya dapat
memiliki aktualitasnya melalui sesuatu yang telah ada secara actual.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Keberadaan adalah sesuatu yang paling


sempurna dalam semua hal, karena itu adalah sesuatu yang menjadikan hal-hal
tersebut aktual; karena tak ada yang dapat menjadi actual jika ia tidak tidak ada.
Maka keberadaan adalah sesuatu yang mengaktualisasikan segala sesuatu, bahkan
forma-forma dari segala sesuatu. Oleh karena itu hubungan antara keberadaan dan
segala sesuatu bukanlah antara penerima dan yang diterima, melainkan antara yang
diterima dan yang menerima. Jika aku berbicara tentang keberadaan manusia, atau
kuda, atau apapun, maka aku berbicara tentang suatu principal formal, dan tentang
sesuatu yang diterima, dan bukan tentang sesuatu yang memiliki keberadaan itu
sendiri.

Artikel 2 : Apakah Kesempurnaan Segala Sesuatu Ada Dalam Allah ?

Keberatan 1 : Tampaknya kesempurnaan dari segala sesuatu tidak dalam Allah,


karena Allah adalah sederhana, sebagaimana telah ditunjukkan di atas (P[3], A[7]);
sedangkan kesempurnaan dari segala sesuatu adalah bermacam-macam dan
banyak jumlahnya. Oleh karena itu kesempurnaan segala sesuatu tidak dalam Allah.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, sesuatu yang saling bertentangan tidak dapat ada
secara berdampingan. Sekarang, kesempurnaan dari segala sesuatu saling
bertentangan satu sama lain, karena masing-masing hal menjadi sempurna melalui
perbedaan khususnya. Tapi perbedaan-perbedaan tersebut, dimana “genera” dibagi
menjadi beberapa bagian, dan darinya “species” berasal, adalah saling bertentangan
satu sama lain. Maka karena hal-hal yang saling bertentangan tidak dapat ada
secara berdampingan dalam satu subjek, tampaknya kesempurnaan segala sesuatu
tidak dalam Allah.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, suatu makhluk hidup adalah lebih sempurna daripada
benda-benda lain yang sekedar ada, dan suatu makhluk berakal adalah lebih
sempurna daripada makhluk hidup yang tidak berakal. Maka hidup adalah lebih
sempurna daripada ada, dan pengetahuan adalah lebih sempurna daripada hidup.
Tapi esensi Allah adalah keberadaan-Nya itu sendiri. Maka kesempurnaan hidup,
pengetahuan dan kesempurnaan-kesempurnaan lainnya tidaklah dalam Allah.

Sebaliknya, Dionysius mengatakan (Div. Nom. V) bahwa “Allah dalam keberadaan-


Nya memiliki segala hal”.

41
Aku menjawab bahwa, Segala kesempurnaan ciptaan ada dalam Allah. Maka Ia
dikatakan sebagai sempurna secara universal, karena Ia tidak kekurangan (seperti
dikatakan oleh sang Commentator, Metaph.v) segala jenis keunggulan yang dapat
ditemukan dalam setiap genus. Hal tersebut dapat dilihat dengan dua pertimbangan.
Pertama, karena kesempurnaan apapun yang ada dalam suatu efek harus dapat
ditemukan juga dalam kausa efektifnya, entah dalam formalitas yang sama, jika
berhubungan dengan suatu agen yang serupa - seperti jika manusia mereproduksi
manusia; atau dalam suatu derajad yang lebih unggul, jika berhubungan dengan
agen yang tidak serupa – maka segala keserupaan dalam matahari dihasilkan oleh
tenaga matahari. Sekarang telah jelas bahwa suatu efek ada terlebih dahulu dalam
suatu kausa efisien, dan meskipun untuk menjadi ada dalam suatu potensialitas dari
suatu kausa material adalah berarti menjadi ada dalam cara yang kurang sempurna,
karena materia semacam itu adalah tidak sempurna, dan suatu agen semacam itu
adalah sempurna, tetap saja cara keberadaan seperti itu dalam suatu kausa efisien
bukannya kurang sempurna, tetapi lebih sempurna. Maka, karena Allah adalah
kausa efektif pertama dari segala sesuatu, kesempurnaan segala sesuatu harus
telah ada dalam Allah dalam suatu cara yang lebih unggul. Dionysius secara tidak
langsung menyatakan jalur argument yang sama dengan mengatakan tentang Allah
(Div. Nom.v) : “Allah bukanlah tentang ini atau itu, tetapi Allah adalah segala,
sebagai kausa dari segala.” Kedua, dari apa yang telah dibuktikan, Allah adalah
keberadaan itu sendiri, ada dari diri-Nya sendiri (P[3], A[4]). Konsekuensinya, dalam
Dia harus terdapat segala kesempurnaan dari keberadaan, karena adalah jelas
bahwa jika suatu benda panas tidak memiliki segala kesempurnaan dari panas, ini
adalah karena panas tersebut tidak ada dalam kepenuhan kesempurnaannya. Tapi
jika panas ini menjadi ada dengan sendirinya, maka panas tersebut tidak
memerlukan lagi nilai-nilai dari panas. Maka karena Allah adalah keberadaan yang
ada dengan sendirinya itu sendiri, Ia tidak memerlukan kesempurnaan lain dalam hal
keberadaan. Sekarang, segala kesempurnaan dari ciptaan ada dalam
kesempurnaan keberadaan, karena segala sesuatu mennjadi sempurna, tepat
karena segala sesuatu tersebut memiliki keberadaan. Maka tidak ada
kesempurnaan apapun dari hal-hal tersebut yang diperlukan ada dalam Allah. Jalur
argument ini juga diimplikasikan oleh Dionysius (Div.Nim.v), ketika ia mengatakan
bahwa, “Allah ada tidak dalam satu jenis cara keberadaan, tapi dalam Dia secara
absolute terdapat segala keberadaan, tanpa batasan, dan secara seragam;” dan
kemudia ia menambahkan bahwa, “Allah adalah keberadaan itu sendiri bagi hal-hal
lain.”

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Meskipun matahari (sebagaimana disebutkan


oleh Dionysius, (Div.Nom.v)), tetap satu dan bersinar secara merata, di dalamnya
terkandung secara merata substansi pertama dari hal-hal indrawi, serta banyak
kualitas yang berbeda. Secara “a fortiori” (29) seharusnya segala jenis kesatuan
alami telah ada dalam kausa dari segala sesuatu, dan dengan demikian hal-hal yang
berbeda dan dalam diri mereka sendiri saling bertentangan, telah ada dalam Allah
sebagai suatu kesatuan, tanpa mencederai kesederhanaan-Nya. Ini cukup unutk
menanggapi Keberatan 2. (30)

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Dionysius juga menyatakan (Div.Nom.v)


bahwa, meskipun ada adalah lebih sempurna dari hidup, dan hidup lebih sempurna
dari kebijaksanaan, jika hal-hal tersebut dianggap sebagai gagasan-gagasan yang
berbeda, namun, suatu makhluk hidup adalah lebih sempurna dari apa yang hanya

42
sekedar ada, karena makhluk hidup selain ada juga hidup, sedangkan makhluk
berakal lebih sempurna dari makhluk hidup karena selain hidup ia juga berakal.
Maka meskipun dalam keberadaan tidak terkandung di dalamnya kehidupan dan
kebijaksanaan, karena apa yang ada tidak harus memiliki segala mode dari
keberadaan, namun dalam keberadaan Allah terkandung hidup dan kebijaksanaan,
karena dalam Allah sebagai keberadaan yang ada dari diri-Nya sendiri telah
terkandung segala kesempurnaan keberadaan.

Artikel 3 : Apakah Ciptaan dapat Menyerupai Allah?

Keberatan 1 : Tampaknya tidak ada ciptaan yang dapat menyerupai Allah, karena
ada tertulis (Mzm 85:8) ;”Tidak ada apapun di antara ilah-ilah yang serupa dengan-
Mu, ya Tuhan.” Tapi dari segala ciptaan, yang paling unggul adalah mereka yang
dianggap sebagai ilah-ilah. Oleh karena itu tidak ada ciptaan yang dapat menyerupai
Allah.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, keserupaan secara tidak langsung menyatakan


perbandingan. Tapi tak ada yang dapat dibandingkan antara hal-hal yang berbeda
“genus”. Maka tidak mungkin dapat ada keserupaan. Jadi kita tidak mengatakan
bahwa manis adalah serupa dengan putih. Tapi tidak ada ciptaan yang berada
dalam “genus” yang sama dengan Allah, karena Allah tidak berada dalam “genus”
apapun, sebagaimana telah ditunjukkan di atas (P[3], A[5]). Oleh karena itu tidak
ada ciptaan yang dapat menyerupai Allah.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, kita berbicara tentang hal-hal tersebut dalam lingkup
keserupaan forma. Tapi tidak ada yang serupa dengan forma Allah, karena hanya
dalam Allah esensi dan keberadaan adalah sama. Maka tidak ada ciptaan apapun
yang dapat menyerupai Allah.

Keberatan 4 : Lebih lanjut, di antara hal-hal yang serupa terdapat saling


keserupaan, karena serupa adalah cenderung menjadi sama. Jika ada ciptaan yang
menyerupai Allah, maka Allah akan serupa dengan ciptaan, yang bertentangan
dengan apa yang dikatakan Yesaya : “Dengan siapakah engkau menyerupakan
Allah?” (Yes 40:18).

Sebaliknya, Ada tertulis : “Baiklah kita jadikan manusia menurut gambar dan rupa
kita” (Kej 1:26), dan : “Saat Ia akan muncul, kita akan serupa dengan-Nya” (1 Yoh
3:2).

Aku menjawab bahwa, Karena keserupaan didasarkan pada persetujuan atau


komunikasi dalam forma, maka keserupaan bervariasi menurut berbagai cara
mengkomunikasikan forma. Beberapa hal dikatakan serupa karena saling
mengkomunikasikan forma yang sama berdasarkan formalitas dan cara yang sama,
dan ini tidak disebut sekedar serupa, tapi sederajad dalam keserupaannya,
sebagaimana dua hal yang memiliki warna putih yang sama disebut serupa dalam
keputihannya, dan ini adalah keserupaan yang paling sempurna. Dalam cara lain,
kita menyatakan hal-hal sebagai serupa karena mereka mengkomunikasikan forma

43
dalam formalitas yang sama, meskipun tidak dalam ukuran yang sama, tapi
berdasarkan kurang lebih, seperti sesuatu yanag kurang putih disebut serupa
dengan sesuatu yang lebih putih, dan ini adalah keserupaan yang tidak sempurna.
Dalam cara ketiga, beberapa hal disebut serupa karena mengkomunikasikan forma
yang sama, tapi tidak dalam formalitas yang sama, seperti kita lihat dalam agen
yang tidak sama (non-univocal). Maka karena setiap agen bereproduksi sebagai
suatu agen, dan segala sesuatu bertindak sesuai dengan perilaku dari forma agen
tersebut, efek yang dihasilkan harus dalam beberapa cara serupa dengan forma dari
agen tersebut. Maka jika suatu agen berada dalam spesies yang sama dengan
efeknya, aka nada suatu keserupaan dalam forma antara yang membuat dan yang
dibuat, berdasarkan formalitas yang sama dari spesies tersebut, seperti manusia
mereproduksi manusia. Namun, jika suatu agen beserta efeknya tidak ada dalam
spesies yang sama, maka aka nada keserupaan, tapi bukan berdasar keserupaan
formal dari suatu spesies, seperti segala sesuatu yang keluar dari matahari
dikatakan mirip matahari, bukan karena mereka dalam keserupaan khusus
menerima forma yang sama dengan matahari, tapi lebih dalam keserupaan generic.
Maka jika ada suatu agen yang tidak berada dalam “genus” apapun, efeknya akan
tetap mereproduksi forma yang sama dari agen tersebut, tidak dalam formalitas
khusus maupun generic terhadap keserupaan forma agen tersebut, tapi hanya
menurut sejenis analogy, sebagaimana keberadaan adalah suatu yang dimiliki oleh
segala hal. Dalam hal inilah segala sesuatu, selama mereka memiliki keberadaan,
disebut serupa dengan Allah yang adalah principal dan keberadaan pertama dari
segala keberadaan.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Sebagaimana dikatakan Dionysius (Div. Nom.


Ix), saat Kitab Suci menyatakan bahwa tak ada sesuatupun yang dapat menyerupai
Allah, itu tidak berarti ia menyangkal segala jenis keserupaan dengan-Nya, karena,
“hal yang sama dapat menjadi serupa sekaligus tidak serupa dengan Allah, seperti
sesuatu mengimitasi-Nya sejauh Ia yang tak dapat diimitasi, dapat diimitasi, namun
bukan berarti ini adalah karena hal-hal tersebut gagal dalam usahanya untuk
mencapai keserupaan tersebut,” bukan sekedar dalam hal intensitas ataupun
kekurangan, seperti sesuatu yang kurang putih gagal mencapai keserupaan dengan
yang lebih putih, namun karena hal-hal tersebut tidak dalam formalitas yang sama,
baik secara khusus maupun generic.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Allah tidak dihubungkan dengan ciptaan


seolah masing-masing ada dalam “genus” yang berbeda, tapi dalam cara bahwa
Allah mengatasi segala ‘genus”, dan sebagai principal dari segala “genera”.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Keserupaan segala ciptaan terhadap Allah


bukan karena keserupaan forma menurut formalitas dari genus atau spesies yang
sama, tapi berdasarkan analogi, karena Allah adalah keberadaan esensial,
sedangkan segala sesuatu adalah keberadaan yang berpartisipasi.

Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Meskipun diakui bahwa ciptaan dalam cara


tertentu serupa dengan Allah, tidak dengan sendirinya diakui bahwa Allah serupa
dengan ciptaan, karena, sebagaimana dikatakan Dionysius (Div. Nom. ix) : “Suatu
keserupaan yang saling serupa dapat ditemukan di antara hal-hal yang berada
dalam tingkatan yang sama, tapi tidak antara suatu penyebab dan yang
disebabkan.” Karena kita mengatakan bahwa suatu patung mirip dengan seseorang,

44
tapi tidak sebaliknya. Demikian juga suatu ciptaan dapat disebut dalam hal tertentu
serupa dengan Allah, tapi bukan bahwa Allah serupa dengan ciptaan.

…………

(29) “argumentum a fortiori” adalah suatu argument berdasarkan alasan yang lebih
kuat. Contohnya jika manusia dinyatakan meninggal, maka seseorang dapat
menyatakan bahwa orang yang meninggal tersebut tidak lagi bernafas (
http://en.m.wikipedia.org/wiki/A_fortiori_argument )

(30) Segala kesempurnaan ada dalam Allah tanpa mengganggu kesederhanaan-


Nya. Ini seperti cahaya putih yang di dalamnya terdapat kesempurnaan warna-
warna pelangi. Juga bahwa hal-hal yang lebih rendah selalu ditemukan sebagai satu
kesatuan dalam hal yang lebih tinggi, seperti jiwa manusia yang meskipun
sederhana sekaligus di dalamnya terkandung hidup, indera dan intelek (bdk.
Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First
Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one45.php )

Pertanyaan 5 : Tentang Hal Baik secara Umum (Enam Artikel)

Kita selanjutnya akan mempertimbangkan hal baik. Pertama, hal baik secara umum.
Kedua, hal baik dari Allah. Tentang hal baik secara umum terdapat enam pokok
pembahasan :
1. Apakah hal baik dan keberadaan adalah sama?
2. Dengan beranggapan bahwa keduanya hanya berbeda dalam hal gagasan,
manakah dari keduanya yang lebih dulu ada dalam pikiran?
3. Dengan beranggapan bahwa keberadaan ada lebih dulu, apakah segala jenis
keberadaan adalah baik?
4. Dalam kasus apa sebaiknya hal baik direduksi?
5. Apakah hal baik terdiri dari mode, species dan urutan?
6. Apakah hal baik dibagi dalam kebajikan, kegunaan dan kepuasan?

Artikel 1 : Apakah Hal Baik Berbeda dengan Keberadaan?

Keberatan 1 : Tampaknya hal baik berbeda dari keberadaan, karena seperti


dikatakan Boethius (De Hebdom.) : “Aku mengamati dalam alam fakta bahwa
kebaikan dari sesuatu adalah satu hal, dan keberadaannya adalah hal lain.” Maka
hal baik dan keberadaan sungguh berbeda.

Keberatan 2 : Lebih lanjut tak ada yang bisa menjadi formanya sendiri. “Tapi
sesuatu disebut baik jika memiliki forma keberadaan”, menurut komntar dalam De
Causis. Maka hal baik berbeda dari keberadaan.

45
Keberatan 3 : Lebih lanjut, sesuatu dapat menjadi lebih baik atau kurang baik, tapi
tidak dapat menjadi lebih ada atau kurang ada. Maka hal baik berbeda dari
keberadaan.

Sebaliknya, Augustine mengatakan (De Doctr. Christ. i, 42) bahwa, “selama kita
ada maka kita baik.”

Aku menjawab bahwa, Hal baik dan keberadaan adalah sungguh sama, dan hanya
berbeda dalam hal pikiran, seperti jelas dalam argument berikut : Esensi dari hal
baik ada dalam ini, yaitu bahwa ia dalam cara tertentu adalah sesuatu yang
diinginkan. Maka sang Filsuf berkata (Ethic. i) : “Hal baik adalah apa yang
diinginkan.” Sekarang adalah jelas bahwa suatu hal diinginkan hanya sejauh ia
sempurna, karena segala sesuatu mengingini kesempurnaannya masing-masing.
Tapi segala sesuatu adalah sempurna sejauh ia ada dalam keadaan actual. Maka
jelas bahwa suatu hal adalah sempurna selama ia ada, karena keberadaannya
menjadikannya actual, sebagaimana dijelaskan sebelumnya (P[3], A[4]; P[4], A[1]).
Maka adalah jelas bahwa hal baik dan keberadaan sungguh sama. Tapi hal baik
menghadirkan aspek keinginan, sedangkan keberadaan tidak.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Meskipun hal baik dan keberadaan sungguh


sama, namun karena mereka beda dalam pikiran, mereka tidak dipredikasikan pada
suatu hal dalam cara yang sama secara absolute, karena keberadaan lebih tepatnya
menandakan bahwa sesuatu ada secara actual, dan aktualitas lebih tepatnya
berhubungan dengan potensialitas. Konsekuensinya, sesuatu dikatakan memiliki
keberadaan karena ia berbeda dengan sesuatu yang hanya ada dalam potensialitas.
Dan ini adalah keberadaan substansial dari segala hal. Maka melalui keberadaan
substansialnya, segala sesuatu dikatakan memiliki keberadaan dalam artian
sebenarnya. Tapi melalui aktualitas lebih lanjut ia dikatakan memiliki keberadaan
dalam artian relative. Dengan demikian menjadi putih menunjukkan keberadaan
relative, karena menjadi putih tidak bisa dikenakan kepada keberadaan potensial,
sebab hanya sesuatu yang memiliki keberadaan secara actual dapat menerima jenis
keberadaan semacam itu. Tapi hal baik menunjukkan kesempurnaan yang
diinginkan, dan konsekuensinya juga menandakan kesempurnaan utama. Maka
sesuatu yang memiliki kesempurnaan utama dikatakan sebagai baik begitu saja
(simply good). Tapi sesuatu yang tidak memiliki kesempurnaan yang seharusnya
dimiliki (meskipun, selama ia berada dalam keadaan actual, ia memiliki
kesempurnaan), tidak dikatakan sempurna begitu saja (simply perfect) atau baik
begitu saja (simply good), tapi keduanya dinyatakan hanya secara relative. Maka,
dalam cara ini, dilihat dalam keberadaan primal (substansial) nya, sesuatu dikatakan
ada (simply be) dan baik secara relative (yaitu karena ia memiliki keberadaan). Tapi
dilihat dari kepenuhan aktualitasnya, ia dikatakan ada secara relative dan baik begitu
saja (simply good). Oleh karena itu perkataan Boethius (De Hebrom.), “Aku
mengamati dalam alam fakta bahwa kebaikan dari sesuatu adalah satu hal, dan
keberadaannya adalah hal lain,” harus merujuk apa adanya (simply referred) pada
hal baik dari sesuatu dan pada keberadaannya. Karena, sehubungan dengan
aktualitas primernya, sesuatu menjadi ada begitu saja (simply exist), dan
sehubungan dengan kepenuhan aktualitasnya, sesuatu menjadi baik begitu saja
(simply good) – dengan demikian bahkan jika sesuatu ada dalam aktualitas
primernya, ia sekaligus ada dalam sejenis keadaan baik, dan bahkan jika ia ada

46
dalam kepenuhan aktualitasnya, ia dikatakan berada dalam sejenis keberadaan
(31).

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Hal baik adalah suatu forma selama ia ada
dalam keadaan absolute dan menandakan kepenuhan aktualitas.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Lebih lanjut, hal baik dikatakan kurang atau
lebih menurut aktualitas yang ditambahkan pada sesuatu, contohnya dalam
pengetahuan ataupun kebajikan.

…………

(31) Sesuatu yang hanya sekedar ada (simply be) disebut baik secara relative,
karena tingkat kebaikannya diukur berdasar sesuatu di luar dirinya. Contohnya
anggur. Dalam keberadaannya ia adalah sungguh anggur bukan cuka, tapi dalam
kebaikannya ia diukur berdasar mutunya (tua atau baru saja difermentasi). Demikian
juga sebaliknya, sesuatu yang sekedar baik (simply good), contohnya tentang hal
matang pada buah, dikatakan memiliki keberadaan relative, karena ia merupakan
suatu aksiden dari suatu substansi, jadi keberadaannya tergantung dari keberadaan
substansi (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A
Commentary on the First Part of St Thomas' Theological
Summa, http://www.thesumma.info/one/one46.php )

Artikel 2 : Apakah Hal Baik Dalam Bentuk Gagasan Ada Lebih Dahulu
daripada Keberadaan?

Keberatan 1 : Tampaknya hal baik dipahami lebih dulu oleh pikiran daripada
keberadaan, karena Dionysius (Div.Nom.iii) menempatkan pada tempat pertama, di
antara nama-nama Allah lainnya, kebaikan-Nya lebih dahulu daripada keberadaan-
Nya, padahal nama-nama disusun berdasarkan urutan. Maka, pemahaman tentang
hal baik ada terlebih dahulu dibanding keberadaan.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, sesuatu yang lebih luas dipahami terlebih dahulu dalam
pikiran. Tapi hal baik lebih luas daripada keberadaan, karena Dionysisu mencatat
(Div.Nom.v), “hal baik menjangkau kepada yang ada maupun yang tiada, sedangkan
keberadaan hanya menjangkau hal yang ada saja.” Maka hal baik dipahami terlebih
dalam pikiran daripada keberadaan.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, apa yang bersifat lebih universal dipahami lebih dahulu
dalam pikiran. Tapi hal baik tampaknya merupakan sesuatu yang lebih universal
dibandingkan keberadaan, karena hal baik memiliki aspek untuk diinginkan,
sedangkan suatu ketiadaan juga diinginkan, seperti dikatakan tentang Yudas :
“Adalah lebih baik baginya jika ia tidak dilahirkan” (Mat. 26:24). Maka hal baik
dipahami lebih dahulu dalam pikiran dibandingkan keberadaan.

47
Keberatan 4 : Lebih lanjut, keberadaan bukanlah satu-satunya yang diinginkan,
tetapi juga kehidupan, pengetauhan dan banyak hal lagi. Maka tampak bahwa
keberadaan adalah suatu hal yang diinginkan secara khusus, sedangkan hal baik
diinginkan secara universal. Maka, secara absolute, hal baik dipahami lebih dahulu
dalam pikiran dibandingkan keberadaan.

Sebaliknya, dikatakan oleh Aristoteles (De Causis) bahwa “hal pertama dari segala
ciptaan adalah keberadaan.”

Aku menjawab bahwa : Dalam pikiran, keberadaan dipahami lebih dahulu daripada
hal baik, karena arti yang ditandakan oleh nama suatu benda merupakan apa yang
diterima oleh akal mengenai benda tersebut dan benda tersebut dimaksudkan
melalui nama tersebut. Maka, yang dipahami pertama kali dalam pikiran adalah yang
pertama kali diterima oleh akal. Sekarang hal pertama yang diterima oleh pikiran
adalah keberadaan, karena segala sesuatu dapat diketahui hanya jika ia ada dalam
aktualitas. Oleh karena itu, keberadaan adalah objek yang sesungguhnya dari akal,
dan merupakan hal yang secara utama dapat dipikirkan, seperti suara adalah
sesuatu yang secara utama dapat didengar. Maka dalam pikiran, keberadaan
dipahami lebih dahulu daripada hal baik.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Dionysius membahas nama-nama Ilahi (Div.


Nom. i, iii) dengan menyiratkan hubungan kausal dalam Allah; karena kita menamai
Allah dari [sudut pandang] ciptaan, sebagai penyebab dari efek yang ada pada
ciptaan. Tapi kebaikan, karena ia memiliki aspek diinginkan, menyiratkan gagasan
tentang suatu final cause (suatu akhir), suatu kausalitas yang pertama di antara
kausa-kausa lainnya, karena suatu agen tidak bertindak kecuali untuk suatu akhir;
dan oleh agen suatu materia digerakkan menuju formanya. Oleh karena itu, suatu
akhir disebut sebagai suatu penyebab dari penyebab. Dengan demikian kebaikan,
sebagai suatu penyebab, ada lebih dahulu sebelum suatu keberadaan, yang
merupakan suatu akhir dari suatu forma. Oleh karena itu di antara nama-nama yang
menandakan sebab-sebab ilahi, kebaikan mendahului keberadaan. Juga, menurut
para Platonis - yang dengan tidak membedakan materia utama dengan ketiadaan
mengatakan bahwa materia adalah ketidakberadaan - kebaikan berpartisipasi
secara lebih luas daripada keberadaan; karena materia utama berpartisipasi dalam
kebaikan dengan memiliki kecenderungan terhadapnya, karena segala sesuatu
mencari yang serupa dengan diri mereka; tapi materia utama tidak berpartisipasi
dalam keberadaan, karena materia utama dipreasumsikan sebagai ketidakberadaan.
Oleh karena itu Dionysius mengatakan bahwa "kebaikan menjangkau
ketidakberadaan” (Div.Nom.v)

Tanggapan terhadap Keberatan 2: Solusi yang sama diterapkan untuk keberatan


ini. Atau dapat dikatakan bahwa kebaikan meluas ke yang ada dan non-ada, bukan
untuk dipredikasikan pada mereka, tapi sebagai penyebab---jika, memang, dengan
non-eksistensi kita memahami tidak hanya hal-hal yang tidak ada, tetapi juga hal-hal
yang potensial, dan tidak aktual. Karena kebaikan memiliki aspek sebagai suatu
akhir, di mana tidak hanya hal-hal yang aktual menemukan akhir mereka, tetapi juga
menjadi tujuan bahkan hal-hal yang tidak actual (yang hanya memiliki potensialitas).
Sekarang, keberadaan menyiratkan sifat dari suatu penyebab resmi saja, baik

48
melekat atau bersifat eksemplar; dan sifat kepenyebabannya hanya menjangkau
pada hal-hal yang actual.

Tanggapan terhadap Keberatan 3: Ketiadaan diinginkan, bukan tentang ketiadaan


itu sendiri sendiri, tetapi hanya bersifat relatif---yaitu sejauh penghapusan suatu hal
buruk, yang hanya dapat dihapus jika ia tiada, diinginkan. Sekarang penghapusan
hal buruk tidak diinginkan, kecuali hal buruk ini menghilangkan sesuatu dari suatu
keberadaan. Oleh karena itu keberadaan pada dirinya sendiri adalah diinginkan; dan
ketiadaan hanya bersifat relatif, sejauh sesuatu mencari suatu cara keberadaan
yang tidak tercela; dengan demikian bahkan ketiadaan dapat dikatakan sebagai
relatif baik.

Tanggapan terhadap Keberatan 4: Kehidupan, kebijaksanaan, dan sejenisnya,


adalah diinginkan sejauh mereka bersifat aktual. Oleh karena itu, dalam setiap satu
dari mereka, suatu jenis keberadaan diinginkan. Dengan demikian tidak ada yang
dapat diinginkan kecuali keberadaan; dan akibatnya tidak ada yang baik kecuali
keberadaan.

Artikel 3 : Apakah Setiap Keberadaan adalah Baik?

Keberatan 1: Tampaknya bahwa tidak setiap keberadaan adalah baik, karena hal
baik adalah sesuatu yang ditambahkan kepada keberadaan, sebagaimana jelas dari
Artikel [1]. Tapi apa pun yang ditambahkan kepada keberadaan berarti
membatasinya; sebagaimana substansi, kuantitas, kualitas, dll. Oleh karena itu hal
baik membatasi keberadaan. Maka tidak setiap keberadaan baik.

Keberatan 2: Lebih lanjut, tidak-ada-kejahatan adalah baik: "Celakalah kamu, yang


menyebut jahat adalah baik dan baik adalah jahat" (Yes 5: 20). Tetapi ada hal-hal
yang disebut jahat. Oleh karena itu tidak setiap keberadaan adalah baik.

Keberatan 3: Lebih lanjut, hal baik menyiratkan kediinginan. Sekarang materia


utama tidak menyiratkan kediinginan, melainkan yang menginginkan. Oleh karena
itu materia utama tidak mengadung formalitas hal baik. Maka tidak setiap
keberadaan adalah baik.

Keberatan 4: Lebih lanjut, Sang Filsuf mencatat (Metaph. iii) bahwa "dalam
matematika tidak ada hal baik." Tetapi matematika adalah suatu entitas; kalau tidak
maka tidak akan ada ilmu matematika. Oleh karena itu tidak setiap keberadaan
adalah baik.

Sebaliknya, Setiap keberadaan yang bukan Allah adalah ciptaan Allah. Sekarang
setiap ciptaan Allah adalah baik (1 Timotius 4: 4): dan Allah adalah kebaikan utama.
Karenanya setiap keberadaan adalah baik.

Aku menjawab bahwa, Setiap keberadaan, sebagai suatu keberadaan, adalah


baik, karena segala keberadaan, sebagai suatu keberadaan, memiliki aktualitas dan
dalam beberapa cara adalah sempurna; karena setiap aktualitas menyiratkan

49
semacam kesempurnaan; dan kesempurnaan menyiratkan kediinginan dan hal baik,
sebagaimana jelas dari Artikel [1]. Oleh karena itu setiap keberadaan semacam itu
adalah baik.

Tanggapan terhadap Keberatan 1: Substansi, kuantitas, kualitas, dan segala


sesuatu yang termasuk di dalamnya, membatasi keberadaan dengan memberinya
beberapa esensi, atau sifat. Sekarang dalam pengertian ini, hal baik tidak
menambahkan apapun kepada keberadaan melampaui aspek kediinginan dan
kesempurnaan, yang juga tepat untuk keberadaan, apa pun jenisnya. Oleh karena
itu kebaikan tidak membatasi keberadaan.

Tanggapan terhadap Keberatan 2: Ketidakberadaan dapat dianggap sebagai hal


buruk secara formal terhadap keberadaan, tetapi hanya sejauh hal tersebut adalah
tentang ketiadaan. Dengan demikian seseeorang dikatakan jahat, karena ia tidak
memiliki kebajikan; dan mata dikatakan buruk, karena mata tidak memiliki
kemampuan untuk melihat dengan baik.

Tanggapan terhadap Keberatan 3: Sebagaimana materia utama hanya memiliki


keberadaan potensial, maka ia hanya berpotensi baik. Walaupun, menurut
Platonists, materia utama dapat dikatakan sebagai bukan-keberadaan karena
ketiadaan yang melekat padanya, namun demikian, ia berpartisipasi sampai batas
tertentu dalam hal baik, yaitu oleh hubungannya dengan, atau kecenderungannya
kepada, hal baik. Akibatnya, menjadi diinginkan bukanlah sifatnya, tapi
menginginkan (31).

Tanggapan terhadap Keberatan 4: Entitas-entitas matematika bukanlah suatu


realitas; karena mereka akan memiliki semacam hal baik jika mereka pada dirinya
sendiri ada secara nyata; tetapi mereka hanya memiliki keberadaan logis, sebab
mereka diabstraksikan dari gerakan dan materi; dengan demikian mereka tidak
memiliki aspek dari suatu akhir, dimana suatu akhir itu sendiri memiliki aspek untuk
menggerakkan lainnya. Juga tidak aneh bahwa dalam entitas logis tidak terdapat hal
baik ataupun forma dari hal baik, karena pemahaman tentang keberadaan ada
terlebih dahulu sebelum pemahaman tentang hal baik, seperti yang dikatakan dalam
artikel sebelumnya (32).

…………

(31) Materia utama (materia prima) adalah suatu potensialitas murni. Ia tidak
memiliki aktualitas, sehingga disebut “non-being”, karena sesuatu disebut ada jika ia
dalam keadaan actual. Namun materia utama tetap memiliki keberadaan (existence)
sebagai keberadaan potensial. Contohnya adalah “saya ada di samping meja”. Saat
saya ada jauh dari meja, maka saya memiliki potensialitas untuk berada di samping
meja. Potensialitas itu menjadi aktualitas saat saya sungguh ada di samping meja.
Dari sini bisa dilihat bahwa materia utama memiliki kecenderungan terhadap hal
baik, yaitu keberadaan.

(32) Dalam pikiran, sesuatu bisa ada tanpa harus memiliki sifat baik ataupun tidak
baik. Hal sebaliknya tidaklah bisa terjadi karena sesuatu harus ada terlebih dahulu
baru ia memiliki sifat baik ataupun tidak baik, bahkan dalam pikiran.

50
Artikel 4 : Apakah Hal Baik Memiliki Aspek sebagai Suatu Final
Cause?

Keberatan 1 : Tampaknya hal baik tidak memiliki aspek sebagai suatu final cause
(33), tetapi lebih sebagai kausa lainnya, karena sebagaimana dikatakan Dionysius
(Div. Nom. Iv), “Hal baik dipuji sebagai keindahan.” Tapi keindahan adalah aspek
dari suatu formal cause. Maka hal baik adalah aspek dari formal cause.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, hal baik memiliki sifat menyebar dengan sendirinya,
seperti yang dikatakan Dionysius (Div. Nom. Iv) bahwa hal baik adalah dimana
segala sesuatu berada dan menjadi ada. Tapi sifat memberi diri sendiri adalah
aspek dari suatu efficient cause. Maka hal baik adalah aspek dari efficient cause.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, Agustinus mengatakan (De Doctr. Christ. I, 31) bahwa
“kita ada karena Allah baik.” Tapi kita menerima keberadaan kita dari Allah sebagai
efficient cause kita. Maka hal baik adalah aspek dari efficient cause.

Sebaliknya, Sang Filsuf mengatakan (Phys. Ii) bahwa “sesuatu yang menjadi tujuan
dari suatu keberadaan adalah merupakan akhir dan kebaikan dari segala hal.” Maka
hal baik adalah aspek dari final cause.

Aku menjawab bahwa, karena hal baik adalah sesuatu yang menjadi tujuan dari
segala sesuatu, dan karena dengan menjadi demikian adalah aspek dari suatu akhir,
jelaslah bahwa hal baik merupakan aspek dari suatu akhir. Namun, gagasan tentang
hal baik mendahului gagasan tentang efficient cause, dan juga tentang formal cause,
karena kita melihat bahwa semakin sesuatu berada dalam urutan awal dalam
kepenyebaban, semakin ia berada dalam urutan akhir sebagai hal yang
disebabkan. Contohnya adala api. Api terlebih dahulu memanaskan sesuatu
sebelum ia mereproduksikan api lain, meskipun panas itu berasal dari substansinya.
Sekarang dalam hal kepenyebaban, hal baik dan akhir dari sesuatu muncul terlebih
dahulu, yang mana keduanya menggerakkan suatu agen untuk beraksi; selanjutnya,
aksi dari agen tersebut perlahan berubah menuju suatu forma, dan akhirnya menjadi
sesuatu forma.

Maka, dalam diri sesuatu yang disebabkan, terjadi perubahan, sehingga forma yang
menjadi tujuannya harus ada lebih dahulu; lalu kita memperhatikan effective power
yang ada padanya, yang menjadikannya sempurna, karena sesuatu disebut
sempurna jika ia dapat mereproduksi sesuatu lain yang serupa, sebagaimana
dikatakan Sang Filsuf (Meteor. Iv); dan yang terakhir, muncullah hal baik yang
merupakan prinsip dasar dari kesempurnaan.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Keindahan dan hal baik dalam diri sesuatu
adalah identikal secara mendasar, karena mereka didasarkan pada hal yang sama,
yaitu suatu forma. Maka konsekuensinya hal baik dipuji sebagai keindahan. Namun,
mereka berbeda secara logika, karena hal baik berhubungan dengan suatu yang
diinginkan (hal baik adalah hal yang diinginkan segala sesuatu), dan dengan
demikian ia memiliki aspek dari suatu akhir (keinginan adalah pergerakan sesuatu
menuju sesuatu lainnya). Di lain pihak, keindahan berhubungan dengan kemampuan
kognitif, karena hal indah adalah sesuatu yang memuaskan saat dilihat. Maka
keindahan terdiri dari proporsi, karena indera menyukai hal-hal yang ada dalam

51
proporsi yang tepat yang mampu dipahaminya, karena bahkan indera adalah suatu
kumpulan penalaran, yang menjadi bagian dari kemampuan kognitif. Sekarang
karena memahami adalah dengan menggabungkan, dan keserupaan berhubungan
dengan forma, maka keindahan merupakan suatu sifat dari formal cause.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Hal baik dideskripsikan sebagai sesuatu yang


melebur dengan sendirinya dalam indera, di mana indera tersebut digunakan untuk
menentukan suatu akhir.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Seseorang yang memiliki kehendak disebut


sebagai baik, selama ia memiliki kehendak baik, karena melalui kehendaklah
seseorang menggerakkan kekuasaan apapun yang dimilikinya. Maka seseorang
disebut sebagai baik, bukan karena pemahamannya yang baik, tetapi karena ia
memiliki kehendak baik. Sekarang, kehendak berhubungan dengan obyeknya. Maka
perkataan “kita ada karena Allah baik” merujuk pada final cause.

............

(33) Tentang causes :


Dalam setiap perubahan, terdapat 4 aspek (
http://www.newadvent.org/cathen/03459a.htm#scholastic ):

1. Sesuatu yang diubah;


2. Aturan atau cara perubahannya;
3. Agen aktif yang melakukan perubahan;
4. Alasan dari perubahan.

Sekarang ambil contoh perubahan dari lilin mainan berbentuk kubus menjadi
berbentuk bulatan. Lilin mainan adalah sesuatu yang diubah. Kubus lilin permainan
menjadi ada secara material karena ada lilin permainan. Maka lilin permainan
adalah material cause-nya. Lalu cara perubahannya adalah dari bentuk satu (kubus)
ke bentuk lain (bulatan). Maka bulatan, yang menyebabkannya berubah/berbeda
dari keadaan awalnya, adalah formal cause. Orang yang melakukan perubahan
adalah efficient cause, atau moving cause-nya. Lalu niat orang tersebut untuk
menjadikan lilin plastik dari bentuk kubus ke bentuk bulatan adalah final cause-nya.

Artikel 5 : Apakah Esensi Hal Baik terdiri dari Moda, Species dan
Urutan?

Keberatan 1 : Tampaknya esensi hal baik tidak terdiri dari moda [cara berada],
species [golongan] dan urutan [tingkatan], karena hal baik dan keberadaan adalah
dua hal yang berbeda secara logis. Namun moda, species dan urutan tampaknya
menjadi sifat dari keberadaan, karena ada tertulis, “Engkau telah menyusun segala
sesuatu menurut ukuran, jumlah dan timbangan” (Keb. 11:20). Dan tiga hal tersebut
dapat direduksi menjadi species, moda dan urutan, sebagaimana dikatakan
Agustinus (Gen.ad lit.iv, 3) : “Ukuran menentukan moda dari segala sesuatu, jumlah
menentukan spesies, dan timbangan menentukan ketenangan dan stabiblitas.”
Maka esensi dari hal baik tidak terkandung dalam moda, spesies dan urutan.

52
Keberatan 2 : Lebih lanjut, moda, spesies dan urutan dalam dirinya sendiri adalah
baik. Maka jika esensi dari hal baik ada dalam moda, spesies dan urutan, setiap
moda harus punya moda, spesies dan ukurannya sendiri. Ini juga akan berlaku bagi
spesies dan urutan. Hal ini akan menimbulkan sukesi yang tiada henti.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, hal buruk adalah tiadanya moda, spesies dan urutan.
Namun dalam hal buruk, hal baik tidak sama sekali absen. Maka esensi dari hal baik
tidak terdiri dari moda, spesies dan urutan.

Keberatan 4 : Lebih lanjut, di mana terdapat esensi dari hal baik, tidak dapat disebut
sebagai keburukan. Namun kita dapat melihat moda, spesies dan urutan dalam
keburukan. Maka esensi hal baik tidak terdiri dari moda, spesies dan urutan.

Keberatan 5 : Lebih lanjut, moda, spesies dan urutan ditimbulkan oleh bobot, jumlah
dan ukuran, sebagaimana dikatakan oleh Agustinus. Tapi tidak setiap hal baik
memiliki bobot, jumlah dan ukuran, sebagaimana dikatakan Ambrosius (Hexam. i, 9)
: “Adalah hakikat dari cahaya untuk tidak memiliki jumlah, bobot dan ukuran.” Maka
esensi hal baik tidak terdiri dari moda, spesies dan urutan.

Sebaliknya, Agustinus mengatakan (De Nat. Boni. iii) : “Ketiga hal ini – moda,
spesies dan urutan – sebagai hal baik yang umum, ada dalam segala hal yang
diciptakan Allah. Sehingga, di mana terdapat ketiga hal ini, hal-hal akan sangat baik,
sedangkan jika terdapat kekurangan dari ketiganya, maka hal-hal akan kurang baik,
dan jika sama sekali tidak terdapat ketiganya, maka hal-hal tidak ada yang baik.”
Tapi hal tersebut tidak akan mungkin kecuali esensi hal baik ada dalam ketiga hal
tersebut. Maka esensi dari hal baik terdiri dari moda, spesies dan urutan.

Aku menjawab bahwa, Segala sesuatu disebut sebagaik baik jika ia sempurna,
karena hanya dalam kesempurnaannya ia diinginkan (sebagaimana ditunjukkan
dalam Artikel 3 di atas). Sekarang, sesuatu disebut sebagai sempurna jika ia tidak
kekurangan apapun dalam hal moda kesempurnaannya [tamb. penerj. : caranya
menjadi sempurna]. Tapi karena segala sesuatu menjadi dirinya sendiri melalui
formanya (dan karena forma tersebut menyatakan sesuatu yang tertentu, dan dari
forma tersebut muncul sesuatu tertentu), untuk menjadi sempurna dan baik sesuatu
harus memiliki forma, bersama dengan segala hal yang mendahului dan mengikuti
forma tersebut. Sekarang, forma tersebut menyatakan ketentuan ataupun
kesetaraan dari prinsipal-prinsipalnya, entah bersifat material ataupun efisien
[tamb.penerj.: berhubungan dengan efek], dan kesetaraan ataupun ketentuan ini
ditandakan oleh moda, maka dikatakan bahwa jumlah menyatakan moda. Tapi
forma itu sendiri ditandakan oleh spesies, karena segala sesuatu ditempatkan dalam
spesiesnya masing-masing oleh formanya. Maka jumlah dikatakan memberikan
spesies, karena definisi yang menandakan spesies adalah mirip dengan jumlah,
menurut Sang Filsuf (Metaph. x), karena sebagaimana suatu unit ditambahkan atau
diambil dari suatu jumlah, hal tersebut mengubah spesiesnya; demikian juga jika
suatu perubahan ditambahkan atau diambil dari suatu definisi, hal tersebut
mengubah spesiesnya. Lebih lanjut, dalam forma terdapat suatu kecenderungan
terhadap suatu akhir, atau terhadap suatu tindakan, atau sesuatu hal, karena segala
sesuatu, selama ia ada dalam aktualtias, bertindak dan cendrung mengarah pada
seesuatu sesuatu menurut formanya, dan kecenderungan ini adalah sifat bobot dan

53
urutan. Dengan demikian, esensi hal baik, selama esensi itu ada dalam
kesempurnaan, terdiri dari moda [tamb.penerj.: cara berada], spesies [yang
membedakan dari yang lain] dan urutan [tingkat kecenderungannya].

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Ketiga hal ini hanya ada dalam suatu
keberadaan, selama keberadaan tersebut sempurna, dan berdasar
kesempurnaannya tersebut ia baik.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Moda, spesies dan urutan disebut sebagai


baik, dan juga menjadi ada, bukan seolah ketiga hal tersebut adalah penyebab
keberadaan, namun karena melalui ketiganya hal-hal lain menjadi ada sekaligus
baik. Maka, ketiga hal tersebut tidak memerlukan hal-hal lain untuk menjadikan hal-
hal lain tersebut baik, karena ketiga hal tersebut tidak disebut baik seolah ketiganya
dibentuk secara formal menjadi baik oleh hal lain, tapi ketiga hal itu secara formal
membentuk hal laiinya menjadi baik. Maka sifat keputihan (whiteness) tidak disebut
sebagai suatu keberadaan seolah ia dijadikan ada oleh sesuatu lainnya, namun
karena karena melaluinya, sesuatu lain memiliki keberadaan aksidental, sebagai
suatu obyek yang putih.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Segala sesuatu ada dalam suatu forma. Maka,
segala sesuatu memiliki moda, spesies dan urutannya. Jadi, seseorang memiliki
moda, spesies [golongan] dan urutannya sebagaimana ia putih, bijaksana, terpelajar
dan sebagainya, menurut segala sesuatu yang dipredikasikan padanya. Tapi
keburukan menhilangkan satu hal dari sekumpulan keberadaan, sebagaimana
kebutaan menghilangkan penglihatan. Namun keburukan itu tidak menghilangkan
segala moda, spesies dan urutan, hanya seperti yang terjadi pada penglihatan.

Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Agustinus mengatakan (De Nat. Boni, xxiii),


“Setiap moda, sebagai suatu moda, adalah baik” (dan hal yang sama dapat
dikatakan pada spesies dan urutan). “Tapi moda, spesies dan urutan hal buruk
disebut sebagai keberadaan yang kurang dari apa yang seharusnya ada, atau tidak
dimiliki oleh sesuatu yang seharusnya memiliki. Maka mereka disebut buruk, karena
mereka tidak ada pada tempatnya dan tidak harmonis.”

Tanggapan terhadap Keberatan 5 : Hakikat dari cahaya disebut sebagai


keberadaan yang tidak memiliki jumlah, bobot dan ukuran, tidak dalam arti absolut,
tetapi dalam perbandingan dengan hal-hal jasmani, karena cahaya memiliki sifat
yang melampaui sifat-sifat jasmaniah, sebab ia adalah kualitas aktif dari hal-hal yang
mengakibatkan perubahan, yaitu hal-hal surgawi.

Artikel 6 : Apakah Hal Baik Secara Tepat Dibagi Menjadi Kebajikan*,


Kegunaan dan Kepuasan? (*Bonus honestum adalah kebaikan luhur
yang dianggap sebagai ketepatan)

Keberatan 1 : Tampaknya hal baik tidak tepat jika dibagi menjadi kebajikan,
kegunaan dan kepuasan, karena hal baik dibagi menjadi sepuluh keadaan,
sebagaimana dikatakan Sang Filsuf (Ethic. i). Tapi kebajikan, kegunaan dan

54
kepuasan dapat ditemukan dalam satu keadaan [dari sepuluh keadaan yang
dikatakan Sang Filsuf]. Maka tidak tepat jika hal baik dibagi menjadi tiga hal
tersebut.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, setiap pembagian dibagi menjadi hal yang berbeda,
namun ketiga hal tersebut tampaknya tidak berbeda, karena kebajikan adalah hal
yang memuaskan, dan tidak ada kegunaan dalam kejahatan. Padahal jika
pembagian adalah melalui pembedaan, maka kebajikan dan kegunaan akan
berbeda, dan Tully berbicara tentang hal ini (De Offic. ii). Maka pembagian ini
tidaklah tepat.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, jika suatu hal tergantung pada hal lainnya, maka masing-
masing akan memiliki karakternya masing-masing. Tapi kegunaan tidak menjadi baik
jika ia tidak memuaskan sekaligus bijak. Maka kegunaan tidak seharusnya
dipisahkan dari kepuasan dan kebijakan.

Sebaliknya, Ambrosius menggunakan pembagian tersebut terhadap hal baik (De


Offic. i, 9).

Aku menjawab bahwa, Pembagian ini adalah tentang hal baik pada manusia. Tapi
jika kita memperhatikan hakikat hal baik dari sudut pandang yang lebih tinggi dan
universal, maka kita akan menemukan bahwa pembagian ini tepat diterapkan pada
hal baik, karena segala sesuatu adalah baik selama ia diinginkan, dan ini merupakan
tujuan dari pergerakan keinginan, suatu tujuan yang pergerakannya dapat dilihat
dengan memperhatikan pergerakan natural suatu tubuh. Sekarang, pergerakan
suatu tubuh natural berakhir secara absolut pada suatu akhir, dan berakhir secara
relatif pada sarana yang digunakannya untuk bergerak menuju akhir. Maka sesuatu
disebut sebagai suatu tujuan pergerakan, selama ia merupakan perhentian dari
pergerakan tersebut. Sekarang tujuan utama dari pergerakan dapat berupa salah
satu dari dua hal, entah menuju sesuatu itu sendiri yang menjadi
kecenderungannya, misalnya suatu tempat ataupun forma, ataupun suatu keadaan
dari sesuatu itu. Jadi, dalam pergerakan suatu keinginan, hal yang diinginkan yang
menjadi tujuan dari pergerakan tersebut secara relatif, sebagai suatu sarana untuk
menuju kecenderungan lainnya, disebut sebagai suatu kegunaan. Tapi sesuatu yang
dituju sebagai tujuan akhir absolut dari pergerakan keinginan, sesuatu yang ingin
paling diinginkan, disebut kebajikan, karena kebajikan adalah sesuatu yang paling
diinginkan. Namun, sesuatu keadaan yang menjadi perhentian dari pergerakan
keinginan, disebut kepuasan.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Hal baik, selama ia identik dengan


keberadaan, dibagi menjadi sepuluh keadaan. Tapi pembagian ini berdasarkan
formalitas dari hal baik.

Tanggapa terhadap Keberatan 2 : Pembagian ini tidak tentang pembedaan suatu


benda dengan benda lain, tapi tentang aspek. Sekarang, segala sesuatu yang
disebut memuaskan adalah mereka yang tidak memiliki formalitas lain yang
diinginkan darinya kecuali kepuasan, meskipun kadang sesuatu itu menyakitkan dan
bertentangan dengan kebajikan. Sedangkan kegunaan merujuk pada hal yang pada
dirinya sendiri tidak memiliki sesuatu yang diinginkan kecuali sifat bantuannya untuk
mencapai sesuatu yang lebih lanjut, sebagaimana obat pahit [tamb. penerj. Obat

55
pahit diminum bukan karena ingin menikmati obat pahit itu sendiri tapi melalui obat
pahit itu kesembuhan ingin dicapai]. Sedangkan kebajikan dipredikasikan pada hal-
hal yang pada dirinya sendiri diinginkan.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Hal baik tidak dibagi menjadi tiga hal ini seolah
ketiganya memiliki arti yang sama, tetapi sebagai sesuatu yang analogis yang
dipredikasikan kepada ketiganya menurut urutan [priority dan posteriority]. Maka hal
baik pertama kali dipredikasikan pada kebajikan, kemudian kepuasan dan terakhir
pada kegunaan.

Pertanyaan 6 : Kebaikan Allah (Empat Artikel)

Selanjutnya kita mempertimbangkan kebaikan Allah, yang mana terdapat empat


poin pertimbangan :

(1) Apakah hal baik menjadi milik Allah?


(2) Apakah Allah adalah kebaikan utama?
(3) Apakah hanya Allah saja yang baik secara esensial?
(4) Apakah segala sesuatu baik oleh kebaikan ilahi?

Artikel 1 : Apakah Allah Baik ?

Keberatan 1 : Tampaknya Allah tidak baik, karena hal baik terdiri dari moda,
spesies dan urutan. Tapi ketiga hal tersebut tidak tepat dikatakan pada Allah, karena
Allah tak terbagi dan tidak diurutkan dalam hal apapun. Maka Allah tidak baik.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan, tapi Allah
tidak diinginkan oleh segala sesuatu, karena Ia tidak diketahui, dan sesuatu tidak
diinginkan kecuali ia diketahui. Maka Allah tidak baik.

Sebaliknya, Ada tertulis (Rat 3:25) : “Allah baik terhadap mereka yang berharap
pada-Nya, terhadap jiwa yang mencari-Nya.”

Aku menjawab bahwa, Allah sangat baik, karena sesuatu disebut baik menurut
keterdiinginkannya. Sekarang, segala sesuatu mencari kesempurnaannya, dan
kesempurnaan serta forma dari suatu efek terdiri dari semacam keserupaan
terhadap suatu agen, karena setiap agen memunculkan yang serupa dengannya,
sehingga agen itu sendiri diinginkan dan memiliki hakikat kebaikan. Karena hal yang
sangat diinginkan adalah ikut berpartisipasi dalam keserupaan. Maka, karena Allah
adalah kausa efektif pertama, nyatalah bahwa aspek kebaikan dan
keterdiinginkanan adalah milik Allah. Maka Dionisius (Div. Nom. iv) mengatribusikan
kebaikan kepada Allah sebagai kausa efektif pertama, dengan mengatakan bahwa
Allah disebut baik “karena oleh-Nya segala sesuatu menjadi ada.”

56
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Memiliki moda, spesies dan urutan adalah sifat
dari esensi sesuatu yang dijadikan baik, tapi Allah baik sebagai penyebab, maka
Allah adalah yang mengakibatkan [munculnya] moda, spesies dan urutan pada hal-
hal lainnya. Karena itu ketiga hal tersebut ada dalam Allah sebagai penyebab
mereka.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Segala sesuatu, dengan menginginkan


kesempurnaannya masing-masing, menginginkan Allah sendiri, karena
kesempurnaan dari segala sesuatu sungguh menyerupai keberadaan ilahi,
sebagaimana yang dikatakan di atas (Pertanyaan 4, Artikel 3). Maka segala sesuatu
yang mengingnikan Allah, sebagian mengetahui-Nya sebagaimana Diri-Nya, dan ini
tepat bagi ciptaan rasional, sebagian lain mengetahui-Nya dari partisipasi terhadap
kebaikan-Nya, dan ini ada pada pengetahuan inderawi, lainnya memiliki keinginan
alami tanpa pengetahuan, karena diarahkan menuju akhir oleh akal yang lebih
tinggi.

Artikel 2 : Apakah Allah adalah Kebaikan Utama?

Keberatan 1 : Tampaknya Allah bukanlah kebaikan utama, karena dalam kebaikan


utama berarti ada sesuatu yang ditambahkan pada kebaikan secara umum, karena
jika tidak maka semua kebaikan umum adalah kebaikan utama. Namun, segala
sesuatu yang ditambahi adalah suatu komposit, maka kebaikan utama adalah suatu
komposit. Tapi Allah adalah sederhana sama sekali [tamb. penerj. tidak ada
komposit dalam Allah], sebagaimana ditunjukkan dalam Pertanyaan 3 Artikel 7.
Maka, Allah bukanlah kebaikan utama.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, “Kebaikan adalah yang diinginkan segala sesuatu,” kata
Sang Filsuf (Ethic. i, 1). Sekarang, segala sesuatu menginginkan Allah, sebagai
akhir dari segala sesuatu. Maka tidak ada kebaikan lain selain Allah. Ini tampak dari
yang dikataakn (Luk 18:19) : “Tidak ada yang baik selain Allah.” Namun kita
menggunakan kata “utama” untuk membandingkan dengan hal lain, misalnya “panas
utama” digunakan untuk membandingkan dengan panas lainnya. Maka Allah tidak
bisa disebut sebagai kebaikan utama.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, keutamaan menyiratkan perbandingan. Tapi sesuatu


yang tidak dalam jenis yang sama tidak bisa dibandingkan, seperti rasa manis tidak
bisa disebut lebih baik atau kurang baik terhadap suatu garis. Maka, karena Allah
tidak digabungkan dalam jenis yang sama terhaadp segala kebaikan lainnya,
sebagaimana ditunjukkan di Pertanyaan 3 Artikel 5 dan Pertanyaan 4 Artikel 3,
tampaknya Allah tidak dapat disebut sebagai kebaikan utama dalam hubungannya
dengan hal-hal lain.

Sebaliknya, Agustinus mengatakan (De Trin. ii) bahwa, Trinitas dari Pribadi-pribadi
ilahi adalah “kebaikan utama, yang dibedakan oleh pikiran yang termurnikan.”

57
Aku menjawab bahwa, Allah adalah kebaikan utama, dan tidak hanya berupa
kebaikan yang ada dalam jenis atau hal apapun, karena kebaikan diatribusikan pada
Allah, seperti yang telah dikatakan dalam artikel sebelumnya, dalam hal segala
keinginan terhadap kesempurnaan mengalir dari-Nya sebagai kausa pertama.
Namun, segala keinginan itu tidak mengalir dari-Nya seolah sebagai suatu hal yang
sama dengan agen asalnya, sebagaimana ditunjukkan sebelumnya (Pertanyaan 4
Artikel 2), tapi dari suatu agen yang tidak dapat disamakan dengan efek yang
dihasilkannya baik dalam hal jenis maupun spesies. Sekarang, keserupaan dari
suatu efek dalam suatu sebab-akibat yang sejenis adalah tentang keseragaman, tapi
dalam hubungan sebab-akibat yang tidak sejenis, keserupaan itu adalah tentang
keunggulan, sebagaimana panas matahari lebih unggul dari pada panas api. Maka,
sebagaimana kebaikan ada dalam Allah sebagai penyebab pertama segala hal tapi
tidak dalam hubugnan sebab-akibat yang sejenis, kebaikan seharusnya ada dala Dia
sebagai sesuatu yang paling unggul, dan dengan demikian Ia disebut kebaikan
utama.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Kebaikan utama tidak berarti sesuatu yang


absolut ditambahkan pada kebaikan, tapi hanya menambahkan relasi. Sekarang,
relasi Allah terhadap ciptaan bukanlah sesuatu yang nyata dalam Allah, tapi dalam
ciptaan, karena [gagasan] bahwa hubungan itu [seolah] ada dalam Allah hanya ada
dalam pikiran kita saja, seperti sesuatu yang diketahui disebut berhubungan dengan
pengetahuan tidak berarti bahwa sesuatu itu tergantung terhadap pengetahuan tapi
karena pengetahuan tergantung padanya [tamb. Penerj. Seperti pengetauhan
tentang cara kerja alam tergantung pada alam itu sendiri, bukan alam tergantung
pada pengetahuan kita tentangnya.]. Maka tidaklah perlu ada komposisi dalam
kebaikan utama, tapi hanya bahwa segala sesuatu lainnya terlihat kurang jika
disandingkan dengannya.

Tangagpan terhadap Keberatan 2 : Ketika kita mengatakan bahwa kebaikan


adalah yang diinginkan segala sesuatu, hal tersebut tidak berarti bahwa segala jenis
kebaikan diinginkan oleh segala sesuatu, tapi segala sesuatu yang diinginkan
memiliki hakikat kebaikan. Dan ketika dikatakan bahwa “Tak ada yang baik selain
Allah,” ini bukan tentang kebaikan esensial, sebagaimana akan dijelaskan dalam
artikel selanjutnya.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Hal-hal yang tidak dalam jenis yang sama
tidak mungkin dibandingkan satu dengan lainnya jika mereka sungguh-sungguh
berbeda jenis [genus]. Sekarang kita mengatakan bahwa Allah tidak dalam jenis
yang sama dengan kebaikan lainnya. Ini bukan berarti Ia ada dalam satu jenis
[genus] tertentu, tapi bahwa Ia di luar segala jenis, dan Ia adalah prinsipal dari setiap
jenis, dan dengan demikian Ia dibandingkan dengan hal lain dalam hal keunggulan,
dan dalam perbandingan inilah tersirat kebaikan utama.

Artikel 3 : Apakah Menjadi Secara Esensial Baik Hanya Bisa Terjadi


Pada Allah Saja?

58
Keberatan 1 : Tampaknya menjadi secara esensial baik hanya bisa terjadi pada
Allah saja, karena “satu benda” searti dengan “keberadaan”, demikian juga
“kebaikan”, sebagaimana kita bahas sebelumnya (Pertanyaan 5 Artikel 1). Tapi
setiap keberadaan secara esensial adalah “satu benda”, maka setiap keberadaan
secara esensial adalah baik.
Keberatan 2: Lebih lanjut, jika kebaikan adalah hal yang dituju oleh semua benda
dan karena menjadi ada adalah hal yang diinginkan oleh semua benda, maka
keberadaan setiap benda adalah hal baik yang ada pada dirinya. Tapi setiap benda
secara esensial adalah suatu keberadaan, maka setiap keberadaan secara esensial
adalah baik.
Keberatan 3: Lebih lanjut, setiap benda adalah baik dengan kebaikannya masing-
masing. Maka jika ada sesuatu yang secara esensial tidak baik, dapat dikatakan
bahwa kebaikan bukanlah esensi1nya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
kebaikannya, yang adalah suatu keberadaan (keberadaan lain di luar esensi –
penerjemah), harus baik (agar bisa menjadikan suatu esensi menjadi baik –
penerjemah). Tapi karena dikatakan sesuatu menjadi baik karena hal lain di luar
esensinya, kebaikan tersebut (yang adalah suatu keberadaan dan dengan demikian
memiliki esensi – penerjemah) harus dijadikan baik oleh sesuatu lainnya. Ini bisa
menjadi suatu proses tanpa ujung, atau sampai pada satu kebaikan yang menjadi
baik bukan karena dijadikan baik oleh apapun. Maka anggapan bahwa setiap benda
adalah baik karena kebaikannya masing-masing adalah benar. Dengan demikian
setiap benda secara esensial adalah baik.
Sebaliknya, Boethius mengatakan (De Hebdom), bahwa “segala sesuatu selain
Allah menjadi baik karena keikutsertaan.” Maka mereka tidak secara esensial baik.
Aku menjawab bahwa, Allah sendirilah yang secara esensial baik, kerena setiap
sesuatu disebut baik berdasar kesempurnaannya. Sekarang, kesempurnaan suatu
benda ada tiga macam: pertama, berdasar keutuhan keberadaannya; kedua,
berhubungan dengan aksiden apapun yang ada padanya untuk kesempurnaan
operasionalnya; dan ketiga, kesempurnaan terkandung dalam pencapainnya
terhadap sesuatu sebagai tujuan akhirnya. Sebagai contoh, kesempurnaan pertama
dari api terkandung dalam keberadaannya, yang diperolehnya dalam wujud
substansialnya; kesempurnaan keduanya terkandung dalam panas, terang dan
kering, dan hal-hal sejenis, yang dimilikinya; kesempurnaan ketiga adalah ia ada di
suatu tempat (yang dibakarnya – penerjemah). Kesempurnaan triple ini tidak dimiliki
oleh ciptaan apapun melalui esensinya sendiri; kesempurnaan triple ini hanya ada
pada Allah, yang hanya pada Diri-Nya saja esensi adalah keberadaan-Nya; yang
pada-Nya tidak ada aksiden, karena apapun yang ada pada segala sesuatu lainnya
secara aksidental, padanya ada secara esensial, sebagai contoh menjadi kuat, baik
dan sebagainya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya (Pertanyaan 3 Artikel 6);
dan Ia tidak menjadikan apapun sebagai akhir-Nya, melainkan Ia-lah yang menjadi
tujuan akhir dari segala sesuatu. Maka nyatalah bahwa hanya Allahlah yang memiliki
segala jenis kesempurnaan melalui esensi-Nya sendiri. Dengan demikian hanya
Allah-lah yang baik dalam esensi-Nya.
Tanggapan terhadap Keberatan 1: “Satu benda” tidak berbicara tentang
kesempurnaan, tapi tentang ketidakterbagian, yang menjadi milik setiap benda
berdasarkan esensinya. Sekarang, esensi dari benda-benda tunggal tak terbagi

59
secara actual maupun potensial, tapi esensi benda-benda senyawa hanya tak
terbagi secara aktual2. Dengan demikian setiap benda secara esensial memang
satu, namun tidak secara esensial baik, sebagaimana ditunjukkan dalam jawaban di
atas.
Tanggapan terhadap Keberatan 2: Meskipun segala sesuatu baik dalam hal
bahwa ia memiliki keberadaan, namun esensi suatu benda bukanlah dengan
menjadi ada, sehingga dengan demikian tidak dapat dikatakan bahwa suatu ciptaan
secara esensial baik.
Tanggapan terhadap Keberatan 3: Kebaikan dari suatu ciptaan bukanlah inti dari
esensinya, melainkan sesuatu tambahan, entah itu karena keberadaannya, atau
aksiden tambahan atau capaiannya terhadap tujuan akhirnya. Namun, kebaikan
yang berupa tambahan tersebut tetap saja baik, karena ia ada. Justru karena alasan
inilah kebaikan itu olehnya sesuatu menjadi ada, bukan karena kebaikan itu
dijadikan ada oleh sesuatu. Juga karena alasan itulah kebaikan itu disebut baik
karena olehnya sesuatu menjadi baik, bukan karena kebaikan itu dijadikan baik oleh
sesuatu.

Artikel 4 : Apakah Segala Sesuatu Menjadi Baik oleh Kebaikan Ilahi?

Keberatan 1: Tampaknya segala sesuatu menjadi baik oleh kebaikan ilahi, karena
Agustinus berkata (De Trin. Viii), “Ini dan itu baik, ambillah ini dan itu, dan apakah
kamu melihat kebaikan itu sendiri? Dan kamu akan melihat Allah, baik bukan karena
kebaikan lain, melainkan kebaikan dari setiap kebaikan.” Tapi segala sesuatu baik
oleh kebaikannya sendiri, maka segala sesuatu baik oleh kebaikan utama itu yang
adalah Allah.
Keberatan 2: Lebih jauh, Boethius mengatakan (De Hebdom.), segala sesuatu
disebut baik karena mereka menuju Allah, dan ini karena kebaikan ilahi3. Maka
segala sesuatu menjadi baik karena kebaikan ilahi.
Sebaliknya, segala sesuatu baik karena mereka memiliki keberadaan. Tapi mereka
tidak disebut sebagai suatu keberadaan karena adanya keberadaan ilahi, melainkan
mereka ada melalui keberadaan mereka sendiri. Maka segala sesuatu disebut baik
bukan oleh kebaikan ilahi, tapi karena kebaikan mereka sendiri.
Aku menjawab bahwa, Berkaitan dengan hal-hal relative, kita harus mengakui
adanya perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh pengaruh luar, sebagai contoh,
sesuatu yang ditempatkan berbeda dengan sesuatu yang menempatkan, sesuatu
yang diukur berbeda dengan sesuatu yang mengukur. Tetapi ini berbeda jika
berkaitan dengan sesuatu yang absolut. Plato berpegang pada keberadaan adanya
gagasan khusus (Pertanyaan 84 Artikel 4) tentang segala sesuatu, dan bahwa
individu-individu dibeda-bedakan oleh gagasan khusus tersebut melalui
kemiripannya dengan gagasan khusus tersebut. Sebagai contoh, Socrates disebut
manusia berdasarkan gagasan khusus tentang manusia. Sekarang, sebagaimana ia
membedakan gagasan khusus tentang manusia dan seekor kuda, yang ia sebut
sebagai manusia yang absolut dan kuda yang absolut, demikian juga ia
mengemukakan gagasan tentang “keberadaan” dan “sesuatu”, dan ini ia sebut

60
sebagai keberadaan yang absolut dan kesesuatuan yang absolut. Dan dengan
kemiripan terhadap hal-hal tersebut, segala sesuatu disebut sebagai “keberadaan”
atau “sesuatu”, dan juga tentang keberadaan yang absolut dan kesesuatuan yang
absolut, yang ia sebut sebagai kebaikan utama. Dan karena “kebaikan” dapat
digunakan secara bergantian dengan “keberadaan”, demikian juga dengan
“kesesuatuan”, ia menyebut Allah sebagai kebaikan absolut, yang dari-Nya segala
sesuatu disebut baik berdasar kemiripan dengan-Nya.
Meskipun pendapat ini tampak tak masuk akal untuk menyatakan bahwa gagasan
khusus tentang hal-hal natural ada dari dirinya sendiri – sebagaimana Aristoteles
berargumen dalam berbagai hal – tetap saja, adalah benar secara absolut bahwa
ada keberadaan pertama yang merupakan keberadaan esensial dan kebaikan
esensial, yang kita sebut Allah, sebagaimana ditunjukkan dalam Pertanyaan 2
Artikel 3, dan Aristoteles setuju dengan hal ini. Maka dari keberadaan pertama, yang
secara esensial dan baik merupakan yang pertama, segala sesuatu disebut sebagai
baik dan sebagai suatu keberadaan, karena ia menyerupai keberadaan pertama itu
dengan cara kemiripan tertentu walaupun derajad kemiripannya kecil dan jauh dari
kesempurnaan, sebagaimana ditunjukkan pada Pertanyaan 4 Artikel 3.
Maka segala sesuatu menjadi baik karena kebaikan ilahi, sebagai awal dan akhir
dari segala kebaikan. Namun, segala sesuatu disebut baik karena memiliki
kemiripan dengan kebaikan ilahi, yang secara formal disebut sebagai kebaikan dari
sesuatu itu sendiri, yang merupakan kebaikan yang berbeda dengan kebaikan ilahi.
Dengan demikian dalam segala sesuatu terdapat satu kebaikan sekaligus banyak
kebaikan.
Ini merupakan tanggapan yang cukup untuk keberatan-keberatan.

RISALAH TENTANG TRITUNGGAL MAHA KUDUS

Pertanyaan 27 : Tentang Prosesi dari Pribadi-pribadi Ilahi

Setelah mempertimbangkan apa yang ada dalam persatuan hakekat ilahi, maka tiba
saatnya untuk membicarakan tentang Tritunggal dari Pribadi-pribadi dalam Allah.
Dan karena Pribadi ilahi dibedakan satu dengan yang lain berdasar hubungan
awalnya, urutan doktrin ini membawa kita untuk mempertimbangkan yang pertama,
pertanyaan tentang asal atau prosesi, yang kedua adalah tentang hubungan asal,
yang ketiga adalah tentang Pribadi.

Tentang prosesi terdapat lima poin yang akan dibahas :

1. Apakah terdapat prosesi dalam Allah?


2. Apakah ada prosesi dalam Allah yang bisa disebut memperanakkan?
3. Apakah dapat ada prosesi lain dalam Allah selain memperanakkan?

61
4. Apakah prosesi lain itu dapat disebut memperanakkan?
5. Apakah ada lebih dari dua prosesi dalam Allah?

Artikel 1 : Apakah Terdapat Prosesi dalam Allah?

Keberatan 1 : Tampaknya tidak mungkin ada prosesi dalam Allah, karena prosesi
berarti gerakan keluar. Tapi dalam Allah tidak ada yang berpindah, atau sesuatu hal
yanbg lain. Maka tidak ada prosesi dalam Allah.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, segala sesuatu yang berprosesi berbeda dengan asal
prosesinya. Tetapi tidak ada keragaman dalam Allah, melainkan kesederhanaan
mutlak. Maka dalam Allah tidak ada prosesi.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, untuk berproses dari sesuatu sepertinya akan


bertentangan dengan natur prinsip pertama. Tetapi Allah adalah prinsip pertama,
seperti dinyatakan pada Pertanyaan 2 Artikel 3. Maka dalam Allah tidak terdapat
prosesi.

Sebaliknya : Tuhan kita mengatakan, “sebab Aku keluar dan datang dari Allah”.
(Yoh 8:42)

Aku menjawab, Kitab Suci menggunakan, dalam hubungan dengan Allah, nama-
nama yang menandakan prosesi. Prosesi ini telah dipahami secara berbeda.
Beberapa memahaminya dalam pemahaman tentang suatu efek, berproses dari
penyebabnya; maka Arius memahaminya dengan berkata bahwa Anak berprosesi
dari Bapa sebagai ciptaan utama-Nya, dan Roh Kudus berprosesi dari Bapa dan
Putra sebagai ciptaan keduanya. Dalam pemahaman ini baik Anak maupun Roh
Kudus bukanlah Allah yang benar, dan ini bertentangan dengan apa yang dikatakan
mengenai Anak : “bahwa … kita ada di dalam Yang Benar, di dalam Anak-Nya
Yesus Kristus. Dia adalah Allah yang benar dan hidup yang kekal.”(1 Yoh 5:20).
Tentang Roh Kudus juga dikatakan : “6:19 Atau tidak tahukah kamu, bahwa
tubuhmu adalah bait Roh Kudus…?”. Sekarang, hanya Allah yang berhak memiliki
bait. Yang lainnya memahami prosesi ini berarti sang penyebab melakukan prosesi
kepada sang efek, yaitu menggerakkannya, atau menanamkan kesamaannya
kepada efek itu, sebagaimana dipahami oleh Sabelius, yang mengatakan bahwa
Allah Bapa disebut Putra saat mengambil daging dari sang Perawan, dan Bapa itu
juga yang disebut Roh Kudus saat menguduskan makhluk rasional, dan
menghidupkannya. Perkataan Tuhan bertentangan dengan hal tersebut, saat Ia
berbicara tentang diri-Nya : “Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya
sendiri,” (Yoh 5:19); dan banyak ayat yang menyatakan hal yang sama, karena itu
kita tahu bahwa Bapa bukanlah Putra. Pemeriksaan yang teliti menunjukkan bahwa
kedua opini tersebut memahami prosesi sebagai tindakan keluar; karena itu tidak
satupun dari keduanya memahami bahwa prosesi berada dalam diri Allah sendiri;
padahal, karena prosesi selalu mengandaikan adanya tindakan, dan sebagaimana
terdapat prosesi keluar sehubungan dengan tindakan terhadap hal luar, maka harus
ada prosesi ke dalam yang berhubungan dengan tindakan yang tetap berada dalam
suatu agen. Ini berlaku dengan jelas terhadap akal, suatu tindakan tetap tinggal di

62
dalam agen yang berakal. Karena jika kita melakukan suatu pemahaman,
sesungguhnya sesuatu sedang berprosesi dalam diri kita, yaitu suatu
pengkonsepsian tentang obyek yang sedang dipahami, suatu konsepsi yang keluar
dari kekuatan intelek kita dan berprosesi dari pengatahuan kita tentang obyek
tersebut. Konsepsi ini ditandakan dengan kata-kata yang diucapkan, dan itu disebut
kata hati yang diungkapkan melalui kata-kata suara.

Karena Allah di atas segalanya, kita harus memahami apa yang dikatakan tentang
Allah, bukan berdasar cara pengandaian dari makhluk yang paling rendah, seperti
suatu badan, tetapi dari pengandaian terhadap makhluk tertinggi, suatu substansi
intelektual; bahkan pengandaian dengan cara seperti itupun tidak mampu
merepresentasikan obyek ilahi. Oleh karena itu, prosesi tidak untuk dipahami dalam
hubungannya dengan suatu badan, baik dalam gerakan setempatnya ataupun
sebagai suatu sebab yang berprosesi keluar kepada efek eksteriornya, seperti,
sebagai contoh, suatu panas dari suatu agen kepada benda yang dibuatnya panas,
tetapi harus lebih dipahami seperti suatu pancaran yang dapat dipahami, sebagai
contoh, seperti kata-kata yang dapat dipahami yang berprosesi dari si pembicara,
tetapi masih tetap tinggal di dalam si pembicara. Dalam pemahaman itulah Iman
Katolik memahami prosesi yang ada dalam Allah.

Jawaban terhadap Keberatan 1 : Keberatan ini datang dari gagasan tentang


prosesi dalam hubungan dengan gerakan setempat, atau tentang suatu tindakan
yang berhubungan dengan hal eksternal, atau tentang efek eksternal; prosesi
semacam ini tidak ada dalam Allah, sebagaimana telah kita jelaskan.

Jawaban terhadap Keberatan 2 : Apapun yang berprosesi melalui prosesi keluar


selalu berbeda dari sumber prosesinya, sedangkan apapun yang berprosesi ke
dalam melalui prosesi yang jelas, tidak harus menjadi berbeda; sesungguhnya,
semakin sempurna prosesinya, semakin mirip ia dengan sumber prosesinya.
Sebagaimana jelas bahwa semakin jelas suatu hal dipahami, semakin dekat
konsepsi intelektual berhubungan dan bersatu dengan agen berakal yang
memahaminya; karena akal melalui tindakan memahami dibuat menjadi satu dengan
obyek yang dipahami. Jadi, karena kecerdasan ilahi adalah kesempurnaan tertinggi
dari Allah (Pertanyaan 14 Artikel 2), Sabda ilahi dengan sendirinya secara sempurna
menjadi satu dengan sumber darimana Ia berprosesi, tanpa segala bentuk
perbedaan.

Jawaban terhadap Keberatan 3 : Untuk berproses dari suatu prinsipal, sehingga


menjadi sesuatu hal di luar dan berbeda dengan prinsipal itu, adalah bertentangan
dengan gagasan dari suatu prinsipal pertama; padahal prosesi yang mendalam dan
seragam melalui suatu tindakan yang jelas telah termasuk dalam gagasan suatu
prinsipal pertama. Jika kita menyebut seorang tukang bangunan sebagai prinsipal
dari sebuah rumah, maka di dalam gagasan sang prinsipal itu telah termasuk selera
seninya, dan itu telah menjadi bagian dalam gagasan dari prinsipal pertama
seandainya si tukang bangunan adalah prinsipal pertama. Allah, yang adalah
Prinsipal pertama untuk segala hal, dapat dibandingkan dengan benda-benda
ciptaan-Nya sebagaimana seorang arsitek dengan benda-benda yang didesainnya.

63
Artikel 2 : Apakah Ada Prosesi dalam Allah yang Bisa Disebut
Memperanakkan?

Keberatan 1 : Tampaknya tidak ada prosesi dalam Allah yang dapat disebut
memperanakkan, karena memperanakkan adalah perubahan dari tidak ada menjadi
ada, dan lawan dari merusakkan, sedangkan subyek dari keduanya adalah benda.
Kesemuanya itu tidak ada pada Allah. Maka pemunculan tidak ada pada Allah.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, prosesi yang ada dalam Allah terjadi dengan cara yang
jelas, sebagaimana dijelaskan di atas (Artikel 1). Tetapi prosesi yang demikian tidak
disebut memperanakkan dalam diri kita, maka tidak disebut demikian juga dalam
Allah.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, segala hal yang diperanakkan memperoleh


keberadaannya dari yang memperanakkan. Maka keberadaan seperti itu adalah
keberadaan yang didapatkan. Tetapi tidak ada suatu keberadaan yang didapatkan
yang dapat menjadi suatu keberadaan yang ada dengan sendirinya (self
subsistence). Oleh karena itu, karena keberadaan ilahi adalah ada dengan
sendirinya (Pertanyaan 3 Artikel 4), tidak ada keberadaan yang diperanakkan yang
dapat menjadi keberadaan ilahi. Maka tidak ada hal memperanakkan dalam Allah.

Sebaliknya, Dikatakan (Mzm 2:7) : “Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.”

Aku menjawab, Prosesi Sabda dalam Allah disebut memperanakkan. Untuk


membuktikannya kita harus mengamati bahwa memperanakkan mempunyai makna
ganda : satu adalah yang umum untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan
memperanakkan dan merusakkan, yang memahami memperanakkan tidak lebih dari
sekedar perubahan dari tidak ada menjadi ada. Dalam pemahaman lain istilah itu
tepat dan menjadi bagian dari makhluk hidup, yang dalam pemahaman ini
memperanakkan menunjukkan asal dari suatu makhluk hidup yang sebelumnya
merupakan bagian dari suatu prinsipal hidup, dan ini secara tepat disebut kelahiran.
Tidak setiap hal yang seperti itu disebut kelahiran, tetapi hanya merupakan sesuatu
yang berprosesi mirip seperti itu. Maka selembar rambut tidak memiliki aspek
memperanakkan dan hubungan peranakan (sonship), tetapi hanya sesuatu yang
berprosesi dengan cara yang mirip. Kemiripan lainnya juga tidak bisa disebut
demikian, seperti seekor cacing yang muncul dari binatang tidak memiliki aspek
memperanakkan dan peranakkan, meskipun hal itu memiliki kemiripan generik.
Memperanakkan yang dimaksud memerlukan adanya suatu prosesi dengan cara
seperti itu dalam natur yang spesifik sama; sebagaimana manusia berprosesi dari
manusia, dan seekor kuda dari seekor kuda. Jadi dalam makhluk hidup, yang
berprosesi dari kemungkinan untuk hidup (potential life) menuju kehidupan yang
sesungguhnya (actual life), seperti pada manusia dan binatang, memperanakkan
mencakup kedua jenis pemunculan yang dibicarakan tadi. Tetapi jika ada suatu
keberadaan yang hidupnya tidak berprosesi dari “mungkin” menjadi “nyata”, jika
ditemukan prosesi dalam makhluk seperti itu, prosesi itu tidak termasuk dalam
memperanakkan jenis pertama, meskipun pemunculan yang dimiliki adalah
pemunculan yang menjadi milik makhluk hidup. Jadi dalam hal ini prosesi Sabda
dalam Allah adalah memperanakkan, karena Ia berprosesi melalui tindakan yang
jelas (intelligible action), yang merupakan operasi yang utama : – dari suatu prinsipal
yang menjadi bagian dari diri-Nya (sebagaimana dijelaskan di atas): – dengan cara

64
yang sama, karena konsep dari intelek sama dengan obyek yang dikandungnya: –
dan ada dalam natur yang sama, karena dalam Allah tindakan memahami dan
eksistensinya adalah sama, sebagaimana ditunjukkan di aas (Pertanyaan 14, Artikel
4). Maka prosesi Sabda dalam Allah disebut memperanakkan, dan Sabda yang
berprosesi disebut Anak.

Jawaban terhadap Keberatan 1 : Keberatan ini berdasar pada gagasan tentang


pemunculan dalam pemahaman yang pertama, tentang keluar dari yang mungkin
menjadi nyata, yang mana hal tersebut tidak terdapat dalam Allah.

Jawaban terhadap Keberatan 2 : Tindakan pemahaman manusia dalam diri kita


bukanlah substansi dari intelek itu sendiri, maka kata yang berprosesi dalam diri kita
melalui tindakan yang jelas bukanlah dari natur yang sama dengan sumber
prosesinya, maka gagasan pemunculan (generation) tidak dapat dengan tepat dan
penuh diterapkan pada hal tersebut. Tetapi tindakan kecerdasan ilahi adalah
substansi dasar itu sendiri dari agen yang memahami (Pertanyaan 14 Artikel 4).
Maka Sabda yang berprosesi melakukan prosesi dalam natur yang sama, sehingga
tepat jika disebut dilahirkan, dan sebagai Anak. Oleh karena itu Alkitab
menggunakan istilah-istilah yang menunjukkan pemunculan dari makhluk hidup
untuk menunjukkan prosesi dari Kebijaksanaan ilahi, yaitu antara lain dengan istilah
pembuahan dan kelahiran, seperti yang dinyatakan dalam pribadi Kebijaksanaan
ilahi, “Sebelum air samudera raya ada, aku telah lahir, sebelum ada sumber-sumber
yang sarat dengan air.” (Ams 8:24). Dalam cara pemahaman kita, kita menggunakan
kata “pembuahan” untuk menunjukkan bahwa dalam kata dalam intelek kita
ditemukan kesamaan dengan benda yang dipahami, meskipun tidak mempunyai
identitas natur.

Jawaban terhadap Keberatan 3 : Tidak semua yang didapatkan dari suatu subyek
mempunyai keberadaan dalam subyek lain; sebaliknya kita tidak dapat mengatakan
bahwa seluruh substansi makhluk ciptaan diterima dari [substansi] Allah, karena
tidak ada subyek yang dapat menerima keseluruhan substansi. Maka, apa yang
muncul dalam Allah menerima keberadaannya dari yang memunculkan, bukan
seolah-olah keberadaan itu diterima dalam suatu bentuk (matter) atau dalam suatu
subyek (yang akan bertentangan dengan keberadaan ilahi yang ada dengan
sendirinya), tetapi saat
kita berbicara tentang keberadaan-Nya yang diterima, kita memaksudkan bahwa Dia
yang berprosesi menerima keberadaan ilahi dari keberadaan ilahi lain, bukan seperti
seolah-olah Ia bukan bagian dari natur ilahi, karena kesempurnaan itu sendiri dari
keberadaan ilahi termasuk di dalamnya Sabda yang berprosesi secara jelas dan
sang prinsipal dari Sabda, dengan segala kesempurnaan-Nya (Pertanyaan 4, Artikel
2).

Artikel 3 : Apakah Ada Prosesi Lain dalam Allah Selain Pemunculan


(Generation)?

Keberatan 1 : Nampaknya tidak ada prosesi lain dalam Allah selain pemunculan
(generation) Sabda, karena, untuk alasan apapun kita mengakui pemunculan lain,
kita akan dengan mudah mengakui ada yang lainnya lagi, dan seterusnya sampai

65
tak berhingga, yang adalah tidak mungkin. Oleh karena itu kita harus berhenti sejak
awal, dan berpegang bahwa hanya ada satu prosesi dalam Allah.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, setiap natur memiliki lebih dari satu komunikasi-diri,
karena operasi-operasi mendapatkan persatuan dan perbedaannya dari istilah-
istilahnya. Tetapi prosesi dalam Allah hanya merupakan suatu komunikasi dari natur
ilahi. Maka, karena hanya ada satu natur ilahi (Pertanyaan 11 Artikel 4), dengan
sendirinya hanya ada satu prosesi dalam Allah.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, jika ada prosesi lain dalam Allah selain prosesi yang
jelas tentang Sabda, yang hanya mungkin adalah prosesi kasih, melalui tindakan
kehendak. Tetapi prosesi yang demikian sama dengan prosesi intelek, karena
kehendak dalam Allah adalah sama dengan intelek Allah (Pertanyaan 19 Artikel 1).
Maka dalam Allah tidak ada prosesi lain selain prosesi Sabda.

Sebaliknya, Roh Kudus berprosesi dari Bapa (Yoh 15:26); dan Roh Kudus berbeda
dengan Anak, menurut kata-kata berikut : “Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia
akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain,” (Yoh 14:16). Maka
dalam Allah ada prosesi lain selain prosesi Sabda.

Aku menjawab, Ada dua prosesi dalam Allah : prosesi Sabda, dan satu prosesi
lain. Sebagai bukti kita harus mengamati prosesi itu ada dalam Allah, hanya
berdasarkan pada tindakan yang tidak condong kepada sesuatu yang eksternal,
tetapi tetap tinggal di dalam agen itu sendiri. Tindakan semacam ini dalam suatu
natur intelektual adalah dari intelek, dan dari kehendak. Prosesi Sabda adalah
melalui tindakan yang jelas. Tindakan kehendak dalam kita melibatkan juga prosesi
lain, yaitu kasih, yang mana obyek yang dicintai berada dalam yang mencintai,
sebagaimana, melalui konsepsi kata, obyek yang dibicarakan atau dipahami ada
dalam agen yang berakal. Maka, selain prosesi Sabda dalam Allah, ada dalam Dia
prosesi lain yang disebut prosesi kasih.

Jawaban terhadap Keberatan 1 : Tidak perlu diteruskan hingga pada


ketidakberhinggaan dalam prosesi ilahi, karena prosesi yang telah terlaksana dalam
agen dalam suatu natur intelektual berakhir dalam prosesi kehendak.

Jawaban terhadap Keberatan 2 : Semua yang ada dalam Allah, adalah Allah
(Pertanyaan 3 Artikel 3 & 4); yang mana hal yang sama tidak dapat diaplikasikan
pada yang lainnya. Maka natur ilahi dikomunikasikan melalui setiap prosesi yang
tidak mengarah keluar, dan ini tidak dapat diaplikasikan pada natur lainnya.

Jawaban terhadap Keberatan 3 : Meskipun kehendak dan intelek tidak berbeda


dalam Allah, namun natur dari kehendak dan intelek memerlukan prosesi yang
menjadi milik masing-masing dari mereka dalam aturan tertentu. Karena prosesi
kasih terjadi serupa dengan prosesi Sabda; karena tidak ada yang dapat dikasihi
oleh kehendak kecuali hal tersebut terkandung dalam akal. Maka sebagaimana ada
tatanan yang jelas dari Sabda terhadap prinsipal darimana Ia berprosesi, meskipun
dalam Allah substansi intelek dan konsepsinya adalah sama, maka, meskipun dalam
Allah kehendak dan akal adalah sama, tetap, karena kasih memerlukan sesuai natur
dasarnya untuk berprosesi hanya dari konsep intelek, ada perbedaan urutan (order)
antara prosesi kasih dan prosesi Sabda dalam Allah.

66
Artikel 4 : Apakah Prosesi Kasih dalam Allah adalah Pemunculan
(Generation)?

Keberatan 1 : Tampaknya prosesi kasih dalam Allah adalah pemunculan


(generation), karena apa yang berprosesi melalui cara yang serupa dengan natur
makhluk hidup disebut dimunculkan (generated) dan dilahirkan. Tetapi apa yang
berprosesi dalam Allah seperti kasih [berprosesi], berprosesi dalam keserupaan
natur, jika tidak maka hal itu bukan bagian dari natur ilahi, dan akan merupakan
prosesi eksternal. Maka apa yang berprosesi dalam Allah seperti kasih [berprosesi],
berprosesi sebagai dimunculkan dan dilahirkan.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, sebagaimana keserupaan (similitude) adalah natur dari


kata, demikian juga itu menjadi bagian dari kasih. Sehingga dikatakan bahwa “setiap
binatang buas mencintai yang serupa dengannya” (Ecclus. 13:19). Oleh karena itu
jika Sabda dilahirkan dan lahir dengan cara yang serupa, maka nampaknya kasih
juga berprosesi dengan cara pemunculan (generation).

Keberatan 3 : Lebih lanjut, apa yang tidak ada dalam spesies tidak ada dalam induk
(genus). Sehingga jika ada suatu prosesi kasih dalam Allah, seharusnya ada nama
khusus selain nama yang umum dari prosesi ini. Tetapi tidak ada nama lain yang
dapat diaplikasikan selain pemunculan (generation). Maka prosesi kasih dalam Allah
adalah pemunculan (generation).

Sebaliknya, Seandainya benar, maka Roh Kudus yang berprosesi sebagai kasih,
akan berprosesi sebagai dilahirkan; yang bertentangan dengan pernyataan
Athanasius : “Roh Kudus berasal dari Bapa dan Putra, tidak dijadikan, tidak
dilahirkan, tetapi berprosesi.”

Aku menjawab, Prosesi kasih dalam Allah seharusnya tidak disebut pemunculan
(generation). Sebagai bukti maka kita harus mempertimbangkan bahwa dalam hal ini
intelek dan kehendak adalah berbeda, bahwa intelek dijadikan nyata melalui obyek
yang dipahami, yang tinggal dalam intelek berdasar pada kesamaannya, sedangkan
kehendak dijadikan nyata, bukan melalui keserupaan dengan obyek yang
dikehendakinya, tetapi melalui dimilikinya kecenderungan tertentu terhadap hal yang
diingini. Maka prosesi intelek adalah melalui keserupaan, dan disebut pemunculan
(generation), karena yang memunculkan melahirkan yang serupa dengannya,
sedangkan prosesi kehendak bukanlah melalui keserupaan, tetapi lebih pada
dorongan dan gerakan kepada suatu obyek.

Jadi apa yang berprosesi dalam Allah seperti kasih berprosesi, tidak berprosesi
sebagai dilahirkan, atau sebagai anak, tetapi berprosesi lebih sebagai roh, yang dari
namanya mengekspresikan suatu gerakan pokok tertentu dan dorongan,
sebagaimana seseorang digambarkan telah digerakkan atau didorong oleh kasih
untuk melakukan suatu tindakan.

Jawaban terhadap Keberatan 1 : Semua yang ada dalam Allah adalah satu
dengan natur ilahi. Oleh karena itu, gagasan yang tepat untuk prosesi ini atau
prosesi itu, yang mana satu prosesi dibedakan dengan prosesi lainnya, tidak dapat

67
menjadi bagian dari kesatuan ini, tetapi gagasan yang tepat tentang prosesi ini atau
prosesi itu harus diambil dari urutan (order) dari suatu prosesi terhadap prosesi
lainnya, yang mana urutan tersebut berasal dari natur kehendak dan intelek. Maka,
setiap prosesi dalam Allah memperoleh namanya dari gagasan yang tepat tentang
kehendak dan intelek, nama yang diberikan untuk menunjukkan apa naturnya
sebenarnya, maka demikianlah bahwa Pribadi yang berprosesi sebagai kasih
memperoleh natur ilahi, tetapi tidak disebut sebagai dilahirkan.

Jawaban terhadap Keberatan 2 : Keserupaan dimiliki dalam cara yang berbeda


oleh kata dan kasih. Adalah menjadi milik kata untuk menjadi serupa dengan obyek
yang dipahami, sebagaimana sesuatu yang dimunculkan (generated) adalah serupa
dengan yang memunculkan, tetapi adalah milik kasih, bukan seolah kasih itu sendiri
adalah suatu keserupaan, tetapi keserupaan adalah prinsip dari mengasihi. Maka
tidak disebut bahwa kasih dilahirkan, tetapi bahwa yang dia yang dilahirkan adalah
prinsipal kasih.

Jawaban terhadap Keberatan 3 : Kita hanya dapat menamai Allah dari makhluk
ciptaan (Pertanyaan 13 Artikel 1). Sebagaimana dalam ciptaan pemunculan
(generation) adalah satu-satunya prinsipal komunikasi dari natur, prosesi dalam
Allah tidak memiliki nama yang tepat atau khusus, kecuali prosesi pemunculan
(generation). Maka prosesi yang bbukan pemunculan (generation) tetaplah prosesi
tanpa nama khusus, tetapi dapat disebut penghembusan (spiration), karena itu
adalah prosesi dari Roh.

Artikel 5 : Apakah Ada Lebih Dari Dua Prosesi dalam Allah?

Keberatan 1 : Tampaknya ada lebih dari dua prosesi dalam Allah. Sebagaimana
pengetahuan dan kehendak adalah diatribusikan pada Allah, demikian juga kuasa.
Maka, jika dua prosesi ada dalam Allah, prosesi intelek dan kehendak, maka
tampaknya harus juga ada prosesi ketiga yaitu prosesi kuasa.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, kebaikan tampaknya menjadi prinsipal terbesar dalam


prosesi, karena kebaikan bersifat menyebar dari dirinya sendiri. Maka harus ada
suatu prosesi kebaikan dalam Allah.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, dalam Allah ada kuasa kesuburan (fecundity) yang lebih
besar daripada yang ada dalam kita. Tetapi dalam kita ada tidak hanya satu prosesi
kata tetapi ada banyak, karena dalam kita satu kata memprosesikan kata lainnya,
dan juga dari satu kasih memprosesikan kasih lainnya. Maka dalam Allah ada lebih
dari dua prosesi.

Sebaliknya, Dalam Allah tidak ada lebih dari dua yang berprosesi – Anak dan Roh
Kudus. Maka dalam Dia hanya ada dua prosesi.

Aku menjawab, Prosesi ilahi hanya dapat berasal dari tindakan yang tetap berada
dalam agen. Dalam natur intelektual, dan dalam natur ilahi tindakan ini ada dua,
tindakan akal dan kehendak. Tindakan perasaan, yang tampaknya juga suatu
operasi dalam agen, bertempat di luar natur intelektual, juga tidak dapat

68
diperhitungkan sebagai dihilangkan sepenuhnya dari lingkungan tindakan eksternal,
karena tindakan perasaan disempurnakan melalui tindakan dari obyek yang dapat
dirasa melalui indera. Maka tidak ada prosesi lain yang mungkin dalam Allah selain
prosesi Sabda dan Kasih.

Jawaban terhadap Keberatan 1 : Kuasa adalah prinsipal yang darinya sesuatu


bertindak terhadap lainnya. Maka tindakan eksternal menunjuk pada kuasa. Maka
kuasa ilahi tidak termasuk prosesi dari suatu pribadi ilahi, tetapi ditunjukkan melalui
prosesi yang darinya ciptaan berasal.

Jawaban terhadap Keberatan 2 : Sebagaimana dikatakan Boethius (De Hebdom.),


kebaikan adalah milik dari hal pokok (essence) dan bukan pada tindakan, kecuali
dianggap sebagai obyek dari kehendak.

Maka, sebagaimana prosesi ilahi harus disebut menurut tindakan tertentu, tidak ada
prosesi yang dapat dipahami dalam Allah menurut kebaikan dan atribut kesukaan
kecuali prosesi Sabda dan Kasih, sebagaimana Allah memahami dan mengasihi diri
(essence), kebenaran dan kebaikan-Nya sendiri.

Jawaban terhadap Keberatan 3 : Sebagaimana dijelaskan di atas (Pertanyaan 14,


Artikel 5; Pertanyaan 19 Artikel 5), Allah memahami segala sesuatu melalui satu
tindakan sederhana, dan mDraftelalui satu tindakan juga Ia menghendaki segalanya.
Maka dalam Dia tidak dapat ada satu prosesi Sabda dari Sabda, tidak juga Kasih
dari Kasih, karena dalam Dia hanya ada satu Sabda yang sempurna, dan satu Kasih
yang sempurna, sehingga memanifestasikan kesuburan-Nya (fecundity) yang
sempurna.

Pertanyaan 28 : Tentang Hubungan-hubungan Ilahi

Hubungan-hubungan ilahi adalah yang dipertimbangkan selanjutnya, dalam empat


poin bahasan :

1. Apakah ada hubungan-hubungan nyata di dalam Allah?


2. Apakah hubungan-hubungan itu adalah esensi (essence) ilahi itu sendiri, atau
berkaitan dengan hubungan luar?
3. Apakah dalam Allah dapat ada beberapa hubungan yang berbeda satu sama lain?
4. Jumlah dari hubungan ini.

Artikel 1 : Apakah Ada Hubungan-hubungan Nyata di Dalam Allah?

Keberatan 1 : Tampaknya tidak ada hubungan nyata dalam Allah. Karena Boethius
berkata (De Trin. iv), “Segala hal sulit yang mungkin ada tentang Ketuhanan
berhubungan dengan substansi, karena tidak ada yang dapat diberi predikat secara
relatif.” Tetapi apa yang sungguh ada dalam Allah dapat dipredikatkan pada-Nya.
Maka tidak ada hubungan yang nyata dalam Allah.

69
Keberatan 2 : Lebih lanjut, Boethius mengatakan (De Trin. iv) bahwa, “Hubungan
dalam Tritunggal dari Bapa ke Anak, dan dari keduanya kepada Roh Kudus, adalah
hubungan dari yang sama kepada yang sama.” Tetapi suatu hubungan dari jenis ini
hanyalah suatu hubungan logika (logical), karena hubungan yang nyata pada
kenyataannya memerlukan dan menyatakan dua syarat. Maka hubungan ilahi
bukanlah hubungan sesungguhnya, melainkan hanya dibentuk oleh pikiran.

Keberatan 3 : hubungan kebapakan (paternity) adalah hubungan dari suatu


prinsipal. Tetapi untuk mengatakan bahwa Allah adalah prinsipal dari ciptaan-ciptaan
tidaklah memasukkan hubungan nyata apapun, tetapi hanya hubungan logika. Maka
kebapakan dalam Allah bukanlah suatu hubungan nyata, hal yang sama juga
diterapkan pada hubungan lain dalam Allah.

Keberatan 4 : Lebih lanjut, pemunculan ilahi (divine generation) berprosesi dengan


jalan suatu kata yang jelas (intelligible). Tetapi hubungan yang mengikuti tindakan
intelek adalah hubugan logika. Maka kebapakan (paternity) dan peranakan (filiation)
dalam Allah, sebagai akibat dari pemunculan, hanyalah hubungan logika.

Sebaliknya, Bapa disebut hanya dari kebapakan, dan Anak hanya dari peranakan.
Maka, jika tidak ada kebapakan atau peranakan dalam Allah, maka dengan
sendirinya Allah bukanlah Bapa atau anak yang sesungguhnya, tetapi hanya cara
pemahaman kita, dan inilah kesesatan Sabellian.

Aku menjawab, hubungan sungguh ada dalam Allah. Sebagai bukti maka kita dapat
mempertimbangkan bahwa dalam hubungan sendiri ditemukan sesuatu yang hanya
ada dalam pemahaman dan bukan dalam kenyataan. Ini tidak ditemukan dalam hal
(genus) lain, sebagaimana hal lain, seperti kuantitas dan kualitas, dalam arti yang
ketat dan tepat, menunjukkan sesuatu yang melekat pada suatu subyek. Tetapi
hubungan, dalam arti tepatnya, hanya menunjukkan apa yang mengacu pada yang
lainnya. Hal berhubungan dengan sesuatu lainnya, kadang ada dalam natur benda-
benda, yang dalam hal-hal tersebut oleh natur dasar mereka diurutkan satu sama
lain, dan memiliki kecenderungan satu sama lain; dan yang seperti itulah hubungan
yang sebenarnya, sebagaimana dalam benda padat ditemukan suatu
kecenderungan dan aturan ke pusat, maka dalam benda padat ada kepatuhan
tertentu kepada pusat dan hal yang sama berlaku bagi benda lainnya. Kadang, yang
satu berkenaan dengan lainnya, yang ditunjukkan melalui hubungan, ditemukan
hanya dalam pemahaman nalar yang membandingkan hal yang satu dengan
lainnya, dan ini hanyalah hubungan logika, sebagai contohnya, saat nalar
membandingkan manusia dengan binatang sebagai spesies dan genus. Tetapi
ketika sesuatu berprosesi dari suatu prinsipal dengan natur yang sama, maka
keduanya, yang berprosesi dan sumber prosesi, sepakat dalam aturan yang sama,
dan kemudian mereka memiliki hubungan yang nyata satu sama lain. Oleh karena
itu sebagaimana prosesi-prosesi ilahi berada dalam natur yang sama, sebagaimana
dijelaskan di atas (Pertanyaan 27, Artikel 2 dan 4), hubungan-hubungan ini,
berdasarkan prosesi-prosesi ilahi, adalah hubungan yang nyata.

Jawaban terhadap Keberatan 1 : Hubungan tidak dipredikatkan pada Allah


berdasarkan pada arti formal dan tepatnya, dapat dikatakan demikian, sejauh arti
tepatnya menunjuk pada perbandingan yang didalamnya melekat suatu hubungan,
tetapi hanya menunjuk yang berhubungan dengan hal lainnya. Namun, Boethius

70
tidak ingin mengecualikan hubungan dalam Allah, tetapi ia bermaksud menunjukkan
bahwa hubungan tidak dipredikatkan pada-Nya sehubungan dengan persatuan
(mode of inherence) dalam-Nya dalam arti yang ketat tentang hubungan, tetapi lebih
pada cara berhubungan dengan lainnya.

Jawaban terhadap Keberatan 2 : Hubungan yang ditunjukkan dengan istilah


“kesamaan” hanyalah hubungan logika saja, jika memperhatikan kesamaan absolut,
karena hubungan semacam itu hanya dapat ada dalam suatu aturan tertentu yang
teramati oleh nalar sehubungan dengan aturan tentang segala hal baginya, berdasar
dua hal yang berasal darinya. Kasusnya adalah sebaliknya, jika beberapa hal
disebut sama, bukan secara numerikal, tetapi secara generik atau spesifik. Maka
Boethius menyamakan hubungan ilahi dengan suatu hubungan identitas, bukan
dalam segala hal, tetapi hanya sehubungan dengan fakta bahwa tidak terdapat
pembedaan substansi oleh hubungan-hubungan ini, juga tidak oleh hubungan
identitas.

Jawaban terhadap Keberatan 3 : Sebagaimana ciptaan berprosesi dari Allah


dalam keragaman natur, Allah berada di luar aturan tentang segala ciptaan, juga
tidak segala hubungan pada ciptaan muncul dari natur-Nya, karena Dia tidak
menghasilkan ciptaan karena natur-Nya mengharuskan-Nya demikian, tetapi melalui
intelek dan kehendak-Nya, sebagaimana dijelaskan di atas (Pertanyaan 14 Artikel 3
& 4, Pertanyaan 19 Artikel 8). Maka di dalam Allah tidak ada hubungan yang nyata
terhadap ciptaan, sedangkan dalam ciptaan ada hubungan yang nyata terhadap
Allah, karena ciptaan mengandung aturan ilahi, dan natur dasarnya adalah
bergantung pada Allah. Di lain pihak, prosesi ilahi adalah dalam natur yang satu dan
sama. Maka tidak terdapat paralel

Jawaban terhadap Keberatan 4 : Hubungan yang hanya merupakan akibat dari


operasi mental dalam obyek yang dipahami,hanyalah hubungan logika, karena nalar
mengamati mereka sebagai ada di antara dua obyek yang diterima oleh akal.
Hubungan-hubungan itu, yang mengikuti operasi intelek, dan ada di antara kata
yang secara intelektual berprosesi dan sumber prosesinya, bukanlah hubungan
logika saja, tetapi hubungan nyata, karena sebagaimana intelek dan nalar adalah hal
yang nyata, dan sungguh berhubungan dengan apa yang berprosesi melalui mereka
dengan jelas (intelligibly), sebagaimana suatu makhluk corporeal (tambahan
penerjemah : badan, materi) berhubungan dengan yang berprosesi darinya secara
badaniah. Maka kebapakan (paternity) dan peranakan (filiation) adalah hubungan-
hubungan nyata dalam Allah.

Artikel 2 : Apakah Hubungan dalam Allah sama dengan Esensi-Nya?

Keberatan 1 : Tampaknya hubungan ilahi tidak sama dengan esensi ilahi, Karena
Augusine mengatakan (De Trin. v) bahwa “tidak semua yang dikatakan tetang Allah
adalah esensi-Nya, karena jika kita mengatakan sesuatu tentang hubungan,
sebagaimana Bapa dalam hubungan-Nya dengan Anak, hal semacam itu tidak
berkenaan dengan substansi.” Maka, hubungan tersebut bukanlah esensi ilahi.

71
Keberatan 2 : Lebih lanjut, Augustine mengatakan (De Trin. Vii) bahwa “setiap
eksperesi tentang hubungan adalah sesuatu di luar hubungan yang diekspresikan,
sebagaimana tuan adalah manusia dan budak adalah manusia.” Maka, jika
hubungan ada dalam Allah, harus ada sesuatu yang lain selain hubungan dalam
Allah. Ini hanya dapat berupa esensi Allah. Maka, esensi berbeda dengan
hubungan.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, esensi dari [suatu] hubungan adalah hal berkenaan
dengan yang lain, sebagaimana dikatakan oleh sang Philosopher (Praedic. v). Maka
jika hubungan adalah [sama dengan] esensi ilahi, dengan sendirinya [berarti] bahwa
esensi ilahi pada dasarnya adalah suatu hubungan dengan sesuatu yang lain, yang
mana [ide] ini sungguh menjijikkan mengenai kesempurnaan esensi ilahi, yang
sangat mutlak dan ada dengan sendirinya (self subsisting) (Pertanyaan 3 Artikel 4).
Maka hubungan [dalam Allah] bukanlah esensi ilahi.

Sebaliknya, Segala sesuatu yang bukan esensi ilahi adalah makhluk ciptaan. Tetapi
hubungan sungguh ada dalam Allah, dan jika itu bukan esensi ilahi, maka itu adalah
ciptaan, dan [hubungan] itu tidak berhak mendapatkan penghormatan latria
(tambahan penerjemah : penyembahan yang hanya ditujukan pada Allah), yang
bertentangan dengan yang dinyanyikan dalam Prefasi : “Marilah kita menyembah
perbedaan Pribadi, dan kesetaraan kemuliaan mereka.”

Aku menjawab, Dikabarkan bahwa Gilbert de la Porree melakukan kesalahan pada


poin ini, tetapi kemudian menarik kembali kekeliruannya pada Konsili Rheims. Dia
mengatakan bahwa hubungan ilahi adalah asisten, atau suatu tambahan eksternal
yang melekat.

Untuk memahami kesalahannya, kita harus memperhatikan bahwa dalam masing-


masing dari sembilan kategori (genera) dari accident (tambahan penerjemah :
accident adalah ‘nonessential attributes’ dari suatu substansi. Sembilan kategori dari
accident adalah : kuantitas, kualitas, relasi, aksi, passion, lokasi, durasi, posisi dan
habiliment [pakaian?]. Accident dapat dikatakan adalah atribut suatu substansi
dibandingkan dengan substansi lain) terdapat dua poin untuk diperhatikan. Satu
adalah natur dari masing-masing kategori sehingga dianggap sebagai accident,
yang secara umum diaplikasikan pada masing-masing dari mereka sebagai melekat
pada suatu subyek, karena esensi dari suatu accident adalah untuk melekat. Poin
perhatian lainnya adalah natur yang tepat (proper nature) dari masing-masing
kategori (genera). Dalam suatu kategori, terpisah dari yang ada dalam [kategori]
“hubungan (relation)”, sebagaimana dalam [kategori] kuantitas dan kualitas, bahkan
gagasan yang benar tentang kategori itu sendiri berasal dari suatu perhatian
(respect) terhadap subject, karena kuantitas disebut ukuran dari substansi, dan
kualitas adalah watak (disposition) dari substansi. Tetapi gagasan yang benar
tentang hubungan tidak diambil dari perhatiannya terhadap hubungan itu sendiri,
tetapi terhadap sesuatu di luar. Jadi jika kita memperhatikan bahkan pada makhluk
ciptaan, hubungan secara formal seperti itu(tambahan : hubungan yang
berhubungan dengan sesuatu di luar), dalam aspek tersebut hubungan-hubungan itu
tidak disebut sebagai “asisten”, dan tidak dilekatkan pada hakekatnya, karena,
dalam hal ini, hubungan-hubungan itu menunjukkan suatu perhatian (a respect)
yang mempengaruhi sesuatu yang dihubungkan dan berkecenderungan dari hal
tersebut kepada hal lainnya, oleh karena itu, jika hubungan dianggap sebagai

72
accident, hubungan itu ada dalam subyek, dan memiliki keberadaan yang bersifat
accident. Gilbert de la Porree memahami hubungan hanya dalam pemahaman yang
pertama (tambahan penerjemah : bahwa hubungan bukan accident, tetapi
berhubungan dengan sesuatu di luar).

Sekarang apapun dalam ciptaan yang memiliki keberadaan yang bersifat accident,
saat hal tersebut dipertimbangkan diterapkan kepada Allah, memiliki keberadaan
yang bersifat pokok (substantial), karena tidak ada accident (tamb. : atribut yang
nonesensial) di dalam Allah, karena segala sesuatu dalam Dia adalah esensi-Nya.
Maka, jika pada ciptaan hubungan memiliki keberadaan accidental, hubungan yang
sungguh nyata ada dalam Allah memiliki keberadaan esensi ilahi yang tidak berbeda
[darimana hubungan itu berasal]. Tetapi jika hubungan menyatakan keterkaitannya
(respect) dengan sesuatu yang lain, [maka] tidak ada keterkaitan esensi, tetapi lebih
pada istilah sebaliknya.

Maka nyatalah bahwa hubungan yang sungguh ada dalam Allah adalah sungguh
sama dengan esensi-Nya dan hanya berbeda pada cara pemahamannya (mode of
intelligibility), sebagaimana dalam hubungan diartikan sebaliknya jika tidak
diekspresikan atas nama (tamb. : mewakili) esensi tersebut. Maka jelas bahwa
dalam Allah hubungan dan esensi tidak berbeda satu sama lain, tetapi satu dan
sama.

Jawaban atas Keberatan 1 : Kata-kata Augustine ini tidak berarti bahwa paternity
atau hubungan lainnya yang ada dalam Allah tidak dalam keberadaan yang sama
dengan esensi ilahi, tetapi bahwa hal tersebut tidak dipredikatkan pada moda
substansi, sebagaimana ada [substansi lain] dalam Dia yang diberi predikat, tetapi
sebagai suatu hubungan. Maka dikatakan bahwa hanya ada dua status obyektif
yang nyata (predicaments) dalam Allah, karena status-status obyektif yang nyata
(predicaments) lainnya mengambil kebiasaan (habitude) dari hal-hal sesuai yang
dibicarakannya, baik dalam natur generik maupun spesifiknya; tetapi tidak satupun
yang ada dalam Allah dapat memiliki hubungan pada sesuatu dimana ia berada atau
sesuatu yang dibicarakan, kecuali hubungan identitas, dan ini didasari pada
kesangatsederhanaan Allah.

Jawaban atas Keberatan 2 : Sebagaimana hubungan yang ada dalam ciptaan


melibatkan tidak hanya suatu perhatian kepada lainnya, tetapi juga sesuatu yang
absolut, maka hal yang sama berlaku bagi Allah, meskipun tidak dalam cara yang
sama. Apa yang terkandung dalam ciptaan yang melebihi dari apa yang terkandung
dalam arti suatu hubungan, adalah sesuatu di luar relasi [itu sendiri], karena dalam
Allah tidak ada pembedaan, tapi satu dan sama, dan ini tidak diekspresikan secara
sempurna dengan istilah “hubungan”, seolah seperti yang dipahami dalam arti yang
umum tentang istilah tersebut. Karena telah dijelaskan di atas (Pertanyaan 13 Artikel
2), saat membahas tentang nama-nama ilahi, bahwa ada lebih yang terkandung
dalam kesempurnaan esensi ilahi (divine essence) daripada yang dapat ditandakan
oleh nama apapun. Maka tidak dengan sendirinya bahwa ada dalam Allah sesuatu
di luar hubungan nyata, tetapi hanya beragam nama yang diberikan oleh kita.

Jawaban atas Keberatan 3 : Jika kesempurnaan ilahi mengandung hanya apa


yang ditandakan oleh nama-nama yang berkenaan dengan hubungan, maka dengan
sendirinya kesempurnaan itu tidak sempurna, karena berhubungan dengan sesuatu

73
hal lain, sebagaimana dalam cara yang sama, jika tidak ada hal lain yang
terkandung dalam kesempurnaan ilahi itu daripada apa yang ditandakan oleh istilah
“kebijaksanaan”, kesempurnaan itu bukanlah suatu subsistence (sesuatu yang
menghidupi). Tetapi karena kesempurnaan esensi ilahi adalah lebih besar dari pada
yang dapat dicakup oleh nama apapun, maka jika suatu istilah mengenai hubungan
atau nama lainnya yang berikan pada Allah menunjukkan sesuatu
ketidaksempurnaan, tidak berarti bahwa esensi ilahi dalam hal tertentu adalah tidak
sempurna, karena esensi ilahi memahami dalam dirinya sendiri suatu kesempurnaan
dari setiap kategori (genus) (Pertanyaan 4 Artikel 2).

Artikel 3 : Apakah Hubungan-hubungan dalam Allah Sungguh


Berbeda Satu Sama Lain?

Keberatan 1 : Tampaknya hubungan-hubungan ilahi tidak berbeda satu sama lain,


karena hal-hal yang diidentifikasi sebagai hal-hal yang sama, adalah identik satu
sama lain. Tetapi setiap hubungan dalam Allah adalah sama dengan esensi ilahi.
Maka hubungan-hubungan itu tidak berbeda satu sama lain.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, karena paternity dan filiation dari namanya dibedakan
dengan esensi ilahi, maka demikian juga kebaikan dan kuasa. Tetapi pembedaan
jenis ini tidak membuat pembedaan nyata apapun tentang kebaikan dan kuasa ilahi.
Maka juga tidak ada pembedaan yang nyata dari paternity dan filiation.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, dalam Allah tidak ada pembedaan yang nyata kecuali
tentang asal (origin). Tetapi satu hubungan tampaknya tidak muncul dari hubungan
lainnya. Maka hubungan-hubungan yang ada tidak sungguh berbeda satu sama lain.

Sebaliknya, Boethius mengatakan (De Trin.) bahwa dalam Allah “substansi


mengandung kesatuan, dan hubungan menghasilkan (multiply) Tritunggal.” Oleh
karena itu, jika hubungan-hubungan itu tidak sungguh berbeda satu sama lain, maka
tidak ada Tritunggal yang nyata dalam Allah, hanya suatu gagasan tentang
tritunggal, yang adalah kesesatan dari Sabellius.

Aku menjawab, Pengatribusian sesuatu pada lainnya melibatkan pengatribusian


sebagaimana yang ada pada apapun yang terkandung di dalamnya. Maka saat
“manusia” diatribusikan pada sesuatu, suatu natur rasional juga diatribusikan
padanya. Gagasan tentang hubungan, bagaimanapun juga, setepatnya berarti
perhatian satu sama lain, sebagaimana sesuatu secara relatif dihadapkan (opposed)
pada lainnya. Maka sebagaimana dalam Allah ada suatu hubungan nyata (Artikel 1),
harus ada juga suatu oposisi nyata. Natur dasar dari hubungan oposisi ini termasuk
pembedaan. Oleh karena itu, harus ada pembedaan nyata dalam Allah, bukan
berdasar sesuatu yang absolut, katakanlah tentang esensi, yang mana di dalamnya
terdapat persatuan dan kesederhanaan tertinggi, tetapi tentang suatu hubungan.

Jawaban terhadap Keberatan 1 : Menurut sang Philosopher (Phys. Iii), argumen ini
beranggapan bahwa hal-hal apapun yang diidentifikasikan sebagai hal-hal yang
sama adalah identik satu sama lain, jika identitas tersebut nyata dan logis, sebagai

74
contoh, suatu jubah ( a tunic) dan suatu jas (a garment), tetapi tidak jika mereka
berbeda secara logis. Maka dalam hal yang sama dikatakan bahwa meskipun aksi
adalah sama dengan gerakan, demikian juga nafsu (passion), tetap saja tidak berarti
bahwa aksi dan nafsu (passion) adalah hal yang sama, karena aksi merujuk pada
sesuatu yang “darinya (from which)” terdapat gerakan dalam sesuatu yang
digerakkan, sedangkan nafsu (passion) merujuk pada sesuatu “dari (which is from)”
hal lain. Maka, meskipun paternity, seperti juga filiation, adalah sungguh sama
dengan esensi ilahi,

Jawaban terhadap Keberatan 2 : Kuasa dan kebaikan tidak menyebabkan oposisi


apapun dalam natur mereka, maka tidak ada argumen paralel.

Jawaban terhadap Keberatan 3 : Meskipun hubungan-hubungan, setepatnya, tidak


saling memunculkan atau berprosesi, namun hubungan-hubungan itu dipahami
sebagai beroposisi berdasarkan prosesi dari satu ke lainnya.

Artikel 4 : Apakah dalam Allah Hanya Ada Empat Hubungan yang


Nyata – Paternity, Filiation, Spiration dan Procession?

Keberatan 1 : Tampaknya dalam Allah tidak hanya ada empat hubungan yang
nyata – paternity, filiation, spiration dan procession, karena harus diamati bahwa
dalam Allah ada hubungan-hubungan dari agen berakal dengan obyek yang
dipahami, dan satu antara yang berkehendak dengan obyek yang dikehendaki, yang
adalah hubungan-hubungan yang sungguh nyata yang tidak termasuk [keempat]
yang telah dispesifikasikan di atas. Maka tidak hanya ada empat hubungan nyata
dalam Allah.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, hubungan-hubungan nyata dalam Allah dipahami datang


dari prosesi Sabda. Tetapi hubungan-hubungan yang jelas (intelligible) berkembang
secara tak berhingga, sebagaimana dikatakan Avicenna. Maka dalam Allah terdapat
seri hubungan nyata yang tak berhingga.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, gagasan dalam Allah adalah kekal (Pertanyaan 15


Artikel 1), dan hanya dibedakan satu sama lain melalui alasan hubungan mereka
terhadap hal-hal, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Maka dalam Allah ada lebih
banyak hubunga-hubungan kekal.

Keberatan 4 : Lebih lanjut, kesetaraan dan kesamaan, dan identitas, adalah


hubungan-hubungan, dan mereka ada dalam Allah sejak kekal. Maka [terdapat]
beberapa hubungan lagi yang kekal dalam Allah selain yang telah disebutkan di
atas.

Keberatan 5 : Lebih lanjut, sebaliknya juga dikatakan bahwa ada lebih sedikit
hubungan dalam Allah dibanding [keempat] hubungan yang telah disebutkan di atas,
karena menurut sang Philosopher (Phys. iii tekt 24), “Adalah jalan yang sama dari
Athena ke Thebes, sebagaimana juga dari Thebes ke Athena.” Dengan cara
penalaran yang sama maka ada hubugan yang sama dari Bapa ke Anak, yang

75
adalah paternity, dengan dari Anak ke Bapa, yang adalah filiation, sehingga tidak
ada empat hubungan dalam Allah.

Aku menjawab, Berdasarkan sang Philosopher (Metaph. v), setiap hubungan


didasarkan pada kuantitas, sebagai kelipatan atau pembagian, atau pada aksi dan
passion, sebagai pelaku dan tindakan, bapak dan anak, tuan dan pelayan, dan
sejenisnya. Sekarang karena tidak ada kuantitas dalam Allah, karena Ia adalah
besar (great) tanpa kuantitas, sebagaimana dikatakan Augustine (De Trin. I, 1) maka
dengan sendirinya berarti bahwa suatu hubungan nyata dalam Allah dapat
didasarkan hanya pada aksi. Hubungan seperti ini tidak didasarkan pada tindakan-
tindakan Allah pada prosesi keluar, sebagaimana hubungan Allah kepada ciptaan
adalah tidak nyata dalam Dia (Pertanyaan 13 Artikel 7). Maka dengan sendirinya
berarti bahwa hubungan nyata dalam Allah dapat dipahami hanya dalam kaitannya
dengan tindakan-tindakan yang dipahami sebagai prosesi internal, bukan eksternal,
dalam Allah. Prosesi-prosesi ini hanya ada dua, sebagaimana dijelaskan di atas
(Pertanyaan 27 Artikel 5), satu berasal dari tindakan intelek, yaitu prosesi Sabda,
dan yang lainnya berasal dari tindakan kehendak, yaitu prosesi kasih. Sehubungan
dengan masing-masing prosesi tersebut, muncul dua hubungan oposisi, satu adalah
hubungan dari pribadi yang berprosesi dari sang prinsipal, yang lainnya adalah
hubungan bagi sang prinsipal itu sendiri. Prosesi Sabda disebut pemunculan
(generation) dalam pemahaman yang benar akan istilah tersebut, sebagaimana
yang diterapkan pada makhluk hidup. Sekarang hubungan milik sang prinsipal dari
generation dalam suatu keberadaan hidup yang sempurna (perfect living being)
disebut paternity, dan hubungan milik [dia] yang berprosesi dari sang prinsipal
disebut filiation. Tetapi prosesi Kasih tidak mempunyai nama yang tepat bagi dirinya
sendiri (Pertanyaan 27 Artikel 4), dan hubungan yang mengikutinya juga tidak
memiliki nama yang tepat bagi dirinya. Hubungan milik prinsipal dari prosesi ini
disebut spiration (penghembusan), dan hubungan milik pribadi yang berprosesi
disebut [hanya] prosesi : meskipun dua nama ini menjadi milik dari prosesi atau asal
(origin) itu sendiri, dan tidak pada hubungan.

Jawaban terhadap Keberatan 1 : Di dalam hal-hal di mana terdapat perbedaan


antara intelek dan obyeknya, dan antara kehendak dan obyeknya, sungguh dapat
ada hubungan yang nyata, baik dari ilmu pengetahuan (science) kepada obyeknya,
dan dari yang berkehendak kepada obyek yang dikehendaki. Dalam Allah, intelek
dan obyeknya adalah satu dan sama, karena dengan memahami diri-Nya sendiri,
Allah memahami segala hal lainnya, dan hal yang sama juga ditereapkan pada
kehendak dan obyek yang dikehendaki-Nya. Maka dengan sendirinya dalam Allah
jenis-jenis hubungan seperti tersebut tidaklah nyata, sebagaimana hubungan dari
suatu benda pada dirinya sendiri juga tidak. Namun, hubungan kepada kata adalah
hubungan yang nyata, karena kata dipahami sebagai berprosesi dari tindakan akal
(intelligible action), dan bukan sebagai sesuatu yang dipahami. Karena saat kita
memahami [apa itu] batu, maka hal yang diterima akal tentang obyek yang dipahami
disebut sebagai kata.

Jawaban terhadap Keberatan 2 : Hubungan intelek (intelligibility relations) dalam


diri kita [memang] berganda tanpa batas, karena seseorang memahami [apa itu]
batu melalui suatu tindakan, dan melalui tindakan lain ia memahami bahwa ia
paham [apa itu] batu, dan lagi oleh lainnya, memahami bahwa ia memahami ini.
Maka tindakan memahami adalah berganda tanpa batas, dan konsekuensinya

76
hubungan yang dipahami juga [tak terbatas]. Ini tidak dapat diterapkan pada Allah,
sebab Dia memahami segala sesuatu hanya melalui satu tindakan saja.

Jawaban terhadap Keberatan 3 : Hubungan-hubungan dalam gagasan (ideal


relations) ada sebagai dipahami oleh Allah. Karena itu tidak dengan sendirinya
berarti bahwa dari pluralitas hubungan tersebut terdapat banyak hubungan dalam
Allah, tetapi Allah memahami hubungan yang banyak ini.

Jawaban terhadap Keberatan 4 : Kesetaraan dan kesamaan dalam Allah bukanlah


hubungan-hubungan yang nyata, tetapi hanya berupa hubungan logika (Pertanyaan
42 Artikel 3 ad 4).

Jawaban terhadap Keberatan 5 : Jalur dari suatu istilah kepada istilah lain dan
sebaliknya adalah sama, namun hubungan timbal baliknya (mutual relations)
tidaklah sama. Maka, kita tidak dapat menyimpulkan bahwa hubungan dari Bapa
kepada Anak adalah sama dengan Anak kepada Bapa, melainkan kita dapat
menyimpulkannya sebagai sesuatu yang absolut, jika terdapat hubungan seperti itu
di antara mereka.

Pertanyaan 29 : Tentang Pribadi-pribadi Ilahi

Setelah mempremiskan apa yang tampaknya merupakan perhatian yang penting


mengenai prosesi dan hubungan, kini kita harus mendekati subyek tentang pribadi-
pribadi.
Pertama, kita akan mempertimbangkan pribadi-pribadi secara absolut, dan
kemudian membandingkannya dalam hubungannya satu sama lain. Kita harus
pertama mempertimbangkan pribadi-pribadi secara absolut secara umum, dan
kemudian satu persatu [dari pribadi-pribadi tersebut].
Pertimbangan umum tentang pribadi-pribadi Ilahi tampaknya melibatkan empat poin
: (1) Pemahaman akan istilah “pribadi”; (2) jumlah dari pribadi-pribadi; (3) apa yang
terlibat sehubungan dengan jumlah pribadi-pribadi, atau yang dioposisikan darinya,
seperti perbedaan, kesamaan, dan sejenisnya; (4) apa yang kita pahami tentang
pribadi-pribadi tersebut.
Terdapat empat subyek bahasan dalam poin pertama :
(1) Definisi “pribadi”;
(2) Perbandingan pribadi terhadap esensi, subsistensi, dan hypostasis;
(3) Apakah istilah “pribadi” dapat digunakan untuk Allah?
(4) Istilah [pribadi] tersebut menunjukkan apa dalam Allah?

Artikel 1 : Definisi pribadi.

Keberatan 1 : Tampaknya definisi pribadi yang diberikan oleh Boethius (De Duab.
Nat.) tidaklah mencukupi – yaitu : “suatu pribadi adalah suatu substansi individu dari
suatu natur rasional.” Karena tidak ada bentuk tunggal (singular) yang dapat

77
memenuhi definisi tersebut. Tetapi “pribadi” menunjukkan suatu bentuk tunggal.
Maka pribadi tidak didefinisikan dengan tepat.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, substansi sebagaimana ditempatkan di atas dalam


definisi tentang pribadi, adalah dapat diartikan entah sebagai substansi pertama
atau sebagai substansi kedua. Jika diartikan sebagai substansi pertama, istilah
“individu” tidak ada artinya, karena substansi pertama adalah substansi individu. Jika
istilah “substansi” diartikan sebagai substansi kedua, istilah “individu” adalah salah,
karena terdapat kontradiksi istilah, karena substansi kedua adalah “kategori” (genera
[btk jamak dari genus]) ataupun “spesies”. Maka definisi tersebut adalah keliru.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, suatu istilah yang menjelaskan suatu maksud (suatu
istilah intensional) seharusnya tidak dimasukkan dalam suatu definisi tentang suatu
hal, sehingga untuk mendefinisikan manusia dengan “suatu spesies dari hewan”
tidaklah tepat, karena “manusia” adalah nama dari suatu benda, sedangkan
“species” adalah suatu nama dari suatu maksud (intention). Maka, karena “pribadi”
adalah nama dari suatu hal (karena “pribadi” menunjukkan suatu substansi dari
suatu natur rasional), kata “individu” yang juga merupakan suatu nama yang
menjelaskan tujuan tidaklah tepat digunakan dalam suatu definisi.

Keberatan 4 : Lebih lanjut, “Natur adalah prinsipal dari pergerakan dan perhentian,
dan dalam hal-hal tersebut natur bersifat esensial, bukan bersifat aksidental (atribut
nonesensial),” sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles (Phys. ii). Tetapi pribadi ada
dalam sesuatu dengan tak tergerakkan (immovable), sebagaimana dalam Allah dan
dalam malaikat. Maka istilah “natur” tidak boleh digunakan dalam definisi tentang
pribadi, tetapi lebih baik digunakan istilah “esensi”.

Keberatan 5 : Lebih lanjut, jiwa adalah suatu substansi individu dari suatu natur
rasional, tetapi jiwa bukanlah pribadi. Maka pribadi tidak tepat jika didefinisikan
seperti di atas [pada keberatan 1].

Aku menjawab, Meskipun hal umum dan khusus ada dalam tiap kategori (genus),
namun, dalam suatu cara khusus tertentu, individu adalah milik dari genus
substansi. Karena substansi adalah terindividu oleh dirinya sendiri, seperti accident
adalah terindividu oleh subyeknya, yang adalah substansi; karena warna putih
tertentu ini disebut “ini” (tambahan penerjemah : St. Thomas sering menggunakan
“whiteness” untuk menunjuk pada sifat dasar benda), karena warna putih itu ada
dalam subyek tertentu ini. Dan maka masuk akal bahwa individu dari genus
substansi harus mempunyai nama khusus bagi dirinya sendiri, yaitu “hypostases”,
atau substansi pertama.
Lebih lanjut, dalam cara yang lebih khusus dan sempurna, kekhususan dan
keindividuan ditemukan dalam substansi rasional, yang memiliki dominasi atas
tindakan mereka sendiri, dan bukan hanya dibuat bertindak, seperti substansi
lainnya, tetapi yang dapat bertindak sendiri, karena tindakan adalah milik dari suatu
bentuk tunggal (singular). Demikian juga individu dari natur rasional memiliki suatu
nama khusus bahkan diantara substansi lainnya, dan ini dinamakan “pribadi”.
Jadi istilah “substansi individu” ditempatkan dalam definisi tentang pribadi,
sebagaimana menandakan suatu bentuk tunggal dalam kategori (genus) suatu
substansi, dan istilah “natur rasional (rational nature)” ditambahkan, untuk
menunjukkan suatu bentuk tunggal dalam substansi rasional.

78
Jawaban terhadap Keberatan 1 : Meskipun suatu bentuk tunggal ini atau itu tidak
dapat didefinisikan, tetapi apa yang merupakan gagasan umum tentang suatu
bentuk tunggal tersebut dapat didefinisikan, dan demikian juga sang Philosopher (De
Praedic., cap. De substantia) memberikan definisi mengenai substansi awal (first
substance), dan dengan cara inilah Boethius mendefinisikan pribadi.

Jawaban terhadap Keberatan 2 : Dalam beberapa opini, istilah “substansi” dalam


definisi tentang pribadi berdiri untuk first substance, yang adalah hypostasis, maka
istilah “individual” tidaklah digunakan secara berlebihan, karena dalam nama
hypostasis atau first substance, gagasan menyeluruh dan perbagian sudah
termasuk di dalamnya. Tetapi ketika “individual” digunakan, gagasan tentang
kemungkinan-untuk-dianggap-lain (assumptibility) dikeluarkan dari “pribadi”, karena
natur manusia pada Kristus bukanlah suatu pribadi, karena “pribadi” diasumsikan
pada sesuatu yang lebih besar, yaitu pada sang Sabda Allah. Bagaimanapun, lebih
baik untuk mengatakan bahwa “substansi” di sini diambil dalam artian umum, yang
terbagi dalam substansi pertama dan kedua (first and second substance) dan ketika
“individual” digunakan, penggunaannya terbatas hanya untuk first substance.

Jawaban terhadap Keberatan 3 : Perbedaan substansial yang tidak kita ketahui,


atau paling tidak tidak ternamai oleh kita, kadang perlu untuk menggunakan
perbedaan aksidental pada tempat substansial. Sebagai contoh, kita dapat
mengatakan bahwa api adalah suatu badan yang sederhana, panas dan kering,
karena accident yang tepat adalah efek dari bentuk-bentuk substansial, dan
membuat bentuk-bentuk itu terkenali. Demikian juga, istilah-istilah yang menyatakan
suatu maksud dapat digunakan dalam menjelaskan kenyataan-kenyataan jika
digunakan untuk menunjukkan hal-hal yang belum ternamai. Maka istilah “individual”
ditempatkan dalam definisi tentang pribadi untuk menunjukkan cara-berada (mode of
subsistence) yang menjadi milik substansi tertentu.

Jawaban terhadap Keberatan 4 : Menurut Philosopher (Metaph. V, 5), kata “natur”


pertama kali digunakan untuk menunjukkan pemunculan (generation) makhluk
hidup, yang disebut kelahiran (nativity). Dan karena jenis generation ini datang dari
suatu intrinsic principle (prinsipal dari dalam dirinya sendiri), istilah “natur” ini
dikembangkan untuk menunjukkan suatu intrinsic principle dari segala jenis gerakan.
Dalam artian ini Philosopher mendefinisikan “natur” (Phys. ii, 3). Dan karena
principle jenis ini adalah formal sekaligus material, masing-masing materi dan forma
secara umum disebut natur. Dan karena esensi dari segala hal dijadikan lengkap
oleh forma, maka esensi dari segala hal, yang ditunjukkan melalui definisi, secara
umum disebut natur. Dan di sini natur diletakkan pada artian itu. Sebab itu Boethius
berkata (De Duab. Nat.) bahwa, “natur adalah suatu perbedaan khusus yang
memberikan bentuknya pada masing-masing hal,” karena suatu perbedaan khusus
menjadikan lengkap suatu definisi, dan perbedaan itu didapat dari suatu forma
khusus dari suatu hal. Maka dalam definisi tentang “pribadi”, yang berarti suatu
bentuk tunggal dalam genus (kategori) tertentu, adalah lebih tepat jika digunakan
istilah “natur” daripada “esensi”, karena “esensi” diletakkan pada suatu keberadaan,
yang adalah lebih umum.

Jawaban terhadap Keberatan 5 : Jiwa adalah bagian dari human species, maka,
meskipun jiwa dapat eksis dalam suatu kondisi terpisah, karena jiwa tetap memiliki
natur menyatunya (nature of unibility), jiwa tidak dapat disebut sebagai suatu

79
substansi individu, yang adalah hypostasis atau substansi dasar, sebagaimana juga
tangan atau bagian lain dari manusia [tidak dapat disebut individu]. Jadi baik definisi
maupun nama suatu pribadi tidak dapat dikenakan padanya.

Artikel 2 : Apakah “Pribadi” Sama dengan Hypostasis, Subsistensi,


dan Esensi?

Keberatan 1 : Tampaknya bahwa “pribadi” sama dengan “hypostasis”, “subsistensi”,


dan “esensi”, karena Boethius mengatakan (De Duab. Nat.) bahwa “orang Yunani
menyebut substansi individu dari suatu natur rasional dengan nama hypostasis.”
Tetapi bagi kita ini berarti “pribadi”. Maka “pribadi” sama dengan “hypostasis”.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, karena kita mengatakan ada tiga Pribadi dalam Allah,
maka kita mengatakan ada tiga subsistensi dalam Allah, sehingga secara tidak
langsung “pribadi” dan “subsistensi” memiliki arti yang sama. Maka “pribadi” dan
“subsistensi” adalah sama.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, Boethius mengatakan (Com. Praed.) bahwa kata Yunani
“ousia”, yang berarti esensi, menunjukkan suatu keberadaan yang dibentuk dari
materi dan forma. Sekarang, yang terbentuk dari materi dan forma adalah suatu
substansi individu yang disebut “hypostasis” dan “pribadi”. Maka semua nama yang
telah disebut sebelumnya kelihatannya memiliki arti yang sama.
Keberatan 4 : Sebaliknya, Boethius mengatakan (De Duab. Nat.) bahwa genera
(kategori) dan species hanyalah subsist (memperoleh keberadaannya), sedangkan
individu tidak hanya subsistent (hidup dari), tetapi juga substand (mandiri?). Tetapi
subsistensi disebut demikian karena [bersifat] subsisting (hidup dari), dan substansi
atau hypostasis disebut demikian karena [bersifat] substanding (mandiri?). Karena
genera dan species bukanlah hypostasis ataupun pribadi, maka genera dan species
bukanlah susbistensi.
Keberatan 5 : Lebih lanjut, Boethius mengatakan (Com. Praed.) bahwa materi
disebut hypostasis, dan forma disebut “ousiosis”–yaitu subsistensi. Tetapi baik
materi ataupun forma tidak dapat disebut pribadi. Maka pribadi berbeda dengan
yang [telah disebutkan] lainnya.
Aku menjawab, Menurut Philosopher (Metaph. v), substansi berarti ganda. Dalam
satu artian ia berarti intisari dari suatu hal, yang ditunjukkan oleh definisinya, dan
sehingga kita mengatakan bahwa suatu definisi berarti suatu substansi dari suatu
hal, yang dalam artian tersebut substansi dalam bahasa Yunani disebut “ousia”,
yang dapat kita sebut “esensi”. Dalam artian lain substansi berarti suatu subyek atau
“suppositum”, yang subsist (hidup dari) dalam kategori (genus) substansi. Terhadap
ini, diambil dalam artian umum, dapat diaplikasikan suatu nama yang menyatakan
suatu maksud, dan sehingga disebut “suppositum”. [Substansi] ini juga disebut
dalam tiga nama yang menunjukkan suatu kenyataan – yaitu : “suatu hal dari
natur”(a thing of nature), “subsistensi”, dan “hypostasis”, berdasarkan pada tiga
pertimbangan tentang substansi yang dinamakan. Karena, sebagaimana hal itu ada
dalam dirinya sendiri dan tidak dalam hal lain, hal itu disebut “subsistensi”,
sebagaimana kita mengatakan bahwa hal-hal tersebut menghidupi (subsist) hal-hal
yang ada dalam dirinya sendiri, dan tidak dalam hal lain. Jika suatu hal mendasari
beberapa natur umum, maka hal itu disebut “sesuatu dari suatu natur”, sebagai
contoh, seseorang khusus ini adalah suatu natur manusia. Jika sesuatu itu

80
mendasari suatu accident, maka itu disebut “hypostasis” atau “substansi”. Apa yang
[oleh] ketiga nama ini ditunjukkan secara umum dalam seluruh kategori substansi,
ditunjukkan oleh “pribadi” dalam kategori substansi rasional.

Jawaban terhadap Keberatan 1 : Di kalangan orang Yunani, istilah “hypostasis”


yang diambil dalam arti yang ketat, menunjukkan indivudu apapun dari suatu
kategori substansi, tetapi dalam pembicaraan umum, “hypostasis” berarti suatu
individu dari suatu substansi rasional, dengan alasan mengenai keunggulan natur
tersebut.

Jawaban terhadap Keberatan 2 : Jika kita mengatakan “tiga pribadi” ada dalam
Allah, dan “tiga subsistensi”, maka orang Yunani mengatakan “tiga hypostasis”.
Tetapi karena kata “substansi” dalam arti sebenarnya, jika dihubungkan dengan arti
kata “hypostasis”, digunakan di antara kita [orang Latin] dalam arti yang kurang jelas
– karena kadang-kadang kata itu berarti esensi, kadang berarti hypostasis–, maka
untuk menghindari kemungkinan kekeliruan, maka dianggap bahwa lebih baik
menggunakan “subsistensi” untuk “hypostasis” daripada menggunakan “substansi”.

Jawaban terhadap Keberatan 3 : Strictly speaking, esensi adalah apa yang


diekspresikan oleh definisi tersebut (ousia). Sekarang, “ousia” terdiri dari hal-hal
yang pokok tentang suatu spesies, tetapi bukan hal-hal yang pokok tentang suatu
individu. Karena itu, dalam hal yang terdiri dari materi dan forma, esensi tidak hanya
menunjukkan forma, juga tidak hanya menunjukkan materi, tetapi komposisi materi
dan forma umum, sebagai hal yang pokok bagi spesies. Tetapi apa yang
dikomposisi oleh “materi ini” dan “forma ini” memiliki natur hypostasis dan pribadi,
karena jiwa, daging dan tulang adalah milik natur manusia, sedangkan “jiwa ini”,
“daging ini” dan “tulang ini” adalah milik dari natur “manusia ini”. Maka hypostasis
dan pribadi menambahkan hal-hal pokok individual ke dalam gagasan tetnang
esensi, tetapi hypostasis dan pribadi tidak diidentifikasikan dengan esensi dalam hal-
hal yang dibentuk oleh materi dan forma, sebagaimana kita katakan di atas saat
membahas kesederhanaan ilahi (divine simplicity) (Pertanyaan 3 Artikel 3).

Jawaban terhadap Keberatan 4 : Boethius mengatakan bahwa genera (kategori)


dan species memperoleh keberadaannya (subsist) selama masing-masing dari
mereka adalah bagian dari beberapa hal-hal individu untuk memperoleh
keberadaannya, dari kenyataan bahwa hal-hal individu tersebut menjadi milik genera
dan species yang merupakan bagian dalam predicament (hal obyektif yang nyata)
dari substansi, tetapi bukan karena spesies dan genera dalam dirinya sendiri
subsist, kecuali dalam pendapat Plato yang menyatakan bahwa spesies ot things
ada (subsist) secara terpisah dari hal-hal tunggal. Tetapi untuk substand (mandiri?)
adalah milik dari hal-hal individu yang sama dalam hubungannya dengan accident,
yang adalah diluar esensi dari genera dan species.

Jawaban terhadap Keberatan 5 : Individu yang terdiri dari materi dan forma
substand (mandiri?) dalam hubungannya dengan accident dari natur dasar materi.
Karena itu Boethius mengatakan (De Trin.) : “Suatu forma sederhana tidak dapat
menjadi suatu subyek.” Hidup-dari-dirinya-sendiri (self subsistence) -nya berasal dari
natur dari formanya, yang tidak berhubungan (supervene) dengan hal-hal yang
memperoleh keberadaannya (subsisting), tetapi memberi eksistensi nyata kepada
materi dan menjadikannya ada (subsist) sebagai suatu individu. Dalam hal ini,

81
Boethius menganggap hypostasis sebagai materi, dan “ousiosis”, atau subsistensi,
sebagai forma, karena materi adalah hal pokok dari substanding (kemandirian?),
dan forma adalah hal pokok dari menjadi ada (subsisting).

Artikel 3 : Apakah Kata “Pribadi” Tepat Diberikan pada Allah?

Keberatan 1 : Tampaknya bahwa kata “pribadi” tidak tepat diberikan pada Allah,
karena Dionysius mengatakan (Div. Norm.) : “Tak ada yang berani untuk
mengatakan atau memikirkan apapun tentang Keilahian yang supersubstantial dan
tersembunyi, melampaui dari apa yang telah dinyatakan pada kita oleh para bijak.”
Tetapi kata “pribadi” tidaklah dinyatakan pada kita dalam Perjanjian Lama atau
Perjanjian Baru. Maka “pribadi” tidak tepat ditujukan pada Allah.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, Boethius mengatakan (De Duab. Nat.) : “Kata “pribadi”
tampaknya diambil dari “pribadi-pribadi” yang menampilkan karakter-karakter dalam
komedi dan tragedi. Karena “pribadi” berasal dari bersuara melalui “personado”
(topeng), karena sejumlah volume suara dihasilkan melalui lubang yang ada pada
topeng. “Pribadi-pribadi” ini atau topeng-topeng ini oleh orang Yunani disebut
“prosopa”, karena topeng-topeng ini diletakkan di wajah dan menutupi tampilan
(features) dari pandangan. Hal ini hanya dapat diaplikasikan pada Allah dalam suatu
artian metafora. Maka kata “pribadi” hanya ditujukan kepada Allah secara metafora.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, setiap pribadi adalah suatu hypostasis. Tetapi kata
“hypostasis” tidak ditujukan pada Allah, karena, sebagaimana diakatan Boethius (De
Duab. Nat.), kata itu menunjukkan subyek dari accident, yang tidak ada dalam Allah.
Jerome juga mengatakan (Ep. ad Damas.) bahwa, “dalam kata hypostasis ini, racun
bersembunyi dalam madu.” Maka kata “pribadi” tidak tepat ditujukan pada Allah.

Keberatan 4 : Lebih lanjut, jika suatu definisi disangkal, maka apa yang didefinisikan
juga disangkal. Tetapi definisi “pribadi” sebagaimana diberikan di atas tidak
diaplikasikan pada Allah, karena “akal” mengandung arti suatu pengetahuan
perbagian (discursive knowledge), yang tidak diaplikasikan pada Allah sebagaimana
kami buktikan di atas, (Pertanyaan 14 Artikel 12), maka Allah tidak dapat disebut
memiliki “natur rasional”. Dan juga karena Allah tidak dapat disebut suatu substansi
individu, karena pokok dari pengindividuan adalah materi, sedangkan Allah adalah
immaterial. Allah juga bukan subyek dari accident, sehingga dapat disebut
substansi. Maka kata “pribadi” sebaiknya tidak diberikan pada Allah.

Sebaliknya, Dalam Kredo Athanasius kita mengatakan : “Satu adalah pribadi Bapa,
satu adalah pribadi Anak, satu adalah pribadi Roh Kudus.”

Aku menjawab, “Pribadi” menunjukkan apa yang paling sempurna dalam segala
natur – yaitu, suatu individu subsistent dari suatu natur rasional. Maka, karena
segala sesuatu yang sempurna harus diatribusikan pada Allah, karena esensi-Nya
terdiri dari setiap kesempurnaan, kata “pribadi” ini adalah tepat diberikan pada Allah,
bukan sebagaimana kata itu diaplikasikan pada makhluk, tetapi dalam cara yang
lebih unggul, sebagaimana nama lainnya juga, yang selain kita berikan pada

82
makhluk, kita tujukan juga pada Allah, sebagaimana kami tunjukkan diatas saat
membahas nama-nama Allah )Pertanyaan 13 Artikel 2).

Jawaban terhadap Keberatan 1 : Meskipun kata “pribadi” tidak ditemukan


diaplikasikan kepada Allah dalam Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Baru,
namun apa yang ditunjukkan oleh kata itu ditemukan ditujukan pada Allah dalam
banyak tempat dalam Alkitab, seperti bahwa Ia adalah keberadaan yang maha ada
dari diri-Nya sendiri (self subsisting), dan keberadaan bernalar yang paling
sempurna. Jika kita hanya dapat berbicara tentang Allah sebatas pada istilah-istilah
yang ada di Alkitab, maka tak seorangpun dapat berbicara mengenai Allah selain
dalam bahasa asli dari Perjanjian Lama dan Baru. Kemendesakan untuk menangkal
heresi menjadikan penting untuk menemukan kata-kata baru yang mengekspresikan
iman kuno tentang Allah. Sesuatu yang baru seperti itu tidak perlu dihindari, karena
itu bukanlah sesuatu yang profan (mencemarkan), karena hal-hal tersebut tidak
membawa kita menjauh dari pemahaman tentang Alkitab. Para Rasul mengingatkan
kita untuk menghindarkan “kata-kata baru yang profan” (1 Tim 6:20).

Jawaban terhadap Keberatan 2 : Meskipun kata “pribadi” ini mungkin tidak menjadi
milik Allah sehubungan dengan asal dari istilah itu, namun istilah itu secara lebih
unggul menjadi milik Allah dalam artiannya yang obyektif. Karena sebagaimana
orang-orang terkenal direpresentasikan dalam [pementasan drama] komedi dan
tragedi, kata “pribadi” diberikan untuk menunjukkan mereka yang memiliki martabat
tinggi. Oleh karena itu, mereka yang memiliki kedudukan tinggi dalam Gereja disebut
“pribadi”. Kemudian oleh beberapa orang definisi “pribadi” diberikan sebagai
“hypostasis yang berbeda berdasarkan martabat”. Dan karena substansi dalam
suatu natur rasional adalah suatu martabat yang tinggi, maka setiap individu dari
natur rasional disebu “pribadi”. Sekarang martabat dari natur ilahi mengungguli
segala martabat lainnya, dan sehingga kata “pribadi” dengan sangat unggul adalah
milik Allah.

Jawaban terhadap Keberatan 3 : Kata “hypostasis” tidak diaplikasikan pada Allah


sehubungan dengan sumber asalnya, karena Allah mendasari accident, tetapi istilah
itu diaplikasikan pada-Nya dalam artian obyektifnya, karena lebih menunjuk pada
subsistensi. Jerome mengatakan bahwa “racun tersembunyi dalam kata ini” karena
sebelum istilah itu dipahami sepenuhnya oleh orang-orang Latin, kaum heretik
menggunakan istilah ini untuk menyesatkan orang-orang sederhana, untuk membuat
masyarakat mengakui ada banyak esensi sebagaimana mereka mengakui banyak
hypostasis, karena kata “substance” yang berhubungan dengan hypostasis dalam
bahasa Yunani, diterima secara umum dalam kita [orang Latin] sebagai esensi.

Jawaban terhadap Keberatan 4 : Dapat dikatakan bahwa Allah memiliki ‘natur’


rasional, jika nalar digunakan dalam arti umum, bukan dalam arti pikiran-pikiran yang
terpisah. Tetapi Allah tidak dapat disebut “individu” dalam artian bahwa keindividuan-
Nya berasal dari materi, tetapi hanya dalam artian yang menyatakan ke-
tidakterkomunikasikan-an (incommunicability). “Substansi” dapat diaplikasikan pada
Allah dalam artian yang menunjukkan keberadaan-dari-dirinya-sendiri (self-
subsistence). Tetapi, ada bebarapa orang yang mengatakan bahwa definisi oleh
Boethius yang dikutip di atas (Artikel 1), tidaklah suatu definisi tentang pribadi dalam
artian yang kita gunakan saat berbicara tentang pribadi dalam Allah. Maka Richard

83
of St. Victor mengubah definisi ini dengan menambahkan bahwa “Pribadi” dalam
Allah adalah “eksistensi natur ilahi yang tak terkomunikasikan”.

84
Daftar Istilah
1. Term tengah (middle term) : adalah term yang tidak terdapat pada proposisi
konklusi tapi ada di premis mayor dan premis minor (bdk. Rapar, Jan
Hendrik, Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis, Yogyakarta, Penerbit
Yayasan Kanisius, 1996, h. 46). Contohnya :
Premis mayor : Semua manusia akan mati.
Premis minor : Orang Yunani adalah manusia.
Kesimpulan : Orang Yunani akan mati.
Di sini manusia adalah term tengah yang menghubungkan antara premis mayor dan
premis minor.

2. Kausa efisien (efficient cause) : adalah penyebab yang menghasilkan efek yang
berbeda dari dirinya sendiri ( Catholic
Encyclopedia, Cause, http://www.newadvent.org/cathen/03459a.htm )

3. Tentang causes :
Dalam setiap perubahan, terdapat 4 aspek (
http://www.newadvent.org/cathen/03459a.htm#scholastic ):

1. Sesuatu yang diubah;


2. Aturan atau cara perubahannya;
3. Agen aktif yang melakukan perubahan;
4. Alasan dari perubahan.

Sekarang ambil contoh perubahan dari lilin mainan berbentuk kubus menjadi
berbentuk bulatan. Lilin mainan adalah sesuatu yang diubah. Kubus lilin permainan
menjadi ada secara material karena ada lilin permainan. Maka lilin permainan
adalah material cause-nya. Lalu cara perubahannya adalah dari bentuk satu (kubus)
ke bentuk lain (bulatan). Maka bulatan, yang menyebabkannya berubah/berbeda
dari keadaan awalnya, adalah formal cause. Orang yang melakukan perubahan
adalah efficient cause, atau moving cause-nya. Lalu niat orang tersebut untuk
menjadikan lilin plastik dari bentuk kubus ke bentuk bulatan adalah final cause-nya.

4. Materia (matter) : adalah elemen yang membentuk atau menyusun sesuatu (


Catholic Encyclopedia, Matter, http://www.newadvent.org/cathen/10053b.htm )

5. Forma (form) : adalah sesuatu yang terlihat, yang tampak ( Catholic


Encyclopedia, Form, http://www.newadvent.org/cathen/06137b.htm )

6. Substansi (substance) : adalah suatu keberadaan yang tinggal di dalam dirinya


sendiri, dan menjadi subjek dari segala aksiden dan perubahan aksidental (Catholic
Encyclopedia, Substance, http://www.newadvent.org/cathen/14322c.htm ).
Contohnya adalah kayu. Kayu dapat utuh, terpotong-potong, kering ataupun basah,
dan semuanya itu adalah kayu dengan segala aksiden dan perubahan
aksidentalnya. Tapi jika kayu terbakar habis sehingga hanya menyisakan abu, maka
substansi kayu sudah tida ada dalam abu tersebut.

7. Suppositum (pl. : supposita) : adalah substansi yang terindividualisasi, yang


memiliki sesuatu yang membedakannya dengan yang lain (bdk. Catholic
85
Encyclopedia Person, http://www.newadvent.org/cathen/11726a.htm, dan Individual,
Individuality, http://www.newadvent.org/cathen/07762a.htm ).

8. Aksiden (accident) : adalah suatu sifat tidak khusus yang melekat pada genus
atau species sehingga bukan merupakan bagian yang hakiki. Contoh : buku yang
berwarna hijau, rambut pada manusia, dan sejenisnya (bdk. Rapar, Jan
Hendrik, Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis, Yogyakarta, Penerbit
Kanisius, 1996, h.21).

9. Esensi (essence) : adalah sesuatu yang menjadikan sesuatu lainnya menjadi


ada dan dapat dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok tersendiri (bdk. St.
Thomas Aquinas, De Ente et
Essentia, http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/DeEnte&Essentia.htm , art.6).
Sebagai contoh, “kemanusiaan” menjadikan “manusia” ada dan berbeda dengan
kelompok binatang lainnya.

10. Aktualitas (actuality, actus) : adalah suatu keberadaan yang nyata dan
merupakan kepenuhan dari potensialitas (bdk. Catholic Encyclopedia, Actus et
Potentia, http://www.newadvent.org/cathen/01124a.htm ).

11. Potensialitas (potentiality, potentia) : adalah suatu sifat yang terbuka terhadap
perubahan. Potensialitas mengarah pada keberadaan yang akan ada (bdk. Catholic
Encyclopedia, Actus et Potentia, http://www.newadvent.org/cathen/01124a.htm ).

12. Genus : adalah jenis yang merupakan himpunan benda, perorangan atau hal
lainnya yang meliputi kelompok-kelompok terbatas yang berada di bawahnya (bdk.
Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis,
Yogyakarta, Penerbit Yayasan Kanisius, 1996, h. 20).

13. Species : adalah kelompok-kelompok terbatas di bawah genus (bdk. Rapar, Jan
Hendrik, Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis, Yogyakarta, Penerbit
Yayasan Kanisius, 1996, h. 20). Hubungan genus-species adalah genus selalu
meliputi species, sedangkan species tersebut dapat menjadi genus bagi kelompok-
kelompok di bawahnya. Contoh (Stanford Encyclopedia of Philosophy, Aristotle's
Categories, http://plato.stanford.edu/entries/aristotle-categories/:
Substansi :
- Tak tergerakkan
- Tergerakkan :
- Bersifat kekal
- Bersifat tidak kekal :
- Mati
- Hidup :
- Rasional
- Irasional

86
Daftar Referensi

1. ---, ---, http://biblos.com/


2. ---, ---, The Blue Letter Bible, http://www.blueletterbible.org/index.cfm
3. ---, 2007, Duoay-Rheims Bible, Eulogos,
http://www.intratext.com/IXT/ENG0011/_INDEX.HTM;
4. Aquinas, St. Thomas, ---, De Ente et Essentia,
http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/DeEnte&Essentia.htm
5. Aquinas, St. Thomas, ---, Summa Contra Gentiles,
http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/ContraGentiles.htm
6. Aveling, F., 1908, Cause. In The Catholic Encyclopedia. New York: Robert
Appleton Company. Retrieved December 29, 2012 from New Advent:
http://www.newadvent.org/cathen/03459a.htm
7. Aveling, F., 1909, Form. In The Catholic Encyclopedia. New York: Robert
Appleton Company. Retrieved December 29, 2012 from New Advent:
http://www.newadvent.org/cathen/06137b.htm
8. Aveling, F., 1911, Matter. In The Catholic Encyclopedia. New York: Robert
Appleton Company. Retrieved December 29, 2012 from New Advent:
http://www.newadvent.org/cathen/10053b.htm
9. Geddes, L., 1911, Person. In The Catholic Encyclopedia. New York: Robert
Appleton Company. Retrieved December 29, 2012 from New Advent:
http://www.newadvent.org/cathen/11726a.htm
10. Glen, Mgr. Paul J., ---, A Tour of the Summa,
http://www.catholictheology.info/summa-theologica/index.php
11. Maher, M. ,1910, Individual, Individuality. In The Catholic Encyclopedia. New
York: Robert Appleton Company. Retrieved December 29, 2012 from New
Advent: http://www.newadvent.org/cathen/07762a.htm
12. Munnynck, M.M., 1912, Substance. In The Catholic Encyclopedia. New York:
Robert Appleton Company. Retrieved December 29, 2012 from New Advent:
http://www.newadvent.org/cathen/14322c.htm
13. Pace, E., 1911, Pantheism. In The Catholic Encyclopedia. New York: Robert
Appleton Company. Retrieved December 29, 2012 from New Advent:
http://www.newadvent.org/cathen/11447b.htm
14. Rapar, Jan Hendrik, 1996, Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis,
Yogyakarta, Penerbit Yayasan Kanisius, h. 48;
15. Reginald Garrigou-Lagrange, O. P., A Commentary on the First Part of St
Thomas’ Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/index.php;
16. Studtmann, Paul, "Aristotle's Categories", The Stanford Encyclopedia of
Philosophy (Fall 2008 Edition), Edward N. Zalta (ed.),
http://plato.stanford.edu/archives/fall2008/entries/aristotle-categories/

87
Links
1. Paus Pius XI, "Studiorem Ducem (On St. Thomas Aquinas)",
http://www.ewtn.com/library/encyc/p11studi.htm;

2. Joseph Kenny, O.P., "St. Thomas Aquinas' Works in English",


http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/index2.htm

88

Anda mungkin juga menyukai