Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH COMPOUNDING AND DISPENSING

KASUS PENYALAHGUNAAN ALPRAZOLAM

Adilfi Lazuardi Ghufron (1206224022)


Aisyah
Almira Rosentadewi
Faisal Ramdani
Merry Flora Dawolo

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
2018

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah tentang penyebaran dan
penyalahgunaan Alprazolam. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Compounding and Dispensing Sediaan Farmasi. Pada makalah ini dibahas tentang kasus
penyebaran dan penyalahgunaan Alprazolam.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat beberapa kekurangan dalam penulisan makalah ini
namun penulis berharap makalah ini dapat berguna bagi setiap pembaca. Selain itu, saran dan
kritik yang membangun dari pembaca sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini.

Depok, Maret 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..........................................................................................................1

KATA PENGANTAR ........................................................................................................2

DAFTAR ISI.......................................................................................................................3

BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................................4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................................5

BAB 3 ISI DAN PEMBAHASAN ....................................................................................13

BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................13

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................81

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Alprazolam adalah jenis obat yang memiliki efek sedatif atau menenangkan.
Alprazolam diresepkan bagi mereka yang cemas atau tertekan dan dapat digunakan dalam
pengobatan jangka pendek beberapa masalah tidur tertentu. Obat tersebut dapat diresepkan
oleh dokter untuk mengobati orang yang mengalami mania. Obat-obatan ini dapat amat
efektif saat digunakan untuk jangka pendek di bawah supervisi dokter. Obat-obat tersebut
tidak dapat mengganti obat-obat lain yang telah diresepkan oleh dokter, seperti antipsikotik,
antidepresan, dan penstabil suasana hati.

Alprazolam dapat sangat adiktif. Penggunannya dapat mengalami ketergantungan jika


menggunakannya secara teratur dalam jangka waktu lama. Pengguna mungkin akan
menyadari semakin ketergantungan alprazolam jika memerlukan dosis yang lebih tinggi dari
waktu ke waktu, atau jika benar-benar merasa sakit jika tidak menggunakannya.

Alprazolam meningkatkan efek zat kimia alami dalam otak yang membuat pengguna
lebih tenang. Efek samping yang mungkin timbul dari penggunaan alprazolam selain merasa
tenang atau mengantuk, adalah :

- Kepala terasa ringan atau pusing


- Goyah atau merasa akan jatuh
- Kebingungan
- Masalah dengan ingatan

Efek penenang alprazolam juga dapat mempengaruhi kemampuan pengguna untuk


mengambil keputusan dan melakukan beberapa tugas. Pengguna dilarang mengemudi atau
mengoperasikan mesin saat menggunakan alprazolam. Jika pengguna minum alprazolam
secara teratur, maka perlu diberitahukan kepada dokter sebelum mengurangi jumlah atau
menghentikan penggunaannya. Pengguna yang secara tiba-tiba berhenti mengonsumsi
alprazolam, maka kemungkinan dapat mengalami gejala ketgihan seperti kecemasan dan
kebingungan kejang-kejang. Penggunaan alprazolam pada ibu hamil atau menyusui juga
harus dengan sepengetahuan dokter.

4
Penyebaran dan penyalahgunaan alprazolam masih kerap dilakukan sehingga sebagai
mahasiswa farmasi kita harus memahami dan menganalisa penyebab serta dampak kasus dari
penyalahgunaan alprazolam.

1.2. Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain:
1 Apakah yang dimaksud dengan alprazolam
2. Bagaimana analisis penyalahgunaan alprazolam
3. Bagaimana peran apoteker mengatasi kasus tersebut

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan makalah ini adalah memahami dan mempelajari kasus
pelanggaran dalam bidang kesehatan yaitu penyebaran dan penyalahgunaan alprazolam

1.4. Metode Penulisan


Metode penulisan yang digunakan dalam menyusun makalah ini adalah metode pustaka
dan studi literatur, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan informasi penting dari berbagai
sumber seperti buku dan situs-situs internet yang terkait.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Alprazolam

Alprazolam adalah obat golongan benzodiazepine, yang biasanya digunakan untuk


mengatasi gangguan kecemasan dan serangan panik. Obat ini dapat membuat penggunanya
merasa lebih tenang dan tidak terlalu tegang. Alprazolam bekerja di dalam otak dan saraf
untuk menghasilkan efek menenangkan dengan meningkatkan aktivitas zat kimia alami
dalam tubuh yang disebut asam gamma-aminobutirat (GABA).

Efek benzodiazepin hampir semua merupakan hasil kerja golongan ini pada SSP
dengan efek utama : sediasi, hipnosis, pengurangan terhadap rangsangan emosi/ansietas,
relaksasi otot dan anti konvulsi. Hanya dua efek saja yang merupakan kerja golongan ini pada
jaringan perifer: vasodilatasi koroner setelah pemberian dosis terapi benzodiazepin tertentu
secara lV, dan blokade neuromus-Xuiar yang hanya terjadi pada pemberian dosis sangat
tinggi.

Alprazolam memiliki indikasi, kontraindikasi, farmakokinetik, dosis, cara pemakaian,


efek samping dan kategori kehamilan sebagai berikut
 Indikasi
Pengobatan jangka pendek, ansietas sedang atau berat dan ansietas yang
berhubungan dengan depresi.
 Farmakokinetik
o Absorpsi
Mudah diserap setelah pemberian tablet konvensional oral atau oral
disintegrasi atau larutan oral, dengan konsentrasi plasma puncak
dicapai dalam waktu 1-2 jam. Ketika tablet oral disintegrasi diminum
dengan air, konsentrasi plasma puncak terjadi 15 menit lebih cepat
daripada ketika diminum tanpa air, tetapi konsentrasi puncak yang
sebenarnya dan AUC tidak terpengaruh. Kecepatan penyerapan tablet
extended-release lebih lambat dibandingkan dengan tablet
konvensional, sehingga konsentrasi plasma relatif konstan selama 5-11
jam setelah dosis. Bioavailabilitas absolut tablet extended-release
adalah 90%; bioavailabilitas setara dengan tablet konvensional.

6
Kecepatan Absorpsi untuk tablet extended-release lebih cepat setelah
malam hari dibandingkan pemberian pagi.
o Distribusi
Benzodiazepin secara luas didistribusikan ke jaringan tubuh dan
menyeberangi barrier darah-otak (sawar darah otak). Benzodiazepin
umumnya melewati plasenta dan mendistribusikan ke susu (ASI);
karena kesamaannya dengan benzodiazepin lainnya, alprazolam
dianggap melewati plasenta dan mendistribusikan ke ASI. Protein
Plasma Binding Sekitar 80%, terutama untuk albumin.
o Metabolisme
Ekstensif dimetabolisme di hati oleh CYP3A4 menjadi metabolit yang
tidak aktif atau berpotensi lebih rendah dari alprazolam.
o Eksresi
Alprazolam dan metabolit diekskresikan terutama dalam urin. Waktu
paruh sekitar 11-12,5 jam untuk sediaan immediate-release; sekitar 11-
16 jam untuk tablet extended-release.
 Dosis dan Cara Pemakaian
o Dewasa
0,25-0,5 mg, 3 kali sehari. Jika perlu dosis dapat dinaikkan dengan
interval 3-4 hari hingga maksimum 4 mg sehari dalam dosis terbagi.
o Untuk pasien lanjut usia, debil (lemah) dan gangguan fungsi hati berat:
0,25 mg, 2-3 kali sehari, ditingkatkan bertahap jika perlu.
 Kontraindikasi
o Pasien yang hipersensitif terhadap golongan benzodiazepin.
o Glaukoma sudut sempit akut.
o Miastenia gravis, insufisiensi pulmonary akut, kondisi fobia dan obsesi
psikosis kronik.
o Anak dan bayi prematur.
 Efek Samping
o Mengantuk, kelemahan otot, ataksia, amnesia, depresi, light-
headedness, bingung, halusinasi, pandangan kabur.

7
o Jarang terjadi: sakit kepala, insomnia, reaksi paradoksikal, tremor,
hipotensi, gangguan gastrointestinal, ruam, perubahan libido,
menstruasi tidak teratur, retensi urin, diskrasia darah dan ikterus.
 Peringatan dan Perhatian
o Dapat terjadi ketergantungan, hindari pemakaian jangka panjang.
o Jangan digunakan sebagai pengobatan tunggal pada pasien depresi atau
kecemasan dengan depresi.
o Pasien penyakit hati dan ginjal kronik, penyakit pernafasan, kelemahan
otot dan riwayat penyalahgunaan obat atau alkohol, penderita kelainan
kepribadian yang nyata.
o Hati-hati pemakaian pada penderita insufisiensi pulmonary kronik.
o Selama menggunakan obat ini dilarang mengendarai atau
mengoperasikan mesin.
o Wanita hamil dan menyusui
o Pemakaian pada anak di bawah usia 10 tahun tidak diketahui
keamanannya dengan pasti.
 Interaksi obat
o Efek ditingkatkan oleh depresan saraf pusat, alkohol dan barbiturat.
o Ekskresi dihambat oleh simetidin.
 Kemasan
o ALPRAZOLAM 0,25. Kotak, 10 strip @ 10 tablet.
o ALPRAZOLAM 0,5. Kotak, 10 strip @ 10 tablet.
o ALPRAZOLAM 1,0. Kotak, 10 strip @ 10 tablet.
 Katergori Kehamilan : Kategori D

8
BAB III

ISI DAN PEMBAHASAN

3.1 Kasus Terkait Penyalahgunaan

Drug abuse atau penyalahgunaan obat menurut World Health Organisation (WHO)
adalah penggunaan obat-obatan atau zat kimia yang tidak ditujukan untuk pengobatan atau
medikasi, akan tetapi obat-obatan tersebut dipergunakan untuk mendapat kenikmatan.
NAPZA adalah singkatan dari narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya.
NAPZA kadang kala disebut juga dengan istilah narkoba, singkatan dari narkotika dan obat
berbahaya (Windayanti, dkk., 2013).

Data terakhir yang didapat dari Badan Narkotika Nasional dan Pusat Penelitian
Kesehatan Universitas Indonesia tahun 2014 diketahui prevalensi penyalahgunaan obat di
Kalimantan Selatan pada tahun 2009 sebesar 1,59% yaitu 40.810 jiwa dan naik menjadi
1,93% pada tahun 2012 sebanyak 52.472 jiwa. Sehingga dalam tiga tahun persentase
penyalahgunaan obat di Kalimantan Selatan naik sebesar 0,34% (Windayanti, dkk., 2013).

Kenaikan persentase ini jika tidak segera ditanggulangi dapat menjadi ancaman bagi
generasi muda. Prevalensi jenis narkoba yang paling banyak digunakan setahun terakhir
adalah ganja sebesar 4,9%, Amphetamine-Type Stimulants (ATS) sebesar 2,3%, sedangkan
opioid, tranquilizer, halusinogen dan inhalan di bawah 1%. Untuk obat non NAPZA yang
paling banyak disalahgunakan adalah dekstrometorfan (0,7%) (BNN, 2014).

Penelitian yang dilakukan Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum yang merupakan tempat
rehabilitasi untuk pasien penyalahgunaan obat di Kalimantan Selatan. Pengumpulan data
dilakukan melalui rekam medik pasien periode Januari 2012-Desember 2013. Analisis data
menggunakan uji statistik Frequency dan Chi-Square. Hasil penelitian menunjukkan pasien
menyalahgunakan obat pertama kali pada usia 11-19 tahun persentasenya 50,0%, 20-29 tahun
42,1% dan 30-39 tahun 7,9%. Pola penyalahgunaan obat untuk jenis NAPZA persentasenya
26,3%; non NAPZA 13,3% dan campuran keduanya 60,5%. Jenis NAPZA yang
disalahgunakan oleh pasien adalah metamfetamin; alkohol; 3,4 – metilen dioksi
metamfetamin (MDMA); heroin; inhalan (seperti bensin dan lem); alprazolam dan ganja.
Heroin dan ganja termasuk dalam narkotika golongan I berdasarkan UU No. 35 Tahun 2009.
Metamfetamin, dan MDMA termasuk dalam psikotropika golongan I berdasarkan UU No. 5

9
Tahun 1997, sedangkan alprazolam termasuk dalam psikotropika golongan IV. Alkohol dan
inhalan termasuk dalam zat adiktif (Windayanti, dkk., 2013).

Di Amerika Serikat dari tahun 2003 sampai 2009, angka kematian meningkat untuk
seluruh substansi kecuali kokain dan heroin. Laju kematian untuk obat-obat yang diresepkan
meningkat 84.2%, dari 7.3 menjadi 13.4 per 100,000 populasi. Peningkatan terbesar
ditemukan pada laju kematian dari oksikodon (264.6%), diikuti alprazolam (233.8%) dan
methadone (79.2%). Hingga 2009, angka kematian yang melibatkan obat-obat yang
diresepkan empat kalinya dibanding angka penyalahgunaan obat. Temuan ini menunjukan
perlunya memperkuat intervensi yang bertujuan mengurangi kematian akibat overdosis dari
obat-obat yang diresepkan di Florida. Catatan pemeriksa medis adalah sumber data berbasis
populasi yang tepat waktu mengenai kematian akibat overdosis dari obat-obatan tertentu.
Data dalam laporan ini dan analisis selanjutnya dapat digunakan untuk merancang dan
mengukur efektivitas intervensi (CDC, 2011).

Angka kematian untuk obat resep meningkat 84,2%, dari 7,3 sampai 13,4 per 100.000
penduduk dari tahun 2003 sampai 2009. Kenaikan tingkat kematian terbesar diamati untuk
obat yang diresepkan yaitu oxycodone (264,6%), diikuti oleh alprazolam (233,8%), metadon
(79,2%), hidrokodon (34,9%), dan morfin (26,2%). Sebaliknya, angka kematian heroin
menurun 62,2% dari tahun 2003 sampai 2009, dan tingkat kematian kokain meningkat
sampai 2007 dan kemudian menurun 39,1% dari tahun 2007 sampai 2009 (CDC, 2011).

Pada tahun 2003, di antara tujuh obat spesifik yang diperiksa, tingkat kematian tertinggi
adalah untuk kokain (3,2 per 100.000 penduduk), diikuti oleh metadon (2,2), oxycodone
(1,7), heroin (1,4), morfin dan alprazolam (1,3), dan hidrokodon (1,1). Pada tahun 2009,
jumlah kematian yang melibatkan obat resep adalah empat kali jumlah yang melibatkan obat
terlarang, dan tingkat kematian tertinggi adalah untuk oxycodone (6,4 per 100,00 populasi),
diikuti oleh alprazolam (4,4), metadon (3,9), kokain 2.8), morfin (1,6), hidrokodon (1,4), dan
heroin (0,5) (CDC, 2011).

Isbister, dkk., dalam jurnal Alprazolam is relatively more toxic than other
benzodiazepines in overdose menyatakan bahwa ada 2063 kasus overdosis benzodiazepin
tunggal: 131 kasus overdosis alprazolam,823 kasus overdosis diazepam dan 1109 kasus
overdosis benzodiazepin lainnya. Dari data peresepan benzodiazepin, total resep alprazolam
di Australia meningkat dari 0,13 juta pada tahun 1992 menjadi 0,41 juta pada tahun 2001.
Delapan puluh lima persen resep untuk gangguan panik, kecemasan, depresi atau kecemasan /

10
depresi campuran. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa Alprazolam secara signifikan
lebih beracun daripada benzodiazepin lainnya.

Tabel 3.1 Laju Kematian yang Disebabkan Oleh Penyalahgunaan Obat

3.2 Dasar Hukum Penggunaan

Alprazolam adalah obat yang termasuk dalam daftar Psikotropika golongan IV dari
empat golongan yang ada. Definisi dari Psikotropika sendiri menurut Undang-Undang No. 5
Tahun 1997 tentang Psikotropika adalah:
“zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan
khas pada aktivitas mental dan perilaku”.
Regulasi terkait Psikotropika diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika, Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 Tahun 2017 tentang Perubahan Golongan
Psikotropika, dan Peraturan Menteri Kesehata No. 3 Tahun 2015 tentang Peredaran,
Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional,
11
BKNN diganti dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai sebuah lembaga forum
dengan tugas mengoordinasikan 25 instansi pemerintah terkait dan ditambah dengan
kewenangan operasional, mempunyai tugas dan fungsi (BNN, 2010):
1. Mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan pelaksanaan
kebijakan nasional penanggulangan narkoba; dan
2. Mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba.

3.2.1 Penyaluran dan Penyerahan Psikotropika


Dalam UU No. 5 TAhun 1997, psikotropika golongan I dilarang untuk
diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi. Psikotropika golongan I hanya
dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada lembaga
penelitian dan/atau lembaga pendidikan guna kepentingan ilmu pengetahuan. Menurut
PMK No. 3 Tahun 2015 Pasal 6, psikotropika hanya dapat disalurkan oleh industri
farmasi, Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan sarana penyimpanan sediaan farmasi
yang memiliki izin khusus penyaluran psikotropika dari Menteri sesuai dengan
ketentuann peraturan perundang-undangan. Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi hanya dapat dilakukan oleh:
a. Industri Farmasi kepada PBF dan Instalasi Farmasi Pemerintah;
b. PBF kepada PBF lainnya, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi
Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi Pemerintah dan Lembaga Ilmu Pengetahuan;
c. PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika kepada
Industri Farmasi, untuk penyaluran Narkotika;
d. Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat kepada Instalasi Farmasi Pemerintah
Daerah, Instalasi Farmasi Rumah Sakit milik Pemerintah, dan Instalasi
Farmasi Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian; dan
e. Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah kepada Instalasi Farmasi Rumah Sakit
milik Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi Klinik milik Pemerintah Daerah,
dan Puskesmas.

12
Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika hanya dapat dilakukan oleh:
a. Apotek;
b. Puskesmas;
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d. Instalasi Farmasi Klinik; dan
e. dokter.

3.2.2 Tanggung jawab Industri Farmasi


Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang dilakukan
oleh Industri Farmasi, PBF, atau Instalasi Farmasi Pemerintah harus dilengkapi
dengan:
a. Surat pesanan;
b. Faktur dan/atau surat pengantar barang, paling sedikit memuat:
1. Nama Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi;
2. Bentuk sediaan;
3. Kekuatan;
4. Kemasan;
5. Jumlah;
6. Tanggal kadaluarsa; dan
7. Nomor batch.
Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang dilakukan
melalui jasa pengangkutan hanya dapat membawa Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi sesuai dengan jumlah yang tecantum dalam surat pesanan, faktur,
dan/atau surat pengantar barang yang dibawa pada saat pengiriman.

3.2.3 Ketentuan Pidana


Ketentuan pidana menurut UU No. 5 Tahun 1997
1. Barangsiapa:
a. Menggunakan psikotropika golongan I selain untuk ilmu pengetahuan atau
b. Memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika
golongan
c. Mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan hanya
untuk lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan untuk ilmu
pengetahuan atau

13
d. Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu
pengetahuan; atau
e. Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika
golongan I. dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dilakukan secara terorganisasi dipidana
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama
20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp750.000.000,00 (tujuh ratus
lima puluh juta rupiah).
3. Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka di damping
dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda
sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
4. Barangsiapa:
a. Memproduksi psikotropika selain yang yang telah memiliki izin sesuai
peraturan perundang-undangan; atau
b. Memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang
tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan atau
c. Memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak
terdaftar pada departemen yang bertanggungjawab di bidang kesehatan;
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
5. Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
6. Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara lain lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
7. Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14
ayat (1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

14
8. Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan dalam
Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah). Apabila yang menerima penyerahan itu pengguna, maka
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.
9. Barangsiapa:
a. Mengekspor atau mengimpor psikotropika selain yang ditentukan dalam Pasal
16; atau
b. Mengekspor atau mengimpor psikotropika tanpa surat persetujuan ekspor atau
surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; atau
c. Melaksanakan pengangkutan ekspor atau impor psikotropika tanpa dilengkapi
dengan surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) atau Pasal 22 ayat (4); dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp300.000 000,00 (tiga ratus juta rupiah).
10. Barangsiapa tidak menyerahkan surat persetujuan ekspor kepada orang yang
bertanggungjawab atas pengangkutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 ayat (1) atau Pasal 22 ayat (2) dipidana dengan pidana paling lama 3 (tiga)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
11. Barang secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
12. Barangsiapa:
a. Melengkapi pengangkutan psikotropika tanpa dilengkapi dokumen
pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; atau
b. Melakukan perubahan negara tujuan ekspor yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;atau
c. Melakukan pengemasan kembali psikotropika tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25; dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah).
13. Barangsiapa:
a. Tidak mencantumkan label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; atau

15
b. Mencantumkan tulisan berupa keterangan dalam label yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1); atau
c. Mengiklankan psikotropika selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (1); atau
d. Melakukan pemusnahan psikotropika tidak sesuai ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) atau Pasal 53 ayat (3); dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
14. Barangsiapa:
a. Menghalang-halangi penderita sindroma ketergantungan untuk menjalani
pengobatan dan/atau perawatan pada fasilitas rehabilitasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37; atau
b. Menyelenggarakan fasilitas rehabilitasi yang tidak memiliki izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3); dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp20.000.000,00
(dua puluh juta rupiah).
15. Barangsiapa tidak melaporkan adanya penyalahgunaan dan/atau pemilikan
psikotropika secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
16. Saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara psikotropika yang sedang
dalam pemeriksaan di sidang pengadilan yang menyebut nama, alamat atau hal-
hal yang dapat terungkapnya identitas pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal
57 ayat (91)), dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
17. Kepada warga negara asing yang melakukan tindak pidana psikotropika dan telah
selesai menjalani hukuman pidana dengan putusan pengadilan sekurang-
kurangnya 3 (tiga) tahun sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dilakukan
pengusiran ke luar wilayah negara Republik Indonesia.
18. Warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat kembali ke
Indonesia setelah jangka waktu tertentu sesuai dengan putusan pengadilan.
19. Tidak pidana di bidang psikotropika sebagaimana diatur dalam undang-undang ini
adalah kejahatan.

16
20. Percobaan atau perbantuan untuk melakukan tindak pidana psikotropika
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dipidana sama dengan jika tindak
pidana tersebut dilakukan
21. Jika tindak pidana psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61,
Pasal 63, dan Pasal 64 dilakukan oleh korporasi, maka di samping dipidananya
pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar 2 (dua)
kali pidana denda yang berlaku untuk tindak pidana tersebut dan dapat dijatuhkan
pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha
22. Barangsiapa bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan,
membantu, menyuruh turut melakukan, menganjurkan atau mengorganisasikan
suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62,
atau Pasal 63, dipidana sebagai permufakatan jahat.
23. Pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan
ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak pidana tersebut.
24. Jika tindak pidana psikotropika dilakukan dengan menggunakan anak yang belum
berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah atau orang yang di bawah
pengampunan atau ketika melakukan tindak pidana belum lewat dua tahun sejak
selesai menjalani seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan
kepadanya, ancaman pidana ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak
pidana tersebut.

3.3 Peran Apoteker dalam Pencegahan dan Penanggulangan Kasus

Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Jawa Tengah Brigjen Pol
Tri Agus Heru Prasetyo meminta para apoteker aktif memberikan edukasi kepada para
konsumen. Pasalnya saat ini marak penyalahgunaan obat dan diperjual belikan secara bebas
di pasaran (Munir, 2017) .

Tanda-tanda penyalahgunaan Alprazolam menurut UK Addiction Treatment Centres


adalah:
1. Murung
2. Bingung
3. Pusing
4. Pengelihatan kabur
5. Lemas

17
6. Berbicara tidak jelas
7. Penurunan koordinasi motorik
8. Sulit bernapas
9. Koma
Tanda-tanda penyalahgunaan Alprazolam jangka panjang adalah:
1. Ansietas
2. Insomnia
3. Anoreksia
4. Sakit kepala
5. Lemas
Pada kasus Alprazolam, Apoteker dapat memiliki peran dalam hal pencegahan dan
penanggulangan , baik dari sisi pengawasan maupun farmasetik. Secara umum ada 4 peran
yang dapat dilakukan apoteker dalam penanganan kasus, yaitu:
1. Pencegahan penyebaran dan distribusi Obat
2. Pencegahan penyalahgunaan pada pelayanan kesehatan
3. Penanggulangan Overdosis
4. Rehabilitasi Kecanduan
3.4.1 Pencegahan Penyebaran dan Distribusi Obat
Apoteker dapat mencegah penyebaran dan distribusi obat dengan cara
melakukan pengawasan terhadap stakeholder pada industri farmasi yang berkaitan
dengan psikotropika. Peran Apoteker dalam mencegah penyalahgunaan sediaan
farmasi dan penyebaran obat-obatan dikemukakan oleh Ari Sutyasmanto, S.Farm.,
Apt (Penyidik Prekursor Dit. P2 – Deputi Pemberantasan BNN) dalam Seminar
Nasional Apoteker Angkatan XXIV ISTN pada 23 November 2013, yaitu sebagai
berikut:
1. Perlunya kerja sama para stakeholder yang berkaitan dengan prekursor narkotika,
psikotropika dan narkotika dengan para Apoteker, khususnya dalam pengawasan
produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi.
2. Diperlukan komunikasi antara para stakeholder yang berkaitan dengan prekursor
narkotika dan psikotropika, narkotika dengan organisasi profesi yang menaungi
para Apoteker dalam rangka pembinaan mengenai bahaya psikotropika dan
narkotika sintetis yang bahan utamanya berasal dari prekursor.

18
3. Perlu melakukan seminar serta focus group discussion (FGD) yang melibatkan
para stakeholder, farmasis, dan apoteker yang membahas psikotropika, narkotika
sintetis dan prekursor yang digunakan dalam produksinya.
4. Apoteker perlu kembali ke kode etik kefarmasian yang menekankan paradigma
pharmaceutical care yang bertumpu pada pelayanan patient oriented.
5. Apoteker perlu dilibatkan sebagai tenaga sumber daya manusia pada badan dan
lembaga pengawasan psikotropika, narkotika dan prekursor narkotika serta
penegakan hukum. Sebab, pada hakikatnya, psikotropika merupakan sediaan
farmasi yang bersifat khusus sehingga penanganan dan pengawasannya juga
bersifat khusus.

3.4.2 Pencegahan Penyalahgunaan pada Pelayanan Kesehatan


Pencegahan pada bidang pelayanan kesehatan perlu dilakukan untuk
meminimalisir potensi terjadinya adiksi dan toksisitas Aplrazolam pada pasien yang
memperoleh pengobatan berupa Alprazolam di fasilitas pelayanan kesehatan.
Pencegahan penyalahgunaan psikotropika dalam pelayanan kesehatan dipaparkan
oleh Canadian Healthcare Network yaitu berupa:
1. Menjaga peresepan dan pembelian Alprazolam dari jalanan (mencegah
pengedaran Alprazolam illegal dari pihak yang tidak bertanggungjawab)
2. Mengedukasi publik, pasien (pada saat konseling dan PIO), dan komunitas
pemakai narkotik dan psikotropik mengenai risiko penyalahgunaan Alprazolam
dan bahaya overdosis
3. Peningkatan komunikasi dengan dokter untuk membahas tujuan peresepan
Alprazolam dan apakah peresepan masih sesuai/diperlukan untuk kondisi
tersebut atau sebaiknya ditiadakan. Dosis dan lama pemakaian juga perlu dikaji
dengan seksama untuk menghindari risiko kecanduan ataupun toksisitas
5. Pemberian penjelasan kepada pasien mengapa Alprazolam memerlukan
pemusnahan yang sesuai di apotek untuk tujuan keselamatan dan keamanan
lingkungan.
6. Pastikan pasien memahami bahwa menjual atau membagikan resep Alprazolam
kepada orang lain adalah tindakan kriminal

3.4.3 Peran Apoteker dalam Penanggulangan Overdosis


Seperti pada penanggulangan overdosis lainnya, hal pertama yang harus
dilakukan adalah memastikan Airway, breathing, and circulation pada pasien

19
terpenuhi. Penanggulangan pada overdosis benzodiazepin yang paling penting adalah
perhatian atau dukungan dan monitoring. Untuk penanganan secara farmakologi dapat
digunakan arang aktiif dosis tunggal namun tidak direkomendasikan secara rutin
karena risikonya lebih besar. Sehingga digunakanlah Flumazenil (Romazicon) yang
merupakan antidot spesifik untuk benzodiazepine, tetapi penggunaannya pada
overdosis akut masih menjadi kontroversial. Penanganan Prehospital untuk overdosis
benzodiazepine adalah:
1. Pemeriksaan jantung
2. Pemberian oksigen atau bantuan pernapasan
3. Pemberian cairan intravena
4. Pemeriksaan glukosa cepat (finger stick) dan pemberian D50 (Dekstrose 50%)
jika diperlukan
5. Dapat pula diberikan Naloxone dengan dosis kecil (0,05 mg dan dapat
ditingkatkan secara bertahap) jika diagnosis tidak jelas dan dicurigai pemakaian
lebih dari satu jenis benzodiazepine. Atau jika pasien mengalami depresi
pernapasan berat.
Meskipun pemberian 0,4 mg nalokson akan membalikkan depresi pernafasan
pada sebagian besar pasien dengan overdosis opioid, hal tersebut juga akan
menyebabkan gejala withdrawal yang parah (mual, muntah) pada mereka yang
bergantung pada opioid. Hal ini dapat menyebabkan aspirasi isi lambung pada pasien
yang tidak dapat melindungi saluran napas karena sedasi dari BZD.
Overdosis Alprazolam dapat berujung kepada kematian. Farmasis kini telah
menjadi lini pertama dalam menangani overdosis opioid dengan cara mengenalkan
serta mengedukasi publik mengenai pemakaian naxolone Kit. Naloxone kit sendiri
merupakan seperangkat kit yang mengandung naloxone (obat yang dapat melawan
efek overdosis) yang sejak 24 Juni 2016 mulai tersedia secara OTC dan dapat
diberikan oleh farmasis di Ontaria kepada pihak yang membutuhkan, yaitu:
1. Pasien yang menerima terapi opioid dosis tinggi atau jangka panjang
2. Keluarga, sahabat, atau kerabat dari pasien dengan medikasi opioid atau
komunitas penyalahgunaan obat
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum pemakaian naloxone kit,
yaitu:
1. Pastikan kita telah membaca dengan benar manual/petunjuk pemberian naloxone
kit

20
2. Pastikan memang terjadi gejala overdosis opioid, tanda-tandanya berupa:
pembesaran pupil mengecil, napas memburu atau tidak ada sama sekali,dan
membirunya kulit. Hal ini perlu dipastikan karena naloxone efektif melawan
opioid seperti alprazolam, fentanil dan oksikodon, tetapi tidak untuk kokain, jika
terjadi overdosis kokain tidak dapat ditanggulangi dengan naloxone.
3. Usahakan pasien sadar pada saat injeksi naloxone, Panggil pasien untuk
menyadarkan. Jika tidak merespon atau tidak bernapas, lakukan bantuan
pernapasan.
4. Selalu telpon profesional kesehatan walau memiliki naloxone untuk dapat
memberikan pertolongan lebih lanjut setelah pemberian naloxone dan jika pasien
tidak merespon injeksi naloxone. Pasien kondisi ini perlu diberikan bantuan
pernapasan hingga bantuan datang dan perlu mendapat CPR dari tenaga terlaitih
5. Terdapat dua jenis sediaan naloxone pad naloxone kit, yaitu naloxone injeksi
dalam vial dan naloxone nasal spray. Untuk Naloxone injeksi, pemberian
dilakukan dengan injeksi secara intramuskular, bukan intravena. Hal ini
dikarenakan Naloxone akan bekerja saat diinjeksi ke otot, bukan pembuluh
darah. Semakin besar otot akan semakin baik. Contohnya pada lengan atau paha.
6. Naloxone tidak bekerja langsung, tetapi 3 menit setelah disuntikkan dan efeknya
akan bertahan hingga 30-60 menit, sementara efek opioid lebih lama. Hal ini
dapat menyebabkan terjadinya overdosis kembali, sehingga pasien perlu ditemani
agar kita dapat memberikan dosis naloxone lagi jika diperlukan.
7. Naloxone dapat menyebabkan rasa tak nyaman seperti withdrawal karena ia
bekerja dengan memblok aksi opioid di otak, sehingga pasien mungkin ingin
memakai kembali untuk menghentikan rasa tidak nyaman tersebut. Pasien perlu
diberi pengertian dan didukung untuk tidak memakai kembali hingga beberapa
jam berikutnya
Berikut merupakan cara pemakaian Naloxone injeksi:
1. Lakukan bantuan pernapasan untuk beberapa napas panjang jika pasien tidak
bernapas
2. Gunakan jarum ukuran 1-1 ½ inci (jarum IM)
3. Buka tutup oranye dari vial
4. Ambil sejumlah 1cc naloxone ke dalam syringe (1cc=1mL=100u.)
5. Injeksikan ke otot (pada paha, seperempat bagian luar dari bokong, atau yang
paling baik pada pundak)

21
6. Injeksikan langsung dan pastikan mengenai otot
7. Jika tidak ada jarum yang besar, jarum yang lebih kecil diperbolehkan untuk
dipakai dan dapat diinjeksikan di bawah kulit, tetapi dianjurkan untuk tetap ke
otot
8. Setelah injeksi, lanjutkan bantuan pernapasan hingga 2-3 menit
9. Jika tidak terjadi perubahan dalam 2-3 menit, injeksikan kembali satu dosis
naloxone dan lanjutkan bantuan pernapasan untuk pasien, Jika tetap tidak ada
perubahanm mungkin terjadi kesalahan seperti jantung telah berhenti karena
selang waktu yang terlalulama, tidak ada opioid dalam sistem tubuhm ataupun
opioid sangat kuat dan dibutuhkan dosis naloxone yang lebih besar
Berikut cara pemakaian Naloxone nasal spray:
1. Lakukan bantuan pernapasan untuk beberapa napas panjang jika pasien tidak
bernapas
2. Pasangkan nasal atomizer (applicator) ke syringe tak berjarum kemudian atur
cartridge kaca naloxone (lihat gambar)
3. Dongakkan pala pasien ke belakang dan semprotkan setengah dosis naloxone
pada satu lubang hidung (1cc) dan setengah lagi pada lubang hidung yang
satunya (1cc).
4. Jika tidak ada tanda-tanda pernapasan atau napas tetap lemah, lanjutkan bantuan
pernapasan pada pasien hingga naloxone memberikan efek.
5. Jika tidak ada perubahan selama 3-5 menit, berikan satu dosis naloxone kembali
dan lanjutkan bantuan pernapasan.
6. Jika dosis kedua naloxone tidak memberikan efek, mungkin terjadi kesalahan
seperti jantung telah berhenti karena selang waktu yang terlalulama, tidak ada
opioid dalam sistem tubuhm ataupun opioid sangat kuat dan dibutuhkan dosis
naloxone yang lebih besar

22
Gambar 3.1 Cara Pemakaian Naloxone Nasal Spray

3.4.4 Peran Apoteker dalam Rehabilitasi Kecanduan


Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 420/Menkes/SK/III/2010 tentang
Pedoman Layanan Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif pada Gangguan Penggunaan
NAPZA Berbasis Rumah Sakit, Rehabilitasi adalah suatu proses pemulihan pasien
gangguan penggunaan NAPZA baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang
yang bertujuan mengubah perilaku mereka agar siap kembali ke masyarakat.
National Institute on Drug Abuse (NIDA) pada tahun 1999 telah
mempublikasikan sebuah buku tentang terapi efektif berdasarkan penelitian di
lapangan yang meliputi 13 prinsip:
1. TIDAK ADA satu bentuk terapi yang SESUAI UNTUK SEMUA
2. Kebutuhan terapi harus SIAP DAN TERSEDIA ketika diperlukan
3. Terapi yang efektif mengakomodasi KEBUTUHAN YANG BERAGAM,
tidak hanya untuk masalah NAPZA saja
4. Rencana terapi dan layanan lain harus DIKAJI SECARA KONTINYU dan
DIMODIFIKASI BILA DIPERLUKAN untuk memenuhi kebutuhan
perubahan pada pasien

23
5. Berada dalam program terapi untuk PERIODE WAKTU YANG
ADEKUAT merupakan hal yang sangat penting untuk perubahan perilaku
yang signifikan
6. Konseling (individu dan/atau kelompok) dan terapi perilaku lainnya
merupakan hal yang SANGAT PENTING
7. Medikasi adalah elemen yang PENTING untuk banyak klien, khususnya
bilamana dikombinasi dengan terapi perilaku
8. Orang dengan komorbiditas gangguan mental harus ditangani dengan cara
yang TERINTEGRASI
9. Detoksifikasi hanya merupakan LANGKAH AWAL dari pengobatan
gangguan penggunaan NAPZA dan detoksifikasi hanya memberi sedikit
perubahan terkait PENGGUNAAN NAPZA JANGKA PANJANG
10. Pengobatan yang efektif TIDAK harus secara sukarela
11. Kemungkinan menggunakan NAPZA selama pengobatan harus
DIMONITOR secara kontinyu
12. Program pengobatan harus menyediakan kajian untuk HIV/AIDS dan
infeksi lain serta konseling untuk membantu pasien merubah perilakunya
baik untuk HIV/AIDS dan risiko dari infeksi lainnya
13. Kepulihan dari gangguan penggunaan NAPZA dapat menjadi PROSES
YANG PANJANG dan seringkali memerlukan beberapa kali episode
pengobatan
Penatalaksanaan dengan tapering off Benzodiazepin
1. Berikan salah satu Benzodiazepin (Diazepam,Klobazam. Lorazepam)
dalam jumlah cukup
2. Lakukan penurunan dosis (kira-kira 5 mg) setiap 2 hari
3. Berikan hipnotika malam saja (misalnya ; Clozapine 25 mg, Estazolam 1-2
mg )
4. Berikan vitamin B complex.
5. Injeksi Diazepam intramuskuler/intravena 1 ampul (10 mg) bila pasien
kejang/agitasi, dapat diulangi beberapa kali dengan selang waktu 30-60
menit.
Tidak ada pengobatan yang lengkap tanpa memperhatikan kebutuhan lain
pasien secara bermakna. Sesuai dengan sifat adiksi pasien membutuhkan layanan baik
secara multipel maupun bervariasi. penting bagi pasien untuk mendapatkan kontribusi

24
lain yang berarti untuk mencapai keberhasilan dalam program pengobatan yang
seharusnya diberikan secara lengkap/sesuai oleh penyedia layanan.
Dua belas layanan yang seharusnya tersedia atau tergabung sebagai komponen
dalam pusat layanan adalah :
1. Medik/Klinis - menyediakan layanan medis/psikiatris secara profesional
pada tempat dan saat diperlukan serta mampu untuk menentukan baik
kondisi fisik maupun psikologis pasien.
2. Nutrisi/Gizi - merencanakan diet yang dibutuhkan pasien.
3. HIV, Hepatitis B dan C, IMS (Infeksi Menular Seksual) melakukan
pemeriksaan HIV, Hepatitis B/C dan IMS serta melakukan tindakan yang
sesuai termasuk VCT (Voluntar, Counseling and Testing) dan PITC
(Provider Initiated Testing and Counselling).
4. Spiritual - menyediakan pendidikan agama dan mendorong pasien untuk
melaksanakan kegiatan ibadah sesuai dengan kepercayaan mereka.
5. Layanan/Terapi Keluarga termasuk intervensi keluarga untuk mendorong
pasien yang menolak masuk ke dalam program pengobatan dan juga untuk
memelihara dukungan kepada pasien dalam proses pemulihan.
6. Pencegahan kekambuhan mengajarkan pasien untuk mengenali situasi
dengan risiko tinggi dan pencatus yang mungkin menyebabkan
menggunakan NAPZA kembali, untuk mengembangkan strategi
kemampuan menghadapi tekanan dari luar dan belajar untuk mengelola
situasi slip (menggunakan NAPZA kembali sekali, jatuh atau kambuh
menggunakan NAPZA).
7. Aftercare - merupakan suatu kelanjutan dari layanan perawatan seperti
dukungan kepada kelompok pemulihan, konseling, latihan ketrampilan
hidup, penempatan kerja, rujukan dan layanan lain sesuai kebutuhan
pasien.
8. Konseling - hubungan terapeutik antara pasien yang membutuhkan
bantuan dengan konselor yang dapat menyediakan pertolongan dan dapat
secara individu, kelompok atau keluarga.
9. Bantuan hukum - bertugas untuk membantu pasien dalam kebutuhan atau
masalah yang berkaitan dengan aspek legal.

25
10. Terapi vokasional - mengajarkan untuk mampu bersosialisasi dan
ketrampilan bekerja untuk pasien yang sesuai dengan minat dan
kompetensi mereka.
11. Latihan ketrampilan hidup - mengembangkan ketrampilan sosial untuk
berkomunikasi lebih baik, meningkatkan harga diri dan menerapkan dasar-
dasar kehidupan bebas/bersih dari NAPZA (sober).
12. Pendidikan dan informasi - melanjutkan pendidikan formal yang relevan
dengan kemampuan pasien, meningkatkan pengetahuan tentang
konsekuensi gaya hidup berisiko dan lain-lain.
Dalam mengejar pemulihan, pasien dituntun untuk memiliki kemajuan secara
berurutan dari satu layanan ke layanan lain seperti dari detoksifikasi ke rehabilitasi
fase primary ke tahap aftercare dan follow up (lanjutan). Tahapan dalam program ini
dirancang berdasarkan perkembangan yang diharapkan dari pasien dengan gangguan
penggunaan zat melalui proses pengobatan. Setelah proses intake/awal, pasien
diproses untuk tahapan orientasi, diikuti dengan tahapan awal, tahapan menengah,
tahapan akhir dan tahapan re-entry. Akhirnya tahapan akan dilalui sesuai dan
berhubungan dengan kemajuan pasien. Hal ini kemungkinan dapat diperlihatkan
dalam berbagai tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepada pasien dalam
berbagai periode selama dalam program pengobatan. Akan bijaksana bilamana jumlah
dan jenis keistimewaan yang diberikan membuat pasien gembira atau menikmati.

Tabel 3.2 Hasil yang Diharapkan Setelah Rehabilitasi

26
27
Evaluasi hasil pengobatan dilakukan secara periodik dalam setiap fase/tahapan
pengobatan. Diperlukan pembentukan tim untuk mengevaluasi kemajuan setiap
pasien yang terdiri dari berbagai profesi. Apabila evaluasi menunjukkan tidak adanya
kemajuan pada pasien maka perlu ditinjau ulang program terapi selanjutnya agar
diperoleh hasil yang optimal.
Beberapa ha! yang perlu dievaluasi untuk setiap pasien adalah :
1. Kondisi fisik/medis
2. Kondisi penggunaan NAPZA
3. Masalah psikologis
4. Masalah keluarga
5. Masalah sosial, termasuk masalah pekerjaan, pendidikan, finansial, hukum
6. Masalah lain yang penting dan terkait dengan adiksi
7. Pengobatan dan intervensi sosial yang telah diberikan
8. Penilaian efektifitas program secara keseluruhan

28
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Kasus penyalahgunaan obat apabila tidak segera ditanggulangi dapat menjadi
ancaman bagi generasi muda. Alprazolam, salah obat yang termasuk dalam daftar
psikotropika golongan IV dari empat golongan yang ada merupakan salah satu obat yang
banyak disalahgunakan. Pada kasus Alprazolam, Apoteker memiliki peran dalam hal
pencegahan dan penanggulangan , baik dari sisi pengawasan maupun farmasetik. Secara
umum ada 4 peran yang dapat dilakukan apoteker dalam penanganan kasus, yaitu pencegahan
penyebaran dan distribusi obat, Pencegahan penyalahgunaan pada pelayanan kesehatan,
penanggulangan overdosis dan rehabilitasi kecanduan.

4.2 Saran
Faktor edukasi dan pengawasan kepada masyarakat perlu ditingkatkan dalam
menanggulangi penyalahgunaan alprazolam. Penegakan sanksi yang tegas dapat memberikan
efek jera bagi pelaku. Penegakan sanksi perlu ditingkatkan agar jumlah kasus
penyalahgunaan obat menurun.

29
DAFTAR PUSTAKA

Aberg, Judit A. Et al. 2009. Drug Infomation Handbook 17th Edition. Lexi Comp: Ohio

Badan Narkotika Nasional (BNN) 2010. Sejarah BNN. (Diakses pada 8/3/2018:
http://www.bnn.go.id/read/page/8005/sejarah-bnn)

http://www.dhi.health.nsw.gov.au/ArticleDocuments/1729/Benzodiazepines_Indonesian2013
.pdf.aspx (diakses pada tanggal 08 Maret 2018).

Munir, Syahrul. 2017. Apoteker Harus Berperan Aktif Cegah Penyalahgunaan Obat. (Diakses
pada 8/3/2018: https://regional.kompas.com/read/2017/12/03/22391131/apoteker-
harus-berperan-aktif-cegah-penyalahgunaan-obat)

Syarif, Amir. 2001. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Gaya Baru: Jakarta

30

Anda mungkin juga menyukai