Perencanaan Remedial
Hidromekanikal, Elektrikal, dan
Komputerisasi Bendung Gerak Serayu
Laporan Antara
No. Kontrak: HK.0203/SBBWS.SO.02/25
Tanggal: 10 Juni 2013
Tahun Anggaran 2013
Bendung gerak serayu merupakan bendung gerak tertua di Indonesia yang dibangun pada
tahun 1993. Umur bangunan yang sudah tua serta terdapat beberapa kerusakan dan
disfungi komponen hidromekanikal, elektrikal, dan komputerisasi menyebabkan Bendung
Gerak ini tidak dapat berfungsi decara optimal. Juga akibat degradasi yang cukup signifikan
pada hilir bendung mengakibatkan bangunan rentan terhadap stabilisasi. Dengan
berfungsinya Bendung Gerak Serayu dan seluruh jaringan irigasinya, maka tanaman padi di
Kabupaten Banyumas, Cilacap dan Kebumen yang diproyeksikan dapat mengairi sawah
seluas 20.795 hektar diharapkan untuk tidak lagi kekurangan air pada musim kemarau
sekalipun.
Seiring perkembangan jaman dan perumbuhan penduduk, maka tidak dapat
dikesampingkan pula kebutuhan akan air baku untuk kebutuhan sehari-hari maupun
kebutuhan lainnya sehingga potensi SDA Sungai Serayu yang besar itu juga diupayakan
untuk dapat dioptimalkan sebagai sumber air suplesi air baku jika memungkinkan secara
teknis dan ekonomis.
Pada tahap ini, akan dilakukan perencanaan remedial terhadap berbagai komponen yang
mengalami kerusakan pada Bendung Gerak Serayu. Untuk melaksanakan pekerjaan
tersebut, Balai Besar Wilayah Sungai Serayu−Opak selaku pihak pengguna jasa mengadakan
proses pelelangan secara terbuka paket pekerjaan Perencanaan Remedial Hidromekanikal,
Elektrikal, dan Komputerisasi Bendung Gerak Serayu, yang dimenangkan oleh PT Caturbina
Guna Persadaselaku pihak penyedia jasa.
1.3 SASARAN
1.4 KELUARAN
Secara garis besar lingkup kegiatan dari Perencanaan Remedial Hidromekanikal, Elektrikal,
dan Komputerisasi Bendung Gerak Serayu yaitu:
1. Persiapan
2. Pengumpulan Data Sekunder, meliputi:
a. Peta (RBI, digital, tataguna lahan, dll)
b. RTRW
2.1 LETAK
DAS Serayu termasuk kedalam wilayah kerja Balai Besar Wilayah Sungai Serayu−Opak,
Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum. Secara administrasi,
Bendung Gerak Serayu terletak pada koordinat 7°32'0" LS, 109°10'0" BT di Desa Gambarsari,
Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah.
Lokasi pekerjaan
2.3 HIDROLOGI
Dari kegiatan pengumpulan data diperoleh informasi stasiun hujan dan stasiun duga air
baik yang dikelola oleh Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak maupun yang dikelola
oleh pihak lain seperti Badan Meteorologi dan Geofisika Jawa Tengah.
STASIUN HUJAN
Jumlah stasiun hujan di DAS Serayu, berdasarkan data dari Balai PSDA Serayu
Citanduy dan Balai PSDA Progo Bogowonto Luk Ulo Provinsi Jawa Tengah adalah 69
buah. Stasiun hujan tersebut tersebar di 15 Sub DAS seperti disajikan pada Tabel
berikut ini.
No SubDAS Jumlah
1 Begaluh 4
2 Wonosobo 5
3 Songgoluwang 0
4 Preng 2
5 Tulis 4
6 Merawu 6
7 Pekacangan 5
8 Klawing 10
9 Tajum 12
10 Logawa 4
11 Donan 4
12 Sabuk 1
13 Serayu hilir 7
14 Kalisapi 5
15 Kaliputih 0
Jumlah 69
KETERSEDIAAN AIR
Ketersediaan air atau potensi air untuk masing-masing DAS dibedakan menjadi Potensi air
total dan Potensi air potensial. Potensi air total adalah potensi air secara keseluruhan
sampai muara (laut), sedangkan potensi air potensial adalah potensi air sampai lokasi atau
tempat yang memungkinkan untuk diambil manfaatnya atau sudah/direncanakan diambil
manfaatnya.
2.4 TOPOGRAFI
Bendung Gerak Serayu terletak di sungai Serayu desa Gambarsari, kecamatan Kebasen,
Kabupaten Banyumas. Sungai Serayu merupakan lingkup pekerjaan Balai Besar Sungai
Serayu-Opak dalam kawasan DAS Serayu-Bogowonto.
Seluruh potensi air yang ada di WS. Serayu-Bogowonto berasal dari beberapa sungai
diantaranya Sungai Donan, Serayu, Ijo, Tipar, Telomoyo, Lukulo, Wawar, Cokroyasan dan
Bogowonto. Sungai Serayu dan anak sungainya bermata air di kaki Gunung Sumbing,
Sindoro, Bismo, Slamet dan kaki pegunungan, Serayu Utara dan Pegunungan Serayu Selatan,
sedangkan sungai Tipar, Telomoyo, Ijo, Luk Ulo berturut-turut sampai dengan Sungai
Bogowonto bermata air di kaki perbukitan Karangbolong, kaki Pegunungan Serayu
Selatan, kaki Pegunungan Menoreh, dan kaki Gunung Sumbing bagian barat daya. Sungai-
sungai tersebut semuanya bermuara di pantai Selatan Jawa/Lautan Hindia.
Topografi Provinsi Jawa Tengah memiliki relief yang sangat beragam yaitu 0 – 99 m dpl
meliputi 53,3 %, ketinggian 100 – 499 m dpl meliputi 27,4 %, ketinggian 500 - 999 m dpl
meliputi 14,7 % dan ketinggian di atas 1.000 m dpl meliputi 4,6 % dari luas wilayah Provinsi
Secara lebih spesifik wilayah kabupaten Banyumas lebih dari 45 % merupakan daerah
dataran yang tersebar di bagian Tengah dan Selatan serta membujur dari Barat ke Timur.
Ketinggian wilayah di Kabupaten Banyumas sebagian besar berada pada kisaran 25 – 100 M
dpl yaitu seluas 40.385,3 Ha. Berdasarkan kemiringan wilayah, Kabupaten Banyumas
mempunyai kemiringan yang terbagi dalam 4 (empat) kategori yaitu :
1. Kemiringan 0° - 2° meliputi areal seluas 43.876,9 Ha atau 33,05 % yaitu wilayah bagian
Tengah dan Selatan.
2. Kemiringan 2° - 15° meliputi areal seluas 21.294,5 Ha atau 16,04 % yaitu sekitar Gunung
Slamet.
3. Kemiringan 15° - 40° meliputi areal seluas 35.141,3 Ha atau seluas 26,47 % yaitu daerah
lereng Gunung Slamet.
4. Kemiringan lebih dari 40° meliputi areal seluas 32.446,3 Ha atau seluas 32.446,3 Ha atau
seluas 24,44 % yaitu daerah lereng Gunung Slamet.
2.5 GEOLOGI
Struktur geologi yang mengontrol Formasi Pra Tersier sampai Kuarter di WS Serayu-
Bogowonto berupa lipatan, kekar dan sesar. Struktur Pra Tersier berupa sesar naik, turun
dan geser dengan orientasi tidak beraturan akibat tumbukan antar lempeng (Lempeng
Benua Asia dan Lempeng Samudra) yang bergerak saling berlawanan arah. Tumbukan
menyebabkan terjadinya percampuran batuan yang tidak mengikuti kaidah stratigrafi
normal membentuk Kompleks Melange Karangsambung dan Banjarnegara Selatan.
Gambaran tentang kondisi geologi yang terdapat di ketujuh daerah kabupaten di WS
Serayu-Bogowonto, secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Wilayah daratan Propinsi Jawa Tengah seluas 3.254.412 ha, di dalamnya terdapat kawasan
hutan seluas 649.808,61 ha (19,97 %) luas kawasan hutan berdasarkan fungsi hutan sebagai
berikut :
TABEL 2-5 LUAS KAWASAN HUTAN PROVINSI JAWA TENGAH MENURUT FUNGSINYA
Penggunaan lahan di Propinsi Jawa Tengah didominasi oleh sawah dan tegal serta
permukiman terutama di daerah yang relatif datar. Permukiman tersebar merata baik di
dataran pantai hingga daerah dengan topografi kasar. Kenampakan belukar sebenarnya
adalah liputan vegetasi yang relatif jarang, bentuk ini dapat berupa kawasan hutan yang
telah ditebang dan ditumbuhi tanaman muda atau kebun buah-buahan kepunyaan rakyat
yang memiliki kerapatan relatif jarang. Liputannya tersebar di Kabupaten Wonogiri,
Purworejo, Wonosobo, Kebumen, Purwokerto, Kendal serta Blora. Liputan hutan terutama
tersebar di Kabupaten Kendal, Pekalongan, Banyumas, Cilacap di bagian barat Jawa Tengah.
Hutan terdapat juga di Kabupaten Blora dan Purwodadi, Kabupaten Semarang serta di
beberapa puncak gunungapi yang luasannya relatif kecil.
Tanda-tanda pencemaran air tanah dapat dilihat dari kandungan unsur NO3, BOD, dan
bakteri Colli. Kota Kecamatan Kutowinangun, Prembun dan Kutoarjo telah menunjukkan
tanda-tanda tercemar oleh limbah domestik. Kota Purwokerto, Purbalingga, dan Banyumas
rawan terhadap pencemaran air tanah yang dikarenakan sistem sanitasi tidak baik dan jenis
batuan yang porous. Air tanah pada daerah dataran aluvial yang padat penduduknya,
seperti daerah Wangon, Jatilawang dan Cilacap juga berpotensi tercemar oleh limbah
rumah tangga karena kedudukan muka air tanah yang dangkal dan sistem sanitasi yang tidak
baik. Khusus di daerah pantai ada bahaya intrusi air laut melalui akuifer maupun muara
Sungai Serayu.
Pencemaran air sungai terutama terjadi di bagian tengah dan hilir pada satuan dataran
aluvial dan dataran pantai. Meskipun demikian intensitas pertanian di daerah hulu (sekitar
kawasan Dieng) juga telah mencemari sungai terutama limbah pestisida dan fungisida.
Sumber pencemaran air lainnya diakibatkan oleh kegiatan pertanian, rumah tangga (MCK),
industri tapioka, dan limbah penggergajian kayu. Pencemaran air sungai yang paling banyak
terjadi di Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga dan Banyumas. Di DAS Luk Ulo-Bogowonto
ada beberapa sungai yang nilai DHL-nya tinggi yaitu Kali Jali dan Kali Ijo. Tingginya DHL di
sungai-sungai tersebut lebih disebabkan oleh masuknya air laut ke dalam sungai (intrusi)
dan juga karena bentuk lahan yang membentuk sekitar sungai tersebut.
Untuk mengetahui kualitas air di Wilayah Sungai Serayu-Bogowonto saat ini, dilakukan
pengambilan sampel air di wilayah tersebut. Tabel menunjukkan hasil analisis yang berisi
kriteria fisik kimia serta index pencemaran.
2.8.1 KEPENDUDUKAN
Data kependudukan sangat diperlukan dalam penyusunan Pola Pengelolaan Sumber Daya
Air, karena manusia / penduduk merupakan pengguna utama sumber daya air untuk
memenuhi berbagai kebutuhannya. Diskripsi jumlah, tingkat kepadatan dan laju
perkembangan penduduk dalam suatu wilayah merupakan gambaran bagaimana tingkat
kebutuhan air dalam suatu wilayah diukur dari kebutuhan per-penduduk dan
pertumbuhannya di masa depan.
TABEL 2-8 JUMLAH PENDUDUK, LUAS WILAYAH, TINGKAT KEPADATAN DAN JUMLAH RUMAH TANGGA
Sumber : BPS Jawa Tengah
Pola penggunaan sumberdaya air selain dicerminkan oleh kebutuhan penduduk juga
tercermin dari tataguna lahan. Lahan persawahan dan pertambakan (empang) atau wetland
membutuhkan air yang besar. Wilayah Kabupaten yang memiliki areal wetland yang besar
mengindikasikan adanya kebutuhaan air yang besar.
TABEL 2-9 LUAS SAWAH DAN BUKAN SAWAH YANG DIMILIKI MASING-MASING KABUPATEN DAN PROPORSINYA TAHUN 2005
Sumber : Data BPS Jawa Tengah
Dari data yang ada dapat dikatakan bahwa daerah Kabupaten Cilacap, Kebumen, Purworejo
dan Purbalingga merupakan daerah yang membutuhkan sumber daya air yang besar untuk
pengairan sawah. Sementara daerah Wonosobo dan Banjarnegara memiliki areal sawahnya
relatif rendah. Kedua Kabupaten ini merupakan kabupaten dengan tipografis dataran tinggi
dan perbukitan serta merupakan wilayah sumber air wilayah sungai.
Sektor industri dalam konteks pola tataguna air adalah sebagai pengguna, dan juga sebagai
sumber pencemaran. Sudah sering terdengar bahwa terjadi kontradiksi antara pembungan
air limbah yang mencemari lahan pertanian. Industri diperlukan untuk meningkatkan
lapangan kerja, namun di sisi lain juga menjadi beban bagi sektor pengairan karena
pencemaran yang ditimbulkannya. Makin banyak industri makin besar beban kontradiksi
dalam pola pengelolaan tata guna air. Berikut ini disajikan jumlah industri serta tingkat
produksinya.
TABEL 2-10 JUMLAH PERUSAHAAN, TENAGA KERJA, UPAH DAN OUTPUT HASIL PRODUKSI SERTA NILAI TAMBAH INDUSTRI
Sumber : Data BPS Jawa Tengah Dalam Angka 2006
PDRB menurut sektor dapat menunjukkan pada bidang usaha atau sektor manakah suatu
kegiatan ekonomi wilayah berpusat. Semakin besar prosentase sumbangan suatu sektor
terhadap PDRB total, hal itu mengindikasikan bahwa mayoritas kegiatan berada pada sektor
tersebut. Pada negara agraris seperti Indonesia, dominasi penyumbang PDRB dan kegiatan
produksi berpusat pada sektor pertanian. Makin besar proporsi sumbangan suatu sektor
maka makin besar dominasi sektor tersebut pada kegiatan ekonomi pada satu wilayah.
TABEL 2-11 POLA DISTRIBUSI PDRB ATAS DASAR HARGA KONSTAN PADA KABUPATEN DALAM WS SERAYU-BOGOWONTO
Sumber : Data BPS Jawa Tengah Dalam Angka 2006
Berdasarkan UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, perencanaan pengelolaan
sumber daya air disusun untuk menghasilkan rencana yang berfungsi sebagai pedoman dan
arahan dalam pelaksanaan konservasi sumberdaya air, pendayagunaan sumber daya air,
dan pengendalian daya rusak air. Perencanaan tersebut dilaksanakan berdasarkan asas
kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan,
kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas.
Perencanaan pengelolaan sumber daya air disusun sesuai dengan pola pengelolaan sumber
daya air, berdasarkan prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air tanah,
keseimbangan antara upaya konservasi dan pendayagunaan sumber daya air, dengan
melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya.
Perencanaan pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu unsur dalam penyusunan,
peninjauan kembali, dan/atau penyempurnaan rencana tata ruang wilayah. Selain itu,
perencanaan pengelolaan sumber daya air disusun sesuai dengan prosedur dan persyaratan
melalui tahapan yang ditetapkan dalam standar perencanaan yang berlaku secara nasional
yang mencakup inventarisasi sumber daya air, penyusunan, dan penetapan rencana
pengelolaan sumber daya air.
Menurut PP No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, pengelolaan sumber
daya air diselenggarakan dengan berlandaskan pada:
1. Kebijakan pengelolaan sumber daya air pada tingkat nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota.
2. Wilayah sungai dan cekungan air tanah yang ditetapkan.
3. Pola pengelolaan sumber daya air yang berbasis wilayah sungai.
Berdasarkan UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, daerah aliran sungai (DAS)
adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari
curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah
topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh
akitivitas daratan.
Besarnya ketersediaan air diperoleh dengan melakukan transformasi hujan menjadi aliran
untuk aliran rendah (low flow) menggunakan Model Mock. Simulasi Model Mock dilakukan
dengan masukan berupa data hujan setengah bulanan dan data luas DAS yang diperoleh
dari Peta RBI.Sebelum melakukan simulasi ketersediaan air, terlebih dahulu dicari
parameter-parameter Model Mock. Parameter-parameter Model Mock sebaiknya dicari
dengan cara melakukan kalibrasi, tetapi karena tidak tersedia data debit untuk melakukan
kalibrasi, maka dilakukan justifikasi parameter dengan ketentuan sebagai berikut:
Perubahan storage tahunan pada upper zone dan aquifer zone dianggap kecil (nol)
Rasio runoff dan hujan tahunan sekitar 25% - 30% (untuk wilayah tropis)
Untuk menjamin agar pekerjaan dapat dilaksanakan tepat waktu dan sesuai dengan kualitas
yang direncanakan, maka perlu disusun suatu langkah pelaksanaan pekerjaan. Langkah
pelaksanaan pekerjaan secara skematik dapat dilihat pada Tabel 4.1.
100%
I Kegiatan Pendahuluan 6,60
1. Persiapan Kerja 1,20 1,20
2. Survei Geoteknik dan Mekanika Tanah 6,00 1,50 1,50 1,50 1,50
2. Penggambaran Profil & Situasi Detail Lokasi Bendung & Suplesi 4,50 1,13 1,13 1,13 1,13
3. Remedial dan Pembuatan Bangunan Pengaman dan Lainnya 3,60 0,60 0,60 0,60 0,60 0,60 0,60
4. Pembuatan Desain Awal Jaringan Suplesi Air Baku 3,60 0,72 0,72 0,72 0,72 0,72
40%
5. Pembuatan Pedoman Operasi & Pemeliharaan 3,00 0,75 0,75 0,75 0,75
6. Pembuatan Spektek, Nota Desain, BoQ & RAB 3,00 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50
3. Laporan System Planning dan Perbaikan 4,20 1,05 1,05 1,05 1,05
4.3 PERSIAPAN
4.4.1 INVENTARISASI
3. Elektrikal
4. Komputerisasi
5. Bangunan pelengkap
6. Bangunan pengamanan bendung
Inventarisasi setiap item mencakup informasi sebagai berikut:
1. Data-data teknis
2. Koordinat lokasi potensial
3. Sketsa lokasi
4. Informasi kerusakan
4.4.2 IDENTIFIKASI
Uraian Keterangan
Tipe bendung Bendung Gerak dengan pintu Radial
Panjang Bendung 121,20 m
Lebar Bendung 109,60 m
Pintu Radial 8 buah @10,70x10,70 m, R:9,10 m
Pintu Pengambilan 4 buah @ 2,50x2,00 m
Pintu Penguras 6 buah @ 2,50x2,00 m
Muka Air Operasi + 12,90 m
Elevasi puncak bangunan + 15,50 m
Elevasi Dasar sungai + 6,00 m
Luas DPS 3.060 km 2
Debit Banjir Rencana 100 thn 2.470 m 3/detik
Debit Pengambilan 32 m 3/detik
Intake Pengambilan 4 buah
Saluran Kantong Lumpur Panjang : 273,28 m
Saluran Induk Serayu Panjang : 3.653 m
Uraian Keterangan
Jumlah Pintu Terdiri dari 8 pintu dan 2 pintu Flape Gate
Masalah Upstream -Terjadi sedimentasi setinggi 5 m
- Adanya penyempitan di hulu bendung
Masalah Downstream -adanya penambangan pasir
-Adanya scouring di depan kolam olak sedalam 7 m
Beda elevasi dari bendung ke Hanya berkisar 1 s.d 5 cm, yang seharusnya beda
banyumas dengan jarak 17 km elevasi normal minimal 50 cm
Banjir terbesar yang pernah terjadi Pada tahun 2000 yaitu 2.280,95 m3/detik
Lifetime peralatan/instrumen Lifetime rencana adalah 20 tahun,kenyataannya
bendung gerak baru 17 tahun peralatan sudah banyak yang rusak
Sistem Elektrikal Bendung -Pada saat ini menggunakan semi automatic &
manual
-Kerusakan pada ATR (sensor bukaan pintu)
-Elektronik Programnya manual
-Pada saat ini menggunakan semi automatic & Perlu Penggantian ATR dan diperbaiki
manual instrumen lainnya agar sistem automatic
-Kerusakan pada ATR (sensor bukaan pintu) bisa juga dijalankan
-Elektronik Programnya manual
Radial Gate
(bendung)
Fasilitas Vertical Gate
Utama (intake)
Vertical Gate
(pembagi)
Bendung
Gerak Serayu Genset
Power Supply
UPS
Crane
GAMBAR 4-2 FASILITAS HIDROMEKANIKAL DAN ELEKTRIKAL BENDUNG GERAK SERAYU
1. Radial Gate
ATR
2. Flape Gate
3. Vertikal Gate
4. Genset
Motor Starter
Pompa Pendingin
5. UPS
BATERAI UPS
Komponen UPS
6. Trash Rack
7. Crane
Pengukuran topografi dilakukan di lokasi yang telah mendapatkan persetujuan dari direksi
pekerjaan. Lingkup pengukuran topografi adalah sebagai berikut:
1. Pemasangan patok BM dan CP
2. Pengukuran situasi sungai sepanjang ±3.000 m ke hulu dan ±2.000 m ke hilir dari as
bendung
3. Pengukuran situasi lokasi bangunan pengaman bending
4. Pengukuran rencana alternatif jaringan suplesi air baku ±40 km
Titik Referensi ditetapkan berdasarkan antara pengguna jasa dan penyedia jasa.
Berdasarkan identifikasi awal ke lapangan yang dilakukan oleh Pihak Penyedia Jasa.
Sebelum memulai melakukan pengukuran terlebih dahulu membuat titik tetap Bench Mark
(BM) di lokasi. Hal ini dikarenakan BM berfungsi untuk mengikat pengukuran apabila di
lokasi tidak ada titik tetap. Titik koordinat BM (X,Y,Z) pada awalnya diasumsikan. Setelah
diikatkan dengan titik referensi yang ditunjuk dan disetujui oleh pengawas, maka koordinat
tersebut perlu dikoreksi. BM yang dipasang pada pekerjaan ini selanjutnya digunakan
menjadi titik referensi pada saat pelaksanaan konstruksi nanti.
BM yang akan dipasang mempunyai ukuran tipikal tampang persegi 20×20 cm 2, dengan
tinggi 100 cm. Tinggi BM yang masuk kedalam tanah lebih kurang 80 cm.
Selain itu juga diperlukan bantuan titik tetap CP. yang mana CP ini difungsikan untuk refrensi
bantuan terhadap BM.
Pengukuran poligon adalah kegiatan menyebarkan titik kontrol horizontal (XY) pengukuran,
yang digunakan sebagai tempat titik berdiri alat pada pengukuran pengumpulan data situasi
topografi (detailed topographic survey).
Pengukuran sudut dilakukan dengan merekam sudut dalam dan sudut luar titik/ target
pengamatan sehingga diperoleh besaran sudut dengan koreksi kolimasi teropong alat yang
selanjutnya digunakan untuk perhitungan koordinat. Sedangkan jarak diukur kearah target
depan dan kearah target belakang, sehingga diperoleh besaran jarak dengan koreksi refraksi
yang selanjutnya digunakan untuk perhitungan koordinat. Jaringan pengukuran poligon ini
disusun dan dihitung dengan Topographic Software dan hasilnya ditunjukkan pada
Traversing Computation.
Pengukuran ini untuk mendapatkan titik ikat yang dapat dijadikan sebagai titik kontrol di
semua area dilakukan dengan pengukuran Poligon yang diikatkan terhadap jaringan titik
Bench Mark (BM) yang telah dipasang pada lokasi pekerjaan. Alat yang digunakan adalah
Teodholite Total Station.
Pengukuran poligon untuk mendapatkan potongan melintang sungai dilakukan dengan
poligon terbuka, sedangkan pengukuran poligon untuk mendapatkan detail situasi dilakukan
dengan poligon tertutup.
Pengukuran beda tinggi adalah kegiatan menyebarkan titik kontrol vertikal (Z) pengukuran,
yang digunakan sebagai tempat titik berdiri alat pada pengukuran pengumpulan data situasi
topografi (detailed topographic survey). Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan alat
ukur Waterpass dengan merekam data beda tinggi antar patok/titik poligon dengan metode
pulang pergi, sehingga kesalahan pembacaan beda tinggi langsung dapat diketahui seketika
saat melakukan pengukuran. Pengukuran dilakukan dengan mengikuti jaringan pengukuran
poligon. Jaringan pengukuran beda tinggi ini disusun dan dihitung dengan Software
Computer yang ada dalam Microsoft Excel Office.
Pengukuran situasi dilakukan untuk mengambil data rinci lapangan, baik obyek alam
maupun bangunan-bangunan, Spillway, jalan dan sebagainya. Obyek-obyek yang diukur
kemudian dihitung harga koordinatnya (x,y,z). Untuk selanjutnya garis kontur untuk masing-
masing ketinggian dapat ditentukan dengan cara interpolasi.
Pengukuran rinci/situasi dilaksanakan memakai metoda tachymetri dengan cara mengukur
besar sudut dari poligon (titik pengamatan situasi) kearah titik rinci yang diperlukan
terhadap arah titik poligon terdekat lainnya, dan juga mengukur jarak optis dari titik
pengamatan situasi. Pada metoda tachymetri ini didapatkan hasil ukuran jarak dan beda
tinggi antara stasiun alat dan target yang diamati.
Pembacaan detail dilakukan menyebar ke seluruh areal yang dipetakan dengan kerapatan
disesuaikan dengan skala peta yang akan di buat. Gundukan tanah, batu-batu besar yang
mencolok serta sungai akan diukur dengan baik. Juga bangunan-bangunan yang penting dan
berkaitan dengan pekerjaan desain akan diambil posisinya.
Setiap ujung bangunan (bila ada) diambil posisinya dan untuk pengecekan peta, jarak antara
ujung-ujung bangunan yang bersebelahan juga akan diukur.
5. Pada bagian terdapat bangunan melintang sungai seperti bendung, groundsill dan
jembatan, dilakukan pengukuran melintang
6. Jarak antara 2 titik pada satu potongan melintang lebih kurang 10 m atau
menyesuaikan dengan kemiringan tebing sungai
7. Koordinat dan elevasi patok pengukuran harus diikatkan pada Bench Mark (BM)
eksisting
Untuk bagian sungai yang dalam, sehingga tidak dimungkinkan dilakukan pengukuran
potongan melintang dengan survey topografi, maka potongan melintang dapat diperoleh
dengan melakukan pengukuran kedalaman sungai melalui survey batimetri. Prosedur survey
batimetri untuk mendapatkan potongan melintang sungai yaitu:
1. Terlebih dahulu ditetapkan alur pemeruman (pengukuran kedalaman) yang tegak
lurus aliran sungai
2. Ukur kedalaman dengan interval pengambilan data 10 m tegak lurus aliran sungai
3. Pada saat yang bersamaan dengan pengambilan data kedalaman, dicatat muka air
pada papan duga
4. Elevasi muka air bacaan pada papan duga, harus diikatkan pada satu referensi yang
sama dengan survey topografi. Pengikatan dapat dilakukan dengan menggunakan
waterpass.
5. Besarnya elevasi pada titik pengukuran kedalaman dapat diperoleh dengan
melakukan koreksi seperti pada Gambar 4-8, dengan a = elevasi muka air terhadap
BM, b = kedalaman pemasangan alat, c = bacaan kedalaman echosounder.
Pengukuran potongan memanjang sungai dilakukan sejajar aliran sungai atau tegak lurus
potongan melintang. Pengukuran ini dilakukan dalam rangka cross checking pengukuran
potongan melintang sungai. Seperti halnya dengan pengukuran potongan melintang, untuk
bagian sungai yang dalam dan tidak memungkinkan dilakukan survey topografi, maka
pengukuran potongan memanjang dilakukan dengan survey batimetri.
Penyelidikan tanah mencakup uji lapangan dan uji laboratorium. Uji lapangan berupa uji
sondir dan pemboran. Pekerjaan sondir umumnya dilakukan sampai mencapai tanah keras
atau bacaan konus maksimum sedangkan pemboran dilaksanakan sampai kedalaman
tertentu yang telah dianggap cukup. Untuk pemboran manual dengan tangan umumnya
kedalaman 7 m sampai 10 m sudah dapat digunakan untuk memverifikasi data sondir di
lapangan. Sedangkan uji laboratorium mencakup:
1) Uji indeks properties untuk mengetahui sifat-sifat properties tanah terdiri dari kadar
air, berat jenis, batas-batas atterberg, distribusi ukuran butir tanah dan berat
volume.
2) Uji kuat geser tanah untuk parameter disain dapat diperoleh melalui geser langsung
untuk tanah berpasir ataupun tanah pasir, uji tekan bebas untuk tanah lempung dan
uji triaxial (UU/CU) untuk tanah berlanau/berlempung.
3) Parameter lain yang mungkin diperlukan adalah uji konsolidasi untuk mendapatkan
indeks kompresi dan uji pemadatan tanah untuk mengetahui kepadatan tanah
maksimum agar diperoleh timbunan yang stabil dan kuat/padat.
Evaluasi hasil inventarisasi dan identifikasi bertujuan untuk mendapatkan data dan
informasi yang akurat tentang permasalahan bendung gerak serayu baik kerusakan dan
potensinya serta perbaikan terkait hidromekanikal, elektrikal, dan komputerisasi Bendung
Gerak Serayu. Hal yang dilakukan antara lain :
1. Menganalisis studi-studi terdahulu yang telah dilakukan sebelumnya pada bendung
gerak serayu terkait sistem komputerisasi dan hidromekanikal, elektrikalnya.
2. Mendapatkan As-buit Drawing Bendung Gerak Serayu terkait dengan survey
sedimentasi dan kondisi eksisting bendung saat ini.
3. Melakukan dan mendapatkan hasil survey uji kualitas air.
4. Melakukan dan mendapatkan hasil survey terkait instrumen Bendung Gerak Serayu.
5. Melakukan dan mendapatkan hasil pemeriksaan dan identifikasi kondisi terkini
bendung gerak, banjir, kondisi hilir bendung, sayap bendung, pintu radial, dan
seluruh fasilitasnya perlengkapan hidromekanikal, disetiap pintu, serta sistem
komputerisasi bendung.
6. Melakukan dan mendapatkan hasil inventarisasi dan evaluasi terhadap jenis, jumlah,
dan kondisi instrumentasi monitoring bendung.
Analisis hidrologi dilakukan untuk memperoleh hidrograf banjir rencana dengan metode
transformasi hujan−aliran. Secara prinsip metode transformasi hujan−aliran untuk
memperoleh hidrograf banjir rencana setiap subDAS adalah sebagai berikut:
QT Peff T UH BF
dengan:
QT = hidrograf banjir rencana
PeffT = hujan efektif rencana
UH = hidrograf satuan
BF = base flow
Saat ini telah banyak dikembangkan software untuk melakukan analisis hidrologi dengan
transformasi hujan aliran, diantaranya adalah HEC-HMS versi 3.3.
Hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses hidrologi, karena
hujan ini yang akan dialihragamkan (transformed) menjadi aliran di sungai, baik melalui
limpasan permukaan (surface runoff), aliran antara (interflow, sub surface flow) maupun
sebagai aliran tanah (ground water flow). Oleh karena itu pengukuran hujan harus dilakukan
dengan secermat mungkin. Jumlah hujan yang dimaksud adalah seluruh hujan yang terjadi
di dalam DAS tersebut. (Sri Harto, 2000).
Hujan ekfektif (effective rainfall/ excess rainfall) adalah hujan yang mengakibatkan limpasan
langsung (direct runoff). Besarnya hujan efektif dapat didekati dengan mengurangkan tinggi
hujan yang jatuh (Precipitation) dengan losses.
Data hujan yang akan dianalisis adalah data hujan harian. Apabila data hujan yang tersedia
lebih dari 20 tahun, maka setiap tahun diambil satu data hujan harian maksimum, untuk
selanjutnya dilakukan analisis frekuensi data hujan harian maksimum. Akan tetapi apabila
panjang rekaman data hujan kurang dari 20 tahun, maka setiap tahun diambil lebih dari satu
data hujan harian tertinggi.
Satu seri data hujan untuk satu stasiun tertentu, dimungkinkan sifatnya tidak konsisten,
sehingga tidak dapat langsung digunakan untuk analisis. Sri Harto (2000), memberikan
berbagai kemungkinan penyebab ketidakkonsistenan tersebut, yaitu:
1. Alat ukur diganti dengan spesifikasi yang berbeda, atau alat yang sama akan tetapi
dipasang dengan patokan aturan yang berbeda.
2. Alat ukur dipindahkan dari tempat semula, akan tetapi secara administratif nama
stasiun tersebut tidak diubah, misalnya karena masih dalam satu desa yang sama.
3. Alat ukur sama, tempat tidak dipindahkan, akan tetapi lingkungan yang berubah,
misalnya semula dipasang ditempat yang ideal, akan tetapi kemudian berubah
karena ada bangunan atau pohon besar yang terlalu dekat.
Berdasarkan penelitian yang telah dikembangkan pada lebih 600 stasiun hujan di Pulau
Jawa, terdapat 15% stasiun yang memiliki data hujan tidak konsisten.
Untuk data hujan yang tidak konsisten, sebelum dianalisis perlu dilakukan koreksi. Cara
koreksi yang paling mudah dan telah lama digunakan adalah cara grafis, dengan analisis
kurva ganda (double mass curve analysis). Cara ini menggunakan acuan data rata-rata
stasiun-stasiun hujan di sekitarnya untuk menguji konsistensi data suatu stasiun hujan.
Apabila data stasiun yang diuji konsisten, maka garis yang terbentuk merupakan garis lurus
dengan kemiringan yang tidak berubah, tetapi apabila garis tersebut menunjukkan
kemiringan yang berubah, maka telah terjadi perubahan sifat data hujan pada tahun
tersebut, sehingga data tidak konsisten. Untuk itu perlu dilakukan koreksi sebagai berikut:
= S1/S2
dengan:
= faktor koreksi
S1 = kemiringan sesudah perubahan
S2 = kemiringan setelah perubahan
GAMBAR 4-11 CONTOH TIPIKAL DOUBLE MASS CURVE (DATA HUJAN KONSISTEN)
GAMBAR 4-12 TIPIKAL DOUBLE MASS CURVE (DATA HUJAN TIDAK KONSISTEN)
Sri Harto (2000), memberikan beberapa cara yang biasa digunakan untuk memperoleh
hujan DAS, yaitu:
1. Rata-rata Aljabar
Untuk memperoleh besaran hujan DAS dengan cara rata-rata aljabar, dilakukan
dengan merata-ratakan data hujan dari semua stasiun yang berada dalam DAS. Cara
ini paling mudah, akan tetapi hasilnya dipandang paling tidak teliti. Hujan DAS
dengan rata-rata aljabar diperoleh dengan:
1
Hd Hi
N
Keterangan :
Hd = hujan DAS (mm)
Hi = hujan masing-masing stasiun (mm)
N = jumlah stasiun
2. Poligon Thiessen
Cara hitungan dengan poligon Thiessen dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
a. semua stasiun hujan dihubungkan dengan garis lurus, sehingga terbentuk
beberapa segitiga. Hendaknya dihindari terbentuknya segitiga tumpul,
b. dalam masing-masing segitiga ditarik garis sumbu di masing-masing sisinya,
c. poligon Thiessen adalah luasan yang dibatasi oleh masing-masing garis sumbu,
atau yang dibatasi oleh garis sumbu dan batas DAS.
d. Hujan DAS didapat dengan menggunakan persamaan:
H d H i
Li
L
Keterangan :
= koefisien Thiessen
Li = luas masing-masing poligon, dalam km2
L = luas DAS, dalam km2
Perhitungan hujan rencana menggunakan analisis frekuensi data hujan. Analisis frekuensi
data hujan terdiri dari dua cara, yaitu annual maximum series dan partial maximum series.
Untuk annual maximum series idealnya tersedia panjang data hujan minimal 20 tahun.
Selanjutnya diambil data hujan maksimal tiap tahunnya untuk dilakukan analisis frekuensi.
Dalam kasus tertentu, sering sekali tidak tersedia data hujan sepanjang 20 tahun. Hal ini
disiasati dengan menggunakan metode partial maximum series. Dari data hujan tahunan
yang tersedia, diambil beberapa hujan maksimum tiap tahun untuk selanjutnya dilakukan
analisis frekuensi.
Analisis frekuensi hujan digunakan guna menentukan periode ulang hujan rencana yang
tertentu, yaitu menunjukkan kemungkinan besarnya curah hujan akan tersamai atau
terlampaui selama periode waktu tertentu Beberapa sebaran yang akan digunakan dalam
melakukan analisis frekwensi antara lain adalah:
1. Sebaran normal
2. Sebaran log normal
3. Sebaran log pearson III
4. Sebaran gumbel
Untuk memilih jenis sebaran yang sesuai terhadap suatu seri data tertentu, perlu diselidiki
parameter - parameter statistiknya. Adapun parameter-parameternya tersebut adalah :
Y i
Yr = N
N
(X
i 1
i X )2
S = N 1
S
Cv = Yr
N
( N 1)( N 2) S 3
(Y Y )
i r
3
Cs =
N2
( N 1)( N 2)( N 3) S 4
(Y Y )i r
4
Ck =
dengan :
Yi = data hujan R24 maksimum pada tahun ke - i
Yr = rata-rata dari suatu seri data hujan
N = jumlah data hujan
S = standar deviasi
Cv = Koefisien variasi
Cs = Koefisien asimeteri
Ck = koefisien kurtosis
Penelitian jenis sebaran dilakukan dengan mencocokan nilai parameter-parameter statistik
tersebut dengan syarat-syarat dari masing-masing jenis sebaran. Adapun syarat-syarat
tersebut adalah
1. Distribusi normal
Sifat khusus distribusi ini adalah harga asimeteri mendekati nol (Cs = 0), dan dengan
kurtosis mendekati tiga (Ck = 3). Sifat yang lainnya adalah:
P ( X - S) = 15,87 %
P(X) = 50 %
P(X + S) = 84,14 %
2. Distribusi Log Normal
Distribusi Log-Normal memiliki nilai asimetris mendekati 3 (tiga) kali koefisien variasi;
(Cs = 3Cv), dan Cs selalu positif
3. Distribusi Gumbel
Sifat dari distribusi Gumbel, yaitu koefisien asimeteri (C3) = 1,1396, dan koefisien
kurtosis (Ck) = 5,4002
4. Distribusi Log Pearson III
DK = derajat kebebasan,
K = banyak kelas,
P = banyaknya keterkaitan, untuk distribusi Chi-kuadrat = 2
Apabila data otomatik tidak tersedia, distribusi hujan dapat ditentukan dengan model
distribusi hipotetik (Chow, 1988) seperti: uniform, segitiga, bell shape, ataupun alternating
block method. Sedangkan durasi hujan dapat didekati dengan waktu konsentrasi, tc dengan
rumus yang ada seperti berikut:
1. Rumus Kirpich
tc 0.0663 L0.77 S 0.385 ( jam)
2. Australian rainfall-runoff
tc 0,76A0 ,38
Keterangan:
A = luas DAS (km2)
L = panjang sungai utama (km)
S = landai sungai utama
4.5.2.1.6 Losses
Terdapat beberapa metode untuk menghitung losses, salah satunya adalah metode SCS-CN.
Metode SCS-CN diberikan oleh persamaan berikut:
1000
S 25.4
CN 10
Ia 0.2S
P I a 2
Pe
P Ia S
dimana:
CN = curve number
S = potensial retensi maksimum
Ia = initial abstraction
Pe = total hujan efektif pada saat t
P = total kedalaman hujan pada saat t
Menurut Sri Harto (2000), hidrograf satuan diartikan sebagai hidrograf limpasan langsung
(direct runoff hydrograph) yang dihasilkan oleh hujan efektif yang terjadi merata diseluruh
DAS dengan intensitas tetap dalam satu satuan waktu tertentu. Dengan pengertian tersebut
dapat diambil asumsi dalam teori hidrograf satuan, sebagai berikut:
1. Hujan terjadi merata di seluruh DAS (evenly distributed), dan intensitas tetap pada
setiap interval waktu (constant intensity)
2. Hujan terjadi kapan pun, tidak berpengaruh terhadap proses transformasi hujan
menjadi debit/hidrograf (time invariant)
3. Debit/hidrograf berbanding lurus dengan hujan, dan berlaku asas superposisi (linear
system)
4. Waktu resesi (waktu dari akhir hujan sampai akhir limpasan langsung) selalu tetap
Untuk mendapatkan hidrograf satuan, dibutuhkan data pengukuran hidrograf banjir dan
hujan yang terjadi pada saat bersamaan terjadinya banjir. Apabila tidak terdapat data
tersebut, maka hidrograf satuan dapat dicari dengan metode hidrograf satuan sintetik.
Beberapa contoh hidrograf satuan sintetik (HSS) yang telah dikembangkan adalah HSS
Gama I dan HSS Nakayasu.
t
Qt QPe K
T0.3 t g
dengan:
Qp = debit puncak banjir
A = luas DAS (km2)
Re = curah hujan efektif (1 mm)
Tp = waktu menuju puncak
T0.3 = waktu dari puncak sampai 0.3 kali debit puncak
tg = waktu konsentrasi
Besarnya base flow dapat diperoleh dari data pencatatan debit yang tersedia, apabila tidak
terdapat data pencatatan debit, besarnya base flow dapat diperoleh dengan persamaan
empiris. Salah satunya dengan menggunakan base flow pada metode HSS Gama I.
Pada analisis menggunakan metode HSS Gama I, besarnya base flow (QB) diberikan oleh:
QB 0,4571A0,644D0,9430
Analisis hidrulika pada pekerjaan ini mencakup analisis hidraulika pada saluran terbuka,
yaitu penelusuran aliran (channel routing) untuk memprediksi besarnya muka air, dan juga
analisis pola sedimentasi. Alur pelaksanaan analisis hidraulika dapat dilihat pada Gambar
4-15.
Berdasarkan Gambar 4-15 diketahui bahwa masukan data analisis hidraulika terdiri dari:
1. Data pasang surut
2. Data hidrograf banjir rencana
3. Data sedimen
4. Data topofrafi
5. Data desain bangunan
Saat ini telah banyak dikembangkan paket pemrograman yang berkaitan dengan analisis
hidraulika, baik itu 1−dimensi, 2−dimensi atau 3−dimensi. Untuk keperluan perhitungan
muka air banjir di saluran, cukup digunakan paket pemrograman 1−dimensi, sedangkan
untuk pola transpor sedimen sebaiknya menggunakan paket pemrograman 2 atau
3−dimensi. Tetapi terkadang paket pemrograman 1−dimensi sudah dianggap cukup untuk
melakukan perhitungan pola transpor sedimen.
Paket pemrograman 1−dimensi yang saat ini banyak digunakan adalah paket pemrograman
Hydrologic Engineering Centre (HEC) River Analysis System (RAS). Paket pemrograman ini
merupakan paket pemrograman yang mampu melakukan perhitungan muka air kondisi
steady (konstan), perhitungan aliran unsteady (tak-konstan), perhitungan transpor sedimen
dan pemodelan kualitas air. Saat ini versi terbaru dari HEC-RAS adalah versi 4.1, yang dapat
diunduh secara bebas pada www.hec.usace.army.mil.
AT Q
ql 0
t x
Q QV z
gA S f 0
t x x
Dalam perencanaan saluran stabil menggunakan paket pemrograman HEC-RAS versi 4.1,
terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu: Copeland, Regime dan tractive force.
*o 0,22Y 0,06107,7Y
Y S s 1Rg 0, 6
3
gd 50
Rg
v
1d d
84 50
2 d 50 d16
Metode Regime adalah metode yang murni empiris, dan dalam HEC-RAS metode ini
menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Blench (1975). Metode Regime
mendefinisikan suatu saluran menjadi stabil ketika neto gerusan atau deposisi dalam satu
tahun mendekati nol.
Metode Regime untuk desain saluran stabil pertama kali dikembangkan dari studi
perencanaan irigasi di Pakistan dan India, dan didasarkan pada beberapa persamaan
empiris, yang pada prinsipnya persamaan tersebut menganggap kedalaman, lebar dan
kemiringan sebagai fungsi dari debit dan ukuran butir sedimen.
Persamaan pada Metode Regime khusus digunakan pada saluran yang mempunyai dasar
berupa pasir. Sebagai tambahan, Metode Regime membutuhkan masukan data berupa
konsentrasi sedimen dan beberapa informasi komposisi bantaran. Tiga persamaan Metode
Regime, yaitu:
0,5
F Q
B B
FS
1
F Q 3
D S 2
FB
FB0,875
S
3,63g C
B 0, 25 D 0,125 1
0 , 25
2330
D = kedalaman saluran
B = lebar saluran
S = kemiringan saluran
Q = debit
d50 = ukuran butiran material rata-rata
C = konsentrasi sedimen
= viskositas kinematik
FB = faktor dasar
FS = faktor tebing
Metode Regimen hanya dapat diaplikasikan pada saluran lurus dengan komposisi material
dasar berupa lanau sampai pasir halus. Sebagai tambahan Blench menyarankan Metode
Regime sebaiknya hanya diaplikasikan pada keadaan sebagai berikut:
1. Tebing tidak terlalu kasar, sehingga friksi hanya diasumsikan terjadi karena gaya
viskos
2. Lebar dasar kurang dari 3 kali kedalaman
3. Kemiringan tebing konstan
4. Debit konstan
5. Angkutan sedimen dasar konstan
6. Angkutan sedimen dasar merupakan non-cohesive
7. Aliran berupa aliran subkritik
8. Ukuran butir sedimen relatif kecil dibandingan dengan kedalaman air
Metode Tractive Force adalah suatu skema analitis yang mendefinis ikan stabilitas
saluran sebagai tidak adanya lagi gerakan angkutan dasar yang cukup besar. Pada
prinsipnya metode ini mendefinisikan kapan gerakan partikel sedimen dimulai.
Gaya tractive dapat didefinisikan sebagai resistensi akibat gaya friksi, atau biasa
disebut tegangan gesek atau gaya geser, dan direpresentasikan pada persamaan
berikut:
o RS
o = Gaya tractive per satuan luas basah
= berat satuan air
R = radius hidraulik
S = kemiringan
Saluran dikatakan stabil apabila gaya tractive pada suatu tampang melintang saluran lebih
kecil dari tegangan gesek kritis.
Dalam disain bangunan pengendali banjir diperlukan informasi mengenai karakter tanah
beserta parameter teknis tanah seperti kuat geser, permeabilitas ataupun modulus tanah.
Semua data-data tersebut dilakukan untuk mengevaluasi besarnya kemampuan tanah
dalam mendukung bangunan atau beban yang mungkin terjadi selama masa layan
konstruksi tersebut.
Semua bangunan atau sistim konstruksi yang akan dipilih dalam pengendalian banjir
mempunyai beban kerja masing-masing sesuai dengan fungsi dan karakternya. Agar
bangunan tersebut dapat tetap berfungsi dengan baik seperti rencana maka beban-beban
yang terjadi harus masih dalam batas-batas kemampuan daya dukung tanah.
Nilai daya dukung tanah ini umumnya digunakan dengan beberapa kriteria seperti
keruntuhan umum, keruntuhan lokal ataupun penurunan maksimum yang masih diijinkan.
Besarnya daya dukung tanah terhadap sebuah beban atau fondasi salah satunya dapat
didekati dengan menggunakan persamaan Bowles, Terzaghi, Brich Hansen dan lain-lain.
Berbagai pendekatan tersebut nantinya harus dipilih dan dilakukan secara tepat agar daya
dukung tanah nantinya dapat tercapai seperti yang direncanakan.
Daya dukung tanah selain menggunakan data hasil pengujian laboratorium dapat pula
menggunakan hasil pengujian di lapangan. Untuk fondasi di atas lapisan berpasir, Meyerhof
(1956) menyarankan persamaan sederhana dalam menentukan kapasitas dukung izin yang
didasarkan penurunan 1”. Persamaan tersebut didasarkan pada kurva Terzaghi dan Peck
(1943) dan dapat diterapkan untuk fondasi telapak atau fondasi memanjang.
Untuk fondasi bujur dangkar atau fondasi memanjang dengan lebar B 1,20 m,
qc
qa (kg/cm2)
30
Untuk fondasi bujur sangkar atau fondasi memanjang dengan lebar B 1,20 m,
2
q B 0,30 2
qa c (kg/cm )
50 B
dengan qa = kapasitas dukung izin untuk penurunan 2,54 cm (1”) dan qc adalah tahanan
konus dari alat kerucut statis tipe Delf dalam kg/cm 2 dan B adalah lebar fondasi dalam
meter. Tahanan konus (qc), diambil nilai qc rata-rata pada kedalaman 0 sampai B dari dasar
fondasi. Persamaan-persamaan di atas didasarkan hubungan qc = 4N, dengan N diperoleh
dari uji SPT.
Daya dukung tanah umumnya digunakan sebagai batas kemampuan tanah dalam
mendukung beban dan belum tentu memberikan informasi mengenai besarnya penurunan
yang terjadi. Beberapa bangunan pada umumnya selain faktor kekuatan juga memberikan
kriteria lain yaitu besarnya penurunan maksimum yang masih dapat ditoleransi. Untuk itu
pada beban rencana perlu diperkirakan besarnya penurunan maksimum. Nilai penurunan ini
umumnya harus memenuhi syarat tertentu berdasarkan standar lokal atau nilai-nilai yang
telah disepakati antara disiplin ilmu pada suatu obyek.
Penurunan pada semua konstruksi secara umum dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu
penurunan immediate (segera) atau penurunan elastis dan penurunan konsolidasi (pada
umumnya hanya ditinjau untuk tanah lempung). Dalam kondisi khusus atau tertentu
besarnya penurunan konsolidasi sekunder juga perlu diperhatikan.
3
3
100
100
q
q
L
2.5 L 50
2.5 D 50
D
H 20
2 H B 20
2 B
10
Tanah 10
Tanah keras
keras
mm1 1
1.5
1.5 5
5
1 2 = L/B
1 2 = L/B
Bujur sangkar
Bujur sangkar
0.5
0.5
Lingkaran
Lingkaran
0
0
0.1
0.1 1
1 10
10 100
100 1000
1000
H/B
H/B
1
1
0.9
0.9
0.8
0.8
mm0 0
0.7
0.7 L/B
L/B
1
1
2
2
5 10 20
5 10 20
50
50
100
100
200
200
0.6
0.6
0.5
0.5
0.1
0.1 1
1 10
10 100
100 1000
1000
D/B
D/B
GAMBAR 4-17 GRAFIK FAKTOR KOREKSI (JANBU, BJERRUM DAN KJAERNSLI, 1956)
Salah satu metode untuk memperkirakan penurunan segera diusulkan oleh Janbu, Bjerrum,
dan Kjaernsli (1956). Persamaan penurunan-segera rata-rata pada beban terbagi rata
fleksibel berbentuk empat persegi panjang dan lingkaran yang terletak pada tanah elastis,
homogen, dan isotropis dengan tebal terbatas sebagai berikut :
dengan:
e = perubahan angka pori akibat pembebanan
e0 = angka pori awal
e1 = angka pori saat berakhirnya konsolidasi
H = tebal lapisan tanah yang ditinjau.
Apabila suatu bangunan telah memenuhi aspek daya dukung dan penurunan yang terjadi
maka perlu dilakukan suatu tinjauan terhadap stabilitas bangunan seperti terhadap longsor,
dorongan ataupun gulingan yang mungkin terjadi. Dalam tinjauan longsor dapat
dimaksudkan sebagai kondisi stabilitas lereng dari sistim secara keseluruhan terhadap faktor
aman.
Metode yang cukup populer dan banyak dipakai dalam evaluasi stabilitas lereng adalah
metode Bishop yang disederhanakan. Metode Bishop disederhanakan (Bishop, 1955)
menganggap bahwa gaya-gaya yang bekerja pada sisi-sisi irisan mempunyai resultan nol
pada arah vertikal. Persamaan kuat geser dalam tinjauan tegangan efektif yang dapat
dikerahkan tanah, hingga tercapainya kondisi keseimbangan batas dengan memperhatikan
faktor aman, adalah:
tg '
u
c'
F F
dengan adalah tegangan normal total pada bidang longsor dan u adalah tekanan air pori.
Sehingga untuk tinjauan dengan jumlah irisan i maka persamaan faktor aman untuk analisis
stabilitas lereng cara Bishop:
i n
c' bi Wi ui bi tg ' cos 1 tg tg ' / F
1
F i 1 i i
i n
Wi sin i
i 1
dengan,
F = faktor aman
c’ = kohesi tanah efektif (kN/m2)
’ = sudut gesek dalam tanah efektif (derajat)
PPP (Public Private Partnership), yakni bentuk kemitraan antara pihak pemilik aset dengan
Badan Usaha Swasta.
PPPP (Public Public and Private Partnership), yakni bentuk kemitraan antara pihak
pemerintah daerah dengan pemerintah lain serta dengan pihak swasta.
Dalam upaya melaksanakan kerjasama (partnership) antar pemerintah daerah dan atau
dengan Perusahaan Daerah yakni PDAM yang melibatkan pihak swasta dalam pengelolaan,
maka prinsip-prinsip kerjasama (partnership) ada enam matra, antara lain:
Saling Menguntungkan, Dalam pelaksanaan kerjasama antar pemerintah daerah dan PDAM
yang melibatkan pihak swasta harus saling menguntungkan (win-win solution).
Net Present Value (NPV) adalah selisih antara penerimaan (benefit) dengan pengeluaran
(cost) yang telah dihitung nilainya pada saat ini atau dihitung nilai sekarangnya. Dalam hal
ini, suatu proyek akan dipilih jika nilai NPV lebih besar daripada nol. Persamaan untuk
menghitung NPV adalah sebagai berikut:
n
Bt Ct
NPV
t 1 1 i t
dengan:
Bt = merupakan penerimaan pada tahun ke-1 sampai dengan tahun ke-n
Ct = adalah biaya pada tahun ke-1 sampai dengan tahun ke-n
i = merupakan tingkat bunga
t = merupakan jumlah tahun
Net B/C Ratio merupakan perbandingan antara penerimaan (benefit) bersih dari
tahun yang bersangkutan yang telah di-present value-kan. Dengan biaya bersih
dalam tahun dimana Bt – Ct yang telah di-present value-kan. Kriteria ini
menyebutkan bahwa proyek akan berjalan baik jika Net B/C Ratio lebih besar
daripada satu. Net B/C Ratio dapat dirumuskan sebagai berikut :
Bt Ct
n
1 i UntukBt Ct 0
t 1
t
NetB / C
Ct Bt
n
1 i UntukBt Ct 0
t 1
t
dengan:
Bt = merupakan penerimaan pada tahun ke-1 sampai dengan tahun ke-n
Ct = merupakan biaya pada tahun ke-1 sampai dengan tahun ke-n
i = merupakan tingkat bunga,
dengan:
Bt = merupakan penerimaan pada tahun ke-1 sampai dengan tahun ke-n
Ct = merupakan biaya pada tahun ke-1 sampai dengan tahun ke-n
i = merupakan tingkat bunga,
t = merupakan jumlah tahun.
NPV1
IRR i' i' 'i'
NPV1 NPV 2
dengan:
IRR = adalah Internal Rate of Return
i’ = merupakan discount rate untuk NPV positif,
i’’ = merupakan discount rate untuk NPV negatif.
NPV1 = adalah Net Present Value positif pada tingkat bunga i’,
NPV2 = adalah Net Present Value negative pada tingkat bunga i’.
Secara garis besar Pekerjaan Studi Investigasi Waduk Cilutung terdiri dari :
1. Pemasangan Benchmark berupa patok tetap dari beton.
2. Pengukuran GPS Geodetic.
3. Penentuan Koordinat X , Y diperoleh dari BM yang terletak pada bendung.
4. Pengukuran Sipat Datar (Waterpass)
5. Pengukuran situasi sungai dari as bendung ke hulu sungai sepanjang ± 3 km
6. Pengukuran situasi sungai dari as bendung ke hilir sepanjang ± 2 km
7. Pengukuran Trase rencana alternatif jaringan suplesi air baku
8. Perhitungan
9. Penggambaran
10. Laporan
5.2 PERSIAPAN
Pekerjaan persiapan dilakukan untuk mempersiapkan segala hal yang dapat memperlancar
jalannya pekerjaan pengukuran. Pada tahap persiapan ini selain dilakukan penyiapan alat
dan personil, juga dilakukan koordinasi dengan pihak Proyek, hal ini dimaksudkan untuk
mengumpulkan informasi dan penegasan lokasi, batas lokasi serta untuk mendapatkan ijin
baik dari pihak proyek maupun pemerintah setempat.
Survei pendahuluan dilaksanakan untuk mengetahui keadaan medan sehingga cara teknik
dan peralatan pendukung dapat ditentukan, personil yang terlibat adalah : pihak Proyek,
Team Leader, Ahli Hidrologi, Ahli Geodesi dan Chief Surveyor.
Paton beton yang dibuat dan ditanam ada dua jenis, yang pertama patok beton yang
berukuran 20 cm x 20 cm x 100 cm yang lebih sering disebut dengan Bench Mark (BM),
kemudian yang kedua adalah patok beton yang mempunyai ukuran 10 cm x 10 cm x 80 cm
atau yang lebih sering disebut dengan Control Point (CP).
Kedua patok beton tersebut mempunyai fungsi yang sama, yaitu untuk menyimpan data
koordinat, baik koordinat horizontal (X,Y) maupun elevasi (Z). Karena fungsinya tersebut,
maka patok-patok beton ini diusahakan ditanam pada kondisi tanah yang stabil dan aman.
BM dipasang atau ditanam di kanan dan di kiri pada lokasi tersebut. Sedangkan patok beton
jenis CP dipasang pada setiap interval kurang lebih 50 meter pada posisi kanan dan kiri .
BM dan CP ini masing-masing mempunyai nomenklatur atau kode sehingga pihak pengguna
nanti tidak mengalami kesulitan. Untuk lebih memudahkan si pengguna kedua jenis patok
beton ini dibuatkan diskripsi-nya. Dalam diskripsi ini termuat sketsa lokasi di mana patok
beton ini berada, nilai koordinatnya serta bentuk visual atau foto-nya.
Sudut diukur dengan menggunakan alat ukur Total Station Sokkia Set 2C. Pengukuran sudut
dapat dijelaskan dengan gambar II-1 berikut ini :
Sudut yang dipakai adalah sudut dalam yang merupakan hasil rata-rata dari pengukuran I
dan II.
4
d4
5 d d3
e
d5
c 3
6 f
d2
d6
b
a
1 2
d1
Sudut = (n - 2) x 360
dimana :
Sudut = jumlah sudut dalam
n = jumlah titik poligon
a,b,c,d...f = besar sudut
d1,d2,...d6 = jarak antar titik poligon
= kesalahan sudut yang besarnya sudut ditentukan (104n)
Koordinat masing-masing titik poligon dihitung dengan persamaan dari gambar berikut :
Utara
B
(Xb, Yb)
ab
dab
A
(Xa, Ya)
Pengukuran waterpass dilakukan untuk mengetahui perbedaan ketinggian antara dua titik,
sehingga apabila salah satu titik diketahui ketinggiannya maka titik selanjutnya dapat
diketahui ketinggiannya, hal tersebut dapat dijelaskan dengan gambar sebagai berikut :
A
GAMBAR 5-4MODEL MATEMATIS OBSERVASI BEDA TINGGI
HA-B = bb - bd
dimana :
HA-B = beda tinggi antara titik A dan titik B
bb = bacaan rambu belakang
bd = bacaan rambu depan
A, B = titik yang di observasi
d1 b
c
d2
d3
s2 s3
s1
P11 P12
dimana :
P10,P11,P12 = titik - titik poligon
S1,S2,S3 = sudut ikat masing-masing titik detil
d1,d2,d3 = jarak sisi masing-masing titik detil
a, b, c = titik - titik detil
Detil-detil tersebut diukur dengan menggunakan alat Total Station dan Theodolith Wild T0.
Jarak dan beda masing-masing sisi dan titik detil diukur dengan methode Tachimetry seperti
pada gambar berikut ini :
Dm
Dtgh bt
h D
ti B
AB = Dtgh + ti - bt
dimana :
Cross Section pada daerah Dam Site dimaksudkan untuk mengetahui kondisi tampang
permukaan tanah pada posisi tegak lurus terhadap as sungai cross section ini diukur dengan
menggunakan alat ukur Theodolith Wild-T0 seperti pada gambar berikut ini :
5 BM-1
BM-0 4
h
3
i 2
1
g a
b
f d
e c
dimana :
A = penempatan instrumen
1,2,3,......15 = titik detil permukaan tanah atau tempat penempatan
rambu
Untuk daerah yang datar digunakan alat waterpass.
Penggambaran draf dilakukan pada kertas millimeter kemudian didigitasi diatas meja
digitizer sehingga menjadi data digital. Pencetakan dilakukan dengan plotter diatas kertas
kalkir ukuran A1. Gambar-gambar dilengkapi dengan penunjuk arah utara, legenda, skala,
kop, judul gambar disertai dengan kelengkapan yang diperlukan lainnya.
Fasilitas Mekanikal dan Elektrikal Bendung Gerak Serayu terdiri dari fasilitas utama dan
fasilitas pendukung. Untuk lebih jelas tentang sistem bendung gerak dapat diuraikan pada
skema dibawah ini.
GAMBAR 6-1 SKEMA SISTEM MEKANIKAL DAN ELEKTRIKAL BENDUNG GERAK SERAYU
Kondisi Radial Gate dapat dibuka secara otomatis, semi otomatis, dan manual. Secara garis
besar kondisi Radial Gate masih dalam kondisi baik. Ada sedikit permasalahan pada pintu
radial gate, yaitu:
1. Alat ATR yang sudah tidak berfungsi di beberapa pintu
2. Silt karet yang sudah habis, sehingga mengakibatkan kebocoran
Pada dasarnya kondisi vertikal gate masih baik. Untuk lebih jelas tentang hasil inventarisasi
kegiatan mekanikal, elektrikal, dan sistem komputerisasi bendung gerak dapat dilihat pada
tabel dibawah ini.
Radial Gate Bekerja Manual Seal karet Botom & Side Sensor Angle Transmitter Rivert (ATR)
Normal Kebocoran minor pada sambungan pada pintu(…) rusak tidak bisa
/joint bolt ( 36-20 dan 30-16)/sil memantau tinggi bukaan secara
Valve pengatur kecepatan extend & otomatis Kontrol Otomatis tidak
revert mengalami keausan bekerja optimal
Beberapa meter % pada control panel
elektrik rusak
PLC controller tidak difungsikan
Flap Gate Bekerja Manual Kebocoran minor pada sambungan / -
Normal joint bolt ( 36-20 dan 30-16) / sil
TABEL 6-1 HASIL RESUME DARI INVENTARISASI INSTRUMENTASI SISTEM BENDUNG GERAK SERAYU
Kondisi flap gate secara garis besar juga masih dalam kondisi baik, hanya saja ada sedikit
kebocoran pada pintu karena silt karet yang sudah tipis.
Untuk kegiatan investigasi tanah akan dilakukan bor mesin dengan kedalaman 20 m untuk
rencana pembuatan groundsill.
Untuk rencana water sampling akan dilakukan dengan jumlah 9 sampel yang terdiri dari :
1. 2 titik dihulu bendung terdiri dari 4 sampel
2. 3 titik di lokasi hilir bendung (terkait pengambilan untuk air baku)
100%
I Kegiatan Pendahuluan 6,60
1. Persiapan Kerja 1,20 1,20
2. Survei Geoteknik dan Mekanika Tanah 6,00 1,50 1,50 1,50 1,50
2. Penggambaran Profil & Situasi Detail Lokasi Bendung & Suplesi 4,50 1,13 1,13 1,13 1,13
3. Remedial dan Pembuatan Bangunan Pengaman dan Lainnya 3,60 0,60 0,60 0,60 0,60 0,60 0,60
4. Pembuatan Desain Awal Jaringan Suplesi Air Baku 3,60 0,72 0,72 0,72 0,72 0,72
40%
5. Pembuatan Pedoman Operasi & Pemeliharaan 3,00 0,75 0,75 0,75 0,75
6. Pembuatan Spektek, Nota Desain, BoQ & RAB 3,00 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50
3. Laporan System Planning dan Perbaikan 4,20 1,05 1,05 1,05 1,05