Anda di halaman 1dari 6

Perhiasan Tradisional

Peninggalan Kasultanan Gowa Sulawesi


Selatan

Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar
dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari
kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan
pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini sekarang berada di bawah
Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini
memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu
melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669)
terhadap VOC yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satu
wangsa Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka. Perang Makassar
bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan
Bugis; demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar.
Perang Makassar adalah perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya pada
abad ke-17.
Peninggalan Kerajaan Gowa
Accera Kalompoang merupakan upacara adat untuk membersihkan benda-
benda pusaka peninggalan Kerajaan Gowa yang tersimpan di Museum Balla
Lompoa. Inti upacara disebut allangiri kalompoang, yaitu pembersihan dan
penimbangan salokoa (mahkota) yang dibuat pada abad ke-14. Benda-benda
kerajaan yang dibersihkan di antaranya:

1. Salokoa (Mahkota Raja Gowa)


Salokoa, atau mahkota Raja, memiliki berat 1768 gram, terbuat dari emas
murni, dan ditaburi 250 berlian, Mahkota ini berasal dari Raja Gowa Pertama
Tumanurung Baineyya ri Tamalate pada Abad ke 13 Masehi.
2. Ponto janga-jangaya (Gelang emas berkepala naga)

Terbuat dari emas murni yang berat seluruhnya 985,5 gram, bentuknya
seperti Naga yang melingkar sebanyak 4 buah. Dinamai “Mallimpuang” yang
berkepala naga satu dan “Tunipalloang” yang berkepala naga dua, benda ini
merupakan benda “Gaukang” (kebesaran Raja) di Gowa dan dipakai pada
pergelangan tangan, Benda ini berasal dari Tumanurunga.
3. Tobo Kaluku (Rante manila)

Tobo kaluku atau rante manila dengan berat 270 gram


4. Kolara (Kalung kebesaran)

Kolara (kalung kebesaran) yang terbuat dari emas murni seberat 2.182 gram
5. Bangkarak ta‘roe (Anting-anting emas murni

6. Kancing gaukang (Kancing emas)


7. Panyanggaya barangan (Tombak rotan berambut ekor kuda)

8. Lasippo (Parang besi tua)

9. Tatarapang (Keris emas yang memakai permata)

10. Sudanga (Senjata sakti sebagai atribut raja yang berkuasa)

Khusus untuk senjata-senjata pusaka seperti keris, parang dan mata tombak,
pencuciannya diperlakukan secara khusus, yakni digosok dengan minyak
wangi, rautan bambu, dan jeruk nipis. Pelaksanaan upacara ini disaksikan
oleh para keturunan Raja-Raja Gowa, dan masyakat umum dengan syarat
harus berpakaian adat Makassar pada saat acara.
Penimbangan salokoa atau mahkota emas murni seberat 1.768 gram
(Mahkota ini pertama kali dipakai oleh Raja Gowa, I Tumanurunga, yang
kemudian disimbolkan dalam pelantikan Raja- Raja Gowa berikutnya) dengan
diameter 30 cm dan berhias 250 butir berlian.
Makna penimbangan ini merupakan petunjuk bagi kehidupan mereka di masa
yang akan datang. Jika timbangan mahkota tersebut berkurang, maka itu
menjadi pertanda akan terjadi (bala) bencana di negeri mereka. Sebaliknya,
jika timbangan mahkota tersebut bertambah, maka itu menjadi pertanda
kemakmuran akan datang bagi masyarakat Gowa. Konon suatu waktu ,
mahkota yang beratnya kurang dari 2 kilogram ini tidak dapat diangkat oleh
siapa pun, bahkan 4 orang sekaligus berusaha mengangkatnya, namun tetap
saja tidak sanggup.
Upacara adat yang sakral ini pertama kali dilaksanakan oleh Raja Gowa yang
pertama kali memeluk Islam, yakni I Mangngarrangi Daeng Mangrabbia
Karaeng Lakiung Sultan Alauddin pada tanggal 9 Jumadil Awal 1051 H. atau
20 September 1605. Meskipun Raja Gowa XIV itu telah memulainya, namun
upacara ini belum dijadikan sebagai tradisi. Raja Gowa XV, I Mannuntungi
Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid
Tumenanga Ri Papambatuna, mentradisikan upacara ini pada setiap tanggal
10 Zulhijjah, yakni setiap selesai shalat Idul Adha. Selanjutnya, Raja Gowa
XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomanggape Sultan
Hasanuddin Tumenanga ri Balla Pangkana yang bergelar Ayam Jantan dari
timur, memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam upacara ini, yakni
penyembelihan hewan kurban. Sejak itu, Raja-raja Gowa berikutnya terus
melaksanakan upacara Accera Kalompoang ini dan sampai sekarang terus
dilaksanakan oleh para keturunan mereka.

Anda mungkin juga menyukai