Anda di halaman 1dari 5

TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK/GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)

1. Arti Penting GCG


Tata kelola perusahaan yang baik merupakan faktor penting dalam memelihara kepercayaan
dan keyakinan para pemangku kepentingan. Zabihollah Rezae dalam bukunya yang berjudul
“Corporate Governance and Ethics” mengikhtisarkan bahwa tujuan utama Corporate
Governance adalah untuk menciptakan keseimbangan pembagian kekuasaan yang tepat
diantara semua partisipan, khususnya Pemilik Modal/Pemegang Saham, Dewan
Pengawas/Badan Pengawas/Dewan komisaris (Dewas, Bawas, Dekom) dan Direksi dalam
mencapai dan meningkatkan nilai saham dengan tetap mempertimbangkan kepentingan
stakeholder lainnya. Pihak-pihak yang memiliki kepentingan pada suatu perusahaan disebut
stakeholders.
Manfaat yang diperoleh dalam melaksanakan Tata kelola perusahaan yang baik, diantaranya
adalah sebagai berikut :
– Meningkatkan kinerja organisasi melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih
baik, meningkatkan efisiensi operasional organisasi, serta lebih meningkatkan pelayanan kepada
pihak yang berkepentingan (stakeholder)
– Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah dan tidak rigid (karena faktor
kepercayaan) yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai organisasi (corporate value)
– Meningkatkan kepercayaan investor/donator untuk menanamkan modalnya.
2. Pengertian GCG
Sebagai sebuah konsep, GCG ternyata tidak memiliki definisi tunggal. Komite Cadburry misalnya
pada tahun 1992-melalui Cadburry report-mengeluarkan definisi tersendiri tentang GCG.
Menurut Komite Cadburry, Good Corporate Governancce adalah prinsip yang mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan
perusahaan dalam memberikan pertanggungjawaban kepada shareholder khususnya dan
stakeholders pada umumnya.
Beberapa Negara mendifinisikan GCG dengan pengertian yang agak mirip walaupun ada sedikit
perbedaan istilah. Kelompok negara maju (OECD), mendefinisikan GCG sebagai cara-cara
manajemen perusahaan bertanggung jawab kepada shareholdernya. Para pengambil keputusan
di perusahaan di perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan keputusannya dan
keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah bagi stakeholders lainnya. Karena itu fokus
utama OECD terkait dengan proses pengambilan keputusan dari perusahaan yang mengandung
prinsip-prinsip GCG transparebcy, responsibility, accountability dan fairness.
Pengertian lain datang dari Finance Committee on Corporate Governance Malaysia. Menurut
lembaga tersebut GCG merupakan suatu proses serta struktur yang digunakan untuk
mengarahkan sekaligus mengelola bisnis dan urusan perusahaan ke arah peningkatan
pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas perusahaan.
The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) mendefinisikan CG sebagai proses
dan struktur yang ditetapkan dalam menjalankan perusahaan dengan tujuan utama
meningkatkan nilai Pemegang Saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan
kepentingan stakeholders yang lain.
Monks 2003, GCG secara definitif merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan
perusahaan yang menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder.
Tata Kelola perusahaan yang baik menurut Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor: PER-
01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate
Governance) pada Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya GCG adalah prinsip-prinsip
yang mendasari suatu proses dan mekanisme pengelolaan perusahaan berlandaskan peraturan
perundang-undangan dan etika berusaha.
Moeljono, 2005, Sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai
tambah (value addes) bagi semua stakeholder. Ada 2 hal yang ditekankan dalam konsep ini,
yaitu pentingnya hak Pemegang Saham untuk memeroleh informasi yang benar (akurat) dan
tepat pada waktunya, serta kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure)
secara akurat, tepat waktu dan transparan terhadap semua informasi kerja perusahaan,
kepemilikan dan stakeholders.
Dari berbagai definisi tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa pendekatan terhadap definisi GCG
lebih ditekankan pada pendekatan hard factors yang mengharuskan adanya infrastruktur serta
kebijakan atau SOP atau peraturan-peraturan yang mendukung penerapan GCG. Disisi lain, TIM
CG Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mendefinisikan Good Corporate
Governance dengan sudut pandang yang sedikit berbeda dengan mencakupkan soft factors
dalam menjelaskan pengertian tersebut.Tata Kelola perusahaan yang baik atau GCG
didefinisikan sebagai komitmen, aturan main serta praktek penyelenggaraan bisnis secara sehat
dan beretika dengan menekankan keharusan adanya komitmen dalam pengaplikasiannya.
Keberadaan kebijakan dan kelengkapan infrastruktur GCG menjadi kehilangan makna tanpa
didasari komitmen untuk melaksanakannya. Disinilah, betapa peran Pemilik Modal/Pemegang
Saham, Dewan/Bawas/Dekom dan Direksi (Top Management) sebagai TOP LEADER menjadi
pendorong dalam kesungguhan pembangunan Perusahaan yang ber-GCG dengan prinsip-
prinsip.
1. Partisipasi
2. Responsibilitas
3. Independen
4. Kewajaran (Fairness)
5. Akuntabilitas
6. Transparansi
Atau disingkat PRIFAT. Penomoran prinsip mulai dari partisipasi sampai dengan transparansi
bukan menggambarkan derajat kepentingan dalam penerapan praktik GCG.

3. Landasan Teori GCG


Teori utama yang terkait dengan corporate governance adalah Agency Theory, Stewardship
Theory dan Stakeholder Theory.
1. Agenchy Theory
Perkembangan tata kelola perusahaan yang berangkat dari teori kegenan (Agency Theory)
dikembangkan oleh Jensen dan Meckling pada tahun 1976. Teori tersebut mendasarkan pada
konflik yang timbul antara principal dan agen. Principal merupakan pihak yang memberikan
mandat kepada agen untuk bertindak atas nama prinsipal, sedangkan agen merupakan pihak
yang diberi amanat oleh prinsipal untuk menjalankan perusahaan.
Agen berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah diamanahkan oleh prinsipal
kepadanya. Manajemen sebagai ‘agents” dianggap akan bertindak untuk kepentingannya
sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap Pemegang Saham.
Adanya pemisahan kepemilikan dan perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen
menimbulkan agency problem (konflik kepentingan).
Sebagai pihak yang mengelola perusahaan, agen mempunyai lebih banyak informasi mengenai
kapasitas perusahaan, lingkungan kerja dan perusahaan secara keseluruhan. Disisi lain prisipal
tidak mempunyai informasi cukup tentang kinerja agen. Hal ini mengakibatkan ketimpangan
informasi antara prinsipal dan agen yang disebut dengan aymmetric information. Hal tersebut
dapat menimbulkan dua permasalahan (Jensen dan Meckling, 1976)
a. Moral Hazard yaitu permasalahan yang terjadi jika agen tidak melaksanakan bersama apa
yang telah disepakati dalam kontrak kerja.
b. Adverse selection yaitu prinsipal tidak dapat mengetahui apakah keputusan yang diambil oleh
agen didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya atau terjadi kelalaian dalam tugas.
2. Stewardship Theory
Tidak seperti teori keagenan, teori stewardship mengasumsikan bahwa manajer adalah
pengelola dengan perilaku yang selaras dengan tujuan principal mereka. Teori ini mendasarkan
pada adanya toleransi yang baik dalam diri seorang manajer. Manajer dipandang setia kepada
perusahaan dan tertarik dalam pencapaian kinerja yang tinggi. Motif dominan, yang
mengarahkan para manajer untuk menyelesaikan pekerjaan mereka, adalah keinginan mereka
untuk melakukan tugas dengan sangat baik. Secara khusus, manajer dipahami sebagai pihak
yang termotivasi oleh kebutuhan untuk mencapai kepuasan intrinsik melalui keberhasilan dalam
melakukan pekerjaan yang menantang, untuk melaksanakan tanggung jawab dan wewenang
dan dengan demikian untuk mendapatkan pengakuan dari pimpinan dan pihak lainnya terhadap
keberhasilannya. Oleh karena itu ada unsur motivator yang bersifat non keuangan bagi manajer.
Teori ini juga berpendapat bahwa sebuah organisasi membutuhkan struktur yang memungkinkan
harmonisasi yang akan dicapai dari hubungan yang efektif antara manajer dan pemilik.
Dengan kata lain, Stewardship theory memandang manajemen sebagai pihak yang dapat
dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik maupun stakeholder.

3. Stakeholders Theory
Stake holder Theory atau Teori Pemangku Kepentingan memposisikan Pemeganag
Saham/Pemilik Modal hanya merupakan salah satu dari sejumlah kelompok stakeholder yang
penting. Sama seperti pelanggan, pemasok, karyawan dan masyarakat lokat. Pemegang saham
memiliki saham di dan dipengaruhi oleh keberhasilan atau kegagalan perusahaan.
Gibson 2000:247 menguraikan dalam jurnalnya bahwa dengan cara yang sama bahwa bisnis
juga memiliki tugas yang berbeda untuk berbagai kelompok pemangku kepentimgan.
Dalam kasus dimana ada konflik kepentingan antara Pemilik Modal/Pemegang saham dengan
stakeholder lainnya, maka kepentingan para Pemilik Modal/Pemegang Saham, harus dimoderasi
atau dikorbankan untuk memenuhi kewajiban dasar bagi pemangku kepentingan lainnya.
Dalam hukum perusahaan, Pemilik Modal/Pemegang saham diberi status unggulan sebagai
pemilik perusahaan. Mereka mampu memilih semua atau sebagian besar anggota Direksi,
memiliki hak untuk mempekerjakan dan memecat para eksekutif senior dan menyetujui atau
menolak kebijakan penting dan strategi perusahaan.
Karena status yang luar biasa dan kendali yang dimiliki oleh Pemilik Modal/Pemegang Saham
berdasarkan hukum perusahaan, teori pemangku kepentingan cenderung mencurahkan
perhatian yang lebih sedikit untuk membela hak-hak Pemilik Modal/Pemegang
Saham.Asumsinya adalah bahwa Pemilik Modal/Pemegang Saham sudah memiliki kekuatan
untuk memastikan bahwa kepentingan mereka diperhitungkan oleh perusahaan dan para
manajernya. Teori stakeholder yang telah mempertimbangkan hak-hak Pemilik Modal/Pemegang
Saham biasanya mencoba untuk menunjukkan mengapa hak-hak ini harus dibatasi oleh hak
atau kepentingan kelompok stakeholder lainnya.
Dari ketiga uraian konsep yang mendasari Good Corporate Governance terlihat bahwa
kesamaannya terletak pada pengamatan pola hubungan atau interaksi antara pemilik
modal/pemegang saham/Dewas/Bawas/Dekom dengan Direksi dalam pemenuhan kepentingan
masing masing pihak. Efektivitas interakti tersebut menciptakan sinergitas hubungan yang
memengaruhi laju pertumbuhan nilai perusahaan secara positif dengan mempertimbangkan
kepentingan stakeholdes lainnya.

4. Prinsip dan Aturan Mengenai GCG di Indonesia (Prifat)


Dalam penerapan praktik Tata Kelola Perusahaan yang baik, perlu disepakati konsep/prinsip
yang mendasari pemahaman terhadap Good Governance. Prinsip merupakan suatu pernyataan
fundamental atau kebenaran umum maupun individual yang dijadikan oleh seseorang/kelompok
sebagai sebuah pedoman untuk berpikir atau bertindak. Sebuah prinsip merupakan roh dari
sebuah perkembangan ataupun perubahan dan merupakan akumulasi dari pengalaman ataupun
pemaknaan oleh sebuah obyek atau subyek tertentu.
Tujuan penetapan prinsip-prinsip tersebut adalah untuk meletakkan landasan bagi
pengembangan pelaksanaan Good Corporate Governance di Lingkungan perusahaan secara
umum. Prinsip-prinsip dan asumsi dasar dimaksud akan menjadi pegangan dalam penjabaran
tindakan dan langkah-langkah yang hendak dilakukan untuk mewujudkan GCG dan akan
menjadi patokan dalam pengujian keberhasilan aplikasi GCG pada suatu organisasi. Nilai-nilai
yang dikandung dalam prinsip tentunya dapat bervariasi sesuai dengan keyakinan individu,
maupun organisasi serta lingkungan tempat seseorang/organisasi berkegiatan.
Secara umum terdapat enam prinsip corporate governance dalam Prinsip-prinsip Organisation
for Economic Cooperation and Development (OECD) 2004 mengenai corporate governance.
Keenam prinsip ini menjelaskan hal-hal yang mencakup: kerangka dasar corporate governance,
hak pemegang saham, kesetaraan perlakuan Pemilik Modal/Pemegang Saham, peranan
stakeholders, keterbukaan dan transparansi serta tanggung jawab Dewas/Bawas/Dekom.
Dengan memperhatikan kesesuaian perangkat hukum dan lingkungan BUMD dengan BUMN,
penerapan Praktik Tata Kelola mengacu pada prinsip dasar yang telah dikembangkan oleh
BPKP dengan akronim PRIFAT sebagai berikut :
1. Participation (Partisipasi)
Partisipasi yang dimaksud disini adalah pemenuhan tanggung jawab, hak dan wewenang serta
tindakan-tindakan lain yang patut diambil sesuai dengan posisinya.
Menurut kamus Collins “Participate means to become actively involve in”. Jadi partisipasi
merupakan keterlibatan yang aktif, kalau pada suatu perusahaan tentunya dari setiap
pelaku/organ perusahaan dalam menunjang peningkatan nilai perusahaan. Eksistensi
keberadaan badan usahan diakui dan difasilitasi, baik secara langsung atau tidak langsung oelh
masyarakat umum lainnya. Karena itu, perusahaan semestinya memperhatikan kepentingan
masyarakat dalam tindakan-tindakannya.
Penerapan prinsip ini akan membantu kelanggengan perusahaan dan menciptakan “sense of
belonging” dari banyak pihak. Perusahaan perlu pula membina hubungan dengan semua
karyawan maupun anggota masyarakat sekitar melalui hubungan bisnis yang langsung atau
tidak langsung sehingga perusahaan menjadi bagian dari masyarakat (corporate citizenship)
Perlu dihindari teradinya ketimpangan yang mencolok dengan keadaan sekitar sehingga
mengundang kecemburuan sosial. Selain itu upaya pemeliharaan lingkungan serta kesehatan
wilayah sekitar lokasi usaha juga tidak boleh diabaikan. Beban sosial (Social cost) yang terkait
pada umumnya dapat diperhitungkan dan dimasukkan sebagai unsur biaya produksi.
Faktor-faktor yang memengaruhi Prinsip Partisipasi meliputi :
a. Kapabilitas
Seorang yang berada pada posisi tertentu tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan pasti
apa sebabnya. Salah satu sebab seseorang tidak melakukan partisipasi adalah karena dia tidak
mampu (capable) untuk melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan tersebut.
b. Budaya/Nilai-nilai pada Perusahaan
Partisipasi dalam kegiatan-kegiatan perusahaan dipengaruhi oleh budaya atau nilai-nilai yang
berkembang di perusahaan
c. Sistem Penghargaan
Penghargaan merupakan salah satu kebutuhan manusia, baik secara materi maupun non
materi. Apabila setiap partisipasi dari setiap orang dihargai, maka akan timbul kepuasan.
d. Kontrol dari masyarakat/Pemerintah
Sebagaimana dijelaskan dimuka bahwa perusahaan harus berpartisipasi untuk peningkatan
kemakmuran masyarakat sekitar. Disisi lain tekanan masyarakat mengenai kepedulian
perusahaan dalam memenuhi hak-haknya misalnya agar ada operasi yang ramah lingkungan
atau agar dilakukan pembinaan kepada pengusaha ekonomi lemah, jelas memengaruhi
kemauan perusahaan untuk berpartisipasi memperhatikan kepentingan stakeholders tersebut.
2. Responsibility (Responsibilitas)
Prinsip responsibilitas adalah kesesuaian atau kepatuhan di daam pengelolaan perusahaan
terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku.

3. Independency (Independen)
Independen merupakan suatu keadaan atau posisi dimana kita tidak terikat dengan pihak
manapun. Independen menunjukkan sikap bebas yang tidak terpengaruhi oleh kepentingan
pihak tertentu atau kelompok/organisasi tertentu.

4. Fairness (Keadilan)
Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholder desuai
dengan oeraturan perundangan yang berlaku. Diharapkan fairness dapat menjadi faktor
pendorong yang dapat memonitor dan memberikan jaminan perlakuan yang adil diantara
beragam kepentingan dalam perusahaan.

5. Accountability (Akuntabilitas)
Segala kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik sehingga
masyarakat dapat memberikan penilaian dan evaluasi. Melalui oenerapan prinsip ini, suatu
proses pengambilan keputusan atau kinerja dapat dimonitor, dinilai dan dikritisi. Akuntabilitas
juga menunjukkan adanya traceableness yang berarti dapat ditelusuri ampai ke bukti dasarnya,
serta reasonbleness yang berarti dapat diterima secara logis.

6. Transparancy (Transparansi)
Secara sederhana transparansi dapat diartikan sebagai keterbukaan. Transparansi akan
mendorong diungkapknnya kondisi yang sebenarnya sehingga pihak yang berkepentingan
(stakeholders) dapat mengukur dan mengentisipasi segala sesuatu yang menyangkut
perusahaan. Dengan adanya transparansi di setiap kebijakan dan keputusan di lingkungan
korporasi, maka keadilan (fairness) dapat ditumbuhkan.

Anda mungkin juga menyukai