Anda di halaman 1dari 34

LEMBAR PENGESAHAN

NAMA : MUHAMMAD ABROR SULAIMAN

NIM : PO7120216066

JUDUL : LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN


ELIMINASI

PEMBIMBING AKADEMIK PEMBIMBING KLINIK


ELIMINASI

Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolism tubuh yang melalui ginjal baik
berupa urine maupun melalui gastrointestinal yan berupa fekal.

1. ELIMINASI URINE
A. Konsep Dasar
Eliminasi urine merupakan cairan yang dikeluarkan dari ginjal sebagai hail filtrasi
dari plasma darah di glomerulus. Dari 180 liter darah yang masuk ke ginjal untuk
di filtrasi, hanya 1-2 liter saja yang dapat berupa urine, sebagian besar hasil filtrasi
akan diserap kembali di tubulus ginjal untuk dimanfaatkan oleh tubuh.
B. Ginjal
Ginjal pada orang dewasa memiliki panjang kira-kira 11 cm, lebar 5-7,5 cm, tebal
2,5 cm, dan berat sekitar 150 gram. Organ ginjal berbentuk kurva yang terletak di
area retroperitoneal, pada bagian belakang dinding abdomen di samping depan
vertebra, setinggi torakal ke-12 sampai lumbal ke-3. Ginjal ddisokong oleh
jaringan adiposa dan jaringan penyokong yang disebut fasia gerota, serta
dibungkus oleh kapsul ginjal, yang berguna untuk mempertahankan ginjal,
pembuluh darah, dan kelenjar adrenal terhadap adanya trauma. Ginjal terdiri atas
tiga area, yaitu: korteks, medulla, dan pelvis.
1. Korteks, merupakan bagian paling luar ginjal, terletak di bawah kapsula
fibrosa sampai dengan lapisan medulla, tersusun atas nefron-nefron yang
jumlahnya lebih dari 1 juta. Semua glomerolus berada di korteks dan 90 %
aliran darah menuju pada korteks.
2. Medulla, terdiri atas saluran-saluran atau duktus pengumpul yang disebut
piramida ginjal yang tersusun antara 8-18 buah.
3. Pelvis, merupakan area yang terdiri atas kaliks minor yang kemudian
bergabung menjadi kaliks mayor, empat sampai lima kaliks minor bergabung
menjadi kaliks mayor dan dua sampai tiga kaliks mayor bergabung menjadi
pelvis ginjal yang berhubungan dengan ureter bagian proksimal.
C. Nefron
Nefron merupakan unit fungsional ginjal, di mana pada masing-masing ginjal
terdiri atas 1-4 juta nefron. Nefron terdiri atas komponen vascular dan tubular.
Komponen vascular atau pembuluh dara kapiler di antaranya adalah arteriola
aferen, glomerolus, arteriola eferen, dan kapiler peritubular. Komponen tubular
merupakan penampungan hasil filtrasi dari glomerolus, terdiri atas kapsula
bowman, tubulus kontortus prksimal, ansa henle, tubulus kontortus distal, serta
tubulus dan duktus pengumpul. Salah satu komponen penting nefron adalah
glomerolus yang merupakan cabang dari arteriola aferen dan membentuk
anyaman-anyaman kapiler. Di dalam glomerolus inilah terjadi proses filtrasi.
D. Fungsi Ginjal
Ginjal merupakan organ yang penting dalam proses keseimbangan cairan tubuh
dan sebagai organ sekresi dari zat-zat yang sudah tidak dibutuhkan lagi. Berikut
adalah beberapa fungsi ginjal.
1. Pengaturan volume dan komposisi darah. Ginjal berperan dalam pengaturan
volume darah dan komposisi darah melalui mekanisme pembuangan atau
ekresi cairan. Misalnya jika intake cairan melebihi kebutuhan, maka ginjal
akan membuang lebih banyak cairan yang keluar dalam bentuk urine,
sebaliknya jika kekurangan cairan, maka ginjal akan mempertahankan cairan
yang keluar dengan sedikit urine yang dikeluarkan. Jumlah cairan yang keluar
dan dipertahankan tubuh berpengaruh terhadap pengenceran dan pemekatan
darah serta volume darah.Di dalam ginjal juga diproduksi hormon eritropoietin
yang dapat menstimulasi pembentukan sel darah merah. Pada kondisi
kekurangan darah, anemia, atau hipoksia, maka akan lebih banyak diproduksi
eritropoietin untuk memperbanyak produksi sel darah merah.
2. Pengaturan jumlah dan konsentrasi elektrolit pada cairan ekstrasel, seperti
natrium, klorida, bikarbonat, kalsium, magnesium, fosfat dan hidrogen.
Konsentrasi elektrolit ini memengaruhi pergerakan cairan intrasel dan
ekstrasel. Bila terjadi pemasukan dan kehilangan ion-ion tersebut, maka ginjal
akan meningkatkan atau mengurangi sekresi ion-ion penting tersebut.
3. Membantu mempertahankan keseimbangan asam basa (pH) darah.
Pengendalian asam basa oleh ginjal dilakukan dengan sekresi urine yang asam
atau basa melalui pengeluaran ion hidrogen atau bikarbonat dalam urine.
4. Pengaturan tekanan darah. Ginjal berperan dalam pengaturan tekanan darah
dengan menyekresi enzim renin yang mengaktifkan jalur renin-angiotensin
dan mengakibatkan perubahan vasokonstriksi atau vasodilatasi pembuluh
darah sehingga dapat meningkatkan tekanan darah atau menurunkan tekanan
darah.
5. Pengeluaran dan pembersihan hasil metabolism tubuh, seperti urea, asam urat,
dan kretinin yang jika tidak dikeluarkan dapat bersifat toksik khususnya pada
otak.
6. Pengeluaran komponene-komponen asing seperti pengeluaran pbat, pestisida,
dan zat-zat berbahaya lainnya.

Berdasarkan fungsi-fungsi di atas, ginjal melakukan tiga fungsi mekanik, yaitu filtrasi,
reabsorpsi tubular, dan sekresi tubular.

1. Filtrasi glomerular
Filtrasi plasma terjadi pada glomerolus di nefron, merupakan langkah pertama produksi
urine. Ultrafilttrasi terjadi di mana plasma menembus barrier dari membrane endothelium
glomerolus kemudian hasilnya masuk ke dalam ruang intrakapsul Bowman. Normalnya
sekitar 20% atau sekitar 180 liter per hari plasma masuk ke glomerulus untuk di filtrasi.
Rata-rata 178,5 liter direabsorpsi kembali dan hanya 1-2 liter yang disekresi menjadi
urine. Filtrasi glomerulus terjadi akibat perbedaan tekanan filtrasi dengan tekanan yang
melawan filtrasi atau disebut tekanan filtrasi ekeftif. Ada tiga tekanan yang terjadi
dalam proses filtrasi, yaitu: tekanan darah kapiler glomerolus atau tekanan hidrostatik
kapiler glomerulus, osmotic koloid plasma, dan tekanan hidrostatik kapsula Bowman.
a. Tekanan darah kapiler glomerulus, merupakan tekanan yang cenderung mendorong,
tekanan ini tergantung dari kontraksi atau kerja jantung dan resistansi dari arteriola
aferen dan arteriola eferen. Besarnya tekanan ini sekitar 50 mmHg.
b. Tekanan osmotic koloid plasma, tekanan ini terjadi karena protein plasma yang
cenderung menarik air dan garam-garam ke dalam pembuluh darah kapiler. Tekanan
ini bersifat melawan filtrasi, besarnya sekitar 30 mmHg.
c. Tekanan hidrostatik kapsula Bowman, yaitu tekanan yang terjadi karena adanya cairan
pada kapsula bowman yang cenderung melawan filtrasi, besarnya sekitar 5 mmHg.
Dengan demikian, kekuatan filtrasi atau tekanan filtrasi efektif adalah kekuatan
mendorong di mana tekanan darah kapiler glomerolus dikurangi dua kekuatan yang
melawan filtrasi, yaitu tekanan osmotik koloid dan tekanan hidrostatik kapsula
Bowman sehingga besarnya 50mmHg-(30mmHg+5mmHg)= 15 mmHg.
Tidak semua zat yang difilrasi oleh glomerulus misalnya sel darah dan protein.
Oleh karena ukurannya yang besar, membrane filtrasi hanya dapat dilalui oleh plasma,
garam-garam, glukosa, dan molekul-molekul kecil lainnya. Besarnya volume plasma
yang di filtrasi oleh glomerulus per menit pada semua nefron disebut laju filtrasi
glomerular (LFG) atau glomerular filtration rate (GFR). Besarnya LFG pada laki-laki
125/menit atau 180 liter per 24 jam, sedangkan pada wanita sekitar 110 ml/menit.
Faktor-faktor yang mempengaruhi LFG di antaranya sebagai berikut.
a. Tekanan filtrasi efektif. Makin besar tekanan yang dihasilkan makin besar pula
LFG-nya. Tekanan filtrasi efektif dipengaruhi oleh adanya autoregulasi dari ginjal
termasuk karena stimulasi saraf simpatis yang mempengaruhi konstriksi arteriola
aferen dan eferen, adanya obstruksi aliran urine, serta menurunnya protein
plasma.
b. Permeabilitas dari glomerulus. Normalnya membran glomerulus sangat permeable
sehingga filtrasi cepat terjadi. Pada kondisi tertentu, seperti pada penyakit ginjal
dapat meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga meningkatkan LFG.
Pengukuran LFG sangat penting dalam mengestimasi pembersihan zat-zat,
baik yang dikeluarkan maupun yang direabsopsi di dalam nefron. Kemampuan
ginjal untuk bersihan zat dari plasma selama 1 menit disebut renal clearance.
Dalam pengukuran ini, jumlah dari suatu zat di dalam urine yang disekresikan
dalam jangka waktu tertentu dikaitkan dengan kadar dalam plasma digambar
sebagai persamaan:
Clearance= kadar zat dalam urinedikalikan volume urine dalam milliliter yang
dieksresi per menit dibagi kadar zat dalam plasma.
Atau:
C =UxV
P
C= clearance
U= kadar zat dalam urine
V= volume urine (ml) yang disekresi per menit
P= kadr zat dalam plasma
Zat yang paling penting disekresi adalah kreatinin karena bersihan
Kreatinin merupakan acuan dalam fungsi renal clereance. Filtrasi kreatinin
tergantung dari LFG dan konsentrasi kreatinin dalam plasma (P) dalam mg/ml
atau filtrasi kreatinin = LFGxP. Sementara itu, eksresi kreatinin merupakan jumlah
kreatinin yang dikeluarkan, tergantung dari laju aliran urine (V) dalam ml/menit
dan konsentrasi kreatinin di urine dalam mg/ml atau sekresi kreatinin = UxV.
Kreatinin merupakan hasil dari pemecahan kreatinin fosfat dalam jaringan
otot, normalnya dikeluarkan melalui urine. Kreatinin masuk dan difiltrasi oleh
glomerulu dan tidak direabsorpsi dalam jumlah yang signifikan. Dengan
memonitor kreatinin darah dan jumlah disekresi melalui urine selama 24 jam. LFG
dapat diestimasi.
2. Reabsorpsi tubular
Dari 180 liter perhari plasma yang difiltrasi, tidak semuanya dikeluarkan dalam bentuk
urine. Lebih banyak yang diserap kembali atau direabsorpsi dalam tubulus ginjal terutama
zat-zat atau material yang penting bagi tubuh dan hanya 1-2 liter yang dikeluarkan dalam
bentuk urine. Material yang direabsorpsi masuk kembali ke darah melalui kapiler
pertibular. Persentase dari substansi yang direbsorpsi dan disekresi adalah sebagai berikut.

substansi Reabsorpsi (% Rata-rata) Sekresi (% Rata-rata)


Air 99 1
Sodium 99,5 0,5
Glukosa 100 0
Urea 50 50
Reabsorpsi sebagian besar terjadi di tubulus proksimal (75%), selebihnya terjadi di
ansa Henle, tubulus distal, dan duktus koligentes. Proses reabsorpsi dilakukan melaui
transfer pasif dan transfer aktif. Transfer pasif adalah pergerakan zat atau material melalui
gradient kimia dan listrik. Pergerakan pasif terjadi dari area dengan konsentrasi tinggi ke
konsentrasi rendah. Misalnya reabsorpsi pasif adalah air pada tubulus distal, air, dan urea
dengan bantuan ADH di duktus koligen, urea, air, serta klor pada tubulus proksimal.
Transport aktif terjadi dengan membutuhkan energy ATP, misalnya reabsorpsi natrium,
kalium, klor pada tubulus konturtus distal dan duktus koligen, transfer glukosa, asam
amino, natrium, kalium, fosfat, sulfat, dan vitamin C terjadi pada tubulus kontortus
proksimal.

3. Sekresi tubukar
Sekresi tubular adalah kebalikan dari reabsorpsi, merupakan proses aktif yang
memindahkan zat keluar kapiler peritubular melalui epitel sel-sel tubular masuk ke lumen
nefron untuk dikeluarkan dalam urine.
Substansi penting disekresi oleh tubulus adalah hidrogen, kalium, anion dan kation
organik, serta benda-benda asing dalam tubuh. Sekresi ion hidrogen penting dalam
keseimbangan asam-basa karena pengeluaran ion hidrogen tergantung dari keasaman
cairan tubuh. Ketika cairan tubuh asam, maka sekresi hidrogen meningkat, demikian
sebaliknya. Sekresi kalium terjadi di tubulus distal dan duktus koligen, sedangkan sekresi
anion dan kation organic, termasuk polutan lingkungan dan obat-obatan terjadi pada
tubulus kontortus proksimal.

E. Ureter
Ureter merupakan saluran yang berbentuk tabung dari ginjal ke kendung
kemih, panjangnya 25-30 cm dengan diameter 6 mm. berjalan mulai dari pelvis
renal setinggi lumbal ke-2. Posisi ureter miring dan menyempit di tiga titik, yaitu:
di titik asal ureter pada pelvis ginjal, titik saat melewati pinggiran pelvis, dan titik
pertemuan dengan kandung kemih. Posisi miring dan adanya penyempitan ini
dapat mencegah terjadinya refleks aliran urine.
Ada tiga lapisan jaringan pada ureter, yaitu pada bagian dalam adalah
epitel mukosa, bagian tengah lapisan otot polos, dan bagian luar lapisan fibrosa.
Ureter berperan aktif dalam transport urine, urine mengalir dari pelvis ginjal
melalui ureter dengan gerakan peristaltiknya. Adanya ketegangan pada ureter
menstimulasi terjadinya konstraksi di mana urine akan masuk ke kandung kemih.
Rangsangan saraf simpatis dan parasimpatis juga mengontrol kontraksi ureter
mengalirkan urine.
F. Kandung Kemih
Kandung kemih merupakan organ berongga dan berotot yang berfungsi
menampung urine sebelum dikeluarkan melalui uretera. Kandung kemih terletak
pada rongga pelvis. Pada laki-laki, kandung kemih berada di bawah uterus dan di
depan vagina. Dinding kandung kemih memiliki memiliki 4 lapisan jaringan.
Lapisan paling dalam adalah lapisan mukosa yang menghasilkan mucus,
kemudian lapisan submukosa, lapisan otot polos yang satu sama lain membentuk
sudut atau disebut otot detrusor, dan lapisan paling luar adalah serosa.
Pada dasar kandung kemih terdapat area segitiga yang disebut trigone
yang di dalamnya terdapat 3 muara, yaitu 2 muara ureter dan 1 muara uretera.
Pada daerah puncak trigone terdapat leher kandung kemih yang berhubungan
dengan muara uretra yang di sekelilingnya terdapat sfingter uretra interna. Sfingter
uretra interna bersifat involunter, dirangsang oleh adanya urine yang masuk ke
kandung kemih.
Kandung kemih dipersarafi oleh serabut postganglionik dari pleksus
ganglia hipogastrik dan serabut parasimpatis dari ganglia yang merupakan cabang
dari nervus pelvikus. Saraf pelvikus berhubungan dengan medulla spinalis melalui
pleksus sakralis terutama pada segmen S-2 dan S-3. Pada bagian sfingter eksterna
dipersarafi oleh nervus pudendal yang merupakan serat sarafsomatik dan
mengontrol otot lurik pada sfingter.
Fungsi utama di kandung kemih adalah menampung urine dari ureter dan
kemudian dikeluarkan melalui uretera. Kapasitas maksimum dari kandung kemih
pada orang dewasa sekitar 300-450 ml dan anak-anak antara 500-200 ml. Pada
keadaan penuh akan memberikan rangsangan pada saraf eferen ke pusat miksi
sehingga terjadi kontraksi otot detrusor yang mendorong terbukanya leher
kandung kemih sehingga terjadi proses miksi.
G. Uretra
Uretra memanjang dari leher kandung kemih sampai ke meatus. Pada
wanita, panjangnya sekitar 4 cm, lokasinya antara klitoris dengan liang vagina.
Panjang uretra laki-laki sekitar 20 cm, terbagi atas 3 bagian: prostatic uretra yang
panjangnya sekitar 3 cm, terletak di bawah leher kandungkemih sampai kelenjar
prostat; bagian kedua adalah membranasea uretra yang panjangnya 1-2 cm yang
disekitarnya terdapat sfingter uretra eksterna; dan pada bagian akhir adalah
kavernus atau penile uretra yang panjangnya sekitar 15 cm memanjang dari penis
sampai orifisium uretra.
Fungsi dari uretra adalah menyalurkan urine dari kandung kemih ke luar.
Adanya sfingter uretra interna yang dikontrol secara involunter memungkinkan
urine dapat keluar serta sfingter uretra eksterna memungkinkan pengeluaran urine
dapat dikontrol. Di samping untuk pengeluaran urine, pada laki-laki uretra juga
tempat pengeluaran sperma pada saat ejakulasi.

H. Proses Berkemih
Urine diproduksi oleh ginjal sekitar 1 ml/menit, tetapi dapat bervariasi
antara 0,5-2 ml/menit. Aliran urine masuk ke kandung kemih dikontrol oleh
gelombang peristaltik yang terjadi setiap 10-150 detik. Aktivitas saraf
parasimpatis meningkatkan frekuensi paristaltik dan stimulasi simpatik
menurunkan frekuensi. Baenyaknya aliran urine pada uretra dipengaruhi oleh
adanya reflek uretrorenal. Refleks ini diaktifkan oleh adanya obstruksi karena
konstriksi ureter dan juga konstriksi arteriol afren yang berakibat pada penurunan
produksi urine, demikian juga pada obstruksi ureter karena batu ureter.
Kandung kemih dipersarafi oleh saraf dari pelvis, baik sensoris maupun
motorik. Pengaktifan saraf simpatis menyebabkan kontraksi dari otot detrusor.
Normalnya, sfingter interna pada leher kandung kemih berkonttraksi dan akan
relaksasi ketikan otot kandung kemih berkontraksi. Sementara itu, sfingter
eksterna dikontrol berdasarkan kesadaran (volunter) dan dipersarafi oleh nervus
pudendal yang merupakan serat saraf somatik.
Refleks berkemih dimulai ketika terjadi pengisian kandung kemih. Jika ada
30-50 ml urine, maka terjadi peningkatan tekanan pada dinding kandung kemih.
Makin banyak urine yang terkumpul, makin besar pula tekanannya. Peningkatan
tekanan akan menimbulkan refleks peregangan oleh reseptor regang sensoris pada
dinding kandung kemih kemudian dihantarkan ke medulla spinalis segmen
sakralis melalui nervus pelvikus dan kemudian secara refleks kembali lagi ke
kandung kemih untuk menstimulasi otot detrusor untuk berkontraksi.
Siklus ini terus berulang sampai kandung kemih mencapai kontraksi yang
kuat, kemudian refleks akan melemah dan menghilang sehingga refleks berkemih
berhenti. Hal ini menyebabkan kandung kemih berelaksasi. Sementara itu, jika
terjadi kontraksi yang kuat, maka akan menstimulasi nervus pudendal ke sfingter
eksternus untuk menghambatnya. Jika penghambatan sinyal konstrikor volunteer
ke sfingter eksterna ke otak kuat, maka terjadilah proses berkemih.
Prose berkih jug di kontrol oleh saraf pusat. Ketika terjadi rangsangan
peregangan pada dinding otot detrusor akibat adanya pengisian urine di kandung
kemih, melalui serat saraf sensoris di nervus pelvis stimulus tersebut dihantarkan
ke hipotalamus. Dari hipotalamus kemudian dihantarkan ke korteks serebri,
selanjutnya korteks serebri merespon dengan mengirimkan sinyal ke sfingter
interna dan eksterna untuk relaksasi sehingga pengeluaran urine terjadi. Proses
berkemih juga difasilitasi oleh kontraksi dinding abdomen dengan meningkatkan
tekanan dalam kandung kemih sehingga mengakibatkan urine masuk ke leher
kandung kemih dan menimbulkan reflekberkemih. Tidak semua urine dapat
dikeluarkan dalam berkemih. Masih dapat tersisa urine residu sekitar 10 ml.
Faktor-faktor yang mempengruhi kemampuan berkemih di antaranya
sebagai berikut:
1. Adekuatnya produksi urine pada nefron. Hal ini sangat terkait fungsi
glomerulus dan LFG. Pada penyakit ginjal tertentu dapat meningkatkan LFG
sehingga produksi urine berlebih dan proses berkemih menjadi lebih sering.
2. Adanya obstruksi saluran kemih, misalnya karena batu ginjal, batu ureter, batu
kandung kemih, hipertrofi prostat, dan struktur uretra dapat menghambat aliran
urine keluar.
3. Detruksi serat saraf sensoris dari kandung kemih ke medula spinalis, misalnya
akibat trauma pada lumbal atau sacral dapat menghambat transmisi sinyal
regangan dari kandung kemih sehingga terjadi kehilangan kontrol terhadap
kandung kemih.
4. Adekutnya otot sfingter interna dan eksterna, kemampuan konstriksi dan
relaksasi sfingter interna dan eksterna mempengaruhi pengeluaran urine. Pada
usia lansia, kemampuan kontrol sfingter berkurang sehingga urine dapat keluar
tanpa disadari (inkontinensia urine).
I. Karakteristik dan Komposisi Urine
1. Karakteristik urine
Urine normal mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Volume, pada orang dewasa rata-rata urine yang dikeluarkan setiap
berkemih berkisar 250-400 ml, tergantung dari intake dan kehilangan
cairan. Jika pengeluaran urine kurang dari 30 ml/jam, kemungkinan terjadi
gangguan fungsi ginjal.
b. Warna, urine normalnya kekuning-kuningan jernih. Warna ini terjadi
akibat adanya urobilin. Warna lain seperti kuning gelap atau kuning
cokelat dapat tepada dehidrasi. Obat-obatan juga dapat mengubah warna
urine seperti warna merah atau orange gelap.
c. Bau bervariasi tergantung komposisi, bau urine yang menyengat atau
memusingkan timbul karena urine mengandung ammonia.
d. Kadar pH sedikit asam antara 4,5- a8 atau rata-rata 6,0. Namun demikian,
pH dipengaruhi oleh intake makanan. Misalnya urine vegetarian menjadi
sedikit basa.
e. Berat jenis 1.003-1.030
f. Komposisi air 93-97%
g. Osmolaritas (konsentrasi osmotik) 855-1.335 mOsm/liter
h. Bakteri tidak ada
2. Komposisi urine
Lebih dari 99% dari 180 liter filtrate difiltrasi oleh glomerulus dan
kemudian direabsorpsi kembali dalam darah. Komposisi dan konsentrasi urine
sesungguhnya menggambarkan kemampuan dari aktivitas filtrasi, absorpsi,
dan sekresi nefron.
Urine mempunyai komposisi di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Zat buangan nitrogen seperti urea yang merupakan hasil deaminasi asam
amino oleh hati dan ginjal; kreatinin yang merupakan pemecahan kreatinin
fosfat dalam otot rangka; ammonia yang merupakan pemecahan deaminasi
oleh hati dan ginjal; asam urat merupakan pemecahan dari purin; serta
urobilin dan bilirubin yang merupakan pemecahan dari hemoglobin.
b. Hasil nutrient dan metabolisme seperti karbohidrat, keton, lemak, dan
asam amino.
c. Ion-ion seperti natrium, klorida, kalium, kalsium, dan magnesium.

Zat-zat yang dikeluarkan bersama urine merupakan bahan-bahan yang


tidak dibutuhkan oleh tubuh bahkan dapat bersifat racun. Sementara bahan-bahan
yang difiltrasi oleh glomerulus, tetapi masih digunakan kembali oleh tubuh akan
direabsorpsi sehingga tidak disekresi.

J. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Eliminasi Urine


1. Pertumbuhan dan perkembangan
Usia dan berat badan dapat mempengaruhi jumlah pengeluran urine. Pada
usia lanjut, volume kandung kemih berkurang; demikian juga wanita hamil
sehingga frekuensi berkemih juga akan lebih sering.
2. Sosiokultural
Budaya masyarakat di mana sebagian masyarakat hanya dapat miksi pada
tempat tertutup dan sebaliknya ada masyarakat yang dapat miksi pada lokasi
terbuka
3. Psikologis
Pada keadaan cemas dan stress akan meningkatkan stimulasii berkemih
sehingga miksi akan lebih sering, walaupun jumlahnya lebih sedikit
4. Kebiasaan seseorang
Misalnya seseorang hanya bisa berkemih di toilet sehingga ia tidak dapat
berkemih dengan menggunakan pot urine.
5. Tonus otot
Eleminasi urine membutuhkan tonus otot kandung kemih, otot abdomen,
dan pelvis untuk berkontraksi. Jika ada gangguan tonus, otot dorongan untuk
berkemih juga akan berkurang.
6. Intake cairan dan makanan
Alcohol menghambat antidiuretic hormone (ADH) untuk meningkatkan
pembuangan urine. Kopi, the, cokelat, cola yang mengandung kafein dapat
meningkatkan pembuangan dan eksresi urine.
7. Kondisi penyakit
Beberapa contoh kondisi penyakit yang dapat mempengaruhi eliminasi
urine adalah pasien demam, peradangan dan iritasi pada organ kemih, infark
miokard, serta gagal jantung. Pada pasien dalam demam akan terjadi
penurunan produksi urine karena banyak cairan yang dikeluarkan melalui
kulit, peradangan dan iritasi pada organ kemih akan menimbulkan retensi
urine, serta keadaan pasien infark miokard dengan pembatasan aktivitas akan
mempengaruhi pola eliminasi pasien. Demikian juga pada pasien dengan gagal
jantung dengan pembatasan cairan, pola dan eliminasi urine pasien juga dapat
terganggu.
8. Pembedahan
Penggunaan anastesi menurunkan filtrasi glomerulus sehingga produksi
urine akan menurun.
9. Pengobatan
Penggunaan diuretic meningkatkan output urine, antikolinergik, dan
antihipertensi menimbulkan retensi urine.
10. Pemeriksaan diagnostic
Pielogram intravena di mana pasien dibatasi intake sebelum prosedur
untuk mengurangi output urine. Sitoskopi dapat menimbulkan edema local
pada uretra dan spasme pada sfingter kandung kemih sehingga dapat
menimbulkan urine.
11. Trauma persarafan
Pasien dengan trauma medulla spinalis dapat menimbulkan kerusakan
saraf terutama pada daerah lumbal yang mempersarafi kandung kemih
sehingga kontrol eliminasi urine juga terganggu. Pasien dapat mengalami
retensi urine karena otot detrusor kandung kemih kehilangan kemampuan
untuk berkontraksi sehingga pengeluaran urine juga akan terganggu.
K. Maslah-Masalah Eliminasi Urine
1. Retensi urine
merupakan penumpukan urine dalam kandung kemih dan ketidakmampuan
kandung kemih untuk mengeluarkan urine. Retensi urine menyebabkan
distensi kandung kemih, di mana urine yang terdapat dalam kandung kemih
melebihi 400 ml. normalnya adalah 250-400 ml. retensi urine dapat
disebabkan karena ketidakmampuan kontrol sistem persarafan dalam
menstimulasi kemauan untuk eliminasi urine, misalnya pada trauma medulla
spinalis. Retensi urine juga dapat disebabkan karena obstruksi saluran kemih,
seperti adanya batu saluran kemih, hipertropi postat, maupun striker uretra.
2. Inkontinensia urine
Adalah ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara atau menetap
untuk mengontrol eksresi urine. Ada dua jenis inkontinensia, yaitu pertama
inkontinensia stres, yaitu stres yang terjadi pada saat tekanan intraabdomen
meningkat seperti pada sata batuk atau tertawa; kedua, inkontinensia urgensi,
yaitu inkontinensia yang terjadi saat klien terdesak ingin berkemih, hal ini
terjadi akibat infeksi saluran kemih bagian bawah atau spasme kandung kemih.
3. Enuresis
Merupakan ketidaksanggupan menahan kemih (mengopol) yang diakibatkan
ketidakmampuan untuk mengendalikan sfingter eksterna. Biasanya terjadi
pada anak-anak atau pada orang jompo.
L. Perubahan Pola Berkemih
1. Frekuensi: meningkatnya frekuensi berkemih tanpa intake cairan yang
meningkat, biasanya terjadi pada sistitis, stress, dan wanita hamil.
2. Urgensi: perasaan ingin segera berkemih dan biasanya terjadi pada anak-anak
karena kemampuan sfingter untuk mengontrol berkurang.
3. Disuria: rasa sakit dan kesulitan dalam berkemih, misalnya infeksi pada
saluran kemih, trauma, dan striktur uretra.
4. Polyuria (diuresis): produksi urine melebihi normal tanpa peningkatan intake
cairan, misalnya pada pasien diabetes mellitus.
5. Urinary suppression: keadaan dimana ginjal tidak memproduksi urine secara
tiba-tiba.
6. Anuria: keadaan di mana ginjal tidak mampu memproduksi urine secara
optimal, produksi urine kurang dari 100 ml/24 jam. Keadaan ini merupakan
tanda gagal ginjal.
7. Oliguria: merupakan keadaan di mana produksi urine kurang dari 30 ml/jam
atau berkisar antara 100-500 ml/24 jam.
8. Nokturia: miksi yang sering terjadi pada malam hari, hal ini merupakan
perubahan pola eliminasi. Penyubeb nokturia karena faktor usia, stress,
penyakit tertentu, dan pengobatan. Faktor lain adalah faktor fisiologis,
psikologis, dan lingkungan. Pasien dengan kehamilan dan usia di atas 50 tahun
sering terjadi nokturia.
M. Asuhan Keperawatan
Pengkajian
1. Riwayat keperawatan
a. Pola berkemih pasien.
b. Gejala dari perubahan berkemih, dan sejak kapan, lamanya.
c. Faktor yang mempengaruhi berkemih dan usaha yang dilakukan
selama mengalami masalah eliminasi urine.
2. Pemeriksaan fisik
a. Penampilan umum pasien seperti ekspresi wajah, pasien gelisah, atau
menahan sakit.
b. Keadaan kulit
Kulit kering, mukosa mulut kering, turgor kulit kurang, lidah menjadi
kering tanda kekurangan cairan. Kulit berkeringat, basah dapat
disebabkan karena pasien menahan nyeri saat berkemih. Kaji adanya
edema atau asites mungkin dapat terjadi
c. Abdomen
Pembesaran, pelebaran pembuluh darah vena, distensi kandung kemih,
pembesaran ginjal, nyeri tekan, tenderness, dan bising usus.
d. Genetelia wanita
Inflamasi, nodul, lesi, adanya sekret dari meatus, dan keadaan atrofi
jaringan vagina.
e. Genetalia laki-laki
Kebersihan, adanya lesi, tenderness, dan adanya pembesaran skrotum.
3. Intake dan output cairan
a. Kaji intake dan output caran dalam sehari (24 jam).
b. Kebiasaan minum di rumah.
c. Intake: cairan infus, oral, makanan, NGT.
d. Kaji perubahan volume urine untuk mengetahui ketidakeimbangan
cairan.
e. Outpun urine dari urinal, kantong urine, drainase ureterostomo, dan
sitostomi.
f. Karakteristik urine: warna, kejernihan, bau, dan kepekatan.

4. Pemeriksaan diagnostic
a. Pemeriksaan urine (urinalisis):
1) Warna (normalnya jernih kekuningan).
2) Penampilan (normalnya jernih).
3) Bau (normalnya beraroma).
4) pH (normalnya 4,5-8,0).
5) Berat jenis (normalnya 1.005-1.030).
6) Glukosa (normalnya negatif).
7) Keton (normalnya negatif).
b. Kultur urine (N:kuman pathogen negatif).

Diagnosis Keperawatan dan Intervensi

1. Gangguan eliminasi urine: inkontinensia ( NANDA, 2012-2014).


Definisi: kondisi dimana seseorang tidak mampu mengendalikan pengeluaran
urine. (NANDA,2012).
Kemungkinan berhubungan dengan :
a. Gangguan neuromoskular.
b. Spasme kandung kemih.
c. Trauma pelvis.
d. Infeksi saluran kemih.
e. Trauma medulla spinalis.
Kemungkinan data yang ditemukan:
a. Inkontinensia
b. Keinginan berkemih yang segera.
c. Sering ke toilet.
d. Menghindari minum.
e. Spasme kandung kemih.
f. Setiap berkemih kurang dari 100 ml atau lebih dari 550 ml.

Tujuan yang diarapkan adalah sebagai berikut:


a. Klien dapat mengontrol pengeluaran urine selama 4 jam.
b. Tidak ada tanda-tanda retensi dan inkontinensia urine.
c. Klien berkemih dalam keadaan rileks.

Intervensi Rasional
1. Identifikasi faktor penyebab inkontinenia. Beberapa faktor yang menyebabkan
inkontinensia di antaranya penurunan
kesadaran, proses penuaan, gangguan fungsi
saraf, dan kelemahan sfingter uretra.
2. Monitor frekuensi, volume, warna, bau, Mengidentifikasi jenis inkontinensia seperti
dan nyeri saat miksi, serta pola miksi. stress atau urgensi.
3. Lakukan pengaturan minum pasien secara Melatih pola berkemih dengan mengatur
berpola. produki urine.
4. Lakukan bladder training secara berkala. Bladder training bertujuan melatih, menahan,
dan menguatkan kontraksi otot kandung
kemih.
5. Lakukan latihan Kegel. Latihan Kagel bertujuan menguatkan otot
panggul dan pelvis sehingga dapat melatih
kemampuan berkemih .
6. Anjurkan pasien untuk tidak mengosumsi Kopi dapat meningkatkan stimulasi berkemih.
kopi atau minum yang mengandung soda.
7. Kolaborasi dengan tim medis dalam Mempermudah dalam pengeluaran urine.
pemasangan dower atau intermitten
kateter.
2. Retensi urine (NANDA, 2012-2014)
Definisi: kondisi dimana seseorang tidak mampu mengosongkan kandung
kemih secara tuntas (NANDA,2012).

Kemungkinan berhubungan dengan:


a. Obstruksi mekanik.
b. Pembesaran prostat.
c. Trauma.
d. Pembedahan.
e. Kehamilan.

Kemungkinan data yang ditemukan:


a. Tidak tuntasnya pengeluaran urine.
b. Distensi kandung kemih.
c. Hipertropi prostat.
d. Kanker.
e. Infeksi sakuran kemih.
f. Pembedhan besar abdomen.

Tujuan yang diharapkan:


a. Pasien dapat mengontrol pengeluaran kandung kemih setiap 4 jam.
b. Tanda dan gejala retensi urine tidak ada.
Intervensi Rasional
1. Identifikasi faktor penyebab retensi Beberapa faktor yang menyebabkan retensi
urine. urine seperti obstrukis saluran kemih, batu
ginjl, atau striktur uretra.
2. Monitor frekuensi, volume, warna, Mengidentifikasi derajat retensi urine.
baud an nyeri saat miksi, serta pola
miksi.
3. Monitor keadaan distensi bladder Retensi urine menyebabkan distensi kandung
setiap 4 jam. kemih.
4. Tanyakan kepada pasien bagimana Mengetahui jenis obstruksi apakah total atau
pancaran miksi. parsial.
5. Lakukan pengaturan minum pasien. Melatih pola berkemih dengan mengatur
produksi urine.
6. Lakukan latihan bladder training Bladder training bertujuan melatih menahan
secara berkala. dan menguatkan kontraksi otot kandung
kemih.
7. Monitor intake dan output cairan. Mengetahui keseimbangan cairan.
8. Anjurkan pasien untuk tidak Kopi dapat meningkatkan stimuli berkemih.
mengosumsi kopi atau minum yang
mengandung soda.
9. Kolaborasi dengan tim medis dalam Mempermudah dalam pengeluaran urine.
pemasangan dower dan intermitten
kateter.
10. Kolaborasi dengan tim medis dalam Mengatasi penyebab retensi urine, misalnya
perencanaan penanganan penyebab karena hipertropi prostat, batu gunjal
retensi urine, seperti tindakan operasi membutuhkan tindakan operasi.
atau sitostomi.
2.ELIMINASI FEKAL

Makanan yang sudah dicerna kemudian sisanya akan dikeluarkan dalam bentuk fases.
Eliminasi fekal adalah proses pengeluaran sisa pencernaan melalui anus.
A. Konsep Dasar
Sistem pencernaan merupakan saluran panjang (kurang lebih 9 meter) yang
terlihat dalam proses mencerna makanan, mulai dari mulut sampai dengan anus.
Saluran ini akan menerima makanan dari luar tubuh dan mempersiapkannya untuk
diserap serta bercampur dengan enzim dan zat cair melalui proses pencrnaan, baik
dengan cara mengunyah, menelan, dan mencampur menjadi zat-zat gizi.
Organ saluran pencernaan dibagi menjadi dua bagian, yaitu: organ saluran
gastrointestinal bagian atas dan organ gastrointestinal bagian bawah.
B. Saluran Gastrointestinal Bagian Atas
Organ saluran ini terdiri atas mulut, faring, esopagus, dan lambung (gaster).
1. Mulut
Mulut merupakan jalan masuk yang dilalui makanan pertama kali untuk
sistem pencernaan. Rongga mulut dilengkapi dengan alat pencerna (gigi dan
lidah), serta kelenjar pencernaan untuk membantu pencernaan makanan. Secara
umum, mulut terdiri atas 2 bagianatas, pertama, bagian luar (vestibula) yaitu ruang
di antara gusi, gigi, bibir, dan pipi; serta kedua, rongga mulut bagian dalam yaitu
rongga yang dibatasi sisinya oleh ruang maksilaris, palatum, dan mandibularis di
sebelah belakang dan bersambung dengan faring. Palatum terdiri atas palatum
durum (palatum keras) yang tersusun atas tajuk-tajuk palatum dari sebelah depan
tulang maksilaris, dan palatum mole (palatum lunak) terletak di belakang yang
merupakan lipatan menggantung yang dapat bergerak, serta terdiri atas jaringan
fibrosa dan selaput lendir.
Rongga mulut berhubungan dengan orofaring yang disebut dengan
faucium yang terdapat dua lengkungan, yaitu palatofaringeal dan palatoglossal. di
antara kedua lengkungan ini terdapat jaringan limfoid yang diebut dengan tonsil.
Di rongga mulut, makanan yang masuk akan dicerna secara mekanik dengan cara
dicabik dan dikunyah, serta secara kimiawi melalui peran dari enzim di saliva.
2. Faring
Faring merupakan organ yang menhubungkan mulut dengan esophagus. Di
dalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel), yaitu kumpulan kelenjar limfe
yang banyak mengandung limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi.
Pada bagian ini, juga terletak persimpangan antara jalan napas dan makanan.
Letaknya di belakang rongga mulut, di depan ruas tulang belakang. Ke atas bagian
depan berhubungan dengan rongga mulut dengan perantaraan lubang yang disebut
ismus fausium.
3. Esophagus
Merupakan bagian saluran pencernaan sepanjang kurang lebih 25 cm yang
berdiameter 2cm. Esopagus berbentuk seprti tabung berotot yang menghubungkan
rongga mulut dgan lambung, dengan bagian posterior berbatasan dengan faring
setinggi kartilago cricoidea dan sebelah anterior berbatasan dengan korpus
vertebrae. Ketika seseorang menelan, maka sfingter akan berelaksasi secara
otomatis dan akan membiarkan makanan atau minuman masuk ke dalam lambung.
Fungsi esophagus adalah menyalurkan makanan ke lambung. Agar makanan dapat
berjalan sepanjang esopagus, terdapat gerakan peristaltic sehingga makanan dapat
berjalan menuju lambung.
4. Lambung
Lambung merupakan organ pencernaan yang paling fleksibel karena dapat
menampung makanan sebanyak 1-2 liter. Bentuknya seperti huruf J atau kubah
dan terletak di kuadran kiri bawah abdonmen. Lambung merupakan kelanjutan
dari esophagus bagian superior dan bersambung dengan usus halus bagian
dedenum. Fungsi utama dari lambung adalah menyimpan makanan yang sudah
bercampur dengan cairan yang dihasilkan lambung (getah lambung).
Ung terdiri atas 4 bagian besar, yaitu kardiak (bagian atas, berdekatan dengan
sfingter gastroesofagus), fundus (berbentuk kubah, kontak langsung dengan
diafragma), korpus (area yang paling besar), dan pilorus ( bagian lambung
berbentuk tabung yang mempunyai otot yang tebal membentuk sfingter pilorus).
Lambung juga mempunyai 2 lapisan dan 2 pembatas. Lapisan yang dimaksud
yaitu anterior dan posteri r. dua pembatas lambung disebut dengan kurvatura
mayor dan minor. Dinding lambung disusun oleh otot-otot polos yang berfungsi
menggerus makanan secara mekanik melalui kontraksi otot-otot tersebut. Ada 3
jenis otot polos yang menyusun lambung, yaitu otot longitudinal (memanjang),
otot sirkuler (melingkar), dan otot obliqis (menyerong).
Makanan akan masuk ke dalam lambung dari esophagus melalui otot
berbentuk cincin yang disebut dengan sfingter. Sfingter ini dapat membuka dan
menutup, sertan berfungsi mencegah masuknya kembali isi lambung ke dalam
esophagus. Lambung berfungsi seperti gudang makanan yang dapat berkontraksi
secara berirama untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang
melapisi lambung menghasilkan 3 zat penting, yaitu mucus, asam klorida (HCL),
dan prekusor pepsin (enzim yang memecahkan protein).
Mucus melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung.
Setiap kelainan pada lapisan lender ini, dapat menyebabkan kerusakan yang
mengarah kepada terbentuknya tukak lambung. Asam klorida bertugas
menciptakan suasana yang sangat asam. Suasana asam ini sangat diperlukan
pepsin untuk memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi juga berperan
sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri.
Selain pencernaan mekanik, pada lambung terjadi pencernaan kimiawi
dengan bantuan senyawa kimia yang dihasilkan lambung.
Hasil pencernaan makanan di lambung secara mekanik dan kimiawi akan
menjadikan makanan menjadi bubur yang disebut kimus (chyme).

Senyawa kimia yang dihasilkan lambung.


Senyawa kimia Fungsi
Asam HCL Mengaktifkan pepsinogen menjadi pepsin. Sebagai
desinfektan, juga merangsang pengeluaran hormone
sekretin dan koleistokinin pada usus halus.
Lipase Memecah lemak menjadi asam lemak dan gliserol.
Namun, lipase yang dihasilkan sangat sedikit.
Renin Mengendapkan protein pada susu (kasein) dan air susu
(ASI).
Mukus Melindungi dinding lambung dari kerusakan akibat
asam HCL.
C. Saluran Gastrointestinal Bagian Bawah
Saluran pencernaan bagian bawah mdliputi usus halus, usus besar, rectum, dan anus.
1. Usus halus
Usus halus merupakan kelanjutan dari lambung yang terletak diantara
sfingter pilorus lambung dan katup ileosekal yang merupakan bagian awal usus
besar, posisinya terletak di sentral bawah abdomen yang didukung oleh lapisan
mesenterika (beerbentuk seperti kipas) yang memungkinkan usus halus ini
mengalami perubahan bentuk (seperti berkelok-kelok). Mensenterika ini dilapisi
pembuluh darah, persarafan, dan saluran limfe yang menyuplai kebutuhan dinding
usus.
Usus halus memiliki saluran paling panjang dari saluran pencernaan dengan
panjang sekitar 3 meter dengan lebar 2,5 cm, walaupun setiap orang memiliki
ukuran yang berbeda-beda. Usus halus sering disebut dengan usus kecil Karena
ukuran diameternya lebih kecil jika dibandingkan dengan usus besar. Usus halus
ini terbagi menjadi 3 bagian yaitu duodenum (kurang lebih 25 cm). jejunum
(kurang lebih 2,5 cm), serta ileum (kurang lebih 3,6 cm). adapun fungsi dari usus
halus adalah menerima sekresi hati dan pancreas, mengabsorpsi saripati mkanan,
dan menyalurkan sisa hasil metabolism ke usus besar,
Pada usus halus hanya terjadi pencernaan serta kimiawi saja, dengan bantuan
senyawa kimia yang dihasilkan oleh usus halus serta senyawa kimia dari kelenjar
pankreas yang dilepaskan ke usus halus.
Senyawa kimia yang dihasilkan usus.
Senyawa kimia Fungsi
Disakaridase Menguraikan disakarida menjadi monosakarida
Erepsinogen Erepsin yang belum aktif yang akan diubah
menjadi erepsin. Erepin mengubah pepton
menjadi asam amino.
Hormon sekretin Merangsang kelenjar pankreas mengeluarkan
senyawa kimia yang dihasilkan ke usus halus.
Hormone CCK (kolesistokinin) Merangsang hati untuk mengeluarkan cairan
empedu ke dalam usus halus.
Usus menerima makanan dari lambung dalam bentuk kimus (setengah padat)
yang kemudian dengan bantuan peristaltic akan ddorong menuju usus besar.
2. Usus besar atau kolon
Kolon merupakan usus yang memili diameter lebih besar dari usus halus. Ia
memiliki panjang 1,5 meter dan berbentuk huruf U terbalik. Usus besar dibagi
menjadi 3 daerah, yaitu: kolon asenden, transversum, dan desenden.
Fungsi kolon adalah:
a. Menyerap air proses pencernaan.
b. Tempat dihasilkannya vitamin K dan vitamin H (biotin) sebagai hasil
simbiosis dengan bakteri usus, misalnya E. coli.
c. Membentuk massa fases.
d. Mendorong sisa makanan hasil pencernaan (fases) keluar dari tubuh.
3. Rektum
Rectum merupakan lubang tempat pembuangan fases dari tubuh. Sebelum
dibuang lewat anus, fases akan ditampung terlebih dahulu pada bagian rectum.
Apabila fases sudah siap dibuang, maka otot sfingter rectum mengatur pembukaan
dan penutupan anus. Otot sfingter yang menyusun rectum ada 2, yaitu otot polos
dan otot lurik .
D. Proses Defekasi
Defeksi adalah proses pembuangan atau pengeluaran sisa metabolism berupa
fases dan flatus yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus. Dalam proses
defekasi terjadi dua macam reflek berikut:
1. Refleks defekasi intrinsik
Refleks ini berawal dari fases yang masuk ke rectum sehingga terjadi
distensi rectum, yang kemudian menyebabkan rangsangan pada fleksus
mesentrikus dan terjadilah gerakan peristaltik. Setelah fases sampai di anus, secara
sistematis sfingter interna relaksasi, maka terjadilah defekasi.
2. Refleks defekasi parasimpatis
Fases yang masuk ke rectum akan merangsang saraf rectum yang kemudian
diteruskan ke media spinal (spinal cord). Dari jaras spinal kemudian dikembalikan
ke kolon desenden, sigmoid, dan rectum yang menyebabkan intensifnya
peristaltik, relaksasi sfingter interna, maka terjadilah defekasi.
Fases juga dipengaruhi oleh kontraksi otot abdomen, tekanan diafragma, dan
kontraksi otot elevator. Defekasi dipermudah oleh fleksi otot femur dan poisi
jongkon gas yang dihasilkan dalam proses pencernaan normalnya 7-10 liter/24
jam. Jenis gas yang terbanyak adalah CO, metana, H2S, O2, dan nitrogen.
Fases terdiri atas 75% air dan 25% materi padat. Fases normal berwarna
cokelat karena pengaruh sterkobilin, morbilin, dan aktivitas bakteri. Bau khas
karena pengaruh dari mikroorganisme. Konsistensinya lembek, namun berbentuk.
karakteristik normal perubahan Kemungkinan
penyebab
warna Kuning kecoklatan Abu-abu atau putih Obstruksi atau
Kehijauan tidak ada bilirubin
Hitam atau seperti Infeksi
teer Perdarahan GI atas
Pucat malabsorpsi lemak
merah Perdarahan GI
bawah
konsistensi Lembek,lunak, dan Keras, kering, cair Peristaltik lemah,
berbentuk tidak berbentuk obstruksi usus,
dehidrasi, iritasi ,
menurunnya
absorpi air
Bau Khas fases Bau bususk Infeksi,darah
dalam fases
Jumlah Tergantung intake Banyak atau besar Malabsorpsi lemak
dan diet
isi Sisa makanan, bakteri Darah, pus, benda Infeksi, perdarahan
mati, pigmen bile, asing seperti cacing parasite usus
enzim, mucus, dan air
Berikut adalah faktor-faktor yang dapat memengaruhi proses defekasi:
1. Usia
Pada bayi kontrol defekasi belum berkembang, sedangkan pada usia lanjut
kontrol defekasi menurun.
2. Diet
Makanan berserat akan mempercepat produksi fases, banyaknya makanan
yang masuk ke dalam tubuh juga memengaruhi proses defekasi.
3. Intake cairan
Intake cairan yang kurang akan menyebabkan fases menjadi lebih keras,
disebabkan oleh absorpsi cairan yang meningkat.
4. Aktivitas
Tonus otot abdomen, pelvis, dan diafragma akan sangat membantu proses
defekasi. Gerakan peristaltic akan memudahkan bahan fases bergerak
sepanjang kolon.
5. Fisiologis
Keadaan cemas, takut, dan marah akan meningkatkan peristaltic sehingga
menyebabkan diare.
6. Pengobatan
Beberapa jenis obat dapat mengakibatkan diare dan konstipasi.
7. Gaya hidup
Kebiasaan untuk melatih pola buang air besar sejak kecil secara teratur,
fasilitas buang air besar. Dan kebiasaan menahan buang air besar.
8. Prosedur diagnostik
Klien yang akan dilakukan prosedur diagnostic biasanya dipuasakan atau
dilakukan klisma dahulu agar tidak dapat buang air besar kecuali setelah
makan.
9. Penyakit
Beberapa penyakit pencernaan dapat menimbulkan diare dan konstipasi,
seperti peradangan usus, dan hirschsprung.
10. Anastesi dan pembedahan
Anastesi umum dapat menghalangi impuls parasimpatis sehingga kadang-
kaddang dapat menyebabkan ileus usus. Kondisi ini dapat berlangsung selama
24-48 jam.
11. Nyeri
Pengalaman nyeri waktu buang air besar seperti adanya hemorois, fraktur
ospubis, dan episiotomy akan mengurangi keinginan untuk buang air besar.
12. Kerusakan sensorik dan motoric
Kerusakan medulla spinalis dan cedera kepala akan menimbulkan penurunan
stimulus sensoris untuk defekasi.
E. Masalah-Masalah Umum pada Eliminasi Fekal
1. Konstipasi
Gangguan eliminasi yang diakibatkan adanya fases yang kering dank eras melalui
usus bear. Biasanya disebabkan oleh pola defekasi yang tidak teratur, penggunaan
laksatif dalam jangka waktu yang lama, stres psikologis, obat-obatan , kurang
aktivitas, dan usia.
2. Impaksi fekal (fecal impaction)
Masa fases yang keras di lipatan rektum yang diakibatkan oleh retensi dan
akumulasi material fases yang brkepanjangan. Biasanya disebabkan oleh
konstipasi, intake cairan yang kurang, kurang aktivitas, diet rendah serat, dan
keelemahan tonus otot.
3. Diare
Keluarnya fases cairan dan meningkatnya frekuensi buang air besar akibat
cepatnya kimus melewati usus besar sehingga usus tbesar tidak mempunyai waktu
yang cukup untuk menyerap air. Diare dapat disebabkan karena stres fisik, obat-
obatan, alergi, penyakit kolon, dan iritasi intestinal.
4. Inkontinensia alvi
Hilangnya kemampuan otot untuk mengeontrol pengeluaran fases dan gas melalui
sfingter anus akibt kerusakan fungi sfingter atau persarafan di daerah anus.
Penyebabnya karena penyakit-penyakit neuromuscular, trauma spinal cord, atau
tumor sfingter anus eksterna.
5. Kembung
Flatus yang berlebihan di daerah intestinal sehingga menyebabkan distensi
intestinal, dapat disebabkan karena konstipasi, penggunaan obat-obatan
(barbiturate, penurunan ansietas, penurunan aktivitas intestinal), dan mengonsumsi
makanan yang banyak mengandung gas dapat berefek anestesi.
6. Hemoroid
Pelebaran vena di daerah anus sebagai akibat peningkatan tekanan di daerah
tersebut. Penyebabnya adalah konstipasi kronis, peregangan maksimal saat
defekasi, kehamilan, dan obesitas.

F. Asuhan Keperawatan
Pengkajian
1. Riwayat keperawatan
a. Pola defekasi:frekuensi, perubahan pola.
b.Perilaku defekasi:penggunaan laksatif, cara mempertahankan pola, tempat
yang bisa digunakan.
c. Deskripsi fases: warna, bau, dan tekstur, jumlah.
d.Diet: makanan yang mempengaruhi defekasi, makanan yang biasa dimakan,
makanan yang dihindari, dan pola makan yang teratur atau tidak.
e. Cairan: jimlah dan jenis minuman per hari.
f. Aktivitas: kegiatan sehari-hari.
g.Kegiatan yang spesifik.
h.Penggunaan medikasi: obat-obatan yang mempengaruhi defekasi.
i. Stres: stres berkepanjangan atau pendek, kping untuk menghadapi atau
bagaimana menerima.
j. Pembedahan atau penyakit menetap.

2. Pemeriksaan fisik
a. Abdomen: distensi, simetris, gerakan peristaltic, adanya massa pada perut
bagian kiri bawah, tenderness.
b.Rektum dan anus: tanda-tanda imflamasi, perubahan warna, lesi, fistula,
hemoroid, adanya massa, tenderness.
3. Keadaan fases
Konsistensi, bntuk, bau, warna, jumlah, unsur abnormal dalam fases.
4. Pemeriksaan diagnostic
a. Kolonoskopi
b.Proktosigmoidoksopi
c. Rontgen dengan kontras
Diagnosis Keperawatan dan Intervensi

1. Gangguan eliminnasi fekal: konstipasi (actual/risiko)(NANDA,2012-2014).


Definisi: kondisi dimana seseorang mengalami perubahan pola defekasi yang
normal dengan karakteristik menurunnya frekuesi buang air besar dan fases yang
keras (NANDA,2012)
Kemungkinan berhubungan dengan :
a. Imobilisasi
b. Menurunnya aktivitas fisik
c. Ileus
d. Stress
e. Kurang privasi
f. Menurunnya mobilitas intestinal
g. Perubahan atau pembatasan diet

Kemungkinan data yang ditemukan:

a. Menurunnya bising usus


b. Mual
c. Nyeri abdomen
d. Adanya massa pada abdomen bagian kiri bawah
e. Perubahan konsistensi fases, frekuensi buang air besar.

Kondisi klinis kemungkinan terjadi pada:


a. Anemia
b. Hipotiroidisme
c. Dialisis ginjal
d. Pembedahan abdomen
e. Paralisis
f. Cedera spinal cord
g. Imobilisasi yang lama
h. Penurunan kesadaran
i. Stroke
Tujuan yang diharapkan adalah sebagai berikut

a. Pasien kembali ke pola normal dari fungsi fekal


b. Terjadi perubahan pola hidup untuk menurunkan faktor penyebab konstipasi.
Intervensi Rasional
1. Identifikasi faktor-faktor yang Berbagai faktor yang menyebabkan konstipasi,
mungkin berpengaruh terhadap seperti imobilisasi, ileus, menhan BAB yang
konstipasi pasien. lama, obstruksi usus.
2. Kaji keadaan bising usus pasien. Bising usus refleksi dari peristaltki usus.
Perkistaltik yang lambat menyebabkan konstipasi
karena penyerapan air di usus lebih banyak.
3. Observasi adanya massa pada Penumpukan fases dapat di identifikasi adanya
abdomen bagian kiri bawah. massa pada rektum atau kolon desenden.
4. Intruksikan pada pasien untuk Memonitor kemungkinan kelainan atau infeksi
mencatat jumlah, bau, dna saluran gastrointestinal.
frekuensi BAB
5. Anjurkan pasien untuk mengatur Pasien akan terlatih dan terbiasa dengan pola
pola eliminasi fekal. eliminasi fekal.
6. Latih dan anjurkan pasien untuk Latihan dan mobilisasi akan meningkatkan
mobilisasi atau latihan ROM peristaltik usus.
pasif atau aktif sesuai kondisi.
7. Anjurkan pada pasien untuk Minum yang cukup diharapkan dapat
minum air hangat 2 liter/hari, meningkatkan konsistensi feses.
atau dalam batas toleransi
pasien.
8. Anjurkan pasien untuk Makanan tinggi serat meningkatkan residu fases
mengosumsi makanan tinggi sehingga meningkatkan kemampuan eliminasi
serat, seperti buah-buahan, dan fekal.
sayuran.
9. Jika terjadi imfaksi fekal, Membantu mengeluarkan fases.
lakukan pengeluaran secara
manual atau lakukan dengan
klisma gliserin.
10. Kolaborasi dengan tim medis Obat anti konstipasi bekerja dengan
dalam pemberian laksatif, meningkatkan peristaltic atau melunakkan fases.
enema, dan pengobatan.
11. Berikan pendidikan kesehatan Mencegah atau menghindari terjadinya konstipasi
tentang kebiasan diet, pola
eliminasi fekal, cairan dan
makanan yang mengandung gas,
serta aktivitas.

2. Gangguan eliminasi: diare (NANDA, 2012-2014)


Definisi: kondisi dimana terjadi perubahan kebiasaan buang air besar dengan
karakteristik fases cair atau tidak berbentuk (NANDA, 2012)
Kemungkinan berhubungan dengan:
a. Inflamasi, iritasi, dan malabsorpsi
b. Pola makan yang salah
c. Perubahan proses pencernaan
d. Efek samping pengobatan

Kemungkinan data yang ditemukan:

a. Fases berbentuk cair


b. Meningkatnya frekuensi buang air besar
c. Meningkatnya peristaltic usus
d. Menurunnya nafsu makan

Kondisi klinis kemungkinan terjadi pada:

a. Peradangan saluran
b. Pembedahan saluram pencernaan bawah
c. Gastritis atau enteritis
Tujuan yang diharapkan adalah sebagai berikut:

a. Pasien kembali bunag air besar ke pola normal


b. Keadaan fases berbentuk berbentuk dan lebih keras
c. Meningkatnya peristaltic usus
d. Meningkatnya nafsu makan

Intervensi Rasional
1. Identifikasi faktor yang mungkin Banyak faktor diare diantaranya infeksi,
menjadi penyebab diare kebersihan diri, malabsorpsi, stres, obat-obatan,
dan makanan yang terkontaminasi
2. Tanyakan kepada pasien karakteristik Data yang mengidentifikasi faktor penyebab,
dari fases, yaitu warna, bau, konsistensi, misalnya warna fases yang hitam karena
serta berapa kali BAB perdarahan, warna hijau karena infeksi.
Frekuensi BAB dan jumlah dapat digunakan
untuk memprediksi kemungkinan dehidrasi
3. Kaji tanda-tanda dehidrasi, seperti Diare dapat menimbulkan kehilangan cairan
turgor kulit kurang, mukosa mulut dan elektrolit, yang dalam jumlah besar
kering, dan berat badan menurun mengakibatkan dehidrasi
4. Kaji intake dan output cairan setiap 24 Mengetahui keseimbangan cairan dan elektrolit
jam
5. Kaji kemampuan pasien untuk minum Menentukan kemungkinan pemberian cairan
secara oral parenteral
6. Timbang berat badan setiap hari atau Menentukan kehilangan cairan tubuh
jika memungkinkan
7. Monitor keadaan elektrolit tubuh baik Diare melenyebabkan kehilangan elektrolit
melalui tanda dan gejala maupun hasil tubuh, kehilangan elektrolit menyebabkan
laboraturium kelemahan fisik, gangguan Irama jantung, atau
gangguan asam basa
8. Kolaborasi dengan tim medis dalam Cairan intravena dibutuhkan untuk rehidrasi
pemberian obat antidiare, antibiotik, cairan danelektrolit
dan pemberian cairan parenteral
9. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam Makanan yang lunak mengurangi kerja usus,
pemberian makanan lunak dan rendah rendah serat mengurangi peristalltik usus
serat
10. Cek keadaan kulit parineal dan jaga Diare yang menimbulkan iritasi pada daerah
kebersihannya anus atau perineal
11. Anjurkan kepada pasien untuk Stres menstimulasi peningkatan peristaltic usus
mengurangi atau menghindari stres dan sehingga frekuensi BAB makin bertambah
istirahat yang cukup
12. Berikan pendidikan kesehatan tentang Diare dapat terjadi karena prilaku yang tidak
menjaga kebersihan diri, cairan, obat- sehat sehingga perlu pemahaman dan
obatan untuk mencegah dan mengobati peningkatan pengetahuan
diare
3. Gangguan eliminasi fekal: inkontinensia, (NANDA,2012-2014)

Definisi: kondisi dimana seseorang mengalami perubahan pola yang normal dalam
berdefekasi dengan karakteristik tidak terkontrolnya buang air besar (NANDA,2012)

Kemungkinan berhubungan dengan:

a. Menurunnya tingkat kesadaran


b. Gangguan sfingter anus
c. Gngguan neuromuscular
d. Proses penuaan

Kemungkinan data yang ditemukan:

a. Tidak terkontrolnya pengeluaran fases


b. Baju, celana, atau laken yang kotor oleh fases
c. Adanya kolostomi

Kondisi klinis kemungkinan terjadi:

a. Pola Trauma medulla spinalis


b. Pembedahan usus
c. Kolostomi
d. Pembedahan ginekologi
e. Stroke
f. Trauma pada pelvis
g. Usia tua

Tujuan yang diharapkan adalah sebagai berikut:

a. Pasien dapat mengontrol pengeluaran fases


b. Pasien kembali pada pola eliminasi normal
c. Pasien dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan pola eliminasi fekal

Intervensi Rasional
1. Identifikasi faktor penyebab Menentukan faktor penyebab untuk
inkontinensia fekal merencanakan tindakan keperawatan lebih
lanjut
2. Kaji kemampuan pasien dalam Data untuk menentukan evaluasi
mengontrol eliminasi fekal perkembangan pasien
3. Kaji jumlah dan karakteristik Menentukan pola inkontinensia
inkontinensia
4. Atur pola makan dan sesuaikan dengan Pola makan disesuaikan dengan eliminasi
pola eliminasi normal fekal. Ada waktu proses pencernaan makanan
dengan proses pembentukan fases
5. Jaga kebersihan daerah anus atau Meminimalkan terjadi komplikasi iritasi dan
sekitar ostomi gangguan integrasi kulit
6. Kolaborasi dengan fisioterapis untuk Membantu mengontrol buang air besar
bowel training dan latihan otot panggul
7. Kolaborasi dengan tim medis untuk Mengetahui penyebab inkontinensia fekal
program pengobatan
8. Berikan pendidikan kesehatan tentang Memahami masalah yang dihadapi dan pasien
perubahan pola eliminasindan rencana dapat menyesuaikan diri dengan keadaan
tindak lanjut perawatan yang akan dirinya
dilakukan

Anda mungkin juga menyukai