Anda di halaman 1dari 4

Giovani Wijonarko

260112170562

Kasus:

(Angina pektoris Pediatri)

Seorang anak laki-laki berusia 12 tahun masuk ke UGD dengan eksaserbasi asma. Laju
pernapasan 35 kali/menit, denyut jantung 96 kali/menit, suhu tubuhnya 37,3oC. Terdengar
‘wheezing’ di seluruh bagian paru.

Pasien ini memiliki riwayat penyakit ISPA selama 2 hari dan riwayat penyakit asma selama
10 tahun. Pasien tidak patuh mengonsumsi obat dan tidak check-up selama 4 tahun terakhir.
Saat pasien merasa sesak dan batuk di siang maupun malam hari, pasien hanya menggunakan
inhaler salbutamol untuk menghilangkan gejalanya. Pasien juga memiliki riwayat rinitis
alergi dan diberikan obat kortikosteroid nasal spray. Keluarganya juga positif memiliki
riwayat rinitis alergi.

Berikut pemeriksaan klinis pasien:

pH darah : 7,40
pCO2 : 30 mmHg
pO2 : 60 mmHg
HCO3- : 20,4 mEq/L
Saturasi O2 : <90%

CKMB dan troponin I normal.

Pasien diberikan ventolin nebulizer setiap 20 menit selama 1 jam; antikolinergik dan
kortikosteroid. Setelah pemberian obat tersebut, tidak terjadi perubahan pada kondisi pasien.
Kemudian pasien diberikan Mg Sulfat infus. Dalam bebrapa hari perawatan di RS, kondisi
pasien membaik, laju pernapasan 25 kali/menit, dan denyut jantung nya 90 kali/menit. Suara
‘wheezing’ masih ada, sehingga masih terus diberikan ventolin nebulizer setiap jam. Tetapi,
setelah dua jam pasien mengalami sesak dada, hal tersebut terjadi 10 menit setelah pasien
diberikan ventolin dosis terakhir. Pasien merasa gelisah dan pernapasannya cepat serta
dangkal (takipnea) dan berteriak kesakitan. Denyut jantungnya menjadi 110 kali/menit,
tekanan darah nya 130/90 mmHg, dan saturasi oksigen menjadi 89%.

Bagaimana pengobatan yang tepat untuk pasien tersebut?

Subjek:

Seorang anak laki-laki berusia 12 tahun dengan eksaserbasi asma, memiliki riwayat penyakit
ISPA selama 2 hari, asma selama 10 tahun, dan rinitis alergi. Pasien menggunakan inhaler
salbutamol apabila merasa sesak dan diberikan obat kortikosteroid nasal spray untuk rinitis
alergi. Pasien mengalami rasa sulit bernapas dan mengidap angina pektoris setelah
melakukan terapi bronkodilator.

Objek:

· laju pernafasan 35 kali/ menit, normal = 18-30 bpm

· denyut jantung 96 denyut / menit, normal = 50-90 bpm

· pembacaan pO2 90% di udara ruangan, normal = 95-100%

· suhu 37,3 ° C, normal = 36,6 – 37,0 oC

· adanya sengatan suara hidung, dan wheezing diffuse di semua bidang paru- paru.

· Gas darah arterial (ABG) menunjukkan pH: 7,40, normal = 7,35 – 7,45

· tekanan karbon monoksida (pCO2): 30 mmHg, normal = 35-45 mmHg

· tekanan oksigen (pO2): 60 mmHg, normal = 80-100 mmHg

· sodium bicarbonate (HCO3-): 20,4 mEq / L. Normal = 22-26 mEq/L

· X-ray dadanya mengungkapkan hiperinflasi tanpa bukti adanya infiltrasi paru atau
pneumotoraks.

· Elektrokardiogram (EKG) menunjukkan sinus takikardia. Pemeriksaan denyut nadi masih


terbaca di bawah 90%, dan pasien mengalami peningkatan kebutuhan udara dan angina
pektoris setelah terapi bronkodilator.

· CKMB (creatine kinase-MB) dan Troponin I, dan keduanya normal.


Assesment:

Pasien memiliki riwayat asma yang tidak terkontrol sehingga mengalami kambuh yang cukup parah.
Diberikan pengobatan oksigen dengan masker reservoir dan ventolin setiap 20 menit selama 1 jam
namun masih terdapat gejala wheezing sehingga digunakan kembali ventolin nebulizer setiap
jamnya, namun setelah 2 jam pasien mengalami nyeri dada yang parah dan didiagnosis sebagai
angina pectoris. Faktor akibat fraktur pneumotoraks dan tulang rusuk dari sinar X dada dapat
dikecualikan karena tidak adanya kelainan, dan EKG pasien (elektrokardiogram) tidak
memiliki tanda adanya perubahan iskemik. Pasien tidak memiliki riwayat trauma dinding
dada atau anemia sel sabit. Tes darah dan elektrolit juga normal. Namun hipoksia dan asma
berat yang merupakan faktor nekrosis miokard dalam kondisi hipoksemia seperti serangan asma yang
parah, aktivasi aktivasi agonis beta dapat menyebabkan kerusakan signifikan pada hubungan
pasokan / permintaan oksigen miokard, dan ini dapat menyebabkan infark miokardium. Jadi,
dilakukan pemeriksaan CKMB dan troponin I, dengan hasil normal, dan EKG tidak
menunjukkan adanya perubahan iskemik. Pasien tidak menerima oksigen sementara ventolin
diberikan, dan, segera setelah menerima oksigen tambahan, ketidaknyamanan dada pasien
membaik. Ketidakseimbangan elektrolit dan nekrosis miokard sebagai efek samping
nebulisasi salbutamol kontinu dikeluarkan. Dari analisis tersebut maka di duga angina
pektoris yang dialami pasien terjadi akibat pengunaan ventolin tanpa disertai pemberian
oksigen. Ventolin Nebules termasuk obat golongan agonis adrenoreseptor beta-2 selektif
kerja pendek (short acting beta-adrenergic receptor agonist). Obat ini bekerja dengan cara
merangsang secara selektif reseptor beta-2 adrenergik terutama pada otot bronkus (saluran
pernafasan). Hal ini menyebabkan terjadinya bronkodilatasi (pelebaran) karena otot bronkus
(saluran pernafasan) mengalami relaksasi (pengenduran syaraf). Salah satu efek samping
yang diakibatkan oleh ventolin yaitu percepatan denyut jantung, sehingga jumlah darah yang
di pompa oleh jantung akan menurun dan menyebabkan jantung kekurangan oksigen.
Kurangnya oksigen pada jantung inilah yang menyebabkan nyeri dada yang cukup parah atau
biasa disebut dengan angina pektoris. Maka dari kasus ini terjadi medication errors yaitu
kesalahan dari tenaga kesehatan dan ada DRP akibat adanya indikasi tanpa pengobatan dan
efek samping obat yang menyebabkan timbulnya penyakit lain.

Plan:
Asthma Guideline of The British Thoracic Society merekomendasikan oksigen sebagai
treatment untuk seluruh pasien dengan asma akut atau kronis. Ketika asma kambuh,
pemberian β2 agonis dapat memperparah hipoksemia sehingga perlu diberikan kombinasi
dengan oksigen. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, saat pasien datang ke UGD, pasien
mengalami asma dengan saturasi oksigen dibawah normal artinya pasien mengalami
hipoksemia. Sehingga pasien perlu diberikan oksigen sebelum dan bersamaan dengan
pemberian ventolin nebulizer.

Anda mungkin juga menyukai