Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN SINDROM KORONER AKUT (SKA)


A. Definisi
Andra (2006) mengatakan Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah kejadian
kegawatan pada pembuluh darah koroner.Wasid (2007) menambahkan bahwa SKA
adalah suatu fase akut dari Angina Pectoris Tidak Stabil/ APTS yang disertai Infark
Miocard akut/ IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau
tanpa gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena
adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil.
Harun (2007) berpendapat istilah SKA banyak digunakan saat ini untuk
menggambarkan kejadian kegawatan pada pembuluh darah coroner. Sindrom coroner
Akut merupakan satu sindrom yang terdiri dari beberapa penyakit coroner yaitu,
angina tak stabil (unstable angina), infark miokard non-elevasi ST, infark miokard
dengan elevasi ST, maupun angina pektoris pasca infark atau pasca tindakan
intervensi coroner perkutan. Sindrom coroner Akut merupakan keadaan darurat
jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai
akibat iskemia miokardium.

B. Etiologi
Rilantono (1996) mengatakan sumber masalah sesungguhnya hanya terletak
pada penyempitan pembuluh darah jantung (vasokonstriksi). Penyempitan ini
diakibatkan oleh empat hal, meliputi:
1. Adanya timbunan-lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah akibat konsumsi
kolesterol tinggi.
2. Sumbatan (trombosis) oleh sel beku darah (trombus).
3. Vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah akibat kejang yang terus menerus.
4. Infeksi pada pembuluh darah.
Wasid (2007) menambahkan mulai terjadinya SKA dipengaruhi oleh beberapa
keadaan, yakni:
1. Aktivitas/latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan)
2. Stress emosi, terkejut
3. Udara dingin, keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan peningkatan
aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung
meningkat, dan kontraktilitas jantung meningkat.

C. Klasifikasi
Wasid (2007) mengatakan berat/ ringannya Sindrom Koroner Akut menurut
Braunwald (1993) adalah:
1. Kelas I: Serangan baru, yaitu kurang dari 2 bulan progresif, berat, dengan nyeri pada
waktu istirahat, atau aktivitas sangat ringan, terjadi >2 kali per hari.
2. Kelas II: Sub akut, yakni sakit dada antara 48 jam sampai dengan 1 bulan pada waktu
istirahat.
3. Kelas III: Akut, yakni kurang dari 48 jam.
Secara Klinis:
1. Klas A: Sekunder, dicetuskan oleh hal-hal di luar koroner, seperti anemia, infeksi,
demam, hipotensi, takiaritmi, tirotoksikosis, dan hipoksia karena gagal napas.
2. Kelas B: Primer.
3. Klas C: Setelah infark (dalam 2 minggu IMA). Belum pernah diobati. Dengan anti
angina (penghambat beta adrenergik, nitrat, dan antagonis kalsium ) Antiangina dan
nitrogliserin intravena.

D. Patofisiologi
Rilantono (1996) mengatakan SKA dimulai dengan adanya ruptur plak arter
koroner, aktivasi kaskade pembekuan dan platelet, pembentukan trombus, serta aliran
darah coroner yang mendadak berkurang. Hal ini terjadi pada pla coroner yang kaya
lipid dengan fibrous cap yang tipis (vulnerable plaque). Ini disebut fase plaque
disruption ‘disrupsi plak’. Setelah plak mengalami ruptur maka faktor jaringan (tissue
factor) dikeluarkan dan bersama faktor VIIa membentuk tissue factor VIIa complex
mengaktifkan faktor X menjadi faktor Xa sebagai penyebab terjadinya produksi
trombin yang banyak. Adanya adesi platelet, aktivasi, dan agregasi, menyebabkan
pembentukan trombus arteri koroner. Ini disebut fase acute thrombosis ‘trombosi
akut’. Proses inflamasi yang melibatkan aktivasi makrofage dan sel T limfosit,
proteinase, dan sitokin, menyokong terjadinya ruptur plak serta trombosis tersebut.
Sel inflamasi tersebut bertanggung jawab terhadap destabilisasi plak melalui
perubahan dalam antiadesif dan antikoagulan menjadi prokoagulan sel endotelial,
yang menghasilkan faktor jaringan dalam monosit sehingga menyebabkan ruptur
plak. Oleh karena itu, adanya leukositosis dan peningkatan kadar CRP merupakan
petanda inflamasi pada kejadian coroner akut(IMA) dan mempunyai nilai prognostic.
Pada 15% pasien IMA didapatkan kenaikan CRP meskipun troponin-T negatif.
Endotelium mempunyai peranan homeostasis vaskular yang memproduksi berbagai
zat vasokonstriktor maupun vasodilator lokal. Jika mengalami aterosklerosis maka
segera terjadi disfungsi endotel (bahkan sebelum terjadinya plak). Disfungsi endotel
ini dapat disebabkan meningkatnya inaktivasi nitrit oksid (NO) oleh beberapa spesies
oksigen reaktif, yakni xanthine oxidase, NADH/ NADPH (nicotinamide adenine
dinucleotide phosphate oxidase), dan endothelial cell Nitric Oxide Synthase (eNOS).
Oksigen reaktif ini dianggap dapat terjadi pada hiperkolesterolemia, diabetes,
aterosklerosis, perokok, hipertensi, dan gagal jantung. Diduga masih ada beberapa
enzim yang terlibat dalam produk radikal pada dinding pembuluh darah, misalnya
lipooxygenases dan P450-monooxygenases. Angiotensin II juga merupakan aktivator
NADPH oxidase yang poten. Ia dapat meningkatkan inflamasi dinding pembuluh
darah melalui pengerahan makrofage yang menghasilkan monocyte chemoattractan
protein-1 dari dinding pembuluh darah sebagai aterogenesis yang esensial.
Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri coroner akibat disfungsi
endotel ringan dekat lesi atau respons terhadap lesi itu. Pada keadaan disfungsi
endotel, faktor konstriktor lebih dominan (yakni endotelin-1, tromboksan A2, dan
prostaglandin H2) daripada faktor relaksator (yakni nitrit oksid dan prostasiklin).
Nitrit Oksid secara langsung menghambat proliferasi sel otot polos dan migrasi, adesi
leukosit ke endotel, serta agregasi platelet dan sebagai proatherogenic. Melalui efek
melawan, TXA2 juga menghambat agregasi platelet dan menurunkan kontraktilitas
miokard, dilatasi coroner, menekan fibrilasi ventrikel, dan luasnya infark. Sindrom
coroner akut yang diteliti secara angiografi 60—70% menunjukkan obstruksi plak
aterosklerosis yang ringan sampai dengan moderat, dan terjadi disrupsi plak karena
beberapa hal, yakni tipis - tebalnya fibrous cap yang menutupi inti lemak, adanya
inflamasi pada kapsul, dan hemodinamik stress mekanik. Adapun mulai terjadinya
Sindrom coroner akut, khususnya IMA, dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni
aktivitas/ latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan), stress emosi, terkejut,
udara dingin, waktu dari suatu siklus harian (pagi hari), dan hari dari suatu mingguan
(Senin). Keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan peningkatan aktivitas
simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung meningkat,
kontraktilitas jantung meningkat, dan aliran coroner juga meningkat. Dari mekanisme
inilah beta blocker mendapat tempat sebagai pencegahan dan terapi.
Patofisiologi Sindrom Koroner Akut (SKA)
E. Manifestasi klinis
Rilantono (1996) mengatakan gejala Sindrom Koroner Akut berupa keluhan
nyeri ditengah dada, seperti: rasa ditekan, rasa diremas-remas, menjalar ke
leher,lengan kiri dan kanan, serta ulu hati, rasa terbakar dengan sesak napas dan
keringat dingin, dan keluhan nyeri ini bisa merambat ke kedua rahang gigi kanan atau
kiri, bahu,serta punggung. Lebih spesifik, ada juga yang disertai kembung pada ulu
hati seperti masuk angin atau maag.
Tapan (2002) menambahkan gejala kliniknya meliputi:
1. Terbentuknya thrombus yang menyebabkan darah sukar mengalir ke otot jantung dan
daerah yang diperdarahi menjadi terancam mati .
2. Rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada (angina). Lokasi
nyeri biasanya berada di sisi tengah atau kiri dada dan berlangsung selama lebih dari
20 menit. Rasa nyeri ini dapat menjalar ke rahang bawah, leher, bahu dan lengan serta
ke punggung. Nyeri dapat timbul pada waktu istirahat. Nyeri ini dapat pula timbul
pada penderita yang sebelumnya belum pernah mengalami hal ini atau pada penderita
yang pernah mengalami angina, namun pada kali ini pola serangannya menjadi lebih
berat atau lebih sering.
3. Selain gejala-gejala yang khas di atas, bisa juga terjadi penderita hanya mengeluh
seolah pencernaannya terganggu atau hanya berupa nyeri yang terasa di ulu hati.
Keluhan di atas dapat disertai dengan sesak, muntah atau keringat dingin.

F. Pemeriksaan Diagnostik
Wasid (2007) mengatakan cara mendiagnosis IMA, ada 3 komponen yang
harus ditemukan, yakni:
1. Sakit dada
2. Perubahan EKG, berupa gambaran STEMI/ NSTEMI dengan atau tanpa gelombang
Q patologik
3. Peningkatan enzim jantung (paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal), terutama
CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin lebih spesifik untuk nekrosis miokard.
Nilai normal troponin ialah 0,1--0,2 ng/dl, dan dianggap positif bila > 0,2 ng/dl.
G. Penatalaksanaan
Rilantono (1996) mengatakan tahap awal dan cepat pengobatan pasien SKA
adalah:
1. Oksigenasi: Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi kekurangan
oksigen pada miokard yang mengalami cedera serta menurunkan beratnya ST-elevasi.
Ini dilakukan sampai dengan pasien stabil dengan level oksigen 2–3 liter/ menit
secara kanul hidung.
2. Nitrogliserin (NTG): digunakan pada pasien yang tidak hipotensi. Mula-mula secara
sublingual (SL) (0,3 – 0,6 mg ), atau aerosol spray. Jika sakit dada tetap ada setelah
3x NTG setiap 5 menit dilanjutkan dengan drip intravena 5–10 ug/menit (jangan lebih
200 ug/menit ) dan tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya
ialah memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan kebutuhan oksigen
di miokard; menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah tegangan dinding
ventrikel; dilatasi arteri coroner besar dan memperbaiki aliran kolateral; serta
menghambat agregasi platelet (masih menjadi pertanyaan).
3. Morphine: Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan;
mengurangi rasa sakit akibat iskemia; meningkatkan venous capacitance;
menurunkan tahanan pembuluh sistemik; serta nadi menurun dan tekanan darah juga
menurun, sehingga preload dan after load menurun, beban miokard berkurang, pasien
tenang tidak kesakitan. Dosis 2 – 4 mg intravena sambil memperhatikan efek
samping mual, bradikardi, dan depresi pernapasan
4. Aspirin: harus diberikan kepada semua pasien Sindrom coroner akut jika tidak ada
kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya ialah menghambat
siklooksigenase –1 dalam platelet dan mencegah pembentukan tromboksan-A2.
Kedua hal tersebut menyebabkan agregasi platelet dan konstriksi arterial.
5. Penelitian ISIS-2 (International Study of Infarct Survival) menyatakan bahwa Aspirin
menurunkan mortalitas sebanyak 19%, sedangkan "The Antiplatelet Trialists
Colaboration" melaporkan adanya penurunan kejadian vaskular IMA risiko tinggi
dari 14% menjadi 10% dan nonfatal IMA sebesar 30%. Dosis yang dianjurkan ialah
160–325 mg perhari, dan absorpsinya lebih baik "chewable" dari pada tablet,
terutama pada stadium awal 3,4. Aspirin suppositoria (325 mg) dapat diberikan pada
pasien yang mual atau muntah 4. Aspirin boleh diberikan bersama atau setelah
pemberian GPIIb/IIIa-I atau UFH (unfractioned heparin). Ternyata efektif dalam
menurunkan kematian, infark miokard, dan berulangnya angina pectoris.
6. Antitrombolitik lain: Clopidogrel, Ticlopidine: derivat tinopiridin ini menghambat
agregasi platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan menurunkan viskositas
darah dengan cara menghambat aksi ADP (adenosine diphosphate) pada reseptor
platelet., sehingga menurunkan kejadian iskemi. Ticlopidin bermakna dalam
menurunkan 46% kematian vaskular dan nonfatal infark miokard. Dapat dikombinasi
dengan Aspirin untuk prevensi trombosis dan iskemia berulang pada pasien yang
telah mengalami implantasi stent koroner. Pada pemasangan stent coroner dapat
memicu terjadinya trombosis, tetapi dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis
rendah (100 mg/hari) bersama Ticlopidine 2x 250 mg/hari. Colombo dkk.
memperoleh hasil yang baik dengan menurunnya risiko trombosis tersebut dari 4,5%
menjadi 1,3%, dan menurunnya komplikasi perdarahan dari 10–16% menjadi 0,2–
5,5%21. Namun, perlu diamati efek samping netropenia dan trombositopenia
(meskipun jarang) sampai dengan dapat terjadi purpura trombotik trombositopenia
sehingga perlu evaluasi hitung sel darah lengkap pada minggu II – III. Clopidogrel
sama efektifnya dengan Ticlopidine bila dikombinasi dengan Aspirin, namun tidak
ada korelasi dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi gastrointestinalnya bila
dibanding Aspirin, meskipun tidak terlepas dari adanya risiko perdarahan. Didapatkan
setiap 1.000 pasien SKA yang diberikan Clopidogrel, 6 orang membutuhkan tranfusi
darah 17,22. Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi dan mulai beraksi
sebagai antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah pemberian obat dan 40–60% inhibisi
dicapai dalam 3–7 hari. Penelitian CAPRIE (Clopidogrel vs ASA in Patients at Risk
of Ischemic Events ) menyimpulkan bahwa Clopidogrel secara bermakna lebih efektif
daripada ASA untuk pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah (IMA, stroke) pada
aterosklerosis (Product Monograph New Plavix).
Rilantono (1996) menambahkan penanganan Sindrom Koroner akut (SKA) meliputi:
1. Heparin: Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat-preparat baru yang
lebih aman (tanpa efek samping trombositopenia) dan lebih mudah pemantauannya
(tanpa aPTT). Heparin mempunyai efek menghambat tidak langsung pada
pembentukan trombin, namun dapat merangsang aktivasi platelet. Dosis UFH yang
dianjurkan terakhir (1999) ialah 60 ug/kg bolus, dilanjutkan dengan infus 12
ug/kg/jam maksimum bolus , yaitu 4.000 ug/kg, dan infus 1.000 ug/jam untuk pasien
dengan berat badan < 70 kg.
2. Low Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH): Diberikan pada APTS atau
NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai kelebihan dibanding dengan
UFH, yaitu mempunyai waktu paruh lebih lama; high bioavailability; dose –
independent clearance; mempunyai tahanan yang tinggi untuk menghambat aktivasi
platelet; tidak mengaktivasi platelet; menurunkan faktor von Willebrand; kejadian
trombositopenia sangat rendah; tidak perlu pemantauan aPTT ; rasio antifaktor Xa /
IIa lebih tinggi; lebih banyak menghambat alur faktor jaringan; dan lebih besar efek
hambatan dalam pembentukan trombi dan aktivitasnya. Termasuk dalam preparat ini
ialah Dalteparin, Enoxaparin, dan Fraxi-parin. Dosis Fraxiparin untuk APTS dan
NQMCI: 86 iu antiXa/kg intravena bersama Aspirin (maksimum 325 mg) kemudian
85 iu antiXa/kg subkutan selama 6 hari: 2 x tiap 12 jam (Technical Brochure of
Fraxiparin . Sanofi – Synthelabo).
3. Warfarin: Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran bahwa pengobatan
jangka panjang dapat memperoleh efek antikoagulan secara dini. Tak ada perbedaan
antara pemberian Warfarin plus Aspirin dengan Aspirin saja (CHAMP Study, CARS
Trial) sehingga tak dianjurkan pemberian kombinasi Warfarin dengan Asparin.
4. Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I): obat ini perlu diberikan pada NSTEMI
SKA dengan risiko tinggi, terutama hubungannya dengan intervensi koroner perkutan
(IKP). Pada STEMI, bila diberikan bersama trombolitik akan meningkatkan efek
reperfusi. Efek GPIIb/IIIa-I ialah menghambat agregasi platelet tersebut dan cukup
kuat terhadap semua tipe stimulan seperti trombin, ADP, kolagen, dan serotonin. Ada
3 perparat, yaitu Abciximab, Tirofiban, dan Eptifibatide yang diberikan secara
intravena. Ada juga secara peroral, yakni Orbofiban, Sibrafiban, dan Ximilofiban.
GPIIb/IIIa-I secara intravena jelas menurunkan kejadian coroner dengan segera,
namun pemberian peroral jangka lama tidak menguntungkan, bahkan dapat
meningkatkan mortalitas. Secara invitro obat ini lebih kuat daripada Aspirin dan
dapat digunakan untuk mengurangi akibat disrupsi plak. Banyak penelitian besar
telah dilakukan, baik GPIIb/IIIa-I sendiri maupun kombinasi dengan Aspirin,
Heparin, maupun pada saat tindakan angioplasti dengan hasil cukup baik. Namun,
tetap perlu diamati komplikasi perdarahannya dengan menghitung jumlah platelet
(trombositopenia) meskipun ditemukan tidak serius. Disebut trombositopenia berat
bila jumlah platelet < 50.000 ml 4,17,26. Dasgupta dkk. (2000) meneliti efek
trombositopenia yang terjadi pada Abciximab tetapi tidak terjadi pada Eptifibatide
atau Tirofiban dengan sebab yang belum jelas. Diduga karena Abciximab
menyebabkan respons antibodi yang merangsang kombinasi platelet meningkat dan
menyokong terjadinya trombositopenia. Penelitian TARGET menunjukkan
superioritas Abciximab dibanding Agrastat dan tidak ada perbedaan antara intergillin
dengan derivat yang lain. Penelitian ESPRIT memprogram untuk persiapan IKP,
ternyata hanya nenguntungkan pada grup APTS.
5. Direct Trombin Inhibitors: Hirudin, yaitu suatu antikoagulan yang berisi 65 asam
amino polipeptida yang mengikat langsung trombin. GUSTO IIb telah mencoba
terapi terhadap 12.142 pasien APTS/NSTEMI dan STEMI, namun tidak menunjukan
perbedaan yang bermakna terhadap mortalitas 17,28.
6. Trombolitik: dengan trombolitik pada STEMI dan left bundle branch block (LBBB)
baru, dapat menurunkan mortalitas dalam waktu pendek sebesar 18% 29, namun tidak
menguntungkan bagi kasus APTS dan NSTEMI. Walaupun tissue plasminogen
activator (t-PA) kombinasi dengan Aspirin dan dosis penuh UFH adalah superior dari
Streptokinase, hanya 54% pasien mencapai aliran normal pada daerah infark selama
90 menit 30,31,32,33. Trombolitik terbaru yang diharapkan dapat memperbaiki
patensi arteri coroner dan mortalitas ialah Reteplase (r-PA) dan Tenecteplase (TNK-t-
PA), karena mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada t-PA. Namun, ada 2
penelitian besar membandingkan t-PA dengan r-PA plus TNK-t-PA, namun ternyata
tidak ada perbedaan dan risiko perdarahannya sama saja.
7. Kateterisasi Jantung: selain pengunaan obat-obatan, teknik kateterisasi jantung saat
ini juga semakin maju. Tindakan memperdarahi (melalui pembuluh darah) daerah
yang kekurangan atau bahkan tidak memperoleh darah bisa dilaksanakan dengan
membuka sumbatan pembuluh darah coroner dengan balon dan lalu dipasang alat
yang disebut stent.Dengan demikian aliran darah akan dengan segera dapat kembali
mengalir menjadi normal.
Asuhan Keperawatan Klien dengan Sindrom Koroner Akut (SKA)
A. Pengkajian:
1. Identitas klien (umumnya jenis kelamin laki-laki dan usia > 50 tahun)
2. Keluhan (nyeri dada, Klien mengeluh nyeri ketika beristirahat , terasa panas, di dada
retro sternal menyebar ke lengan kiri dan punggung kiri, skala nyeri 8 (skala 1-10),
nyeri berlangsung ± 10 menit)
3. Riwayat penyakit sekarang (Klien mengeluh nyeri ketika beristirahat , terasa panas,
di dada retro sternal menyebar ke lengan kiri dan punggung kiri, skala nyeri 8 (skala
1-10), nyeri berlangsung ± 10 menit)
4. Riwayat penyakit sebelumnya (DM, hipertensi, kebiasaan merokok, pekerjaan,
stress), dan Riwayat penyakit keluarga (jantung, DM, hipertensi, ginjal).
B. Pemeriksaan Penunjang:
1. Perubahan EKG (berupa gambaran STEMI/ NSTEMI dengan atau tanpa gelombang
Q patologik)
2. Enzim jantung (meningkat paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal, terutama
CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin lebih spesifik untuk nekrosis miokard.
Nilai normal troponin ialah 0,1--0,2 ng/dl, dan dianggap positif bila > 0,2 ng/dl).
C. Pemeriksaan Fisik
1. B1: dispneu (+), diberikan O2 tambahan
2. B2: suara jantung murmur (+), chest pain (+), crt 2 dtk, akral dingin
3. B3: pupil isokor, reflek cahaya (+), reflek fisiologis (+)
4. B4: oliguri
5. B5: penurunan nafsu makan, mual (-), muntah (-)
6. B6: tidak ada masalah
D. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan
Masalah Keperawatan Intervensi
1. Chest Pain b.d. 1. Anjurkan klien untuk istirahat
penurunan
suplay oksigen ke miokard (R: istirahat akan memberikan ketenangan sebagai
salah satu relaksasi klien sehingga rasa nyeri yang
Tujuan : dirasakan berkurang, selain itu dengan beristirahat
Klien dapat beradaptasi dengan akan mengurangi O2 demand sehingga jantung
nyeri setelah mendapat perawatan tidak berkontraksi melebihi kemampuannya)
1x24 jam 2. Motivasi teknik relaksasi nafas dalam
Nyeri berkurang setelah intervensi (R: relaksasi napas dalam adalah salah satu teknik
selama 10 menit relaks dan distraksi, kondisi relaks akan
Kriteria hasil : menstimulus hormon endorfin yang memicu mood
a. Skala nyeri berkurang ketenangan bagi klien)
b. Klien mengatakan keluhan nyeri
3. Kolaborasi analgesik ASA 1 x 100 mg
berkurang (R: Analgesik akan mengeblok nosireseptor,
c. Klien tampak lebih tenang sehingga respon nyeri klien berkurang)
4. Evaluasi perubahan klien: Nadi, TD, RR, skala
nyeri, dan klinis
(R: mengevaluasi terapi yang sudah diberikan

Masalah Keperawatan Intervensi


2. Penurunan curah jantung 1. Berikan posisi kepala (> tinggi dari ekstrimitas)
Tujuan: Curah jantung meningkat R: posisi kepala lebih tinggi dari ekstremitas (30 o)
setelah untervensi selama 1 jam memperlancar aliran darah balik ke jantung,
Kriteria hasil : sehingga menghindari bendungan vena jugular, dan
a. TD normal, 100/80 -140/90 beban jantung tidak bertambah berat)
b. Nadi kuat, reguler 2. Motivasi klien untuk istirahat (bed rest)
R: beristirahat akan mengurangi O2 demand
sehingga jantung tidak berkontraksi melebihi
kemampuannya)
3. Berikan masker non reservoir 8 lt/mnt
R: pemberian oksigen akan membantu dalam
memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh)
4. Kolaborasi medikasi: Pemberian vasodilator
captopril, ISDN, Pemberian duretik furosemide
R: vasodilator dan diuretic bertujuan untuk
mengurangi beban jantung dengan cara
menurunkan preload dan afterload
5. Evaluasi perubahan: TD, nadi, dan klinis
R: mengevaluasi terapi yang sudah diberikan dan
sebagai perbaikan intervensi selanjutnya
Masalah Keperawatan Intervensi
3. Gangguan 1. Pantau TD dan nadi lebih intensif
keseimbangan
elektrolit : hipokalemia R: penurunan Kalium dalam darah berpengaruh
pada kontraksi jantung, dan hal ini mempengaruhi
Tujuan : Terjadi keseimbangan Td dan nadi klien, sehingga dengan memantau lebih
elektrolit setelah intervensi 1 jam intensif akan lebih waspada)
Kriteria hasil : 2. Anjurkan klien untuk istirahat
a. TD normal (100/80 – 140/90 R: beristirahat akan mengurangi O2 demand
mmHg) sehingga jantung tidak berkontraksi melebihi
b. Nadi kuat kemampuannya
c. Klien mengatakan kelelahan
3. Kolaborasi pemberian kalium : Kcl 15 mEq di
berkurang oplos dengan RL (500 cc/24 jam) dan Pantau
d. Nilai K normal (3,8 – 5,0 mmmo/L) kecepatan pemberian kalium IV
R: koreksi Kalium akan membantu menaikkan
kadar Kalium dalam darah
4. Evaluasi perubahan klien: TD, nadi, serum
elektrolit, dan klinis
R: untuk mengevaluasi terapi yang sudah diberikan
dan untuk program intervensi selanjutnya)
DAFTAR PUSTAKA

Andra. (2006). Sindrom Koroner Akut. Pendekatan Invasif Dini atau Konservatif.
http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=197. Diakses di
Kendari, tanggal 30 April 2014: Jam 10.54 WITA

Carpenito. (1998). Diagnosa Keperawata: Aplikasi Pada Praktek Klinis. Edisi VI. Jakarta: EGC

Rilantono, dkk. (1996). Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Wasid (2007). Tinjauan Pustaka Konsep Baru Penanganan Sindrom Koroner Akut.
http://nursingbrainriza.blogspot.com/2007/05/tinjauan-pustaka-konsep-baru
penanganan.html. Diaskes di Kendari, tanggal 30 April 2014: Jam 10.54 WITA

Anda mungkin juga menyukai