Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH AGAMA ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAHAN

PEMIKIRAN MUHAMMADIYAH DALAM BIDANG AQIDAH,


IBADAH, AKHLAK, DAN MUAMALAH DUNIAWIYAH

Disusun Oleh:
1. Husna Lathifatu Hilma (F120155010)
2. Ima Alimatul Habibah (F120155011)
3. Izza Mufarrikhah (F120155012)

Dosen Pengampu: Muttaqin, S.Sy., M.HI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH KUDUS


PROGRAM STUDI S-1 FARMASI
Alamat : Jl. Ganesha I Purwosari Kudus 59316, Jawa Tengah, Indonesia
Telp : (0291) 437 218/442993
TAHUN 2016

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Agama Islam dan
Kemuhammadiyahan dengan judul “Pemikiran Muhammadiyah Dalam Bidang Aqidah,
Ibadah, Akhlak, dan Muamalah Duniawiyah” dengan lancar.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna sehingga kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
menambah wawasan kita semua terutama dalam bidang farmasi.

Kudus, 25 November 2016

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................... i

KATA PENGANTAR ........................................................................ ii

DAFTAR ISI ..................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 1
1.3 Tujuan .................................................................................. 1
1.4 Manfaat ................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................... 3

2.1 Bidang Aqidah ..................................................................... 3


2.2 Bidang Ibadah ...................................................................... 4
2.3 Bidang Akhlak ..................................................................... 6
2.4 Bidang Muamalah Duniawiyah ............................................ 8

BAB III PENUTUP ............................................................................ 10

3.1 Simpulan ............................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Muhammadiyah adalah persyarikatan yang merupakan gerakan Islam. Maksud


geraknya ialah Da’wah Islam amar-ma’ruf nahi-munkar yang ditujukan pada dua bidang;
perseorangan dan masyarakat. Dakwah dan amar-makruf nahi-munkar pada bidang yang
pertama terbagi menjadi dua golongan, kepada yang Islam (umat ijabah) bersifat
pembaharuan (tajdid) yaitu mengembalikan kepada ajaran-ajaran agama Islam yang asli
murni. Yang kedua kepada yang belum islam (umat dakwah), bersifat seruan dan ajakan
untuk memeluk agama Islam. Adapun dakwah dana mar-ma’ruf nahi-munkar pada bidang
yang kedua, ialah kepada masyarakat, bersifat perbaikan dan bimbingan serta peringatan.
Adapun sifat dakwah yang ditujukan kepada orang yang sudah Islam (umat ijabah)
bukan lagi bersifat ajakan untuk menerima Islam sebagai keyakinan hidupnya, akan tetapi
bersifat tajdid dalam arti pemurnian. Artinya bahwa tajdid yang dikenakan kepada golongan
ini adalah bersifat menata kembali amal keagamaan mereka sedemikian bersih dan murninya
sebagaimana yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal tajdid atau pemurnian
terhadap amal keberagaman umat ijabah, Muhammadiyah mempunyai pemikiran-pemikiran
yang meliputi bidang Aqidah, Ibadah, Akhlak, dan Mumalah Duniawiyah.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pemikiran Muhammadiyah dalam bidang aqidah?
2. Bagaimana pemikiran Muhammadiyah dalam bidang ibadah?
3. Bagaimana pemikiran Muhammadiyah dalam bidang akhlak?
4. Bagaimana pemikiran Muhammadiyah dalam bidang muamalah duniawiyah?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pemikiran Muhammadiyah dalam bidang aqidah
2. Mengetahui pemikiran Muhammadiyah dalam bidang ibadah
3. Mengetahui pemikiran Muhammadiyah dalam bidang akhlak
4. Mengetahui pemikiran Muhammadiyah dalam bidang duniawiyah

1
1.4 Manfaat
Adapun manfaat mempelajari pemikiran-pemikiran Muhammadiyah adalah untuk
memahami dan mengerti tentang matan keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah yang
bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang:
a. Aqidah
b. Ibadah
c. Akhlak
d. Muamalah Duniawiyah

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Bidang Aqidah


Aqidah Islam menurut Muhammadiyah dirumuskan sebagai konsekuensi logis dari
gerakannya. Formulasi aqidah yang dirumuskan dengan merujuk langsung kepada sumber
utama ajaran Islam itu disebut ‘aqidah shahihah, yang menolak segala bentuk campur tangan
pemikiran teologis. Karakteristik aqidah Muhammadiyah itu secara umum dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Pertama, nash sebagai dasar rujukan. Semangat kembali kepada Al-Quran dan Sunnah
sebenarnya sudah menjadi tema umum pada setiap gerakan pembaharuan. Karena diyakini
sepenuhnya bahwa hanya dengan berpedoman pada kedua sumber utama itulah ajaran Islam
dapat hidup dan berkembang secara dinamis. Muhammadiyah juga menjadikan hal ini
sebagai tema sentral gerakannya, lebih-lebih dalam masalah ‘aqidah, seperti dinyatakan:
“Inilah pokok-pokok ‘aqidah yang benar itu, yang terdapat dalam Al-Quran dan dikuatkan
dengan pemberitaan-pemberitaan yang mutawatir.”
Berdasarkan pernyataan di atas, jelaslah bahwa sumber aqidah Muhammadiyah adalah
Al-Quran dan Sunnah yang dikuatkan dengan berita-berita yang mutawatir. Ketentuan ini
juga dijelaskan lagi dalam pokok-pokok Manhaj Tarjih sebagai berikut: “(5) Di dalam
masalah aqidah hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir, (6) Dalil-dalil umum Al-
Qquran dapat ditakhsis dengan hadits ahad, kecuali dalam bidang aqidah, (16) dalam
memahami nash, makna zhahir didahulukan daripada ta’wil dalam bidang aqidah dan takwil
sahabat dalam hal itu tidak harus diterima.” Ketentuan-ketentuan di atas jelas
menggambarkan bahwa secara tegas aqidah Muhammadiyah bersumber dari Al-Quran dan
Sunnah tanpa interpretasi filosofis seperti yang terdapat dalam aliran-aliran teologi pada
umumna. Sebagai konsekuensi dari penolakannya terhadap pemikiran filosofis ini, maka
dalam menghadapi ayat-ayat yang berkonotasi mengundang perdebatan teologis dalam
pemaknaannya, Muhammadiyah bersikap tawaqquf seperti halnya kaum salaf.
Kedua, keterbatasan peranan akal dalam soal aqida Muhammadiyah termasuk
kelompok yang memandang kenisbian akal dalam masalah aqidah. Sehingga formulasi posisi
akal sebagai berikut “Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak tercapai
pengertian oleh akal dalam hal kepercayaan, sebab akal manusia tidak mungkin mencapai
pengertian tentang Dzat Allah dan hubungan-Nya dengan sifat-sifat yang ada pada-Nya.”

3
Ketiga, kecondongan berpandangan ganda terhadap perbuatan manusia. Pertama, segala
perbuatan telah ditentukan oleh Allah dan manusia hanya dapat berikhtiar. Kedua, jika
ditinjau dari sisi manusia perbuatan manusia merupakan hasil usaha sendiri. Sedangkan bila
ditinjau dari sisi Tuhan, perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan.
Keempat, percaya kepada qadha’ dan qadar. Dalam Muhammadiyah qadha’ dan qadar
diyakini sebagai salah satu pokok aqidah yang terakhir dari formulasi rukun imannya, dengan
mengikuti formulasi yang diberikan oleh hadis mengenai pengertian Islam, Iman dan Ihsan.
Kelima, menetapkan sifat-sifat Allah. Seperti halnya pada aspek-aspek aqidah lainnya,
pandangan Muhammadiyah mengenai sifat-sifat Allah tidak dijelaskan secara mendetail.
Keterampilan yang mendekati kebenaran Muhammadiyah tetap cenderung kepada aqidah
salaf.

2.2 Bidang Ibadah


Secara etimologis ibadah berasal dari kata ‘ubu:dah, ‘Ubu:diyah, dan ‘abdiyah, yang
artinya tunduk dan merendahkan diri. Maksudnya menyerah dab tunduknya seseorang
terhadap orang lain secara patuh tanpa perlawanan, penyelewengan dan pendurhakaan,
hingga dilayaninya orang itu (yang dipatuhinya) menurut keinginan dan kemauannya.
(Maududi, Pengertian Ibadah, dan Ketuhanan Yang Maha Esa: 100)
Sementara Yusuf Qardhawi membatasi makna ibadah dengan kalimat yang sangat singkat,
yaitu “Kepatuhan yang menyeluruh yang dipadu dengan kecintaan yang menyeluruh”. (Yusuf
Qardhawy: 24). Sedang Majlis Tarjih Muhammadiyah merumuskan pengertian ibadah
sebagai berikut: “Bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan mentaati segala
perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya, dan mengamalkan semua yang diizinkan Allah
SWT”.
Dari batasan ibadah seperti di atas, selanjutnya Majlis Tarjih Muhammadiyah
membedakan ibadah menjadi dua, yaitu:
1). Ibadah Khusus atau ibadah mahdlah (mahdliyah), yakni ibadah yang telah ditetapkan
secara pasti oleh Sya:ri’ (pembuat hokum; yaitu Allah dan Rasul), baik rincian, tingkah
laku, maupun tata caranya. Contohnya seperti thaharah, shalat, umrah, dan haji.
2). Ibadah ‘Am, ibadah umum atau dapat dinamakan juga dengan istilah muamalat
duniawiyah, yaitu segala amalan keduniaan yang diizinkan Allah. Ibadah umum ini
dalam istilah umum meliputi bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan,
pertahanan, dan keamanan.

4
Pengertian ibadah yang dimaksud dalam pembahasan di sini adalah ibadah dalam arti
khusus, atau yang disebut ibadah mahdliyah. Ibadah ini berupa aturan Illahi yang mengatur
hubungan ritual langsung antara hamba dengan Tuhannya, yang cara, acara, tata cara, dan
upacaranya ditentukan dengan terperinci dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Terhadap
bidang ini tertutup sama sekali dari berbagai ragam ijtihad ataupun berbagai macam bid’ah,
serta dalam pengamalan dan penerapannya dilarang sekedar dengan sikap taqlid semata-mata.
A). Bid’ah
Dalam urusan ibadah mahdlah, hanya Rasulullah sendiri sajalah yang mengetahui
seluk-beluknya, baik rinciannya, tata cara dan tata pelaksanaannya. Hal itu dikarenakan
hanya Rasulullah yang mendapat pemberitahuan dari Allah secara langsung (55: 3), dan umat
Muhammad saw hanya dapat mengetahuinya mengenai perkara mahdlah lewat Rasulullah
semata-mata, bukan dari jalan lain betapapun orang tersebut sudah menduduki status
mujtahid besar. Dan kalau kemudian muncul hal-hal baru yang tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah, apakah dalam wujud menambahkannya, mengurangi atau justru mengadakan hal
yang baru sama sekali maka semua itu adalah terlarang menurut agama, dan itulah yang
disebut bid’ah dalam bidang ibadah mahdlah. Orang yang secara sengaja melakukan hal
semacam ini oleh Rasulullah diancam masuk neraka. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw
menengaskan: “Barangsiapa berucap mengatasnamakan aku sesuatu hal yang tidak pernah
aku ucapkan, maka ia akan disediakan tempat duduk di atas bara api neraka”. (H.R. Bukhari
dari Salmah bin al-Akwa’ra)
Melakukan bid’ah dalam bidang ibadah mahdlah hakikatnya merupakan
kesombongan yang luar biasa dan menampakkan diri sebagai manusia yang tidak tahu diri.
Mengapa tidak, sebab dengan menambah-nambah dalam bidang ibadah mahdlah ia berarti
telah melangkah ke kawasan yang sama sekali bukan kewenangannya. Ia telah melangkah
memasuki suatu kawasan yang terlarang bagi siapa pun kecuali Rasulullah sendiri, sebagai
satu-satunya orang yang diberi otoritas untuk menentukannya kepada umat pengikutnya.
Dengan sikap seperti di atas berarti pula bahwa ia merasa seakan-akan dirinya lebih tahu
mengenai urusan ibadah mahdlah dari Nabi sekaligus menjatuhkan penilaian naif bahwa apa
yang dituntunkan oleh Nabi-Guru Agung-belum sempurna dan belum tuntas, justru karena itu
maka perlu dituntaskan dan disempurnakan.
Sikap seseorang yang membuat-buat hal yang baru dalam ibadah mahdlah serupa itu,
kalau dirinya masih mengaku sebagai pengikut Risalah Rasulullah adalah bertabrakan secara
diametral dengan Al-Qur’an (3: 31), karena dirinya sama sekali tidak menampakkan sebagai

5
seorang pengikut (fellower) yang baik, sebagaimana yang tergambar dalam Al-Qur’an (24:
51)
b). Taqlid
Taqlid menurut Bahasa ialah meniru orang lain, tanpa pertimbangan. Taqlid menurut
syara’ ialah mengikuti pendapat orang lain dalam urusan agama, termasuk juga bidang ibadah
mahdlah tanpa mengetahui sumber atau alasannya.
Agama Islam sangat menghargai akal pikiran manusia yang difungsikan secara
optimal dan proporsional. Hal ini terbukti ada berpuluh-puluh ayat Al-Qur’an yang selalu
ditutup dengan kalimat: ya ulil albab, afala tatafakkarun, afala ta’qilun, afala tadzakkarun,
afala yatadabbarun –dan sebagainya. Sesungguhnya lewat ayat-ayat serupa itu terlihat esensi
sebenarnya dari hakikat manusia. Kalau Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia adalah
makhluk Allah yang “ahsanu taqwim” (95: 4), maka makna bentuk yang sebaik-baiknya
justru terletak pada potensi akal pikirannya, bukan pada wujud penampilan lahir atau raganya.
Dengan kata lain bahwa eksistensi manusia akan ditampakkan salah satunya sebagai makhluk
rasional atau terkenal dengan atribut sebagai homo rationale.

Agama Islam diturunkan dan dibimbingkan hanya bagi manusia yang berakal,
sebagaimana kata Nabi saw: “La di:na liman la ‘aqalalahu”, ‘tidak ada agama bagi orang
yang tiada akal baginya’; atau kalau dibuat kalimat positif bermakna ‘agama (Islam) itu
hanya bagi orang yang berakal saja’, diperuntukkan bagi orang berakal, dan bersesuaian
dengan akal maka Islam sangat mencela terhadap pemeluknya yang dalam pengamalan Islam
hanya bersikap ikut-ikutan atau bersikap taqlid (17: 36). Sikap taqlid sama artinya dengan
mengingkari jati dirinya selaku makhluk yang terbaik serta selaku homo rationale.

2.3 Bidang Akhlak


Mengingat pentingnya akhlaq dalam kaitannya dengan keimanan seseorang, maka
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam juga dengan tegas menempatkan akhlaq sebagai salah
satu sendi dasar sikap keberagamaannya. Dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah dijelaskan “Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlaq mulia
dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah Rasul, tidak bersendi pada
nilai-nilai ciptaan manusia.”
Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan (Imam Ghazali). Nilai dan perilaku baik dan burruk seperti sabar, syukur,

6
tawakal, birrul walidaini, syaja’ah dan sebagainya (Al-Akhlaqul Mahmudah) dan sombong,
takabur, dengki, riya’, ‘uququl walidain dan sebagainya (Al-Akhlaqul Madzmuham).
Mengenai Muhammadiyah menjadikan akhlaq sebagai salah satu garis perjuangannya,
hal ini selain secara tegas dinyatakan dalam nash, juga tidak dapat dipisahkan dari akar
historis yang melatarbelakangi kelahirannya. Kebodohan, perpecahan di antara sesama orang
Islam, melemahnya jiwa santun terhadap dhu’afa’, pernghormatan yang berlebi-lebihan
terhadap orang yang dianggap suci dan lain-lain, adalah bentuk realisasi tidak tegaknya
ajaran akhlaqul karimah.
Untuk menghidupkan akhlaq yang islami, maka Muhammadiyah berusaha
memperbaiki dasar-dasar ajaran yang sudah lama menjadi keyakinan umat Islam, yaitu
dengan menyampaikan ajaran yang benar-benar berdasar pada ajaran Alquran dan Sunnah
Maqbulah, membersihkan jiwa dari kesyirikan, sehingga kepatuhan dan ketundukan hanya
semata-mata kepada Allah. Usaha tersebut ditempuh melalui pendidikan, sehingga sifat
bodoh dan inferoritas berangsur-angsur habis kemudian membina ukhuwah antar sesame
muslim yang disemangati oleh Surat Ali Imron ayat 103.
Adapun sifat-sifat akhlak Islam dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Akhlaq Rabbani: Sumber akhlaq Islam itu wahyu Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah, bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Akhlaq Islamlah
moral yang tidak bersifat kondisional dan situasional, tetapi akhlaq yang memiliki nilai-
nilai yang mutlak. Akhlaq rabbanilah yang mampu menghindari nilai moralitas dalam
hidup manusia (Q.S.) Al-An’am / 6 : 153).
2. Akhlak Manusiawi. Akhlaq dalam Islam sejalan dan memenuhi fitrah manusia. Jiwa
manusia yang merindukan kebaikan, dan akan terpenuhi dengan mengikuti ajaran akhlaq
dalam Islam. Akhlaq Islam benar-benar memelihara eksistensi manusia sebagai makhluk
terhormat sesuai dengan fitrahnya.
3. Akhlak Universal. Sesuai dengan kemanusiaan yang universal dan menyangkut segala
aspek kehidupan manusia baik yang berdimensi vertikal, maupun horizontal. (Q.S. Al-
An’nam : 151-152).
4. Akhlak Keseimbangan. Akhlaq Islam dapat memenuhi kebutuhan sewaktu hidup di dunia
maupun di akhirat, memenuhi tuntutan kebutuhan manusia duniawi maupun ukhrawi
secara seimbang, begitu juga memenuhi kebutuhan pribadi dan kewajiban terhadap
masyarakat, seimbang pula. (H.R. Buhkori).

7
5. Akhlaq Realistik. Akhlaq Islam memperhatikan kenyataan hidup manusia walaupun
manusia dinyatakan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk
lain, namun manusia memiliki kelemahan-kelemahan itu yaitu sangat mungkin melakukan
kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat.
Bahkan dalam keadaan terpaksa. Islam membolehkan manusia melakukan yang dalam
keadaan biasa tidak dibenarkan. (Q.S. Al- Baqarah / 27 : 173)

2.4 Bidang Muamalah Duniawiyah


Dari segi Bahasa muamalat duniawiyat berarti berbagai macam amaan keduniaan.
Sementara kalau dilihat dari segi istilah mengandung pengertian tata aturan Ilahi yang
mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dengan benda. Muamalat duniawiyat
ini mencakup bidang yang sangat luas, dan bukan menjadi tujuan poko medan garap bagi
diutusnya para Rasul Allah. Ia meliputi bidang politik, social, ekonomi, kesenian,
kebudayaan, pendidikan, dan sebagainya.
Bidang yang bersangkutan dengan urusan keduniaan, betapa pun bukan menjadi tujuan
pokok bidang garap diutusnya para Nabi, termasuk juga Nabi Muhammad saw, namun bukan
berarti bahwa ajaran Islam sama sekali tidak menaruh perhatian kepadanya. Sebaliknya
ajaran Islam menaruh perhatian –yang sangat serius terhadap berbagai ragam urusan
keduniaan. Hal ini dikarenakan masalah keduniaan bagi Islam dianggap sebagai tempat
bercocok tanam bagi kehidupan akhirat. Dan karena fungsinya seperti itu maka dapat
dipahami kalau agama Islam memandang sangat positif terhadap kehidupan dunia yang
hakikatnya mempunyai pertalian yang erat dengan kehidupan akhirat. Sikap positif terhadap
kehidupan dunia semacam itulah yang melatarbelakangi dikukuhkannya manusia selaku
khalifah Allah di atas bumi, dengan misi memperjuangkan terwujudnya tata kehidupan
masyarakat yang utama, adil dan makmur bahagia sejahtera.
Menata berbagai bidang yang ada dalam ruang lingkup muamalat duniawiyat adalah
sangat diperlukan guna mengantarkan sekaligus menjaga kelestarian tata kehidupan
masyarakat seperti di atas. Dalam hal ini agama Islam memberikan berbagai pedoman, baik
dalam bentuk qaidah-qaidah hukum yang ditegaskan oleh ajaran Islam, meliputi masalah
munakahat (hukum nikah), hukum niaga, warastah (hukum waris), jinayah (hukum pidana),
khilafah (hukum kenegaraan), jihad (hukum perang dan damai) dan lain sebagainya.
Sementara terhadap bidang –bidang keduniaan yang tidak tercakup dalam rincian di atas,
Islam memberikan qaidah-qaidah moral yang diharapkan dapat dijadikan fundamen dasar
dalam mengembangkan bidang-bidang tersebut.

8
Tajdid dalam bidang muamalat duniawiyat ini adalah dalam bentuk membimbingkan,
menuntunkan kepada mereka agar dalam berkiprah di tengah-tengah masyarakat dengan
berbagai kegiatannya mereka selalu berpedoman kepada qaidah-qaidah yang telah digariskan
oleh ajaran agama.
Di dalam prinsip-prinsip Majlis Tarjih poin 14 disebutkan “Dalam hal-hal termasuk Al-
Umurud Dunyawiyah yang tidak termasuk tugas para nabi, menggunakan akal sangat
diperlukan, demi untuk tercapainya kemaslahatan umat.”
Adapun prinsip-prinsip mu’amalah dunyawiyah yang terpenting antara lain:
1. Menganut prinsip mubah.
2. Harus dilakukan dengan saling rela artinya tidak ada yang dipaksa.
3. Harus saling menguntungkan. Artinya mu’amalah dilakukan untuk menarik mamfaat dan
menolak kemudharatan.
4. Harus sesuai dengan prinsip keadilan.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
a. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala
kemusyrikan, bid’ah, dan khurofat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran
Islam.
b. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah saw
tanpa tambahan dan perubahan dari manusia
c. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman
kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai
ciptaan manusia.
d. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya muamalat duniawiyah (pengolahan dunia dan
pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran agama serta menjadikan semua
kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT.

10
DAFTAR PUSTAKA

Pasha, Musthafa Kamal, Ahmad Adaby Darban. 2002. Muhammadiyah sebagai Gerakan
Islam dalam Perspektif Historis dan Ideologis. Yogyakarta: LPPI UMY
http://www.pdmbontang.com/cetak.php?id=306
http://antonwiki.blogspot.co.id/2012/01/paham-muhammadiyah.html

11

Anda mungkin juga menyukai