MAKALAH Pemikiran Muhammadiyah Dalam Bidang Aqidah Kel 3
MAKALAH Pemikiran Muhammadiyah Dalam Bidang Aqidah Kel 3
Disusun Oleh:
1. Husna Lathifatu Hilma (F120155010)
2. Ima Alimatul Habibah (F120155011)
3. Izza Mufarrikhah (F120155012)
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Agama Islam dan
Kemuhammadiyahan dengan judul “Pemikiran Muhammadiyah Dalam Bidang Aqidah,
Ibadah, Akhlak, dan Muamalah Duniawiyah” dengan lancar.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna sehingga kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
menambah wawasan kita semua terutama dalam bidang farmasi.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN.................................................................... 3
DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pemikiran Muhammadiyah dalam bidang aqidah
2. Mengetahui pemikiran Muhammadiyah dalam bidang ibadah
3. Mengetahui pemikiran Muhammadiyah dalam bidang akhlak
4. Mengetahui pemikiran Muhammadiyah dalam bidang duniawiyah
1
1.4 Manfaat
Adapun manfaat mempelajari pemikiran-pemikiran Muhammadiyah adalah untuk
memahami dan mengerti tentang matan keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah yang
bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang:
a. Aqidah
b. Ibadah
c. Akhlak
d. Muamalah Duniawiyah
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Ketiga, kecondongan berpandangan ganda terhadap perbuatan manusia. Pertama, segala
perbuatan telah ditentukan oleh Allah dan manusia hanya dapat berikhtiar. Kedua, jika
ditinjau dari sisi manusia perbuatan manusia merupakan hasil usaha sendiri. Sedangkan bila
ditinjau dari sisi Tuhan, perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan.
Keempat, percaya kepada qadha’ dan qadar. Dalam Muhammadiyah qadha’ dan qadar
diyakini sebagai salah satu pokok aqidah yang terakhir dari formulasi rukun imannya, dengan
mengikuti formulasi yang diberikan oleh hadis mengenai pengertian Islam, Iman dan Ihsan.
Kelima, menetapkan sifat-sifat Allah. Seperti halnya pada aspek-aspek aqidah lainnya,
pandangan Muhammadiyah mengenai sifat-sifat Allah tidak dijelaskan secara mendetail.
Keterampilan yang mendekati kebenaran Muhammadiyah tetap cenderung kepada aqidah
salaf.
4
Pengertian ibadah yang dimaksud dalam pembahasan di sini adalah ibadah dalam arti
khusus, atau yang disebut ibadah mahdliyah. Ibadah ini berupa aturan Illahi yang mengatur
hubungan ritual langsung antara hamba dengan Tuhannya, yang cara, acara, tata cara, dan
upacaranya ditentukan dengan terperinci dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Terhadap
bidang ini tertutup sama sekali dari berbagai ragam ijtihad ataupun berbagai macam bid’ah,
serta dalam pengamalan dan penerapannya dilarang sekedar dengan sikap taqlid semata-mata.
A). Bid’ah
Dalam urusan ibadah mahdlah, hanya Rasulullah sendiri sajalah yang mengetahui
seluk-beluknya, baik rinciannya, tata cara dan tata pelaksanaannya. Hal itu dikarenakan
hanya Rasulullah yang mendapat pemberitahuan dari Allah secara langsung (55: 3), dan umat
Muhammad saw hanya dapat mengetahuinya mengenai perkara mahdlah lewat Rasulullah
semata-mata, bukan dari jalan lain betapapun orang tersebut sudah menduduki status
mujtahid besar. Dan kalau kemudian muncul hal-hal baru yang tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah, apakah dalam wujud menambahkannya, mengurangi atau justru mengadakan hal
yang baru sama sekali maka semua itu adalah terlarang menurut agama, dan itulah yang
disebut bid’ah dalam bidang ibadah mahdlah. Orang yang secara sengaja melakukan hal
semacam ini oleh Rasulullah diancam masuk neraka. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw
menengaskan: “Barangsiapa berucap mengatasnamakan aku sesuatu hal yang tidak pernah
aku ucapkan, maka ia akan disediakan tempat duduk di atas bara api neraka”. (H.R. Bukhari
dari Salmah bin al-Akwa’ra)
Melakukan bid’ah dalam bidang ibadah mahdlah hakikatnya merupakan
kesombongan yang luar biasa dan menampakkan diri sebagai manusia yang tidak tahu diri.
Mengapa tidak, sebab dengan menambah-nambah dalam bidang ibadah mahdlah ia berarti
telah melangkah ke kawasan yang sama sekali bukan kewenangannya. Ia telah melangkah
memasuki suatu kawasan yang terlarang bagi siapa pun kecuali Rasulullah sendiri, sebagai
satu-satunya orang yang diberi otoritas untuk menentukannya kepada umat pengikutnya.
Dengan sikap seperti di atas berarti pula bahwa ia merasa seakan-akan dirinya lebih tahu
mengenai urusan ibadah mahdlah dari Nabi sekaligus menjatuhkan penilaian naif bahwa apa
yang dituntunkan oleh Nabi-Guru Agung-belum sempurna dan belum tuntas, justru karena itu
maka perlu dituntaskan dan disempurnakan.
Sikap seseorang yang membuat-buat hal yang baru dalam ibadah mahdlah serupa itu,
kalau dirinya masih mengaku sebagai pengikut Risalah Rasulullah adalah bertabrakan secara
diametral dengan Al-Qur’an (3: 31), karena dirinya sama sekali tidak menampakkan sebagai
5
seorang pengikut (fellower) yang baik, sebagaimana yang tergambar dalam Al-Qur’an (24:
51)
b). Taqlid
Taqlid menurut Bahasa ialah meniru orang lain, tanpa pertimbangan. Taqlid menurut
syara’ ialah mengikuti pendapat orang lain dalam urusan agama, termasuk juga bidang ibadah
mahdlah tanpa mengetahui sumber atau alasannya.
Agama Islam sangat menghargai akal pikiran manusia yang difungsikan secara
optimal dan proporsional. Hal ini terbukti ada berpuluh-puluh ayat Al-Qur’an yang selalu
ditutup dengan kalimat: ya ulil albab, afala tatafakkarun, afala ta’qilun, afala tadzakkarun,
afala yatadabbarun –dan sebagainya. Sesungguhnya lewat ayat-ayat serupa itu terlihat esensi
sebenarnya dari hakikat manusia. Kalau Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia adalah
makhluk Allah yang “ahsanu taqwim” (95: 4), maka makna bentuk yang sebaik-baiknya
justru terletak pada potensi akal pikirannya, bukan pada wujud penampilan lahir atau raganya.
Dengan kata lain bahwa eksistensi manusia akan ditampakkan salah satunya sebagai makhluk
rasional atau terkenal dengan atribut sebagai homo rationale.
Agama Islam diturunkan dan dibimbingkan hanya bagi manusia yang berakal,
sebagaimana kata Nabi saw: “La di:na liman la ‘aqalalahu”, ‘tidak ada agama bagi orang
yang tiada akal baginya’; atau kalau dibuat kalimat positif bermakna ‘agama (Islam) itu
hanya bagi orang yang berakal saja’, diperuntukkan bagi orang berakal, dan bersesuaian
dengan akal maka Islam sangat mencela terhadap pemeluknya yang dalam pengamalan Islam
hanya bersikap ikut-ikutan atau bersikap taqlid (17: 36). Sikap taqlid sama artinya dengan
mengingkari jati dirinya selaku makhluk yang terbaik serta selaku homo rationale.
6
tawakal, birrul walidaini, syaja’ah dan sebagainya (Al-Akhlaqul Mahmudah) dan sombong,
takabur, dengki, riya’, ‘uququl walidain dan sebagainya (Al-Akhlaqul Madzmuham).
Mengenai Muhammadiyah menjadikan akhlaq sebagai salah satu garis perjuangannya,
hal ini selain secara tegas dinyatakan dalam nash, juga tidak dapat dipisahkan dari akar
historis yang melatarbelakangi kelahirannya. Kebodohan, perpecahan di antara sesama orang
Islam, melemahnya jiwa santun terhadap dhu’afa’, pernghormatan yang berlebi-lebihan
terhadap orang yang dianggap suci dan lain-lain, adalah bentuk realisasi tidak tegaknya
ajaran akhlaqul karimah.
Untuk menghidupkan akhlaq yang islami, maka Muhammadiyah berusaha
memperbaiki dasar-dasar ajaran yang sudah lama menjadi keyakinan umat Islam, yaitu
dengan menyampaikan ajaran yang benar-benar berdasar pada ajaran Alquran dan Sunnah
Maqbulah, membersihkan jiwa dari kesyirikan, sehingga kepatuhan dan ketundukan hanya
semata-mata kepada Allah. Usaha tersebut ditempuh melalui pendidikan, sehingga sifat
bodoh dan inferoritas berangsur-angsur habis kemudian membina ukhuwah antar sesame
muslim yang disemangati oleh Surat Ali Imron ayat 103.
Adapun sifat-sifat akhlak Islam dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Akhlaq Rabbani: Sumber akhlaq Islam itu wahyu Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah, bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Akhlaq Islamlah
moral yang tidak bersifat kondisional dan situasional, tetapi akhlaq yang memiliki nilai-
nilai yang mutlak. Akhlaq rabbanilah yang mampu menghindari nilai moralitas dalam
hidup manusia (Q.S.) Al-An’am / 6 : 153).
2. Akhlak Manusiawi. Akhlaq dalam Islam sejalan dan memenuhi fitrah manusia. Jiwa
manusia yang merindukan kebaikan, dan akan terpenuhi dengan mengikuti ajaran akhlaq
dalam Islam. Akhlaq Islam benar-benar memelihara eksistensi manusia sebagai makhluk
terhormat sesuai dengan fitrahnya.
3. Akhlak Universal. Sesuai dengan kemanusiaan yang universal dan menyangkut segala
aspek kehidupan manusia baik yang berdimensi vertikal, maupun horizontal. (Q.S. Al-
An’nam : 151-152).
4. Akhlak Keseimbangan. Akhlaq Islam dapat memenuhi kebutuhan sewaktu hidup di dunia
maupun di akhirat, memenuhi tuntutan kebutuhan manusia duniawi maupun ukhrawi
secara seimbang, begitu juga memenuhi kebutuhan pribadi dan kewajiban terhadap
masyarakat, seimbang pula. (H.R. Buhkori).
7
5. Akhlaq Realistik. Akhlaq Islam memperhatikan kenyataan hidup manusia walaupun
manusia dinyatakan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk
lain, namun manusia memiliki kelemahan-kelemahan itu yaitu sangat mungkin melakukan
kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat.
Bahkan dalam keadaan terpaksa. Islam membolehkan manusia melakukan yang dalam
keadaan biasa tidak dibenarkan. (Q.S. Al- Baqarah / 27 : 173)
8
Tajdid dalam bidang muamalat duniawiyat ini adalah dalam bentuk membimbingkan,
menuntunkan kepada mereka agar dalam berkiprah di tengah-tengah masyarakat dengan
berbagai kegiatannya mereka selalu berpedoman kepada qaidah-qaidah yang telah digariskan
oleh ajaran agama.
Di dalam prinsip-prinsip Majlis Tarjih poin 14 disebutkan “Dalam hal-hal termasuk Al-
Umurud Dunyawiyah yang tidak termasuk tugas para nabi, menggunakan akal sangat
diperlukan, demi untuk tercapainya kemaslahatan umat.”
Adapun prinsip-prinsip mu’amalah dunyawiyah yang terpenting antara lain:
1. Menganut prinsip mubah.
2. Harus dilakukan dengan saling rela artinya tidak ada yang dipaksa.
3. Harus saling menguntungkan. Artinya mu’amalah dilakukan untuk menarik mamfaat dan
menolak kemudharatan.
4. Harus sesuai dengan prinsip keadilan.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
a. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala
kemusyrikan, bid’ah, dan khurofat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran
Islam.
b. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah saw
tanpa tambahan dan perubahan dari manusia
c. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman
kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai
ciptaan manusia.
d. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya muamalat duniawiyah (pengolahan dunia dan
pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran agama serta menjadikan semua
kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT.
10
DAFTAR PUSTAKA
Pasha, Musthafa Kamal, Ahmad Adaby Darban. 2002. Muhammadiyah sebagai Gerakan
Islam dalam Perspektif Historis dan Ideologis. Yogyakarta: LPPI UMY
http://www.pdmbontang.com/cetak.php?id=306
http://antonwiki.blogspot.co.id/2012/01/paham-muhammadiyah.html
11