Makalah KLP 3 Qawaidul Fiqqhiyyah
Makalah KLP 3 Qawaidul Fiqqhiyyah
Makalah KLP 3 Qawaidul Fiqqhiyyah
”KAIDAH KEMUDAHAN”
DISUSUN OLEH :
2024
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt. Yang Maha Esa atas segala nikmat dan rahmat-
Nya yang telah dikauniakan kepada kita dan semua makhluk-Nya. Salam dan
sholawat juga kita sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad saw., keluarga,
sahabat-sahabatnya, dan pengikutnya.
Makalah ini jauh dari kata semprna, maka dari itu kami memohon maaf dan
pengertiannya karena keterbatasan waktu dan kemampuan kami. Kritik dan saran
yang senantiasa kami harapkan dari pembaca. Semoga makalah kami dapat berguna
bagi kami dan pihak yang membacanya.
i
DAFTAR ISI
BAB I .............................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH........................................................................................................ 1
C. TUJUAN PENULISAN.......................................................................................................... 2
BAB II ............................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 3
PENUTUP ..................................................................................................................................... 17
A. Kesimpulan ........................................................................................................................... 17
B. Saran ..................................................................................................................................... 17
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kaidah-kaidah fiqhiyyah secara garis besar memiliki kegunaan yang salah
satu kegunaan tersebut untuk lebih mempermudah dalam menetapkan masalah-
masalah yang dihadapi dalam realita kehidupan yang semakin berkembang seperti
kesukaran dalam beribadah sehingga dalam kaidah fiqhiyyah ini dibenarkan untuk
mempermudah, meringankan dan menghapus kesukaran dan subjek hukum pada
saat melaksanakan aturan-aturan hukum dari segi apapun. Kaidah fiqhiyyah juga
memberikan jalan keluar dari berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama atau
setidak-tidaknya menguatkan pendapat yang lebih mendekati kepada kaidah-
kaidah fikih. Apabila kesukaran dijadikan dasar hukum bagi dispensasi dan
kemudahan syar‟i, maka ia mempunyai implikasi nyata dalam penetapan hukum
dan fatwa. Sehingga penentuan konsep “Kesukaran” dan kriteria yang ada di
dalamnya merupakan suatu hal penting yang tidak dapat diremehkan dan
merupakan keniscayaan untuk dikaji. Dewan Syari‟ah Nasional dan MUI dalam
menetapkan fatwa tentang keuangan syari‟ah, hampir semua fatwa berhujjah pada
al-Qur‟an dan Sunnah serta pendapat ulama adalah berhujjah pada kaidah: المشقة
“ تجلب التيسرKesulitan itu dapat menarik kemudahan”.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Jelaskan pengertian ibadah!
2. Apa saja landasan ibadah?
3. Apa saja klasifikasi kesulitan?
4. Jelaskan analisis kaidah?
5. Bagaimana penerapan kaidah?
6. Apa saja kaidah-kaidah cabang?
1
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui pengertian ibadah
2. Mengetahui landasan ibadah
3. Mengetahui klasifikasi kesulitan
4. Mengetahui analisis kaidah
5. Mengetahui penerapan kaidah
6. Mengetahui kaidah-kaidah cabang
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ibadah
Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhoi Allah Swt., baik
berupa perkataan maupun perbuatan. Di dalam Al-Qur'an, kata ibadah berarti
patuh (at-tâ'ah), tunduk (al-khudu), mengikut, menurut, dan doa. Adapun menurut
ulama fikih, ibadah adalah semua bentuk pekerjaan yang bertujuan memperoleh
ridho Allah dan pahala dari-Nya. Secara etimologi pengertian ibadah adalah
merendahkan diri atau tunduk. Kemudian secara bahasa, ibadah berasal dari kata
'abd', yang artinya hamba. Sementara, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) Daring, ibadah adalah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah
Swt., yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-
Nya.
Secara garis besar, ibadah dibagi menjadi dua yakni ibadah khassah (khusus) atau
mahdah dan ibadah `ammah (umum) atau ghairu mahdah.
1) Ibadah Mahdah
Ibadah mahdah adalah ibadah yang khusus berbentuk praktik atau
perbuatan yang menghubungkan antara hamba dan Allah melalui cara yang
telah ditentukan dan diatur atau dicontohkan oleh Rasulullah saw. Oleh karena
itu, pelaksanaan dan bentuk ibadah ini sangat ketat, yaitu harus sesuai dengan
contoh dari Rasulullah seperti, salat, zakat, puasa, dan haji.
2) Ibadah Ghairu Mahdah
Adapun ibadah ghairu mahdah adalah ibadah umum berbentuk
hubungan sesama manusia dan manusia dengan alam yang memiliki nilai
ibadah. Ibadah ini tidak ditentukan cara dan syarat secara detail, diserahkan
kepada manusia sendiri. Islam hanya memberi perintah atau anjuran, dan
3
prinsip-prinsip umum saja. Misalnya menyantuni fakir miskin, mencari
nafkah, bertetangga, bernegara, tolong-menolong, dan lain-lain.
Ibadah dari segi pelaksanaannya dapat dibagi dalam tiga bentuk, yakni sebagai
berikut:
1) Ibadah jasmaniah ruhaniah, yaitu perpaduan ibadah antara jasmani dan rohani
misalnya salat dan puasa.
2) Ibadah ruhaniah dan maliah, yaitu perpaduan ibadah rohaniah dan harta
seperti zakat.
3) Ibadah jasmani, ruhaniah, dan mâliyah yakni ibadah yang menyatukan
ketiganya contohnya seperti ibadah Haji
Ditinjau dari segi bentuknya, ibadah ada lima macam yaitu sebagai berikut:
1) Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan, seperti zikir, doa, tahmid, dan
membaca Al-Qur'an.
2) Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti
membantu atau menolong orang lain, jihad, dan mengurus jenazah.
3) Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan bentuknya, seperti salat,
puasa, zakat dan haji.
4) Ibadah yang tata cara pelaksanaannya berbentuk menahan diri, seperti puasa,
iktikaf, dan ihram.
5) Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang yang
telah melakukan kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan sesorang yang
berutang kepadanya.1
1
Faozan tri nugroho. Pengertian Ibadah dalam Islam, Tujuan, Macam, dan Prinsip-prinsipnya. 13
Juni 2023.
4
B. Landasan Ibadah
Adanya kesulitan akan memunculkan adanya kemudahan Kaidah ini
termasuk kaidah fiqih yang sangat penting untuk dipahami. Karena, seluruh
rukhshah dan keringanan yang ada dalam syari’at merupakan wujud dari kaidah
ini.
Di antara dalil yang menyangkut kaidah ini, yaitu firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala :
[al-Baqarah/2:185].
سا ِإ َل ُوسْعها
ً ّللاُ ن ْف
َ ِفُ ل يُكل
[al-Baqarah/2:286].
Artinya : Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. [al-Hajj/22:78].
َ فاتَقُوا
ّللا ما اسْتط ْعت ُ ْم
5
Artinya : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. [at-
Taghâbun/64:16].
C. Klasifikasi Kesulitan
Kaidah ini menjelaskan bahwa kesulitan yang didapatkan seorang mukallaf
ketika melaksanakan beban syari’at, itu menjadi sebab adanya keringanan dan
kemudahan, sampai hilang atau berkurang kesulitan tersebut. Dengan kata lain,
bahwa keberatan dan kesulitan badaniyah yang dialami seorang hamba dalam
rangka melaksanakan beban syari’at, hal itu secara syar’i menjadi sebab yang
shahih untuk mendapatkan keringanan dalam pelaksanaan beban tersebut,
sehingga ia mampu melaksanakannnya sesuai kadar kemampuannya tanpa
keberatan dan kesulitan.3 Ada 2 klasifikasi kesulitan, yaitu :
1. Kesulitan Mu’tadah
Kesulitan Mu’tadah adalah kesulitan yang alami, dimana manusia
mampu mencari jalan keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan.
Karena itu Ibnu Abdus Salam mengatakan bahwa kesulitan semacam ini tidak
mengugurkan ibadah dan ketaatan juga tidak meringankan, karena hal itu
diberi keringanan berarti akan mengurangi kemaslahatan syariah itu sendiri.
Sedang Ibnu Qayyim menyatakan bahwa bila kesulitan berkaitan dengan
2
Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo.
3
Abu Muslim Nurwan Darmawan. Qawa’id Fiqhiyyah: Kesulitan mendatangkan kemudahan. 9
Februari 2023.
6
kepayahan, maka kemaslahatan dunia akhiran dapat mengikuti kadar
kepayahan itu.
Contohnya yaitu, ketika seseorang berkata, “saya ingin membeli
barang itu,” tanpa menyebutkan barang apa yang dimaksud, hal ini bisa
menjadi contoh dari kesulitan Mu’tadah karena tidak jelas barang apa yang
dimaksudkan.
2. Kesulitan Qhairu Mu’tadah
Kesulitan Qhairu Mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada
kebiasaan, dimana manusia tidak mampu memikul kesulitan itu, karena jika
dia melakukannya niscaya akan merusak diri dan memberatkan kehidupannya,
dan kesulitan-kesulitan itu dapat diukur oleh kriteria akal sehat, syariat sendiri
serta kepentingan yang dicapainya. Kesulitan ini diperbolehkan menggunakan
dispensasi (rukhshah). Seperti wanita yang selalu istihadlah, maka wudhunya
cukup untuk shalat wajib serta untuk shalat sunah yang lainnya tidak
diwajibkan, dan diperbolehkan shalat khauf bagi mereka yang sedang
berperang, dan sebagainya.4
Contoh kesulitan yang mungkin dihadapi oleh Qhoiru Mu’tadah
adalah kesulitan dalam memahami konsep matematika yang kompleks atau
dalam menyelesaikan tugas penelitian yang memerlukan analisis mendalam.
4
Wahbah az-Zuhaili, 1982: 196-197 dan 199-200)Pengertian Al Masyaqqah Tajlibut Taysir-artikel
blog.
7
D. Analisis Kaidah
Di antara kaedah fikih yang menunjukkan kemudahan yang Islam berikan
adalah ketika datang kesulitan, maka Islam memberikan kemudahan. Ketika sakit,
tidak bisa shalat sambil berdiri, maka boleh shalat sambil duduk. Ketika wanita
datang bulan, maka shalat gugur darinya. Ketika kita bersafar, kita diberi
keringanan mengerjakan shalat 4 raka’at menjadi 2 raka’at, artinya
mengerjakannya secara qoshor.
8
ي ِس ُروا ول تُع ِس ُروا
“Buatlah mudah, jangan mempersulit”. )HR. Bukhari no. 69 dan Muslim no. 1734(.
9
“ وإِنَها لكبِيرة إِ َل على ْالخا ِشعِينJadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.
Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-
orang yang khusyu’.” )QS. Al Baqarah: 45(. Namun masyaqqoh di sini
tidak mesti selalu ada. Atau masyaqqoh itu masih mampu dipikul, atau
pula masyaqqoh tersebut masih kalah dengan maslahat yang lebih besar.
3. Masyaqqoh itu tidak ada patokannya. Jadi kaedah yang lebih tepat adalah,
“ العُس ُْر سبب لِلت َ ْي ِسيْرKesulitan sebab datangnya kemudahan.” Atau seperti
ibarat yang diungkapkan oleh Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm, إِذا ضاق
“ األ ْم ُر اِتَسعJika perkara itu sempit, maka jadilah lapang.”.5
E. Penerapan Kaidah
Disamping kemudahan-kemudahan ini, masih ditambah lagi, jika ada yang
mempunyai udzur sehingga menyebabkannya tidak mampu atau kesulitan
melaksanakan hukum-hukum syari’at, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
memberikan keringanan sesuai dengan kedaaan dan kondisi orang bersangkutan.
Hal ini nampak jelas dalam beberapa contoh berikut.
1) Seseorang yang sedang dalam keadaan sakit, jika tidak mampu
melaksanakan shalat dengan berdiri maka boleh shalat dengan duduk. Jika
tidak mampu dengan duduk, maka shalat dengan berbaring, dan cukup
berisyarat ketika ruku’ dan sujud.
2) Seseorang diwajibkan bersuci (thaharah) dengan menggunakan air. Namun,
jika tidak bisa menggunakan air karena sakit atau tidak ada air, maka
diperbolehkan melaksanakan tayammum.
3) Seorang musafir yang sedang menanggung beratnya perjalanan
diperbolehkan untuk tidak berpuasa, diperbolehkan untuk menjama’ dan
5
Muhammad Abduh Tuasik. kaedah Fikih (5), Kesulitan Mendatangkan Kemudahan. 25 November
2012.
10
mengqashar shalat, serta diperbolehkan mengusap khuf selama tiga hari,
sebagai ganti dari mencuci kaki dalam wudhu`.
4) Orang yang sakit atau sedang bepergian jauh (safar) tetap dicatat
mendapatkan pahala dari amal-amal kebaikan yang biasa ia kerjakan ketika
dalam keadaan sehat dan tidak bepergian.
11
6) Penjelasan para ahli ilmu, bahwa hukum asal sesuatu dzat adalah suci, kecuali
jika diketahui secara pasti tentang kenajisannya. Dan hukum asal segala
makanan adalah halal dikonsumsi, kecuali jika diketahui secara pasti tentang
keharamannya.
7) Dalam membersihkan badan, pakaian, atau bejana dari najis cukup
menggunakan perkiraan. Jika tidak bisa atau kesulitan menentukan
kesuciannya secara pasti, maka cukup dengan dikira-kira, jika dianggap sudah
suci, maka cukup.
8) Dalam menentukan telah datangnya waktu shalat, cukup dengan perkiraan
kuat bahwa waktunya telah datang. Yaitu, jika sulit mengetahui datangnya
waktu tersebut secara pasti.
9) Orang yang melaksanakan haji secara tamattu’ dan qiran, mereka bisa
melaksanakan haji sekaligus umrah dalam sekali perjalanan saja.
10) Diperbolehkan memakan makanan haram, seperti bangkai dan semisalnya,
bagi orang yang terpaksa untuk memakannya.
11) Bolehnya jual beli ‘ariyah[2] jika ada hajat untuk mendapatkan kurma ruthab
(kurma basah).
12) Boleh mengambil upah dari perlombaan pacu kuda, mengendarai onta, dan
perlombaan memanah.
13) Bolehnya seorang laki-laki merdeka menikahi budak wanita jika laki-laki
tersebut tidak bisa menunda pernikahan dan khawatir akan terjatuh dalam
perzinaan.
14) Jika seseorang melakukan pembunuhan dengan tanpa kesengajaan, maka
karib kerabat orang yang melakukan pembunuhan tersebut menanggung
pembayaran diyat (denda yang harus dibayarkan kepada keluarga korban).
Hal ini dikarenakan pelaku pembunuhan tersebut tidak sengaja melakukan
pembunuhan, sehingga ia mempunyai udzur. Maka, merupakan hal yang
layak jika karib kerabat si pembunuh tersebut menanggung pembayaran diyat
tersebut tanpa memberatkan mereka, yaitu dengan membagi diyat tersebut
12
sesuai kadar kekayaan masing-masing. Dan pembayaran tersebut diberi
tenggang waktu selama tiga tahun. Adapun jika pembunuh tersebut termasuk
orang yang berkecukupan dalam harta, apakah ia turut menanggung
pembayaran diyat tersebut ataukah tidak? Maka dalam hal ini terdapat
perselisihan di kalangan para ulama.6
F. Kaidah-kaidah Cabang
Kaidah cabang bisa disebut habit karena hanya berlaku pada bab-bab tertentu,
diantaranya:
Artinya: "Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas dan
apabila suatu perkara menjadi meluas maka hukumnya menyempit"
Misalnya, boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan karena sakit atau
berpergian jauh. Sakit dan berpergian jauh merupakan kesempitan, maka
hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka. Akan tetapi, bila sudah sembuh,
maka hukum wajib melaksanakan puasa kembali lagi.
6
Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo.
13
Artinya: "Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya). maka hal itu
dimaafkan"
ُ ت الحقِيقةُ يُص
ار إلى المخاز ْ إِذا تعدَر
Artinya "Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti sesungguhnya, maka kata
tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya."
Misalnya, seseorang berkata: "saya wakafkan tanah saya ini kepada anak
Kyai Ahmad". Padahal semua tahu bahwa anak kyai Ahmad sudah lama
meninggal, yang ada hanya cucunya. Maka dalam hal ini, kata anak a harus diganti
cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin
mewakafkan kepada yang sudah meninggal dunia.
Artinya: "Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan
pada permulaannya.
14
يعتمر في اْلبتداء ما ل يُ ْغف ُر في الدوام
Misalnya, seseorang yang baru masuk Islam dan tidak tahu bahwa judi,
berzinah atau minuman keras itu dilarang atau haram, maka orang tersebut
dimaafkan untuk permulaannya karena ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia
mengetahui bahwa judi, berzinah atau minuman keras hukumnya haram, maka ia
harus menghentikan perbuatan haram tersebut.
فر في غيْرها
ُ يعتمر في التوابع ما ل يُعت
Artinya: "Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada
yang lainnya."
7
Andiko, T.Ilmu Qawa'id Fiqhiyyah: Panduan Praktis dalam Merespon Problematika Hukum Islam
Kontemporer. 2011.
15
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara etimologi pengertian ibadah adalah merendahkan diri atau tunduk.
Secara garis besar, ibadah dibagi menjadi dua yakni ibadah khassah (khusus) atau
mahdah dan ibadah `ammah (umum) atau ghairu mahdah. Ibadah dari segi
pelaksanaannya dapat dibagi dalam tiga bentuk, yakni . Ibadah Jasmaniah
ruhaniah, ibadah ruhaniah dan maliah, dan ibadah jasmani, ruhaniah dan maliyah.
Kaidah ini menjelaskan bahwa kesulitan yang didapatkan seorang mukallaf ketika
melaksanakan beban syari’at, itu menjadi sebab adanya keringanan dan
kemudahan, sampai hilang atau berkurang kesulitan tersebut. Terdapat dua
klasifikasi kesulitan yaitu, Kesulitan Mu’tadah dan kesulitan Qhairu Mu’tadah.
Kaidah ini diterapkan dalam berbagai macam pembahasan yang tercakup dalam
syari’at agama Islam yang mulia ini.
B. Saran
Sebagai penulis makalah ini, kami akan sangat senang jika para pembaca,
pendengar , serta teman-teman memberikan kontribusi. Kritik dan saran anda akan
sangat membantu kami dalam meningkatkan makalah ini dan lebih menyesuaikan
topic yang dibahas. Karena kami sadar makalah kami ini masih jauh dari kata
sempurna. Terimakasih atas partisipasinya.
17
DAFTAR PUSTAKA
Faozan tri nugroho. Pengertian Ibadah dalam Islam, Tujuan, Macam, dan Prinsip-
prinsipnya. 13 Juni 2023.
18
19
20