Makalah KLP 3 Qawaidul Fiqqhiyyah

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

”KAIDAH KEMUDAHAN”

DISUSUN OLEH :

REZKY AMALIA : 2320203862201049

NOVI ISMAIL : 2320203862201061

MAULIDIA HASANAH : 2320203862201041

MUH ADAFLI AL.Q : 2320203862201074

PROGRAM STUDI AKUNTANSI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PARE-PARE

2024

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt. Yang Maha Esa atas segala nikmat dan rahmat-
Nya yang telah dikauniakan kepada kita dan semua makhluk-Nya. Salam dan
sholawat juga kita sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad saw., keluarga,
sahabat-sahabatnya, dan pengikutnya.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada dosen


pengampuh yang telah memberikan tugas ini. Kami juga ingin mengucapkan
terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.

Makalah ini jauh dari kata semprna, maka dari itu kami memohon maaf dan
pengertiannya karena keterbatasan waktu dan kemampuan kami. Kritik dan saran
yang senantiasa kami harapkan dari pembaca. Semoga makalah kami dapat berguna
bagi kami dan pihak yang membacanya.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................................... ii

BAB I .............................................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1

A. LATAR BELAKANG ............................................................................................................ 1

B. RUMUSAN MASALAH........................................................................................................ 1

C. TUJUAN PENULISAN.......................................................................................................... 2

BAB II ............................................................................................................................................. 3

PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 3

A. Pengertian Ibadah ................................................................................................................... 3

B. Landasan Ibadah ..................................................................................................................... 5

C. Klasifikasi Kesulitan ............................................................................................................... 6

D. Analisis Kaidah ...................................................................................................................... 8

E. Penerapan Kaidah ................................................................................................................. 10

F. Kaidah-kaidah Cabang .......................................................................................................... 13

BAB III ......................................................................................................................................... 17

PENUTUP ..................................................................................................................................... 17

A. Kesimpulan ........................................................................................................................... 17

B. Saran ..................................................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 18

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kaidah-kaidah fiqhiyyah secara garis besar memiliki kegunaan yang salah
satu kegunaan tersebut untuk lebih mempermudah dalam menetapkan masalah-
masalah yang dihadapi dalam realita kehidupan yang semakin berkembang seperti
kesukaran dalam beribadah sehingga dalam kaidah fiqhiyyah ini dibenarkan untuk
mempermudah, meringankan dan menghapus kesukaran dan subjek hukum pada
saat melaksanakan aturan-aturan hukum dari segi apapun. Kaidah fiqhiyyah juga
memberikan jalan keluar dari berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama atau
setidak-tidaknya menguatkan pendapat yang lebih mendekati kepada kaidah-
kaidah fikih. Apabila kesukaran dijadikan dasar hukum bagi dispensasi dan
kemudahan syar‟i, maka ia mempunyai implikasi nyata dalam penetapan hukum
dan fatwa. Sehingga penentuan konsep “Kesukaran” dan kriteria yang ada di
dalamnya merupakan suatu hal penting yang tidak dapat diremehkan dan
merupakan keniscayaan untuk dikaji. Dewan Syari‟ah Nasional dan MUI dalam
menetapkan fatwa tentang keuangan syari‟ah, hampir semua fatwa berhujjah pada
al-Qur‟an dan Sunnah serta pendapat ulama adalah berhujjah pada kaidah: ‫المشقة‬
‫“ تجلب التيسر‬Kesulitan itu dapat menarik kemudahan”.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Jelaskan pengertian ibadah!
2. Apa saja landasan ibadah?
3. Apa saja klasifikasi kesulitan?
4. Jelaskan analisis kaidah?
5. Bagaimana penerapan kaidah?
6. Apa saja kaidah-kaidah cabang?

1
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui pengertian ibadah
2. Mengetahui landasan ibadah
3. Mengetahui klasifikasi kesulitan
4. Mengetahui analisis kaidah
5. Mengetahui penerapan kaidah
6. Mengetahui kaidah-kaidah cabang

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ibadah
Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhoi Allah Swt., baik
berupa perkataan maupun perbuatan. Di dalam Al-Qur'an, kata ibadah berarti
patuh (at-tâ'ah), tunduk (al-khudu), mengikut, menurut, dan doa. Adapun menurut
ulama fikih, ibadah adalah semua bentuk pekerjaan yang bertujuan memperoleh
ridho Allah dan pahala dari-Nya. Secara etimologi pengertian ibadah adalah
merendahkan diri atau tunduk. Kemudian secara bahasa, ibadah berasal dari kata
'abd', yang artinya hamba. Sementara, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) Daring, ibadah adalah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah
Swt., yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-
Nya.

Secara garis besar, ibadah dibagi menjadi dua yakni ibadah khassah (khusus) atau
mahdah dan ibadah `ammah (umum) atau ghairu mahdah.
1) Ibadah Mahdah
Ibadah mahdah adalah ibadah yang khusus berbentuk praktik atau
perbuatan yang menghubungkan antara hamba dan Allah melalui cara yang
telah ditentukan dan diatur atau dicontohkan oleh Rasulullah saw. Oleh karena
itu, pelaksanaan dan bentuk ibadah ini sangat ketat, yaitu harus sesuai dengan
contoh dari Rasulullah seperti, salat, zakat, puasa, dan haji.
2) Ibadah Ghairu Mahdah
Adapun ibadah ghairu mahdah adalah ibadah umum berbentuk
hubungan sesama manusia dan manusia dengan alam yang memiliki nilai
ibadah. Ibadah ini tidak ditentukan cara dan syarat secara detail, diserahkan
kepada manusia sendiri. Islam hanya memberi perintah atau anjuran, dan

3
prinsip-prinsip umum saja. Misalnya menyantuni fakir miskin, mencari
nafkah, bertetangga, bernegara, tolong-menolong, dan lain-lain.

Ibadah dari segi pelaksanaannya dapat dibagi dalam tiga bentuk, yakni sebagai
berikut:
1) Ibadah jasmaniah ruhaniah, yaitu perpaduan ibadah antara jasmani dan rohani
misalnya salat dan puasa.
2) Ibadah ruhaniah dan maliah, yaitu perpaduan ibadah rohaniah dan harta
seperti zakat.
3) Ibadah jasmani, ruhaniah, dan mâliyah yakni ibadah yang menyatukan
ketiganya contohnya seperti ibadah Haji

Ditinjau dari segi bentuknya, ibadah ada lima macam yaitu sebagai berikut:
1) Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan, seperti zikir, doa, tahmid, dan
membaca Al-Qur'an.
2) Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti
membantu atau menolong orang lain, jihad, dan mengurus jenazah.
3) Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan bentuknya, seperti salat,
puasa, zakat dan haji.
4) Ibadah yang tata cara pelaksanaannya berbentuk menahan diri, seperti puasa,
iktikaf, dan ihram.
5) Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang yang
telah melakukan kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan sesorang yang
berutang kepadanya.1

1
Faozan tri nugroho. Pengertian Ibadah dalam Islam, Tujuan, Macam, dan Prinsip-prinsipnya. 13
Juni 2023.

4
B. Landasan Ibadah
Adanya kesulitan akan memunculkan adanya kemudahan Kaidah ini
termasuk kaidah fiqih yang sangat penting untuk dipahami. Karena, seluruh
rukhshah dan keringanan yang ada dalam syari’at merupakan wujud dari kaidah
ini.

Di antara dalil yang menyangkut kaidah ini, yaitu firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala :

‫ّللاُ بِ ُك ُم ْاليُسْر ول ي ُِريدُ بِ ُك ُم ْالعُسْر‬


َ ُ‫ي ُِريد‬

Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki


kesukaran bagimu.

[al-Baqarah/2:185].

‫سا ِإ َل ُوسْعها‬
ً ‫ّللاُ ن ْف‬
َ ‫ِف‬ُ ‫ل يُكل‬

Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan


kesanggupannya.

[al-Baqarah/2:286].

ِ ‫وما جعل عل ْي ُك ْم فِي الد‬


‫ِين مِ ْن حرج‬

Artinya : Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. [al-Hajj/22:78].

َ ‫فاتَقُوا‬
‫ّللا ما اسْتط ْعت ُ ْم‬

5
Artinya : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. [at-
Taghâbun/64:16].

Ayat-ayat di atas menjadi landasan kaidah yang sangat berharga ini.


Dikarenakan seluruh syari’at dalam agama ini lurus dan penuh toleransi. Lurus
tauhidnya, terbangun atas dasar perintah beribadah hanya kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala semata, tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun2.

C. Klasifikasi Kesulitan
Kaidah ini menjelaskan bahwa kesulitan yang didapatkan seorang mukallaf
ketika melaksanakan beban syari’at, itu menjadi sebab adanya keringanan dan
kemudahan, sampai hilang atau berkurang kesulitan tersebut. Dengan kata lain,
bahwa keberatan dan kesulitan badaniyah yang dialami seorang hamba dalam
rangka melaksanakan beban syari’at, hal itu secara syar’i menjadi sebab yang
shahih untuk mendapatkan keringanan dalam pelaksanaan beban tersebut,
sehingga ia mampu melaksanakannnya sesuai kadar kemampuannya tanpa
keberatan dan kesulitan.3 Ada 2 klasifikasi kesulitan, yaitu :

1. Kesulitan Mu’tadah
Kesulitan Mu’tadah adalah kesulitan yang alami, dimana manusia
mampu mencari jalan keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan.
Karena itu Ibnu Abdus Salam mengatakan bahwa kesulitan semacam ini tidak
mengugurkan ibadah dan ketaatan juga tidak meringankan, karena hal itu
diberi keringanan berarti akan mengurangi kemaslahatan syariah itu sendiri.
Sedang Ibnu Qayyim menyatakan bahwa bila kesulitan berkaitan dengan

2
Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo.
3
Abu Muslim Nurwan Darmawan. Qawa’id Fiqhiyyah: Kesulitan mendatangkan kemudahan. 9
Februari 2023.

6
kepayahan, maka kemaslahatan dunia akhiran dapat mengikuti kadar
kepayahan itu.
Contohnya yaitu, ketika seseorang berkata, “saya ingin membeli
barang itu,” tanpa menyebutkan barang apa yang dimaksud, hal ini bisa
menjadi contoh dari kesulitan Mu’tadah karena tidak jelas barang apa yang
dimaksudkan.
2. Kesulitan Qhairu Mu’tadah
Kesulitan Qhairu Mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada
kebiasaan, dimana manusia tidak mampu memikul kesulitan itu, karena jika
dia melakukannya niscaya akan merusak diri dan memberatkan kehidupannya,
dan kesulitan-kesulitan itu dapat diukur oleh kriteria akal sehat, syariat sendiri
serta kepentingan yang dicapainya. Kesulitan ini diperbolehkan menggunakan
dispensasi (rukhshah). Seperti wanita yang selalu istihadlah, maka wudhunya
cukup untuk shalat wajib serta untuk shalat sunah yang lainnya tidak
diwajibkan, dan diperbolehkan shalat khauf bagi mereka yang sedang
berperang, dan sebagainya.4
Contoh kesulitan yang mungkin dihadapi oleh Qhoiru Mu’tadah
adalah kesulitan dalam memahami konsep matematika yang kompleks atau
dalam menyelesaikan tugas penelitian yang memerlukan analisis mendalam.

Bentuk-bentuk kesulitan yang mendapat kemudahan :


a) Ketika sakit
b) Ketika Safar
c) Ketika mendapat ancaman
d) Lupa
e) Tidak tau
f) Terkena musibah

4
Wahbah az-Zuhaili, 1982: 196-197 dan 199-200)Pengertian Al Masyaqqah Tajlibut Taysir-artikel
blog.

7
D. Analisis Kaidah
Di antara kaedah fikih yang menunjukkan kemudahan yang Islam berikan
adalah ketika datang kesulitan, maka Islam memberikan kemudahan. Ketika sakit,
tidak bisa shalat sambil berdiri, maka boleh shalat sambil duduk. Ketika wanita
datang bulan, maka shalat gugur darinya. Ketika kita bersafar, kita diberi
keringanan mengerjakan shalat 4 raka’at menjadi 2 raka’at, artinya
mengerjakannya secara qoshor.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata,


‫ش ِريْع ِة الت َ ْي ِسي ُْرفِي ُك ِل أ ْمر نابهُ ت ْع ِسيْر‬
َ ‫ومِ ْن قوا ِع ِد ال‬
“Di antara kaedah syari’at adalah memberikan kemudahan, Yaitu kemudahan ketika
datang kesulitan”. Maksud dari kaedah di atas: di antara hikmah dan rahmat Allah,
apabila datang sesuatu kesulitan, maka syari’at diperingan dan dipermudah.

Kaedah ini berasal dari beberapa ayat di antaranya :


)6( ‫) إِ َن مع ْالعُس ِْر يُس ًْرا‬5( ‫فإِ َن مع ْالعُس ِْر يُس ًْرا‬
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan.” )QS. Asy Syarh: 5-6).
‫ّللاُ ِب ُك ُم ْاليُسْر ول ي ُِريدُ ِب ُك ُم ْالعُسْر‬
َ ُ‫ي ُِريد‬
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”
(QS. Al Baqarah: 185).
ِ ْ ‫ّللاُ أ ْن يُخ ِفف ع ْن ُك ْم و ُخلِق‬
‫اْل ْنسا ُن ضعِيفًا‬ َ ُ‫ي ُِريد‬
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat
lemah.” )QS. An Nisa’: 28(.

Sebagai pendukung juga dari hadits,

8
‫ي ِس ُروا ول تُع ِس ُروا‬
“Buatlah mudah, jangan mempersulit”. )HR. Bukhari no. 69 dan Muslim no. 1734(.

Dalam hadits lain disebutkan,


‫ ول ْم تُبْعثُوا ُمع ِس ِرين‬، ‫فإِنَما بُ ِعثْت ُ ْم ُمي ِس ِرين‬
Artinya :“Kalian diutus untuk mempermudah dan kalian tidaklah diutus untuk
mempersulit”. )HR. Bukhari no. 220(.

Dalil-dalil yang ada menunjukkan:


1. Kesulitan dinafikan dalam syari’at.
2. ‘Illah )sebab( sebagian hukum syar’i diperintahkan adalah untuk
mempermudah.
3. Setelah ditelaah, setiap hukum syar’i itu mudah untuk dijalankan dan
terdapat maslahat bagi hamba, inilah nikmat Allah.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menggunakan lafazh ‘usru, bukan


menggunakan masyaqqoh. Padahal kebanyakan fuqoha menggunakan lafazh, ُ‫المشقَة‬
‫“ تجْ لِبُ التَ ْي ِسي ُْر‬Masyaqqoh mendatangkan kemudahan.” Ibarat yang dipakai Syaikh As
Sa’di lebih tepat karena beberapa alasan:
1. Dalil syar’i menunjukkan peniadaan ‘usru (kesulitan), bukan
peniadaan masyaqqoh (merasa berat atau susah). Ada beda antara
‘usru (kesulitan) dan masyaqqoh (merasa berat). Masyaqqoh itu pasti
ditemui dalam setiap amalan dan ‘usru tidak mesti. Bangun pagi untuk
shalat Shubuh, itu masyaqqoh )sesuatu yang berat(, bukan ‘usru. Sehingga
bukan sebab tidak bisa bangun pagi karena mendapati masyaqqoh (berat),
maka tidak ada shalat Shubuh, ini bukan maksudnya.
2. Hukum syar’i yang dijalankan pasti ada masyaqqoh di dalamnya. Jihad
pasti berat, amar ma’ruf juga pasti berat. Begitu pula shalat di dalamnya
pun ada masyaqqoh karena Allah Ta’ala berfirman, ِ‫صَلة‬ َ ‫واسْتعِينُوا بِال‬
َ ‫صب ِْر وال‬

9
‫“ وإِنَها لكبِيرة إِ َل على ْالخا ِشعِين‬Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.
Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-
orang yang khusyu’.” )QS. Al Baqarah: 45(. Namun masyaqqoh di sini
tidak mesti selalu ada. Atau masyaqqoh itu masih mampu dipikul, atau
pula masyaqqoh tersebut masih kalah dengan maslahat yang lebih besar.
3. Masyaqqoh itu tidak ada patokannya. Jadi kaedah yang lebih tepat adalah,
‫“ العُس ُْر سبب لِلت َ ْي ِسيْر‬Kesulitan sebab datangnya kemudahan.” Atau seperti
ibarat yang diungkapkan oleh Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm, ‫إِذا ضاق‬
‫“ األ ْم ُر اِتَسع‬Jika perkara itu sempit, maka jadilah lapang.”.5

E. Penerapan Kaidah
Disamping kemudahan-kemudahan ini, masih ditambah lagi, jika ada yang
mempunyai udzur sehingga menyebabkannya tidak mampu atau kesulitan
melaksanakan hukum-hukum syari’at, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
memberikan keringanan sesuai dengan kedaaan dan kondisi orang bersangkutan.
Hal ini nampak jelas dalam beberapa contoh berikut.
1) Seseorang yang sedang dalam keadaan sakit, jika tidak mampu
melaksanakan shalat dengan berdiri maka boleh shalat dengan duduk. Jika
tidak mampu dengan duduk, maka shalat dengan berbaring, dan cukup
berisyarat ketika ruku’ dan sujud.
2) Seseorang diwajibkan bersuci (thaharah) dengan menggunakan air. Namun,
jika tidak bisa menggunakan air karena sakit atau tidak ada air, maka
diperbolehkan melaksanakan tayammum.
3) Seorang musafir yang sedang menanggung beratnya perjalanan
diperbolehkan untuk tidak berpuasa, diperbolehkan untuk menjama’ dan

5
Muhammad Abduh Tuasik. kaedah Fikih (5), Kesulitan Mendatangkan Kemudahan. 25 November
2012.

10
mengqashar shalat, serta diperbolehkan mengusap khuf selama tiga hari,
sebagai ganti dari mencuci kaki dalam wudhu`.
4) Orang yang sakit atau sedang bepergian jauh (safar) tetap dicatat
mendapatkan pahala dari amal-amal kebaikan yang biasa ia kerjakan ketika
dalam keadaan sehat dan tidak bepergian.

Kaidah ini diterapkan dalam berbagai macam pembahasan yang tercakup


dalam syari’at agama Islam yang mulia ini. Adapun perwujudan kaidah ini secara
nyata dapat diketahui dari contoh-contoh berikut ini.Jika pakaian atau badan
seseorang terkena sedikit darah maka dimaafkan, dan tidak harus mencucinya.
1) Boleh beristijmar (membersihkan najis dengan batu atau semisalnya) sebagai
pengganti dari istinja’ )membersihkan najis dengan air(, meskipun dijumpai
adanya air.
2) Sucinya mulut anak kecil yang terkadang memakan najis dikarenakan belum
bisa membedakaan benda-benda di sekelilingnya.
3) Sucinya kucing. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫ت‬ َ ‫طوافِيْن عل ْي ُك ْم وال‬


ِ ‫ط َوافا‬ َ ‫ت بِنجس إِنَها مِ ن ال‬
ْ ‫إنَها ليْس‬

Sesungguhnya kucing itu tidak najis. Sesungguhnya ia termasuk binatang


yang selalu menyertai kalian.
4) Termaafkan, jika terkena cipratan tanah jalanan yang diperkirakan bercampur
dengan najis. Jika memang benar ada najisnya, maka dimaafkan dari najis
yang sedikit.
5) Jika pakaian seseorang terkena kencing bayi laki-laki yang belum makan
makanan tambahan selain ASI, maka cukup membasahi pakaian tersebut
dengan air dan tidak perlu mencucinya. Demikian pula jika terkena muntahan
bayi tersebut.

11
6) Penjelasan para ahli ilmu, bahwa hukum asal sesuatu dzat adalah suci, kecuali
jika diketahui secara pasti tentang kenajisannya. Dan hukum asal segala
makanan adalah halal dikonsumsi, kecuali jika diketahui secara pasti tentang
keharamannya.
7) Dalam membersihkan badan, pakaian, atau bejana dari najis cukup
menggunakan perkiraan. Jika tidak bisa atau kesulitan menentukan
kesuciannya secara pasti, maka cukup dengan dikira-kira, jika dianggap sudah
suci, maka cukup.
8) Dalam menentukan telah datangnya waktu shalat, cukup dengan perkiraan
kuat bahwa waktunya telah datang. Yaitu, jika sulit mengetahui datangnya
waktu tersebut secara pasti.
9) Orang yang melaksanakan haji secara tamattu’ dan qiran, mereka bisa
melaksanakan haji sekaligus umrah dalam sekali perjalanan saja.
10) Diperbolehkan memakan makanan haram, seperti bangkai dan semisalnya,
bagi orang yang terpaksa untuk memakannya.
11) Bolehnya jual beli ‘ariyah[2] jika ada hajat untuk mendapatkan kurma ruthab
(kurma basah).
12) Boleh mengambil upah dari perlombaan pacu kuda, mengendarai onta, dan
perlombaan memanah.
13) Bolehnya seorang laki-laki merdeka menikahi budak wanita jika laki-laki
tersebut tidak bisa menunda pernikahan dan khawatir akan terjatuh dalam
perzinaan.
14) Jika seseorang melakukan pembunuhan dengan tanpa kesengajaan, maka
karib kerabat orang yang melakukan pembunuhan tersebut menanggung
pembayaran diyat (denda yang harus dibayarkan kepada keluarga korban).
Hal ini dikarenakan pelaku pembunuhan tersebut tidak sengaja melakukan
pembunuhan, sehingga ia mempunyai udzur. Maka, merupakan hal yang
layak jika karib kerabat si pembunuh tersebut menanggung pembayaran diyat
tersebut tanpa memberatkan mereka, yaitu dengan membagi diyat tersebut

12
sesuai kadar kekayaan masing-masing. Dan pembayaran tersebut diberi
tenggang waktu selama tiga tahun. Adapun jika pembunuh tersebut termasuk
orang yang berkecukupan dalam harta, apakah ia turut menanggung
pembayaran diyat tersebut ataukah tidak? Maka dalam hal ini terdapat
perselisihan di kalangan para ulama.6

F. Kaidah-kaidah Cabang
Kaidah cabang bisa disebut habit karena hanya berlaku pada bab-bab tertentu,
diantaranya:

‫إذا ضاق األمر تسع و إذا اتسع صاف‬

Artinya: "Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas dan
apabila suatu perkara menjadi meluas maka hukumnya menyempit"

Misalnya, boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan karena sakit atau
berpergian jauh. Sakit dan berpergian jauh merupakan kesempitan, maka
hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka. Akan tetapi, bila sudah sembuh,
maka hukum wajib melaksanakan puasa kembali lagi.

‫إذا تعد و األصل يُصار إلى التدل‬

Artinya: "Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah penggantinya"

Misalnya, seseorang yang kesulitan mendapatkan air, maka diperbolehkan


bertayamum.

‫ما ل يمكن التحرز مِ ْنهُ م ْعفُو عنه‬

6
Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo.

13
Artinya: "Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya). maka hal itu
dimaafkan"

Misalnya, seorang pedagang laki-laki apabila pembelinya wanita, dan sedang


terbuka auratnya, maka dalam kondisi demikian akan dimaafkan karena tidak
mungkin terhindar.

‫الرخص ل تناط بالمعاصي‬

Artinya: "Kemudahan (rukhsah) itu tidak boleh dihubungkan dengan


kemaksiatan."

Misalnya, orang yang menggunakan rukhsah puasa dengan membatalkannya


dengan niat apabila staminanya kembali kuat akan membunuh orang lain.

ُ ‫ت الحقِيقةُ يُص‬
‫ار إلى المخاز‬ ْ ‫إِذا تعدَر‬

Artinya "Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti sesungguhnya, maka kata
tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya."

Misalnya, seseorang berkata: "saya wakafkan tanah saya ini kepada anak
Kyai Ahmad". Padahal semua tahu bahwa anak kyai Ahmad sudah lama
meninggal, yang ada hanya cucunya. Maka dalam hal ini, kata anak a harus diganti
cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin
mewakafkan kepada yang sudah meninggal dunia.

‫يعتمر في الدوام ما ل يغتفر في اْلبتداء‬

Artinya: "Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan
pada permulaannya.

Misalnya, mahasiswa yang menyewa kost maka diharuskan membayar uang


muka oleh pemilik kost. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin
melanjutkan sewaan berikutnya, maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi.

14
‫يعتمر في اْلبتداء ما ل يُ ْغف ُر في الدوام‬

Artinya: "Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya."

Misalnya, seseorang yang baru masuk Islam dan tidak tahu bahwa judi,
berzinah atau minuman keras itu dilarang atau haram, maka orang tersebut
dimaafkan untuk permulaannya karena ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia
mengetahui bahwa judi, berzinah atau minuman keras hukumnya haram, maka ia
harus menghentikan perbuatan haram tersebut.

‫فر في غيْرها‬
ُ ‫يعتمر في التوابع ما ل يُعت‬

Artinya: "Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada
yang lainnya."

Misalnya, seseorang boleh mewaqafkan kebun yang sudah rusak tanamannya


karena tanaman mengikuti tanah yang diwaqafkan.7

7
Andiko, T.Ilmu Qawa'id Fiqhiyyah: Panduan Praktis dalam Merespon Problematika Hukum Islam
Kontemporer. 2011.

15
16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara etimologi pengertian ibadah adalah merendahkan diri atau tunduk.
Secara garis besar, ibadah dibagi menjadi dua yakni ibadah khassah (khusus) atau
mahdah dan ibadah `ammah (umum) atau ghairu mahdah. Ibadah dari segi
pelaksanaannya dapat dibagi dalam tiga bentuk, yakni . Ibadah Jasmaniah
ruhaniah, ibadah ruhaniah dan maliah, dan ibadah jasmani, ruhaniah dan maliyah.
Kaidah ini menjelaskan bahwa kesulitan yang didapatkan seorang mukallaf ketika
melaksanakan beban syari’at, itu menjadi sebab adanya keringanan dan
kemudahan, sampai hilang atau berkurang kesulitan tersebut. Terdapat dua
klasifikasi kesulitan yaitu, Kesulitan Mu’tadah dan kesulitan Qhairu Mu’tadah.
Kaidah ini diterapkan dalam berbagai macam pembahasan yang tercakup dalam
syari’at agama Islam yang mulia ini.

B. Saran
Sebagai penulis makalah ini, kami akan sangat senang jika para pembaca,
pendengar , serta teman-teman memberikan kontribusi. Kritik dan saran anda akan
sangat membantu kami dalam meningkatkan makalah ini dan lebih menyesuaikan
topic yang dibahas. Karena kami sadar makalah kami ini masih jauh dari kata
sempurna. Terimakasih atas partisipasinya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Faozan tri nugroho. Pengertian Ibadah dalam Islam, Tujuan, Macam, dan Prinsip-
prinsipnya. 13 Juni 2023.

Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah


Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo.

Abu Muslim Nurwan Darmawan. Qawa’id Fiqhiyyah: Kesulitan mendatangkan


kemudahan. 9 Februari 2023.

Wahbah az-Zuhaili, 1982: 196-197 dan 199-200)Pengertian Al Masyaqqah Tajlibut


Taysir-artikel blog.
Muhammad Abduh Tuasik. kaedah Fikih (5), Kesulitan Mendatangkan Kemudahan.
25 November 2012.

Andiko, T.Ilmu Qawa'id Fiqhiyyah: Panduan Praktis dalam Merespon Problematika


Hukum Islam Kontemporer. 2011.

18
19
20

Anda mungkin juga menyukai