Anda di halaman 1dari 21

INFEKSI AKUT KASUS OBSTETRI

Nama Kelompok :

1. NI MADE DWINASTI
2. NI PUTU DYAH MANIK MAHAGUNASARI
3. LUH EKA AGUSTINA
4. NI PUTU EKA PRATIWI WIJAYANTI
5. NI WAYAN INDAH RAHMAWATI
6. PUTU INDIRA RADA PRATIWI
7. I DEWA AYU JULIANTI
8. NI LUH JULIANTINI
9. NI MADE LARASWATI
10. NI WAYAN LISA ARIANI
11. NIDA FITRIANA

DIII KEBIDANAN
STIKES BALI
TAHUN AJARAN 2016/2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat sehingga makalah yang berjudul “Infeksi Akut Obstetri” dapat
diselesaikan sesuai target yang ingin dicapai oleh penulis.
Makalah ini dibuat untuk memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai
prinsip dasar dan penilaian kegawatdaruratan obstetri, serta penanganan perdarahan pada
obstetric baik dalam kehamilan, persalinan, dan masa nifas. Selain itu, makalah ini juga
dibuat untuk
Semoga usaha pembuatan makalah yang telah dikerahkan ini dapat membuahkan hasil yang
maksimal dan bermanfaat bagi penulis maupun pembaca. Penulis menyadari bahwa dalam
pembuatan makalah ini masih terdapat kekurangan. Untuk itu, penulis mohon maaf, karena
sesungguhnya kesempurnaan itu hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa.

Denpasar, 13 Februari 2017

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kurang lebih sekitar 160 juta perempuan di seluruh dunia hamil setiap tahunnya. Pada
umumnya kehamilan ini berlangsung dengan aman. Tetapi, sekitar 1554 menderita
komplikasi berat, dengan sepertiganya merupakan komplikasi yang mengancam jiwa ibu.
Komplikasi ini mengakibatkan kematian lebih dari setengah juta ibu setiap tahun.
Kematian ibu atau kematian maternal adalah kematian seorang ibu sewaktu hamil
atau dalam waktu 42 hari setelah sesudah berakhirnya kehamilan, tidak bergantung pada
tempat atau usia kehamilan. Indikator yang umum digunakan dalam kematian ibu adalah
Angka Kematian Ibu (Maternal Mortality Ratio) yaitu jumlah kematian ibu dalam 1.000.000
kelahiran hidup. Angka ini mencerminka risiko obstetri yang dihadapi oleh seorang ibu
sewaktu ia hamil. Jika ibu tersebut hamil beberapa kali, risikonya meningkat dan
digambarkan sebagai risiko kematian ibu sepanjang hidupnya, yaitu pribabilitas menjadi
hamil dan probabilitas kematian karena kehamilan sepanjang masa reproduksi.
Mengenal kasus gawatdarurat obstetri secara dini sangat penting agar pertolongan yang cepat
dan tepat dapat dilakukan. Dalam menangani kasus gawatdarurat, penentuan permasalahan
utama (diagnosis) dan tindakan pertolongannya harus dilakukan dengan cepat, cermat, dan
terarah. Dengan diagnosis yang tepat maka penatalaksanaan yang dilakukan juga dapat tepat
mengenai sasaran, hal ini dapat memprkecil angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian
bayi (AKB).

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Obstetri?
2. Apa saja infeksi dalam persalinan?
3. Apa saja infeksi dalam kehamilan?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Obstetri
Secara bahasa, kata “Obstetri “ (berasal dari bahasa Latin “obstare”, yang berarti “siap siaga/
to stand by”) adalah spesialisasi pembedahan yang menangani pelayanan kesehatan wanita
selama masa kehamilan, persalinan dan nifas. Sedangkan pengertian “Kebidanan” adalah
pelayanan yang sama namun bukan merupakan tindakan yang berkaitan dengan pembedahan.
Hal ini yang membedakan profesi dokter kebidanan dengan bidan.

2.2 Infeksi Akut dalam Obstetri


a. Infeksi Dalam Persalinan

Tanda dan Gejala

1. Nadi cepat (110 kali/menit atau lebih


2. Temperatur tubuh diatas 38oC
3. Kedinginan
4. Cairan vagina yang berbau busuk

Penanganan Umum

 Observasi jalannya persalinan dengan baik dan benar


 Evaluasi setiap demam yang terjadi dalam periode persalinan
 Kenali segera apabila terjadi ketuban pecah sebelum waktunya
 Priksa dalam hanya dilakukan atas indikasi yang jelas dan ikuti jadwal evaluasi ulang
menurut partograf atau waktu yang telah ditentukan sebelumnya
 Terapkan prinsip kewaspadaan universal
 Nilai dengan cermat setiap kasus rujukan dengan dugaan partus lama, macet atau yang
bermasalah
 Lakukan pengobatan profilaksis apabila persalinan diduga akan berlangsung lama
 Region genetalia dan sekitarnya merupakan area dengan resiko tinggi kejidian infeksi atau
merupakan tempat sumber infeksi.
Penilaian Klinik

 Pada umumnya infeksi intra uterin merupakan infeksi yang menjalar ke atas setelah
ketuban pecah. Bakteri yang potensial pathogen (anaerob, aerob) masuk ke dalam air
ketuban, diantaranya ialah

1. Streptokoki golongan B
2. Aserikia koli
3. Streptokoki anaerob
4. Spesies bakteroides.

Air ketuban mengandung imonoglobulin yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri di


rongga amnion.

 Apabila terjadi korioamnionitis, janin terinfeksi akibat menelan atau aspirasi air ketuban
terutama pada kondisi gawat janin. Oleh sebab itu, sebagian besar pneumonia neonatorum
dini atau sepsis, terjadi intra uterin ( terutama dengan ibu yang malnutrisi)

Penanganan

 Tentukan penyebab demam : dehidrasi, infeksi ekstragenital (sistemik) atau melalui jalan
lahir
 Apabila dehidrasi merupakan penyebab, lakukan rehidrasi yang sesuai
 Atasi penyebab demam dari jalur sistemik :

– Influensa

– Pneumonia

Antipiretika : paracetamol 3 x 500 mg

Antibiotika :

 ampisilin + sulbaktam 3 x 375 mg


 Amoksilin + asam klavulanat 3 x 500 mg
 Tiamfenikol 3 x 500 mg
 Penisilin prokain 2,4 juta IU + gentamisin 80 mg (im) 3x sehari
 Oksigen bila sesak
 Apendisitis

– Konsulkan ke bagian bedah untuk konfirmasi diagnosis

– Bila persalinan segera berlangsung dan tidak terjadi perforasi, lakukan pemberian
antibiotika dan terminasi kehamilan secara pervaginam

– Bila persalianan masih akan berlangsung hingga diatas 2x penilaian pada partograf atau
diatas 6 jam dan telah terjadi perforasi, lakukan operasi bersama dengan bagian bedah.

 Pielonefritis
 Observasi dan nilai kemajuan proses persalinan
 Lakukan terminasi persalinan dengan memperhatikan etiologi demam
 Bila terjadi korioamnionitis, lihat penatalaksanaan komplikasi tersebut
 Evaluasi kondisi janin selama proses persalinan dan lakukan tindakan pertolongan
atau resusitasi pada bayi baru lahir apabila terjadi asfiksia
 Demam selama persalinan, mungkin akan berlanjut hingga masa nifas, oleh karena itu
pemantauan dan terapi untuk kasus ini harus dilanjutkan hingga penyulit tersebut
dapat benar-benar diatasi.

a. Korioamnionitis

Prinsip dasar

 Merupakan komplikasi yang paling serius bagi ibu dan janin


 Dapat berlanjut menjadi septicemia atau sepsis
 Dapat terjadi jauh sebelum persalinan memasuki fase atau malahan sebelum trimester
ketiga
 Terapi antibiotika bukan merupakan jaminan bagi keselamatan ibu dan janin

Penanganan Umum

 Buat diagnosis sedini mungkin


 Induksi atau akselerasi persalinan pada kehamilan >35 minggu
 Upayakan persalinan berlangsung pervaginam
 Atasi semua komplikasi pada ibu dan janin/neonatus

Penilaian Klinik

 Antara infeksi dan partus prematurus terdapat interaksi: korioamnionitis-pembebasan


prostaglandin-partus prematurus-pembukaan serviks uteri-korioamnionitis.
 Setelah terjadi invasi mikroorganisme ke dalam cairan ketuban, janin akan terinfeksi karena
janin menelan atau teraspirasi air ketuban, ditandai dengan terjadinya takhikardia (denyut
jantung bayi > 160 kali per menit)
 Sebagian besar pneumonia neonatorun dini atau sepsis neonatorum berasal dari intrauterine,
terutama pada ibu dengan malnutrisi
 Sepsis neonatorum dini menunjukkan tanda-tanda apnea, malas minum dan apatis

Penanganan

 Lakukan segala upaya untuk menegakkan diagnosis pasti adanya korioamnionitis karena
diagnosis dini, sangat menentukan prognosis penyakit.
 Nilai kondisi kehamilan dan persalinan, bila usia bayi premature maka hal ini petanda
buruk bagi kelangsungan hidupnya. Bila janin telah meninggal, risiko infeksi tertuju pada
ibu dan kecenderungan untuk terminasi pervaginam, dapat membuat masalah baru
 Tindakan seksio sesarea harus diambil melalui pertimbangan yang tepat karena kejadian
sepsis sangat tinggi dalam kasus seperti ini
 Lakukan induksi persalinan bila belum in partu dan akselerasi bila telah in partu
 Berikan terapi antibiotika sesegera mungkin dan pilih yang memiliki spectrum yang luas

Pada prinsipnya pengobatan memakai kombinasi : ampisilin, gentamisin dan metronidazol

 Ampisilin 3 x 1000mg
 Gentamisin 5mg/kg BB/hari
 Metronidazol 3 x 500mg
 Lakukan kerjasama dengan dokter anak untuk penanggulanggan janin/neonatus
 Perhatikan kontraksi uterus pasca persalinan untuk menghambat invasi mikroorganisme
melalui sinus-sinus pembuluh darah yang terdapat pada dinding uterus.
Alasan Merujuk

1. Infeksi intrauterine merupakan infeksi akut pada cairan ketuban, janin dan selaput
korioamnion
2. Merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas pada ibu
3. Morbiditas dan mortalitas pada janin/neonatus sangat tinggi
4. Apabila terjadi korioamnionitis, janin terinfeksi akibat menelan atau aspirasi air ketuban
terutama pada kondisi gawat janin
5. Dapat berlanjut menjadi septicemia atau sepsis
6. Merupakan komplikasi yang paling serius bagi ibu dan janin
7. Terapi antibiotika bukan merupakan jaminan bagi keselamatan ibu dan janin

Cara Merujuk

1. Baringkan miring ke kiri


2. Pasang infus dengan menggunakan jarum besar (ukuran 16 atau 18) dan diberikan RL
atau NS 125 cc/ jam
3. Berikan ampisilin 2gr atau amoksisilin 2gr per oral
4. Segera rujuk ke fasilitas yang memiliki kemampuan asuhan kegawatdaruratan obstetric
5. Dampingi ibu ke tempat rujukan

2.3 INFEKSI DALAM KEHAMILAN

Secara umum infeksi dalam kehamilan berdasarkan penyebabnya dikelompokan menjadi tiga
penyebab, yaitu :

1. Infeksi Virus ; meliputi varisella zooster, influenza, parotitis, rubeola, virus


pernafasan, enterovirus, parfovirus, rubella, sitomegalovirus.
2. Infeksi bakteri ; meliputi Streptokokus grup A, Streptokokus grup B, Listeriosis,
Salmonella, Shigella, Mourbus Hansen.
3. Infeksi protozoa; meliputi Toksoplasmosis, Amubiasis, amubiasis, infeksi jamur.
a. Varicella – zooster
Walaupun masih diperdebatkan, terdapat bukti bahwa infeksi vaeisella bertambah parah
selama kehamilan. Paryani dan Arvin (1986) melaporkan bahwa 4 dari 43 wanita hamil yang
terinfeksi atau sekitar 10%, mengalami pneumonitis. Dua dari wanita ini memerlukan
ventilator dan satu meninggal. Infeksi herpes zooster pada ibu hamil lebih sering terjadi pada
pasien yang lebih tua atau mengalami gangguan kekebalan (immunocompromised).

Pencegahan
Pemberian imunoglobulin varisela-zooster (VZIG) akan mencegah atau
memperlemah infeksi varisella pada orang rentan yang terpajan apabila diberikan dalam 96
jam dengan dosis 125 U per 10 kg, i.m.

Efek pada janin


Cacar air pada wanita hamil selama paruh pertama gestasi dapat menyebabkan
malformasi kongenital akibat infeksi transplasenta, berupa korioretinitis, atrofi korteks
serebri, hidronefrosis dan defek kulit serta tulang tungkai.
Resiko tertinggi terletak pada usia gestasi antara 13 dan 20 minggu. Pajanan pada usia
kehamilan yang lebih belakangan menyebabkan lesi varisella kongenital, dan bayi kadang-
kadang mengalami herpes zooster pada usia beberapa bulan (Chiang dkk, 1995). Janin yang
terpajan virus tepat sebelum dan saat persalinan ketika antibodi ibu belum terbentuk,
mengalami ancaman serius, bayi akan mengalami infeksi viseral dan susunan syaraf pusat
diseminata, yang sering kali mematikan.

b .Influenza
Penyakit ini disebabkan oleh virus dari famili Orthomyxoviridae, meliputi influenza
tipe A dan tipe B. Influenza A lebih serius dari pada B. Penyakit ini tidak mengancam nyawa
bagi orang dewasa sehat, kecuali apabila timbul pneumonia, prognosis menjadi serius. Haris
(1919) melaporkan angka kematian kasar ibu hamil sebesar 27 %, yang meningkat menjadi
50% apabila terjadi pneumonia.

Pencegahan
Center for Disease Control and Prevention(1998) menganjurkan vaksinasi terhadap
influenza bagi semua wanita hamil setelah trimester pertama. Berapa pun usia gestasi, wanita
dengan penyakit medis kronik, misalnya dibetes atau jantung, divaksinasi. Amantadin
berespon baik dan spesifik terhadap virus-virus influenza A apabila diberikan dalam 48 jam
setelah awitan gejala.

Efek pada janin


Belum ada bukti kuat bahwa virus influenza A menyebabkan malformasi kongenital
atau kelainan pada bayi.

c.Parotitis
Parotitis adalah penyakit infeksi pada orang dewasa yang jarang dijumpai yang
disebabkan oleh paramiksovirus RNA. Virus terutama menginfeksi kelenjar liur, tetapi juga
dapat mengenai gonad, meningen, pankreas dan organ lain. Parotitis selama kehamilan tidak
lebi parah dibanding pada orang dewasa tidak hamil dan tidak terdapat bukti bahwa virus
bersifat teratogenik (Ouhilal, 2000). Vaksin Jeryl-Lynn (virus hidup yang dilemahkan) dan
vaksin MMR kontraindikasi bagi wanit haml.

Efek pada janin


Tidak ada bukti kuat bahwa infeksi parotitis meningkatkan angka kematian janin maupun
anomali mayor pada janin. Parotitis kongenital sangat jarang dijumpai.

d.Rubeola (campak)
Virus tampaknya tidak bersifat teratogenik, tetapi terjadi peningkatan frekuensi
abortus dan BBLR pada kehamilan dengan penyulit campak (Siegel dan Fuerst, 1966).
Apabila seorang wanita menderita campak sesaat sebelum melahirkan , timbul resiko infeksi
serius yang cukup besar pada neonatus, terutama pada bayi preterm. Imunisasi pasif dapat
dicapai dengan pemberian globulin serum imun 5 ml i.m dalam 3 hari setelah terpajan.
Vaksinasi aktif tidak diberikan selama kehamilan, tetapi wanita yang rentan secara rutin
divaksinasi postpartum.

e.Rubella
Rubela atau campak Jerman, yaitu suatu penyakit yang biasanya tidak begitu penting
pada keadaan tidak hamil,pernah menjadi penyebab langsung hasil-akhir kehamilan yang
jelek dan bahkan lebih serius lagi, penyebab malformasi kongenital berat. Hubungan
antara rubela maternal dan malformasi kongenital serius, pertama-tama dikenali oleh
Gregg (1942), seorang ahli oftalmologi Australia.

Pencegahan
Untuk memberantas penyakit infeksi ini sama sekali, pendekatan berikut dianjurkan untuk
mengimunisasikan populasi dewasa, khususnya populasi wanita usia reproduktif:
 Pendidikan bagi para petugas pelayanan kesehatan dan masyarakat luas mengenai
bahaya infeksi rubella.
 Vaksinasi bagi para ibu yang rentan sebagai bagian dari perawatan medis dan obstetrik
rutin
 Vaksinasi bagi semua wanita yang datang ke klinik keluarga berencana
 Pengenalan dan vaksinasi bagi wanita yang belum memiliki kekebalan sesudah
 melahirkan bayi atau mengalami abortus
 Vaksinasi bagi wanita yang tidak hamil dan mempunyai kerentanan yang diketahui
lewat pemeriksaan serologi sebelum perkawinan
 Jaminan imunitas bagi semua petugas rumab sakit yang dapat terpapar pasien
rubela
 atau yang mengalami kontak dengan ibu hamil
Vaksinasi rubela dianjurkan agar tidak dilakukan sesaat sebelum kehamilan atau pada
saat kehamilan, mengingat vaksin tersebut merupakan virus hidup yang dilemahkan.
The Centers for Disease Control (1987b) telah mempertahankan pencatatan sejak tabun
1971 untuk memantau efek vaksinasi terhadap janin. Sampai tahun 1986, 1.176 wanita
yang rentan terhadap infeksi rubela telab diimunisasi dalam waktu 3 bulan sejak pembuahan
dan untungnya tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pemberian vaksin tersebut
menimbulkan malformasi pada bayi atau janin. Kasus kasus di mana wanita yang rentan
diimunisasi selama kehamilannya harus dilaporkan ke bagian pencatatan ini (Centers for
Disease Control, Atlanta, Georgia, 404-329-1870).

Diagnosis
Diagnosis rubela kadangkala sulit ditegakkan. Bukan hanya gambaran klinisnya
yang serupa dengan penyakit lain, namun juga kasus-kasus subklinis dengan viremia dan
infeksi pada embrio serta janin tidak tcrdapat. Tidak adanya anti bodi terhadap rubela
menunjukkan defisiensi imunitas. Adanya antibodi menandakan respon imun terhadap
viremia rubela, yang mungkin sudah diperoleh di suatu tempat sejak beberapa minggu
atau bertahun-tahun sebelumnya. Jika antibodi rubela maternal terlihat pada saat terpapar
rubela atau sebelumnya, maka kekhawatiran ibu bisa ditenteramkan karena kemungkinan
janin terkena infeksi tersebut sangat kecil. Orang yang tidak kebal dan mendapatkan viremia
akan memperlihatkan titer antibodi yang puncaknya terjadi 1 hingga 2 minggu sesudah
dimulainya gejala ruam, atau 2 hingga 3 minggu sesudah onset viremia, mengingat viremia
secara klinis terlihat lebih dabulu sebagai penyakit yang nyata sekitar 1 minggu
sebelumnya. Karena itu kecepatan respon antibodi dapat mempersulit diagnosis, kecuali bila
serum sudah diantbil dahulu dalam waktu beberapa hari sesudah dimulainya gejala ruam.
Jika, misalnya, spesimen pertama diambil 10 hari sesudah ruam, maka deteksi antibodi
tidak akan berhasil membedakan antara kedua kemungkinan ini: (1) bahwa penyakit yang
baru saja terjadi benar-benar rubela; atau (2) bahwa penyakit tersebut bukan rubela, namun
orang tersebut sudah kebal terhadap rubela.
Terlihatnya IgM yang spesifik pada ibu hamil menunjukkan suatu infeksi primer dalam
waktu beberapa bulan.
Tes yang paling sering digunakan adalah HI (hemaglutination inhibition) tes. Pada tes
ini terlihat rubela antibodi menghalangi aglutinasi dari sel darah merah oleh virus rubela.
Pereriksaan ini membutuhkan waktu dan teknik yang kompleks sehingga digantikan dengan
dengan teknik pemeriksaan yang lain. Metode yang baru berupa ELISA (enzyme linked
immunoabsorbent assay), PHA (passive agglutination), IFA (Immunofluoresence assay), RIA
(radioimmunoassay), dan radial immunodiffusion tes.

Sindrom Rubella Kongenital


Pada rubela seperti halnya pada infeksi virus yang lain, konsep tentang bayi yang
terinfeksi versus bayi yang terjangkit harus dipahami. Rubela merupakan teratogen yang
poten, dan 80 % dari ibu yang mendapatkan infeksi rubela serta ruam dalam usia
kehamilan 12 minggu akan mempunyai janin dengan infeksi kongenital (Miller dkk.,
1982).
Pada kehamilan minggu ke-13 hingga ke-14, insiden ini besarnya 54 persen,
dan pada akhir trimester kedua 25 persen. Dengan semakin tinggi usia kehamilan,
semakin kecil kemungkinan bagi infeksi tersebut untuk menimbulkan kelainan
kongenital. Sebagai contoh, cacat rubela terlihat pada semua bayi yang terbukti menderita
infeksi intrauteri sebelum usia gestasional 11 minggu, namun hanya 35 persen bayi yang
terinfeksi pada usia gestasional 13 hingga 16 minggu. Meskipun tidak terlihat cacat pada 63
anak yang terinfeksi setelah usia gestasional 16 minggu, namun anak-anak tersebut
diikuti perkembangannya dalam waktu 2 tahun, dan extended rubella syndrome dengan
panensefalitis progresif dan diabetes tipe 1 mungkin baru terlihat secara klinis setelah usia
dua puluh atau tiga pulub tahun. Kernungkinan sepertiga dari bayi yang asimtomatik pada
saat lahir akan memperlihatkan cedera pertumbuhan tersebut (American College of Ob-
stetricians and Gynecologists, 1988).
Sindroma rubela kongenital mencakup satu atau lebih abnormnalitas berikut:
a. Kelainan mata, termasuk katarak, glaukoma, mikroftalmia dan berbagai abnormalitas
lainnya
b. Penyakit jantung, termasuk patent ductus arteriosus defek septum jantung dan stenosis
arteri
c. Pulmonalis
d. Cacat pendengaran
e. Cacat sistem saraf pusat termasuk meningoensefalitis
f. Retardasi pertumbuhan janin
g. Trombositopenia dan anemia
h. Hepatosplenomegali dan ikterus
i. Pneumonitis interstisialis difusa kronis
j. Perubahan tulang
k. Abnormalitas kromosom

f. Sitomegalovirus
Sitomegalovirus merupakan organisme yang ada di mana-mana serta pada
hakekatnya menginfeksi sebagian besar manusia, bukti adanya infeksi janin ditemukan di
antara 0,5 –2 % dari semua neonatus. Sesudah terjadinya infeksi primer yang biasanya
asimtomatik, 10 % infeksi pada janin menimbulkan simtomatik saat kelahiran dan 5 -25 %
meninggalkan sekuele. Pada beberapa negara infeksi CMV 1 % didapatkan infeksi in utro
dan 10-15 % pada masa prenatal (5) Virus tersebut menjadi laten dan terdapat reaktivasi
periodik dengan pelepasan virus meskipun ada antibodi di dalam serum. Antibodi humoral
diproduksi, namun imunitas yang diperantarai oleh sel tampaknya merupakan mekanisme
primer untuk terjadinya kesembuhan, dan keadaan kekebalan yang terganggu baik terjadi
secara alami maupun akibat pemakaian obat-obatan akan meningkatkan kecenderungan
timbulnya infeksi sitomegalovirus yang serius. Diperkirakan bahwa berkurangnya
surveilans imun yang diperantarai oleh sel, menyebabkan janin-bayi tersebut berada dalam
risiko yang tinggi untuk terjadinya sekuele pada infeksi ini.

Infeksi Maternal
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kehamilan meningkatkan risiko
terjadinya infeksi sitomegalovirus maternal. Infeksi kebanyakan asimptomatik, tetapi 15
% mempunyai mononucleosis like syndrome dengan gejala: demam, paringitis,
limpodenopathy, dan polyartritis. Jadi, infeksi primer yang ditularkan kepada janin pada
sekitar 40 persen kasus, lebih sering berkaitan dengan morbiditas parah (Stagno dkk.,
1986). Meskipun infeksi transplasental tidak universal, janin yang terinfeksi lebih besar
kemungkinannya disertai dengan infcksi maternal selama paruh-pertama kehamilan.
Sebagaimana virus herpes lainnya, imunitas maternal terhadap sitomegalovirus tidak
mencegah timbulnya rekurensi (reaktivasi) dan juga tidak mencegah terjadinya infeksi
kongenital. Dalam kenyataannya, mengingat sebagian besar infeksi selama kehamilan bersifat
rekuren, mayoritas neonatus yang terinfeksi secara kongenital dilahirkan dari wanita-
wanita ini. Untungnya, infeksi kongenital yang terjadi akibat infeksi rekuren lebih jarang
disertai dengan sekuele yang terlihat secara klinis dari pada infeksi kongenital yang
disebabkan oleh infcksi primer.

Infeksi Kongenital
Infeksi sitomegalovirus kongenital yang disebut penyakit inklusi sitomegalik,
menimbulkan suatu sindrom yang mencakup berat badan lahir rendah, mikrosefalus,
kalsifikasi intrakranial, korioretinitis, retardasi mental serta motorik, gangguan
sensorineural, hepatosplenomegali, ikterus, anemia hemolitik dan purpura trombositopenik.
Angka mortalitas di antara bayi yang terinfeksi secara kongenital ini dapat mencapai 20 –
30 %, dan lebih 90 % bayi yang berhasil hidup ternyata mendcrita retardasi mental,
gangguan pendengaran, gangguan perkembangan psikoniotorik, epilepsy atau pun
gangguan sistern saraf pusat lainnya (Pass dkk., 1980).

Diagnosis
Prenatal diagnosis efek infeksi pada janin dapat deteksi dengan USG dan Magnetic
Resonace Imaging dengan ditemukan mikrosephal, vetriculomegali dan serebral kalsifikasi..
Gold standar diagnosis infeksi CMV adalah kutur virus. Diagnosis infeksi primer dibuat
berdasarkan peningkatan titer IgG sebesar empat kali lipat pada serum, baik dalam keadaan
akut maupun konvalesensi yang diukur sekaligus, atau dibuat dengan mendeteksi antibodi
1gM terhadap sitomegalovirus di dalam serum maternal. Sayangnya, tidak satupun di
antara kedua metode ini yang benar-benar akurat dalam memastikan infeksi maternal.
Celakanya tidak ada metode yang handal untuk memeriksa efek dari infeksi janin tersebut,
termasuk pemeriksaan sonografi atau kultur cairan amnion untuk menemukan
sitomegalovirus.
USG dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi CMV tetapi terbatas dimana janin sudah
mengalami gejala yang berat

g. Streptokokus grup B
Group Streptoccocus B (GBS) adalah penyebab dari infeksi kongenital yang bInfeksi
rat pada neonatus pada setiap 1000 kelahiran hidup atau 12.000 sampai 15.000 bayi setiap
tahunnya di Amerika. Ini menjadi penyebab korioamnionitis, post partum endometritis dan
sepsis pada ibu serta penyebab terpenting terjadinya asfiksia intra uterine.(5)
Dalam tahun 1970-an, infeksi streptokokus grup B pada neonatus mengalami
peningkatan luar biasa, tetapi kemudian pada banyak rumah sakit terjadi penurunan
frekuensi infeksi tersebut. Penyebab terjadinya peningkatan yang mencolok atau
penurunan berikutnya tidak dengan jelas. Transmisi intrapartum streptokokus grup B
dari traktus genitalis maternal dengan kolonisasi kuman tersebut kepada janin, dapat
menimbulkan sepsis berat pads bayi segera sesudah dilahirkan. Tergantung pada
populasi yang diteliti, sebanyak 10 hingga 40 persen ibu data stadium kehamilan lanjut
mengalami kolonisasi streptokokus grup B dalam traktus genitalis bagian distal, dan
separuh dari bayi yang baru dilahirkan akan terkena infeksi ini serta mengalami
kolonisasi kuman tersebut. Antibodi yang ditransmisikan dari ibu akan melindungi
kebanyakan bayi ini; tetapi, 1 hingga 2 persen dari bayi tersebut akan menderita kelainan
secara klinis. Bayi-bayi prematur atau dengan berat badan lahir yang rendah merupakan
bayi yang menghadapi risiko paling tinggi, namun lebih separuh dari kasus-kasus sepsis
streptokokus neonatal ternyata berupa neonatus yang aterm. Bagi bayi yang
mengalami infeksi ini, angka mortalitasnya mendekati 25 persen.
Pada septikemia akibat streptokokus grup B yang menandai penyakit dengan
onset dini, tanda-tanda sakit yang serius biasanya terjadi dalam waktu 48 jam sesudah
bayi lahir. Yang khas, selaput ketuban sudah pecah beberapa saat sebelum persalinan,
atau persalinan tersebut terjadi sebelum waktunya. Bayi dengan berat badan lahir yang
rendah menghadapi kemungkinan lcbih besar untuk menderita infeksi klinis serius.
Tanda-tanda infeksi dengan onset dini mencakup gawat pernafasan, apnea dan syok.
Karena itu, dari awal dokter harus sudah dapat membedakan antara kelainan akibat gawat
pernafasan idiopatik dan takipnea sepintas pada neonatus. Pengobatan segera dengan
pemberian antibiotik di saroping penanganan masalah respirasinya, harus dilakukan untuk
mempertahankan kelangsungan hidup bayi. Angka mortalitas pada penyakit dengan onset
yang dini bervariasi dari 30 hingga 90 persen, dan prognosis untuk bayi prematur lebih
buruk Penyakit dengan onset lanjut biasanya terlihat sehagai meningitis yang timbul sate
minggu atau lebih sesudah lahir. Meskipun serotipe pada penyakit dengan onset dini
bervariasi antara bayi yang satu dengan lainnya, nantun mikroorganisme yang paling sering
ditemukan dalam tubuh bayi adalah mikroorganisme yang sama seperti yang tcrdapat di
dalam vagina ibu. Kendati demikian, kasus-kasus meningitis paling sering discbabkan
oleh mikroorganisme serotipe III. Angka mortalitasnya, meskipun cukup tinggi, lebih
rendah pada meningitis dengan onset lanjut dari pada sepsis dengan onset dini.

Diagnosis
Diagnosis yang terbaik adalah dengan kolonisasi antepartum dari kolonisasi ibu yang
diambil dari sepertiga bawah vagina dan daerah anorektal untuk dilakukan kultur, yang tidak
adekuat untuk intrapartum skrenning.
Pada pasien yang sedang bersalin diagnosis cepat dengan melakukan sediaan hapus
dari vagina. Karena sensitifitasnya yang rendah maka tes deteksi GBS ini hanya dilakukan
pada pada pasien dengan resiko tinggi adanya sepsis neonatus dan memerlukan pengobatan
segera.

h. Listeriosis
Organisme ini adalah gram positip dimana 1 sampai 5 persen dari dewasa
memiliki lesteria yang ditemukan di feses. Transmisi ditemukan dari makanan yang
terkontaminasi atau susu yang busuk. Sering ditemukan pada penderita usia muda- tua,
wanita hamil, penderita dengan daya tahan yang turun. Pada wanita hamil hanya berupa
asimtomatik seperti panas badan influenza. Wanita dengan listeriosis dapat menyebabkan
fetal infeksi yang terlihat beruapa disseminated granulomatous lesion. Pada bayi
kemungkinan untuk terkena infeksi ini sebesar 50 persen. manifestasi pada bayi setelah
tiga atau empat minggu setelah lahir. Infeksi ini serupa dengan dengan yang disebabkan
oleh grup B haemolytic.streptococcus.
i. Morbus Hansen
Penyakit lepra (kusta) ditularkan oleh penderita lepra setelah hubungan erat dan lama.
Biasanya penularan terjadi dalam masa kanak-kanak, akan tetapi mas latennya sangat
lama , masa inkubasinya bervariasi dari beberapa bulan sampai beberapa tahun.
Infeksi laten menjadi nyata atau penyakitnya menjadi lebih jelas oleh faktor-faktor
yang menjadi daya tahan penderita, seperti purbertas , kehamilan, dan 6 bulan pertama
setelah kelahiran , karena itu penderita sebaiknya tidak menjadi hamil. Dalam
penanganan lepra dalam kehamilan yang penting ialah pencegahan anak terhadap
infeksi.
Mycobacterium dapat dijumpai dalam plasenta dan tali pusat. Walaupun demikian,
seperti halnya dengan tuberculosis, infeksi kongenital sangat jarang. Duncan (1980),
melaporkan dalam penelitiannya terhadap penderita lepra yang hamil, bahwa bayi yang
dilahirkan lebih sering mengalami pertumbuhan janin yang terhambat dan
plasentanyapun berukuran lebih kecil dari normal.Pertumbuhan dan perkembangan anak
tersebut mengalami keterlambatan pula. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh status
imunitas yang rendah pada ibu. Bila seorang ibu mengalami infeksi lepra, pemisahan
anak-anak dari ibunya sejak kelahiran sangat dianjurkan, sampai ibunya sembuh benar.
Apabila tidak, maka 25 % kemungkinan anaknya menderita lepra.
Pengobatan memerlukan waktu yang sangat lama (sampai beberapa tahun). Sekarang
diberikan dengan obat-obat sulfa (diaminodietilsulfon), juga dalam kehamilan. Berdasarkan
penelitian diketahui pula bahwa ibu yang menderita lepra dan mendapat poengobatan sulfa,
dapat kontak dengan bayinya pada saat menyusui saja. Dengan cara ini penularan tidak akan
terjadi.

j. Toksoplasmosis
Toksoplasmosis merupakan infeksi protozoa yang disebabkan oleh Toxoplasma
gondii. Infeksi ditularkan lewat organisme berkista dengan memakan daging mentah
atau kurang matang, dan terinfeksi protozoa tersebut atau lewat kontak dengan kotoran
kucing yang terinfeksi, atau infeksi ini dapat terjadi secara kongenital melalui penularan
transplasenta.
Pa t o g e n e s i s
Imunitas maternal tampaknya memberikan perlindungan terhadap penularan
transplasental parasit tersebut; dengan demikian, agar terjadi toksoplasmosis kongenital,
ibu harus
mendapatkan infeksi tersebut selama kehamilannya. Sekitar sepertiga dari para wanita di
Amerika Serikat, mendapatkan antibodi pelindung sebelum hamil dan kadar antibodi ini
lebih tinggi di antara wanita yang memelihara kucing sebagai binatang kesayangan.
Keluhan mudah lelab, nyeri otot dan kadangkala limfadenopati ditemukan pada ibu yang
terinfeksi, namun infeksi maternal tersebut paling sering terjadi secara subklinis. Infeksi
pada kehamilan dapat mcnyebabkan abortus atau mengakibatkan bayi lahir-hidup dengan
gejala penyakit tersebut. Risiko terjadinya infeksi meningkat menurut lamanya kehamilan
dan kurang-lebih 15,30 serta 60 persen dalam trimester pertama, kedua dan ketiga
(Remington dan Desmonts, 1983).
Virulensi infeksi janin lebih besar kalau infeksi maternal didapat secara awal
dalam kehamilan-untungnya keadaan ini jarang terjadi. Kurang dari sepuluh persen
neonatus dengan toksoplasmosis kongenital memperlihatkan tanda tanda sakit secara
klinis pada scat lahir. Bayi yang terkena biasanya mcmperlihatkan tanda-tanda
penyakit yang menyeluruh dengan berat badan lahir rendah, hepatosplenomegali,
ikterus dan anemia. Sebagian bayi terutama menderita penyakit neurologi dengan konvulsi,
kalsifikasi intrakranial dan hidrosefalus atau mikrosefalus. Kedua kelompok bayi
tersebut pada akhirnya akan mengalami korioretinitis.

Diagnosis
Tes yang paling membantu untuk menegakkan diagnosis ini adalah Sabin- fieldman dye
tes dan IgM- IFA ( IgM indirect fluorosence antibody tes).
Sabin- fieldman tes ini dilakukan pada akut infeksi frekuensi 2 bulan untuk mencapai kadar
maksimum yaitu lebih dari 300 IU/ml atau bahkan lebih dari 3000 IU/ml. Titer yang tinggi
didapatkan untuk beberapa bulan atau tahun. Titer yang rendah didapatkan sepanjang hidup.
Pedoman untuk interpretasi adalah:
a. Bila dye tes ini negatip tidak imun dan resiko pada kehamilaya.
b. Bila dye tes positip perlu dilakukan segera tes IgM- IFA dan bila Tes IgM- IFA
hasilnya negatip, pasen sudah terinfeksi sebelum masa kehamilan.
c. Jika dye tes dibawah 300 IU/ml dan IgM-IFA positip, dye tes harus diulang 3 minggu
kemudian. Jika ada peningkatan titer artinya pasen terinfeksi dua bilan sebelumnya dan
kemungkinan terjadinya infeksi kongenital.
d. Jika dye tes diatas 300 IU/ml dan IgM- IFA positip kemungkinan besar ibu menderita
toksoplasma aktif dan janin kemungkinan terinfeksi.
Infeksi kongenital didiagnosa dari :
1. Didapatkan toksoplasma dari cairan amnion dan darah janin.
2. Ditemukan IgM antibodi spesifik dan gamma glutamiltransferase dalam darah bayi setelah
22 miinggu.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kasus kegawatdarurat obstetri menjadi penyebab utama kematian ibu, janin, dan bayi
baru lahir. Penilaian awal ialah langkah pertama untuk menentukan dengan cepat kasus
obstetri yang dicurigai dalam keadaan gawatdarurat dan membutuhkan pertolongan segera
dengan mengidentifikasi penyulit (komplikasi) yang dihadapi.
Pemeriksaan klinik lengkap meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, dan pemeriksaan
obstetri termasuk pemeriksaan panggul.
Ada banyak infeksi obstetric dalam kehamilan dan persalinan yang bias menyebabkan
infeksi akut dan kematian.
DAFTAR PUSTAKA

Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka.


Fraser, Diane M. dan Margaret A. Cooper. 2009. Buku Ajar Bidan. Jakarta:EGC.
Manuaba, Ida Ayu Chandranita, dkk. 2009. Buku Ajar Patologi Obstetri untuk Mahasiswa
Kebidanan. Jakarta: EGC.
Manuaba, dkk. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai