Anda di halaman 1dari 48

OOGENESIS

Diterjemahkan dari buku Essential Reproduction, 5th Edition, Chapter 5:

Adult Ovarian Function, oleh Martin H. Johnson dan Barry J. Everitt,

2000, Blackwell Science Ltd

Terjemahan oleh:

Dr. H. Abdul Gofur, M.Si

Moch. Haikal, S.Si

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN BIOLOGI

APRIL 2009

iv
DAFTAR ISI

halaman
Daftar Isi ................................................................................................................................i
Daftar Gambar .......................................................................................................................ii
Daftar Tabel ...........................................................................................................................iii

A. Fertilitas Pada Hewan Betina Dewasa Berjalan Secara Episodik....................................1


B. Ovarium Hewan Dewasa Tersusun Atas Folikel Dan Jaringan Interstisial ......................2
C. Folikel Adalah Elemen Reproduktif Fundamental Ovarium .............................................6
D. Jumlah Folikel Yang Berovulasi Tergantung Pada Keseimbangan Antara Kadar
Gonadotropin Dan Reseptor Gonadotropin Folicular.......................................................25
E. Perkembangan Folikel Dan Siklus Ovarium ....................................................................27
F. Kelenjar Interstisial ..........................................................................................................34
G. Rangkuman: Siklus Estrus Dan Menstruasi.....................................................................35
H. Materi Kunci.....................................................................................................................38
I. Bacaan Yang Dianjurkan .................................................................................................40

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman
1. Pandangan Posterior Uterus Manusia Disertai Satu Oviduk dan Satu Ovarium ................3
2. Gambar a-d........................................................................................................................5
3. Morfologi Perkembangan Folikel (a-b) ...............................................................................8
3. Morfologi Perkembangan Folikel (c-d)................................................................................9
4. Skema yang Menggambarkan Jalur Steroidogenik Utama dalam Sel Folikel ....................12
5. Reaktivasi Profase yang Tertahan pada Pembelahan Meiotik Pertama Oosit
Preovulatori........................................................................................................................17
6. Uterus dan Ovarium Domba Tidak Hamil...........................................................................23
7. Ringkasan Aktivitas Folikel dalam Dua Rangkaian Siklus Ovarium ...................................30
8. Perbandingan Skematis Siklus Ovarium ............................................................................34
9. Gambar skematik Siklus Ovarium ......................................................................................37

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman
1. Durasi Fase-Fase Perkembangan Folikel pada Hewan Tidak Hamil .................................2
2. Perkembangan Folikel Manusia .........................................................................................13
3. Sitokin dan Perkembangan Folikel.....................................................................................13
4. Hormon Luteotrofik untuk Korpus Luteum pada Berbagai Spesies Tidak Hamil ................21
5. Siklus Ovarium pada Beberapa Spesies............................................................................28

iii
A. FERTILITAS PADA HEWAN BETINA DEWASA BERJALAN SECARA EPISODIK

Kita telah memahami bagaimana ovarium fetus terbentuk dari genital ridge yang

belum terdiferensiasi. Periode diferensiasi ovarium terjadi setelah diferensiasi testis dan

aktivitas endokrin ovarium belum terjadi untuk perkembangan fetus dan kehidupan

neonatal fenotip perempuan. Aktivitas endokrin ovarium dimulai selama maturasi seksual

penuh saat pubertas. Hal ini ditandai dengan sekresi shormon steroid utama: estrogen dan

progestagen. Sejak terjadinya pubertas ovarium juga menghasilkan oosit haploid yang

akan dibuahi spermatozoa. Sebagaimana pada testis hewan dewasa, aktivitas endokrin

ovarium tergantung pada produksi sel gamet. Tetapi terdapat perbedaan fungsi ovarium

dewasa dibandingkan dengan testis, yaitu jumlah oosit yang dilepas relatif sedikit, dan

pelepasan oosit yang tidak berjalan secara berkesinambungan (berjalan secara episodik

saat ovulasi). Pola pelepasan estrogen dan progestagen merupakan cerminan pola

pelepasan oosit secara episodik. Periode ovulasi ditandai dengan dominansi estrogen, dan

periode setelah ovulasi ditandai dengan dominansi progestagen. Pada saat siklus

estrogen-ovulasi-progestagen telah selesai, maka siklus ini akan dimulai lagi dari awal.

Oleh karena itu hal ini disebut siklus aktivitas ovarium.

Pelepasan steroid secara siklik berpengaruh terhadap siklus kehidupan di seluruh

tubuh hewan dan (pada sebagian besar spesies) terhadap tingkah laku hewan betina

dewasa. Pada sebagian besar hewan siklus ini disebut siklus estrus dan pada primata

tingkat tinggi disebut siklus menstruasi. Alasan mengapa siklus reproduksi betina terjadi

secara siklik terletak pada fakta bahwa saluran genital mamalia betina (tidak seperti pada

jantan) menjalankan dua fungsi reproduktif yang berbeda. Pada satu sisi berperan

membawa gamet menuju tempat fertilisasi, dan di sisi lain menyediakan tempat untuk

implantasi konseptus dan proses perkembangan selanjutnya. Tiap siklus reproduksi betina

1
menunjukkan kedua peranan tersebut. Pada peran yang pertama (bagian estrogenik dari

siklus) ovarium mempersiapkan hewan betina untuk menerima spermatozoa dan fertilisasi

oosit. Pada peran kedua (bagian progestagenik dari siklus) ovarium mempersiapkan

hewan betina untuk menerima dan memelihara konseptus apabila proses fertilisasi telah

berhasil. Oosit dilepaskan pada saat ovulasi, di antara kedua aktivitas endokrin ovarium

tersebut. Dalam buku ini akan dibahas rangkaian perubahan dalam ovarium dimana terjadi

koordinasi dan pola siklik produksi oosit dan hormon steroid.

B. OVARIUM HEWAN DEWASA TERSUSUN ATAS FOLIKEL DAN JARINGAN

INTERSTISIAL

Ovarium dan testis hewan dewasa tersusun dalam pola yang mirip (Gambar 1.B).

kedua organ tersebut memiliki jaringan interstisial yang tersusun atas jaringan glandular

(kelenjar interstisial) yang merupakan homologi sel Leydig dan terletak di stroma. Jaringan

interstisial menyelubungi folikel yang merupakan homologi tubulus. Berbeda dengan testis

dimana materi yang terdapat dalam tubulus menunjukkan perubahan siklik pembentukan

spermatozoa (siklus epitel seminiferus), pada ovarium seluruh folikel ikut berubah bila oosit

telah dewasa. Pada bagian awal buku ini akan kita ikuti proses pematangan dalam satu

folikel dari detail tertentu. Selanjutnya kita akan membuat hubungan antara aktivitas dalam

satu folikel terhadap aktivitas ovarium sebagai kesatuan untuk menggambarkan siklus

ovarium itu sendiri.

Tabel 1. Durasi Fase-Fase Perkembangan Folikel pada Hewan Tidak Hamil


Spesies Fase Preantral Fase Antral Fase Preovulatori Fase Luteal
(hari) (hari) (jam) (hari)
Tikus 14-30 4 11 2
Manusia 85* 8-12 37 12-15
Domba NK 4-5 22 14-15
Sapi NK c.10 40 18-19
Babi NK c.10 41 15-17
Kuda NK c.10 40 15-16
* Juga meliputi perkembangan antral paling awal (lihat Tabel 2) NK, not known

2
Gambar 1. Pandangan Posterior Uterus Manusia Disertai Satu Oviduk dan Satu Ovarium. (a)
utuh; (b) setelah dibedah. Ovarium telah ditarik ke atas dan ke samping, dan secara
normal memiliki sumbu yang nyaris vertikal. Perhatikan bahwa semua struktur
dilapisi peritoneum kecuali permukaan ovarium dan ostium oviduk. Ovarium memiliki
matriks stroma, serabut otot polos dan jaringan ikat yang mangandung folikel,
corpora lutea dan corpora albicans, serta kelenjar interstisial. Nampak dari sisi
anterior pada hilus pembuluh ovarium dan saraf yang memasuki stroma medula
melalui mesovarium

3
Pola produksi gamet pada hewan betina (sebagaimana pada hewan jantan)

menunjukkan proses proliferasi melalui mitosis, penyusunan ulang dan reduksi materi

genetik melalui meiosis, dan sitodiferensiasi dalam maturasi oosit. Proliferasi melalui

mitosis pada hewan betina tidak berpengaruh besar karena hanya satu atau beberapa

oosit yang dihasilkan dalam tiap siklus, tidak seperti output sperma dari testis dalam

jumlah yang masiv. Hewan betina mengalami fase proliferatif pada tahap fetal dan atau

neonatal. Saat sel benih primordial atau oogonia (ekivalen dengan spermatogonia pada

fase proliferatif hewan jantan) mulai tidak aktif membelah dan memasuki tahap meiosis.

Pada tahap meiosis ini sel benih primordial mengalami jeda istirahat dalam tahapan

vesikel germinal (sel tersebut berada pada tahap profase meiosis pertama), selanjutnya

sel tersebut akan menjadi oosit primer (ekivalen dengan spermatosit primer). Peristiwa ini

terjadi dalam folikel primordial. Folikel ini terdiri atas sel mesenkim pipih (sel granulosa)

yang tersusun rapat di sekitar sel benih primordial dan juga pada oosit primer (Gambar 2.a

dan 3.a). Folikel primordial berperan sebagai unit fungsional ovarium.

4
Gambar 2. (a) Folikel primordial (P) di bagian korteks stroma ovarium, terletak berdekatan
dengan epitel coelom (C), folikel ini tumbuh menjadi folikel preantral (PA)
yang mengandung oosit besar (O) yang memiliki nukleus atau vesikel
germinal (GV) yang dikelilingi zona pelusida (berwarna biru, Z) dan sel
granulosa yang berproliferasi (G). Sel granulosa ini pada satu folikel hnaya
terdapat satu lapis sedang pada folikel lain dapat berupa lapisan tebal. Di
luar sel granulosa terdapat membran basal (BM) dimana terbentuk sel theca
(T).
(b) Pertumbuhan folikel lebih jauh menghasilkan folikel antral dimana sel
granulosa (G) terus berproliferasi dan oosit yang matang (O) dikelilingi zona
(Z) dan sel kumulus (C), oosit juga terletak dalam antrum yang mengandung
cairan folikel (FF). Jaringan theca (T) berdifeensiasi dan dipisahkan dari sel
granulosa oleh membran basal (B) yang tidak dilalui pembuluh darah
sehingga sel kumulus menjadi avaskular.
(c) Setelah pertumbuhan folikel preovulatori dan proses ovulasi, sel granulosa
yang tersisa membesar dan mengisi antrum yang kosong dan melakukan
luteinisasi dalam kapsula theca berserabut (B) untuk menghasilkan korpus
luteum (CL).
(d) Penampakan sel luteal. Perhatikan ukuran sel luteal yang besar dan
vaskularisasi daerah granulosa yang sebelumnya avaskular. Daerah
granulosa mengalami luteinisasi.
Gambar a, b, d dalam perbesaran yang sama; gambar c dalam perbesaran 25%
dari yang lain.

5
C. FOLIKEL ADALAH ELEMEN REPRODUKTIF FUNDAMENTAL OVARIUM

Folikel primordial manusia perempuan beserta oositnya dapat bertahan dalam

fase jeda istirahat hingga 50 tahun. Metabolisme oosit tersebut akan tertahan dan

menunggu tanda untuk melanjutkan proses perkembangan. Alasan mengapa

mempertahankan oosit dalam profase meiosis semacam ini belum diketahui. Meskipun

beberapa folikel dapat melanjutkan proses perkembangan secara sporadis dan tidak

tuntas dalam tahap fetal dan neonatal, akan tetapi pemanfaatan folikel primordial secara

reguler ke dalam folikel tumbuh dimulai saat pubertas. Oleh karena itu beberapa folikel

mulai kembali tumbuh setiap hari. Hal ini yang menyebabkan tonjolan folikel yang

berkembang senantiasa muncul. Folikel primordial yang tumbuh melalui tiga tahap

perkembangan dalam perjalanan proses ovulasi, yaitu pada awalnya menjadi folikel primer

atau preantral, kedua adalah folikel sekunuder atau antral, dan ketiga adalah folikel

preovulatori yang menunggu dimulainya proses ovulasi.

Waktu yang dibutuhkan untuk menjalani setiap tahap tersebut bervariasi (Tabel 1).

Fase preantral adalah fase terpanjang dan fase preovulatori adalah fase terpendek.

Selanjutnya kita akan merunut proses perkembangan salah satu folikel primordial.

1. Folikel Tumbuh dan Matang

Transisi dari Folikel Primordial Menuju Folikel Preantral

Fase preantral adalah fase pertama pertumbuhan folikel yang ditandai dengan

penambahan panjang diameter folikel primordial dari 20 µm menjadi sekitar 200-400 µm

(pada spesies berbeda dapat terjadi perbedaan, Gambar 3.a,b). Bagian utama folikel

tumbuh ini adalah oosit primer yang mengalami pertambahan diameter hingga akhirnya

mencapai 60-120 µm. Pertumbuhan oosit ini tidak disertai reaktivasi meiosis. Akan tetapi

6
untaian kromosom tetap aktif mensintesis sejumlah besar RNA ribosom dan mRNA. RNA

tersebut kelak akan menghasilkan protein yang esensial untuk maturasi oosit dan untuk

periode awal perkembangan oosit yang dibuahi. Periode ini merupakan cerminan bagian

dari fase sitodiferensiatif. Fase ini terjadi bersamaan saat terjadi jeda istirahat meiosis, hal

sebaliknya terjadi pada hewan jantan dimana fase ini terjadi setelah tuntasnya meiosis.

Pada tahap awal pertumbuhan oosit, oosit mensekresi glikoprotein yang

berkondensasi di sekeliling oosit sehingga terbentuk lapisan aselular tembus cahaya yang

disebut zona pelusida. Zona ini memisahkan oosit dengan sel granulosa yang mengelilingi

oosit dan membelah hingga terbentuk banyak lapis (Gambar 3.b). Kontak antara sel

granulosa dan oosit tetap terjalin melalui juluran sitoplasmik yang menembus zona dan

membentuk gap junction pada permukaan oosit. Gap junction juga mengalami

pertambahan jumlah hingga di antara sel granulosa yang berdekatan sehingga terbentuk

basis jaringan luas untuk komunikasi antar sel. Melalui jaringan ini substrat biosintetik

dengan berat molekular yang kecil (seperti asam amino dan nukleotida) dapat melintasi

oosit tumbuh untuk diolah menjadi makromolekul. Jaringan nutrisional ini menjadi penting

karena lapisan granulosa bersifat avaskular, di sisi lain tidak ada pembuluh darah yang

mencapai membrana propria.

Dalam hal proliferasi sel granulosa dan pertumbuhan oosit, folikel preantral juga

mengalami pertambahan ukuran karena kondensasi sel stroma ovarium di luar membrana

propria. Matrix longgar sel berbentuk spindel disebut sebagai bagian theca folikel (Gambar

3.b). Sejalan dengan proses perkembangan dan proliferasi, maka sel theca semakin dapat

diamati nampak dalam dua lapisan (Gambar 3.c). Lapisan pertama yang bersifat glandular

dan vaskular adalah theca interna yang dikelilingi kapsul yang berserat theca eksterna.

7
Gambar 3. Morfologi Perkembangan Folikel. (a) Folikel primordial yang menempel pada sel
stroma. Perhatikan bahwa pada membrana propria, di dalamnya terdapat sel
granulosa aquamosa yang melingkupi oosit primer pada tahap dictyate yang disertai
vesikel germinal (ekivalen dengan nukleus). (b) Folikel preantral: sel stroma
berkondensasi di membrana propria dan menghasilkan lapisan theca; sel granulosa
membelah dan menjadi kuboid; oosit tumbuh dan mensekresi zona pelusida. kontak
antara sel granulosa dan oosit primer didukung oleh juluran sitoplasmik di bagian
zona. mitokondria di dalam oosit meningkat jumlahnya, bentuknya lebih kecil dan
bulat disertai columnar cristae; retikulum endoplasmik halus terurai menjadi
sejumlah vesikel kecil; kompleks Golgi terurai menjadi unit vesikel yang biasanya
berhubungan dengan lipid droplet. kromosom menghasilkan RNA. Bersambung

8
Gambar 3. (c) Folikel antral awal dimana sel granulosa dan sel theca berproliferasi. Sel theca
sekarang terdiri atas dua lapis, lapisan theca eksterna berserabut dan lapisan theca
interna, lapis ini kaya akan pembuluh darah, selnya lembut dan dipenuhi dengan
retikulum endoplasma halus. Dalam lapisan granulosa yang avaskular terdapat
kumpulan cairan. (d) Folikel antral yang berkembang disertai antrum yang melimpah
menyebabkan oosit dilapisi sel granulosa yang lebih rapat yang disebut cumulus
oophorus. oosit tersebut tidak menunjukan pertambahan ukuran.

9
Transisi dari Folikel Preantral Menuju Folikel Antral

Sel granulosa terus mengalami proliferasi sehingga menghasilkan ukuran folikel

yang lebih besar. Pada saat tersebut terbentuk cairan kental di antara sel-sel tersebut

(Gambar 2.b,c). Cairan folikular ini sebagian berasal dari sekresi sel granulosa dan

termasuk mukopolisakarida, serta sebagian dari transudate serum. Setiap tetes cairan

yang terbentuk bercampur untuk membentuk antrum folikular (Gambar 3.d). Antrum folikel

ini menandai awal proses perkembangan pada fase antral. Mulai pada tahap ini hingga

selanjutnya, penambahan ukuran folikel tergantung pada penambahan ukuran antrum dan

volume cairan folikel meskipun sel granulosa tetap berproliferasi.

Meskipun oosit tidak mengalami pertambahan ukuran pada fase antral,

sesungguhnya sel tersebut bukannya inaktif. Sintesis RNA dan metabolisme protein tetap

berlanjut. Selama pertumbuhan antrum folikel, oosit dikelilingi sel granulosa yang tersusun

rapat yang disebut cumulus oophorus dan terbenam dalam cairan. Susunan ini terhubung

dengan bagian tepi sel granulosa periferal melalui sel-sel bagian “batang” (Gambar 3.d).

Folikel antral matang sekarang siap untuk memasuki fase preovulatori dan

menjelang terjadinya ovulasi. Akan tetapi sebelum proses ini dibahas, mekanisme yang

mengontrol pertumbuhan folikel dari folikel primordial menjadi folikel antral perlu dikaji.

Pengaturan Pertumbuhan Folikel pada Tahap Lanjut Diatur oleh Gonadotropin

Saat ini belum terungkap bagaimana setiap hari hanya sedikit folikel primordial

yang mulai berkembang menjadi folikel preantral atau bagaimana menentukan folikel

mana yang akan tumbuh. Yang telah terungkap adalah inisiasi dan tahap awal

perkembangan folikel preantral berlangsung tanpa pengaruh extraovarian secara

langsung. Meskipun di sisi lain kinerja parakrin sitokin seperti epidermal growth factor

10
(EGF) dalam ovarium dapat berpengaruh. Bila tiba saatnya perkembangan folikel pada

tahap lanjut membutuhkan dukungan eksternal (sebagaimana yang terjadi pada

spermatogenesis hewan jantan), maka dukungan eksternal ini akan diberikan oleh kelenjar

pituitari.

Pengambilan pituitari (hipofisektomi) berpengaruh menghambat penyelesaian

perkembangan folikel antral. Pada periode mana terjadi penghentian perkembangan folikel

yang diakibatkan pengambilan pituitari akan berbeda pada berbagai spesies. Pada tikus

hal ini terjadi pada periode akhir preantral hingga awal periode antral. Pada manusia hal ini

terjadi pada saat berjalannya periode antral, dimana folikel telah mencapai diameter 2 mm.

Pada folikel yang tertahan perkembangannya nampak sel granulosa mengurangi aktivitas

sintesis protein, akumulasi droplet lipida, dan akumulasi nukleus pyknotic. Selanjutnya

akan terjadi kematian apoptotik pada oosit dan sel granulosa. Leukosit dan makrofag akan

menginvasi dan membentuk guratan jaringan fibrosa. Proses ini disebut atresia.

Atresia dapat dicegah hanya dengan adanya luteinizing hormone (LH) dan follicle

stimulating hormone (FSH) dari pituitari. Kedua hormon tersebut berikatan pada reseptor

FSH dan LH pada sel folikel. Reseptor ini terdapat pada sel pada periode folikel preantral

akhir dan awal periode folikel antral. Folikel antral periode awal pada hewan yang

mengalami hipofisektomi masih dapat diselamatkan dari atresia hanya dengan

memberikan gonadotropin. Gonadotropin berpengaruh menstimulasi pertumbuhan folikel

antral lebih lama. Apa yang telah dilakukan gonadotropin dan di mana efek gonadotropin

terjadi dalam folikel?

Bila reseptor folikel antral awal telah dianalisis nampak bahwa hanya sel theca

interna yang mengikat LH sementara hanya sel granulosa yang mengikat FSH. Lebih jauh

11
terungkap bahwa efek pengikatan hormon pada tiap titik menghasilkan konsekuensi

beragam.

Folikel antral menghasilkan dan melepas sejumlah steroid bila folikel tersebut

tumbuh di bawah pengaruh gonadotropin. Estrogen utama yang dihasilkan adalah

estradiol 17β dan estrone. Folikel antral terhitung menyumbangkan 30-70% androgen yang

bersirkulasi (terutama androstenedion dan testosteron) pada perempuan dewasa,

persentase sisanya berasal dari kelenjar adrenal. Berbagai steroid seks ini dihasilkan pada

berbagai tempat di folikel. Foliel antral dapat dipisahkan dengan dibedah sehingga sel

granulosa terpisah dari sel theca interna. Sel theca yang secara terpisah tersebut bila

ditumbuhkan secara in vitro nampak mensintesis androgen dari asetat dan kolesterol.

Konversi ini distimulasi oleh LH (Gambar 4). Hanya sedikit estrogen yang mungkin dapat

disintesis sel tersebut, terutama pada tahap awal pertumbuhan folikel antral. Sebaliknya

pada sel granulosa tidak mampu menghasilkan androgen. Bila sel granulosa diberi suplai

androgen dari exogenous, sel granulosa menghasilkan enzim yang mengaromatisasi

menjadi estrogen. Proses aromatisasi ini dipicu oleh FSH (Gambar 4).

12
Gambar 4. Skema yang Menggambarkan Jalur Steroidogenik Utama dalam Sel Folikel. Kapasitas
estrogenik sintetik pada korpora lutea sel theca hanya terjadi pada spesies dimana
sel theca berubah menjadi korpus luteum. Bila terdapat jalur alternatif, maka jalur
minor ditunjukkan pada garis putus-putus.

13
Tabel 2. Perkembangan Folikel Manusia
Morfologi Hari Siklus Diameter (mm)* Reseptor FSH/LH Estrogen (pmol/L)
Menstruasi pada Pembuluh
Darah Perifer
Preantral Sepanjang siklus < 0,5 - NA
Antral paling awal Sepanjang siklus Lebih dari 2 - NA
Antral awal 1-6 2-7 + < 20
Antral 6-10 7-10 + 100-200
berkembang†
Antral yang telah 10-12 10-20 + 200-400
berkembang
Preovulatori 13-14 20-25 + 800 dan > §
Keterangan:
• Kemajuan terkini dari teknologi ultrasound mampu memonitor tahapan final pertumbuhan folikel
pada subjek penelitian secara sadar, dan selanjutnya mampu memastikan seberapa jauh waku
yang diperlukan untuk ovulasi. Perhatikan Gambar 9.
• NA, not applicable
• †, pada perempuan normal folikel tunggal dominan nampak pada tahap ini dan akan tumbuh
kemudian.
• §, kadar estrogen 103 hingga 104 lebih tinggi dalam cairan folikel.

Tabel 3. Sitokin dan Perkembangan Folikel


Sitokin Sumber Pengaruh
IGF-1 dan IGF-2: Sel granulosa mitotik pada tahap Memacu mitosis yang diinduksi
Insulin-like growth factors 1 (pada antral (pada tikus, babi, dan FSH dan diferensiasi sel
babi dan tikus) dan 2 (pada manusia) atau sel theca (mungkin granulosa dan output estrogen,
manusia, sapi, dan domba) dari sel interstisial primata) dan sintesis androgen yang
FSH/LH memodulasi aktivitasnya diinduksi LH pada sel theca

IGFBP: Sel granulosa (pada domba dan Mengikat dan melemahkan IGF.
Insulin-like growth factor-bindaing babi); sel theca (sapi) Selain itu juga mengikat integrin
protein pada permukaan sel granulosa
atau sel theca dan matrix
ekstraselular via titik pengikatan
heparin. IGF dilepas melalui
pengaruh IGFBP protease yang
dihasilkan dari sel granulosa

TGF-β: Sel theca Menghambat proliferasi sel


Transforming growth factor β granulosa dan sel theca dan
menstimulasi diferensiasi yang
diinduksi FSH pada sel granulosa,
serta produksi inhibin dan
estrogen oleh sel granulosa

Activin Sel granulosa pada tahap antral Menekan kenaikan kadar


awal (distimulasi oleh FSH dan androgen (LH-induced) pada
androgen) dan sel luteal jaringan theca
(distimulasi LH)

Inhibin Sel granulosa pada tahap antral Mempertahankan kenaikan kadar


akhir dan korpus luteum androgen (LH-induced) pada
jaringan theca, stimulasi sel
granulosa oleh naiknya kadar
FSH dan progesteron pada
korpus luteum.

14
Androgen yang diproduksi dari folikel yang berkembang diturunkan secara

khusus dari sel theca, mengingat estrogen dapat dihasilkan dari dua jalur. Jalur pertama

terlibat dalam kooperasi sel saat terjadi aromatisasi androgen sel theca diaromatisasi oleh

sel granulosa. Jalur kedua adalah melalui sintesis de novo dari asetat sel theca. Tingkat

keseimbangan antara kedua sumber estrogen potensial tersebut berbeda pada berbagai

spesies. Akan tetapi nampaknya semua estrogen dalam cairan folikel dan sebagian besar

estrogen yang dilepas dari folikel ke dalam aliran darah berasal dari proses kooperasi.

Kedua jalur produksi steroid tersebut dan peningkatan ukuran folikel antral adalah

kedua hal yang saling berhubungan. Saat ini telah jelas bahwa steroid (memandang

bahwa pelepasannya secara sistemik melalui pembuluh darah) memiliki peran lokal

intrafolikular. Estrogen, progestagen, dan androgen dapat dideteksi pada cairan folikel.

Androgen (selain berperan sebagai substrat untuk konversi estrogen) juga berperan

menstimulasi aktivitas aromatase. Estrogen dapat berikatan pada reseptor sel granulosa

yang distimulasi untuk berproliferasi dan mensintesis lebih banyak reseptor estrogen.

Mengingat sel granulosa adalah titik utama konversi androgen menjadi estrogen, sistem

umpan balik positif beroperasi di saat estrogen menstimulasi output estrogen lebih lanjut.

Proses ini mencapai puncaknya menjelang akhir dari ekspansi folikel antral dimana

estrogen yang bersirkulasi melimpah dari folikel tahap akhir. Pengamatan secara harian

kadar estrogen pada sistem urinari merupakan petunjuk yang tepat untuk mengukur

tingkat kematangan folikel yang paling dewasa (Tabel 2).

Steroid bukan sekedar agen aktivitas parakrin dalam folikel, produksi dan aktivitas

sejumlah sitokin juga distimulasi oleh gonadotropin. Aktivitas ini mengatur kerja steroid dan

gonadotropin, sebagian di antara steroid dan gonadotropin ini terdaftar pada Tabel 3

beserta kinerja senyawa tersebut. Dalam kondisi tertentu aktivin menekan output androgen

15
melalui sel theca tetapi menstimulasi sel granulosa untuk mengembangkan kemampuan

aromatisasi. Di sisi lain inhibin menstimulasi output androgen dan mengendalikan aktivitas

aromatisasi. Aktivin terdapat pada awal fase antral dan inhibin terdapat pada fase akhir

antral. Sitokin tersebut dapat bekerja mengatur keseimbangan antara output androgen dan

konversi sehingga dapat menghindari kelebihan produksi androgen secara prematur.

Estrogen bersama dengan FSH mempunyai peran penting dalam folikel antral

yang sedang berkembang. Kedua hormon tersebut menstimulasi munculnya titik

pengikatan LH di lapisan luar sel granulosa yang belum memiliki titik pengikatan LH. Titik

ini sangat berperan penting bagi folikel antral yang akan memasuki fase preovulatori.

2. Ovulasi

Folikel yang berada pada fase tanpa hormon akan menjadi atretik bila tidak

terekspos FSH dan LH pada kadar yang cukup. Folikel yang berkembang juga akan mati

bila tidak terdapat kadar LH yang cukup tinggi dan bertepatan dengan adanya reseptor LH

pada permukaan luar sel granulosa. Bila kehadiran LH terjadi saat sel granulosa dan sel

theca dapat berikatan dengan LH, maka fase preovulatori dapat segera dimasuki. Bila

sebaliknya terjadi folikel yang sedang berkembang akan mati.

Pengaruh LH terhadap folikel tahap lanjut ada dua. Pertama, LH menyebabkan

perubahan pertumbuhan terminal pada sel folikel dan oosit yang menyebabkan

terlepasnya oosit dari folikel saat ovulasi. Kedua, saat ovulasi LH mengubah seluruh

proses endokrinologi folikel yang menyebabkan munculnya korpus luteum.

16
Pertumbuhan Folikel Preovulatori yang Cepat dan Dipengaruhi LH

Dalam rentang waktu 3-12 jam (dan tergantung pada spesies) saat awal kehadiran

LH terjadi perubahan dramatis pada oosit. Membran nukleus yang melingkupi kromosom

terurai dan proses meiosis dihentikan pada profase. Perkembangan pada kromosom

hanya terjadi pada hasil pembelahan meiosis pertama yang tersisa yang puncaknya

adalah pembelahan sel yang tidak lazim dimana separuh dari kromosom beserta hampir

seluruh sitoplasma bergerak menuju ke dalam oosit sekunder (Gambar 5). Sementara

kromosom yang tersisa terbuang ke dalam sekantung kecil sitoplasma yang disebut polar

body pertama yang selanjutnya akan mati. Oosit hasil pembelahan sitoplasma yang tidak

sebanding ini tetap mempertahankan material yang disintesis selama fase-fase

sebelumnya.

Kromosom dalam oosit sekunder segera memasuki pembelahan meiosis kedua

dan bergerak menuju gelendong metafase kedua. Kemudian segera meiosis ditahan

kembali dan oosit yang diovulasikan mash berada pada fase ini. Hingga saat ini belum

jelas peran biologis tertahannya meiosis kedua, akan tetapi hal ini mungkin disebabkan

adanya kompleks protein yang disebut faktor sitostatik. Salah satu komponen kompleks

protein tersebut adalah protein spesifik yang disebut c-mos. Saat ini telah banyak

penelitian yang mengkaji cara kerja c-mos dalam menyebabkan jeda istirahat meiosis.

Terminasi tahapan dictyate dan berjalannya maturasi meiosis sepanjang jeda

istirahat dan ovulasi disertai maturasi sitoplasmik oosit (Gambar 5). Kontak yang erat

antara oosit dan sel granulosa kumulus terpecah karena ditariknya juluran sitoplasmik.

Apparatus Golgi oosit mensintesis granula yang bersifat seperti lisosom yang bermigrasi

menuju permukaan oosit untuk mengambil posisi di bagian subkorteks (granula korteks).

Aktivitas sintesis protein tetap berlanjut seperti biasa tetapi juga mensintesis protein yang

17
berbeda dan khusus. Aktivitas ini akan mempersiapkan oosit untuk fertilisasi. Bila sebuah

oosit terlepas dari folikelnya secara prematur atau diambil dengan cara dibedah saat

sedang menyelesaikan proses maturasinya, maka oosit ini sulit untuk dibuahi.

Berdasarkan hal tersebut, oosit manusia yang diambil dari folikel preovulatori untuk

program fertilisasi in vitro dapat dikultur beberapa jam sebelum pemberian spematozoa.

Prosedur ini memberi kesempatan bagi oosit untuk menyelesaikan maturasinya.

18
Gambar 5. Reaktivasi Profase yang Tertahan pada Pembelahan Meiotik Pertama Oosit
Preovulatorii. Beberapa jam setelah stimulasi LH pada folikel (gambar a hingga b),
vesikel germinal terurai dan kromosom menuntaskan profase dan mengatur
posisinya pada gelendong meiotik pertama. Sementara kontak sitoplasmik antara
oosit oosit dengan sel granulosa dan granula korteks terjadi melalui apparatus Golgi
yang bermigrasi menuju permukaan sel. Selanjutnya pembelahan meiotik pertama
dituntaskan dengan dihasilkannya polar body pertama (gambar b hingga c). Segera
kromosom memasuki pembelahan meiosis kedua tetapi tertahan pada metafase
kedua. Sitoplasma di sekitar gelendong dipenuhi granula korteks dan pada beberap
spesies membran oosit ini tidak memiliki microvilli (gambar c hingga d). Oosit
diovulasikan pada tahapan jeda ini (kecuali pada anjing dan rubah yang oositnya
diovulasikan pada metafase pertama dan polar body dihasilkan setelah ovulasi.

19
Maturasi meiosis dan sitoplasmik oosit distimulasi adanya LH, meskipun di sisi lain

LH tidak dapat dan tidak akan berikatan dengan oosit. Oleh karena itu pengaruh LH

dimediasi melalui sel folikel yang merupakan tempat untuk supresi kadar cAMP.

Selain beraksi pada sel folikel untuk menghasilkan sinyal bagi oosit, LH juga

berpengaruh pada pertumbuhan dan aktivitas endokrinologi sel folikel. Peningkatan ukuran

folikel hingga mencapai final (mencapai 25 mm atau lebih pada manusia, Tabel 2)

sebagian besar disebabkan ekspansi volume cairan folikel yang cepat. Ekspansi ini

disertai melonggarnya matriks antar sel antara lapisan-lapisan korteks sel granulosa dan

peningkatan aliran darah total menuju folikel.

Pertumbuhan Folikel Preovulatori Berkaitan Dengan Naiknya Kadar Estrogen

Sementara dan Naiknya Kadar Progestagen.

Pertumbuhan ukuran folikel preovulatori seirama dengan perubahan pola sekresi

steroid. Dalam rentang waktu 2 jam atau lebih pada awal adanya LH, nampak terjadi

kenaikan sementara output estrogen folikel dan androgen, yang selanjutnya diikuti

penurunan. Kenaikan ini bertepatan dengan terjadinya perubahan pada lapisan theca yang

nampak terstimulasi dan dibanjiri darah. Sel di bagian luar lapisan granulosa juga nampak

mengalami perubahan perilaku dalam beberapa jam setelah kadar LH mencapai puncak.

Pertama, sel tersebut tidak akan mengkonversi androgen dan estrogen, tetapi mensintesis

progesteron. Kedua, LH menstimulasi sintesis progesteron melalui reseptor LH yang baru

muncul. Ketiga, kemampuan sel tersebut untuk berikatan dengan estrogen dan FSH

menghilang atau berkurang. Peningkatan kemampuan untuk merespon LH dilakukan

dengan sintesis progesteron. Dalam hal ini dihasilkan progesteron dari sel folikel yang

20
berperan penting dalam ovulasi manusia untuk beberapa jam. Walaupun pada sebagian

besar spesies hal serupa hanya pada saat sebelum atau segera setelah ovulasi.

Periode preovulatori ini adalah fase terpendek dalam pertumbuhan folikel (lihat

Tabel 1) sekaligus merupakan yang paling dramatis. Fase ini adalah puncak menuju

ovulasi.

Aktivitas Protease dalam Ovulasi

Pada akhir fase preovulatori dalam pertumbuhan folikel, ekspansi cairan folikel

yang cepat menyebabkan sel granulosa, membran basal, dan sel theca nampak seperti

lingkaran periferal tipis. Oosit beserta sel kumulus melekat pada lingkaran tersebut melalui

batang tipis dan rapuh yang tersusun dari sel granulosa. Folikel yang makin membesar

dan letaknya di bagian korteks menyebabkan folikel ini nampak menonjol di permukaan

ovarium. Pada titik ujung tonjolan folikel (yang disebut stigma) nampak dinding folikel

semakin tipis dan avaskular, jaringan ikat terurai, dan folikel pun terlepas. Cairan folikel

yang terlepas juga membawa oosit dan sel kumulus yang menyertai oosit. Proses

biokimiawi pada ovulasi melibatkan enzim proteolitik. Saat di bawah pengaruh LH aktivitas

kolagenase meningkat dan kadar mRNA akan naik, terutama pada stigma, seperti pada

aktivator plasminogen (protease yang menguraikan prokolagenase untuk menghasilkan

kolagenase aktif), sementara di sisi lain kadar inhibitor berada pada titik terendah. Inhibisi

secara eksperimental pada kolagenase terbukti menghambat ovulasi. Protease lain, yaitu

gelatinase juga terlibat dalam proses ini.

Sebagian besar spesies termsk manusia memiliki ovarium yang permukaannya

terekspos secara langsung pada rongga perioneal. Tetapi pada hewan tertentu (seperti

domba, kuda, dan tikus) memiliki kapsula peritoneal atau bursa yang melingkupi ovarium

21
dengan beragam cara dan berperan untuk menangkap massa kumulus oosit dekat dengan

ovarium. Massa kumulus oosit tersebut ditampung oleh silia di bagian fimbria oviduk,

selanjutnya massa kumulus oosit tersebut disapu menuju ostium ovidukal (Gambar 1).

Bagian residu folikel dalam ovarium menjadi kolaps menjadi ruang kosong yang tertinggal

cairan, oosit, dan kumulus. Dalam rongga kosong tersebut terbentuk gumpalan. Folikel

post ovulatori tersusun atas inti fibrin yang diselubungi beberapa lapisan sel granulosa dan

dikemas dalam kapsula theca luar fibrosa (fibrous outer thecal capsule).

3. Korpus Luteum Sebagai ‘Folikel’ Post Ovulatori

Korpus Luteum Menghasilkan Progestagen

Folikel yang kolaps segera bertransformasi menjadi korpus luteum (Gambar 2.c).

Inti fibrin di dalam antrum folikel melakukan fibrosis dalam waktu beberapa hari. Membrana

propria di antara lapisan granulosa dan theca terurai dan diisi dengan pembuluh darah. Sel

granulosa dan sel theca interna berkontribusi bagi korpus luteum, meskipun banyak sel

theca juga memisahkan diri menuju jaringan stroma. Sel granulosa mulai berhenti

membelah dan mengalami hipertrofi untuk membentuk sel lutein besar. Sel ini memiliki

banyak mitokondria, retikulum endoplasmik halus, droplet lipida, badan Golgi. Selain itu

pada sebagian besar spesies umumnya terdapat pigmen karotenoid dan lutein yang

memberikan kesan kekuningan atau jingga pada corpora lutea. Transformasi ini disebut

luteinisasi dan berkaitan dengan peningkatan sekresi progestagen. Sel theca membentuk

sel lutein kecil yang memproduksi progesteron dan androgen, serta nampaknya banyak

memiliki reseptor LH. Pada beberapa spesies bila sel lutein kecil distimulasi LH, sel

tersebut berperan sebagai populasi stem cell bagi sel lutein besar yang aktif secara

endokrinologis.

22
Sebagian besar spesies progestagen utama yang disekresi dari sel lutein besar

adalah progesteron, tetapi sekresi 17α-hidroksiprogesteron pada primata dan 20α-

hidroksiprogesteron pada tikus dan hamster dalam jumlah yang signifikan juga terjadi.

Pada beberapa spesies, terutama mulai bangsa kera dan manusia hingga babi memiliki

korpus luteum yang mensekresi estrogen, terutama estradiol 17β. Senyawa ini nampaknya

berasal dari sel luteal besar yang menggunakan substrat androgen yang berasal dari sel

luteal kecil. Sebagian besar spesies seperti kera, domba, sapi, kelinci, tikus, dan kuda,

korpus luteum hanya mensekresi sedikit estrogen.

Korpus luteum juga mensekresi dua hormon lain. Pertama adalah Inhibin yang

disekresi dalam jumlah besar pada primata tingkat tinggi. Senyawa ini bekerja memicu

produksi progesteron. Hormon kedua adalah oksitosin (Gambar 7) yang berasal dari sel

luteal besar yang pengaruhnya telah terbukti nyata.

Pengaruh Endokrinologis Korpus Luteum Bervariasi Pada Berbagai Spesies

Pengaruh endokrinologis korpus luteum sebagaimana tercermin pada susunan sel

dan pola sekresinya, menunjukkan banyak ragam pada spesies yang berbeda. Konversi

folikel menjadi korpus luteum membutuhkan kadar LH yang tinggi untuk memicu ovulasi.

Gonadotropin ini juga dibutuhkan dalam kadar yang rendah untuk mempertahankan

korpus luteum. Pada beberapa spesies prolaktin juga merupakan komponen penting

untuk kompleks luteotrofik. Pada spesies yang memiliki prolaktin yang bersifat luteotrofik

(Tabel 4), reseptor prolaktin dapat dideteksi pada sel granulosa sejak fase preovulatori

hingga seterusnya.

23
Tabel 4. Hormon Luteotrofik untuk Korpus Luteum pada Berbagai Spesies Tidak Hamil
Spesies LH* Prolaktin Estrogen FSH†
Manusia ++ +? Luteolitik? -
Sapi ++ +? Luteolitik? -
Domba ++ + - -
Babi + +? + -
Kelinci + ? +++ +
Tikus/mencit + +++ - -
Anjing + + ? ?
Hamster + + ? +
* LH bersifat esensial untuk menstimulasi dimulainya luteinisasi pada semua spesies. Pada tabel ini peran
LH dapat diukur. Terkadang LH bersifat luteotrofik, tetapi pada spesies yang folikelnya tumbuh sepanjang
fase luteal, LH juga dapat memacu sintesis estrogen lokal. † FSH hanya dapat bersifat luteotrofik secara
langsung bila menstimulasi estrogen

Luteolisis: Kematian Korpus Luteum Dapat Bersifat Aktif dan Pasif serta Tergantung

Pada Spesies

Usia korpus luteum pada betina yang tidak hamil bervariasi pada berbagai

spesies, mulai 2 hingga 14 hari (Tabel 1). Regresi luteal atau luteolisis nampak berupa sel

lutein yang kolaps, ischaemia, dan kematian sel yang progresif disertai jatuhnya kadar

progestagen. Jaringan luka berwarna putih yang tersisa yang disebut corpus albicans,

diabsorbsi ke dalam jaringan stroma ovarium dalam rentang waktu beberapa minggu

hingga beberapa bulan, tergantung pada spesies mana. Luteolisis dapat disebabkan turun

atau kurangnya kadar kompleks luteotrofik. Akan tetapi hal ini bukan disebabkan

melemahnya ukungan luteotrifik saja, akan tetapi juga karena munculnya faktor luteolitik

yang memicu regresi luteal.

Dalam beberapa penelitian pada mamalia (kecuali pada primata) nampak bahwa

usia jaringan luteal dapat diperpanjang dengan histerektomi (pengambilan uterus).

Sebaliknya bila jaringan endometrium dari uterus yang diambil dihomogenisasi dan

diinjeksikan, luteolisis akan terjadi kembali (Gambar 6.e). Perpanjangan usia jaringan

luteal juga dapat dilakukan dengan menghubungkan jaringan (termasuk menyambung

pembuluh darah) antara uterus dan ovarium (Gambar 6.d). Berdasarkan upaya tersebut

kemungkinan bahwa terdapat faktor humoral yang melintasi endometrium menuju ovarium

24
dan menyebabkan luteolisis. Dua penelitian pada biri-biri betina menunjukkan bahwa faktor

humoral tersebut tidak stabil. Biri-biri betina memiliki dua tanduk uterus yang terpisah, bila

salah satu tanduk uterus diambil maka hanya satu korpus luteum dari sisi yang

berlawanan yang mengalami regresi (Gambar 6.b,c). Selanjutnya bila seluruh uterus

ditransplantasikan di organ tubuh tertentu, luteolisis dapat dicegah meskipun ovarium tidak

ditransplantasikan bersama dengan uterus dalam satu unit.

Gambar 6. Uterus dan Ovarium Domba Tidak Hamil. (a) Korpus luteum tunggal pada ovarium kiri
mengalami regresi dan ditunjukkan dengan tanda silang. (b) Pengambilan tanduk
uterus secara ipsilateral akan mencegah terjadinya regresi. (c) Pengambilan tanduk
uterus secara kontralateral tidak mencegah terjadinya regresi. (d) Pembuluh darah
yang dijepit di antara tanduk dan ovarium dapat mencegah terjadinya regresi. (e) Bila
endometrium dari tanduk ipsilateral yang sebelumnya diambil dihomogenisasi dan
di-reinjeksikan ke dalam arteri ovarium, maka korpus luteum mengalami regresi
(bandingkan b dengan e).

25
Identitas senyawa endometrial yang paling berperan dalam hal ini telah diketahui

pada domba, marmut, dan kuda. Senyawa tersebut adalah prostaglandin F2α (PGF2α,

Perhatikan Gambar 4). PGF2α pertama kali disekresikan pada hari ke-10 hingga 15 setelah

pembentukan korpus luteum. Senyawa ini melintasi endometrium menuju vena uterus

secara bertahap dalam interval 6 jam. Setelah meninggalkan vena senyawa ini menuju

arus balik arteri ovarium, dan kemudian menuju bagian ipsilateral ovarium. Regresi korpus

luteum akan terjadi setelah peristiwa ini. Bila PGF2α dinetralkan secara eksperimental

dengan antibodi spesifik maka luteolisis dapat dicegah. Sebaliknya injeksi PGF2α

exogenous yang menggantikan PGF2α endogenous dalam 1 atau 2 hari terbukti

menyebabkan luteolisis karena PGF2α menyebabkan regresi sel yang mengalami

luteinisasi secara in vitro.

Produksi PGF2α distimulasi oksitosin yang disekresi dari korpus luteum. Bila

oksitosin dinetralkan maka luteolisis dapat dihambat. Salah satu efek PGF2α adalah untuk

menstimulasi sekresi oksitosin lebih banyak dari korpus luteum. Dengan demikian akan

mempengaruhi proses umpan balik positif. Oksitosin terdapat pada korpus luteum pada

10-15 hari pertama sepanjang usia jaringan luteal, akan tetapi mengapa oksitosin tidak

menstimulasi sekresi PGF2α lebih awal? Jawaban dari hal ini mungkin bahwa reseptor

oksitosin yang diperlukan di endometrium belum nampak. Mengapa hal ini terjadi masih

belum jelas akan tetapi peristiwa ini membutuhkan progesteron yang kadarnya stabil.

Pengendalian luteolisis pada primata berbeda dibandingkan spesies lain, yaitu

tidak melibatkan prostaglandin dari uterus. Kadar prostaglandin yang disekresi meningkat

pada fase luteal. Histerektomi ataupun antibodi untuk prostaglandin tidak mampu

memperpanjang usia jaringan luteal. Bila tidak diberikan dalam dosis tinggi, injeksi

prostaglandin tidak berpengaruh pada korpus luteum saat terdapat progesteron untuk

26
sementara. Sesungguhnya apakah yang menyebabkan luteolisis pada primata? Salah satu

kemungkinan adalah kadar LH yang sangat rendah dan tidak bersifat luteotrofik selama

fase luteal primata, oleh karena itu secara perlahan dan spontan korpus luteum mengalami

regresi.

D. JUMLAH FOLIKEL YANG BEROVULASI TERGANTUNG PADA KESEIMBANGAN

ANTARA KADAR GONADOTROPIN DAN RESEPTOR GONADOTROPIN FOLIKULAR

Jumlah folikel yang berovulasi dalam satu siklus menjadi ciri tiap spesies dan

jumlahnya bervariasi hingga ratusan. Dua hal penting dalam maturasi folikel adalah bahwa

jumlah ini dapat dikendalikan dan keseimbangan antara folikel yang hidup dengan yang

atresia sangat berperan. Pada manusia terdapat 15-20 folikel antral awal yang mampu

bertahan dari atresia dan dapat direkrut untuk proses perkembangan dalam siklus

menstruasi. FSH adalah hormon penting dalam rekrutmen folikel meskipun LH juga

penting dalam segi fungsional folikel. Oleh karena itu jumlah folikel yang direkrut dapat

ditingkatkan bila kadar FSH endogenous ditambah dengan FSH eksogenous atau

sebaliknya direduksi bila kadar FSH tidak mencukupi. Observasi ini bermakna bahwa

hubungan antara kadar gonadotropin yang bersirkulasi dan jumlah reseptor FSH folikular

menentukan jumlah folikel yang direkrut dari kumpulan folikel antral awal. Kadar hormon

dan adanya jumlah reseptor yang tepat menentukan jalannya perkembangan folikel. Bila

kadar hormon belum tepat sementara jumlah reseptor sedang dikembangkan, maka

atresia folikel akan terjadi.

Dari 15-20 folikel manusia yang direkrut, umumnya hanya satu yang tampil

dominan dalam pertumbuhan folikel. Folikel dominan ini yang akan menuju tahapan

preovulatori, menghasilkan reseptor LH pada bagian sel granulosa, dan mampu berovulasi

27
saat terdapat LH. Hingga saat ini belum jelas tentang tampilnya satu folikel ini,

kemungkinan hal ini disebabkan keterlibatan sitokin. FSH menstimulasi produksi insulin-

like growth factor 1 atau 2 (IGF-1 atau IGF-2, tergantung pada spesies mana, perhatikan

Tabel 3). IGF nampak berperan sebagai media untuk stimulasi output androgen oleh LH

pada sel theca dan untuk aromatisasi estrogen dependen FSH pada sel granulosa. Bila

aktivitas IGF, tingkat efektivitas FSH (untuk menstimulasi output estrogen) berkurang. FSH

juga terlibat dalam pengaturan produksi IGF-binding protein (IGFBP) endogenous pada

ovarium. Senyawa ini juga dapat diproduksi dari folikel, tetapi FSH menghambat proses ini.

Senyawa ini memicu produksi protease yang mengurai IGF dari IGFBP. Oleh karena itu

FSH menstimulasi keberadaan IGF untuk memacu perkembangan folikel. Nampaknya di

antara folikel yang tumbuh, IGFBP diproduksi oleh folikel yang mendapatkan suplai FSH

yang sedikit atau folikel yang memiliki jumlah reseptor FSH paling sedikit. Pengikatan IGF

dengan binding protein, terutama saat tidak terdapat protease, akan merusak efektivitas

FSH dan membawa folikel menuju atresia. Sebaliknya, folikel yang mampu merespon

adanya FSH akan semakin berkembang dan bergerak menuju ovulasi.

Setelah folikel dominan ditentukan, inhibin juga berperan dalam pemeliharaan

folikel tersebut. Inhibin dihasilkan pada fase antral akhir dalam folikel dominan di bawah

pengaruh androgen dan estrogen, serta mengubah growth factor β yang dihasilkan sel

theca (Tabel 3). Inhibin akan menstimulasi produksi androgen jaringan theca dan

aromatisasi sel granulosa serta mengatur umpan balik positif untuk estrogen dalam folikel

dominan. Folikel yang mengalami retardasi nampak memiliki kadar inhibin yang rendah,

tetapi kadar aktivinnya tinggi. Hal ini mengurangi sekresi androgen dari sel theca dan

menekan sintesis inhibin dan estrogen. Oleh karena itu ciri folikel dominan adalah rasio

yang tinggi antara inhibin:aktivin dan IGF:IGFBP. Folikel yang mengalami retardasi

28
menunjukkan hal yang sebaliknya. Analisis cairan folikel dari folikel dominan yang tidak

mengandung steroid dan inhibin menunjukkan adanya faktor lain yang belum

teridentifikasi. Senyawa ini menghambat pertumbuhan folikel lain dan disebut follicle

growth inhibitory factors (FGIF).

E. PERKEMBANGAN FOLIKEL DAN SIKLUS OVARIUM

Pada bagian sebelumnya telah dibahas tentang perkembangan folikel individual

baik pada segi ovulasi mapun luteinisasi atau saat menuju atresia. Masing-masing dari

kedua ovarium memiliki folikel primordial dan kita perlu memahami hubungan di antara

berbagai folikel yang berkembang pada waktu yang berbeda dan pada kedua ovarium

untuk memperoleh gambaran fungsi ovarium dan siklusnya.

1. Siklus Ovarium Adalah Interval Di Antara Dua Ovulasi dan Terdiri Atas Fase

Folikular dan Luteal

Satu siklus ovarium lengkap adalah interval di antara rangkaian ovulasi, dimana

tiap ovulasi didahului oleh sebuah periode dominansi estrogen. Periode menuju terjadinya

ovulasi terkadang disebut fase folikular karena estrogen dihasilkan dari folikel. Periode

post ovulatori terkadang juga disebut fase luteal karena progesteron diturunkan dari korpus

luteum. Durasi siklus ovarium beserta fase folikular dan luteal pada berbagai spesies

terangkum pada Tabel 5. Saat ini telah jelas bahwa terdapat perbedaan besar di antara

berbagai spesies dalam hal panjang absolut siklus ovarium dan pada durasi relatif

komponen folikular dan luteal. Perbedaan besar ini sesungguhnya secara mendasar diatur

oleh organisasi yang sama dan dari pola dasar yang sama menghasilkan modifikasi kecil

yang signifikan. Pertama kita akan membahas siklus ovarium pada manusia, karena hal ini

29
cukup mudah dipahami. Selanjutnya akan dibandingkan pola siklus tersebut terhadap

spesies lain.

Tabel 5. Siklus Ovarium pada Beberapa Spesies


Spesies Panjang Siklus (hari) Fase Folikular (hari) Fase Luteal (hari)
Manusia 24-32 10-14 12-15
Sapi 20-21 2-3 18-19
Babi 19-21 5-6 15-17
Domba 16-17 1-2 14-15
Kuda 20-22 5-6 15-16
Tikus/mencit* (+ jantan 13-14 2 11-12
infertil)
Kelinci* (+ jantan infertil) 14-15 1-2 13
Tikus/mencit 4-5 2 2-3
Kelinci 1-2 1-2 0
* Perhatikan pembahasan buku untuk lebih jelas

2. Siklus Ovarium Manusia

Gambar 7.a menunjukkan susunan dasar dua rangkaian siklus ovarium manusia.

Pola hasil pengukuran steroid darah dan gonadotropin ditunjukkan pada bagian bawah,

sementara aktivitas dari empat fase folikel ditunjukkan pada bagian atas. Perkembangan

folikel antral awal terjadi secara berkelanjutan sepanjang siklus, pertumbuhan folikel ini

tidak memerlukan dukungan gonadotropik. Folikel ini tidak mensekresi kadar steroid

secara signifikan sehingga kadar steroid darah tidak terpengaruh. Folikel antral awal ini

akan menuju atresia bila tidak diselamatkan dengan FSH dan LH. Kadar FSH dan LH tidak

berpengaruh pada fase luteal sehingga terjadi atresia. Sebaliknya pada periode awal siklus

ovarium kadar FSH dan LH masih cukup untuk menunjang ekspansi folikel antral baru.

Salah satu folikel tersebut akan bertahan hingga menjadi folikel antral dominan yang akan

menjadi matang dalam waktu 8-12 hari mendatang dan mensekresi estrogen dalam kadar

yang tinggi ke dalam darah. Folikel lanjut ini akan dikonversi menjadi folikel preovulatori

melalui suplai LH dalam kadar tinggi dan dapat diukur dalam darah. Sementara folikel

antral yang lain akan menjadi atretik. Folikel ovulatori yang berhasil membentuk korpus

30
luteum yang mensekresi progesteron dan estrogen hingga terjadi luteolisis dalam waktu 14

hari atau lebih. Siklus berikutnya dimulai saat kadar gonadotropin meningkat kembali.

Dua ciri penting pada siklus ovarium manusia: pertama, bagaimana pengendalian

fluktuasi level output gonadotropin perlu dipahami; kedua, fase ekspansi antral, ovulasi,

dan fase luteal adalah satu siklusovarium yang lengkap. Ciri kedua inilah yang

membedakan siklus ovarium pada manusia dibandingkan pada sapi, babi, domba, dan

kuda.

31
Gambar 7. Ringkasan Aktivitas Folikel dalam Dua Rangkaian Siklus Ovarium: (a) manusia, dan
(b) babi. Keberadaan tahapan folikel yang berbeda diindikasikan dengan warna gelap
pada tiap bar. Kadar hormon dalam darah secara relatif dapat diamati. Gambaran
perjalanan folikel ovulatori sejak dari tahap preantral hingga luteolisis atau atresia
ditunjukkan dengan garis hitam yang disertai tanda panah. Perhatikan bahwa siklus
pada babi lebih pendek dibandingkan pada manusia. Hal ini disebabkan tahap
folikular yang lebih pendek yang ditunjukkan dengan garis kusut pada tanda panah
panel manusia (a) dan babi (b). Pertumbuhan folikel antral babi terjadi selama fase
luteal sebelumnya, hal ini tidak terjadi pada manusia.

32
3. Fase Folikular yang Pendek pada Siklus Ovarium Sapi, Babi, Domba, dan Kuda

Pada spesies semacam ini, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 7.b, ekspansi

antral terjadi selama fase luteal panen folikel sebelumnya. Pertumbuhan ini dapat terjadi

karena kadar FSH dan LH pada spesies tersebut tetap terjaga selama fase luteal. Oleh

karena itu fase ekspansi antral, ovulasi, dan fase luteal pada spesies tersebut

sesungguhnya melampaui satu siklus ovarium (perhatikan garis hitam pada Gambar

7.a,b). Seperti halnya pada spesies hewan tersebut, pada siklus pada manusia bagian

folikular dari satu siklus dipaksa bergeser menuju separuh fase luteal dari siklus

sebelumnya.

Siklus ovarium pada hampir semua spesies dapat dipahami dengan mudah

berdasarkan pembahasan di atas. Selanjutnya akan dikaji pada hewan tikus, mencit, dan

kelinci karena hewan tersebut menunjukkan ciri berbeda untuk dapat memahami siklus

ovarium manusia dan hewan ternak besar lainnya.

4. Siklus Ovarium Tikus dan Mencit Mempunyai Fase Folikular dan Luteal yang

Diperpendek

Siklus ovarium tikus dan mencit secara mendasar sangat berbeda dibandingkan

pada hewan ternak besar. Hewan ini memiliki ciri yang berbeda dan aneh, yaitu panjang

siklus ovarium yang berbeda-beda tergantung pada ada atau tidak adanya hewan jantan.

Hewan betina yang saat ovulasi dikawinkan dengan hewan jantan yang tidak fertil

(contohnya hewan jantan yang mengalami vasektomi), maka fase luteal berlangsung

selama 11-12 hari (kadang disebut pseudopregnancy) dan siklus ini mirip seperti siklus

pada babi. Bila hewan betina melakukan perkawinan pada saat tidak terjadi ovulasi maka

fase luteal hanya berlangsung selama 2-3 hari. Pada kasus yang terakhir ini corpora lutea

33
hanya berfungsi menghasilkan progestagen, mensekresikan sedikit progesteron,

utamanya 20α-hidroksiprogesteron.

Kunci penjelasan tentang fenomena aneh ini terletak pada stimulus mekanik pada

serviks yang terjadi karena penis saat koitus. Stimulasi ini dibawa melalui saraf sensori

dari serviks menuju sistem saraf pusat dan mengaktifkan pelepasan prolaktin dari pituitari.

Hormon ini (seperti yang telah dicantumkan pada Tabel 4) merupakan bagian esensial

pada kompleks luteotrofik pada tikus dan mencit. Tanpa hormon ini usia jaringan luteal

akan berkurang menjadi 2 atau 3 hari. Tikus dan mencit mendapatkan memiliki

kemampuan meningkatkan efisiensi reproduksi melalui modifikasi evolusioner. Tanpa

adanya kemampuan pengurangan ini tikus dan mencit mendapatkan fertilitas hanya tiap

13 atau 14 hari, dimana kondisi normal adalah tiap 4 atau 5 hari. Kehamilan pada hewan

ini berlangsung selama 20-21 hari, hal ini dipandang signifikan secara ekonomis.

Pengaruh evolusi seperti pemotongan usia fase luteal tidak terjadi pada sapi, babi, domba,

dan kuda dimana kehamilan berlangsung lama dibandingkan dengan fase luteal.

Pengaturan yang rapi dari sistem saraf untuk memperpendek fase luteal

menunjukkan konsep baru yang penting dalam pembahasan ini. Hal ini menggambarkan

bagaimana sistem saraf pusat dapat mempengaruhi fungsi ovarium. Selanjutnya akan

membahas tentang modifikasi siklus ovarium yang menekankan pada peran sistem saraf

pusat.

5. Siklus Ovarium Kelinci Mengalami Reduksi Menjadi Fase Folikular yang

Diperpanjang

Kelinci betina yang dipelihara dalam kurungan tidak menampakkan adanya siklus

ovarium. Hal ini ditunjukkan bahwa kadar estrogen darah yang tinggi, kadar progestagen

34
yang rendah, kelinci ini selalu dalam keadaan siap kawin, tetapi ovulasi tidak terdeteksi.

Pada ovarium menunjukkan rangkaian perkembangan folikel antral seolah-olah seperti

fase folikular. Bila betina ini dikawinkan dengan hewan jantan yang mengalami vasektomi

atau serviksnya distimulasi secara mekanik, maka betina ini akan berovulasi pada 10-12

jam kemudian, serta mencapai fase luteal (atau pseudopregnancy) pada hari ke-12 atau

lebih. Bila hewan jantan yang mengalami vasektomi dipelihara bersama hewan betina ini,

maka betina akan menunjukkan siklus 14 hari dengan pola folikular-luteal 2+12 hari,

serupa dengan pola pada babi.

Seperti halnya pada tikus, stimulasi serviks pada kelinci menjadi sumber input

sensori menuju sistem saraf pusat, dimana dalam hal ini menginduksi sekresi LH dengan

kadar tinggi untuk mempertahankan tiap folikel antral yang berkembang dari atresia serta

mencapai ovulasi. Pada dasarnya siklus pada kelinci telah diperpendek lebih dari tikus

atau mencit dengan cara mengeliminasi fase luteal seluruhnya. Fenomena ini disebut

sebagai ovulasi terinduksi, dan terjadi pada beberapa spesies (seperti kelinci, kucing,

musang, unta, dan llama). Pembahasan tentang berbagai siklus ovarium dirangkum dalam

Gambar 8.

35
Gambar 8. Perbandingan Skematis Siklus Ovarium Manusia, Babi, Tikus atau Kelinci (yang
Dipelihara Bersama Jantan Infertil), dan Tikus atau Kelinci yang Dipelihara Individual.
Pada gambar ini hari ke-0 ditunjukkan sebagai hari pertama ovulasi. Tiap garis yang
berkelanjutan menyatakan satu rangkai lengkap pertumbuhan folikel antral menuju
folikel preovulatori hingga korpora lutea dan puncaknya terjadi luteolisis. Perhatikan
panjang siklus dan proporsi pada tiap satu siklus bervariasi.

F. KELENJAR INTERSTISIAL

Sebelumnya telah dibahas tentang aktivitas maturasi folikel yang terdiri dari folikel

primordial beserta sel-sel stroma yang membentuk lapisan theca. Pada sel stroma dan di

antara folikel yang berkembang terdapat kelenjar interstisial. Apakah kelenjar tersebut

memiliki peran dalam fungsi ovarium dan siklusnya?

Kelenjar interstisial nampak beragam pada spesies yang berbeda, tetapi masih

belum banyak terungkap bagaimana aktivitasnya. Kelenjar interstisial tersusun atas

kumpulan sel yang mirip sel steroidogenik yang mengandung retikulum endoplasmik halus

dan droplet lipida dalam jumlah banyak. Pada kelinci sel ini mensintesis progesteron dan

36
20α-hidroksiprogesteron, setelah terjadi koitus sel ini sensitif terhadap aktivitas LH. Pada

tikus kelenjar interstisial ini menghasilkan progestagen bila distimulasi adanya LH. Sel-sel

interstisial terlibat dalam sintesis androgen pada ovarium manusia, tikus, dan kelinci.

Jaringan ini juga berperan sebagai sumber androgen tambahan melalui sekresi dan

aromatisasi di folikel.

G. RANGKUMAN: SIKLUS ESTRUS DAN MENSTRUASI

Pertumbuhan dan diferensiasi folikel hingga menjadi korpus luteum yang

fungsional adalah proses yang rumit dimana jumlah folikel yang menyelesaikan proses ini

hingga tuntas tidak lebih dari 0,1%. Sebagian besar folikel menjadi atretik selama

menjalani proses perkembangan. Awal terjadinya perkembangan folikel primordial

tergantung pada hormon. Pada fase ini oosit melakukan proses pertumbuhan dan folikel

memiliki reseptor FSH dan estrogen (pada sel granulosa) dan reseptor LH (pada sel

theca). Selama fase ekspansi antral yang pendek pertumbuhan sel folikular terjadi karena

naiknya kadar estrogen dan androgen. Fase ini membutuhkan kadar FSH dan LH yang

cukup agar dapat berjalan, kadar FSH yang lebih tinggi akan mempertahankan kehidupan

folikel. Menjelang akhir dari fase ini output estrogen dari folikel antral dominan meningkat,

dan sel granulosa membentuk reseptor LH. Dalam fase preovulatori yang pendek kadar

LH yang tinggi segera menstimulus sel granulosa dan sel theca melalui reseptor LH.

Adanya LH ini awalnya akan menstimulasi, lalu menghentikan aktivitas endokrin sel theca.

Di sisi lain LH juga memadamkan aromatisasi pad sel granulosa dan menyebabkan sel

granulosa memproduksi progestagen. Pergeseran aktivitas endokrin ini disertai

pengulangan meiosis dan maturasi sitoplasmik pada oosit dan pada puncaknya terjadi

ovulasi. Dalam fase ini sel granulosa pada sebagian besar spesies memiliki reseptor

37
prolaktin. Fase luteal final dalam perkembangan folikel memiliki ciri naiknya output

progestagen, dimana pada spesies primata dan babi bertumpuk dengan naiknya output

estrogen. Kompleks luteotrofik pada beberapa atau semua 3 hormon berikut, prolaktin, LH,

dan estrogen, berperan menunjang fase luteal. Dalam fase ini output oksitosin meningkat

dan reseptor untuk hormon ini dikembangkan pada endometrium hingga menjelang akhir

fase luteal. Oksitosin menstimulasi produksi prostaglandin, paling tidak pada primata.

Seluruh rangkaian peristiwa ini diakhiri dengan terjadinya luteolisis yang disebabkan

produksi hormon luteolitik PGF2α dari uterus atau menurunnya dukungan luteotrofik.

Ovarium serupa dengan testis dalam hal memproduksi gamet dan steroid. Akan

tetapi pada hewan jantan gamet dan androgen diproduksi secara berkelanjutan dan

bersamaan. Pada hewan betina output ovarium bersifat siklik dan menunjukkan dua fase

berbeda yang dipisahkan oleh pelepasan oosit dari ovarium. Fase folikular sebelum

terjadinya ovulasi didominasi oleh naiknya output estrogen dan beberapa androgen.

Mengingat pada fase luteal, setelah ovulasi, progestagen menjadi predominan. Pada

sebagian besar spesies fase folikular berlangsung singkat dan bagian utama pertumbuhan

folikel terjadi selama fase luteal siklus sebelumnya. Pada manusia, fase folikular berlang

sung lebih lama.

Sejauh ini telah dibahas siklus reproduksi dari sudut pandang ovarium. Output

siklik steroid menunjukkan siklus anatomi dan fisiologi hewan betina. Manifestasi eksternal

dari siklus ovarium dapat dilihat pada sebagian besar mamalia berdasarkan ciri tingkah

laku. Mamalia betina pada sebagian besar spesies reseptif terhadap hewan jantan pada

saat birahi dan bersedia untuk kawin pada masa-masa ovulasi. Periode birahi ini

diciptakan oleh lingkungan hormonal fase preovulatori dan dapat disertai perubahan pola

tingkah laku tertentu. Bentuk yang lebih ringkas dapat diamati pada beberapa spesies,

38
terutama kuda, yang disebut siklus estrus. Siklus ovarium internal terwujud secara

eksternal pada siklus estrus (Gambar 9.a). Hari pertama tiap siklus estrus dianggap

sebagai hari pertama munculnya tingkah laku estrus.

Gambar 9. Gambar skematik Siklus Ovarium pada (a) Sapi dan (b) Manusia yang Dinyatakan
sebagai Siklus Estrus dan Menstruasi. Hari pertama siklus bertepatan dengan awal
estrus dan menstruasi (konsentrasi plasma tidak ditampilkan).

Hewan primata tingkat tinggi menunjukkan sedikit bukti adanya estrus dan

nampaknya tidak tepat membahas siklus estrus hewan tersebut. Pada primata tingkat

tinggi manifestasi siklus ovarium eksternal lain telah diamati, yaitu luruhnya jaringan

endometrial yang mengandung darah melalui vagina pada akhir fase luteal. Peristiwa

39
kondisioning hormonal ini disebut menstruasi (peristiwa bulanan), dan hal ini berperan

sebagai basis eksternal untuk pengukuran siklus menstruasi, dimana hari pertama

menstruasi dinyatakan sebagai hari ke-1 siklus sebagaimana ditampilkan pada Gambar

9.b. meskipun siklus estrus dan menstruasi mencerminkan siklus ovarium, hari pertama

dari tiap siklus terjadi pada titik yang berbeda dalam siklus ovarium.

Pada buku ini telah dibahas bahwa kadar gonadotropin sangat berpengaruh

terhadap penuntasan siklus ovarium (siklus estrus dan menstruasi), dan bahwa kadar

gonadotropin yang bersirkulasi secara alami bervariasi selama siklus. Selanjutnya telah

dikaji bahwa sistem saraf pusat dapat mempengaruhi kadar gonadotropin yang

bersirkulasi.

H. MATERI KUNCI

• Ovarium hewan dewasa memproduksi oosit dan hormon (estrogen, inhibin, dan

progestagen).

• Folikel adalah sumber oosit dan hormon.

• Folikel primordial berkembang menjadi folikel preantral dalam irama yang konstan

sepanjang hidup sistem reproduksi hewan dewasa. Pematangan ini tidak

membutuhkan dukungan hormonal.

• Proses maturasi meliputi pertumbuhan oosit, sekresi glikoprotein zona pelusida

dan perakitan zona pelusida agar dapat melingkupi oosit, proliferasi sel granulosa,

dan deposisi sel interstisial pada membrana propria luar untuk menghasilkan

theca interna dan eksterna.

• Folikel preantral akhir dan antral awal membentuk reseptor FSH pada sel

granulosa dan reseptor LH pada sel theca interna.

40
• LH memicu sel theca untuk memproduksi androgen.

• Androgen diaromatisasi sel granulosa untuk menghasilkan estrogen dalam sebuah

proses dependen FSH.

• FSH juga memicu produksi cairan folikel, ekspansi folikel, dan munculnya antrum

folikel.

• Produksi faktor tumbuh semacam insulin pada folikel distimulasi FSH, dan dapat

berperan sebagai media efek intrafolikular seperti: rasio IGF:IGFBP yang tinggi

sebagai ciri folikel dominan.

• Produksi inhibin oleh folikel dipicu androgen dan estrogen, dan sebaliknya memicu

produksi androgen dan estrogen sehingga berakibat umpan balik positif. Rasio

inhibin:aktivin yang tinggi sebagai ciri folikel dominan.

• Folikel antral dominan di bawah pengaruh FSH dan LH menyebabkan naiknya

kadar estrogen.

• Folikel dominan di bawah pengaruh LH diinduksi untuk memasuki fase

preovulatori.

• Dalam fase preovulatori antrum folikel mengembang dengan cepat sehingga

folikel nampak menonjol di permukaan ovarium. Sel granulosa membentuk

lingkaran tipis melapisi folikel dan sebuah tangkai yang terbuat dari sel-sel yang

menghubungkan oosit dengan sel kumulus yang melingkupinya, hubungan

sitoplasmik antara oosit dengan sel kumulus berkurang, dan oosit melanjutkan

proses meiosis.

• Oosit menghasilkan polar body pertama melalui pembelahan sitoplasmik yang

tidak rata dan selanjutnya akan mengalami jeda istirahat dalam metafase meiosis

ke-2, fase ini juga merupakan fase saat ovulasi terjadi.

41
• Oosit diovulasikan melalui robeknya bagian apex tonjolan folikel di bagian stigma.

• Robeknya folikel disebabkan kerja protease pada dinding foikel.

• Oosit yang terovulasi dilepaskan menuju permukaan ovarium.

• Folikel yang kosong menjadi kolaps dan sangat vaskular, selanjutnya folikel ini

melakukan proses luteinisasi menjadi korpus luteum.

• Sel granulosa berubah menjadi sel luteal besar, sedangkan sel theca menjadi sel

luteal kecil.

• Sel luteal besar mensintesis progestagen.

• Dukungan hormonal bagi korpus luteum bervariasi pada berbagai spesies,

terkadang LH berperan untuk luteinisasi, sedangkan prolaktin, estrogen, dan FSH

dapat berperan dalam pemeliharaan jaringan luteal.

• Luteolisis pada sebagian besar spesies disebabkan prostaglandin F2α.

• Pelepasan PGF2α dari endometrium menuju sirkulasi lokal dipicu oleh produksi

oksitosin dari korpus luteum dan bekerja pada reseptor oksitosin endometrium

(reseptor ini dibentuk karena adanya progesteron).

• Luteolisis pada primata tingkat tinggi mungkin disebabkan kurangnya dukungan

LH bagi jaringan luteal.

• Fertilitas pada hewan betina bersifat episodik, yaitu ovulasi didahului oleh periode

dominansi folikular/estrogen dan diikuti oleh periode dominansi luteal/progestagen.

• Siklus ovarium adalah periode waktu di antara kedua ovulasi.

• Fase folikular dan luteal pada manusia kurang lebih memiliki panjang yang sama.

Luteolisis diikuti oleh menstruasi yang menjadi sinyal untuk permulaan siklus

ovarium yang baru.

42
• Fase folikular pada spesies yang lain cukup pendek karena sebagian besar

pertumbuhan folikel terjadi selama fase luteal sebelumnya, dalam hal ini tidak

terjadi menstruasi tetapi nampak terdapat perubahan eksternal pada tingkah laku

selama ovulasi.

• Pada spesies tersebut mengalami siklus estrus dimana hari ke-1 adalah awal

estrus.

• Pada beberapa spesies mekanisme saraf yang dihasilkan dari stimulasi penis

pada serviks saat koitus berpengaruh terhadap pola dan panjang siklus estrus.

I. BACAAN YANG DIANJURKAN

Alilo H.W. & Dowd J.P. 1991. The control of corpus luteum function in domestic ruminants.
Oxford Reviews of Reproductive Biology, 13, 203-237.

Armstrong D.G. & Webb R. 1997. Ovarian follicle dominance; the role of intraovarian
growth factors and novel proteins. Reviews of Reproduction, 2, 139-146.

Baird D.T & Smith K. B. 1993. Inhibin and related peptides in the regulation of
reproduction. Oxford Reviews of Reproductive Biology, 7, 1-72.

Cupps P.T. (ed). 1991. Reproduction in Domestic Animals, 4th ed. London: Academic
Press.

Findlay, J.K. 1994. Peripheral and local regulators of folliculogenesis. Reproduction,


Fertility, and Development, 6, 127-139.

Hillier, S. C. 1985. Sex steroid metabolism and follicular development in the ovary. Oxford
Reviews of Reproductive Biology, 7, 168-222.

Hirschfield, A.N. 1991. Development of follicles in the mammalian ovary. International


Reviews in Cytology, 124, 43-101.

Hsueh, A.J.W. & Schomberg D.W. 1993. Ovarian Cell Interactions. Berlin: Springer-Verlag.

McIntush E.W. & Smith M.F. 1998. Matrix metalloproteins and tissue inhibitors of
metalloproteinases in ovarian function. Reviews of Reproduction, 3, 23-30.

43
McNeilly A.S., Crow W., Brooks J. & Evans G. 1992. Luteinizing hormone pulses, follicle-
stimulating hormone and control of follicular selection in sheep. Journal of
Reproduction and Fertility, 45 (Suppl.), 5-19.

Richardson M.C. 1986. Hormonal control of ovarian luteal cells. Oxford Reviews of
Reproductive Biology, 8, 321-378.

Urban A.C. & Veldhuis J.D. 1992. Endocrine control of steroidogenesis in grnulosa cells.
Oxford Reviews of Reproductive Biology, 14, 225-262.

Webley G.E. & Hearn J.P. 1994. Embryo-maternal interactions during the establishment of
pregnancy in primates. Oxford Reviews of Reproductive Biology, 16, 1-32.

44

Anda mungkin juga menyukai