Anda di halaman 1dari 11

Lingkungan Pengendapan BatuBara

LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA

1 LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA

Menurut Diessel (1992) ada beberapa lingkungan pengendapan yang dapat


menghasilkan endapan batubara, antara lain:

1. Gravelly braid plain dengan sub-lingkunganenvironments: bars, channels,


overbank plains, swamps, and raised bogs.

2. Sandy braid plain dengan sub-environments: bars, channels, overbank plains,


swamps, and raised bogs.

3. Alluvial valley and upper delta plain dengan sub-environments: channels, point
bars, flood plains, swamps, fens, and raised bogs.

4. Lower delta plain dengan sub-environments: delta front, mouth bar, splays,
channels, swamps, fans, and marshes.

5. Back barrier strand plain dengan sub-environments: off-, near-, and backshore,
tidal inlets, lagoons, fens, swamps, and marshes.

6. Estuary dengan sub-environments: channels, tidal flats, fens, and marshes.

Horne berdasarkan penelitiannya yang monumental di daerah Missisipi

Lingkungan barrier

Lingkungan ini mempunyai peran penting, yaitu menutup pengaruh oksidasi dari air
laut dan mendukung pembentukan gambut di bagian daratan. Kriteria utama
mengenal lingkungan barrier adalah pada hubungan lateral dan vertikal dari struktur
sedimen dan pengenalan tekstur batupasir. Kearah laut batupasir butirannya menjadi
semakin halus dan selang-seling dengan serpih gampingan merah kecoklatan sampai
kehijauan.

2 ANALISIS CEKUNGAN BATUBARA

Hampir 70% endapan batubara dunia dijumpai pada basin aktif, terutama pada
foreland basins, sedangkan sisanya 30% berada pada cratonic basins. Banyak
cekungan batubara mempunyai sejarah yang kompleks sehingga sulit untuk
diklasifikasikan.

2.1 Pengertian analisis cekungan batubara

Analisis cekungan batubara berdasarkan bermacam data geologi yang dikumpulkan,


dikutip, diperiksa, dianalisis, disintesa, dan ditafsirkan untuk mempelajari proses-
proses yang telah berlangsung, sehingga akhirnya diketahui sejarah evolusi
(ubahangsur) suatu cekungan batubara. Sejarah geologi ini meliputi tektonik,
sedimentologi, diagenesa, geokimia, paleoklimatik, paleontologi, dan proses burial,
dimana semuanya dikombinasikan dan diinteraksikan dalam cekungan dari awal
hingga sekarang. Dengan kata lain, analisis cekungan batubara meliputi beberapa fase
dari suatu kegiatan yang memerlukan berbagai sub disiplin ilmu geologi dan
merupakan proses yang berkelanjutan.

Analisis cekungan batubara memerlukan skala peta yang bermacam-macam,


informasi aktual yang selalu berkembang, dan studi regional untuk lebih menunjang
secara lebih spesifik daerah kajian. Langkah awal dari analisis cekungan batubara
adalah identifikasi cekungan, data apa saja yang masih terbatas, mengkompilasikan
data struktur, tektonik, dan tekanan rejim temperatur. Penyempurnaan dari setiap
tahap kerja adalah untuk memulai fase berikutnya.

Analisis cekungan batubara adalah alat untuk menentukan secara lebih sempurna
konsep batubara sebagai batuan sedimen, sebagai sistem geokimia, dan sebagai
endapan organik dengan asosiasi batuannya.

2.2 Sasaran analisis cekungan batubara

Analisis cekungan batubara mempunyai kepentingan untuk tujuan keilmuan maupun


alasan ekonomi.

Ada beberapa tujuan ilmiah yang ingin diketahui dari suatu analisis cekungan
batubara, yaitu:
1. Genesa endapan batubara berdasarkan ruang dan waktu.

2. Sebaran endapan batubara berdasarkan ruang dan waktu.

3. Kendali tektonik dan struktur geologi.

4. Lingkungan pengendapan fisik dan biologi.

5. Proses-proses geokimia, biologi, dan fisik.

6. Kendali allocyclic dan autocyclic.

7. Kondisi iklim purba.

8. Proses syngenetik, diagenetik, dan epigenetik.

9. Klasifikasi endapan batubara berdasarkan penentuan umum, derajat dan jenis


batubara, swerta kualitas batubara.

Pada sasaran ekonomi dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu:

1. Tahap pertama adalah evaluasi sumberdaya batubara potensial pada suatu


cekungan. Evaluasi ekonomi harus berdasarkan pada evaluasi dan analisis secara
ilmiah yang melibatkan sejak awal berbagai disiplin untuk bekerjasama dalam proyek
analisis cekungan, antara lain ahli geologi, ahli tambang, ahli teknik, manager, ahli
pemasaran, ahli ekonomi, dan ahli keuangan, dan disiplin lain yang terkait.

2. Tahap kedua adalah keterkaitan antara evaluasi cadangan, perencanaan tambang,


dan pembangunan tambang. Pada tahap ini, kriteria yang penting adalah:

- Kedalaman lapisan batubara.

- Kemenerusan lateral lapisan batubara.

- Kartakter lapisan penutup.

- Pengaruh struktur terhadap lapisan batubara.

2.3 Data kritis untuk analisis cekungan


Peta geologi adalah dasar untuk memahami sebaran lapisan batubara dan lapisan
pembawa batubara, karena disertai dengan pengeplotan lapisan batubara dan batuan
pembawa lapisan batubara sebagai suatu satuan yang khusus. Peta geologi dibuat
dalam bermacam skala dan disertai dengan peta-peta lain seperti peta isopach, isolith,
ratio map, isocarb, isocal, isovol, isomoist. Isoburden, dll.

Data yang dihimpun adalah data stratigrafi, data lingkungan pengendapan, dan data
struktur geologi.

2.4 Data bawah permukaan untuk analisis cekungan

Data geologi bawah permukaan diperoleh dari pemboran dan metode geofisika,
keduanya akan saling melengkapi, selanjutnya digunakan untuk pengembangan,
pengujian, dan pemodelan dari bermacam hipotesis.

2.5 Data mineralogi dan petrografi organik

Berdasarkan studi mikroskopik dari berbagai jenis batuan sedimen dan endapan
organik. Antara lain studi maceral, paleosoil, dan underclay oleh Cecil dkk. (1985)
untuk menentukan jenis rawa. Hunt (1982) melakukan studi hubungan komposisi
petrografi, kandungan sulfur, dan lingkungan pengendapannya. Ruppet dkk. (1985)
studi karakteristik butiran kuarsa pada batubara untuk menjelaskan asal mula mineral
yang berada di dalam batubara.

2.6 Data geokimia dan petrokimia

Membantu penentuan genesa batubara, seperti kondisi geokimia, sedimentasi, dan


evolusi geokimia suatu cekungan batubara.

2.7 Data paleontologi: biostratigrafi dan paleoekologi

Data biostratigrafi berdasarkan flora dan fauna,sedangkan data paleobotani


menyajikan kondisi alamiah rawa purba tempat gambut terakumulasi, termasuk
lingkungan, iklim sekitar rawa, geokimia rawa, juga bergunja untuk korelasi.
3 PENERAPAN MODEL PENGENDAPAN BATUBARA

3.1 Variasi ketebalan lapisan batubara

Lapisan batubara mempunyai ketebalan yang bervariasi dan kadang pada jarak yang
pendek/dekat sekalipun. Faktor utama yang menyebabkan variasi ini adalah kondisi
cekungan dan lingkungan pengendapan tempat terbentuknya batubara tersebut. Selain
itu, juga faktor proses-proses geologi yang berlangsung setelah pengendapan
batubara, sepertiu terobosan batuan beku dan erosi (Gambar 6.1).

Menurut Horne (1978), berdasarkan kendali lingkungan pengendapannya, maka


lingkungan back barrier dan lower delta plain cenderung tipis lapisan batubaranya.
Sebaliknya pada lingkungan transtional lower delta plain dan upper delta plain-
fluvial, lapisan batubaranya relatif tebal. Pemahaman ini dapat dipergunakan untuk
standard perencanaan dan program eksplora

3.2 Pola sebaran dan kemenerusan lapisan batubara

Pada lingkungan back barrier, batubara yang terbentuk bentuknya memanjang,


berorientasi sejajar arah sistem penghalang dan seringkali sejajar dengan jurus
perlapisan. Bentuk perlapisan batubara mungkin berubah sebagian oleh aktivitas tidal
channel pada post depositional atau besamaan dengan proses sedimentasi.

Lingkungan lower delta plain, rawa-rawa di dalam sungai yang di dominasi oleh
endapan lower delta plain berkembang di atas tanggul-tanggul sepanjang penyebaran
channel. Split terjadi pada lapisan batubara oleh sejumlah endapan creavase splay.
Sebaran lapisan batubara cenderung menerus sepanjang jurus pengendapan, tetapi
juga dapat tidak sejajar jurus pengendapan karena batubara digantikan tempatnya
oleh material bay-fill secara interdistribusi

Lingkungan transtional lower delta plain ditandai oleh perkembangan rawa yang
ekstensif. Lapisan batubara tersebar meluas dengan kecenderungan agak memanjang
sejajar dengan jurus pengendapan. Split juga berkembang di daerah dekat channel
kontemporer dan oleh washout yang disebabkan aktivitas channel subsekuen.

Lingkungan upper delta plain-fluvial, lapisan batubara terbentuk sebagai tubuh-tubuh


pod-shaped pada bagian bawah dari dataran limpah banjir yang berbatasan dengan
channel sungai bermeander. Lapisan batubaranya cenderung sejajar dengan
kemiringan pengendapan, tetapi sedikit yang menerus atau lapisannya tebal tetapi
dengan jarak sebaran yang relatif pendek dengan sejumlah split yang berkembang
dalam hubungannya dengan endapan tanggul yang kontemporer.

6.3.3 Kondisi roof (lapisan atap)

Kondisi roof tergantung dari hubungan antar jenis batuan, struktur yang terbentuk
saat pengendapan, kompaksi pada awal setelah pengendapan, dan terakhir tektronik.
Jenis batuan dapat memberikan cara yang berbeda di dalam proses penambangannya.

6.3.4 Kandungan sulfur pada batubara

Sulfur di dalam lapisan batubara dibentuk oleh bakteri pereduksi sulfat di dalam peat
yang basah. Kadar sulfat di dalam air laut lebih banyak daripada di dalam air tawar
(sungai), sehingga kadar pirit atau sulfur akan naik apabila peat tergenang oleh air
laut atau penambahan sulfur akan lebih banyak terjadi pada batubara yang di atasnya
berasosiasi dengan kondisi marin. Oleh karena itu, kadar dan distribusi sulfur lebih
dipengaruhi oleh lingkungan setelah pembentukan batubara daripada lingkungan pada
saat pembentukan. Mineral pirit, khususnya yang berbentuk framboidal banyak
melimpah pada lapisan batubara yang ditutupi secara langsung oleh lapisan marin
(William & Keith, 1963). Oleh karena itu, lapisan batubara yang terakumulasi pada
daerah-daerah yang dipengaruhi oleh air laut (kondisi marin) atau air payau, maka
akan mengandung pirit framboidal, seperti back barrier dan lower delta plain. Dari
hasil penelitian, sulfur pirit bentuk framboidal dihasilkan oleh pengurangan sulfur
oleh mikroba organisme yang dijumpai di lingkungan marin hingga air payau.

Menurut Caruccio et al (1977), ada empat bentuk pirit pada batubara (Gb. 6.1):

1. Kandungan sulfur yang hadir sebagai markasit atau pirit terjadi dalam bentuk
butiran euhedral dan berbutir kasar (> 25 mikron).
2. Menggantikan material asli tumbuhan (replacement).

3. Berupa lembaran (platy) yang mengisi cleat.

4. Framboidal pirit.

Dari keempat macam di atas, maka bentuk framboidal yang paling cepat mengalami
dekomposisi, sehingga menimbulkan air asam tambang pada kegiatan penirisan
tambang. Terlebih bila tidak mengandung material karbonat. Bila menyebar di dalam
batubara, maka tidak dapat dipisahkan pada uji pencucian yang menggunakan larutan
dengan berat jenis 1,5.

Mansfield & Spackman (1968) menseleksi batubara bituminous di barat


Pennsylvania, ternyata batubara di bawah pengaruh air laut mempunyai kandungan
sulfur lebih tinggi dibanding yang di air tawar.

Kandungan sulfur di dalam batubara terdiri dari:

1. Sulfur sulfat, biasanya kurang dari 0,05% dan berasal dari abu atau dari bahan
sulfat batubara. Apabila terdapat pada cleat, dapat dihilangkan dengan pencucian.

2. Sulfur pirit, muncul sebagai markasit atau pirit. Markasit diendapkan bersamaan
atau seumur dengan pembentukan batubara dan memiliki ukuran antara 0,5-40 mm.

3. Sulfur organik terikat secara kimia pada struktur molekul hidrokarbon pada
struktur batubara dan tidak dapat dipisahkan.

Oleh karena itu, apabila kandungan sulfur batubara tinggi, maka pengetahuan
mengenai sebaran sulfur melalui lapisan batubara dan bentuk sulfur akan sangat
membantu di dalam menilai aspek ekonomis (pemasaran) batubara.

Kandungan sulfur menjadi perhatian penting di dalam kegiatan eksplorasi sampai


pemanfaatannya (terutama untuk PLTU dan pabrik semen) karena mengganggu
lingkungan akibat emisi gas SOX dan gas lainnya seperti NOX, CO, CO2, dan abu.
Selama proses pembakaran hampir semua unsur dalam batubara diubah menjadi
bentuk oksida untuk menghasilkan energi yang maksimal, pada belerang sebagian
besar menjadi SOX dan sebagian kecil menjadi SO3
Batubara merupakan hasil dari akumulasi tumbuh-tumbuhan pada
kondisi lingkungan pengendapan tertentu. Akumulasi tersebut telah terkena
pengaruh-pengaruh syn-sedimentary dan post-sedimentary. Akibat pengaruh-
pengaruh tersebut dihasilkan batubara dengan tingkat (rank) dan kerumitan struktur
yang bervariasi. Lingkungan pengendapan batubara dapat digunakan untuk
menentukan penyebaran lapisan, cara terjadinya, serta kualitas batubara. Namun
sering kali masih belum dapat menghasilkan yang prediksi yang akurat (Thomas,
2002).

Baca juga : Tempat dan Proses Pembentukan Batubara

Gambar sekuen batubara.

Agar dapat memberikan makna genesa dan lingkungan pengendapan


batubaraterhadap kegiatan eksplorasi batubara, memerlukan adanya suatu model
geologi (Prasongko, 1996). Model geologi untuk pengendapan batubara adalah
menerangkan hubungan antara genesa batubara dengan batuan di sekitarnya, dengan
menggunakan perbandingan antara sekuen gambut yang sekarang terbentuk dengan
sekuen batuan yang mengandung batubara dan telah terbentuk pada masa lampau
(Thomas, 2002).

Lingkungan pengendapan batubara erat kaitannya dengan fisiografi cekungan


pengendapan. Menurut Teichimuller (1982; dalam Stach et al, 1982), cekungan
pengendapan bagi perkembangan endapan gambut sebagai bahan asal pembentuk
batubara dipengaruhi oleh :
 Kenaikan muka air tanah yang lambat atau dasar cekungan mengalami penurunan
yang lambat, sehingga endapan gambut terhindar dari abrasi air laut.
 Adanya penghalang rawa-rawa seperti penghalang pantai, gosong pasir atau tanggul
alam untuk melindungi endapan gambut dari banjir air sungai dan abrasi air laut.
 Energi yang rendah dari hinterland (daerah dengan morfologi yang relatif datar dan
perbedaan topografi yang kecil) sehingga tidak ada sedimen fluviatil (kasar) yang
diendapkan.
Menurut Stach et al (1982), berdasarkan posisi geografinya, lingkungan pengendapan
batubara dibedakan menjadi zona paralik (tepi pantai) dan limnik (daratan). Batubara
di dunia lebih dari 90% terbentuk di lingkungan paralik yaitu rawa-rawa yang
berdekatan dengan pantai. Daerah seperti ini dapat dijumpai di dataran pantai, lagun,
delta, atau juga fluvial. Selanjutnya pembahasan masing-masing lingkungan
pengendapan batubara lebih mengacu pada pembagian yang dikemukakan
oleh Horne et al (1978) adalah sebagai berikut:

Lingkungan Pengendapan Barrier : Barrier terbentuk selama delta mengalami


progadasi, dan lalu terjadi pengisian suplai sedimen dari darat dan laut hingga meluas
ke daerah rawa back-barrier (Galloway dan Hobday, 1983). Lingkungan barrier
mempunyai peran penting, yaitu menutup pengaruh oksidasi dari air laut dan
mendukung pembentukan gambut di bagian dataran.

Lingkungan Pengendapan Back-Barrier ; Karakteristik batuan sedimen pada


lingkungan back barrier adalah mengalami coarsening upward, terdapat serpih abu-
abu gelap yang kaya bahan organik, batulanau dan mengandung batubara yang tipis
dengan penyebaran secara lateral yang tidak menerus serta konkresi siderit. Batubara
di daerah lingkungan back–barrier umumnya tipis, tidak menerus, mengandung
banyak sulfur, dan seringkali juga disebut shale hitam atau bone coal (Renton dan
Cecil, 1979 dalam Galloway dan Hobday, 1983). Lempung pada daerah back-barrier
tidak memiliki struktur laminasi dan banyak mengandung kaolin karena adanya
pencucian montmorilinit oleh air asam pada gambut (Staub dan Cohn, 1978 dalam
Galloway dan Hobday, 1983).

Lingkungan Pengendapan Lower Delta Plain ; Lingkungan lower delta plain


didominasi oleh sekuen coarsening upward yang terdiri dari batulumpur dan
batulanau, memiliki ketebalan antara 15-55 m dan penyebaran lateral 8 hingga 10 km.
Bagian bawah dari sekuen sedimen ini adalah batulumpur abu-abu gelap hingga
hitam dan terdapat siderit dan batugamping dengan sebaran yang tidak teratur. Pada
bagian atas sekuen ini sering dijumpai batupasir, menunjukkan adanya peningkatan
energi transportasi pada daerah perairan dangkal ketika teluk terisi endapan sedimen
(Horne et al, 1979 dalam Thomas, 2002). Bila teluk telah cukup terisi maka
tumbuhan akan dapat tumbuh, sehingga dalam kurun waktu tertentu batubara dapat
terbentuk. Namun demikian, tetapi bila teluk tidak terisi penuh, organisme, batupasir,
dan siderit akan terbentuk. Pola umum coarsening upward atau mengkasar keatas
pada interbutary bar di beberapa tempat dapat terputus oleh detritus creavase splays
(Horne et al, 1979, dalam Thomas, 2002).

Lingkungan Pengendapan Upper Delta Plain – Fluvial ; Upper delta plain


merupakan daerah akumulasi gambut dalam jumlah yang tidak banyak, namun
lingkungannya relatif stabil. Endapannya didominasi oleh bentuk linier, tubuh
batupasir lentikuler yang memiliki ketebalan hingga 25 m dan lebar 11 km.
Tumbuhan pada sub-lingkungan upper delta plain akan didominasi oleh pohon-pohon
keras dan akan menghasilkan batubara yang blocky, sedangkan tumbuhan pada lower
delta plain didominasi oleh tumbuhan nipah-nipah pohon yang menghasilkan
batubara berlapis.

Lingkungan Pengendapan Transitional Lower Delta Plain ; Zona diantara lower


dan upper delta plain adalah zona transisi yang mengandung karakteristik litofasies
dari sekuen tersebut yang merupakan juga sekuen bay-fill yang dicirikan oleh litologi
yang berbutir halus dan lebih tipis (1,5 – 7,5 m) daripada sekuen lower delta plain
(Horne et al, 1978). Perkembangan rawa pada lingkungan transisi lower delta plain
sangat intensif, karena adanya pengisian sedimen pada daerah "interdistributary bay"
sehingga dapat terbentuk lapisan batubara yang tersebar luas dengan kecenderungan
agak memanjang sejajar dengan jurus perlapisan.

Sumber Referensi : Thomas, L., 2002, Coal Geology, John Wiley & Sons Ltd,
England, 384 hal. Prasongko, B.K., 1996, Model Pengendapan Batubara Untuk
Menunjang Eksplorasi dan Perencanaan Pertambangan, Program Pascasarjana Institut
Teknologi Bandung, Bandung, 138 hal. Stach, E., Mackowsky, M.TH, Teichmuller,
M., Taylor,G.H., Chandra, and D. Teichmuller, 1982, Stacsh’s text book of coal
petrology, 3rd., Gebruder, Berlin, Stuttgart, 452 hal. Horne, J.C., Ferm, J.C.,
Carucio, F.T., and Baganz, B.P., 1978, Depositional Models in Coal Exploration and
Mining Planning in Appalachian Region, AAPG Bulletin vol 62/no 12, hal 2379-
2411. Galloway, W.E., and Hobday, D.K., 1983, Terrigenous Clastic Depositional
Systems Application to Petroleum, Coal, and Uanium Exploration, Springer-Verlag,
New York, 423 hal.

Anda mungkin juga menyukai