Lingkungan Pengendapan BatuBara
Lingkungan Pengendapan BatuBara
3. Alluvial valley and upper delta plain dengan sub-environments: channels, point
bars, flood plains, swamps, fens, and raised bogs.
4. Lower delta plain dengan sub-environments: delta front, mouth bar, splays,
channels, swamps, fans, and marshes.
5. Back barrier strand plain dengan sub-environments: off-, near-, and backshore,
tidal inlets, lagoons, fens, swamps, and marshes.
Lingkungan barrier
Lingkungan ini mempunyai peran penting, yaitu menutup pengaruh oksidasi dari air
laut dan mendukung pembentukan gambut di bagian daratan. Kriteria utama
mengenal lingkungan barrier adalah pada hubungan lateral dan vertikal dari struktur
sedimen dan pengenalan tekstur batupasir. Kearah laut batupasir butirannya menjadi
semakin halus dan selang-seling dengan serpih gampingan merah kecoklatan sampai
kehijauan.
Hampir 70% endapan batubara dunia dijumpai pada basin aktif, terutama pada
foreland basins, sedangkan sisanya 30% berada pada cratonic basins. Banyak
cekungan batubara mempunyai sejarah yang kompleks sehingga sulit untuk
diklasifikasikan.
Analisis cekungan batubara adalah alat untuk menentukan secara lebih sempurna
konsep batubara sebagai batuan sedimen, sebagai sistem geokimia, dan sebagai
endapan organik dengan asosiasi batuannya.
Ada beberapa tujuan ilmiah yang ingin diketahui dari suatu analisis cekungan
batubara, yaitu:
1. Genesa endapan batubara berdasarkan ruang dan waktu.
Data yang dihimpun adalah data stratigrafi, data lingkungan pengendapan, dan data
struktur geologi.
Data geologi bawah permukaan diperoleh dari pemboran dan metode geofisika,
keduanya akan saling melengkapi, selanjutnya digunakan untuk pengembangan,
pengujian, dan pemodelan dari bermacam hipotesis.
Berdasarkan studi mikroskopik dari berbagai jenis batuan sedimen dan endapan
organik. Antara lain studi maceral, paleosoil, dan underclay oleh Cecil dkk. (1985)
untuk menentukan jenis rawa. Hunt (1982) melakukan studi hubungan komposisi
petrografi, kandungan sulfur, dan lingkungan pengendapannya. Ruppet dkk. (1985)
studi karakteristik butiran kuarsa pada batubara untuk menjelaskan asal mula mineral
yang berada di dalam batubara.
Lapisan batubara mempunyai ketebalan yang bervariasi dan kadang pada jarak yang
pendek/dekat sekalipun. Faktor utama yang menyebabkan variasi ini adalah kondisi
cekungan dan lingkungan pengendapan tempat terbentuknya batubara tersebut. Selain
itu, juga faktor proses-proses geologi yang berlangsung setelah pengendapan
batubara, sepertiu terobosan batuan beku dan erosi (Gambar 6.1).
Lingkungan lower delta plain, rawa-rawa di dalam sungai yang di dominasi oleh
endapan lower delta plain berkembang di atas tanggul-tanggul sepanjang penyebaran
channel. Split terjadi pada lapisan batubara oleh sejumlah endapan creavase splay.
Sebaran lapisan batubara cenderung menerus sepanjang jurus pengendapan, tetapi
juga dapat tidak sejajar jurus pengendapan karena batubara digantikan tempatnya
oleh material bay-fill secara interdistribusi
Lingkungan transtional lower delta plain ditandai oleh perkembangan rawa yang
ekstensif. Lapisan batubara tersebar meluas dengan kecenderungan agak memanjang
sejajar dengan jurus pengendapan. Split juga berkembang di daerah dekat channel
kontemporer dan oleh washout yang disebabkan aktivitas channel subsekuen.
Kondisi roof tergantung dari hubungan antar jenis batuan, struktur yang terbentuk
saat pengendapan, kompaksi pada awal setelah pengendapan, dan terakhir tektronik.
Jenis batuan dapat memberikan cara yang berbeda di dalam proses penambangannya.
Sulfur di dalam lapisan batubara dibentuk oleh bakteri pereduksi sulfat di dalam peat
yang basah. Kadar sulfat di dalam air laut lebih banyak daripada di dalam air tawar
(sungai), sehingga kadar pirit atau sulfur akan naik apabila peat tergenang oleh air
laut atau penambahan sulfur akan lebih banyak terjadi pada batubara yang di atasnya
berasosiasi dengan kondisi marin. Oleh karena itu, kadar dan distribusi sulfur lebih
dipengaruhi oleh lingkungan setelah pembentukan batubara daripada lingkungan pada
saat pembentukan. Mineral pirit, khususnya yang berbentuk framboidal banyak
melimpah pada lapisan batubara yang ditutupi secara langsung oleh lapisan marin
(William & Keith, 1963). Oleh karena itu, lapisan batubara yang terakumulasi pada
daerah-daerah yang dipengaruhi oleh air laut (kondisi marin) atau air payau, maka
akan mengandung pirit framboidal, seperti back barrier dan lower delta plain. Dari
hasil penelitian, sulfur pirit bentuk framboidal dihasilkan oleh pengurangan sulfur
oleh mikroba organisme yang dijumpai di lingkungan marin hingga air payau.
Menurut Caruccio et al (1977), ada empat bentuk pirit pada batubara (Gb. 6.1):
1. Kandungan sulfur yang hadir sebagai markasit atau pirit terjadi dalam bentuk
butiran euhedral dan berbutir kasar (> 25 mikron).
2. Menggantikan material asli tumbuhan (replacement).
4. Framboidal pirit.
Dari keempat macam di atas, maka bentuk framboidal yang paling cepat mengalami
dekomposisi, sehingga menimbulkan air asam tambang pada kegiatan penirisan
tambang. Terlebih bila tidak mengandung material karbonat. Bila menyebar di dalam
batubara, maka tidak dapat dipisahkan pada uji pencucian yang menggunakan larutan
dengan berat jenis 1,5.
1. Sulfur sulfat, biasanya kurang dari 0,05% dan berasal dari abu atau dari bahan
sulfat batubara. Apabila terdapat pada cleat, dapat dihilangkan dengan pencucian.
2. Sulfur pirit, muncul sebagai markasit atau pirit. Markasit diendapkan bersamaan
atau seumur dengan pembentukan batubara dan memiliki ukuran antara 0,5-40 mm.
3. Sulfur organik terikat secara kimia pada struktur molekul hidrokarbon pada
struktur batubara dan tidak dapat dipisahkan.
Oleh karena itu, apabila kandungan sulfur batubara tinggi, maka pengetahuan
mengenai sebaran sulfur melalui lapisan batubara dan bentuk sulfur akan sangat
membantu di dalam menilai aspek ekonomis (pemasaran) batubara.
Sumber Referensi : Thomas, L., 2002, Coal Geology, John Wiley & Sons Ltd,
England, 384 hal. Prasongko, B.K., 1996, Model Pengendapan Batubara Untuk
Menunjang Eksplorasi dan Perencanaan Pertambangan, Program Pascasarjana Institut
Teknologi Bandung, Bandung, 138 hal. Stach, E., Mackowsky, M.TH, Teichmuller,
M., Taylor,G.H., Chandra, and D. Teichmuller, 1982, Stacsh’s text book of coal
petrology, 3rd., Gebruder, Berlin, Stuttgart, 452 hal. Horne, J.C., Ferm, J.C.,
Carucio, F.T., and Baganz, B.P., 1978, Depositional Models in Coal Exploration and
Mining Planning in Appalachian Region, AAPG Bulletin vol 62/no 12, hal 2379-
2411. Galloway, W.E., and Hobday, D.K., 1983, Terrigenous Clastic Depositional
Systems Application to Petroleum, Coal, and Uanium Exploration, Springer-Verlag,
New York, 423 hal.