Anda di halaman 1dari 10

Teori Psikososial Erik

Erikson
Teori Psikososial Erik Erikson dan Aplikasinya

Bagi Pembinaan Orang Dewasa Tengah Baya di Gereja

(Pdt. Junihot M. Simanjuntak, M.Pd.K)

Pendahuluan

Salah satu aspek penting dalam pendidikan Kriten saat ini yang perlu mendapat
perhatian adalah mengenai pembinaan orang dewasa dalam konteks gereja. Kepentingan hal
ini dinilai berdasarkan pergumulan yang sering dihadapi oleh para pendidik Kristen di gereja
dalam beberapa dekade ini, dimana didapati kecilnya peran aktif dari warga jemaat dewasa
untuk ikut terlibat dalam program pembinaan orang dewasa. Berdasarkan hasil penelitian
Michael Harton, hal itu terjadi karena orang dewasa itu sendiri merasa tidak menemukan
kebutuhan mereka dalam pembinaan tersebut.[1] Ferris Jordan mengatakan bahwa hal ini
terjadi karena adanya salah pengertiaan tentang gambaran orang dewasa itu sendiri.[2]
Les Steele menyatakan bahwa teori Erikson dapat membantu kita memberi
pertimbangan pendekatan bagi pendidikan Kristen. Alasannya karena Erikson sendiri
memberi apresiasi atas peran gereja sebagai institusi di dalam budaya yang dapat membantu
kita menyampaikan iman dan harapan. Untuk itu teori Erikson dapat membantu kita
memahami potensi orang dewasa untuk bertumbuh ke arah iman dan pengharapan yang benar
di dalam Tuhan. [3]

Melihat peluang yang terbuka lebar dan kaya atas pemanfaatan teori psikososial Erik
Erikson dalam kepentingan pendidikan orang dewasa di gereja maka saya mencoba
membahas makalah yang berjudul ”Teori Psikososial Erik Erikson dan Aplikasinya bagi
Pembinaan Orang Dewasa Tengah Baya di Gereja”. Tujuannya supaya melalui pegembangan
teori Erikson ini, tugas pembinaan orang dewasa,secara khusus dalam lingkup pembinaan
orang dewasa usia tengah baya di gereja dapat berjalan lebih optimal, efisien dan relevan,
sehingga dapat memberi daya tarik dan minat yang besar bagi orang dewasa itu sendiri untuk
hadir dalam pertemuan-pertemuan yang telah di programkan oleh gereja. Setidaknya juga
dapat memberi gambaran awal bagi gereja dalam penyusunan program dan pengelolaan
pembelajaran bagi orang dewasa, sebagai warga jemaat yang merupakan bagian sentral
dalam gereja itu sendiri.
Untuk memenuhi maksud pembahasan tersebut, maka pertanyaan-pertanyaan berikut
akan dijadikan sebagai alat bantu penelitian literatur, yaitu: Bagaimanakah sketsa biografi
Erikson? Bagaimanakah gambaran teori Erikson dalam pengembangan psikososial manusia?
Apa yang dimaksud dengan generatifitas dalam teori psikososial Erikson? Bagaimana
mengaplikasi teori generatifitas Erikson dalam pembinaan orang dewasa tengah baya di
gereja?

Sketsa Biografi Erikson

Pencarian identitas merupakan fokus perhatian terbesar Erikson dalam kehidupan dan
teorinya. Sebab Erikson dalam membentuk teorinya, sangat berkaitan erat dengan kehidupan
pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya.

Erik Homburger Erikson dilahirkan di Frankurt, Jerman pada tanggal 15 juni 1902.
Ayahnya adalah seorang laki-laki berkebangsaan Denmark yang tidak dikenal namanya dan
tidak mau mengaku Erikson sebagai anaknya sewaktu masih dalam kandungan dan langsung
meninggalkan ibunya. Ibunya bernama Karla Abrahamsen yang berkebangsaan Yahudi. Saat
Erikson berusia tiga tahun ibunya menikah lagi dengan seorang dokter bernama Theodore
Homburger, kemudian mereka pindah kedaerah Karlsruhe di Jerman Selatan. Nama Erik
Erikson dipakai pada tahun 1939 sebagai ganti Erik Homburger.[4]

Pertama kalinya Erikson belajar sebagai “child analyst” melalui sebuah tawaran dari Anna
Freud di Vienna Psycholoanalytic Institute selama kurun waktu kurang lebih tahun 1927-
1933. Kemudian pada tanggal 1 April 1930 Erikson menikah dengan Joan Serson, seorang
sosiologi Amerika yang sedang penelitian di Eropa. Pada tahun 1933 Erikson pindah ke
Denmark dan di sana ia mendirikan pusat pelatihan psikoanalisa. Pada tahun1939 Erikson
pindah ke Amerika Serikat dan menjadi warga Negara tersebut.[5]

Teori Erik Erikson Dalam Pengembangan Psikososial Manusia

Dalam bukunya “Childhood and Society” (1963), Erikson membuat sebuah bagan
untuk mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam
psikososial, yang biasa dikenal dengan istilah “delapan tahap perkembangan manusia”.
Kedelapan tahap perkembangan manusia dalam teori psikososial Erikson tersebut adalah
sebagai berikut:

I. Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan). Tahap ini berlangsung pada masa


oral, pada umur 0-1 tahun atau 1 ½ tahun (infancy)P

Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan kepada bayinya, dan
tidak dapat memberikan rasa hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat
ibunya berpaling dari kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka sendiri,
maka bayi akan mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang
lain.

I. Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu. Tahap kedua ini adalah tahap anus-
otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung
mulai dari usia 1- 3 tahun (Early Childhood)

Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang gerak lingkungan dan kemandirian,
sehingga anak akan mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak
seharusnya bertindak sendirian. Anak dalam perkembangannya pun dapat menjadi pemalu
dan ragu-ragu.

Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian
anak dan tidak pula harus mematikannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang
diperlukan di sini. Teguran yang harus diberikan orangtua kepada anaknya harus “tegas
namun toleran”, karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri
dan harga diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan memiliki fungsi
atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya perasaan ini, anak akan berkembang
ke arah sikap maladaptif yang disebut Erikson sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata
hati), sebaliknya apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu juga
tidak baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang disebut Erikson
compulsiveness. Sifat inilah yang akan membawa anak selalu menganggap bahwa keberadaan
mereka selalu bergantung pada apa yang mereka lakukan, karena itu segala sesuatunya harus
dilakukan secara sempurna. Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka tidak
dapat menghindari suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu dan ragu-
ragu.

I. Inisiatif vs Kesalahan. Tahap inidialami saat anak menginjak usia 4-5 tahun
(preschool age). T,maka di,
Ketidakpedulian (ruthlessness) merupakan hasil dari maladaptif yang keliru, hal ini
terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu minim. Orang
yang memiliki sikap inisiatif sangat pandai mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai
suatu rencana baik itu mengenai sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli terhadap
pendapat orang lain dan jika ada yang menghalangi rencananya apa dan siapa pun yang harus
dilewati dan disingkirkan demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak saat berada
pada periode mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak selalu merasa
bersalah akan mengalami malignansi yaitu akan sering berdiam diri (inhibition). Berdiam diri
merupakan suatu sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba melakukan
apa-apa, sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan merasa terhindar dari suatu
kesalahan.

I. Kerajinan vs Inferioritas. Tahap ini adalah tahap laten yang terjadi pada usia 6-12
tahun (school age)di tingkat ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan
keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran,
misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman
harus menerima kehadirannya.

Tahap ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana yang pada
awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia bahwa
rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam belajar. Anak
pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di
sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat mengembangkan sikap
rajin. Jika anak tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas),
anak dapat mengembangkan sikap rendah diri. Sebab itu, peranan orang tua maupun guru
sangat penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia ini.
Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada umumnya menimpa anak-
anak yang cenderung lebih banyak bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal
ini tidak terlepas dari peranan orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka.
Kecenderungan maladaptif akan tercermin apabila anak memiliki rasa giat dan rajin terlalu
besar yang mana peristiwa ini menurut Erikson disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi lain
jika anak kurang memiliki rasa giat dan rajin maka akan tercermin malignansi yang disebut
dengan kelembaman. Usaha yang sangat baik dalam tahap ini adalah dengan
menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan begitu ada nilai positif yang dapat
dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi.
I. Identitas vs Kekacauan Identitas. Tahap ini merupakan tahap adolesen (remaja),
dimulai saat masa puber dan berakhir pada usia 12-18/anak harus mencapai tingkat
identitas ego. DDalam tahap ini lingkungan semakin luas, tidak hanya berada dalam
area keluarga, sekolah,HalArtinya pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada
dalam tahap pertama/bayi sampai iaApabila tahap-tahap sebelumnya tidak berjalan
secara baik karena

Di sisi lain, jika kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan
kekacauan identitas, maka mereka tidak menyisakan ruang toleransi terhadap masyarakat
yang bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan sebutan
fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran,
cara maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika kekacauan identitas lebih kuat
dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson menyebut malignansi ini dengan sebutan
pengingkaran. Orang yang memiliki sifat ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang
dewasa atau masyarakat. Mereka akan mencari identitas di tempat lain dari kelompok yang
menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka
sebagai bagian dalam kelompoknya.

Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai positif yang dapat dipetik dalam tahap ini,
jikalau antara identitas ego dan kekacauan identitas dapat berlangsung secara seimbang, yang
mana kesetiaan memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan standar yang
berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan, dan ketidak
konsistennya.

I. Keintiman vs Isolasi. Tahap ini terjadi pada masa dewasa awal(young adult), usia
sekitar 18/20-30 tahun. PmampuDari segi

Oleh sebab itu, kecenderungan antara keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan
seimbang guna memperoleh nilai yang positif yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta
berarti kemampuan untuk mengesampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat
rasa saling membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup
hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan
lain-lain.

I. Generativitas vs Stagnasi. Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke


tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 20-an - 55 tahun (middle
adult). Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam terdapat tugas
untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai ialah
dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu
(generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas dicerminkan
dengan . Sikap yang

Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya keseimbangan antara
generativitas dan stagnansi guna mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik yaitu
kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generasional dan otoritisme. Generasional
ialah suatu interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara orang-
orang yang berada pada usia dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan otoritisme yaitu
apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan yang lebih berdasarkan pengalaman yang
mereka alami serta memberikan segala peraturan yang ada untuk dilaksanakan secara
memaksa, sehingga hubungan diantara orang dewasa dan penerusnya tidak akan berlangsung
dengan baik dan menyenangkan.

I. Integritas vs Keputusasaan. Tahap ini disebut tahap usia senja (usia lanjut) . DIni
merupakan tahap yang sulit dilewati menurut pemandangan sebagian orang
dikarenakan mereka sudah merasa terasing dari lingkungan kehidupannya, dimana,

Pengertian Generatifitas Teori Erikson

Generativitas adalah istilah yang diberikan Erikson untuk usia dewasa tengah baya
yang sedang fokus memberikan perhatian untuk membangun dan membimbing generasi
berikutnya.[6]

Dewasa tengah baya ditandai sikap mantap memilih teman hidup dan membangun
keluarga. Dewasa tengah menggunakan energy sesuai kemampuannya untuk menyesuaikan
konsep diri dan citra tubuh terhadap realita fisiologis dan perubahan pada penampilan fisik.

Generatifitas adalah keinginan untuk merawat dan membimbing orang lain. Dewasa
tengah dapat mencapai generatifitas dengan anak-anaknya melalui bimbingan dalam interaksi
sosial dengan generasi berikutnya. Jika dewasa tengah gagal mencapai generatifitas akan
terjadi stagnasi. Hal ini ditunjukkan dengan perhatian yang berlebihan pada dirinya atau
perilaku merusak anak-anaknya dan masyarakat.

Generatifitas mencakup kesadaran bahwa "tak seorang pun di sini kecuali kita."
Dewasa tengah merasakan bahwa dia sekarang bertanggung jawab atas dunia. Mereka
menyadari akan dampak pribadinya di dunia dalam lingkup: pertama, kontribusinya yang
menuntut rasa tanggungjawabnya. Kedua akuntabilitasnya, seperti contoh: "Saya
bertanggung jawab atas apa yang telah saya lakukan", dan p "Aku punya tanggung jawab atas
apa yang telah saya ciptakan".

Kreativitas dewasa awal berbeda dengan generatifitas dewasa tengah baya.


Generatifitas tidak hanya sekedar produktif atau kreatif. Generatifitas melibatkan pengasuhan
orang lain. Dengan kata lain, produktivitas dan kreativitas ditujukan ke arah perkembangan
orang lain. Ekspresi kreatif didominasi oleh apa yang diharapkan orang lain dan keinginan
untuk membuktikan kemampuan. Generatifitas menyerap dorongan untuk membuktikan diri
sendiri dan mengekspresikan diri dalam kapasitas untuk menyatakan kemampuan diri sendiri.

Generatifitas adalah hal yang sangat penting bagi laki-laki dan perempuan dewasa
tengah. Tugasnya memiliki banyak bentuk. Lowenthal dalam penelitiannya, menemukan
kebanyakan perempuan mengalami peningkatan ketidakpuasan perkawinan. Hal ini terjadi
bukan karena masalah monopause, melainkan karena masalah generatifitas. Jika perempuan
hanya mampu memberi kontribusinya dalam hal keluarga, ia lebih cenderung untuk kecewa
oleh perubahan hidup. Baginya tantangannya adalah untuk menemukan daerah baru dan
menyatkan energinya.[7]

Aplikasi Teori Generativitas Erikson

Dalam Pembinaan Orang Dewasa Tengah Baya Di Gereja

Setelah mendalami generatifitas dalam teori psikososial Erikson, dua hal berikut dapat
diaplikasikan dalam pembinaan orang dewasa tengah baya di gereja, yaitu:

Pertama, gereja dapat menciptakan program-program pembinaan berdasarkan


kebutuhan-kebutuhan jemaat dewasa tengah baya seperti berikut:

a. Menyajikan pembinaan yang otentik. Seperti menjawab krisis yang sedang dialami
dewasa usia tengah baya, sehingga melalui pembinaan yang dirancang gereja, mereka dapat
terbebas dari segala bentuk kemunafikan, kepalsuan diri, keluar dari cinta akan diri sendiri,
menerima keberhasilan orang lain sebagai motivasi, dan lainnya. Dari para pemimpin gereja
dituntut kesetiaan sekalipun itu dinilai sangat membosankan. Program diciptakan untuk
tujuan menguji kesabaran.

Terkait dengan hal ini, gereja perlu mempromosikan keterbukaan dalam hubungan
kejemaatan. Materi diberikan melalui acara mendengarkan pengalaman masing-masing
anggota, sehingga melalui hal tersebut mereka menyadari bahwa orang lain juga memiliki
masalah dan perjuangan, dan mendengar bagaimana mereka telah menghadapinya. Gereja
perlu membina kelompok-kelompok diskusi di jemaat dewasa awal dengangkat topik
masalah dan perasaan. Gereja harus menyadari betul bahwa pelayanan yang sejati tidak
hanya datang dari hal-hal yang menyenangkan, tetapi juga datang dari semua momen,
termasuk yang menyakitkan. Gereja yang otentik adalah gereja yang memiliki alasan
alkitabiah yang baik untuk segala apa yang dilakukannya.

b. Menciptakan iklim kebebasan dalam kelas pembinaan. Hal ini sangat perlu bagi
orang dewasa tengah yang sedang berkembang. Doktrin-doktrin yang diajarkan dan khotbah-
khotbah tidak boleh disampaikan tanpa memberi ruang tanya-jawab, sebagai kesempatan
yang diberikan kepada mereka untuk mendapatkan penjelasan. Terkait dengan hal ini,
pembaharuan orang dewasa tengah baya dapat dibangun pula dengan mengajukan kembali
pertanyaan-pertanyaan lama yang tersimpan dalam diri mereka. Sasaran yang dicapai melalui
hal ini adalah, supaya mereka tumbuh menjadi lebih kuat dalam iman.

Kebebasan pilihan topik diskusi yang diciptakan dalam kelas pembinaan orang
dewasa dapat menjadi peluang motivasi. Untuk mencapai itu, mereka membutuhkan ruang
untuk mengeksplorasinya dari gereja yang menawarkan pilihan dengan penuh rasa hormat,
dari gereja yang memberi kebebasan untuk bertanya, dan dari gereja yang memahami
perbedaan individu.

c. Memberi penekanan program pada penuangan empati daripada memberi tekanan


pada orang dewasa itu sendiri. Richard Olson dalam artikelnya “The Mid-Life Dropout”
mengatakan: "Pada dasarnya, saya telah berdebat untuk kepekaan dan dukungan dari
kebutuhan hidup di tengah-tengah orang. Selama bertahun-tahun gereja telah menelan bakat,
waktu, energi, dan uang di tengah-tengah kehidupan orang. Gereja-gereja telah melakukan ini
dengan pengakuan yang akurat tentang berapa banyak orang-orang ini harus memberi. Tapi
orang ini juga memiliki kebutuhan - kebutuhan yang terlalu sering kebutuhannya
diabaikan…" (Baptist Leader 43, no. 3, Juni 1981, h. 32.)

Kedua, mengusung tema-tema teologi yang mengakomodasi bidang-bidang


kebutuhan (rohani, fisik, emosional, dan mental) dalam program pembinaan orang dewasa
tengah baya, seperti berikut ini:

a. Doktrin kedewasaan dalam Kristus. Menurut Alan B. Knox dalam artikelnya


“Issues of Mid-life”, Orang dewasa tengah meskipun banyak yang akrab dengan Alkitab dan
memahami peran Roh Kudus dalam menghasilkan kedewasaan, namun mereka memiliki
ketertarikan dalam beberapa aspek yang lebih kompleks. Mereka tidak menemukan diri
mereka dewasa karena mereka memiliki banyak pertanyaan tentang bagaimana bertumbuh
dalam iman Kristen. Mereka mungkin akan terkejut dan malu serta mengecam kehidupan
masa usia tengah baya mereka dan mereka mempunyai pertanyaan tentang hal itu. Mereka
biasanya meraba-raba beberapa kinerja sebagai standar yang digunakan untuk mengukur diri
mereka sendiri. (dalam Programming for Adults Menghadapi Mid-Life Change, 1979, hal.
125-26.)

b. Doktrin kasih karunia. Perasaan gagal dan rasa bersalah dapat membuat orang
dewasa tengah terjun kedalam kolam penyegaran kasih karunia. Melalui ajaran kasih karunia
mereka perlu untuk mendengarkan firman Tuhan yang berbunyi: "Cukuplah kasih karunia-
Ku bagimu" (2 Korintus 12:9)

c. Teologi gereja. Hal ini perlukan untuk memecahkan banyak konflik batin yang
muncul dari perasaan kegagalan yang mereka hadapi. Sehingga melalui doktin yang diajarkan
ini mampu menyadarkan mereka dan kembali terlibat dalam kepeduliaan terhadap
masyarakat Kristen secara khusus

d. Teologi masyarakat. Kesadaran yang lebih luas tentang masyarakat dan dunia akan
membuat banyak orang dewasa tengah beralih ke isu-isu sosial. Kebenaran Alkitab akan
dibawa untuk mendukung rasa tanggung jawab mereka dalam menghadapi kemelaratan
dunia, perang, aborsi, dan sejumlah masalah sosial lainnya

e. Teologi pengharapan. Kematian dan eskatologi adalah tipu daya bagi orang dewasa
tengah. Kehadiran wahyu menjadi kebutuhan yang besar bagi orang dewasa tengah baya dan
bukan keingin tahuan yang bersifat sambilan atau keisengan belaka. Studi tentang hal-hal
eskatologis, perlu disampaikan sebagai ruang yang membuka pengetahuan mereka tentang
kedaulatan Allah, sekalipun di dalamnya berisi tentang berita akhir zaman yang destruktif,
permukaan dunia yang kacau balau dan penuh dosa. Jika orang dewasa tengah mampu
menemukan dirinya “di dunia gelap”, Tuhan akan menjadi cahaya bagi jalan untuk
membimbing mereka melalui semuanya itu
Penutup

Banyak anggota gereja dewasa, tetapi partisipasi kehadiran mereka dalam ibadah
lebih sedikit. Mereka duduk di bangku dan kemudian pergi, kurang memberi diri. Dan peran
aktif mereka, bergerak ke arah stagnasi dan akhirnya putus asa. Sementara disisi lain, gereja
berlimpah kesempatan untuk memberikan pelayanan kepada orang dewasa, untuk
menerapkan karunia rohani untuk kebutuhan duniawi, untuk partisipasi dan kebergunaan diri
dalam Kerajaan Allah.

Generatifitas adalah inti dari pelayanan pengajaran gereja, di mana orang dewasa
punya tanggung jawab besar untuk menyampaikan kepada anak-anak prasekolah, anak-anak,
pemuda, dan orang dewasa muda tentang prinsip-prinsip hidup dalam Kristus.[8] Beberapa
contoh generatifitas dapat kita lihat melalui kesaksian hidup tokoh-tokoh Alkitab, seperti:
Tuhan Yesus dan rasul Paulus. Yesus memiliki integritas pada akhir hidup-Nya,
kemanusiaan-Nya berbicara, Dia menghabiskan pelayanan-Nya dalam generatifitas aktif:
memberikan diri-Nya pada orang lain. Paulus menghabiskan kehidupannya di kemudian hari
tidak hanya sebagai "hamba Kristus" (Roma 1:1), tetapi menjadikan dirinya sebagai "budak
untuk semua orang, untuk memenangkan sebanyak mungkin" (1 Korintus 9:19). Dia
menyerahkan dirinya kepada orang lain melalui pengajaran dan pemberitaan, melalui
pembinaan dan pelatihan gereja-gereja dan pendeta. Inilah yang disebut generatifitas Kristen.

http//www.theory of psychosocial.com

http//www.theory of psychosocial development.com

sumber:

http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2102731-teori-perkembangan-psikososial-eri...

Anda mungkin juga menyukai