Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Tugas Makalah yang berjudul Teori Perkembangan Psikososial Erikson dan


Perkembangan Moral Kohlberg ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah
Psikologi Pendidikan. Dalam makalah ini dibahas materi tentang pengenalan tentang
laboratorium fisika dan instalasi yang sebaiknya dilakukan di sekolah-sekolah. Penulis banyak
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terutama kepada Dosen
Pengampu Mata Kuliah Psikologi Pendidikan, Ari Khusumadewi, S.Pd., M.Pd. yang telah
memberikan arahan serta bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orangtua, teman-teman dan
kepada semua pihak yang telah banyak membantu baik moral maupun materil dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari akan kekurangan yang terdapat makalah ini. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan dan semoga
makalah ini dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat.

Surabaya, 03 Maret 2017

TIM PENULIS

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
Teori Perkembangan..................................................................................... 1
Teori Perkembangan Psikososial Erikson.......................................................1
Teori Perkembangan Moral Kohlberg............................................................2
BAB II PEMBAHASAN
Tahap-tahap Perkembangan Psikososial Menurut Erikson ...........................4
Kelebihan dan Kekurangan Teori Perkembangan Psikososial Erikson ...........8
Penerapan Teori Perkembangan Menurut Erikson ........................................8
Tahap-tahap Perkembangan Moral Menurut Kohlberg .................................9
Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral........................................12
Kritik terhadap Teori Perkembangan Kohlberg..............................................14
BAB III PENUTUP
Kesimpulan................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. iv

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Teori Perkembangan
Istilah perkembangan merujuk pada bagaimana orang tumbuh,
menyesuaikan diri, dan berubah sepanjang perjalanan hidup mereka,
melalui perkembangan fisik, perkembangan kepribadian,
perkembangan sosioemosional, perkembangan kognitif, dan
perkembangan bahasa.
Ketika anak-anak meningkatkan kemampuan kognitif mereka,
mereka juga mengembangkan konsep diri, cara berinteraksi dengan
orang-orang lain, dan sikap terhahadap dunia ini. pemahaman
tentang perkembangan pribadi dan sosial ini sangat berperan penting
bagi kemampuan guru memotivasi, mengajar, dan berhasil
berinteraksi dengan siswa dalam berbagai usia. Sama seperti
perkembangan kognitif, perkembangan pribadi dan sosial sering
digambarkan dari sudut tahap-tahap. Kita berbicara tentang usia dua
tahun yang mengerikan, bukan usia satu tahun yang mengerikan.
Atau usia tiga tahun yang mengerikan, dan ketika seseorang beraksi
dengan tidak masuk akal dan egois, kita menuduh orang itu, kita
menuduh orang itu berperilaku seperti anak berusia 2 tahun.
Kata-kata remaja dan belasan tahun diasosiasikan dalam budaya
barat dengan sikap memberontak, krisis identitas, pemujaan
pahlawan, dan kesadaran seksual. Semua asosiasi ini mencerminkan
tahap-tahap perkembangan yang kita yakini dialami semua orang.
Bagian ini berfokus pada teori perkembangan pribadi dan sosial yang
dilaporkan Erik Erikson, yang merupakan suatu adaptasi teori-teori
perkembangan psikiater besar Sigmund Freud. Karya Erikson sering
disebut teori psikososial, karena karya tersebut menceritakan prinsip-
prinsip perkembangan psikologis dan sosial.
B. Teori Perkembangan Erik Erikson

1
Erik Erikson ialah seorang yang memiliki tujuan hidup untuk
mencari identitas dalam hidup dan teorinya. Pada usia 25 tahun,
Erikson diminta untuk mengajar disebuah sekolah di Wina. Saat itulah
ketertarikannya terhadap pendidikan anak-anak sehingga ia
mengikuti dan tamat di sekolah pendidikan guru dengan penerapan
metode Montessori.
Beranjak dari penerapan metode Montessori yang Erikson pelajari
maka Erikson kembali mendalami teori Psikoanalisis yang di prakarsai
oleh Freud sehingga Erikson menemukan identitas profesinya. Teori
Erik Erikson tentang perkembangan manusia dikenal dengan teori
perkembangan psiko-sosial. Menurut Erikson, Persamaan ego
merupakan element utama dalam teori tingkatan psikososial yang
diprakarsai oleh Erikson.
Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita kembangkan
melalui interaksi sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego selalu
berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang kita
dapatkan dalam berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya
bahwa kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan dapat
membantu perkembangan menjadi positif, inilah alasan mengapa
teori Erikson disebut sebagai teori perkembangan psikososial. Erikson
memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang
bertingkat/bertahapan.
Menurut Erikson, terdapat delapan tahap perkembangan
terbentang ketika kita melampaui siklus kehidupan. Masing-masing
tahap terdiri dari tugas perkembangan yang khas dan
mengedepankan individu dengan suatu krisis yang harus dihadapi.
Bagi Erikson, krisis ini bukanlah suatu bencana, tetapi suatu titik balik
peningkatan kerentanan dan peningkatan potensi.
Adapun tingkatan yang dijelaskan oleh Erik Erikson meliputi:
N Tingkatan Usia

2
o
1 Trust Vs Mistrust 0-1 tahun
2 Autonomy Vs Shame and 1-3 tahun
doubt
3 Initiave Vs Guilt 4-5 tahun
4 Industry Vs Inferiority 6-11
tahun
5 Identity Vs Identity 12-20
Confusion tahun
6 Intimacy Vs Isolation 21-40
tahun
7 Generality Vs Stagnation 41-65
tahun
8 Integrity Vs Despair +65
tahun

C. Perkembangan Moral menurut Lawrence Kohlberg


Kohlberg mengemukakan teori perkembangan moral berdasar teori Piaget, yaitu
dengan pendekatan organismik (melalui tahap-tahap perkem-bangan yang memiliki
urutan pasti dan berlaku secara universal). Selain itu Kohlberg juga menyelidiki struktur
proses berpikir yang mendasari perilaku moral (moral behavior).Tahapan perkembangan
moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan
penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Teori ini
berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis,
mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti
perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti
Piaget,yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-
tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan
bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan
perkembangannya berlanjut selama kehidupan,walaupun ada dialog yang
mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya. Kohlberg menggunakan cerita-
cerita tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orang-
orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam
persoalan moral yang sama.

3
4
BAB II
PEMBAHASAN

Tahap-tahap Perkembangan Menurut Erikson


1. Trust vs Mistrust (percaya vs tidak percaya)
Suatu tahap psikososial pertama yang dialami dalam tahun
pertama kehidupan. Suatu rasa percaya menuntut perasaan nyaman
secara fisik dan sejumlah kecil ketakutan serta kekuatiran akan masa
depan. Kepercayaan pada masa bayi menentukan harapan bahwa
dunia akan menjadi tempat tinggal yang baik dan menyenangkan.Ini
terjadi pada usia dari lahir sampai satu tahun.
Anak yang mendapatkan kasih sayang dan perlindungan yang
cukup dari orangtua atau orang dewasa disekitarnya. Akan
mempersepsikan dunia ini sebagai tempat yang aman untuk hidup
sehingga ia percaya diri. Rasa kepercayaan menuntut perasaan
nyaman secara fisik dan jumlah ketakutan minimal akan masa depan.
Kebutuhan-kebutuhan dasar bayi dipenuhi oleh pengasuh yang
tanggap dan peka.
2. Otonomi (Autonomy) VS malu dan ragu-ragu (shame and doubt)
Tahap perkembangan kedua yang berlangsung pada masa bayi
dan baru mulai berjalan (1-3 tahun). Setelah memperoleh rasa
percaya kepada pengasuh mereka, bayi mulai menemukan bahwa
perilaku mereka adalah atas kehendaknya. Mereka menyadari
kemauan mereka dengan rasa mandiri dan otonomi mereka. Bila bayi
cenderung dibatasi maka mereka akan cenderung mengembangkan
rasa malu dan keragu-raguan.
Pada usia ini, anak-anak sudah mulai mengenal dunia dengan
cara merangkak, berjalan dan sering sekali harus menghadapi konflik
dengan orang dewasa di sekitarnya. Sering munculnya berbagai
kemauan anak setelah memperoleh kepercayaan dari pengasuh, bayi

5
mulai menemukan bahwa mereka memiliki kemauan yang berasal
dari diri mereka sendiri. Mereka menegaskan rasa otonomi atau
kemandirian mereka. Mereka menyadari kemauan mereka.
3. Inisiatif (Initiative) vs rasa bersalah (Guilt)
Merupakan tahap ketiga yang berlangsung selama tahun-tahun
sekolah. Ketika mereka masuk dunia sekolah mereka lebih tertantang
dibanding ketika masih bayi. Anak-anak diharapkan aktif untuk
menghadapi tantangan ini dengan rasa tanggung jawab atas perilaku
mereka, mainan mereka, dan hewan peliharaan mereka. Anak-anak
bertanggung jawab meningkatkan prakarsa. Namun, perasaan
bersalah dapat muncul, bila anak tidak diberi kepercayaan dan dibuat
mereka sangat cemas.
Ini terjadi pada usia 4 sampai 5 tahun. Pada usia ini anak sudah
mulai punya kemampuan motori dan mental yang bagus. Dia juga
sudah mulai mengenal dunia luar. Orang tua yang memberikan
kesempatan kepada anak ntuk bereksplorasi melalui permainan, maka
akan mengembangkan inisiatif dan kreativitas anak.
Ketika anak-anak prasekolah menghadapi dunia sosial yang lebih
luas, mereka lebih tertantang dan perlu mengembangkan perilaku
yang lebih bertujuan untuk mengatasi tantangan-tantangan ini. Anak-
anak diharapkan menerima tanggung jawab yang lebih besar. Namun,
perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul jika anak-
anak tidak bertanggung jawab dan dibuat merasa terlalu cemas.
4. Industry vs inferiority (tekun vs rasa rendah diri)
Berlangsung selama tahun-tahun sekolah dasar. Tidak ada
masalah lain yang lebih antusias dari pada akhir periode masa awal
anak-anak yang penuh imajinasi. Ketika anak-anak memasuki tahun
sekolah dasar, mereka mengarahkan energi mereka pada penguasaan
pengetahuan dan keterampilan intelektual. Yang berbahaya pada
tahap ini adalah perasaan tidak kompeten dan tidak produktif.

6
Ketika anak mulai masuk SD, dia sudah bisa merasakan nilai
sebuah prestasi. Orang tua yang memotivasi anak untuk berprestasi
ini akan mengembangkan kapasitas industri. Tidak ada masalah lain
yang lebih antusias dari pada akhir periode masa awal anak-anak
yang penuh imajinasi. Ketika anak-anak memasuki tahun-tahun
sekolah dasar, mereka mengarahkan energi mereka pada penguasaan
pengetahuan dan ketrampilan intelektual yang berbahaya pada tahap
ini adalah perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif.
5. Identity vs identify confusion (identitas vs kebingungan identitas)
Tahap kelima yang dialami individu selama tahun-tahun masa
remaja. Pada tahap ini mereka dihadapkan oleh pencarian siapa
mereka, bagaimana mereka nanti, dan ke mana mereka akan menuju
masa depannya. Satu dimensi yang penting adalah penjajakan
pilihan-pilihan alternatif terhadap peran. Penjajakan karir merupakan
hal penting. Orangtua harus mengijinkan anak remaja menjajaki
banyak peran dan berbagai jalan. Jika anak menjajaki berbagai peran
dan menemukan peran positif maka ia akan mencapai identitas yang
positif. Jika orangtua menolak identitas remaja sedangkan remaja
tidak mengetahui banyak peran dan juga tidak dijelaskan tentang
jalan masa depan yang positif maka ia akan mengalami kebingungan
identitas.
Individu dihadapkan pada temuan siapa mereka, bagaimana
mereka kira-kira nantinya, dan ke mana mereka menuju dalam
kehidupannya. Satu dimensi yang penting ialah penjajakan pilihan-
pilihan alternatif terhadap peran. Penjajakan karir merupakan hal
penting.
6. Intimacy vs isolation (keintiman vs keterkucilan)
Individu menghadapi tugas perkembangan pembentukan relasi
yang akrab dengan orang lain. Erikson menggambarkan keakraban
sebagai penemuan diri sendiri, tetapi kehilangan diri sendiri pada diri

7
orang lain. Tahap keenam yang dialami pada masa-masa awal
dewasa. Pada masa ini individu dihadapi tugas perkembangan
pembentukan relasi intim dengan orang lain. Saat anak muda
membentuk persahabatan yang sehat dan relasi akrab yang intim
dengan orang lain, keintiman akan dicapai, kalau tidak, isolasi akan
terjadi.
Masa Dewasa Awal (young adulthood) ditandai adanya
kecenderungan intimacy isolation. Kalau pada masa sebelumnya,
individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya, namun
pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Mereka sudah
mulai selektif, dia membina hubungan yang intim hanya dengan
orang-orang tertentu yang sepaham. Jadi pada tahap ini timbul
dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-
orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang
lainnya.
7. Generativity vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan)
Persoalan utama ialah membantu generasi muda dalam
mengembangkan dan mengarahkan kehidupan yang berguna. Tahap
ketujuh perkembangan yang dialami pada masa pertengahan dewasa.
Persoalan utama adalah membantu generasi muda mengembangkan
dan mengarahkan kehidupan yang berguna (generality). Perasaan
belum melakukan sesuatu untuk menolong generasi berikutnya
adalah stagnation.
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan
ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun.
Masa Dewasa (Adulthood) ditandai adanya kecenderungan
generativity-stagnation. Sesuai dengan namanya masa dewasa, pada
tahap ini individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala
kemampuannya.

8
Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak,
sehingga perkembangan individu sangat pesat. Meskipun
pengetahuan dan kecakapan individu sangat luas, tetapi dia tidak
mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan kecakapan,
sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk
mengerjakan atau mencapai hal hal tertentu ia mengalami
hambatan. Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap ke
enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan
salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna
keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan
tidak berbuat apa-apa (stagnasi).
Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini
adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui
generativitas akan dapat dicerminkan sikap memperdulikan orang
lain. Pemahaman ini sangat jauh berbeda dengan arti kata stagnasi
yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap yang dapat
digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap
siapapun.
8. Integrity vs despair (integritas vs putus asa)
Individu menoleh masa lalu dan mengevaluais apa yang telah
mereka lakukan dalam kehidupan mereka. Menoleh kembali kemasa
lalu dapat bersifat positif (keutuhan) atau negarif (putus asa). Tahap
kedelapan yang dialami pada masa dewasa akhir. Pada tahun terakhir
kehidupan, kita menoleh ke belakang dan mengevaluasi apa yang
telah kita lakukan selama hidup. Jika ia telah melakukan sesuatu yang
baik dalam kehidupan lalu maka integritas tercapai. Sebaliknya, jika ia
menganggap selama kehidupan lalu dengan cara negatif maka akan
cenderung merasa bersalah dan kecewa.
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja
yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke

9
atas. Masa hari tua (Senescence) ditandai adanya kecenderungan ego
integrity despair. Pada masa ini individu telah memiliki kesatuan
atau intregitas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah
menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak
digoyahkan oleh usianya yang mendekati akhir. Mungkin ia masih
memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang akan dicapainya tetapi
karena faktor usia, hal itu sedikit sekali kemungkinan untuk dapat
dicapai. Dalam situasi ini individu merasa putus asa. Dorongan untuk
terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan kemampuan karena
usia seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga
keputusasaan acapkali menghantuinya.

Kelebihan dan Kekurangan Teori Erikson


Shaffer (2005) mengatakan banyak orang lebih memilih teori Erikson
daripada Freud karena mereka hanya menolak untuk percaya bahwa
manusia didominasi oleh naluri seksual mereka. Erikson menekankan
banyak konflik sosial dan dilema pribadi yang dialami seseorang atau
orang yang mereka kenal, sehingga mereka dapat dengan mudah
mengantisipasinya. Erikson tampaknya telah menangkap banyak isu
sentral dalam kehidupan yang dituangkannya dalam delapan tahapan
perkembangan psikososialnya. Selain itu, rentang usia yang yang
dinyatakan dalam teori Erikson ini mungkin merupakan waktu terbaik
untuk menyelesaikan krisis yang dihadapi, tetapi itu bukanlah satu-
satunya waktu yang mungkin untuk menyelesaikannya (Slavin, 2006).
Selain memiliki kelebihan, teori Erikson juga memiliki beberapa
kelemahan. Berikut beberapa kritikan terhadap teori Erikson.
- Tidak semua orang mengalami kasus yang sama pada fase dan
waktu yang sama seperti yang dikemukakan Erikson dalam teori
perkembangan psikososialnya (Slavin, 2006).

10
- Teori ini benar-benar hanya pandangan deskriptif dari perkembangan
sosial dan emosional seseorang yang tanpa menjelaskan bagaimana
atau mengapa perkembangan ini bisa terjadi (Shaffer, 2005).
- Teori ini lebih sesuai untuk anak laki-laki daripada untuk anak
perempuan dan perhatiannya lebih diberikan kepada masa bayi dan
anak-anak daripada masa dewasa. (Cramer, Craig, Flynn,
Bernadette. & LaFave, Ann, 1997).

Penerapan Teori Erikson dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar


Seorang anak memasuki sekolah dasar pada usia 6 tahun. Menurut
teori Erikson, usia ini sudah memasuki fase ke-IV, yaitu industry vs
inferiority. Siswa yang masuk ke dalam suatu sekolah memiliki latar
belakang akademik dan sosial yang berbeda-beda. Agar pembelajaran
menjadi lebih efisien dan efektif, hendaknya seorang guru harus
mengenali karakteristik peserta didiknya agar lebih mudah dalam
mengembangkan model pembelajaran yang akan digunakan dalam
mengajar (Hanurawan, 2007).
Pada tahap ini, hendaknya guru dapat memotivasi siswanya agar
dapat melalui fase ini dengan baik, sehingga siswa tidak merasa rendah
diri akan kelurangan yang dimilikinya. Menurut teori Piaget, anak pada
usia 7-11 tahun akan memasuki tahap concrete operational stage, dimana
anakmenerapkan logika berpikir pada barang-barang yang konkrit (Slavin,
2006). Pembelajaran karakter sangat tepat diterapkan pada anak usia ini,
sebab anak pada usia ini cenderung untuk meniru segala perbuatan
maupun perkataan yang dilihat maupun didengar yang dilakukan oleh
orang-orang yang berada di sekitarnya. Oleh sebab itu, hendaknya
seorang guru mampu memberikan contoh yang baik kepada anak usia ini
dengan berperilaku dan bertutur kata yang sopan. Pembelajaran karakter
ini diharapkan dapat menjadi bekal bagi siswa untuk dapat melewati fase-
fase perkembangan psikososial selanjutnya dengan baik.

11
Tiga Level dan Enam Tahap Penalaran Moral menurut Kohlberg

Level Rentang Usia Tahap Esensi Penalaran Moral


Level 1 : Ditemukan pada Tahap 1 : Orang membuat keputusan
Moralitas anak-anak Hukuman berdasarkan apa yang terbaik
prakonvensional prasekolah, penghindaran bagi mereka, tanpa
sebagian besar dan kepatuhan mempertimbangkan kebutuhan
anak-anak SD, (Punishment atau perasaan orang lain. Orang
sejumlah siswa avoidance and mematuhi peraturan hanya jika
SMP, dan obedience) peraturan tersebut dibuat oleh
segelintir siswa orang-orang yang lebih
SMU berkuasa, dan mereka mungkin
melanggarnya bila mereka
merasa pelanggaran tersebut
tidak ketahuan orang lain.
Perilaku yang salah adalah
perilaku yang akan
mendapatkan hukuman
Tahap 2 : Saling Orang memahami bahwa orang
memberi dan lain juga memiliki kebutuhan.
menerima Mereka mungkin mencoba
(Exchange of memuaskan kebutuhan orang
favors) lain apabila kebutuhan mereka
sendiri pun akan memenuhi
perbuatan tersebut (bila kamu
mau memijat punggungku; aku
pun akan memijat
punggungmu). Mereka masih
mendefinisikan yang benar dan
yang salah berdasarkan

12
konsekuensinya bagi diri
mereka sendiri.

Level 2 : Ditemukan pada Tahap 3 : Anak Orang membuat keputusan


Moralitas segelintir siswa baik (good melakukan tindakan tertentu
konvensional SD tingkat akhir, boy/good girl) semata-mata untuk
sejumlah siswa menyenangkan orang lain,
SMP, dan terutama tokoh-tokoh yang
banyak siswa memiliki otoritas (seperti guru,
SMU (Tahap 4 teman sebaya yang populer).
biasanya tidak Mereka sangat peduli pada
muncul sebelum terjaganya hubungan
masa SMU) persahabatan melalui sharing,
kepercayaan, dan kesetiaan, dan
juga mempertimbangkan
perspektif serta maksud orang
lain ketika membuat keputusan.
Tahap 4 : Orang memandang masyarakat
Hukum dan tata sebagai suatu tindakan yang
tertib (Law and utuh yang menyediakan
keteraturan). pedoman bagi perilaku. Mereka
memahami bahwa peraturan itu
penting untuk menjamin
berjalan harmonisnya kehidupan
bersama, dan meyakini bahwa
tugas mereka adalah mematuhi
peraturan-peraturan tersebut.
Meskipun begitu, mereka
menganggap peraturan itu
bersifat kaku (tidak fleksibel);
mereka belum menyadari bahwa

13
sebagaimana kebutuhan
masyarakat berubah-ubah,
peraturan pun juga seharusnya
berubah.
Level 3 : Jarang muncul Tahap 5 : Orang memahami bahwa
Moralitas sebelum masa Kontrak Sosial peraturan-peraturan yang ada
postkonvensional kuliah (Social contract). merupakan representasi dari
persetujuan banyak individu
mengenai perilaku yang
dianggap tepat. Peraturan
dipandang sebagai mekanisme
yang bermanfaat untuk
memelihara keteraturan social
dan melindungi hak-hak
individu, alih-alih sebgai
perintah yang bersifat mutlak
yang harus dipatuhi semata-
mata karena merupakan
hukum. Orang juga
memahami fleksibilitas sebuah
peraturan; peraturan yang tidak
lagi mengakomodasi kebutuhan
terpenting masyarakat bisa dan
harus dirubah.
Tingkat 6 : Orang-orang setia dan taat pada
Prinsip etika beberapa prinsip abstrak dan
universal (tahap universal (misalnya, kesetaraan
ideal yang semua orang, penghargaan
bersifat terhadap harkat dan martabat
hipotetis, yang manusia, komitmen pada
hanya dicapai keadilan) yang melampaui

14
segelintir orang) norma-normadan peraturan-
peraturan yang spesifik. Mereka
sangat mengikuti hati nurani dan
karena itu bisa saja melawan
peraturan yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip etis
mereka sendiri.

Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan moral.


Para peneliti perkembangan telah mengidentifikasi sejumlah factor
yang berhubungan dengan perkembangan penalaran dan perilaku moral :
perkembangan kognitif umum, perkembangan rasio dan rationale, isu dan
dilema moral, dan perasaan diri.
1. Perkembangan Kognitif Umum.
Penalaran moral yang tinggi (advanced) penalaran yang dalam mengenai hokum
moral dan nilai-nilai luhur seperti kesetaraan, keadilan, hak-hak asasi manusia
memerlukan refleksi yang mendalam mengenai ide-ide abstrak. Dengan demikian dalam
batas-batas tertentu, perkembangan moral bergantung pada perkembangan kognitif
(Kohlberg, 1976;Nucci,2006;Turiel,2002). Sebagai contoh, anak-anak yang secara
intelektual (gifted) berbakat umumnya lebih sering berpikir tentang isu moral dan
bekerja keras mengatasi ketidakadilan di masyarakat local ataupun dunia secara umum
ketimbang teman-teman sebayanya (silverman,1994). Meski demikian, perkembangan
kognitif tidak menjamin perkembangan moral. Terkadang siswa berpikir abstrak
mengenai materi akademis dan pada saat yang sama bernalar secara prakonvensional,
yang berpusat pada diri sendiri (Kohlberg, 1976; Silverman, 1994).
2. Penggunaan Ratio dan Rationale.
Anak-anak lebih cenderung memperoleh manfaat dalam perkembangan moral
ketika mereka memikirkan kerugian fisik dan emosional yang ditimbulkan perilaku-
perilaku tertentu terhadap orang lain. Menjelaskan kepada anak-anak alasan perilaku-
perilaku tertentu tidak dapat diterima, dengan focus pada perspektif orang lain, dikenal
sebagai induksi(induction) (M.L.Hoffman,1970,1975).
3. Isu dan Dilema Moral.

15
Dalam teorinya mengenai perkembangan moral, Kohlberg menyatakan bahwa
anak-anak berkembang secara moral ketika mereka menghadapi suatu dilema moral
yang tidak dapat ditangani secara memadai dengan menggunakan tingkat penalaran
moralnya saat itu dengan kata lain, ketika anak menghadapi situasi yang menimbulkan
disequilibrium. Upaya untuk membantu anak-anak yang menghadapi dilemma semacam
itu, Kohlberg menyarankan agar guru menawarkan penalaran moral satu tahap diatas
tahap yang dimiliki anak saat itu. Kohlberg (1969) percaya bahwa dilema moral dapat
digunakan untuk memajukan tingkat penalaran moral anak, tetapi hanya setahap demi
setahap. Dia berteori bahwa cara anak-anak melangkah dari satu tahap ke tahap berikut
ialah dengan berinteraksi dengan orang-orang lain yang penalarannya berada satu atau
paling tinggi dua tahap di atas tahap mereka.
4. Perasaan Diri.
Anak-anak lebih cenderung terlibat dalam perilaku moral ketika mereka berpikir
bahwa sesungguhnya mampu menolong orang lain dengan kata lain ketika mereka
memiliki pemahaman diri yang tinggi mengenai kemampuan mereka membuat suatu
perbedaan (Narfaez & Rest,1995). Lebih jauh, pada masa remaja, beberapa anak muda
mulai mengintegrasikan komitmen terhadap nilai-nilai moral terhadap identitas mereka
secara keseluruhan (M.L.Arnold,2000; Biyasi,1995; Nucci,2001). Mereka menganggap
diri mereka sebagai pribadi bermoral dan penuh perhatian, yang peduli pada hak-hak
dan kebaikan orang lain. Tindakan altruistic dan bela rasa yang mereka lakukan tidak
terbatas hanya pada teman-teman dan orang-orang yang mereka kenal saja, melainkan
juga meluas ke masyarakat.

Kritik terhadap Teori Kohlberg


Salah satu keterbatasan karya Kohlberg ialah bahwa hal itu
kebanyakan melibatkan anak laki-laki. Riset tentang penalaran moral anak
perempuan menemukan pola yang agak berbeda dari pola yang
disodorkan Kohlberg. Apabila penalaran moral anak laki-laki terutama
berkisar di seputar masalah keadilan, anak perempuan lebih tertarik
dengan masalah-masalah kepedulian dan tanggung jawab terhadap orang-
orang lain (Gilligan, 1982; 1985; Gilligan & Attanucci, 1988; Haspe &
Baddeley,1991). Carol Gilligan telah berpendapat, misalnya, bahwa pria

16
dan wanita menggunakan kriteria moral yang berbeda: bahwa penalaran
moral pria difokuskan pada hak masing-masing orang, sedangkan
penalaran moral wanita difokuskan lebih pada tanggung jawab masing-
masing bagi orang lain.
Kritik lain terhadap karya Kohlberg ialah bahwa anak-anak yang masih
muda sering dapat bernalar tentang situasi moral dengan cara yang lebih
canggih daripada tahap yang diusulkan teori (Rest,Edwards & Thoma,1997).
Akhirnya, Turiel (1998)telah berpendapat bahwa anak-anak yang masih muda menarik
perhatian antara aturan-aturan moral, seperti tidak boleh berdusta dan mencuri, yang
didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, dan aturan-aturan sosial-konvensional, seperti tidak
boleh mengenakan piyama ke sekolah, yang didasarkan pada konsensus dan etiket sosial.
Keterbatasan terpenting teori Kohlberg ialah bahwa hal itu berkaitan dengan penalaran
moral alih-alih dengan perilaku aktual (Arnold, 2000). Banyak orang pada tahap yang berbeda
berperilaku yang sama, dan orang-orang pada tahap yang sama sering berperilaku dengan cara
yang berbeda (Walker & Henning, 1997). Selain itu, konteks dilemma moral berperan penting.
Thoma dan Rest (1999) dan Rest et al. (1999) berpendapat bahwa penjelasan tentang perilaku
moral harus memerhatikan penalaran moral tetapi juga kemampuan menafsirkan dengan tepat
apa yang terjadi dalam situasi sosial, motivasi mempunyai perilaku yang bermoral, dan
kemampuan sosial yang perlu untuk benar-benar melakukan suatu rencana tindakan moral.

17
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Erikson mendefinisikan ego sebagai kemampuan pribadi untuk
menyatukan pengalaman dan tindakan dengan cara yang adaptif (Erikson,
1963). Erikson (1968) mengidentifikasikan tiga aspek ego yang saling
terkait: ego-tubuh, ideal-ego, dan identitas-ego. Ego-tubuh (body ego)
mengacu pada pengalaman-pengalaman dengan tubuh kita, sebuah cara
melihat diri fisik kita sebagai hal yang berbeda dari milik orang lain. Kita
mungkin dapat merasa puas atau tidak dengan cara tubuh terlihat atau
berfungsi namun, kita sadar kalau hanya tubuh ini saja yang kita miliki.
Ideal-ego (ego ideal) merepresentasikan imaji-imaji yang kita miliki
tentang diri kita sendiri jika dibandingkan dengan gambar ideal ego yang
lain. Ideal ego bertanggung jawab bagi rasa puas atau tidak, bukan hanya
yang berkaitan dengan diri fisik kita namun, juga dengan seluruh identitas
personal kita. Identitas-ego (ego identity) adalah imaji yang kita miliki
tentang diri kita di beragam peran social yang kita mainkan. Meskipun
remaja biasanya merupakan masa saat ketiga komponen ini berubah
paling cepat, perubahan-perubahan di dalam ego-tubuh, ideal-ego dan
identitas-ego dapat dan selalu terjadi di setiap tahap kehidupan.
Moral adalah sikap perilaku seseorang yang didasari oleh norma -
norma hukum yang berada dilingkungan tempat dia hidup. Jadi seseorang
dapat dikatakan memiliki moral adalah ketika seseorang sudah hidup
dengan mentaati hukum - hukum yang berlaku di tempat dia hidup.
Sedangkan Menurut Lawrence Kohlberg. Tahapan perkembangan moral
adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan
perkembangan penalaran moralnya.
Menurut Kohlberg ada 6 tahapan perkembangan moral yang dapat
teridentifikasi, hal ini didasarkan pada teorinya yang berpandangan bahwa
penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis,. Ia mengikuti

18
perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang
semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas
berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas
pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan
moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan
perkembangannya berlanjut selama kehidupan walaupun ada dialog yang
mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Cramer, Craig, Flynn, Bernadette. & LaFave, Ann. 1997. Critiques &
Controversies of Erikson.
[Online:http://web.cortland.edu/andersmd/erik/crit.html] diakses pada
tanggal 18 September 2013.
Erik Erikson. [Online: http://en.wikipedia.org/wiki/Erik_Erikson] diakses
pada tanggal 20 September 2013.
Hanurawan, Fattah. 2007. Karakteristik Psikologi Siswa dan Pengembagan
Metode Pembelajaran. Jurnal Pendidikan Nilai, 14 (2): 92-100.
Kongkoh. 2010. Teori Perkembangan Psikososial Erik Erikson.
[Online:http://kongkoh.blogspot.com/2010/01/teori-perkembangan-
psikososial-erik.html] diakses pada tanggal 19 September 2013.
Shaffer, David R. 2005. Social and Personality Development. United States
of America: Thomson Wadsworth.
Slavin, Robert E. 2006. Educational Psychology: Theory and Practice.
United State of America: Pearson.

Anda mungkin juga menyukai