Anda di halaman 1dari 8

CIRI - CIRI DAN KEKUATAN

PSIKOLOGI POSITIF

KELOMPOK 4 :
1. Inayatul Nikmah ( 201660001 )
2. Arienta Naily Saadah ( 201660059 )
3. Nihayatul Khusnah ( 201660068 )
4. Moh Chaerul ( 201660093 )

Universitas Muria Kudus


Tahun 2017
MATERI

Penjelasan tentang definisi psikologi positif yaitu:

Psikologi positif selalu mendasarkan diri pada sains. Dengan demikian, semua
klaim, pengetahuan, dan aplikasi psikologi positif selalu telah diuji melalui
penelitian yang menggunakan standar yang tinggi, sehingga dapat
dipertanggungjawabkan.
Psikologi positif memberi posisi yang sentral pada karakter (virtues &
strenghts), sehingga manusia menjadi penentu utama
kebahagiaan/ketidakbahagiaannya sendiri. Pilihan-pilihan moral yang diambil
manusia menjadi penentu utama, dan bukan terutama kekuatan-kekuatan lain
yang diluar kendalinya seperti pengondisian lingkungan ataupun faktor-faktor
biologis. Moralitas, yaitu pembedaan akan yang baik dan yang buruk, serta
pilihan akan yang baik, selalu menjadi fondasi kebahagiaan manusia.
Psikologi positif memiliki suatu konsep sentral yang dapat mempersatukan
berbagai studi yang beraneka ragam, dari berbagai ahli yang berbeda-beda,
dalam suatu gambaran yang utuh. Konsep yang dimaksud adalah authentic
happiness. Ini adalah suatu keuntungan besar, karena dengan adanya suatu
kerangka umum yang mempersatukan ini, beberbagai studi yang berbeda-beda
misalnya studi tentang emosi, grit, calling, flow dan mindfulness. Dapat
memiliki tempatnya masing-masing dalam kerangka tersebut, menjadi bagian
dari pergumulan manusia untuk menjadi bahagia.

Seligman memperkenalkan prinsip-prinsip dasar Psikologi Positif, ciri-ciri


kebahagiaan yang autentik, dan faktor-faktor pendukungnya. Dengan metode-metode praktis
yang dirumuskannya, manusia dapat memanfatkan temuan-temuan terbaru dari sains
kebahagiaan untuk mengukur dan mengembangkan kebahagiaan dalam hidup Anda.
Pada tahun 2000, Martin Seligman dan Mihaly Csikszentmihalyi menyatakan Kami percaya
bahwa psikologi positif akan muncul fungsi manusia yang mencapai pemahaman ilmiah dan
efektif untuk membangun berkembang dalam individu, keluarga, dan masyarakat. Psikologi
positif mencari untuk mencari dan membina jenius dan bakat , dan untuk membuat
kehidupan normal lebih memuaskan , tidak hanya untuk mengobati penyakit mental.
Pendekatan ini telah menciptakan banyak menarik di sekitar subjek, dan pada tahun 2006 studi
di Universitas Harvard yang berjudul Psikologi Positif menjadi kursus semester yang paling
popular.

.
Menurut Seligman, Psikologi bukan hanya studi tentang kelemahan dan kerusakan:
psikologi juga adalah studi tentang kekuatan dan kebajikan. Pengobatan bukan hanya
memperbaiki yang rusak; pengobatan juga berarti mengembangkan apa yang terbaik yang ada
dalam diri kita. Misi Seligman ialah mengubah paradigma psikologi, dari psikologi patogenis
yang hanya berkutat pada kekurangan manusia ke psikologi positif, yang berfokus pada
kelebihan manusia.
Berfokus terhadap penanganan berbagai masalah bukanlah hal baru dalam dunia psikologi.
Sejak dulu, manusia selalu dipandang sebagai makhluk yang bermasalah. Sejak awal mula
munculnya aliran psikologi (aliran behaviorisme), manusia dipandang sebagai suatu mekanik
yang penuh dengan banyak masalah. Aliran ini kemudian melihat masalah yang ada pada
manusia, belum lagi dengan mashab psikoanalisis yang melihat kenangan masa lalu sebagai
penyebab penderitaan yang ada saat ini. Apapun itu, psikologi yang berkembang selama
bertahun-tahun lamanya lebih memedulikan kekurangan ketimbang kelebihan yang ada pada
manusia. Itulah sebabnya psikologi yang berkutat pada masalah sering disebut sebagai
psikologi negatif.

Psikologi positif berhubungan dengan penggalian emosi positif, seperti bahagia,


kebaikan, humor, cinta, optimis, baik hati, dan sebagainya. Sebelumnya, psikologi lebih
banyak membahas hal-hal patologis dan gangguan-gangguan jiwa juga emosi negatif, seperti
marah, benci, jijik, cemburu dan sebagainya. Dalam Richard S. Lazarus, disebutkan bahwa
emosi positif biasanya diabaikan atau tidak ditekankan, hal ini tidak jelas kenapa demikian.
Kemungkinan besar hal ini karena emosi negatif jauh lebih tampak dan memiliki pengaruh
yang kuat pada adaptasi dan rasa nyaman yang subyektif dibanding melakukan emosi positif.
Contohnya, pada saat kita marah, maka ada rasa nyaman yang terlampiaskan, rasa superior,
dan sebagainya. Ada suatu penelitian mengatakan bahwa marah adalah emosi yang dipelajari,
sehingga dia akan cenderung untuk mengulangi hal yang dirasa nyaman.
Psikologi positif tidak bermaksud mengganti atau menghilangkan penderitaan, kelemahan atau
gangguan (jiwa), tapi lebih kepada menambah khasanah atau memperkaya, serta untuk
memahami secara ilmiah tentang pengalaman manusia.

Dari penjelasan panjang lebar mengenai psikologi positif di atas, penulis kemudian
menemukan benang merah antara psikologi positif dan Etika Keutamaan dan Etika
Eudaimonia.

II. Hidup untuk Menuju Kebahagiaan

Aristoteles menyatakan bahwa tujuan akhir manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia).


Dengan mencapai kebahagiaan, manusia tidak memerlukan apa-apa lagi. Menurutnya,
sangatlah tidak masuk akal jika sudah mencapai kebahagiaan, manusia masih mencari hal lain
dalam hidupnya. Menurutnya, pengetahuan saja tidak cukup, orang harus melakukan
tindakan.Tindakan yang dilakukan bukanlah tindakan sembarang, tetapi tindakan yang
mencerminkan kemampuan manusia. Inilah yang disebut dengan rasio. Rasio membuat dua
buah pola kehidupan manusia, antara lain:

1.Theoria

Theoria artinya memandang (theorein), yaitu merenungkan suatu realitas secara


mendalam. Hal ini melibatkan jiwa manusia (logos atau roh). Menurut Aristoteles, kegiatan
ini adalah kegiatan yang paling luhur dan membahagiakan.

2.Praxis

Praxis menjelaskan kebahagiaan dalam relasi antar manusia. Praxis diwujudkan melalui
tindakan-tindakan dalam sebuah komunitas (keluarga, masyarakat,negara) untuk sebuah
pencapaian kebahagiaan bersama. Praxis yang benar dijelaskan dalam sebuah buku Ethica
Nikomacheia yang di dalamnya dirumuskan tentang keutamaan etis. Keutamaan etis
dirumuskan sebagai jalan tengah antara yang ekstrem dan berlawanan. Misalnya keberanian
sebagai jalan tengah dari pengecut dan gegabah. Selain keutamaan etis, terdapat juga
keutamaan akal budi yang mengupayakan kesempurnaan dari akal budi itu sendiri seperti
kebijaksanaan dan kepintaran.

Etika Keutamaan dan Etika Tindakan Benar


Menilik sejarah etika Nichomachea pertanyaan sentral dari Aristoteles menyangkut karakter
berkisar pada pertanyaan apakah kebaikan manusia itu. Jawabannya selalu ada hubungannya
antara kebaikan manusia, aktivitas jiwa, dan keutamaan. Keutamaan yang dimaksud
menyangkut keberanian, kontrol diri, kemurahan hati, dan kejujuran. Demikian juga dengan
filsuf Plato ketika mempertanyakan pribadi yang baik maka akan menunjuk pada keutamaan
sebagai pusatnya.
Dalam perjalanan waktu muncul Kristianisme yang notabene orang-orang Yahudi yang
menganut monoteisme. Mereka memandang Allah sebagai pemberi hukum. Bagi mereka
hidup yang benar adalah taat pada perintah Ilahi. Dengan demikian mereka akan memperoleh
pahala dan kebahagiaan.
Sesudah zaman Renaissance para filsuf tidak kembali ke jalan pikiran Yunani tetapi
menggantikan hukum Ilahi dengan pandangan sekular yang disebut Hukum Moral dan
hukum moral ini lebih dianggap muncul dari akal budi manusia dari pada perintah Ilahi serta
diterima sebagai hukum-hukum yang menetapkan tindakan yang baik. Dengan demikian para
filsuf moral modern menanyakan pokok bahasan dengan pertanyaan yang berbeda. Contoh:
Sifat karakter macam apakah yang membuat seseorang menjadi pribadi yang baik? Manakah
tindakan benar yang harus dijalankan? Hal ini lebih mengarah pada teori kebenaran dan
kewajiban daripada keutamaan, contoh:

Setiap orang harus melakukan apapun yang paling mendukung kepentingannya sendiri (Etika
Egoisme).
Kewajiban kita adalah mengikuti aturan-aturan yang dapat dijadikan hukum-hukum universal
secara konsisten, artinya aturan-aturan untuk ditaati oleh semua orang dalam situasi apapun
(Kant).
Hal yang benar yang dijalankan adalah yang mengikuti aturan-aturan yang disetujui oleh
seseorang secara rasional dan mempunyai kepentingan diri untuk menetapkan keuntungan
timbal balik ( teori kontrak sosial ).

Ada banyak sifat karakter yang bisa dijadikan keutamaan, tapi penulis hanya akan mengulas
empat contoh keutamaan sebagaimana dijelaskan di dalam buku Filsafat Moral karya James
Rachels.

i)Berani
Menurut Aristoteles, keutamaan-keutamaan adalah titik tengah yang berdiri di antara
dua ekstrim, yang satu kelebihan (excess) sedangkan yang lain kekurangan
(deficiency). Berani adalah titik tengah antara pengecut dengan nekad. Semua
orang membutuhkan keberanian.
Menurut Peter Geach, keberanian untuk alasan yang tidak pantas bukanlah merupakan
suatu keutamaan. Tentara NAZI itu memang berani, tetapi dia berani demi rezim yang
jahat dan salah, maka tak seorang pun akan memuji keberaniannya itu sebagai sebuah
keutamaan. Seorang siswa berani menyontek tatkala ulangan harian walau sang guru
ada di depan kelas; dia memang berani, tapi perbuatannya itu tercela dan pastilah tak
seorang pun akan memuji perbuatan menyontek (plagiat). Motivasi untuk menjadi
berani itulah yang membuat orang itu berkeutamaan atau tercela.

ii)MurahHati
Aristoteles mengatakan bahwa kemurah-hatian adalah titik tengah antara kikir
dengan boros/royal. Kita memberi dengan murah hati sampai pada batas tertentu
sehingga selanjutnya pemberian itu justru merugikan kita dari pada membantu orang
lain. Yesus dan kaum utilitarian mengajarkan kemurahhatian yang royal. Gagasan ini
ditolak karena mengandaikan bahwa kita harus keluar dari hidup normal (rutinitas)
dengan mengorbankan harta dan waktu.
Kedua hal itu didamaikan dengan tafsiran murah hati yang selaras dengan hidup
sehari-hari. Namun, hidup sehari-hari itu yang seperti apa? Apakah ada pemahaman
yang sama tentang hidup sehari-hari? Hidup sehari-hari seorang milyuner sungguh jauh
berbeda dengan hidup sehari-hari seorang tukang becak.

Maka, kita memerlukan konsep kehidupan sehari-hari yang tidak terlalu berlebihan
agar masuk akal. Namun, hal itu yang bagaimana pula? James Rachel tidak menjelaskan lebih
lanjut dalam bukunya.

iii)Jujur
Jujur secara praktis adalah tidak berbohong. Orang yang berkeutamaan jujur akan
mengecualikan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan keutamaan itu, misalnya
berbohong atau korupsi. Maka, orang jujur akan mencari jalan lain selain berbohong
untuk mengatasi situasi-situasi sulit; ia tetap akan mengatakan kebenaran walau
kebenaran itu mengelabuhi. Contohnya adalah kisah Santo Athanasius yang diincar
untuk dibunuh. Ketika orang-orang yang hendak membunuhnya itu berpapasan
dengannya, tapi tidak mengenalinya dan bertanya di mana Santo Athanasius berada,
Santo Athanasius menjawab, Dia sudah dekat. Santo Athanasius tidak sepenuhnya
jujur, tapi dia juga tidak berbohong sebab de facto dia memang berada dekat dengan
para pembunuh itu.
Ada dua pandangan mengenai siapa itu orang jujur:

(1) adalah orang yang tak pernah berbohong sama sekali


(2) adalah orang yang tak pernah berbohong kecuali dalam keadaan yang
memaksanya untuk melakukan hal itu
Kebanyakan orang lebih setuju jawaban kedua. Mengapa berbohong itu buruk? manusia
menjalin relasi dengan orang lain. Dalam relasi itu ada kontak komunikasi. Hal itu
mengandaikan kejujuran supaya hubungan itu berkualitas. Sewaktu kita memercayai perkataan
orang lain, kita menyerahkan diri kita ke tangan mereka. Jika mereka jujur, tidak ada masalah.
Namun, jika tidak, kita bisa terluka, kecewa, bahkan kita bisa hancur. Berbohong adalah
pelanggaran kepercayan, padahal kepercayaan itu penting dalam menjalin relasi bermutu
dengan orang lain.
Jujur pun merupakan suatu penyerahan diri; dengan jujur, kita memercayakan diri kita kepada
orang lain. Namun, jika orang lain memperlakukan kita secara tidak adil dan bahkan hendak
menghancurkan kita secara tidak adil, kita berhak membela diri (tidak menyerahkan diri
begitu saja).
iv)Kesetiaan
Dalam relasi kita dengan orang lain, kita memiliki suatu relasi yang khusus dan intim,
seperti misalnya sahabat, pacar, keluarga. Hubungan kita dengan mereka jauh lebih
khusus, lebih dekat, dan jauh lebih intim dari pada hubungan kita dengan orang lain
pada umumnya. Persahabatan melampaui sekadar bantuan material. Secara psikologis
kita akan hilang tanpa seorangpun sahabat. Keberhasilan kita terasa kosong,
kebahagiaan kita terasa tidak sempurna tanpa sahabat yang padanya kita berbagi.
Kegagalan kita terasa ringan karena dipahami dan dihibur sahabat. Sekaya apapun kita,
kita memerlukan sahabat. Untuk menjadi seorang teman, keutamaan yang perlu kita
miliki adalah kesetiaan. Kesetiaan akan sangat terasa diperlukan ketika kita tergoda
untuk meninggalkan bahkan mengkhianati seorang sahabat.
Mengapa Keutamaan-keutamaan tersebut Penting?
i) Keberanian, sebab hidup penuh tantangan, bahaya, dan hal-hal tak terduga.
ii) Kemurahhatian, sebab ada orang-orang yang membutuhkan pertolongan kita.
iii) Kejujuran, sebab tentu kita ingin menjalin hubungan dengan orang lain secara berkualitas.
iv) Kesetiaan, sebab tentu kita tak ingin dikhianati ataupun mengkhianati sahabat kita.
Menurut Aristoteles, keutamaan itu adalah untuk membimbing kita kepada kehidupan yang
lebih baik.

Apakah Semua Keutamaan Sama untuk Setiap Orang?


Walau kita hidup di tempat dan waktu yang berbeda, dengan kehidupan yang berbeda, dan
segalanya berbeda, kita tetap memerlukan keutamaan yang sama.

i) Semua orang harus berani sebab tidak ada orang yang dapat menjamin keamanannya sendiri
dan hidup itu penuh bahaya, tantangan, dan hal-hal tak terduga.

ii) Selalu akan ada orang yang membutuhkan pertolongan, maka kemurahhatian diperlukan.
iii) Kejujuran harus selalu ada agar komunikasi berjalan baik dan hubungan yang berkualitas
tercipta.
iv) Setiap orang membutuhkan sahabat. Untuk mendapatkan sahabat, seseorang harus menjadi
sahabat. Dan, untuk menjadi seorang sahabat, seseorang harus setia.

3.Etika Keutamaan: Jalan Hidup yang Membahagiakan


Etika keutamaan menawarkan pertimbangan moral yang alami dan menarik. Teori ini
mengundang kita untuk bertindak atas motivasi penghargaan terhadap pribadi, cinta
timbal balik, dan ketulusan. Tindakan kita tidak hanya didasarkan atas dasar kewajiban
atau hasrat untuk melakukan apa yang benar.
Etika keutamaan juga memberi semacam solusi atas keraguan mengenai
ketidakberpihakan yang ideal.
Suatu tema dominan dari filsafat moral modern adalah ketidakberpihakan
dengan gagasan bahwa semua orang secara moral sama, dan bahwa dalam memutuskan
apa yang harus dilakukan mesti memerhatikan kepentingan setiap orang secara sama
mendesaknya (John Stuart Mill mengungkapkan dengan tepat untuk secara tegas tidak
berpihak dalam tulisannya mengenai Utilitarianisme). Namun dalam kehidupan sehari-
hari kita menghadapi bahwa tidak selalu dapat tegas tidak berpihak. Teori keutamaan
dapat mempertimbangkannya dengan baik. Teori keutamaan menekankan pemahaman
hakikat dari nilai-nilai yang berbeda dan bagaimana mereka saling berhubungan satu
sama lain.

III. Etika Kebahagiaan dan Psikologi Positif

Kebahagian adalah cita-cita, tujuan, harapan hidup manusia. dengan berbagai cara
manusia melakukan apa saja untuk membahagiakan dirinya. Yang
berbahagia karena uang berusaha mencari uang sebanyak-banyaknya. Yang berbahagia karena
jabatan, berusaha mencari jabatan setinggi-tingginya. Yang berbahagia karena prestasi, akan
mencari prestasi sebanyak-banyaknya.
Namun ada beberapa hal yang ditawarkan oleh filsafat dan psikologi untuk mencapai
kebahagiaan. Orang dapat mencapai kebahagiaan dengan melakukan dan merenungkan
beberapa hal dalam hidupnya. Menurut Etika Keutamaan dan Psikologi Positif, kebahagiaan
dicapai dengan melakukan hal-hal yang baik dan positif dalam hidup manusia. apa saja hal
yang diangggap baik dan positif dalam hidup manusia?

Beberapa di antaranya adalah keberanian, ketulusan, kerja keras, pengampunan, dan


ketekunan. Semua jalan-jalan itu adalah jalan menuju kebahagiaan. Seperti halnya ilmu
psikologi, adalah ilmu yang berusaha untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dengan
menyembuhkan perilaku yang buruk menjadi baik, meningkatkan yang baik menjadi jauh lebih
baik. Dengan kualitas hidup manusia yang tinggi, maka orang mampu memperoleh
kebahagiaan.
DAFTAR PUSTAKA

James Rachels, The Elements of Moral Philosophy, Mcgraw-Hill College; 4th edition (May
2002) diterjemahkan oleh A. Sudiarjo, Filsafat Moral, Yogykarta, Kanisius, 2000.
Noor Rohman Hadjam, Perkuliahan Psikologi Positif, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada,
2012.

Anda mungkin juga menyukai