Anda di halaman 1dari 30

KAJIAN PEMETAAN TINGKAT KERAWANAN BANJIR DENGAN

MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS


(Studi Kasus : DAS DELI, Propinsi Sumatera Utara)

PROPOSAL PENELITIAN
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sistem Informasi Geografi

Oleh:
Ade Novrianda
Ageng Tata YuniaYunara
Pastuti Tafonao
Suci Indah Andoko
Teresia Delima Aritonang

JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
senantiasa memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
penelitian ini dengan baik.
Laporan penelitian ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan laporan ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan laporan penelitian ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki laporan penelitian ini.

Akhir kata saya berharap semoga laporan penelitian ini dapat memberikan
manfaat maupun pengetahuan terhadap pembaca.

Medan, November 2017

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………... i


DAFTAR ISI ……………………………………………………………. ii
BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………….. 2
C. Batasan Masalah ……………………………………………………. 3
D. Tujuan Penelitian ………………………………………………........ 3
E. Manfaat Penelitian ………………………………………………….. 3
4
BAB II. KAJIAN PUSTAKA …………………………………………...
4
A. Kajian Teori ………………………………………………………… 15
B. Penelitian Relevan ………………………………………………….. 18
18
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ……………………………….
18
A. Waktu dan Tempat Penelitian ……………………………………… 19
B. Alat dan Bahan ……………………………………………………... 19
C. Subjek dan Objek penelitian ………………………………………... 20
D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ……………………… 21
E. Teknik Pengumpulan Data …………………………………………. 27
F. Teknik Analisis Data ………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Banjir merupakan bencana alam paling sering terjadian, baik dilihat dari
intensitasnya pada suatu tempat maupun jumlah lokasi kejadian dalam setahun yaitu
sekitar 40% di antara bencana alam yang lain. Bahkan pada tempat-tempat tertentu,
banjir merupakan rutinitas tahunan. Lokasi kejadiannya bisa perkotaan atau pedesaan,
negara sedang berkembang atau negara maju sekalipun (Suherlan (2001) dalam
Suhardiman (2012).
Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi untuk menampung,
menyimpan, dan mengalirkan yang berasal dari curah hujan ke danau atau kelaut
secara alam, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No. 7 Tahun
2004 tentang SDA DAS). Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan kesatuan
ekosistem yang utuh dari hulu sampai hilir, terdiri dari seluruh factor yang ada pada
DAS yaitu tanah, topografi, vegetasi dan manusia yang mempengaruhi keadaan DAS.
Apabila salah satu dari factor tersebut mengalami perubahan dapat menyebabkan
terganggunya fungsi DAS.
DAS Deli adalah salah satu DAS di Provinsi Sumatera Utara yang secara
administrasi berada pada tiga Kabupaten/kota yaitu Kabupaten Karo seluas 1.417, 65
hektar (3%), Kabupaten Deli Serdang seluas 29.115, 20 hektar (61,56%) dan Kota
Medan seluas 16.765,16 hektar (34,45%) dan terdiri dari tujuh Sub DAS yaitu Sub
DAS Petane, Sub DAS Simai-mai, Sub DAS Deli, Sub DAS Babura, Sub DAS
Bekala, Sub DAS Sei Kambing dan Sub DAS Paluh Besar (BPDAS Wampu Sei Ular,
2012). DAS Deli termasuk dalam salah satu DAS Prioritas I di Sumatera Utara
bersama dengan 7 DAS lainnya, yaitu DAS Besitang, DAS Lepan, DAS Wampu,
DAS Ular, DAS Asahan, DAS Batang Gadis dan DAS Nias.

1
Daerah Aliran Sungai Deli bagian hulu terletak di Simpang Empat, Tiga
Panah, Sibolangit, Sibiru-biru, Namorambe, Pancur Batu sebesar 44,12 x 106
m3sampai 1.097,65 x 106 m3. Daerah Aliran Sungai Deli bagian tengah terletak di
Kecamatan Deli Tua, Patumbak, Medan Johor, Medan Tuntungan, Medan Baru,
Medan Denai, Medan Timur sebesar 23,33 x 106 m3 sampai 44,12 x 106 m3. DAS Deli
bagian hilir terletak di Labuhan Deli, Percut Sei Tuan, Medan Labuhan, Batang Kuis
sebesar 4,04 x 106 m3sampai 23,33 x 106 m3 (Pola Pengelolaan Sumber Daya Air
Wilayah Sungai Belawan Ular Padang, 2012).
Kabupaten Karo, Kabupaten Deli Serdang dan Kota Medan merupakan daerah
yang rawan terjadi banjir. Masalah utama yang dihadapi di Kabupaten/Kota ini yaitu
masalah banjir dengan genangan yang cukup lama. Kawasan ini hampir setiap musim
hujan mengalami bencana banjir yang pada umumnya disebabkan karena tidak
terkendalinya aliran sungai, akibat kenaikan debit, pendangkalan dasar badan sungai
dan penyempitan sungai karena sedimentasi, adanya kerusakan lingkungan pada
daerah hulu sungai (wilayah Sibolangit) atau daerah tangkapan air. Seringkali pada
musim penghujan tanggul pada Daerah Aliran Sungai Deli tidak mampu menahan
debit air Sungai sehingga tanggul tersebut jebol dan mengakibatkan banjir.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, adapun rumusan dari
permasalahan yang dikaji yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana tingkat kerawanan banjir di Daerah Aliran Sungai Deli ?
2. Bagaimana debit maksimum di Daerah Aliran Sungai Deli ?
3. Bagaimana pengaruh debit maksimum terhadap tingkat kerawanan di Daerah
Aliran Sungai Deli ?

C. Batasan Masalah
Dalam penulisan penelitian ini memiliki batasan-batasan sebagai berikut :
1. Daerah penelitian adalah Daerah Aliran Sungai Deli Kota Medan.
2. Pengolahan data dengan metode pembobotan dan metode rasional.
3. Hasil akhir penelitian ini berupa hasil analisis rawan banjir.

2
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui tingkat kerawanan banjir di Daerah Aliran Sungai Deli.
2. Mengetahuibesaran debit maksimum di Daerah Aliran Sungai Deli.
3. Mengetahui pengaruh debit maksimum terhadap tingkat kerawanan di Daerah
Aliran Sungai Deli.

E. Manfaat Penelitian
Penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak
antara lain :
1. Untuk masyarakat di daerah penelitian, sebagai masukan kepada masyarakat dan
instansi terkait untuk lebih menjaga lingkungan DAS dan sub DAS.
2. Dapat memberikan sumbangan teoritis bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam
pengkajian geografi teknik.
3. Menambah wawasan bagi peneliti dalam menyusun karya ilmiah.
4. Sebagai referensi bagi peneliti lain yang akan meneliti dengan objek yang sama
dengan lokasi dan waktu yang berbeda.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. KERANGKA TEORITIS
a. Daerah Aliran Sungai (DAS)
1. Pengertian DAS
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara
topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan
menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama.
Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (catchmen area) yang

3
merupakan suatu ekosistem dengan komponen utama terdiri dari sumber daya alam
(tanah, air dan vegetasi) dari sumber daya manusianya (Asdak (2002) dalam
Suhardiman (2012).
Daerah Aliran Sungai adalah suatu sistem yang mengubah curah hujan (input)
ke dalam debit (output) di pelepasannya (outlet). DAS merupakan sistem yang
kompleks dan heterogen yang terdiri atas beberapa sub sistem, dimana sub sistem
tersebut dianggap homogeny (Soemarto (1987) dalam Suhardiman (2012).
Konsep DAS merupakan dasar dari semua perencanaan hidrologi. Mengingat
DAS yang besar pada dasarnya tersusun dari DAS-DAS yang kecil, dan DAS yang
kecil ini juga tersusun dari DAS-DAS yang lebih kecil lagi. Secara umum DAS dapat
didefinisikan sebagai suatu wilayah, yang dibatasi oleh batas alam, seperti punggung
bukit-bukit atau gunung, maupun batas buatan, seperti jalan atau tanggul, dimana air
hujan yang turun di wilayah tersebut member kontribusi aliran ke titik control (outlet)
(Suripin (2004) dalam Suhardiman (2012).

2. Pembagian DAS
Dalam mempelajari ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah
hulu, tengah, dan hilir. Dalam rangka memberikan gambaran keterkaitan secara
menyeluruh dalam pengelolaan DAS, terlebih dahulu diperlukan batasan-batasan
mengenai DAS berdasarkan fungsi, yaitu : Pertama, DAS bagian hulu didasarkan
pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan
DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi
tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan
curah hujan. Kedua, DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air
sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan
ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air,
kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada
prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau. Ketiga, DAS
bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat
memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan
melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah

4
hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah
(dalam Asep Purnama (2008).
Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang terkelola dengan baik dan
terjaga keberlanjutannya dengan didukung oleh prasarana dan sarana di bagian tengah
akan dapat mempengaruhi fungsi dan manfaat DAS tersebut di bagian hilir, baik
untuk pertanian, kehutanan maupun untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat
secara keseluruhan. Dengan adanya rentang panjang DAS yang begitu luas, baik
secara administrasi maupun tata ruang, dalam pengelolaan DAS diperlukan adanya
koordinasi berbagai pihak terkait baik lintas sektoral maupun lintas daerah secara
baik.

3. Fungsi DAS
Salah satu fungsi DAS adalah fungsi hidrologis, dimana fungsi tersebut sangat
dipegaruhi oleh jumlah curah hujan yang diterima, geologi dan bentuk lahan. Fungsi
hidrologis yang dimaksud termasuk kapasitas DAS untuk mengalirkan air,
menyangga kejadian puncak hujan, melepaskan air secara bertahap, memelihara
kualitas air, serta mengurangi pembungan massa (seperti terhadap longsor). Fungsi
suatu DAS merupakan fungsi gabungan yang dilakukan oleh seluruh factor yang ada
pada DAS tersebut, yaitu vegetasi, betuk wilayah (topografi), tanah dan manusia.
Apabila salah satu faktor tersebut mengalami perubahan, maka hal tersebut akan
menyebabkan gangguan terhadap bekerja nya fungsi DAS. Apabila fungsi suatu DAS
telah tergangu, maka system hidrologisnya akan terganggu, penangkapan curah hujan,
resapan dan penyimpanan airnya menjadi sangat berkuang atau system penyalurannya
menjadi sangat boros. Kejadian itu akan menyebabkan melimpahnya air pada musim
penghujan dan sangat minimum pada musim kemarau, sehingga fluktuasi debit
sungai antara musim hujan dan musim kemarau berbeda tajam.

b. Debit Aliran Sungai


Asdak (1995) dalam Asep Purnama (2008), menjelaskan debit aliran sungai
adalah jumlah air yang mengalir pada suatu titik atau tempat persatuan waktu. Debit
aliran dibangun oleh empat komponen, yaitu limpahan langsung (direct run-off),
aliran dalam satu aliran tertunda (interflow/delayed run-off), aliran bawah tanah atau

5
aliran dasar (ground precipitation). Hujan yang turun pada suatu DAS terdistribusi
menjadi keempat komponen tersebut sebelum menjadi aliran sungai. Aliran
permukaan merupakan penyumbang terbesar terhadap peningkatan volume aliran
sungai (Viessman et al.1977, diacu dalam Restiana 2004) dalam Asep Purnama
(2008).
Subarkah (1980) dalam Asep Purnama (2008), menambahkan bahwa hal-hal
yang mempengaruhi debit sungai yaitu: 1). Meteorologis hujan (besarnya hujan,
intensitas hujan, luas daerah hujan dan distribusi musiman), suhu udara, kelembaban
relatif dan angin. 2). Ciri-ciri DAS yaitu luas dan bentuk DAS, keadaan topografi,
kepadatan drainase, geologi (sifat-sifat tanah) evaluasi rata-rata dan keadaan umum
DAS (banyaknya vegetasi, perkampungan, daerah pertanian, dan sebagainya).

c. Banjir
Banjir menurut Richards (1955), dalam Asep Purnama (2008) memiliki dua
arti yaitu meluapnya air sungai disebabkan oleh debitnya yang melebihi daya
tampung sungai pada keadaan curah hujan yang tinggi dan arti kedua adalah banjir
merupakan genangan pada daerah datar yang biasanya tidak tergenang. Sedangkan
menurut Suwardi (1999) dalam Asep Purnama (2008), bencana banjir merupakan
aspek interaksi antara manusia dengan alam yang timbul dari proses dimana manusia
mencoba menggunakan alam yang bermanfaat dan menghindari alam yang
merugikan manusia. Banjir dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi apabila
dikelompokkan maka akan didapatkan tiga faktor yang berpengaruh tehadap banjir,
yaitu elemen meteorologi, kharakteristik fisik DAS, dan manusia. Elemen
meteorologi yang berpengaruh pada timbulnya banjir adalah intensitas, distribusi,
frekuensi, dan lamanya hujan berlangsung. Kharakteristik DAS yang berpengaruh
terhadap terjadinya banjir adalah luas DAS, kemiringan lahan, ketinggian, dan kadar
air tanah. Manusia beperan pada percepatan perubahan penggunaan lahan seperti
hutan lebat belukar. Pengaruh perubahan lahan terhadap perubahan karakteristik
aliran sungai berkaitan dengan berubahnya areal konservasi yang dapat menurunkan

6
kamampuan tanah dalam menahan air. Hal tersebut dapat memperbesar peluang
terjadinya aliran permukaan dan erosi.
Dalam skala perkotaan, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya banjir
adalah :
1) Topografi, kelandaian lahan sangat mempengaruhi timbulnya banjir terutama
pada lokasi dengan topografi dasar dan kemiringan rendah, seperti pada kota-
kota pantai. Hal inI menyebabkan kota-kota pantai memiliki potensi/peluang
terjadinya banjir yang besar disamping dari ketersediaan saluran drainase yang
kurang memadai, baik saluran utama maupun saluran yang lebih kecil.
2) Areal terbangun yang luas biasanya pada kawasan perkotaan dengan tingkat
pembangunan fisik yang tinggi, sehingga bidang peresapan tanah semakin
mengecil.
3) Kondisi saluran drainase yang tidak memadai akibat pendangkalan,
pemeliharaan kurang, dan kesadaran penduduk untuk membuangan sampah pada
tempatnya masih belum memasyarakat (Utomo 2004) dalam Asep Purnama
(2008).

d. Curah Hujan
Curah hujan adalah salah satu komponen pengendali dalam sistem hidrologi.
Secara kuantitatif ada dua kharakteristik curah hujan yang penting, yaitu jeluk (depth)
dan distribusinya (distibution) menurut ruang (space) dan waktu (time). Pengukuran
jeluk hujan di lapangan umumnya dilakukan dengan memasang penakar dalam
jumlah yang memadai pada posisi yang mewakili (representatif) (Arianty (2000),
diacu dalam Asep Purnama (2008). Curah hujan dibatasi sebagai tinggi air hujan
(dalam mm) yang diterima di permukaan sebelum mengalami aliran permukaan,
evaporasi dan peresapan/perembesan ke dalam tanah. Jumlah hari hujan umumnya
dibatasi dengan jumlah hari dengan curah hujan 0,5 mm atau lebih. Jumlah hari hujan
dapat dinyatakan per minggu, dekade, bulan, tahun atau satu periode tanam (tahap
pertumbuhan tanaman).

7
Intensitas hujan adalah jumlah curah hujan dibagi dengan selang waktu
terjadinya hujan (Handoko (1993) dalam Asep Purnama (2008). Intensitas curah
hujan netto (setelah diintersepsi oleh vegetasi) yang melebihi laju infiltrasi
mengakibatkan air hujan akan disimpan sebagai cadangan permukaan dalam tanah,
apabila kapasitas cadangan permukaan terlampaui maka akan terjadi limpasan
permukaan (surface run-off) yang pada akhirnya terkumpul dalam aliran sungai
sebagai debit sungai. Limpasan permukaan yang melebihi kapasitas sungai maka
kelebihan tersebut dikenal dengan istilah banjir (Suherlan (2001) dalam Asep
Purnama (2008).
Hujan yang jatuh ke bumi akan mengalami proses intersepsi, infiltrasi, dan
perkolasi. Sebagian hujan yang diintersepsi oleh tajuk tanaman menguap, sebagian
mencapai tanah dengan melalui batang sebagai aliran batang (streamfall) dan
sebagian lagi mencapai tanah secara langsung yang disebut air tembus (throughfall).
Sebagian air hujan yang mencapai permukaan tanah terinfiltrasi dan terperkolasi ke
dalam tanah (Utomo (2004) dalam Asep Purnama (2008).
Hujan selain merupakan sumber air utama bagi wilayah suatu DAS (Daerah
Aliran Sungai), juga merupakan salah satu penyebab aliran permukaan bila kondisi
tanah telah jenuh, maka air yang merupakan presipitasi dari hujan akan dijadikan
aliran permukaan. Sedangkan karakteristik hujan yang mempengaruhi aliran
permukaan dan distribusi aliran DAS adalah intensitas hujan, lama hujan dan
distribusi hujan di areal DAS tersebut (Arsyad 2000, diacu dalam Asep Purnama
(2008).

e. Peta dan Pemetaan


Peta merupakan media untuk menyimpan dan menyajikan informasi tentang
rupa bumi dengan penyajian pada skala tertentu. Pemetaan adalah proses pengukuran,
perhitungan, dan penggambaran permukaan bumi (terminologi geodesi) dengan
menggunakan cara dan atau metode tertentu sehingga didapatkan hasil berupa
softcopy maupun hardcopy peta yang berbentuk vektor maupun raster (Wikipedia,
2017).

8
Pembuatan peta adalah studi dan praktek membuat peta atau globe. Peta
secara tradisional sudah dibuat menggunakan pena dan kertas, tetapi munculnya dan
penyebaran komputer sudah merevolusionerkan kartografi. Banyak peta komersial
yang bermutu sekarang dibuat dengan perangkat lunak pembuatan peta yang
merupakan salah satu di antara tiga macam utama: CAD (desain berbantuan
komputer), SIG (Sistem Informasi Geografis), dan perangkat lunak ilustrasi peta yang
khusus. Peta yang dihasilkan dari perangkat lunak (software) komputer ini disebut
peta digital (Wikipedia, 2017).
Penggunaan peta digital pada dasarnya sama saja dengan peta biasa, hanya
wujudnya yang agak berbeda, dimana peta biasa hanya dapat digunakan dalam
bentuk lembaran atau helai sedangkan peta digital selain ada peta seperti halnya peta
biasa disertai data yang telah tersimpan dalam media perekam seperti magnetik tape,
disket, compact disc dan lain-lain sehingga sewaktu-waktu dapat diedit dan dicetak
kembali sesuai kebutuhan (Hadjarati (2007 dalam Asep Purnama (2008).

f. Identifikasi Kawasan Rawan Bencana Banjir


Identifikasi daerah rawan banjir dapat dibagi dalam tiga faktor yaitu faktor
kondisi alam, peristiwa alam, dan aktivitas manusia. Dari faktor-faktor tersebut
terdapat aspek-aspek yang dapat mengidentifikasi daerah tersebut merupakan daerah
rawan banjir.
1. Faktor Kondisi Alam
Beberapa aspek yang termasuk dalam faktor kondisi alam penyebab banjir adalah
kondisi alam (misalnya letak geografis wilayah), kondisi toporafi, geometri sungai,
(misalnya meandering, penyempitan ruas sungai, sedimentasi dan adanya ambang
atau pembendungan alami pada ruas sungai), serta pemanasan global yang
menyebabkan kenaikan permukaan air laut.
 Topografi

9
Daerah-daerah dataran rendah atau cekungan, merupakan salah satu karakteristik
wilayah banjir atau genangan.
 Tingkat Permeabilitas
Tanah Permeabilitas atau daya rembesan adalah kemampuan tanah untuk dapat
melewatkan air. Air dapat melewati tanah hampir selalu berjalan linier, yaitu jalan
atau garis yang ditempuh air merupakan garis dengan bentuk yang teratur.
Permeabilitas diartikan sebagai kecepatan bergeraknya suatu cairan pada media
berpori dalam keadaan jenuh atau didefinisikan juga sebagai kecepatan air untuk
menembus tanah pada periode waktu tertentu. Permeabilitias juga didefinisikan
sebagai sifat bahan berpori yang memungkinkan aliran rembesan dari cairan yang
berupa air atau minyak mengalir lewat rongga porinya. Daerah-daerah yang
mempunyai tingkat permeabilitas tanah rendah, mempunyai tingkat infiltrasi
tanah yang kecil dan runoff yang tinggi. Daerah Pengaliran Sungai (DAS) yang
karakteristik di kiri dan kanan alur sungai mempunyai tingkat permeabilitas tanah
yang rendah, merupakan daerah potensial banjir.
 Kondisi Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran sungai (DAS) yang berbentuk ramping mempunyai tingkat
kemungkinan banjir yang rendah, sedangkan daerah yang memiliki DAS
berbentuk membulat, mempunyai tingkat kemungkinan banjir yang tinggi. Hal ini
terjadi karena waktu tiba banjir dari anak-anak sungai (orde yang lebih kecil)
yang hampir sama, sehingga bila hujan jatuh merata di seluruh DAS, air akan
datang secara bersamaan dan akhirnya bila kapasitas sungai induk tidak dapat
menampung debit air yang datang, akan menyebabkan terjadinya banjir di daerah
sekitarnya.
 Kondisi Geometri Sungai
a. Gradien Sungai
Pada dasarnya alur sungai yang mempunyai perubahan kemiringan dasar dari
terjal ke relatif datar, maka daerah peralihan/pertemuan tersebut merupakan
daerah rawan banjir.
b. Pola Aliran Sungai

10
Pada lokasi pertemuan dua sungai besar, dapat menimbulkan arus balik (back
water) yang menyebabkan terganggunya aliran air di salah satu sungai, yang
mengakibatkan kenaikan muka air (meluap). Pada saat hujan dengan
intensitas tinggi, terjadi peningkatan debit aliran sungai sehingga pada tempat
pertemuan tersebut debit aliran semakin tinggi, dan kemungkinan terjadi
banjir.
c. Daerah Dataran Rendah
Pada daerah Meander (belokan) sungai yang debit alirannya cenderung
lambat, biasanya merupakan dataran rendah, sehingga termasuk dalam
klasifikasi daerah yang potensial atau rawan banjir.
d. Penyempitan dan Pendangkalan Alur Sungai
Penyempitan alur sungai dapat menyebabkan aliran air terganggu, yang
berakibat pada naiknya muka air di hulu, sehingga daerah di sekitarnya
termasuk dalam klasifikasi daerah rawan banjir. Pendangkalan dasar sungai
akibat sedimentasi, menyebabkan berkurangnya kapasitas sungai yang
menyebabkan naiknya muka air di sekitar daerah tersebut.

2. Faktor Peristiwa Alam


Aspek-aspek yang menentukan kerawanan suatu daerah terhadap banjir dalam
faktor peristiwa alam adalah: a) Curah hujan yang tinggi dan lamanya hujan, b) Air
laut pasang yang mengakibatkan pembendungan di muara sungai, c) Air/arus balik
(back water) dari sungai utama, d) Penurunan muka tanah (land subsidance), e)
Pembendungan aliran sungai akibat longsor, sedimentasi dan aliran lahar dingin.

3. Aktivitas Manusia
Faktor aktivitas manusia juga berpengaruh terhadap kerawanan banjir pada
suatu daerah tertentu. Aspek-aspek yang mempengaruhi diantaranya: a) Belum
adanya pola pengelolaan dan pengembangan dataran banjir, b) Permukiman di
bantaran sungai, c) Sistem drainase yang tidak memadai, d) Terbatasnya tindakan

11
mitigasi banjir, e) Kurangnya kesadaran masyarakat di sepanjang alur sungai, f)
Penggundulan hutan di daerah hulu, g) Terbatasnya upaya pemeliharaan bangunan
pengendali banjir.

g. Sistem Informasi Geografis


Menurut ESRI (1999) dalam Asep Purnama (2008), Sistem Informasi
Geografis (SIG) adalah suatu alat berbasis komputer untuk memetakan dan meneliti
hal-hal yang ada dan terjadi dmuka bumi. Sistem Informasi Geografis
mengintegrasikan operasi database umum seperti query dan analisa statistik dengan
visualisasi yang unik dan manfaat analisa mengenai ilmu bumi yang ditawarkan oleh
peta. Kemampuan ini menjadi penciri Sistem Informasi Geografis dari sistem
informasi lainnya, dan sangat berguna bagi suatu cakupan luas perusahaan swasta dan
pemerintah untuk menjelaskan peristiwa, meramalkan hasil, dan strategi perencanaan.
Menurut Barus dan Wiradisastra (2000) dalam Asep Purnama (2008), Sistem
Informasi Geografis (SIG) merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial.
Dalam SIG, data dipelihara dalam bentuk digital. Sistem ini merupakan suatu sistem
computer untuk menangkap, mengatur, mengintegrasi, memanipulasi, menganalisis
dan menyajikan data yang bereferensi ke bumi. Komponen utama SIG dapat dibagi
ke dalam 4 kelompok, yaitu: perangkat keras, perangkat lunak, organisasi
(manajemen), dan pemakai. Sistem informasi geografi (SIG) pada saat ini sudah
merupakan teknologi yang dianggap biasa pada kalangan perencana atau kelompok-
kelompok lain yang berkecimpung dalam hal pemetaan sumberdaya. Dua dekade
sebelum ini terjadi juga pada Penginderaan Jauh (PJ) atau Remote Sensing, walaupun
tidak secepat kepopuleran SIG. Kedua teknologi tersebut merupakan teknologi
informasi atau lebih spesifik lagi teknologi informasi spasial karena berkaitan dengan
pengumpulan dan pengolahan data spasial. (Barus, 2000) dalam Asep Purnama
(2008).

h. Penerapan SIG untuk Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Berpotensi


Banjir

12
Penginderaan jauh adalah ilmu pengetahuan dan seni memperoleh informasi
suatu obyek, daerah, atau suatu fenomena melalui analisa data yang diperoleh dengan
suatu alat yang tidak berhubungan dengan obyek, daerah, atau fenomena yang diteliti
(Lillesland dan Kiefer (1994) dalam Asep Purnama (2008). Citra satelit merekam
objek di permukaan bumi seperti apa adanya di permukaan bumi, sehingga dari
interpretasi citra dapat diketahui kondisi penutupan/penggunaan lahan saat
perekaman. Pada dasarnya, teknologi berbasis satelit ini menyajikan informasi secara
aktual dan akurat. Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG)
merupakan salah satu alternatif yang tepat untuk dijadikan sebagai penyedia
informasi tentang berbagai parameter faktor penyebab kemungkinan terjadinya
bahaya banjir di suatu daerah.
Dalam penerapan SIG, data-data yang diperlukan untuk pemetaan kawasan
rawan banjir diperoleh dari foto udara dan data sekunder, berupa peta-peta tematik.
Peta-peta tematik yang berbeda, baik yang diperoleh dari analisis penginderaan jauh
maupun cara lain dapat dipadukan untuk menghasilkan peta turunan. Data-data yang
terkumpul diolah untuk mendapatkan informasi baru dengan menggunakan SIG
melalui metode pengharkatan. Pada tahap pemasukan data, yang diperlukan untuk
penyusunan peta tingkat kerawanan banjir dapat dilakukan melalui digitasi peta.
Sesudah semua data spasia dimasukkan dalam komputer, kemudian dilakukan
pemasukan data atribut dan pemberian harkat.
Untuk memperoleh nilai kawasan rawan banjir dilalukan tumpang tepat peta-
peta tematik yang merupakan paramaeter lahan penentu rawan banjir, yaitu peta
kemiringan lereng, peta ketinggian, peta tanah, peta isohiet, dan peta penutupan atau
penggunaan lahan. Proses tumpang tepat peta dengan mengaitkan data atributnya,
melalui manipulasi dan analisa data. Pengolahan dan penjumlahan harkat dari
masing-masing parameter akan menghasilkan harkat baru yang berupa nilai potensi
rawan banjir. Kemudian dengan mempertimbangkan kriteria rawan banjir, maka
potensi banjir lahan tersebut dibagi kedalam kelas-kelas rawan banjir (Utomo (2004)
dalam Asep Purnama (2008).

13
Untuk kajian banjir, peta tematik hasil interpretasi citra dapat digabung
dengan peta-peta lainnya yang telah disusun dalam data dasar SIG melalui proses
digitasi. Peta-peta tersebut adalah peta kemiringan lereng, peta geologi, peta jenis
tanah, peta penutupan/penggunaan lahan, peta isohiet, dan peta-peta lain yang
berhubungan dengan terjadinya banjir. Melalui metode tumpang tepat dan
pengharkatan dengan SIG maka akan dihasilkan kelas-kelas rawan banjir. Hasil dari
kelas-kelas tersebut dipresentasikan dalam bentuk peta, sehingga dapat dilihat
distribusi keruangannya. Dari peta itu para pengguna dan pengambil keputusan dapat
memanfaatkan untuk mengatisipasi banjir di darah penelitian, sehingga kerugian-
kerugian yang ditimbulkan dapat ditekan sekecil mungkin, atau bahkan dieliminir
(Utomo (2004) dalam Asep Purnama(2008).

i. Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) Banjir


Sistem peringatan dini digunakan untuk memberikan informasi tentang
sesuatu hal yang akan terjadi, agar bisa memberikan peringatan sedini mungkin untuk
menghindari atau meminimalkan akibat yang akan ditimbulkan. Sistem peringatan
dini banjir sangat penting, karena: (1) intensitas dan keragaman hujan menurut ruang
dan waktu sangat tinggi sehingga banjir bisa terjadi secara tibatiba, (2) hujan besar
umumnya terjadi dari sore sampai malam hari. Sistem penyampaian peringatan dini
tentang banjir kepada masyarakat dapat dilakukan melalui berbagai peralatan
komunikasi seperti telepon, radio dan televisi (Grenti (2006) dalam Asep Purnama
(2008).

B. Penelitian Relevan
Muhammad Dimas Aji N, dkk (2014), dalam penelitiannya yang berjudul
Identifikasi Zona Rawan Banjir Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi
Kasus : Sub DAS Dengkeng) bertujuan untuk memberikan informasi dan pemahaman
mengenai pemanfaatan data penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk
pembuatan peta zona rawan banjir dan luasan area yang termasuk rawan banjir di Sub
DAS Dengkeng serta factor-faktor penyebab banjir di Sub DAS Dengkeng.

14
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode scoring dan
tutupan susun (overlay). Skoring peta jenis tanah, peta curah hujan, peta kemiringan
lereng, peta jaringan sungai dan peta penggunaan lahan yang bobotnya sesuai dengan
tabel di atas kemudian di overlay untuk mendapatkan peta kerawanan banjir. Peta curah
hujan didapatkan dari hasil pengolahan data curah hujan antara tahun 2001-2011 dari 11
stasiun pengamatan curah hujan. Peta jenis tanah didapatkan dari BPDAS Sungai
Bengawan Solo. Untuk peta kemiringan lereng diperoleh dari pengolahan data titik tinggi
di Sub DAS Dengkeng yang kemudian dibuat kontur, kemudian TIN (Triangular
Irregular Network) lalu akan menjadi peta kemiringan lereng yang akan di skoring. Peta
penggunaan lahan diperoleh dari pengolahan citra Landsat tahun 2012. Pengolahan
dilakukan menggunakan software ENVI4.4. Peta jaringan sungai didapat dari peta Rupa
Bumi Indonesia yang akan digunakan untuk menentukan kerapatan aliran di sub DAS
Dengkeng.
Berdasarkan pengolahan analisis spasial, tingkat kerawanan banjir Sub DAS
Dengkeng memiliki daerah yang sangat rawan banjir yang mencakup 34,567 km2
atau sebesar 0,41% dari luas daerah penelitian. Sedangkan daerah rawan banjir seluas
469,626 km2 atau sebesar 57,12%, daerah cukup rawan seluas 268,745 km2 atau
sebesar 32,79%, daerah agak rawan seluas 45,865 km2 atau sebesar 5,68%, dan
daerah yang tidak rawan seluas 3,349 km2 atau sebesar 0,41%. Kecamatan
Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo yang merupakan daerah dataran rendah yang
menjadi daerah yang sangat rawan banjir dengan cakupan terluas yaitu mencapai
19,416 km2 atau sebesar 56,170% dari 34,567 km2. Faktor yang dominan yang
menjadi penyebab kerawanan banjir di Sub DAS Dengkeng adalah kemiringan lereng
yang mencapai 0-8% masuk dalam kategori datar. Penataan dan perawatan jaringan
sungai yang kurang baik maka dapat dikatakan air hujan yang turun akan menjadi
genangan air bahkan menimbulkan banjir.
Penelitian Wicke Widyanti Santosa, dkk (2015), dengan judul penelitian
Kajian Pemetaan Tingkat Kerawanan Banjir dengan menggunakan Sistem Informasi
Geografis (Studi Kasus : DAS Beringin, Kota Semarang. Penelitian ini
menggunakan metode yaitu metode pembobotan dan metode rasional. Hasil

15
penelitian menunjukan bahwa kondisi kerawanan banjir DAS Beringin secara umum
termasuk dalam kondisi cukup rawan dengan luas sebesar 1795,003 ha (59,89%).
Tingkat rawan banjir dengan kategori rawan dengan luas sebesar 875,441 ha
(29,21%) dari total luas DAS. Tingkat agak rawan dan tidak rawan dengan luas
sebesar 299,691 ha (40,13%) dan 22,566 ha (0,75%). Tingkat sangat rawan
mempunyai persentase dengan luas sebesar 4,441 ha (0,1%) dari total luas kawasan
DAS. Air larian yang terjadi pada kelurahan-kelurahan pada Sub–DAS 1 yang
menghasilkan debit yang paling tinggi sebesar 357,766 m3/det (68,048%), Sub–DAS
2 debit maksimum sebesar 124,964 m3/det (23,769%), dan pada Sub –DAS 3
menghasilkan debit yang paling rendah yaitu 43,0227 m3/det (8,183%). Pengaruh
debit maksimum terhadap tingkat kerawanan banjir adalah pada faktor lanjutan dari
hasil penggunaan lahan dan curah hujan. Pada kecepatan air yang tinggi, berlangsung
cepat dan jumlah air sedikit, mengakibatkan tingginya debit air yang mengalir
sehingga alirannya sangat deras dan berdampak destruktif.
Penelitian yang dilakukan oleh Asep Purnama (2008) “Pemetaan Kawasan
Rawan Banjir di Daerah Aliran Sungai Cisadane menggunakan Sistem Informasi
Geografis”. Metode penelitian berupa analisis parameter rawan banjir dengan
menggunakan Sistem Informasi Geografi yang dibagi ke dalam tahap-tahap utama
yaitu: pembangunan basis data dan analisis data, yang diawali dengan pengumpulan
data dan peta pendukung, studi pustaka, dan penelaahan data sekunder terutama yang
berkaitan dengan kejadian banjir. DAS Cisadane terdiri dari empat kelas kerawanan
banjir yaitu: Aman (44881Ha/30,19%), Tidak rawan (36574,25 Ha/24,60%), Rawan
(55317,93Ha/37,21%), Sangat rawan (11909,5Ha/8,01%). Bagian/segmen yang
paling luas memiliki daerah dengan kelas sangat rawan adalah bagian hilir (7388,50
Ha) sedangkan bagian tengah memiliki luas 929,25 Ha dan bagian hilir dengan luas
3591,75 Ha. Kecamatan yang memiliki daerah paling luas kelas sangat rawan adalah:
Kosambi (2548 Ha), Pakuhaji (2367 Ha), Teluk Naga (1538,5 Ha), Parung (1685,25
Ha). Kecamatan – kecamatan di bagian hulu umumnya merupakan kecamatan yang
termasuk kelas aman banjir (44162,75 Ha).

16
BAB III
METODOLOGI

A. Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian dilakukan pada bulan November 2017 sampai dengan Desember
2017 di Laboratorium Sistem Informasi Geografis Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu
Sosial Universitas Negeri Medan. Wilayah studi yang dikaji adalah wilayah Daerah
Aliran Sungai (DAS) Deli yang secara administrative berada di Kabupaten Karo,
Kabupaten Deli Serdang dan Kota Medan.

B. Alat dan Bahan

17
1. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
a. Perangkat keras (hardware)
1) Perangkat komputer
Perangkat komputer yang dimaksud adalah perangkat keras dan
perangkat lunak. Perangkat keras yang dimaksud meliputi satu set
komputer (PC) meliputi CPU (Central Processing Unit), hardisk, dan
mouse.
2) Printer, untuk mencetak hasil.

b. Perangkat lunak (software)


Perangkat lunak yang digunakan adalah program-program yang sudah
terinstal di perangkat computer berbasis SIG. Program-program tersebut
adalah program SIG seperti ArcGIS 10.3, Microsoft word 2007, dan
Microsoft Excel 2007. Program-program tersebut akan digunakan untuk
mengolah dan menyajikan data yang telah diperoleh dari lapangan.

2. Bahan
Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain :
a) Peta batas DAS Deli
b) Peta Topografi
c) Peta Jenis Tanah
d) Data curah hujan 2012-2016
e) Citra Google Earth Pro

C. Subjek dan Objek Penelitian


1. Subjek Penelitian

18
Subjek dalam penelitian ini adalah Daerah Aliran Sungai Deli yang rawan
terhadap banjir di kota Medan.

2. Objek Penelitian
Objek Penelitian ini adalah data geospasial yaitu :
a) Data Spasial yaitu peta batas DAS Deli, peta topografi, peta jenis tanah,
Citra Google Earth dan peta RBI.
b) Data Atribut yaitu data curah hujan, menghitung koefisien larian dan
validasi untuk menganalisis daerah rawan banjir di Daerah Aliran Sungai
Deli.

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional


1. Variabel Penelitian
Menurut Sugiyono (2010), variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat
atau nilai dari orang, objek, atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan. Variable
dapat didefinisikan sebagai atribut dari seseorang atau objek yang mempunyai variasi
antara satu orang dengan yang lain atau satu objek dengan objek yang lain. Variable
dalam penelitian ini adalah sebaran tingkat kerawanan banjir yang terdapat di Daerah
Aliran Sungai (DAS) Deli.
2. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan kepada suatu
variable dengan cara memberikan arti, atau mengspesifikasikan kegiatan, ataupun
memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variable tersebut
(Moh. Nazir, 2005). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa definisi
operasional variable dapat memberikan arti terhadap variable secara sistematis dan
berdasarkan karakteristik yang diteliti sehingga dapat mempermudah seseorang
dalam melakukan pengukuran secara cermat terhadap suatu objek yang diamati.
Definisi operasional variable dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Pemetaan

19
Pemetaan yang dimaksud adalah peta rawan banjir yang terdapat di Daerah
Aliran Sungai (DAS) Deli. Pemetaan ini dibagi menjadi 3 zona yaitu zona 1,
zona 2, dan zona 3. Ketiga zona dibagi berdasarkan debit maksimum (data curah
hujan dan koefisien air larian yang telah dikumpulkan) dan hasil overlay peta
rawan banjir dengan tujuan agar memudahkan proses analisis.
b. Tingkat kerawanan banjir
Tingkat kerawanan banjir yang menjadi variabel penelitian ini memiliki focus
berupa sebaran tingkat kerawanan banjir di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS)
Deli yang sering terjadi dan hampir terjadi setiap tahunnya. Untuk mengetahui
wilayah yang rawan banjir DAS Deli yang terdapat di Kabupaten Karo,
Kabupaten Deli Serdang dan Kota Medan dilakukan pengelompokkan masing-
masing zona 1, zona 2, dan zona 3.

E. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam
penelitian, karena tujuan utama penelitian adalah mendapatkan data. Dalam penelitian
ini digunakan metode pengumpulan data yaitu :
1. Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah cara pengumpulan data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya. Dalam penelitian ini, teknik
dokumentasi digunakan untuk mendapatkan data sekunder mengenai kondisi
umum daerah penelitian, peta batas DAS, data curah hujan, serta data-data
dokumentasi lainnya yang diperlukan dalam penelitian ini yang didapatkan dari
BPDAS Wampu Sei Ular (2012) Peta DAS RANPERDA Bidang PERKIM
Provinsi Sumatera Utara (2013), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(BMKG), dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA).
2. Observasi
Observasi adalah cara dan teknik pengumpulan data dengan melakukan
pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala atau fenomena yang

20
ada pada objek penelitian. Teknik observasi ini digunakan untuk mengumpulkan
data primer. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan
langsung ke lapangan atau lokasi penelitian dalam rangka untuk mendapatkan
data mengenai tingkat kerawanan banjir Daerah Aliran Sungai Deli.

F. Teknik Analisis Data


Menurut Sugiyono (2010), analisis data adalah mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan
dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data dalam kategori, menjabarkan ke
dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang
penting dan yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami
oleh diri sendiri dan orang lain.
Dalam penelitian ini teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif.
Data yang diperoleh akan direduksi, kemudian akan disajikan dalam bentuk
informative setelah ditarik kesimpulan.
a. Analisis Data Curah Hujan
1. Pengumpulan Data Hujan
Pencarian dilakukan di instansi yang terkait dengan data hujan, yaitu Badan
Klimatologi Meteorologi dan Geofisika (BKMG). Data curah hujan yang
terkumpul berupa data curah hujan tahunan (2012-2016) yang meliputi: (1)
jumlah curah hujan dan (2) bulan hujan. Nilai curah hujan rata-rata tahunan
dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

………………………………………………………………………………………….. (1)

Keterangan:
X = Curah hujan rata-rata tahunan
Ri = Curah hujan tahunan untuk tahun ke-i

21
N = Jumlah tahun data curah hujan yang digunakan untuk membuat peta
curah hujan

2. Pembuatan Peta Curah Hujan


Metode Poligon Thiessen mendefinisikan individu area yang dipengaruhi oleh
sekumpulan titik yang terdapat di sekitarnya. Poligon ini merupakan
pendekatan terhadap informasi titik yang diperluas (titik menjadi poligon)
dengan asumsi bahwa informasi yang terbaik untuk semua lokasi yang tanpa
pengamatan adalah informasi yang terdapat pada titik terdekat dimana hasil
pengamatannya diketahui, prosesnya menggunakan ArcGIS 10.3.

b. Analisis Peta Tekstur Tanah


Analisis peta tekstur tanah dilakukan untuk mempersiapkan peta tekstur tanah.
Peta tekstur tanah diperoleh dari analisis peta sebaran tanah dari Jurusan Pendidikan
Geografi Universitas Negeri Medan yang berasal dari Bakosurtanal yang berupa peta
vektor (shapefile). Pembagian sebaran jenis tanah tersebut kemudian di analisis untuk
mendapatkan testur tanah dengan mengunakan buku kunci taksonomi tanah, referensi
buku lainnya dan literatur jurnal dan penelitihan.

c. Membangun Basis Data


Tahap awal dari membangun basis data adalah melakukan pengerjaan
automatisasi data. Pengautomatisasi data dibagi menjadi dua tahapan pengerjaan
yaitu :
1) Proses digitasi
Digitasi adalah konversi data analog kedalam format digital pada komputer
dengan cara memasukkan data spasial ke dalam basis data, pembuatan peta
digital (coverage) dilakukan dengan mendigitasi citra yang telah dianalisis
menjadi peta penggunaan lahan.

22
2) Mentransformasikan hasil digitasi ke dalam koordinat bumi.
Setelah data spasial dapat digunakan maka dilakukan pekerjaan utama yang
dilaksanakan pada pengelolan basis data yaitu mentransformasikan coverage
hasil digitasi ke dalam koordinat bumi sehingga dapat ditumpangsusunkan
dengan coverage lain.

d. Menganalisis Data
Proses menganalisis data dibagi menjadi dua yaitu: analisis atribut dan analisis
keruangan. Atributing adalah proses pemberian atribut atau informasi pada suatu coverage.
Pemberian atribut ini lebih mudah dilakukan di ArcGIS, karena prosedurnya yang tidak
terlalu rumit.
1) Analisis Atribut
Proses analisis atribut dibagi menjadi dua bagian yaitu klasifikasi dan pengskoran
dan pembobotan.
(a) Klasifikasi dan Pengskoran
Klasifikasi yang dimaksud adalah pembagian kelas dari masing-masing peta
digital. Pengskoran dimaksudkan sebagai pemberian skor terhadap masing-
masing kelas. Menurut (Erlan Suherlan (2001) dalam Suhardiman (2012),
Pemberian skor ini didasarkan pada pengaruh kelas tersebut terhadap besarnya
banjir.
Adapun pemberian skor dilandasi beberapa filosofi, yaitu : 1) wilayah dengan
curah hujan tinggi memiliki kerentanan banjir lebih tinggi, 2) kemiringan lereng
yang landai memiliki kerentanan banjir lebih tinggi dari lereng yang curam, 3)
Tanah dengan tekstur sangat halus memiliki peluang kejadian banjir yang tinggi,
sedangkan tekstur yang kasar memiliki peluang kejadian banjir yang rendah 4)
bentuk lahan yang lebih landai hingga cekung memiliki kerentangan lebih tinggi,
5) semakin dekat dengan sungai atau badan air, maka kemungkinan terjadinya
genangan atau banjir yang berasal dari luapan sungai lebih besar, 6) Penggunaan
lahan yang dianggap rentan terhadap banjir adalah Penggunaan lahan yang lebih
berpengaruh pada air limpasan yang melebihi laju infiltrasi.

23
(b) Pembobotan
Pembobotan adalah pemberian bobot pada peta digital masing masing parameter
yang berpengaruh terhadap banjir, dengan didasarkan atas pertimbangan
pengaruh masing-masing parameter terhadap banjir. Pembobotan dimaksudkan
sebagai pemberian bobot pada masing-masing peta tematik (parameter).
Penentuan bobot untuk masing-masing peta tematik didasarkan atas
pertimbangan, seberapa besar kemungkinan terjadi banjir dipengaruhi oleh setiap
parameter geografis yang akan digunakan dalam analisis SIG. yang
menghasilkan pembobotan seperti ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pembobotan Parameter-Parameter Banjir
No. Parameter Banjir Bobot (%)
1 Curah Hujan 30
2 Penggunaan Lahan 20
3 Kelerengan 20
4 Tekstur Tanah 20
5 Ketinggian Lahan 10
Sumber: Primayuda (2006) dalam Suhardiman (2012)

2) Analisis Keruangan
Analisis keruangan dilakukan dengan menumpangsusunkan peta-peta digital yang
sebelumnya telah diberi skor dan bobot pada masing-masing peta digital
dilakukan dengan bantuan software ArcGis, sehingga menghasilkan peta zonasi
yang akan di analisis selanjutnya untuk mengetahui tingkat kerawanan banjirnya.
Peta-peta digital yang akan ditumpangsusunkan adalah peta curah hujan (Polygon
Thiessen), peta kelerengan, peta tekstur tanah dan peta penggunaan lahan.

e. Analisis Tingkat Kerawanan


Nilai kerawanan suatu daerah terhadap banjir ditentukan dari total
penjumlahan skor lima parameter yang berpengaruh terhadap banjir (curah hujan,
kelerengan, Ketinggian Lahan, Tekstur Tanah dan penggunaan lahan). Menurut

24
Kingma, 1991 nilai kerawanan ditentukan, dengan, menggunakan persamaan sebagai
berikut :

……………………………………………………………. (2)
Keterangan :
K = Nilai kerawanan
Wi = Bobot untuk parameter ke-i
Xi = Skor kelas parameter ke-i

Nilai kerawanan suatu daerah terhadap banjir ditentukan dari total


penjumlahan skor masing-masing parameter banjir, daerah yang sangat rawan
terhadap banjir akan mempunyai skor total yang tinggi dan sebaliknya daerah yang
tidak rawan terhadap banjir akan mempunyai total skor yang rendah. Tabel 2
menunjukkan tingkat kerawanan banjir berdasarkan nilai kerawanan penjumlahan
skor masing-masing parameter banjir.

Tabel 2. Nilai Tingkat Kerawanan Banjir


No. Tingkat Kerawanan Banjir Jumlah Nilai Semua Parameter
1 Sangat rawan banjir 6,75 – 9
2 Rawan Banjir 4,50 – 6,75
3 Kurang rawan banjir 2,25 – 4,50
4 Tidak rawan banjir < 2,25

f. Menyajikan Hasil Analisis


Setelah didapat nilai kerawanan banjir maka peta tersebut ditumpangsusunkan
dengan peta administrasi daerah sehingga akan didapatkan daerah cakupan
banjir. Hasil analisis disajikan dalam bentuk peta kerawanan banjir. Penyajian
hasil dilakukan dengan bantuan software ArcGis.

25
DAFTAR PUSTAKA

Purnama, Asep. 2008. Pemetaan Kawasan Rawan Banjir di Daerah Aliran Sungai
Cisadane menggunakan Sistem Informasi Geografis. (skripsi). Bogor: Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

Suhardiman. 2012. Zonasi Tingkat Kerawanan Banjir Dengan Sistem Informasi


Geografis (SIG) pada Sub DAS Walanae Hilir. (skripsi). Makassar: Fakultas
Pertanian, Universitas Hasanudin

Dimas, Aji N Muh, Bambang Sudarsono, Bandi Sasmito. 2014. Identifikasi Zona
Rawan Banjir Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus : Sub DAS
Dengkeng). Jurnal Geodesi UNDIP. id.portalgaruda.org.

26
Widyanti, Santosa Wicke, Andri Suprayogi, Bambang Sudarsono. 2015. Kajian
Pemetaan Tingkat Kerawanan Banjir dengan menggunakan Sistem Informasi
Geografis (Studi Kasus : DAS Beringin, Kota Semarang). Jurnal Geodesi UNDIP.
id.portalgaruda.org

BPDAS Wampu Sei Ular (2012) Peta DAS RANPERDA Bidang PERKIM Provinsi
Sumatera Utara (2013). Data Daerah Aliran Sungai Deli Provinsi Sumatera Utara.

27

Anda mungkin juga menyukai