Anda di halaman 1dari 11

Page |1

‘MENAMPAR’ JOKOWI ALA


PTPN XIII1
oleh Erdi

Ketika maju sebagai calon Presiden RI, Jokowi JK


mengusung Indonesia Hebat yang dituangkan ke dalam 7
Misi dan dioperasionalkan melalui 9 agenda aksi yang
disebut Nawacita. Memasuki tahun ketiga, pemerintah
fokus untuk merealisasikan perbaikan ekonomi, tidak
terkecuali dituntut pada PTPN XIII. Dalam dua tahun
pemerintahan Jokowi, tercatat perusahaan ini mengalami
“kerugian spektakuler”, masing-masing Rp 318,5 M tahun
2015 dan tahun 2016 Rp 241 M.
Di tengah pihak Direksi dan Komisaris PTPN XIII
melakukan rasionalisasi dan penyehatan perusahaan atas
“kerugian spektakuler” yang telah dialami perusahaan ini
dalam lima tahun terakhir, paling tidak sudah dua kali
dilakukan program pembinaan. Pertama mereka sebut
sebagai due diligent seperti tertuang dalam kontrak kerja
antara PT. MAS dengan PTPN XIII dengan biaya cukup besar
(untuk ukuran saya sebagai PNS rendahan di universitas)
yang dimaksudkan untuk rasionalisasi tanaman dan pabrik.
Kedua adalah pendampingan SDM oleh perusahaan yang
sama dengan biaya yang juga milyaran rupiah, yang
dimaksudkan untuk menata ulang SDM. Alhasil, Nusantara
XIII eksis merugi ratusan milyar rupiah per tahun.
Pembiayaan program dalam kerangka sinergi integritas

1 Ini adalah edisi lengkapnya; sementara edisi singkatnya disertakan dalam file
ini. Edisi singkat dimaksud telah dimuat pada Harian Pontianak Post pada
Kolom Opini di hari Jum’at. 3.2.2017 halaman 11

Dr. Erdi, M.Si


LP3M UNTAN, Dosen FISIP UNTAN, IPDN Kalbar dan UPBJJ-UT Pontianak
Page |2

dan profesional (SIP) ternyata belum memberi kontribusi


berarti pada perbaikan kinerja perusahaan. Uang negara
milyaran rupiah telah dikeluarkan tanpa memberikan hasil
signifikan pada kinerja dan kemudian kebijakan dimaksud
dimaknai sebagai kesalahan strategi yang terjadi di “masa
lalu dan masa kini” yang “boleh” dimaafkan (forgiven) dan
tidak perlu diungkit-ungkit lagi, meskipun berkaitan dengan
kegagalan investasi yang cenderung merugikan negara(?)
yang saya prediksi jumlahnya mencapai angka spektakuler;
yakni Rp 1,3 Triliun.
Tulisan saya pada edisi yang lalu yang sempat
terpotong, seperti diungkap oleh sahabat, seorang petani
sawit mitra Djarum Group bahwa kalau perusahaan negara
(PN); maksud sahabat itu adalah PTPN XIII; tidak rugi berarti
dewan komisaris dan dewan direksi tidak hebat; dan ketika
rugi barulah dekom dan direksi itu hebat. “Lho, koq begitu
Beb” tanyaku padanya. Petani itu lanjut mengatakan
“dekom dan direksi disebut hebat karena mampu
menguras uang negara tanpa terlacak dan tak juga
dipersalahkan secara hukum”. Mungkin fenomena ini yang
membuat Presiden Jokowi gerah dan geram sehingga
akhirnya Bapak Presiden berfikir kalau WNA mungkin lebih
baik untuk memimpin BUMN yang oleh banyak orang
diplesetkan sebagai Badan Usaha Milik Nenek-moyang.
Mudahan Presiden Jokowi bersabar dan tidak segera
melelang jabatan direksi dan dekom BUMN kepada pihak
asing. Saya percaya masih banyak anak bangsa ini yang
mampu membuat BUMN maju dan terdepan, termasuk
PTPN XIII ini; apalagi masyarakat dan juga pemerintah
daerah sudah sangat mendukung keberadaan dan
operasionalisasi perusahaan plat merah ini.
Dari kasus due diligent dan pendampingan atas PTPN
XIII oleh PT. MAS saya maknai sebagai upaya pelemahan
institusi milik negara (PTPN XIII) yang dilakukan oleh para
pemegang kekuasaan dan kewenangan pada

Dr. Erdi, M.Si


LP3M UNTAN, Dosen FISIP UNTAN, IPDN Kalbar dan UPBJJ-UT Pontianak
Page |3

perusahaan tersebut (direksi dan dekom). Oleh karena itu,


kedua program ini adalah melemahkan posisi tawar
(bargaining position) BUMN atas PBSN. Sebagai seorang
sarjana kebijakan publik, saya ingin merujuk pendapat
Freidmann (1971:5) dan Reintsma (2007:22) bahwa “negara
harus kuat dan berada di atas segala institusi lain (yang
bukan milik negara) agar dapat melaksanakan empat
fungsi negara, yakni sebagai penyedia (provider), sebagai
pengatur (regulator), sebagai pengusaha (entrepreneur)
dan sebagai wasit (umpire)”. Sementara Barzel (2002:21)
lebih tegas lagi menyatakan bahwa institusi negara dapat
menekan individu dan institusi swasta dengan sebuah
ultimatum dalam teritori kedaulatan negara. Jadi, due
diligent dan pendampingan oleh PT. MAS atas PTPN XIII
menurut saya adalah tindakan mubazir dan bahkan
terindikasi merendahkan institusi publik. Kebijakan ini
menurut saya sekaligus “menampar Presiden Jokowi c.q.
Meneg BUMN” yang hendak mewujudkan Indonesia Hebat
di segala bidang melalui implementasi 9 Nawacita.
Andaikan saya adalah Menteri BUMN atau Presiden
RI, saya akan ambil tindakan tegas kepada Direksi dan
Dekom atas kedua program tersebut dan meminta agar
para pihak yang terlibat dalam dua program tersebut untuk
mengembalikan dana yang telah dikeluarkan bagi
kegiatan ini. Tidak boleh ada pemegang otoritas yang
boleh melemahkan institusi publik dalam wadah NKRI
seperti ditegaskan kembali oleh Kasim dan Anindyajati
(2016). Mengapa Direksi dan Dekom PTPN XIII tidak minta
pendampingan kepada PTPN yang lebih sehat atau
kepada holding? Kenapa harus kepada pihak swasta?
Dengan demikian, due diligent dan pendampingan oleh PT.
MAS atas PTPN XIII adalah merusak citra BUMN itu sendiri!
Mari kita tuturkan kondisi perusahaan saat ini agar dapat
menilai apakah due diligent dan pendampingan yang
telah dilakukan oleh PT. MAS atas PTPN XIII dengan biaya
milyaran rupiah itu; wajar atau tidak; atau perlu atau tidak.

Dr. Erdi, M.Si


LP3M UNTAN, Dosen FISIP UNTAN, IPDN Kalbar dan UPBJJ-UT Pontianak
Page |4

Perbedaan harga pembelian TBS antara petani


plasma (Pirbun, KKPA, Revitalisasi dan PSM) dan petani
binaan KUD dan atau Pihak ke-3 telah menimbulkan
hubungan antara perusahaan dengan masyarakat
menegang sejak dua tahun terakhir dan belum
terselesaikan hingga kini. Kita berharap agar pemerintah
dan pemerintah daerah ikut dan cepat terlibat dalam
menyelesaikan persoalan ini agar tidak semakin menegang
dan tidak pula semakin berlarut-larut. Pergub No. 86 tahun
2015 yang mengatur tentang tata niaga dan pembelian TBS
dipersepsi petani telah diabaikan oleh PTPN XIII dan ini
menjadi sumber ketegangan antara perusahaan dan
masyarakat. Quota produksi kepada KUD diturunkan
melalui sebuah kebijakan direksi yang kemudian diprotes
habis-habisan oleh petani melalui KUD. Sampai dengan
November 2015, suplay TBS dari KUD ke PKS mencapai
10.000 sd 15.000 ton per bulan atau sekitar 400 sd 600 ton per
hari. Setelah kebijakan pembatasan quota (periode setelah
November 2015 sd Januari 2017), KUD diberi jatah 5.000 ton
per bulan atau 200 ton per hari. Akibatnya, petani menjual
TBS mereka ke tengkulak atau pengumpul. Ini membuat
petani merugi karena tengkulak membeli TBS mereka di
bawah harga ketentuan pemerintah, meskipun TBS dibayar
kontan. Pengumpul kemudian mengirim TBS ke PBSN,
padahal PKS Parindu dengan kapasitas olah maksimal 1.200
ton per hari tidak terpenuhi hingga saat ini. Rata-rata
kapasitas olah PKS hanya 450 sd 500 ton per hari (40%
terhadap kapasitas terpasang); sehingga kinerja PKS yang
merupakan ujung tombak operasional perkebunan
terganggu. Kebijakan ini sekaligus memposisikan KUD
berada di ujung tanduk; padahal dari sejarahnya, KUD
adalah mitra sejati PTPN XIII hingga batas waktu yang tidak
pernah ditentukan ke depannya.

Dr. Erdi, M.Si


LP3M UNTAN, Dosen FISIP UNTAN, IPDN Kalbar dan UPBJJ-UT Pontianak
Page |5

Selain perbedaan harga, kebijakan quota kepada


KUD, dan kinerja PKS juga rendah; juga pembayaran gaji
(sebenarnya bukan gaji, tetapi pembayaran atas
pembelian TBS petani) yang terlambat atau meleset dari
jadwal; pernah hingga 1.5 bulan dari komitmen jangka
waktu hutang sebulan. Dengan keterlambatan ini,
pengurus KUD didesak-desak oleh anggota untuk mengurus
pencairan pembayaran dan ini berimplikasi pada
kepercayaan anggota kepada pengurus KUD. Padahal,
pengurus KUD sudah kerja siang-malam memperjuangkan
nasib anggota. Dengan keterlambatan ini, terdapat
kerugian immaterial pada diri pengurus KUD yang tidak
pernah diperhitungkan oleh pihak perusahaan.
PKS juga sering rusak, mungkin akibat kurang
maintenance dan atau perbaikan-perbaikan yang
seadanya atau bisa juga akibat pemakaian suku cadang
yang tidak sesuai standard. Silakan pihak direksi yang
menjelaskan ini. Yang jelas, kerusakan PKS berdampak
pada kebijakan pusingan panen dari 7 hari menjadi 10 hari
sehingga PKS tidak sempat istirahat. Sehebat apapun
pabrik, kalau jam istirahat tak diperhatikan, akan kolaps
juga! Kondisi detil 9 PKS di lingkup PTPN XIII yang menguasai
Pulau Kalimantan ini digambarkan sebagai berikut.
Untuk PKS di DKB-1 yang meliputi Gunung Meliau dan
Rimba Belian ternyata idle kapasitas. Kapasitas terpasang
PKS Gn. Meliau adalah 60 ton per jam atau 1.200 ton per
hari, hanya terealisasi 800 ton per hari (70%). Demikian juga
PKS Rimba Belian dengan kapasitas 30 ton per jam (600 ton
per hari), realisasi hanya 60 sd 67% saja. Ini akibat kebijakan
pembedaan harga seperti telah dijelaskan di atas. PKS
Rimba Belian hanya 100 ton per hari, sementara PKS
Gunung Meliau hanya 200 sd 250 ton per hari padahal
suplay TBS bisa memenuhi kapasitas terpasang. Akibat

Dr. Erdi, M.Si


LP3M UNTAN, Dosen FISIP UNTAN, IPDN Kalbar dan UPBJJ-UT Pontianak
Page |6

kebijakan di atas, produk TBS petani lari ke pengumpul


(tengkulak) dan PBSN.
Untuk wilayah DKT (Kaltim) juga demikian; dan
bahkan lebih hebat dalam persaingan dengan PBSN. Di
sana berlaku hukum ekonomi, bahkan pihak PBSN berani
membeli TBS dari kebun plasma di atas harga ketetapan
Dirjenbun. Terdapat 4 PKS di wilayah DKT; yakni di PKS
Semuntai, PKS Longpinang dan PKS Longkali dan PKS
Lembah Batu. Semua unit kerja tersebut telah pernah
penulis kunjungi dan bahkan penulis ikut terlibat dalam
penyelesaian konflik saat kebun Tabara di Desa Damit
diportal oleh penduduk hingga 8 bulan tidak boleh ada
operasi di atas kebun inti seluas 800-an Ha tersebut.
Kesemua unit kerja ini berada di Kabupaten Tanah Grogot.
PKS yang masih aktif hanyalah PKS Semuntai dan PKS Long
Pinang dengan kapasitas terpasang 2.000 ton per hari atau
100 ton per jam; namun kondisinya idle kapasiti karena
realisasi olah kurang dari 1.000 ton per hari dan bahkan
kinerja PKS juga sangat buruk bila dilihat dari rendeman dan
asam lemak. Dengan kondisi di atas, setoran TBS plasma dari
kebun Pirbun, KKPA dan PSM sangat minim ke PKS sendiri.
Semestinya, TBS dari kebun-kebun di atas harus masuk ke
PKS milik PTPN XIII agar pembayaran kredit petani lancar.
Dengan kondisi amboradol seperti ini, cicilan kredit petani
yang paling gagal berada di wilayah DKT; belum lagi ada
dugaan investasi gagal yang potensi merugikan negara
yang terjadi di Kalbar (Kembayan-2: 1.150 Ha, Ngabang-
2/Mengkatang: 350 Ha, Sungai Dekan: 650 Ha, Gn. Meliau:
150 Ha, Parindu: 70 Ha, Sintang/Landau Kodam: 1.500 Ha,
KKR: 8.000 Ha) dan juga terjadi di Kaltim (Pandawa: 1.000
Ha, Muara Komam: 3.000 Ha, Tajati: 1.500 Ha dan Longkali:
600-700 Ha); serta pada anak perusahaan (Kalimantan
Agro Nusa kerjasama dengan PT. Pupuk Kaltim di Kaltim,

Dr. Erdi, M.Si


LP3M UNTAN, Dosen FISIP UNTAN, IPDN Kalbar dan UPBJJ-UT Pontianak
Page |7

dan PT. Nusantara Batulicin, kerjasama dengan Pemda Batu


Licin di Kalsel). Sampai saat ini, belum ada pihak-pihak yang
dinyatakan bersalah atau bertanggung-jawab atas
sengkarut pengelolaan yang terjadi di perusahaan plat
merah ini; tidak juga jajaran direksi dan dekom sebelumnya
ikut dimintai tanggung-jawab. Semua pihak “aman dan
tenang-tenang saja” persis seperti pendapat Bang Habib di
awal tulisan saya ini.
Untuk Wilayah DKST (Kalteng dan Kalsel), terdapat
sebanyak 2 PKS; yakni PKS Pelaihari dan Pamukan.
Keduanya juga pernah penulis kunjungi. PKS Pelaihari
dengan kapasitas terpasang 30 ton per jam atau 600 ton
per hari. Suplai TBS dari kebun inti rata-rata 200 ton per hari,
ditambah TBS dari kebun plasma 50 sd 75 ton per hari;
sehingga tetap mengharapkan pasokan TBS dari kebun
pihak ke 3 sebesar 350 sd 400 ton per hari. Sementara PKS
Pamukan juga idle kapasiti karena produksi yang masuk
berkisar 75 sd 100 ton per hari; sementara kapasitas
terpasang 600 ton per hari. Dengan demikian, PKS ini sangat
membutuhkan TBS pihak ke 3 hampir 500 ton per hari. Untuk
menggaet TBS dari pihak ke-3, dibutuhkan strategi
pemasaran dan penjalinan hubungan yang baik dengan
petani. Tanpa strategi itu, mustahil petani mau menjual TBS
ke PTPN XIII. Dampaknya adalah kinerja perusahaan
rendah, kualitas produksi (CPO) rendah (rendemen dan
asam lemak) dan akhirnya perusahaan merugi karena
“lebih besar pasak daripada tiang” plus kerugian dari mis-
kelola dan investasi gagal yang berpotensi menimbulkan
kerugian negara sebesar setahun APBD salah satu
kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat.
Sebagai simpulan dan sekaligus kunci sukses PTPN XIII
saat ini adalah: (1) PKS harus ready dan penuhi kapasitas
terpasang dengan diberi waktu istirahat wajar; (2) Pastikan

Dr. Erdi, M.Si


LP3M UNTAN, Dosen FISIP UNTAN, IPDN Kalbar dan UPBJJ-UT Pontianak
Page |8

bahan baku sesuai kapasitas terpasang tersedia dari kebun


sendiri dan mitra; (3) Lakukan perbaikan PKS secara benar
dan berkala dan pastikan tidak pernah ada mar-up, baik
harga maupun kualitas alat; (4) Kembalikan pusingan
panen ke 5 atau 6 hari agar kebun dan pabrik dapat
dibersihkan secara tuntas sebelum hari Minggu; (5)
Pemakaian biaya yang efisien dan efektif, tidak hanya
akuntabel di atas kertas; (6) Pembenahan SDM yang
berorientasi pada produktivitas; bukan pada kertas dan
laporan-laporan; dan tidak pula pada penyelamatkan
kesalahan masa lalu; (7) Jalin hubungan baik dengan
petani melalui KUD. Point ke-tujuh ini sangat penting
dilakukan PTPN XIII karena areal PTPN XIII mencakup
pelibatan plasma yang besar, yakni 55% ditambah pihak ke-
3 yang juga mencapai kisaran 50.000 Ha; dengan estimasi
Kalbar seluas 25.000 Ha; Kaltim seluas 15.000; dan Kalsel-
Kalteng seluas 10.00 Ha. (8) Berilah peluang profit kepada
KUD dan tidak kepada tengkulak karena KUD adalah mitra
sejati perusahaan dalam jangka panjang; (9) Bunuh usaha
kutu loncat (tengkulak) melalui penguatan KUD; (10)
Kembalilah ke khittah PTPN seperti di tahun 1980 dimana
orang dalam tidak boleh berbisnis di dalam agar
pemegang otoritas tidak membuat kebijakan yang
mengarah pada penguatan kroni bisnis internal; dan (11)
Memastikan laporan rugi laba tidak ada rekayasa agar
tidak menimbulkan kesulitan, baik bagi penelusuran ulang
transaksi maupun bagi komisaris utama atau Meneg BUMN
dalam mengambil kebijakan.
Saya belum dapat memastikan kesebelas langkah di
atas adalah valid; mengingat kapasitas dan kewenangan
yang tidak dimiliki; kecuali Presiden Jokowi cq Meneg
BUMN dan Gubernur Cornelis memberikan kesempatan
kepada saya menjadi Komisaris Utama pada PTPN XIII ini.

Dr. Erdi, M.Si


LP3M UNTAN, Dosen FISIP UNTAN, IPDN Kalbar dan UPBJJ-UT Pontianak
Page |9

Kita memiliki kesamaan objek untuk dicintai: bila rakyat


sejahtera, negara akan kuat dan pemerintah hebat!
Saya adalah sarjana administrasi publik, meskipun
tidak pernah belajar budi-daya perkebunan, tetapi mampu
memasukkan nafas kebijakan pada dunia perkebunan
sehingga saya menjadi faham tentang apa yang harus
dilakukan oleh pimpinan perusahaan ini untuk menunjukkan
“what director or commissioner should done to make
performance and profitability of PTPN XIII more better and
increase”. Ketika due diligent dan pendampingan dalam
kontek implementasi SIP yang diambil direksi dan komisaris,
selain saya anggap menampar Presiden Jokowi yeng
tengah memperjuangkan Indonesia Hebat, juga perlu
dicurigai mungkin “ada udang” dibalik kedua program
tersebut. Saya tetap bersikukuh bahwa PTPN haruslah
dikelola lebih baik dari PBSN karena PTPN yang merupakan
representasi dari pemerintah (negara) semestinya bertindak
sebagai pemimpin dalam tata kelola komoditi perkebunan
di Indonesia. Semestinya, BUMN atau PTPN XIII dapat
berperan sebagai konsultan bagi PBSN di Pulau Kalimantan
dan bukan justru sebaliknya: menjadi objek penataan! Due
diligent dan pendampingan oleh PT. MAS atas PTPN XIII
adalah fenomena terbalik yang melemahkan institusi milik
negara (pemerintah). Direksi dan Dekom PTPN XIII silakan
membantah opini ini jika tidak sependapat dengan saya.

Dr. Erdi, M.Si


LP3M UNTAN, Dosen FISIP UNTAN, IPDN Kalbar dan UPBJJ-UT Pontianak
P a g e | 10

Referensi
Barzel, Yoram. 2002. A Theory of the State: Economic Right,
Legal Right, abd the Scope of the State.
Cambridge University Press. New York.
Friedmann, W. 1971. The State and the Rule of Law in a
Mixed Economy. Steven and Son: London.
Kasim, Helmi dan Titis Anindyajati. 2016. “Perspektif
Konstitusional Keduduan Negara dan Swasta
Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air Menurut
UUD 1945” dalam Jurnal Konstitusi. Volume 13, No.
2, Juni.
Reintsma, Mary. 2007. The Political Economy of Welfare
Reform in the United States. Edward Elgar.
Cheltenham, UK.

Dr. Erdi, M.Si


LP3M UNTAN, Dosen FISIP UNTAN, IPDN Kalbar dan UPBJJ-UT Pontianak
P a g e | 11

Dr. Erdi, M.Si


LP3M UNTAN, Dosen FISIP UNTAN, IPDN Kalbar dan UPBJJ-UT Pontianak

Anda mungkin juga menyukai