Dibuat oleh:
Danung Trishadaniarty G0116039
Esti Fany Vidia N G0116046
Lola Aprilia G0116073
Pamela Rahmatika G0116092
Resta Maharani A.P G0116098
PRODI PSIKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2018
Dalam Jurnal “Pengaruh Dukungan Sosial dan Kepemimpinan Transformasional Terhadap
Komitmen Organisasi dengan Mediator Motivasi Kerja” oleh Miftahun Ni’mah Suseno dan
Sugiyanto, terbukti bahwa komitmen organisasi dapat dipengaruhi oleh dukungan sosial dan
kepemimpinan transformasional. Sebelum mengetahui bagaimana cara mengembangkan
komitmen organisasi, kita perlu mengerti terlebih dahulu pengertian dari komitmen organisasi.
A. Komitmen Organisasi
Steers & Porter (1983) memaparkan beberapa definisi komitmen organisasi yang
dikemukakan oleh para ahli antara lain:
a. Sheldon mendefinisikan komitmen sebagai suatu orientasi terhadap organisasi yang
menghubungkan atau melekatkan individu pada organisasi tersebut.
b. Kanter mendefinisikan komitmen organisasi sebagai keinginan dari pelaku‐pelaku
sosial untuk memberikan tenaga dan kesetiaannya pada sistem‐sistem sosial.
c. Hrebiniak & Alutto (1972) yaitu sebagai suatu gejala struktural yang terjadi sebagai
akibat dari suatu transaksi antara individu dan organisasi dalam investasi selama
beberapa waktu.
d. Salancik (1977) menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah suatu tahap pada saat
individu menjadi terikat karena tindakan‐tindakannya dan dengan tindakan tersebut
tumbuh keyakinan untuk tetap mempertahankan aktivitas dan keterlibatannya.
e. Hall, Schneider, & Nygren (1970) merupakan proses agar tujuan organisasi dan tujuan
individu lebih terintegrasi dan kongruen.
Melalui berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut,Steers & Porter (1983)
menyimpulkan bahwa terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk menjelaskan konsep
komitmen karyawan terhadap organisasi, yaitu komitmen dalam kategori sikap dan komitmen
dalam kategori perilaku.
Komitmen terhadap organisasi terdiri dari tiga komponen yang berbeda yaitu komitmen
sebagai kelekatan afeksi kepada organisasi, komitmen dipandang sebagai biaya yang timbul jika
meninggalkan organisasi, dan komitmen sebagai kewajiban untuk tetap berada dalam organisasi,
sehingga dapat dikatakan bahwa komitmen organisasi mengandung elemen keinginan, kebutuhan,
dan kewajiban. Berdasarkan tiga komponen tersebut, Meyer et al. (1993) mengajukan konsep tiga
komponen komitmen organisasi, yaitu komitmen afektif, komitmen kontinuitas, dan komitmen
normatif. Komitmen afektif yang berkaitan dengan aspek emosional, identifikasi, dan keterlibatan
karyawan dalam organisasi.
Komitmen afektif merupakan proses sikap dimana seseorang berpikir tentang
hubungannya dengan organisasi dengan mempertimbangkan kesesuaian antara nilai dan tujuannya
dengan nilai dan tujuan organisasi. Komitmen kontinuitas yaitu persepsi karyawan tentang
kerugian yang akan dihadapinya jika ia meninggalkan perusahaan. Komitmen normatif yang
merupakan perasaan-perasaan seperti tanggungjawab, loyalitas, atau kewajiban moral terhadap
organisasi. Berdasarkan definisi komitmen organisasi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
komitmen organisasi bukan sekedar loyalitas karyawan yang pasif terhadap organisasi, tetapi juga
menggambarkan hubungan karyawan dengan organisasi secara aktif, yang ditunjukkan dengan
keterlibatannya dalam kegiatan organisasi dalam usaha mencapai tujuan organisasi.
Komitmen pada organisasi merupakan suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak
pada suatu organisasi dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam
organisasi itu. (Robbins,2001:140). Mengingat betapa pentingnya suatu komitmen dalam
berorganisasi maka tidaklah berlebihan jika komitmen tersebut harus dibangun dipelihara dan
ditingkatkan.
B. Kepemimpinan Transformasional
C. Dukungan Sosial
Safarino (1990) mengungkapkan bahwa dukungan sosial mengacu pada kesenangan yang
dirasakan, penghargaan atau kepedulian, atau membantu orang menerima sesuatu dari orang lain
atau kelompok lain. Menurut Katz & Kahn (1979), komunikasi akan memberikan sifat positif
disertai rasa suka, rasa percaya, dan adanya penghormatan yang sangat berarti yang dirasakan bagi
orang yang mendapat dukungan sosial. Caplan (dalam Seers, Mc.Gee, Serey, & Graen, 1983)
mengungkapkan bahwa dukungan sosial adalah tindakan menolong orang lain dan ketenteraman
berkomunikasi dengan orang lain.
Perilaku menolong ini termanifestasi dalam tiga bentuk yaitu pertama, pemberian perhatian
afeksi dan pemeliharaan yang membantu mempertahankan harga diri dan mendukung keyakinan,
kedua adalah bantuan informasi dan bimbingan pemecahan masalah yang praktis, dan ketiga yaitu
dukungan dalam bentuk pemberian dorongan berupa penilaian atau umpan balik (Crider, 1983).
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai dukungan sosial maka dapat disimpulkan bahwa
dukungan sosial adalah suatu bentuk hubungan interpersonal dengan orang‐orang yang ada di
sekitar, yang didalamnya terdapat pemberian bantuan yang dapat berupa empati yang diberikan
melalui proses komunikasi, kontak sosial yang pada akhirnya akan mendapatkan kesenangan,
penghargaan dari orang yang mendapatkan bantuan, serta perasaan diperhatikan dari orang yang
menerima bantuan atau dukungan.
Pemberian dukungan ini meliputi perhatian afeksi dan pemeliharaan yang membantu
mempertahankan harga diri dan mendukung keyakinan, kedua adalah bantuan informasi dan
bimbingan pemecahan masalah yang praktis, dan ketiga yaitu dukungan dalam bentuk pemberian
dorongan berupa penilaian atau umpan balik. Menurut Caplan (dalam Crider, 1983) dukungan
sosial mempunyai 3 komponen, yaitu perhatian emosional, informasi, dan penilaian. Perhatian
emosional yaitu individu merasa bahwa orang‐orang yang ada di sekitarnya memberikan perhatian
pribadi pada dirinya dan membantu memecahkan masalah, baik masalah yang dihadapi dalam
pekerjaan maupun masalah pribadi. Informasi yaitu individu mendapatkan informasi‐informasi
yang dibutuhkan dan juga dapat menyampaikan informasi kepada individu‐individu yang lain.
Pemberian dorongan dan penilaian (umpan balik) yaitu individu mendapatkan perhatian dorongan,
umpan balik atau penilaian yang mendukung atas pekerjaan yang dilakukannya.
F. TEORI DESSLER
Dalam teorinya Dessler mengidentifikasi bagaimana cara membangun komitmen melalui
pendekatan “ Roda Komitmen “ ( The Commitment Wheel ) sebagaimana digambarkan sebagai
berikut :
1. Lingkaran Inti
Merupakan lingkaran paling dalam dari teori “ roda komitmen “ Dessler. Fokus pada
lingkaran ini adalah membangun komitmen dengan cara mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan
( People First Value ). Artinya jika suatu organisasi ingin membangun komitmen, yang pertama
yang harus dilakukan adalah organisasi harus mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan kepada
seluruh individu / karyawan yang ada di dalamnya, yaitu individu/ karyawan harus dipandang
sebagai manusia secara utuh bukan sekedar sebagai salah satu dari sekian banyak faktor produksi.
Disamping organisasi harus berkeyakinan bahawa sumber daya manusia merupakan asset penting
yang akan menentukan sukses atau tidaknya suatu organisasi dalam mencapai tujuannya serta
harus dijaga dan dipelihara dengan baik nilai-nilai kemanusiaannya. Agar organisasi dapat
mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan, maka organisasi harus melakukan langkah-langkah sebagi
berikut :
Maksudnya hendaknya organisasi memahami apa yang menjadi orientasi dan tujuan
individu / karyawan masuk dalam organisasi tersebut, tetapi secara timbal balik, individu /
karyawan juga harus memahami apa orientasi dan tujuan yang hendak dicapai oleh organisasi.
Dengan demikian akan terjadi kesatuan langkah antara individu / karyawan dengan organisasi.
Maksudnya langkah ini adalah untuk menyatakan bahwa bahwa baik organisasi maupun
individu / karyawan menuliskan hak-hak dan kewajibannya yang berkenaan dengan nilai-nilai
kemanusiaan untuk disepakati bersama, misalnya semboyan-semboyan, pedoman / peraturan,
kesepakatan-kesepakatan yang mampu mendorong komitmen keduabelah pihak.
Maksudnya, organisasi menjabarkan dan menterjemahkan apa yang telah ditulis dan
disepakati kedalam realitas kegiatan organisasi. Dalam hal ini organisasi memberikan hak-hak
individu/ karyawan yang berkenaan dengan kebutuhan kemanusiaannya. Sedangkan Individu /
karyawan melaksanakan kewajibannya kepada organisasi.
Untuk lingkaran lapis kedua, menunjukkan prioritas yang akan dilakukan organisasi untuk
mewujudkan komitmen organisasional setelah organisasi mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan,
yaitu :
a. Komunikasi dua arah ( Double – Talk )
Yang dimaksud dalam hal ini komunikasi dari atasan kepada bawahan ( Top – down )
maupun dari bawahan kepada atasan ( Bottom – Up. Untuk terjadinya kominikasi dua arah
dibutuhkan suatu saluran dan mekanisme yang berfungsi sebagai sarana terjadinya kemunikasi
tersebut yang berupa rapat-rapat resmi, pertemuan-pertemuan informal, surat edaran, laporan
tertulis, maupun dengan menggunakan alat-alat audio visual. Dalam suatu organisasi, komunikasi
ii menjadi sangat penting agar kedua belah pihak saling percaya dan mengatuhi keinginan masing-
masing sehingga mampu meningkatkan kinerja organisasi dalam mencapai tujuan.
b. Kesatuan ( Communion )
Yang dimaksud dengan kesatuan ini adalah adanya kesatuan atau keserasian dan
keselarasan antara interest individu dengan interest organisasi. Pimpinan organisasi perlu
memperkuat rasa persatuan, rasa keterikatan, dan rasa memiliki serta rasa partisipasi seluruh
individu terhadap organisasi, sehingga seluruh individu akan merasa menjadi bagian yang utuh
dari organisasi.
Yang dimaksud dengan mediasi transendental ini adalah agar individu / karyawan memiliki
komitmen terhadap organisasi, maka organisasi harus menetapkan visi, misi dan nilai-nilai spesifik
yang dikembangkan organisasi secara jelas dan konsisten sehingga dapat dijadikan pegangan dan
pedoman bagi seluruh individu dalam mencapai tujuan bersama.
Lingkaran lapis ketiga ini menggambarkan prioritas ketiga bagi organisasi dalam
membangun komitmen organisasional para individu yang ada di dalamnya yaitu dengan cara :
Dalam hal ini organisasi dalam mempekerjakan seorang individu / karyawan bukan
semata-mata mendasarkan pada ketrampilan dan kemampuan teknis tetapi juga
mempertimbangkan aspek nilai-nilai, sikap dan mental serta komitmen seseorang terhadap
pekerjaan dan organisasinya
b. Jaminan keamanan ( Securitizing ).
Dalam hal ini Organisasi harus dapat memberikan jaminan rasa aman dalam berkerja serta
harapan-harap kedepan yang dapat menjadikan individu terus ingin bergabung berada di dalam
organisasi seperti jaminan keselamtan dan kesehatan kerja, prospek karier yang jelas, jaminan hari
tua dan sebagainya.
Dalam hal ini organisasi / perusahaan memberlakukan system imbalan yang ketat, tetapi
sekaligus menjamin kesejahteraan individu / karyawan. Sistem reward yang ketat memberikan
gambaran tentang besarnya reward yang diberikan kepada individu / karyawan akan
mencerminkan seberapa besar kontribusi individu tersebut dalam upaya pencapaian tujuan
organisasi.
Lingkaran ini merupakan lapis yang terakhir, yaitu Aktualisasi ( Actualizing ), yang berarti
bahwa hal ini merupakan urutan prioritas terakhir dalam membangun komitmen organisasional,
yaitu organisasi harus mampu meyakinkan bahwa semua individu dalam organisasi memiliki
kesempatan yang sama untuk mengaktualisasikan kemampuannya dan ketrampilannya. Dalam hal
ini organisasi perlu membuat program-program pelatihan dan pendidikan dalam upaya
meningkatkan kualitas individu dalam organisasi seperti job enlargement dan job enrichment, dan
selanjutnya memberikan pekerjaan dan tugas yang menantang dirinya.
DAFTAR PUSTAKA