Preferensi Dan Peta Mental
Preferensi Dan Peta Mental
ISI
2.1. Preferensi
(1) (hak untuk) didahulukan dan diutamakan dari pada yang lain; prioritas
Preferensi lingkungan merupakan hasil dari persepsi dan sikap manusia terhadap
lingkungannya. Merupakan respon manusia terhadap lingkungan yang bergantung pada
bagaimana individu tersebut mempersepsi serta mendeskripsi lingkungan. Salah satu hal yg
dipersepsi manusia terhadap lingkungannya adalah ruang (space) disekitarnya. Dapat
diungkapkan dengan proses membandingkan, kondisi ini menyebabkan penguna
3
membandingkan satu stimulan dengan stimulan yang lain. Dari hasil perbandingan tersebut
pengguna menetapkan mana yg lebih nyaman,indah dan lain sebagainya
Yang harus diperhatikan dalam desain adalah dengan tidak memaksakan pemuasan
estetika sebagai kebutuhan dasar, tetapi lebih mempertimbangkan keindahan sebagai salah
satu syarat desain yang baik. Untuk memusatkan perhatian mengenai hirarki kebutuhan
manusia dalam perancangan, arsitek harus berpikir akan kebutuhan pengguna dan bukan
kebutuhan manusia secara umum. Arsitek dapat dapat mencatat apa yang sesungguhnya
menjadi preferensi dari pengguna. Karena beragamnya preferensi dan tingkat kebutuhan
seseorang maka akan sangat bermanfaat jika dilakukan penelitian pengguna secara kasus
demi kasus,daripada memakai data secara umum.
4
dalam penggunaan fasilitas itu Sehingga terlihat adanya perbedaan prioritas pemenuhan
kebutuhan dasar. Begitu pula dengan cara orang memenuhi kebutuhan yang sama
sekalipun,misalnya dalam mengekspresikan status bisa berbeda dengan yang lain. Ada yang
menggunakan cara memakai barang barang bermerk, menjabat suatu posisi penting, ataupun
mengikuti keanggotaan klub tertentu.
Meskipun pola aktivitas tertentu pada umumnya dapat langsung diterapkan dalam
perancangan suatu lingkungan, mungkin saja terjadi bahwa lingkungan yang dirancang
berbeda dengan asumsi terdahulu yang pernah dibuat karena latar belakang yang berbeda
dapat pula melahirkan preferensi yang berbeda. Misalnya dalam perancangan sebuah tempat
perkemahan, akan ada berbagai preferensi orang berkemah.
5
4. Faktor psikologi individu
5. Faktor lingkungan
6. Waktu
Pengamatan suatu behavior setting dapat membantu arsitek untuk mengerti preferensi
pengguna karena preferensi terekspresikan dalam perilaku. Apabila kompetensi pengguna
meningkat maka penggunaan penggunaan lingkungan pun akan menjadi semakin luas.
Sebaliknya menurunnya tingkat kompetensi pengguna, misalnya karena faktor usia atau cacat
fisik, akan menyebabkan penggunaan lingkungan lebih terbatas.
Kontribusi studi perilaku-lingkungan pada desain arsitektur adalah memberi masukan
mengenai masalah masalah yang sesungguhnya harus diselesaikan. Tanpa mengetahui ini,
desain arsitektur akan membuat solusi yang tidak bermanfaat. Dengan pendekatan studi
perilaku-lingkungan yang memerlukan penelitian, pengamatan, atau teknik untuk dapat
menentukan preferensi pengguna diharapkan lingkungan fisik yang dirancang mampu
memaksimalkan kebebasan bagi penggunanya untuk memilih cara mereka hidup dan
membuka peluang perilaku dan perseptual untuk mengakomodasikan sebanyak mungkin
kebutuhan pengguna.
2.2. Kognisi
- Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kognisi diartikan sebagai kegiatan atau
proses memperoleh pengetahuan (termasuk kesadaran, perasaan, dsb) atau usaha
mengenali sesuatu melalui pengalaman sendiri.
- Kognisi adalah suatu kegiatan menerima informasi yang kita dapat dari luar
kemudian melakukan penafsiran atas informasi tersebut berdasarkan pengalaman
yang telah kita dapat, kemudian melakukan pemikiran yang mendalam guna
menyimpan informasi tersebut dalam long term memory sehingga dapat
digunakan kembali suatu saat nanti.
6
Pengertian Kognisi Lingkungan :
7
Kognisi lingkungan yang sifatnya abstrak ini, dapat diproyeksikan secara spasial.
Kognisi spasial berkaitan dengan cara kita memperoleh, mengorganisasi, menyimpan, dan
membuka kembali informasi mengenai lokasi, jarak, dan tatanan di lingkungan fisik.
Termasuk di dalamnya ada perihal penyelesaian masalah, navigasi, mengatasi kekacauan,
mencari jalan keluar atau menolak informasi tentang jalan keluar, yang semuanya berkaitan
dengan lingkungan fisik sehari-hari. Termasuk juga rambu-rambu, pictorial image, dan
semantic di dalam benak seseorang.
Di dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku, kognisi spasial disebut sebagai
peta mental. Peta mental, atau sering pula disebut sebagai cognitive maps, didefinisikan
sebagai gambaran spasial yang spesifik terhadap suatu lingkungan, dan berpengaruh terhadap
suatu lingkungan dan berpengaruh pula terhadap pola perilaku seseorang. David Stea (1975)
mendefinisikan peta mental sebagai suatu proses yang memungkinkan kita mengumpulkan,
mengorganisasikan, menyimpan dalam ingatan, memanggil, serta menguraikan kembali
informasi tentang lokasi relative dan tanda tentang lingkungan geografis. Semua informasi
yang diperoleh disimpan dalam suatu system struktur yang selalu dibawa dalam benak
seseorang, dan sampai batas tertentu struktur ini berkaitan dengan lingkungan yang
diwakilinya.
Dalam proses ini yang berfungsi bukan hanya indra penglihatan saja, seorang tuna
netrapun bisa membuat peta mental tanpa memakai indra penglihatan sama sekali. Hasil
rekaman dari indra-indra lainnya, seperti bau sampah, harumnya masakan di restoran atau
suara bising, kemudian dihubungkan satu sama lain sehingga menghasilkan sebuah gambar
peta dalam ingatan mereka. Semakin banyak masukan dan semakin lama kita mengenal suatu
daerah, maka semakin terinci dan baik peta mental kita.
Kadang terjadi perbedaan peta mental dengan kenyataan, hal ini menunjukkan bahwa
peta mental itu sangat subjektif. Apa yang dirasakan penting oleh seseorang akan
digambarkan dengan jelas, berukuran besar, dan sebaliknya sesuatu yang dianggapnya kurang
penting digambar kecil. Karena, peta mental ini peta pengalaman, bukan peta berdasarkan
ukuran yang presisi.
8
2.2.3. Unsur Unsur Peta Mental
Lynch (1960) dan Holahan (1982) mengemukakan bagaimana cara mengukur peta
mental yang terdiri atas beberapa unsur sebagai berikut :
Menurut Lynch, semakin nyata unsur-unsur itu dalam suatu lingkungan, misalnya
lingkungan kota, makin mudah orang menyusun peta mental. Artinya, orang akan lebih cepat
mengenal lingkungan geografis yang ada.
9
Demikian juga bagi seseorang untuk mempergunakan gedung atau jalan di kota,
diperlukan mental image mengenai lingkungan yang bersangkutan.
b. Sebagai mediasi persepsi
Selain sebagai mental setting untuk antisipasi bertindak, peta mental juga
berfungsi sebagai mediasi persepsi. Peta mental memungkinkan orang
menandai,menstrukturisasikan, dan menyimpan informasi visual dan spasial, dan
mengatur responnya terhadap objek yang dilihatnya. Melalui pengalamannya, peta
mentail ini menjadi pengukur signifikasi lingkungan bagi hidup seseorang.
c. Sebagai tujuan komunikasi dan menunjukkan identitas diri
Fungsi peta mental juga bisa untuk tujuan komunikasi, bahkan untuk
menunjukkan identitas diri. Misalnya, Jakarta dengan Tugu Monas, Surabaya
dengan Tugu Pahlawan, Bukittinggi dengan Jam Gadang, Paris dengan Menara
Eiffel, dll. Agar peta mental tersebut berguna maka ia harus mampu memprediksi
sesuatu, artinya tidak cukup hanya berupa jaringan images. Image tentang
lingkungan saat ini harus diasosiasikan dengan image mengenai objek dan
peristiwa yang mungkin akan ada. Demikian pula penelitian peta mental akan
bermanfaat bagi perencana dan arsitek apabila mampu memprediksikan perilaku
atau respons pengguna lingkungan baru di waktu mendatang.
Kualitas peta mental ditentukan oleh keadaan objek-objek tertentu dalam lingkungan
geografis itu sendiri. Menurut Milgram (1972), dikenal atau tidaknya suatu objek peta mental
bergantung pada rumusan:
R = f (C x D)
C : centrality atau seberapa jauh posisi objek tersebut dari pusat arus lalu lintas penduduk
D : difference atau seberapa jauh kadar perbedaan secara arsitektural atau secara social antara
objek tersebut dan objek-objek lainnya
10
Appleyard (1969) mengidentifikasikan 3 alasan mengapa beberapa bangunan lebih
mudah dikenal dibandingkan bangunan lainnya, yaitu:
a. Formal attributes,
Dari ketiga alasan yang ada, yang terpenting adalah formal attributes atau atribut
formal yaitu kontur bangunan yang jelas, yang membedakannya dengan keadaan
disekitarnya. Misalnya, Wisma Kota BNI ’46 atau Hotel Mulia di Jakarta yang
mudah dibedakan dari bentuk skyline-nya. Aspek lain yang kurang dominan
adalah kompleksitas fasade, seperti Wisma Dharmala di Jakarta, atau warna yang
mencolok di lingkungannya.
Apabila banyak gedung berada dalam satu kompleks dan masing-masing
mempunyai keunikan sendiri, yang muncul adalah keseragaman dalam perbedaan,
tidak ada lagi yang dominan sehingga atribut formal bangunan tertentu menjadi
lemah.
b. Visibility attributes
Atribut kedua adalah kemudahan dilihat (visibility attributes), seperti lokasi di
perempatan jalan, bersebelahan dengan lapangan terbuka atau di tikungan jalan
besar.
c. Use and significance attributes.
Atribut ketiga adalah penggunaan yang signifikan (use and significance
attributes), seperti sebuah rumah sakit, sebuah pompa bensin, sebuah kantor
polisi, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan oleh orang banyak.
Oleh karena peta mental ini dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu organisme
(organismic), lingkungan (environmental), dan budaya (cultural), setiap orang akan
mempunyai peta mental yang berbeda terhadap suatu lingkungan yang sama. Seperti peta
mental seseorang yang tinggal di satu kota, tetapi jarang melihat-lihat kota tersebut, akan lain
dengan peta mental seseorang yang tinggal di kota yang sama, tetapi sering berkeliling
melihat perkembangan kota.
11
kota kecil tersebut mempunyai interaksi dan pengalaman yang relative sama terhadap desa
atau kotanya, sehingga proses kognisi yang menghasilkan peta mental mayarakat kota
tersebut dapat dikatakan relative sama.
Berikut dijelaskan secara lebih rinci mengenai beberapa faktor yang membedakan
peta mental seseorang, yakni :
12
Kevin Lynch dalam bukunya yang monumental, The Images of The City, secara detail
mengupas masalah ini. Ada contoh tentang peta mental seorang anak Aborigin di Australia.
Peta mental suatu kota dapat dikategorikan menjadi 2 yakni ; peta mental penduduk
kota tersebut, serta peta mental pengunjung. Keduanya dapat mirip tetapi cenderung berbeda,
terutama karena tingkat interaksi antara keduanya yang berbeda. Pengunjung, terutama hanya
mempunyai kesempatan untuk mengunjungi pusat kota, atau beberapa lokasi yang menarik
untuk dikunjungi, sehingga peta mentalnya cenderung terbatas pada bagian-bagian yang
mereka pernah lihat.
Proses kognisi seseorang atau proses pembentukan peta mental atau image terhadap
suatu lingkungan bukan lagi merupakan suatu proses yang independent. Dengan kata lain,
melalui kemajuan teknologi komunikasi dan media massa, proses pembentukan mental
seseorang cenderung dipengaruhi atau dimanipulasi oleh pihak lain.
13