Anda di halaman 1dari 14

TOLERANSI DALAM

PANDANGAN ISLAM
I. Pengertian Toleransi
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata “toleran”
(Inggris: tolerance; Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur untuk penambahan atau
pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran,
ketahanan emosional, dan kelapangan dada. Sedangkan menurut istilah (terminology),
toleransi yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan)
pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan) yang berbeda dan atau yang
bertentangan dengan pendiriannya.

Jadi, toleransi beragama adalah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak
mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-
agama lain.

 Definisi Toleransi menurut Islam.

Secara bahasa arab akan kita temukan kata yang mirip dengna arti toleransi yakni
" ‫إختمال‬, ‫ "تسمه‬ikhtimal dan tasammuh yang artinya sikap membiarkan, lapang dada (samuha -
yasmuhu - samhan, wasimaahan, wasamaahatan, artinya: murah hati, suka berderma) [5]
Jadi toleransi (tasamuh) beragama adalah menghargai, dengan sabar menghor-mati keyakinan
atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain. Kesalahan memahami arti toleransi dapat
mengakibatkan talbisul haq bil bathil, mencampuradukan antara hak dan batil, suatu sikap
yang sangat terlarang dila-kukan seorang muslim, seperti halnya nikah antar agama yang
dijadikan alasan adalah tole-ransi padahal itu merupakan sikap sinkretis yang dilarang oleh
Islam.
Harus kita bedakan antara sikap toleran dengan sinkretisme. Sinkretisme adalah mem-
benarkan semua keyakinan/agama. Hal ini dilarang oleh Islam karena termasuk Syirik.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


"Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam". (QS. Ali Imran: 19)

Sinkretisme mengandung talbisul haq bil bathil (mencampurkan yang haq dengan
yang bathil). Sedangkan toleransi tetap memegang prinsip al-furqon bainal haq wal bathil
(me-milah/memisahkan antara haq dan bathil). Toleransi yang disalahpahami seringkali men-
dorong pelakunya pada alam sinkretisme. Gambaran yang salah ini ternyata lebih do-minan
dan bergaung hanya demi kepentingan kerukunan agama.
Dalam Islam tole-ransi bukanlah fata-morgana atau bersifat semu. Tapi memiliki dasar
yang kuat dan tempat yang utama. Ada beberapa ayat di dalam Al-Qur'an yang bermuatan
toleransi.

Toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam
perbedaan. . Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:

1
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal”

Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu risalah penting
yang ada dalam system teologi Islam. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan
keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit, adapt-istiadat,
dsb. Toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-
agama lain selain agama kita dengan segala bentuk system, dan tata cara peribadatannya dan
memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing. Keyakinan
umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap
tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam melarang
penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Maka kata tasamuh atau toleransi
dalam Islam bukanlah “barang baru”, tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak
agama Islam itu lahir.

II. Kedudukan Toleransi dalam Islam


1) Islam Adalah Agama Yang Mudah dan Penuh Toleransi.

Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : … Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran


bagimu …” [Al-Baqarah : 185]

Allah menghendaki untuk membersihkan umat Islam yang dirahmati ini dari segala
bentuk kesulitan dan belenggu, maka Allah tidak menjadikan untuk mereka kesempitan pada
agama ini. Allah Jalla Tsamauh berfirman.

“Artinya : Dan berjihadlah kamu dijalan Allah dengan jihad sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak akan menjadikan untukmu dalam agama suatu
kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu, Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu
sekalian orang-orang muslim dari dahulu ….” [Al-Hajj : 78]

2) Allah Mengutus Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa sallam Dengan Membawa


Al-Hanifiyah (agama yang Lurus) As-Samhah (yang Mudah)

Dari Aisyah Radliyallahu ‘anha dia menceritakan : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memanggilku sementara anak-anak Habasyah bermain tombak di masjid pada hari raya,
beliau menawariku : “Wahai Humairo ! Apakah engkau suka melihat permainan mereka ?”
Jawabku : Ya !. Maka beliau menyuruhku berdiri di belakangnya, lalu beliau menundukkan

2
kedua pundaknya supaya aku dapat melihat mereka, akupun meletakkan daguku di atas
pundak beliau dan menyandarkan wajahku pada pipi beliau, lalu akupun melihat dari atas
kedua pundak beliau, sementara itu beliau mengatakan : “Bermainlah wahai bani Arfadah !”
Kemudian selang setelah itu beliau bertanya : “Wahai Aisyah ! Engkau sudah puas ?” Kataku
: “Belum” Supaya aku melihat kedudukanku disisi beliau, hingga akupun puas. Kata beliau :
“Cukup?” Jawabku : “Ya”. Beliau berkata : “Kalau begitu pergilah!”. Aisyah berkata : “Lalu
Umar muncul, maka orang-orang dan anak-anak tadi berhamburan meninggalkan mereka
(Habasyah), Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Saya melihat para syaithan
manusia dan jin lari dari Umar”. Aisyah mengatakan : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika itu bersabda.

“Artinya : Supaya orang Yahudi tahu bahwa pada agama kita ada keleluasaan, aku diutus
dengan Al-Hanifiyah (agama yang lurus) As-Samhah (yang mudah)”. [Muttafaq 'Alaihi,
kecuali lafadh yang dijadikan dalil yang diriwayatkan oleh Ahmad 6/116 dan 233 dan Al-
Humaidi 254 dengan sanad yang shahih]

3) Agama Yang Paling Allah Cintai Adalah Yang Lurus dan Mudah

Hukum-hukum Islam dibangun di atas kemudahan dan tidak menyulitkan, norma-norma


agama ini seluruhnya dicintai (oleh Allah) namun yang mudah dari itu semualah yang paling
dicintai oleh Allah.

Oleh sebab itu, tidak boleh mempersulit diri dalam menjalankan agama Allah dan tidak boleh
pula membuat sulit hamba-hamba Allah.

Tiada seorangpun yang mempersulit agama ini melainkan dia pasti akan kalah. Lihatlah
perbuatan Bani Israil, tatkala mereka mempersulit diri, Allah-pun mempersulit mereka. Kalau
seandainya mereka mempermudahnya, niscaya mereka akan diberi kemudahan, perhatikan
kisah ‘Al-Baqarah!’ {Al-Baqarah : 67-71}

Dari Ibnu Abbas Radliyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
ditanya : “Agama apa yang paling dicintai oleh Allah Azza wa Jalla ? Beliau menjawab : “Al-
Hanifiyah As-Samhah” (yang mudah dan yang lurus) {Dikeluarkan oleh Bukhari secara
Muallaq (tanpa menyebutkan sanad) 1/93 – Al-Fath dan dia sambungkan sanadnnya dalam
Al-Adab Al-Mufrad hal.44, Ahmad 1/236, dihasankan oleh Al-Hafidh dalam Al-Fath 1/94.
Disahihkan oleh Ahmad Syakir dalam At-Ta’liq ala Al-Musnad 2108 dan keduanya dikritik
oleh Syaikh kami (Al-Albani) dalam Ash-Shahihah 881 beliau menghasankannya dengan
penguat-penguatnya.}

Oleh karena itu, Ibnu Abbas meriwayatkan, beliau ditanya tentang seorang lelaki yang
meminum susu murni, apakah dia harus berwudlu ?. Beliau menjawab : “Bermudahlah
niscaya engkau akan diberi kemudahan” {Lafadh ini diriwayatkan secara marfu (sampai

3
kepada Nabi) dari hadits Ibnu Abbas, dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Zawaid-
nya atas Al-Musnad 1/248 secara wijadah (riwayat dengan kitab)}

Yakni gampangkanlah nicaya Allah akan memberi keringanan untukmu dan atasmu. [Lisanul
Arab 2/498]

4) Toleransi Adalah Keimanan Yang Paling Utama

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Seutama-utama keimanan adalah sabar dan toleransi” [Shahih Al-Jami' As-Shaghir
1108]

5) Toleransi Adalah Amalan yang Paling Ringan dan Paling Utama

Pernah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari
bertanya : “Wahai Rasulullah ! Amalan apakah yang paling utama ?” Jawab beliau : “Iman
kepada Allah, membenarkan-Nya, dan berjihad di jalan-Nya”. Orang tadi berkata : “Aku ingin
yang lebih ringan daripada itu wahai Rasulullah ?” Kata beliau : “Sabar dan toleransi” Kata
orang itu : “Aku ingin yang lebih ringan lagi”. Beliau bersabda : “Janganlah engkau menuduh
Allah Tabaraka wa Ta’ala dalam sesuatu yang telah Allah putuskan untukmu” [Dikeluarkan
oleh Ahmad 5/319 dari hadits Ubadah bin Ash-Shamit Radliyallahu 'anhu dan 4/385 dari
'Amr bin Arbasah Radliyallahu anhu dia berkata : 'Apa itu Iman ?" Beliau menjawab : "Sabar
dan toleransi", Dia punya penguat dari hadits Jabir Radliyallahu 'anhu, maka hadits ini pun
shahih dengan jalan-jalan dan penguatnya]

III. Konsep toleransi beragama dalam Islam


A. Toleransi dalam keyakinan dan menjalankan peribadahan
Dari pengertian diatas konsep terpenting dalam toleransi Islam adalah menolak
sinkretisme. Yakni Kebenaran itu hanya ada pada Islam dan selain Islam adalah bathil. Allah
Ta'ala berfirman:
“Sesungguhnya agama yang diridhoi disisi Allah hanyalah islam”.(Al-Imran: 19)
“ Barangsiapa yang mencari agama selain agama islam, maka sekali-kali tidak akan
diterima (agama itu) dari padanya, dan diakhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Al-
Imran: 85).

Kemudian Kebenaran yang telah diturunkan oleh Allah didunia ini adalah pasti dan
tidak ada keraguan sedikitpun kepadanya. Dan kebenaran itu hanya ada di agama Allah Ta'
ala.

“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka janganlah engkau termasuk kalangan orang
yang bimbang.”( Al- baqarah :147 )

4
Kemudian Kebenaran Islam telah sempurna sehingga tidak bersandar kepada apapun
yang selainnya untuk kepastiaan kebenarannya, sebagaimana firman Allah Ta'ala:

“Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku lengkapi nikmatku atas
kalian dan Aku ridhoi islam sebagai agama kalian”. (Al-Maidah: 3)

Kaum mu'minin derajat kemuliaannya dan kehormatannya lebih tinggi daripada


orang-orang kafir (non-muslim) dan lebih tinggi pula daripada orang-orang yang munafik
(ahlul bid'ah) Allah menegaskan yang artinya :

“Maka janganlan kalian bersikap lemah dan jangan pula bersedih hati, padahal
kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang
beriman (Al-Imran: 139)
Kaum muslimin dilarang ridho atau bahkan ikut serta dalam segala bentuk peribadatan
dan keyakinan orang-orang kafir dan musyrikin hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh
Allah Ta'ala dalam firmanNya:

“Katakanlah: wahai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah
dan kalian tidak menyembah apa yang aku sembah dan aku tidak menyembah apa yang
kalian sembah dan kalian tidak menyembah apa yang aku sembah bagi kalian agama kalian
dan bagiku agamaku”. (Al-Kafirun: 1-6).

B. Beragama/ hidup berdampingan dengan agama lain.


Yakni umat Islam dilarang untuk memaksa pemeluk agama lain untuk memeluk agama
Islam secara paksa. Karena tidak ada paksaan dalam agama. Allah berfirman:

     


    
  
   
  
    
 
“Tidak ada paksaan dalam masuk ke dalam agama Islam, karena telah jelas antara
petunjuk dari kesesatan. Maka barangsiapa yang ingkar kepada thoghut dan beriman kepada
Alloh sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang kuat yang tidak akan pernah
putus. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” ( Qs. Al-Baqoroh : 256 )

   


   

“Berilah peringatan, karena engkau ( Muhammad ) hanyalah seorang pemberi
peringatan, engkau bukan orang yang memaksa mereka.” ( Qs. Al-Ghosyiyah : 21 -22 )

5
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ter-sebut menjelaskan:
“Janganlah memaksa seorangpun untuk masuk Islam. Islam adalah agama yang
jelas dan gamblang tentang semua ajaran dan bukti kebenarannya, sehingga tidak perlu
memaksakan seseorang untuk masuk ke dalamnya. Orang yang mendapat hida-yah,
terbuka, lapang dadanya, dan terang ma-ta hatinya pasti ia akan masuk Islam dengan
bukti yang kuat. Dan barangsiapa yang buta mata hatinya, tertutup penglihatan dan pen-
dengarannya maka tidak layak baginya masuk Islam dengan paksa.”
Ibnu Abbas mengatakan "ayat laa ikraha fid din" diturunkan berkenaan dengan
seorang dari suku Bani Salim bin Auf bernama Al-Husaini bermaksud memaksa kedua
anaknya yang masih kristen. Hal ini disampaikan pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat tersebut .

Demikian pula Ibnu Abi Hatim meriwa-yatkan telah berkata bapakku dari Amr bin
Auf, dari Syuraih, dari Abi Hilal, dari Asbaq ia berkata :
"Aku dahulu adalah abid (hamba sahaya) Umar bin Khaththab dan beragama
nasrani. Umar menawarkan Islam kepadaku dan aku menolak. Lalu Umar berkata: laa
ikraha fid din, wahai Asbaq jika anda masuk Islam kami dapat minta bantuanmu dalam
urusan-urusan muslimin."

C. Toleransi Antar Sesama Muslim


Dalam firman Allah SWT QS. Al-Hujurat ayat 10
“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat
rahmat”

Dalam surat diatas Allah menyatakan bahwa orang-orang mu’min bersaudara, dan
memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi
kesalahpahaman diantara 2 orang atau kelompok kaum muslim.
Dalam mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai terlebih dahulu
dengan bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan (pendapat) yang
(mungkin) terjadi pada keluarga kita atau pada keluarga/saudara kita sesama muslim. Sikap
toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari
adanya perbedaan. Dan menyadari pula bahwa kita semua adalah bersaudara. Maka akan
timbul rasa kasih sayang, saling pengertian dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap
toleran. Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, al-Qur’an secara tegas
memerintahkan orang-orang mu’min untuk kembali kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul
(sunnah).

D. Toleran dalam hubungan antar bermasyarakat dan bernegara.


Dalam hal ini terdapat beberapa hal konsep sikap toleran yang harus ditunjukan umat
Islam yakni diantaranya:

a. Kaum muslimin harus tetap berbuat adil walaupun terhadap orang-orang kafir dan dilarang
mendhalimi hak mereka.

6
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum karena mereka menghalang-
halangi kamu dari masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya kepada mereka. Dan tolong
menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikandan taqwa dan jangan tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan kemaksiatan dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada
Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2)

b. Orang-orang kafir yang tidak menyatakan permusuhan terang-terangan kepada kaum


muslimin, dibolehkan kaum muslimin hidup rukun dan damai bermasyarakat, berbangsa
dengan mereka. “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negrimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (8) “Sesungguhnya
Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi
kamu karena agama dan mengusir kamu dari negrimu dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah
orang-orang yang dhalim.”(Al-Mumtahanah: 8-9)

Artinya umat Islam diperbolehkan berbuat baik terhadap mereka, hidup bermasyakarat
dan bernegara dengan mereka selama mereka berbuat baik dan tidak memusuhi umat Islam
dan selama tidak melanggar prinsip-prinsip terpenting dalam Islam. Dan hal ini seperti yang
dicontohkan Nabi Saw., dalam jual beli

Dari Jabir bin Abdullah Radliyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah membeli onta dari dirinya, beliau menimbang untuknya dan diberatkan
(dilebihkan).

Dari Abu Sofwan Suwaid bin Qais Radliyallahu 'anhu dia berkata : "Saya dan
Makhramah Al-Abdi memasok (mendatangkan) pakaian/makanan dari Hajar, lalu Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi kami dan belaiu membeli sirwal (celana), sedang
aku memiliki tukang timbang yang digaji, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan tukang timbang tadi.
"Artinya : Timbanglah dan lebihkan !" [8]
Nabi juga pernah memaafkan kesalahan orang kafir dan mendoakannya. Hal ini terjadi
ketika setelah peperangan, yang paman beliau dibunuh kaum musyrikin, dan badannya
dicincang-cincang, Nabi sendiri giginya pecah dan wajah beliau terluka, maka salah seorang
shahabat meminta beliau untuk mendoakan keburukan bagi orang-orang musyrikin yang
dzalim tersebut, namun beliau bersabda:
“Ya Allah, ampunilah kaumku, seusngguhnya mereka tidak mengetahui.”[9]
Kemudian dapat dilihat pula bagaimana sikap Nabi dalam hal memutuskan.

Dari Abu Hurairah Radliyallahu anhu, bahwasanya ada seorang lelaki yang menagih
Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam sembari bersikap kasar kepada beliau, maka para
sahabat-pun hendak menghardiknya, beliau bersabda : "Biarkanlah dia, karena setiap orang
punya hak untuk berbicara, belikan untuknya seekor onta lalu berikan kepadanya" Para
sahabat berkata : "Kami tidak mendapatkan kecuali yang lebih bagus jenisnya!" Beliau

7
bersabda : "Belikanlah dan berikan kepadanya karena sebaik-baik kalian adalah yang terbaik
keputusannya" [10]

E. Toleransi Dalam Praktik Sejarah Islam

Sejarah Islam adalah sejarah toleransi. Perkembangan Islam ke wilayah-wilayah luar


Jazirah Arabia yang begitu cepat menunjukkan bahwa Islam dapat diterima sebagai rahmatal
lil’alamin (pengayom semua manusia dan alam semesta). Ekspansi-ekspansi Islam ke Siria,
Mesir, Spanyol, Persia, Asia, dan ke seluruh dunia dilakukan melalui jalan damai. Islam tidak
memaksakan agama kepada mereka (penduduk taklukan) sampai akhirnya mereka
menemukan kebenaran Islam itu sendiri melalui interaksi intensif dan dialog. Kondisi ini
berjalan merata hingga Islam mencapai wilayah yang sangat luas ke hampir seluruh dunia
dengan amat singkat dan fantastik.

Memang perlu diakui bahwa perluasan wilayah Islam itu sering menimbulkan
peperangan. Tapi peperangan itu dilakukan hanya sebagai pembelaan sehingga Islam tak
mengalami kekalahan. Peperangan itu bukan karena memaksakan keyakinan kepada mereka
tapi karena ekses-ekses politik sebagai konsekuensi logis dari sebuah pendudukan. Pemaksaan
keyakinan agama adalah dilarang dalam Islam. Bahkan sekalipun Islam telah berkuasa,
banyak agama lokal yang tetap dibolehkan hidup.

Demikianlah, sikap toleransi Islam terhadap agama-agama dan keyakinan-keyakinan


lokal dalam sejarah kekuasaan Islam menunjukkan garis kontinum antara prinsip Syari’ah
dengan praktiknya di lapangan. Meski praktik toleransi sering mengalami interupsi, namun
secara doktrin tak ada dukungan teks Syari’ah. Ini berarti kekerasan yang terjadi atas nama
Islam bukanlah otentisitas ajaran Islam itu sendiri. Bahkan bukti-bukti sejarah menunjukkan
bahwa pemerintah-pemerintah Muslim membiarkan, bekerjasama, dan memakai orang-orang
Kristen, Yahudi, Shabi’un, dan penyembah berhala dalam pemerintahan mereka atau sebagai
pegawai dalam pemerintahan.

Lebih lanjut kesaksian seorang Yahudi bernama Max I. Dimon menyatakan bahwa
“salah satu akibat dari toleransi Islam adalah bebasnya orang-orang Yahudi berpindah dan
mengambil manfaat dengan menempatkan diri mereka di seluruh pelosok Empirium Islam
yang amat besar itu. Lainnya ialah bahwa mereka dapat mencari penghidupan dalam cara
apapun yang mereka pilih, karena tidak ada profesi yang dilarang bagi mereka, juga tak ada
keahlian khusus yang diserahkan kepada mereka”.

Pengakuan Max I. Dimon atas toleransi Islam pada orang-orang Yahudi di Spanyol
adalah pengakuan yang sangat tepat. Ia bahkan menyatakan bahwa dalam peradaban Islam,
masyarakat Islam membuka pintu masjid, dan kamar tidur mereka, untuk pindah agama,
pendidikan, maupun asimilasi. Orang-orang Yahudi, kata Max I. Dimon selanjutnya, tidak
pernah mengalami hal yang begitu bagus sebelumnya.

8
Kutipan ini saya tegaskan karena ini dapat menjadi kesaksian dari seorang non-
Muslim tentang toleransi Islam. Dan toleransi ini secara relatif terus dipraktikkan di dalam
sejarah Islam di masa-masa sesudahnya oleh orang-orang Muslim di kawasan lain, termasuk
di Nusantara. Melalui para pedagang Gujarat dan Arab, para raja di Nusantara Indonesia
masuk Islam dan ini menjadi cikal bakal tumbuhnya Islam di sini.

Selanjutnya, dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, ia dilakukan melalui


perdagangan dan interaksi kawin-mawin. Ia tidak dilakukan melalui kolonialisme atau
penjajahan sehingga sikap penerimaan masyarakat Nusantara sangat apresiatif dan dengan
suka rela memeluk agama Islam. Sementara penduduk lokal lain yang tetap pada keyakinan
lamanya juga tidak dimusuhi. Di sini, perlu dicatat bahwa model akulturasi dan enkulturasi
budaya juga dilakukan demi toleransi dengan budaya-budaya setempat sehingga tak
menimbulkan konflik. Apa yang dicontohkan para walisongo di Jawa, misalnya, merupakan
contoh sahih betapa penyebaran Islam dilakukan dengan pola-pola toleransi yang amat
mencengangkan bagi keagungan ajaran Islam.

Secara perlahan dan pasti, islamisasi di seluruh Nusantara hampir mendekati sempurna
yang dilakukan tanpa konflik sedikitpun. Hingga hari ini kegairahan beragama Islam dengan
segala gegap-gempitanya menandai keberhasilan toleransi Islam. Ini membuktikan bahwa jika
tak ada toleransi, yakni sikap menghormati perbedaan budaya maka perkembangan Islam di
Nusantara tak akan sefantastik sekarang.

IV. Batas Toleransi


Sudah tentu sikap toleransi ini pun bukannya tanpa batas, sebab toleransi yang
tanpa batas bukanlah toleransi namanya, melainkan "luntur iman."

Batas toleransi itu ialah, pertama : apabila toleransi kita tidak lagi disambut baik
atau ibarat "bertepuk sebelah tangan," di mana pihak lain itu tetap memusuhi apalagi
memerangi Islam. Kalau sudah sampai "batas" ini, kita dilarang menjadikan mereka
sebagai teman kepercayaan.

Firman Allah SWT,

"Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian menjadikan sebagai kawan kalian


orang-orang yang memerangi kalian karena agama dan mengusir kalian dari negeri
kalian, dan membantu (orang lain) untuk mengusir kalian. Dan barangsiapa menjadikan
mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang zhalim." (Q.S. Al-Mumtahanah :
9).

Akan tetapi hal ini tidak lantas berarti bahwa kita boleh langsung membalas,
melainkan lebih dulu menghadapinya dengan pendekatan untuk "memanggil" atau
menyadarkan. Bukankah Islam mengajarkan ummatnya agar menolak kejahatan dengan
cara yang baik?

9
"Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) dengan cara
yang lebih baik, sehingga orang yang antaramu dengannya ada permusuhan itu seolah-
olah menjadi teman yang setia." (Q.S. Al-Fushshilat : 34).

Apalagi kalau yang "memusuhi" aqidah kita adalah orang tua kita sendiri, maka
penolakannya harus dengan cara yang lebih baik lagi dan tetap bersikap sebagai anak yang
berbakti kepada kedua orang tua (birru al-walidain). Dengan kata lain, sekali pun berbeda
agama atau keyakinan dengan orang tua, namun dalam hubungan antar manusia (hablun
min an-nas), harus tetap baik. Setiap anak harus berbakti kepada kedua orang tuanya.
Akan tetapi kalau orang tua memaksa anak untuk berbuat syirik, maka "fala tuthi'huma!"
(jangan sekali-kali kamu ikuti), dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik --
demikian firman Allah dalam surat Luqman : 15.

V. KEUTAMAAN-KEUTAMAAN TOLERANSI

1. Toleransi Merupakan Penghapus Kesalahan

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Para Malaikat mengerumuni roh seorang lelaki dari umat sebelum kalian.
Mereka bertanya : ‘Apakah engkau pernah berbuat kebajikan ?’ Ia menjawab : ‘Dulu aku
menyuruh para pegawaiku untuk memberi tangguh orang yang kesulitan (dalam
membayar hutang, -pent) dan mema’afkan orang yang mudah’ Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman : ‘Ma’afkanlah dia” [Hadits Riwayat Bukhari 4/307 -Fath]

Beliau juga menceritakan.

“Artinya : Ada seorang lelaki sebelum kalian dihisab ternyata tidak didapati baginya
amalan kebajikan kecuali dia dulunya orang yang lapang (berkecukupan) dia biasa
berhubungan dengan orang lain, dan dia menyuruh para pegawainya untuk mema’afkan
orang yang kesulitan. Maka Allah Azza wa Jalla memerintahkan para malaikat-Nya :
‘Kita lebih berhak untuk itu dari dia, ma’afkanlah dia” [Shahih Al-Jami' Ash-Shaghir :
3154]

Dalam riwayat lain beliau mengisahkan.

“Artinya : Sesungguhnya ada seorang lelaki sebelum kalian didatangi malaikat maut untuk
mencabut nyawanya, malaikat tadi bertanya kepadanya : ‘Apakah engkau pernah
mengamalkan kebajikan ? Jawabnya : ‘Saya tidak tahu’. Katanya : Lihat ! Jawabnya :
‘Aku tidak mengetahui sedikitpun (amalan baik) hanya saja saya dahulu berjual beli dan
berhubungan dagang dengan masyarakat, maka aku memberi tangguh orang yang
kesulitan dan mema’afkan orang yang lapang’. Allah-pun memasukkan ke dalam Surga”
[Shahih Al-Jami' Ash-Shaghir 2075]

10
2. Toleransi Merupakan Sebab Turunnya Rahmat Allah

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Mudah-mudahan Allah merahmati sorang lelaki yang toleran bila menjual,
membeli dan menagih.” [Shahih Al-Jami' Ash-Shaghir 3489]

3. Toleransi Dapat Menyelamatkan (Pelakunya) Dari Kengerian Hari Kiamat

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Barangsiapa memberi tangguh orang yang kesulitan atau meletakkan hutangnya
(dianggap lunas tanpa bayar, -pent) , maka Allah akan menyelamatkannya dari kengerian
di hari kiamat” [Hadit Riwayat Muslim : 1563]

Beliau juga memberitakan.

“Artinya : Barangsiapa memberi tangguh orang yang kesulitan atau meletakkannya, maka
Allah akan menaunginya di hari kiamat pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya”
[Hadits Riwayat Muslim 3006, Nukilan Hadits Jabir yang panjang]

4. Toleranasi Mengharamkan Pelakunya Dari Api Neraka

Sabda beliau.

“Artinya : Barangsiapa yang mempermudah, lemah lembut dan lunak (perangainya), maka
Allah mengharamkan api neraka atasnya” [Shahih Jami' Ash-Shaghir 6360]

Beliau juga bersabda.

“Artinya : Maukah kalian saya beritahu tentang orang yang diharamkan masuk neraka
besok (di hari akhir) ? Yaitu orang yang lemah lembut, familiar dan mudah (toleran)”
[Shahih Al-Jami' 2606]

VI. Manfaat Toleransi Beragama dalam Pandangan Islam


a) Menghindari Terjadinya Perpecahan.
Bersikap toleran merupakan solusi agar tidak terjadi perpecahan dalam
mengamalkan agama. Sikap bertoleransi harus menjadi suatu kesadaran pribadi yang selalu
dibiasakan dalam wujud interaksi sosial. Toleransi dalam kehidupan beragama menjadi
sangat mutlak adanya dengan eksisnya berbagai agama samawi maupun agama ardli dalam
kehidupan umat manusia ini.

11
b) Memperkokoh Silaturahmi dan Menerima Perbedaan
Salah satu wujud dari toleransi hidup beragama adalah menjalin dan memperkokoh
tali silaturahmi antarumat beragama dan menjaga hubungan yang baik dengan manusia
lainnya. Pada umumnya, manusia tidak dapat menerima perbedaan antara sesamanya,
perbedaan dijadikan alasan untuk bertentangan satu sama lainnya. Perbedaan agama
merupakan salah satu faktor penyebab utama adanya konflik antar sesama manusia.
Merajut hubungan damai antar penganut agama hanya bisa dimungkinkan jika
masing-masing pihak menghargai pihak lain. Mengembangkan sikap toleransi beragama,
bahwa setiap penganut agama boleh menjalankan ajaran dan ritual agamanya dengan bebas
dan tanpa tekanan. Oleh karena itu, hendaknya toleransi beragama kita jadikan kekuatan
untuk memperkokoh silaturahmi dan menerima adanya perbedaan. Dengan ini, akan
terwujud perdamaian, ketentraman, dan kesejahteraan.

VII. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapatlah kita tarik beberapa kesimpulan
 Bahwa toleransi dalam Islam adalah toleransi sebatas menghargai dan menghormat
pemeluk agama lain, tidak sampai pada sinkretisme.
 Islam memiliki prinsip-prinsip dasar dalam toleransi ini, yakni menyatakan bahwa satu-
satunya agama yang benar adalah Islam, Islam adalah agama yang sempurna, dan Islam
dengan tegas menyatakn bahwa selain dari Islam tidak benar, atau salah. Dan sebagainya.
 Toleransi Islam dalam hal beragama adalah tidak adanya paksaan untuk memeluk agama
Islam.
 Kemudian toleransi Islam terhadap hidup bermasyarakat dan bernegara, yakni islam
membolekan hidup berdampingan dalam hal bermasyakat bernegara selama mereka tidak
memusuhi dan tidak memerangi umat Islam. Dalam hal ini umat Islam diperintahkan
berbuat baik dan menjaga hak-hak mereka dan sebagainya.

VIII. Penutup

Toleransi dalam Islam adalah otentik. Artinya tidak asing lagi dan bahkan
mengeksistensi sejak Islam itu ada. Karena sifatnya yang organik, maka toleransi di dalam
Islam hanyalah persoalan implementasi dan komitmen untuk mempraktikkannya secara
konsisten.

Namun, toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam
keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-kelompok agama
yang berbeda itu. Toleransi di sini adalah dalam pengertian mu’amalah (interaksi sosial). Jadi,
ada batas-batas bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana
masing-masing pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling
menghormati keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-
haknya.

Syari’ah telah menjamin bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Karena pemaksaan
kehendak kepada orang lain untuk mengikuti agama kita adalah sikap a historis, yang tidak

12
ada dasar dan contohnya di dalam sejarah Islam awal. Justru dengan sikap toleran yang amat
indah inilah, sejarah peradaban Islam telah menghasilkan kegemilangan sehingga dicatat
dalam tinta emas oleh sejarah peradaban dunia hingga hari ini dan insyaallah di masa depan.

13
Daftar Pustaka
 http://aljaami.wordpress.com/2011/03/31/toleransi-as-samahah-dalam-
pandangan-islam/
 http://www.academia.edu/4693055/MAKALAH_agama#
 http://www.annaba-
center.com/main/kajian/detail.php?detail=20090312204755
 http://kallolougi.blogspot.com/2011/03/toleransi-beragama-dalam-
pandangan.html
 http://syifaonline.tripod.com/kumpulan_buletin_islam_buletin_dakwah
_2.htm

14

Anda mungkin juga menyukai