Anda di halaman 1dari 91

BAB II

ISLAM HOLISTIK
(AKIDAH, SYARI’AH DAN AKHLAK)

A. Pengertian Islam Holistik

Sebelum membahas tentang bagian terpenting dalam ajaran Islam yakni

akidah, maka terlebih dahulu, penting dikenalkan tentang apa itu yang dimaksud

dengan Islam holistik seperti yang dijadikan tema pembahasan pada bab ini,

sekalipun pembahasannya sangat singkat dan hanya sekedar difinisinya saja. Hal

ini perlu dikenalkan terlebih dahulu, karena selama ini yang sudah dikenal dan

sudah ada dalam pustaka keislaman (dalam bentuk buku) adalah seperti “Islam

Alternatif” dan “Islam Aktual” karya Jalaludin Rachmat. “Islam Inklusif” karya

Alwi Sihab, dan “Islam Rasional” karya Harun Nasution. Sementara “Islam

Holistik” hingga sekarang belum banyak dikenal atau bahkan belum dikenal,

terutama di dunia pustaka-pustaka keislaman. Mudah-mudahan dalam waktu yang

tidak lama, terbit buku yang secara eksplisit judulnya “Islam Holistik”.

Kata holistik asal-usulnya adalah dari bahasa Inggris, yaitu berasal dari

kata holistic yang artinya secara bahasa adalah menyeluruh, yakni penekanan

terhadap betapa pentingnya keseluruhan dan saling keterkaitan antara setiap

bagian-bagian yang membentuknya. Pengertian holistik secara istilah adalah

sebuah cara pandang terhadap sesuatu yang dilakukan dengan konsep pengakuan

bahwa hal keseluruhan adalah sebuah kesatuan yang lebih penting dari pada

bagian-bagian yang membentuknya (https://www.scribd.com/doc/149718532/

Islam-Holistik)

1
Kata holistik bisa juga diambil dari kata whole artinya menyeluruh atau

pandangan (holisme). Selain berasal dari bahasa Inggris, bisa juga berasal dari

bahasa Yunani, yaitu oaoc, holos, yang berarti semua, keseluruhan, secara total

(www.pengertianmenurutparaahli.net/pengertian-holistik). Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia Edisi Keempat, holistik bisa diartikan sebagai cara pendekatan

terhadap suatu masalah atau gejala dengan memandang masalah atau gejala itu

sebagai suatu kesatuan yang utuh (2002: 406). Dalam hal ini, holistik dapat

dipahami sebagai cara pandang secara komprehensif dengan cara melihat bahwa

segala sesuatunya memiliki keterkaitan dan sinergisitas yang berarti (sistem)

Terminologi holistik dalam dunia Islam dapat diwakili dengan istilah

“Kaffah” dalam surat al-Baqoroh ayat 208:

ِ ‫الس ْل ِم َكآفَّةً والَ َتتَّبِعواْ خطُو‬


ِ َ‫ات الشَّيط‬ ِ َّ
ٌ ِ‫ان إِنَّهُ لَ ُك ْم َع ُد ٌّو ُّمب‬
‫ني‬ ْ َ ُ ُ َ ِّ ‫ين َآمنُواْ ْاد ُخلُواْ يِف‬
َ ‫يَا أَيُّ َها الذ‬
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara

keseluruhannya (Kaaffah), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.

Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”

Kaffah dipahami oleh kalangan para ulama dan cendikiawan muslim

sebagai pemahaman terhadap seluruh aspek yang terdapat di dalam ajaran Islam,

mulai dari aspek yang menjadi objek kajiannya dan aspek yang menjadi sumber

nilainya. Dari pemahaman ini sehingga lahir satu istilah, yaitu “Islam Holistik”.

Istilah ini artinya secara singkat adalah “Islam menyeluruh” atau bersifat

menyeluruh, sedangkan pengertiannya yang lebih luas adalah sebagia berikut:

2
Pertama, Islam harus dipahami dari objek kajiannya yang mencakup

aqidah, syari’ah dan akhlak. Dari ketiga objek kajian ini akhirnya melahirkan tiga

bentuk hubungan yang dikenal dengan hubungan secara vertikal, yakni hubungan

antara manusia dengan sang Khaliq (Allah) dan disebut dengan habl min Allah

(hablum minallah); Kemudian bentuk hubungan secara horizontal, yakni hubungan

manusia antar sesama manusia yang disebut dengan habl min al-Naas (hablum

minanas) dan terakhir adalah bentuk hubungan antara manusia dengan alam sekitar

yang terdiri dari alam binatang (hewani), alam tumbuh-tumbuhan (nabati), dan

alam abiotik (jamadi). Bentuk hubungan yang terakhir ini contohnya adalah

bagaimana cara memanfaatkan air, tanah, batu dan sebagainya berdasarkan nilai-

nilai ajaran Islam (ketiga objek kajian ini akan dibahas pada bab di bawah nanti).

Kedua, Islam harus dipahami dari sumber nilainya yaitu Alquran, Hadits

(Sunnah Rasul) dan sumber tambahannya yakni Ijtihad. Ketiga sumber nilai ini

pada tataran praktisnya harus ada keterkaitan secara menyatu dan sinergis,

sehingga memunculkan ajaran Islam yang bersifat holistik. Pemahaman dari ketiga

sumber nilai Islam ini, baik yang dilakukan oleh para ulama salaf (terdahulu)

ataupun ulama khalaf (kontemporer) pada akhirnya melahirkan tiga aspek atau tiga

objek kajian Islam seperti tersebut pada poin pertama, yakni akidah, syari’ah dan

akhlak yang penerapannya dalam kehidupan sehari-hari tidak boleh terpisan,

namun harus menyatu padu secara bulat dan total.

Walhasil apa yang disebut dengan Islam holistik adalah pemahaman

terhadap seluruh objek kajian yang terdapat dalam ajaran Islam (aqidah, syariah

3
dan akhlak) kemudian penerapannya dalam kenyataan hidup sehari-hari harus

berpedoman kepada sumber nilainya yakni Alquran, Sunnah dan Ijtihad secara

utuh (kaffah). Kesatuan dan sinergisitas dari seluruh aspek yang terdapat di dalam

ajaran Islam, melahirkan satu pernyataan yang dinyatakan oleh para tokoh

pembaharu Islam yaitu al-Islam Shalihun Likulli Zamanin wa Makanin, artinya

bahwa Islam adalah agama yang ajarannya sesuai dengan segala zaman dan tempat

(sekalipun dalam ajaran Islam terdapat juga ajaran-ajaran yang sifatnya dogmatis

dan statis seperti ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kayakinan).

Ungkapan tersebut di atas menggambarkan Islam holistik, yakni Islam

yang ajarannya secara integral mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari

aspek kehidupan yang terkecil sampai dengan aspek kehidupan yang terbesar di

berbagai ras dan kebangsaan yang senantiasa diiringi oleh kemajemukan ras (QS.

Al-Hujurat, 49: 13) dan bahasa (QS. Ruum, 30: 22).

َ ‫َّاس إِنَّا َخلَ ْقنَا ُكم ِّمن ذَ َك ٍر َوأُنثَى َو َج َع ْلنَا ُك ْم ُشعُوباً َو َقبَائِ َل لَِت َع َارفُوا إِ َّن أَ ْك َر َم ُك ْم ِع‬
‫ند اللَّ ِه‬ ُ ‫يَا أَيُّ َها الن‬
ِ ِ
ٌ‫يم َخبِري‬ٌ ‫أَْت َقا ُك ْم إ َّن اللَّهَ َعل‬
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan

seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku

supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di

antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Firman-Nya lagi:

ِِ ٍ ِ
َ ‫ف أَلْ ِسنَتِ ُك ْم َوأَلْ َوانِ ُك ْم إِ َّن يِف َذل‬
ُ ‫اختِاَل‬ ِ ‫السماو‬ ِِ ِ
َ ‫ك آَل يَات لِّْل َعالم‬
‫ني‬ ِ ‫ات َواأْل َْر‬
ْ ‫ض َو‬ َ َ َّ ‫َوم ْن آيَاته َخ ْل ُق‬

4
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan

berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian

itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”

Seiring dengan kenyataan itu, di dalam Alquran telah digambarkan: “Tiada

Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh

alam” (QS. al-Anbiya, 21: 107); “Tiada Kami mengutus engkau (Muhammad),

melainkan untuk seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan

sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS.

Saba’, 34: 28).

Terkait dengan apa yang dimaksud dengan Islam holistik itu adalah suatu

kayakinan bahwa Allah mewahyukan agama Islam kepada nabi Muhammad SAW

dalam nilai kesempurnaan tertinggi. Kesempurnaan itu meliputi segi-segi

fundamental tentang berbagai aspek kehidupan manusia berupa hukum dan norma,

guna menghantarkannya ke pintu gerbang kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh

sebab itu, ajaran-ajaran Islam bersifat eternal dan universal sesuai dengan fitrah

manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya.

Norma-norma atau aturan-aturan tersebut secara garis besarnya, terhimpun

dan terkalsifikasikan dalam tiga hal pokok, yaitu: (1) Aqidah; (2) Syari’ah; (3)

Akhlaq. Ketiga pokok tersebut sekaligus sebagai ruang lingkup dalam ajaran

Islam. Semua unsur yang termasuk dalam ruang lingkup ajaran Islam tersebut

dalam realisasinya tidaklah berdiri sendiri, tetapi menyatu dan membentuk

5
kepribadian yang utuh pada diri seorang muslim yang masing-masing saling

berkaitan secara sinergis dan holistis.

Pembahasn Islam holistik pada bab ini tidak akan mengungkap seluruh

bagian atau aspek yang terdapat didalam ajaran Islam, namun pembahasannya,

akan difokuskan kepada aspek-aspek yang menjadi objek kajian dalam Islam,

karena aspek ini sekaligus menjadi ruang lingkup ajaran Islam, yakni aqidah,

syari’ah dan akhlak. Ketiga aspek ini akan dibahas satu-persatu secara global,

namun sekalipun global tetap tidak akan menghilangkan nilai-nilai holistiknya

(syumuliyah) dalam Islam seperti yang dimaksud di atas.

Selain itu, kajian Islam holistik pada bab ini tidak dikaji secara ilmiah,

namun kajiannya hanya sekedar menggambarkan betapa luasnya ajaran Islam yang

menjelejahi berbagai aspek kehidupan, baik kehidupan sosial, ekonomi, hukum,

pendidikan, teknologi, politik dan lain sebagainya. Artinya bahwa ajaran Islam

menjamah dan menjelajahi berbagi bidang ilmu pengetahuan, terutama ilmu

pengetahuan yang berkembang di abad modern sekarang ini.

B. Ruang Lingkup Ajaran Islam

1. Aqidah

Aqidah merupakan tata keyakinan (sistem credo) yang mendorong

seorang muslim untuk melaksanakan syariah. Aqidah sebagai unsur keyakinan

mempunyai sifat dinamis. Artinya kuat atau lemahnya aqidah akan tergantung

kepada perlakuannya (amaliyahnya). Apabila aqidah dibina dengan baik,

6
maka ia akan kuat dan sebaliknya bila dibiarkan kering, maka dengan

sendirinya aqidah tidak dapat menopang keislaman seseorang.

Aqidah yang mempunyai sumber yang asasi dari Alquran merupakan

sesuatu yang bersifat mutlak, secara teori disebut pastulat. Kemudian tuntutan

pertama kalinya adalah, segala sesuatu yang dipercayai dengan suatu

keimanan, tidak boleh dicampuri oleh keragu-raguan dan dipengaruhi oleh

prasangka. Ia ditetapkan dengan positif sebagai bentuk kepatuhan manusia

terhadap Tuhannya. Adapun hakikat aqidah diterangkan oleh Rasulullah

sebagaimana sabdanya:

ِ ‫اهلل ومالَئِ َكتِ ِه وبِلِ َقآئِِه وبِرسلِ ِه و ُت ْؤ ِمن بِاْلبع‬


ِ ِ ِ
.‫ث‬ َْ َ َ ُ ُ َ َ َ َ ‫اَ ِإلمْيَا ُن اَ ْن ُت ْؤ م َن ب‬
“Iman adalah engkau percaya (membenarkan dan mengakui) kepada Allah dan

malaikat-Nya dan dengan menjumpai-Nya, dan dengan Rasul-rasulnya dan engkau

percaya dengan hari berbangkit” (HR. Bukhari-Muslim).

Sebagai akibat aqidah yang bersifat dinamis, maka diperlukan suatu

upaya pembinaan aqidah yang bersifat dinamis pula, agar ia tetap kokoh.

Bentuk pembinaan aqidah hanya dapat tercapai manakala seorang mukmin

melaksanakan segenap aturan-aturan syariah Islam. Apabila syariah telah

dilaksanakan berdasarkan aqidah akan lahir akhlak. Oleh karena itu, iman

tidak hanya ada di dalam hati, tetapi ditampilkan dalam bentuk perbuatan.

Oleh karena itu, aqidah, syariah, dan akhlak merupakan sistemik (nizham)

7
yang berhubungan secara korelatif, serasi dan seimbang, tidak dapat dipisah-

pisahkan satu dengan yang lainnya.

Dengan demikian seorang mukmin harus mempunyai prinsip dalam

hidupnya untuk tidak memisahkan antara aqidah, syariah dan akhlak, karena Islam

tidak dapat dipandang sebagai salah satu aspek hidup saja. Tetapi seorang mukmin

memandang seluruh hidupnya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Islam.

Dalam berpikir Islami ia tidak lagi berpikir dengan melakukan dikotomi antara

agama dan non agama. Artinya dalam setiap bentuk aktifitas yang dilakukan oleh

seorang mukmin selain mempunyai dimensi duniawi juga memiliki dimensi

agama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aqidah merupakan landasan

bagi tegak berdirinya syariah dan akhlak adalah perilaku nyata dari pelaksanaan

syariah.

Aqidah Islam merupakan penutup aqidah bagi agama-agama yang pernah

diturunkan Allah sebelumnya, bersamaan dengan diutusnya nabi Muhammad

sebagai Rasul Allah yang terakhir. Alquran dan Sunnah telah menjelaskan hakikat

aqidah tersebut berikut prinsip-prinsipnya secara lengkap dan sempurna dalam

bentuk keimanan kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya,

hari akir dan ketentun-Nya (qadla dan qadar).

Aqidah ini pada dasarnya, merupakan hakikat abadi yang tidak akan

pernah mengalami proses perubahan hingga akhir masa. Cakupan operasionalnya

meliputi aqidah tentang Allah dan hubungan-Nya dengan alam ini, tentang alam

nyata yang diperlihatkan kepada manusia dan alam ghaib yang tidak

8
diperlihatkannya, tentang peran manusia dalam kehidupan ini dan hakikat

kehidupannya.

Aqidah Islam tersebut telah dipaparkan dengan tataran dan nuansa baru

sesuai dengan misi risalahnya dan telah menjadikannya sebagai penutup risalah

ilahiyah dan tujuan semua umat manusia sampai akhir hidupnya. Segala hal yang

terdapat dalam aqidah Islam tersebut bertujuan untuk menjernihkan aqidah

sebelumnya dari berbagai noda dan penyelewengan, serta memurnikannya dari

unusur-unsur asing yang masuk kepadanya oleh berlalunya masa panjang yang

mengitarinya.

Pembahasan tentang aqidah Islam tersebut telah dikodifikasi dan

dihimpun dalam sebuah ilmu, karenanya dikatagorikan ke dalam salah satu

disiplin ilmu-ilmu keislaman setelah mengalami perkembangannya. Ilmu-

ulmu yang membahas tentang aqidah Islam tersebut adalah:

a. Ilmu Kalam, artinya ilmu yang membahas tentang keimanan terhadap

kalam atau firman Ilahi.

b. Ilmu ‘Aqo’id, artinya simpul atau ikatan (buhul) yaitu ilmu yang

membahas tentang kepercayaan-kepercayaan kepada Allah yang

tersimpul di dalam hati.

c. Ilmu Ushuluddin, yaitu ilmu yang membicarakan tentang pokok-pokok

atau dasar-dasar agama.

9
d. Ilmu Ma’rifat, yaitu ilmu yang membahas tentang pengenalan atau

pengetahuan tentang Allah,

e. Ilmu Haqiqah, yaitu ilmu yang membicarakan tentang hakikat Allah

dengan segala eksistensi dan kesempurnaan-Nya.

f. Ilmu Uluhiyah, yaitu ilmu yang membahas tentang aspek-aspek

ketuhanan

Imam Abu Hanifah, sebagai salah satu ulama Fiqh, menyebut ilmu

yang membahas tentang aqidah Islam ini dengan sebutan fiqh al-akbar. Sebab

menurutnya seluruh ajaran Islam terhimpun dalam suatu ilmu yang disebut

dengan Ilmu Fiqih. Ilmu ini kemudian terbagi kepada dua bagian: (1) Fiqh

al-Akbar dan (2) Fiqh al-Ashghar. Fiqh al-akbar membahas tentang

keyakinan atau pokok-pokok agama yaitu tauhid. Sedangkan fiqh al-ashghar

membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah mu’amalah atau membahas

hal-hal yang dibahas dalam ilmu fiqih yang kita kenal sekarang ini (Djohan

Effendi, 1994: 52).

Di samping istilah-istilah tersebut, pembahasan tentang aqidah Islam

ini dipopulerkan juga dengan teologi Islam, yaitu ilmu yang membahas

tentang ketuhanan dalam Islam. Pemakaian istilah ini terjadi setelah Islam

mengalami ekspansi kekuasaannya ke berbagai daerah, dan bersentuhan

dengan budya-budaya luar.

10
Istilah Ilmu Kalam, Ushul al-Din, Ilmu Ma’rifah, Ilmu ‘Aqaid, Ilmu

Haqiqah dan Ilmu Uluhiyah merupakan disiplin ilmu yang tumbuh dan

menjadi bagian dalam tradisi kajian tentang dasar-dasar atau pokok-pokok

agama Islam. Yaitu ketika pemakaian istilah teologi belum banyak dikenal

oleh para pengkaji khazanah keislaman, seperti pengkajian ilmu-ilmu

keislaman yang digunakan di pesantren tradisional khususnya yang ada di

Indonesia.

Secara etimologis, aqidah berasal dari kata ‘aqada yang mengandung arti

ikatan atau keterkaitan, atau dua utas tali dalam satu buhul yang tersambung.

Aqidah berarti pula janji, karena janji merupakan ikatan kesepakatan antara dua

orang yang mengadakan perjanjian. Secara terminologis, aqidah dalam Islam

berarti keimanan atau keyakinan seseorang terhadap Allah yang menciptakan alam

semesta beserta seluruh isinya dengan segala sifat dan perbuatan-Nya. Definisi

tersebut menggambarkan bahwa seseorang yang menjadikan Islam sebagai

aqidahnya berarti ia sudah terikat oleh segala aturan atau hukum yang terdapat

dalam Islam.

Aqidah sebagai fondamen utama dalam ajaran Islam. Karena itu ia

merupakan dasar-dasar pokok kepercayaan atau keyakinan seseorang yang wajib

dimilikinya untuk dijadikan pijakan dalam segala sikap dan tingkah lakunya

sehari-hari. Seseorang dipandang muslim atau bukan muslim tergantung pada

akidahnya, apabila ia berakidah Islam, maka segala sesuatu yang dilakukannya

11
akan bernilai sebagai amaliayah seorang muslim, apabila tidak, maka segala

amalnya tidak akan bernilai sebagai amaliayah muslim.

Berdasarkan hal tersebut, keterkaitan antara aqidah atau keyakinan

seseorang terhadap Islam terletak pada konsekuensinya sebagai berikut:.

a. Meyakini bahwa Islam adalah agama yang terakhir diturunkan, dan syari’at-

syari’atnya menyempurnakan syari’at-syari’at yang diturunkan Allah

sebelumnya. Firman-Nya:

. ‫ت لَ ُك ُم اْ ِإل ْسالَ َم ِد ْينًا‬ ِ ِ


ُ ‫ت َعلَْي ُك ْم ن ْع َمىِت َو َرضْي‬
ِ
ُ ‫اَلَْي ْو َم أَ ْك َم ْل‬
ُ ‫ت لَ ُك ْم د ْينَ ُك ْم َوأَمْتَ ْم‬
“Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu dan telah

Kucukupkan padamu ni’mat-Ku, serta telah Kuridloi Islam menjadi

agamamu” (QS. Al-Maidah, 5: 3).

.‫ص ِّدقًالِّ َما َم َع ُك ْم‬ ‫ِ مِب‬


ُ ْ‫َوآمُن ْوا َا أَْنَزل‬
َ ‫ت ُم‬
“Dan berimanlah kamu sekalian kepada apa yang telah Aku turunkan

(Alquran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Kitab-kitab

sebelumnya) (QS. al-Baqarah, 2:41).

. ‫اب ِآمُن ْوا مِب َا اَْنَزلْنَا ُم َص ِّدقًالِّ َما َم َع ُك ْم‬ ِ ِ


َ َ‫يآاَُّي َها الَّذيْ َن اُْو ُت ْواالْكت‬
“Hai orang-orang yang telah diberi al-Kitab, berimanlah kamu kepada

apa yang telah Kami turunkan (Alquran) yang membenarkan Kitab yang

ada pada kamu sebelumnya (QS. al-Nisa, 4:47).

12
b. Meyakini bahwa Islam adalah agama-agama satu-satunya agama yang benar

di sisi Allah. Islam datang dengan membawa kebenaran yang bersifat absolut

guna menjadi pedoman hidup dan kehidupan manusia selaras dengan

fitrahnya. Firman Allah:

ِ ‫إِ َّن الدِّين ِعْن َد‬


. ‫اهلل اْ ِإل ْسالَِم‬ َْ
“Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah adalah agama Islam”

(QS. Ali Imran, 3:19).

ِ َ‫آلخر ِة ِمن اخْل‬


ِ ‫ىِف‬ ِ ِ ِ ِ
. ‫اس ِريْ َن‬ َ َ ْ‫َو َم ْن يَّْبتَ ِغ َغرْي اْ ِإل ْسالَم د ْينًا َفلَ ْن يُّ ْقبَ َل مْنهُ َو ُه َو ا‬
“Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah

akan diterima amal perbuatannya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang

yang rugi” (QS. Ali Imran, 3:85).

c. Meyakini bahwa Islam sebagai agama yang universal; berlaku untuk seluruh

umat manusia, kapan dan dimana saja ia berada:

ِ ‫َّاس ب ِشيرا َّونَ ِذيراً َّو‬ ِ َ ‫وما أَرس ْلن‬


. ‫َّاس الََي ْعلَ ُم ْو َن‬
ِ ‫لك َّن أَ ْكَثَر الن‬ ْ ً ْ َ ِ ‫اك االَّ َكآفَّةً لِّلن‬َ َ ْ ََ
“Dan tiadalah Kami utus kamu (Muhammad) melainkan untuk semua umat

manusia sebagai berita gembira dan peringatan, akan tetapi kebanyakan

manusia tidak mengetahuinya” (QS. al-Saba’, 34:28).

d. Meyakini bahwa Islam memiliki keseimbangan dua orientasi hidup, yaitu

kehidupan dunia dan akhirat. Firman Allah:

ُّ ‫ك ِم َن‬
. ‫الد ْنيَا‬ ِ
ِ َ‫آلخرةَ والَ َتْنس ن‬ ِ
َ َ‫صْيب‬ َ َ َ ْ‫َّار ا‬
َ ‫ك اهللُ الد‬
َ ‫َو ْابتَ ِغ فْي َمآ اَتْي‬

13
“Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu

(kebahagiaan) di akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmua dari

(keni’matan) duniawi” (QS. al-Qashash, 28:77).

Sistim keyakinan atau aqidah Islam, pada intinya dibangun di atas enam

dasar keimanan yang lazim disebut Rukun Iman. Rukun Iman tersebut sekaligus

menjadi pokok bahasan aqidah Islam yang meliputi: Iman kepada Allah, para

malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir dan ketentuan-Nya (qadla dan qadr).

Hal ini terungkap dalam firman-Nya:

ِ َ‫اب الَّ ِذي َن َّز َل َعلَى رس ولِِه والْ ِكت‬


‫اب الَّ ِذى اَْن َز َل ِم ْن‬ ِ َ‫اهلل ورسـولِِه والْ ِكت‬ ِ ِ ِ ِ َّ
َ ُْ َ ْ َ ْ ُ َ َ ‫يَآاَُّي َها الذيْ َن َآمُن ْوا آمُن ْوا ب‬
‫ضالَالً بَعِْي ًدا‬ ِ ِ ِِ ِ ِِ ِ ِ
َ ‫َقْب ُل َو َم ْن يَّ ْك ُف ْر بِاهلل َو َمالَئ َكته َو ُكتُبِه َو ُر ُسـله َوالْيَ ْـوم اْآلخ ِر َف َق ْد‬
َ ‫ض َّل‬
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya

dan kepada kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah

turunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,

kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu

telah sesat sejauh-jauhnya” (QS. al-Nisa, 4:136).

Rukun iman yang pertama adalah Iman Kepada Allah. Dalam ajaran Islam

beriman kepada Allah merupakan hal yang paling pokok dan mendasari seluruh

ajarannya. Oleh karenanya, Iman kepada Allah ini harus ditanamkan di setiap jiwa

seorang muslim dengan pasti dan tidak ragu-ragu. Iman kepada Allah ini secara

garis besarnya mencakup keimanan kepada eksistensi-Nya, keimanan kepada ke-

Esaan-Nya dan keimanan kepada kesempurnaan sifat-sifat-Nya.

14
Pertama, iman kepada eksisitensi Allah. Bukti-bukti telah menunjukan

bahwa di balik alam ini ada sebuah kekuatan tertinggi yang mengatur, menguasai

dan mengawasinya yang dinamakan oleh kaum filosof dengan “sebab awal”, atau

“akal pertama” atau “penggerak pertama”. Sedangkan Alquran menamakannya

dengan nama universal transenden yang mencakup segala sifat-sifat keindahan dan

dan keagungan, yaitu Allah Swt. Alquran telah banyak membuktikan tentang

eksistensi Allah dengan berbagai metode, di antaranya:

a. Mengalihkan akal dan nalar kepada ayat-ayat atau tanda-tanda kekuasaan Allah

kepada alam yang berbicara bahwa di baliknya ada penciptanya, yaitu hukum

axiomatik menurut logika akal yang meyakini secara alamiah prinsip kausalitas

tanpa memerlukan suatu argumentasi ataupun pembuktian, melalui firman-Nya:

.‫ض بَ ْل الَيُ ْوقُِن ْو َن‬ ِ ‫الس‬ ِ ٍ ِ ِ ِ


َ ‫موات َواْأل َْر‬
َ َّ ‫اَْم ُخل ُق ْوا م ْن َغرْي َش ْيء اَْم ُه ُم اخْلَال ُق ْو َن ز اَْم َخلَ ُق ْوا‬
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang

menciptakan diri mereka sendiri, ataukah mereka telah menciptakan langit dan

bumi ? sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan)” (QS. al-

Thuur, 52: 35-36).

b. Menggugah fitrah manusia yang dengannya dia dapat langsung mengetahui

bahwa ia memiliki Tuhan dan Sembahan Yang Maha Kuat dan Maha Besar

yang melindungi dan merawatnya. Fitrah ini akan tampak nyata saat manusia

mendapatkan kesusahan, atau dihadapkan kepada pertanyaan tentang asal-usul

15
dirinya atau alam semesta dan pengaturnya, seperti yang digambarkan dalam

Alquran:

. ‫س َو الْ َق َمَر لََي ُق ْولُ َّن اهللَ فَأَىَّن ُت ْوفَ ُك ْو َن‬ ِ ‫الس‬ ِ
َ ‫الش ْم‬
َ ‫ض َو َس َّخَر‬ َ َّ ‫َولَئ ْن َسأَلَْت ُه ْم َم ْن َخلَ َق‬
َ ‫موات َواْأل َْر‬

“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang

menjadikan langit dan bumi, dan menundukan matahari dan bulan?”. Tentu

mereka akan menjawab: “Allah”, maka betapakah mereka dapat dipalingkan

dari jalan yang benar” (QS. al-Ankabut, 29:61).

c. Pengambilan fakta (quotasi) oleh Alquran berdasarkan fakta sejarah manusia

bahwa keimanan kepada Allah merupakan suatu bahtera keselamatan bagi para

penganutnya. Seperti yang digambarkan Alquran:

. َ ‫فَ َك َّذبُ ْوهُ فَأَجْنَْينَاهُ َوالَّ ِذيْ َن َم َعهُ ىِف الْ ُف ْل ِق َو أَ ْغَر ْقنَا الَّ ِذيْ َن َك َّذبُ ْوا بِآيَاتِنَا اِن َُّه ْم َكانُ ْوا َق ْو ًما َع ِمنْي‬

“Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan dia dan orang-

orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang

yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang

buta (mata hatinya)” (QS. al-A’raf, 7: 64).

Kedua, iman kepada ke-Esaan Allah. Segala apa yang ada di alam semesta

berupa perancangan keindahan dan keteraturan menunjukan bahwa perancang dan

pengaturnya adalah satu. Kalau di balik alam ini ada tuhan lebih dari satu, niscaya

akan berantakan aturannya dan kacau balau hukum-hukumnya. Firman-Nya:

16
ٍِ َّ ِ ٍ ِ ِ ٍ ِ
ُ ‫ب ُك ُّل ال ه مِب َا َخلَ َق َولَ َعالَ َب ْع‬
ٍ ‫ض ُه ْم َعلَى َب ْع‬
‫ض‬ ‫خَّت‬
َ ‫َما ا َ َذ اهللُ م ْن َّولَ د َّو َما َك ا َن َم َع هُ م ْن ال ه اذًا ل َذ َه‬
ِ ‫سبحا َن‬
. ‫اهلل َع َّما يُ ْش ِر ُك ْو َن‬ َ ُْ
“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada Tuhan yang

lain beserta-Nya, kalau ada Tuhan beserta-Nya, maka masing-masing Tuhan itu

akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu

akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka

sifatkan” (QS. al-Mu’minuun, 23: 91).

Aqidah tauhid dalam Islam disimbolkan dalam sebuah konsepsi yang

berbunyi La Ilaha Illallah merupakan sebuah seruan yang bersifat internasional

untuk membebaskan manusia dari penyembahan kepada apapun dan siapapun

kecuali kepada Allah. La Ilaha Illallah merupakan proklamasi lahirnya sebuah

masyarakat baru yang berbeda dengan masayarakat jahiliyah, yaitu sebuah

masyarakat yang memberi kebebasan dalam menggunakan akal pikirannya.

Karena ia hanya berafiliasi kepada Allah dan tidak mengenal loyalitas kecuali

hanya kepada-Nya.

Ketiga, Iman kepada kesempurnaan sifat-sifat Allah. Iman kepada

eksistensi Allah dan ke-Esaan-Nya sudah seharusnya disertai keimanan bahwa

Allah memiliki sifat-sifat kesempurnaan yang pantas dan sesuai dengan Dzat-Nya

yang Muli dan suci dari segala kekurangan. Alam yang indah dengan apa yang ada

padanya berupa keteraturan yang menakjubkan, keberadaan fitrah manusia dan

17
risalah-Nya yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul telah menjadi bukti dan

menunjukan kepada kesempurnaan sifat-sifat Allah.

Karena kesempurnaan sifat-sifat-Nya itu, maka tidak ada sesuatupun yang

dapat menyerupai-Nya, baik dalam Dzat-Nya, sifat-Nya ataupun dalam perbuatan-

Nya. Segala apa yang diciptakan-Nya tidak sia-sia, pasti mengandung hikmah dan

manfaat. Firman-Nya:

.‫مَلْ يَلِ ْد َومَلْ يُ ْولَ ْد َومَلْ يَ ُك ْن لَهُ ُك ُف ًوا اَ َح ٌد‬


“Dan Dia tidak beranak, dan tidak pula diperanakan dan tidak ada sesuatupun yang

setara dengan-Nya” (QS. al-Ikhlash, 112:3-4).

ِ َ‫اطـالً سبحان‬
.‫اب النَّا ِر‬ َ َ ْ ُ ِ َ‫ت ه َذ ب‬
َ ‫ك فَقنَا َع َذ‬ َ ‫َربَّنَا َما َخلَ ْق‬
“Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan ini semua dalam keadaan sia-sia.

Maha Suci Engkau dan peliharalah kami dari siksa api neraka” (QS. Ali Imran, 3:

191).

Rukun iman kedua adalah Iman Kepada Para Malaikat. Malaikat

merupakan salah satu makhluk Allah yang ghaib. Seorang muslim wajib beriman

kepadanya setelah beriman kepada Allah Swt. Malaikat diciptakan oleh Allah dari

cahaya, ia mempunyai tugas-tugas khusus yang dihubungkan dengan Allah,

manusia dan alam semesta. Hakikat malaikat bukan merupakan makhluk materi

melainkan makhluk yang immateri, akan tetapi dengan izin Allah, sewaktu-waktu

malaikat dapat menjelma ke alam materi seperti benyak terjadi pada masa

18
Rasulullah atau para rasul terdahulu. Hal tersebut dijelaskan dalam Alquran surat

Hud, 11: 69-70, al-Hijr, 15: 52-55 dan surat al-Dzariyat, 51: 24-25.

Pengetahuan manusia tentang malaikat sangat terbatas. Ia tidak dapat

diketahui secara empirik, melainkan hanya didasari oleh keterangan-keterangan

yang terdapat dalam Alquran dan hadits Rasul. Seperti mengetahiui sifat-sifatnya

dan tugas-tugas yang diembankan kepadanya.

Alquran menyebutkan bahwa sifat-sifat malaikat berbeda dengan sifat-sifat

manusia atau dengan mahkluk Allah lainnya. Malaikat senantiasa taat dan patuh

melaksanakan perintah-perintah Allah, tidak pernah melakukan dosa atau berbuat

maksiat melainkan ia senantiasa bertasbih dan bersujud kepada Allah. Firman-

Nya:

‫َّاس َواحْلِ َج َارةُ َعلَْي َها َمالَئِ َك ةٌ ِغالَ ٌظ ِش َد ٌاد‬ ِ ِ َّ


ُ ‫يَآ اَيُّ َها الذيْ َن َآمُن ْوا ُق ْوا أَْن ُف َس ُك ْم َو أ َْهلْي ُك ْم نَ ًارا َّو ُق ْو ُد َهاالن‬
ُ ‫الََّي ْع‬
.‫ص ْو َن اهللَ َمآ اََمَر ُه ْم َو َي ْف َعلُ ْو َن َمايُ ْؤ َمُر ْو َن‬

“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api

neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-

malaikat yang gagah dan perkasa yang tidak pernah mendurhakai Allah terhadap

apa yang telah diperintahkan kepadanya dan selalu mengerjakannya” (QS. al-

Tahrim, 66:6). Dalam ayat lain sisebutkan:

.‫ك الَيَ ْستَ ْكرِب ُ ْو َن َع ْن ِعبَ َادتِِه َويُ َسبِّ ُح ْو َن َولَهُ يَ ْس ُج ُد ْو َن‬ ِ ِ
َ ِّ‫ا َّن الَّذيْ َن ِعْن َد َرب‬

19
“Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa

enggan menyembah Allah dan mereka selalu bertasbih memuji-Nya dan hanya

kepada-Nya mereka bersujud” (QS. al-A’raf, 7:206).

Adapun tugas-tugas malaikat seperti yang dijelaskan Alquran, di antaranya

bertugas menurunkan wahyu kepada para Rasul dan meneguhkan hati orang-orang

yang beriman, firman-Nya:

. َ ‫ت الَّ ِذيْ َن َآمُن ْوا َو ُه ًد َّاوبُ ْشَر ْى لِْل ُم ْسلِ ِمنْي‬ ِ


َ ِ‫قَ ْد َنَزلَهُ ُر ْو ُح الْ ُق ُد ِس ِم ْن َّرب‬
َ ِّ‫ك بِاحْلَ ِّق ليُثَب‬
“Katakanlah: Ruhu al-Kudus (Malaikat Jibril) menurunkan wahyu itu dari

tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan hati orang-orang yang beriman dan

menjadi petunjuk serta kabat gembira bagi orang-orang yang berserah diri kepada

Allah” (QS. al-Nahl, 16: 102).

Ada malaikat yang ditugaskan oleh Allah untuk menolong atau menjadi

kawan dan penjaga bagi orang-orang yang beriman, firman-Nya:

. َ ‫ف ِّم َن الْ َمالَئِ َك ِة ُم ْر ِدفِنْي‬


ٍ ْ‫استَجاب لَ ُكم اَىِّن مُمِ ُّد ُكم بِأَل‬ ِ ِ
ْ ْ ْ َ َ ْ َ‫ا ْذ تَ ْستَغْي ُث ْو َن َربَّ ُك ْم ف‬
“Ingatlah ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu

diperkenankannya bagimua. Kemudian Aku mendatangkan bantuan kepadamu

dengan seribu malaikat yang datang berturut-berturut” (QS. al-Anfal, 8:9). Dan

masih banyak lagi keterangan dari Alquran yang berhubungan dengan tugas-tugas

malaikat. Tugas-tugas tersebut disesuaikan dengan siklus kehidupan manusia atau

dengan fenomena-fenomena yang terjadi di dalam diri manusia dan hubungannya

dengan Allah, alam semesta atau dengan makhluk-makhluk Allah lainnya.

20
Keyakinan terhadap malaikat tersebut, bukan hanya sebatas mengetahui

sifat-sifat dan tugas-tugasnya, melainkan harus melahirkan dampak dalam sikap

dan perilaku sehari-hari. Jika seseorang meyakini bahwa ada malaikat yang

senantiasa mencatat kebaikan dan keburukan di setiap saatnya, maka ia selalu

berhati-hati, sebab apapun perbuatannya akan dicatat dan diminta

pertanggungjawabannya pada saat nanti. Karena itu iman kepada malaikat akan

memberikan pengaruh kejiwaan atau sikap yang cukup besar pada diri seseorang.

seperti sikap jujur, tabah, ikhlas dan berani.

Rukun iman yang ketiga adalah Iman kepada Kitab-kitab Allah Swt. Allah

menurunkan wahyu kepada para nabi dan rasul, sebagiannya terkumpul dalam

sebuah kitab, seperti kitab Taurat yang diturunkan kepada nabi Musa, Injil kepada

nabi Isa, Jabur kepada nabi Dawud dan Alquran kepada nabi Muhammad Saw.

Kitab-kitab tersebut berisi informasi-informasi, aturan-aturan dan hukum-hukum

dari Allah untuk dijadikan pedoman bagi umat manusia dalam mencapai

kebahagiaan hidupnya baik di dunia maupun di akhir nanti..

Semua kitab Allah tersebut (seperti kitab Taurat, Injil, Zabur dan Alquran)

diturunkan untuk kelompok masyarakat dan bangsanya sesuai dengan tingkat

kecerdasan dan perkembangan budayanya. Karena itu aturan-aturan dan hukum-

hukum dalam kitab-kitab Allah dikemukakan dalam ungkapan yang berbeda-beda,

baik dialek bahasanya ataupun kandungan maknanya.

21
Dari segi isinya terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaan yang ada

pada kitab-kitab tersebut terletak pada aspek aqidah atau keyakinan, yaitu tauhid

atau mengesakan Allah. Sedangkan aspek-aspek hukum atau syari’at mengalami

perkembangan dari satu kitab kepada kitab yang lainnya. Dalam hal aqidah secara

prinsipil sama, tetapi diungkapkan dalam pemaparan bahasa yang berbeda. Dalam

Alquran yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw pemaparan prinsip tauhid

diperkaya dengan berbagai penjelasan dan bukti yang memberikan argumentasi

yang jelas dan tepat, karena umat nabi Muhammad telah mampu mengembangkan

nalar dan argumentasi. Sedangkan pada nabi-nabi terdahulu tidak demikian karena

tingkat perkembangan pemikiran umatnya belum begitu membutuhkannya.

Abu A’la al-Maududi membedakan antara kitab Alquran dengan kitab-

kitab sebelumnya, antara lain adalah:

a. Kitab-kitab terdahulu telah kehilangan naskah aslinya, yang ada sekarang

hanya terjemahan-terjemahannya saja. Sedangkan Alquran sampai sekarang

masih terpelihara keasliannya dan tidak mengalami perubahan satu huruf

sekalipun, bahkan hingga akhir zaman nanti.

b. Kitab-kitab terdahulu hanya ditujukan kepada satu bangsa, tidak ditujukan

kepada bangsa lainnya. Adapun Alquran ditujukan kepada semua umat

manusia tanpa mengenal ras, golongan, bangsa dan bahasa.

c. Bahasa-bahasa yang digunakan dalam kitab-kitab terdahulu sudah hilang

dari permukaan, sehingga tidak ada satu bangsapun yang menggunakan

bahasa kitab terdahulu. Karena itu semua kitab terdahulu merupakan

22
terjemahan belaka. Sedangkan Alquran diturunkan dalam bahasa Arab yang

hingga sekarang tetap merupakan bahasa yang hidup dan masih digunakan

oleh jutaan umat manusia, baik oleh bangsa Arab sendiri, ataupun bangsa

‘ajami (Non Arab).

d. Karena kitab-kitab terdahulu yang ada sekarang, hanya merupakan

terjemahan, maka di dalamnya telah terdapat perubahan atau tercampuri

oleh pendapat-pendapat atau ungkapan-ungkapan manusia, terutama

pemikiran-pemikiran para penerjemahnya. Sedang Alquran, tetap

terpelihara sejak awal turun hingga sekarang ini, bahkan hingga akhir

zaman nanti.

Perubahan yang sangat penting dalam kitab-kitab terdahulu adalah dalam

masalah ketuhanan (aqidah), yakni dari aqidah tauhid menjadi musyrik. Dalam

kerangka itulah kitab suci Alquran diturunkan Allah untuk merevisinya dan

menyempurnakan ajaran-ajarannya. Firman Allah:

‫اح ُك ْم بِْيَن ُه ْم مِب َا أَْن َز َل‬ ِ ِ ِ َ‫ك الْ ِكتَ اب بِاحْل ِّق مص ِّدقًالِّما بنْي َ ي َديْ ِه ِمن الْ ِكت‬ ِ
ْ َ‫اب َو ُم َهْيمنًا َعلَْي ه ف‬ َ َ َ َ َُ َ َ َ ‫َوأَْنَزلْنَآ الَْي‬
.‫اهللُ َوالََتتَّبِ ْع أ َْه َواءَ ُه ْم َع َّما َجآءَ َك ِم َن احْلَ ِّق‬
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Alquran dengan membawa kebenaran;

membenarkan apa yang datang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan

sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu. Maka putuskanlah

perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti

hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu”

(QS. al-Nahl, 5: 48).

23
Kendatipun demikian setiap muslim wajib beriman kepada kitab-kitab

yang diturunkan Allah terdahulu dan meyakini isinya yang memuat aqidah tauhid

dan tuntunan-tuntunan Allah bagi umat manusia pada zamannya. Di samping itu

meyakini Alquran sebagai kitab suci yang diturunkan oleh Allah kepada nabi

Muhammad untuk mnyempurnakan, menjelaskan dan meluruskan persoalan-

persoalan yang masih kabur dan gelap, serta menampung perkembangan

pemikiran manusia sampai puncaknya.

Dalam kontek itulah Alquran dapat menjawab setiap tantangan yang

menentang kebenaran ajarannya yang datang dari siapa saja sepanjang perjalanan

hidup manusia, sejak diturunkannya pada abad ke-6 sampai akhir zaman nanti. Di

samping itu, Alquran memuat segala aspek tanggung jawab manusia dalam

hubungannya dengan Allah dan dengan semua makhluk lainnya.

Hubungan iman kepada kitab Allah dengan kehidupan manusia dapat

memberikan keyakinan yang kuat akan kebenaran jalan yang ditempuhnya, karena

jalan yang harus ditempuh oleh manusia telah dijelaskan Allah dalam kitab-kitab-

Nya. Manusia tidak memiliki pengetahuan secara pasti untuk melihat masa depan

yang harus ditempuhnya, maka Allah memberitahukannya melalui kitab-kitab-

Nya, sehingga manusia dapat mengatur dan menyesuaikan hidupnya, serta

memiliki harapan di masa depannya yang jelas. Itulah salah satu implementasi

iman kepada kitab Allah yang membentuk perilaku manusia dalam kehidupannya

di dunia.

24
Rukun iman yang keempat adalah Iman kepada para rasul. Ada dua

golongan manusia yang diutus oleh Allah untuk menyampaikan kebeneran-Nya

kepada umat manusia lainnya di muka bumi. Pertama Nabi, yaitu orang yang

diutus oleh Allah kepada kaumnya untuk memberikan petunjuk kepada kebenaran.

Kedua, Rasul yaitu orang yang diutus Allah dengan membawa kitab kepada

kaumnya untuk menunjukan jalan kebenaran. Tidak ada perbedaan yang esensial

antara Nabi dan Rasul selain dalam hal kitab yang dibawa kepada kaumnya.

Baik rasul ataupun nabi adalah manusia yang dipilih Allah untuk menerima

wahyu-Nya, kemudian mereka diperintahkan untuk menyampaikan dan

menjelaskannya kepada umat manusia, sekaligus sebagai contoh konkrit pribadi

manusia yang baik. Melalui rasul inilah manusia dapat melihat contoh perilaku

yang baik dan sesuai dengan kehendak Allah, dan melalui rasul ini pula, manusia

dapat mengetahui segala sesuatu tentang Allah; mulai dari rencana, kehendak,

keagungan dan kekuasaan-Nya, sampai kepada manusia itu sendiri yang

hakikatnya adalah berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Oleh karena

itu, iman kepada nabi dan rasul merupakan salah satu kebutuhan fitrah manusia,

Alquran tidak menjelaskan jumlah para nabi dan rasul yang diutus.

Alquran hanya mencantumkan beberapa nabi dan rasul, namun banyak juga nabi

dan rasul yang tidak dicantumkannya, firman Allah:

.‫ك‬
َ ‫ص ُه ْم َعلَْي‬ ِ َ ‫ورسالً قَ ْد قَصصنَاهم علَي‬
ْ‫ص‬ُ ‫ك م ْن َقْب ُل َو ُر ُسالً مَلْ َن ْق‬ َْ ُْ ْ َ ُ َُ

25
“Dan Kami telah mengutus rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang

mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang

mereka kepadamu” (QS. al-Nisa, 4: 164).

Meskipun ada bebarap nabi dan rasul yang tidak terkisahkan dalam

Alquran, namun semua nabi dan rasul yang diutus ke duania merupakan mata

rantai dari nabi yang pertama yaitu Adam AS. hingga nabi yang terakhir yaitu

Muhammad SAW. Oleh karena itu, mengingkari salah seorang dari mereka berarti

telah memutuskan mata rantai kenabian dan kerasulan. Artinya, mendustakan

salah seorang nabi atau rasul berarti mendustakan seluruhnya, atau mendustakan

kenabian dan kerasulan. Landasan Alquran tentang iman kepada Rasul ini adalah:

ِ َ‫اب الَّ ِذي َن َّز َل َعلَى رسـولِِه والْ ِكت‬


‫اب الَّ ِذ ْى اَْن َز َل ِم ْن‬ ِ َ‫اهلل ورسـولِِه والْ ِكت‬ ِ ِ ِ ِ َّ
َ َُْ ْ َ ْ ُ َ َ ‫يَآاَيُّ َهاالذيْ َن َآمُن ْوا آمُن ْوا ب‬
.ً‫ضالَالً بَعِْيدا‬ ِ ِ ِِ ِ ِِ ِ ِ
َ ‫َقْب ُـل َو َم ْن يَّكْـ ُف ْر بِاهلل َو َمالَئ َكته َو ُكـتُبِه َو ُر ُسله َوالَْي ْوم اْآلخ ِر فَـ َق ْد‬
َ ‫ض َّل‬
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya

dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah

turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-

Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya

orang itu telah sesat sejauh-jauhnya” (QS.al-Nisa, 4: 136).

Rukun iman yang kelima adalah Iman kepada Hari Qiyamat (Hari Akhir).

Dalam Alquran, hari kiyamat diungkapkan dengan banyak nama, disamping nama

al-Qiyamah sendiri, juga diungkapkan dengan istilah: al-Qari’ah, Yaum al-Din,

Yaum al-Thalaq, Yaum al-Hasrah, Yaum al-Thammah, Yaum al-Khuruj, al-Sa’ah,

al-Shakhah, dan al-Haqqah.

26
Salah satu dari nama hari kiyamat tersebut adalah al-Haqqah. Kata al-

Haqqah berasal dari akar kata al-Haqq dan al-Haqiqah, yang berarti kebenaran.

Al-Haqqah adalah sesuatu yang benar, ia pasti akan datang kepada semua umat

manusia. Hari kiyamat adalah sesuatu yang pasti, karena itu semua yang

terkandung di dalamnya adalah sesuatu yang benar, dan hari kiyamat itu sendiri

adalah hari yang benar-benar akan terjadi, hanya waktu kejadiannya dirahasiahkan

Allah, dan tidak ada seorangpun yang mengetahuinya.

Hari kiyamat berarti hari atau semua kehidupan di dunia ini berakhir. Pada

hari itu alam akan mengalami kehancuran total dan semua makhluk hidup akan

mati musnah. Meskipun Allah merahasiahkan waktu terjadinya (hari kiyamat),

namun gambaran tentang kondisi di saat hari kiyamat datang, baik kondisi alam

maupun kondisi sosial kemasyarakatan banyak dijelaskan dalam Alquran, seperti

firman-Nya:

ُ َ‫ َوتَ ُك ْو ُن اجْلِب‬، ‫ث‬ ِ ‫اش الْمب ُث و‬ ِ ِ ِ


‫ال‬ ْ ْ َ ِ ‫َّاس َك الْ َفَر‬ُ ‫ َي ْو َم يَ ُك ْو ُن الن‬، ُ‫ َو َمااَ ْد َر َاك َماالْ َقار َعة‬، ُ‫ َماالْ َقار َعة‬، ُ‫اَلْ َقار َعة‬
ٍ ٍ ِ ِ
ْ ‫ت َم َوا ِز ْينُهُ َف ُه َو ىِف ْ عْي َشة َّر ِضيَة َوأ ََّما َم ْن َخف‬
.ٌ‫َّت َم َوا ِز ْينُهُ فَاُُّمهُ َها ِويَة‬ ْ َ‫فَأ ََّما َم ْن َث ُقل‬.‫َكالْع ْه ِن الْ َمْن ُف ْو ِش‬
“Hari kiyamat, apakah hari kiyamat itu? tahukah kamu apakah hari kiyamat iu?

Pada saat itu, manusia seperti anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung

hancur seperti bulu yang dihambur-hamburkan. Adapun orang yang berat

timbangan kebaikannya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan,

27
adapun orang-orang yang ringan timbangan kebaikannya, maka tempat kmbalinya

adalah neraka Hawiyah” (QS. al-Qari’ah, 101: 1-5).

.‫ض ٍة حُيَْب ُر ْو َن‬ ِ ‫ فَأ ََّمالَّ ِذين آمُن وا وع ِملُ وا َّ حِل‬.‫الس اعةُ يومئِ ٍذ يََّت َفَّر ُق و َن‬
َ ‫الص ا َات َف ُه ْم ىِف َر ْو‬ ْ َ َ ْ َ َْ ْ َ ْ َ َ َّ ‫َو َي ْو َم َت ُق ْو ُم‬
ِ ‫ك ىِف الْع َذ‬ِ ِ ِ ِ ِ ِ
.‫ضُر ْو َن‬
َ ْ‫اب حُم‬ َ ْ َ ‫َوأ ََمالَّذيْ َن َك َفُر ْوا َو َك َّذبُ ْوا بِآيَاتنَا َول َقائ اْآلخَر ِة فَاُْولئ‬

“Pada saat hari kiyamat terjadi, manusia akan bercerai berai. Adapun orang-orang

yang beriman dan beramal saleh maka akan tinggal di suatu tempat dalam keadaan

bersuka ria. Akan tetapi orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami

dan tidak percaya kepada hari akhir, maka mereka mendapatkan siksaan” (QS.

Rum, 30: 14-16).

Setelah alam semesta seluruhnya hancur, kemudian Allah membangkitkan

kembali seluruh umat manusia untuk diadili dihadapan-Nya tentang semua amal

perbuatan yang telah dilakukannya. Pada saat itu tidak ada seorangpun yang dapat

sembunyi atau disembunyikan, semuanya mempertanggungjawabkan seluruh

perbuatannya masing-masing. Di sini seseorang tidak dapat menolong saudarah

atau teman kerabatnya, kecuali amal saleh yang telah diperbuatnya selama

hidupnya di dunia.

Hikmah dari iman kepada hari kiyamat ini, dapat melahirkan keyakinan

seseorang bahwa semua amal perbuatannya tidak ada yang sia-sia, semuanya akan

dihitung dan akan mendapatkan imbalan, sehingga dalam hidupnya ia senantiasa

berupaya agar memiliki makna yang baik yang akan ditemui hasilnya, baik di

dunia ataupun kelak di hari kiyamat. Sikap inilah yang akhirnya dapat membuat

28
seseorang merasa optimis dalam menatap masa depan yang akan ditempuhnya dan

mengisi hari-harinya dengan semangat bekerja dan amal saleh.

Rukun iman yang keenam adalah iman kepada Qadha dan Qadar. Qadha

dan qadar dalam pembicaraan sehari-hari disebut dengan taqdir. Term Qadha

dalam Alquran banyak diungkapkan dan memiliki banyak arti yang meliputi:

a. Hukum, dalam Alquran disebutkan:

‫مِم‬ ِ ِ ِ َ ِّ‫فَالَ ورب‬


‫ت‬ َ َ‫ك الَيُ ْؤمُن ْو َن َحىَّتَ حُيَ ِّك ُم ْو َك فْي َما َش َجَر َبْيَن ُه ْم مُثَّ الَجَيِ ُد ْوا ىِف ْ أَْن ُفس ِه ْم َحَر ًجا َّا ق‬
َ ‫ضْي‬ ََ
ِ
.‫َويُ َسلِّ ُم ْوا تَ ْسلْي ًما‬
“Demi Tuhanmu (Muhammad) bahwa mereka tidak dianggap beriman sehingga

mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,

kemudian mereka tidak merasa dalam dirinya sesuatu keberatan terhadap

sesuatu hukum (qadha) yang engkau berikan, dan mereka menerima

sepenuhnya” (QS. al-Nisa, 4: 65).

b. Perintah. Firman Allah:

.ُ‫ك أَالَّ َت ْعبُ ُد ْوا اِالَّ إِيَّاه‬


َ ُّ‫ض ْى َرب‬
َ َ‫َوق‬

“Dan Tuhanmu memerintahkan, janganlah kamu menyembah kecuali kepada-

Nya saja” (QS. al-Isra, 17:23).

c. Memberitahukan. Firman Allah:


ِ َ‫ضْينَا اِىَل بىِن اِ ْسرائِْيل ىِف الْ ِكت‬
ِ ‫اب لَُت ْف ِس ُد َّن ىِف ْ اْأل َْر‬
. ِ ‫ض َمَّر َتنْي‬ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ‫َوق‬

29
“Dan Kami telah memberitahukan kepada Bani Israil dalam al-kitab:

Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali” (QS.

al-Isra, 17: 4).

d. Menghendaki. Firman-Nya:

.‫اِ َذا قَ َض ْى اَْمًرا فَِإمَّنَا َي ُق ْو ُل لَهُ ُك ْن َفيَ ُك ْو ُن‬


“Apabila Allah menghendaki sesuatu urusan, maka Dia cukup mengatakan:”

Jadilah!”, lalu jadilah ia” (QS. Ali Imran, 3: 47).

e. Menjadikan. Firman-Nya:

ٍ ‫َف َقضاه َّن سبع مَس و‬


. ِ ‫ات ىِف ْ َي ْو َمنْي‬ َ َ َْ ُ َ
“Dan Allah menjadikan tujuh lapis langit dalam dua periode” (QS. Fushshilat,

41: 12).

Kemudian term Qadar dalam Alquran dapat dipahami sebagai suatu aturan

atau ketentuan umum yang telah diciptkan Allah untuk menjadi dasar alam yang

mencakup hubungan sebab dan akibat (hubungan kausalitas) dan dinaturalisasikan

sebagai hukum alam (Sunnatullah). Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah di

muka bumi ini terikat oleh hukum-hukum tersebut. Firman-Nya:

.‫إِ َّن ُك َّل َش ْي ٍء َخلَ ْقنَاهُ بَِق َد ٍر‬


“Sesungguhnya Kami telah menjadikan segala sesuatu menurut qadar

(ukurannya)” (QS. al-Qamar, 54: 49). Dalam ayat lain:

ِ ‫و َكا َن أَمر‬
.‫اهلل قَ َد ًر َّام ْق ُد ْو ًرا‬ ُْ َ

30
“Adalah segala urusan Allah itu menurut aturan yang telah ditentukan” (QS. al-

Ahzab, 33: 38). Dalam ayat lain:

.‫َّرهُ َت ْق ِد ْيًرا‬ ٍ
َ ‫َو َخلَ َق ُك َّل َش ْيء َف َقد‬
“Allah telah menciptakan segala sesuatu, lalu Dia tentukan aturannya” (QS. al-

Furqan, 25: 2).

Ayat-ayat di atas hubungannya dengan iman kepada takdir memberikan

arti kepada setiap muslim untuk mempercayai dan meyakini bahwa segala sesuatu

yang terjadi di alam ini dan yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah menurut

hukum atau berdasarkan suatu undang-undang universil yang telah ditetapkan.

Iman kepada qadha dan qadar ini dalam implementasinya harus didasari

dengan pemahaman yang integral antara iman dan ilmu, sebab kalau tidak, akan

dapat mengakibatkan seseorang tergelincir kepada aqidah dan cara hidup yang

buruk dan fatal. Kekeliruan umum terhadap iman kepada qadha dan qadar ini

adalah: “Segala nasib baik dan buruk, muslim dan kafir, jahat dan saleh telah

ditetapkan secara pasti oleh Allah. Manusia ibarat robot, segala kenyataan dalam

hidupnya haruslah diterima apa adanya”.

Iman kepada qadha dan qadar bukan berarti harus bersikap fatalis, yaitu

sikap menyerah sebelum berbuat dengan menghilangkan usaha terlebih dahulu,

melainkan rela menerima apa yang telah diusahakan, atau kerelaan hati dalam

menerima realitas hidup. Artinya usaha tetap dilakukan dengan sungguh-sungguh

dan merasa puas serta lega menerima hasilnya walaupun bagaimana bentuk dan

31
nilainya, sebab segala sesuatu yang telah diusahakannya tidak terlepas dari aturan

dan ketentuan yang telah ditetapkan. Hal ini ada relevansinya dengan sikap

konsisten dalam menerima dan melakukan setiap ketentuan, sehingga memotivasi

seseorang untuk menumbuhkan sikap kerelaan hati atau kesiapan mental dalam

menghadapi berbagai macam problema. Di samping itu akan dapat mewujudkan

kemantapan jiwa dan kebulatan tekad seseorang dalam memegang keyakinan serta

melaksanakannya, apapun resiko yang dihadapi, ia tetap pada pendirian dan rela

menerima segala kenyataan yang telah diusahakannya.

Penjelasan tentang pokok bahasan aqidah Islam di atas menggambarkan

bahwa aqidah Islam pada dasarnya bersumber kepada Alquran dan hadits

kemudian dikembangkan dengan dalil-dalil akal dan disuburkan dengan pola

pikiran filsafat dan unsur-unsur lainnya.

Sentuhan filsafat dan paham-paham lainnya dari luar Islam membawa

sumbangan dan sambutan positif bagi pemahaman dan perkembangan aqidah

Islam, meskipun tidak sedikit pula membawa pengaruh negatif yang menimbulkan

perpecahan dalam tubuh umat Islam sendiri. Pengaruh positif tersebut terutama

yang ada hubungannya dengan masalah ketuhanan di antaranya dapat mendorong

umat Islam untuk mempelajari filsafat, sehingga mereka dapat meningkatkan

kualitas pemahamannya terhadap Islam, dan dapat memperkaya argumentasi yang

menyatakan bahwa Islam adalah agama yang benar dan terbaik serta rasional. Dari

sentuhan itulah aqidah Islam memiliki karakter-karakter tersendiri yang berbeda

dengan karakter-karakter aqidah agama lainnya. Karakteristik aqidah Islam

32
tersebut, seperti yang dijelaskan oleh pemikir Islam kontemporer; Yusuf al-

Qardhawi adalah:

a. Jelas dan Sederhana. Akidah Islam merupakan akidah yang jelas dan

sederhana, tidak ada kerumitan dan kesamaran di dalamnya. Seluruh ajarannya

terangkum dalam keyakinan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan

Muhammad adalah utusan-Nya yang terakhir. Keyakinan ini menggambarkan

bahwa di balik alam semesta ini ada Dzat Tunggal yang telah menciptakan dan

memilikinya serta mengaturnya dan menentukan ukuran segala sesuatunya:

.‫ض ُك ُّل لَهُ قَانُِت ْو َن‬ ِ ‫السمو‬


ِ ‫ات َواْأل َْر‬ ‫َّ ىِف‬
َ َّ ْ ‫ُسْب َحانَهُ بَ ْل لهُ َما‬
“Maha Suci Allah, seluruh apa yang ada di langit dan di bumi adalah

kepunyaan-Nya, dan semua tunduk kepada-Nya” (QS. al-Baqarah, 2:116).

.‫إِ َّن ُك َّل َش ْي ٍء َخلَ ْقـنَاهُ بَِق َـد ٍر‬


“Sesungguhnya Kami telah menjadikan segala sesuatu menurut qadar

(ukurannya)” (QS. al-Qamar, 54:49). Keyakinan di atas sangat tegas dan jelas,

dan akal akan senantiasa menerimanya. Akal selalu menuntut adanya

“harmonika” dan “keesaan” di balik keberagaman dan kebinekaan isi alam

semesta ini, dan akal memahaminya bahwa semuanya kembali kepada sebab

awal yang tunggal.

b. Sesuai dengan Fitrah Manusia. Kata fithrah secara umum berarti “ciptaan, suci

dan seimbang”. Dalam kontek ini fitrah berarti watak hakiki dan asli yang

dimiliki oleh setaip insan atau sifat alami manusia. Dengan demikian, aqidah

33
Islam yang sesuai dengan fitrah manusia memberikan keterangan yang pasti

tentang kepercayaan asli dan hakiki yang ada dalam diri manusia. Artinya,

kondisi awal ciptaan manusia memiliki potensi untuk selalu mengetahui dan

cenderung kepada kebenaran, yang dalam Alquran disebut dengan hanif.

Penjelasan Alquran tentang fitrah dalam arti hanif ini adalah:

ِ ِ ‫اهلل الَّىِت فَطَر النَّاس علَيها الََتب ِديل خِل ْل ِق‬ ِ ِ ‫فَاَقِم وجه‬
‫ك الدِّيْ ُن الْ َقيِّ ُم‬
َ ‫اهلل ذل‬ َ َ ْ ْ َ ْ َ َ َ ْ ِ ‫ك للدِّيْ ِن َحنِْي ًفا فطَْر َة‬ َ َْ َ ْ
ِ ‫و‬
ِ ‫لك َّن أَ ْكَثَر الن‬
.‫َّاس الََي ْعلَ ُم ْو َن‬ َ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, dan tetaplah

atas fitrah-Nya yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrahnya. Tidak

ada perubahan pada fitrah Allah, dan itulah agama yang lurus, tetapi

kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Rum, 30:30).

c. Kokoh dan Solid. Aqidah Islam merupakan aqidah yang solid dan baku, tidak

menerima atau mengalami perubahan atau distorsi, baik tambahan ataupun

pengurangan. Oleh sebab itu aqidah Islam menolak setiap bid’ah, khurafat dan

takhayyul, seperti yang ditgaskan dalam Alquran dan hadits:

.‫س ِمنَّا َف ُه َو َم ْر ُد ْو ٌد‬ ِ


َ ‫َم ْن َعم َل َع َمالً لَْي‬
“Barangsiapa melakukan suatu perbuatan (dalam urusan agama) yang bukan

berasal dariku, maka ia adalah ditolak” (HR. Bukhari-Muslim).

.ُ‫اَْم هَلُ ْم ُشَر َكاءُ َشَرعُ ْوا هَلُ ْم ِّم َن الدِّيْ ِن َماهَلُ ْم يَأْذَ ْن بِِه اهلل‬

34
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang

mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah” (QS. al-Syura,

42:21).

d. Argumentatif. Aqidah Islam merupakan aqidah yang argumentatif; tidak cukup

dalam menetapkan persoalan-persoalannya dengan mengandalkan doktrin

lugas dan intruksi keras. Demikian pula tidak cukup hanya sekedar berdialog

dengan hati dan perasaan serta mengandalkannya untuk menjadi dasar

pedoman. Akan tetapi harus dapat mengikuti dan menguasai segala

persoalannya dengan disertai alasan yang kuat dan argumentasi yang akurat.

Artinya aqidah Islam tidak mengharuskan umatnya untuk mempercayai-Nya

secara buta:

. َ ‫ص ِادقِنْي‬ ِ
َ ‫قُ ْل َها ُت ْوا بُْر َهانَ ُك ْم ا ْن ُكْنتُ ْم‬
“Katakanlah: Tunjukanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang

yang benar” (QS. al-Baqarah, 2:111 dan al-Naml, 27:64). Dengan demikian,

Alquran dalam menjelaskan setiap persoalan senantiasa diiringi dengan bukti-

bukti atau keterangan-keterangan yang argumentatif. Seperti dalam masalah

ketuhanan, Alquran menunjukan dalil-dalil atau bukti kebenarannya dari alam,

diri manusia dan sejarah untuk membuktikan eksistensi (wujud) Allah, keesaan

dan kesempurnaan-Nya.

e. Moderat. Aqidah Islam merupakan aqidah yang bersifat moderat atau

pertengahan. Ia menjadi penengah antara orang-orang yang menegasikan

35
terhadap hal-hal yang bersifat metafisik dan orang-orang yang

mempercayainya. Bersamaan dengan itu, bahwa nabi Muhammad SAW diutus

sebagai rahmat bagi sekalian alam, juga sebagai penengah dan saksi terhadap

perbuatan-perbuatan manusia. Firman-Nya:

. َ ‫اك اِالَّ َرمْح َةً لِّْل َـعالَ ِمـنْي‬


َ َ‫َوماأ َْر َس ْلـن‬
“Tiada Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi

seluruh alam” (QS. al-Anbiya, 21:107). Dalam ayat lain:

.‫الر ُس ْـو ُل َعلَْي ُك ْم َشـ ِهْي ًدا‬ ِ َّ‫ك َج َع ْلـنَا ُك ْم اَُّمةً َّو َسـطًا لِّتَ ُك ْونُ ْـوا ُش َه َداءَ َعلَى الن‬
َّ ‫ـاس َويَ ُك ْو َن‬ ِ
ْ َ ‫َو َكذل‬
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat

penengah (adil), agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar

Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatanmu” (QS. al-Baqarah, 2: 143).

Aqidah sebagai ketentuan-ketentuan dasar mengenai keimanan

seseorang adalah merupakan landasan bagi ketentuan ajaran Islam lainnya

yang merupakan pedoman bagi seseorang untuk berinteraksi antar sesamanya.

Oleh karena itu aqidah tidak hanya berfungsi sebagai landasan secara pasif,

melainkan ia berfungsi sebagai ukuran atau patokan untuk mengukur perilaku

seseorang dalam berperilakunya.

Hubungannya dengan perilaku manusia tersebut, aqidah memberikan

dorongan utama untuk berbuat baik dan maslahat, baik bagi manusia sendiri

ataupun bagi makhluk lainnya. Dorongan aqidah ini akan sanggup

meniadakan segala pamrih yang bersifat duniawi dan balas jasa dari kebaikan

36
yang ditanamkan di tangan orang lain. Seseorang berbuat baik semata-mata

muncul dari kayakinannya bahwa Allah menyuruhnya untuk berbuat baik,

sehingga apapun yang diperolehnya akibat dari perbuatan baiknya itu akan

diterima dengan penuh kesadaran dan lapang dada. Dari perilaku ini lahirlah

sikap ukhlas yang merupakan ruh dari segala perbuatan.

Begitu juga hubungannya dengan Allah, aqidah memberikan

kejelasan tentang yang disembahnya sebagai Dzat Yang Maha Kuasa yang di

tangan-Nya nasib seluruh makluk ditentukan. Aqidah yang tertanam di dalam

jiwa seseorang ini akan senantiasa menghadirkan dirinya dalam pengawasan

Allah semata. Karena itu seluruh perilaku yang tidak dikehendaki Allah akan

senantiasa dihindarinya. Sabda Rasul:

.‫َّك َتَراهُ َواِ ْن مَّلْ تَ ُك ْن َتَراهُ فَِإنَّهُ َيَر َاك‬


َ ‫اَ ْن َت ْعبُ َد اهللَ َكأَن‬
“Hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, tapi

jika engkau tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu” (HR.

Muslim).

Pada hakikatnya, iman atau aqidah adalah keseluruhan tingkah laku,

sehingga setiap perilaku yang tidak disertai dengan dan tidak dikaitkan kepada

keimanan dinyatakan hampa, kosong, tidak berbobot dan tidak mengandung

arti apa-apa. Sabda Rasul: “Setiap perbuatan yang tidak dimotivasi oleh

ibadah karena Allah adalah hampa”. Hadits ini menggambarkan bahwa

aqidah atau keimanan sungguh sangat aflikatif. Artinya harus diaktualisasikan

37
dalam segala bentuk macam aktivitas, sehingga tidak ada satu macam

perbuatanpun yang lepas dari aqidah.

Lebih jauh Sayyid Sabiq memandang aqidah sebagai ruh bagi setiap

orang. Tanpa ruh seseorang tidak akan bisa hidup, begitu juga tanpa aqidah.

Sebab ruh adalah aqidah dan aqidah adalah ruh. Aqidah sebagai ruh, sehingga

hidup bernaung dan berpegang teguh kepadanya akan memperoleh gairah,

semangat dan kebahagiaan, sementara hidup yang terlepas dari padanya akan

terapung melayang tanpa arah tujuan yang pasti.

Karenanya aqidah memiliki peran dan implikasi terahadap sikap dan

perulaku seseorang. Implikasi tersebut antara lain dapat dilihat dalam sikap

penyerahan diri secara total kepada Allah dengan meniadakan kekuatan dan

kekuasaan yang mendominasi dirinya selain Allah. Keyakinan ini dapat

menumbuhkan jiwa bebas dan meredak di tengah-tengah pergaulan hidupnya.

Bebas dari perbuadakan dan penjajahan dalam segala dimensi

kemanusiaannya.

Di samping itu aqidah dapat menjadikan orang memiliki keberanian

untuk berbuat, karena tidak ada baginya yang harus ditakuti kecuali

melanggar perintah Allah . keberanian ini menjadikan seseorang untuk

berbicara tentang kebenaran secara tegas, jelas, dan konsekuan berdasarkan

aturan-aturan yang diberikan Allah. Karena baginya kebenaran Allah adalah

satu-satunya kebenaran yang mutlak.

38
Kemudian aqidah dapat pula membentuk rasa optimis dalam menjalani

kehidupan, karena aqidah yang lurus kepada Allah menjamin segala

perilakunya akan menghasilkan yang terbaik. Karena itu dia tidak akan

mengalami gelisah dan putus asa, tapi sebaliknya ia akan tetap semangat, ceria

dan gembira serta optimis dalam menjalani berbagai bentuk kehidupan.

Dengan demikian aqidah dapat berperan sebagai landasan bagi

seseorang dalam menyikapi hidup dan kehidupan di dunia dengan

memandang secara luas ke depan yakni hidup di dunia dan di akhirat kelak.

Akhirnya secara umum, aqidah dapat mewujudkan sikap jiwa yang tenang,

aman, tentram dan damai yang merupakan dambaan setiap orang.

2. Syariah

Ruang lingkup ajaran Islam yang kedua adalah syari’at. Namun

sebelum membahas tentang syari’ah, maka perlu di sini membahas terlebih

dahulu tentang hal-hal yang terkait dengan masalah ibadah. Masalah ini perlu

dibahas terlebih dahulu, karena pembahasan tentang syari’ah Islam, nantinya

akan bersentuhan dengan ibadah. Karena itu, di sini akan dibahas terlebih

dahulu, apa itu ibadah. Namun penegrtian ibadah pada bab ini, akan dibahas

secara singkat dan universal atau ibadah dalam arti luas, bukan ibadah dalam

arti khusus yang merupakan bagian dari pada syari’ah.

Kata ‘ibadah adalah bahasa Arab, artinya: Pengabdian, penyembahan,

ketaatan, merendahkan diri atau doa. Secara istilah ‘ibadah berarti perbuatan yang

39
dilakukan oleh seseorang sebagai usaha menghubungkan dan mendekatkan dirinya

kepada Allah sebagai Tuhan yang disembah. Orang yang melakukan ‘ibadah

disebut ‘abid (subjek) dan yang disembah disebut ma’bud (objek). Semua orang di

hadapan Allah sebagai ‘abid, karena manusia tersebut harus mengabdikan diri

kepada Allah Swt. Firman-Nya:

. ‫س اِالَّ لَِي ْعبُ ُد ْو َن‬ ِ ِ ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬


َ ْ‫ت اجْل َّن َواْإلن‬
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali hanya untuk beribadah kepada-

Ku” (QS. al-Dzariyat, 51: 56). Ulama fikih mendefinisikan ibadah sebagai

ketaatan yang disertai dengan ketundukan dan kerendahan diri kepada Allah.

Redaksi lain menyebutkan bahwa ibadah adalah semua yang dilakukan atau yang

dipersembahkan untuk mencapai keridoan Allah Swt. dan mengharapkan imbalan

pahalanya di akhirat kelak.

Ibnu Taimiyah dan Yusuf al-Qardawi mendefinisikan ibadah adalah

ketaatan dan ketundukan yang sempurna dengan rasa cinta terhadap yang

disembah. Kemudian Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa ibadah berawal dari suatu

hubungan dan keterkaitan yang erat antara hati ‘abid dengan Yang Disembah

(ma’bud), kemudian hubungan dan keterkaitan itu meningkat menjadi kerinduan

karena tercurahnya perasaan hati kepada-Nya, kemudian rasa rindu itu meningkat

menjadi rasa kecintaan yang kemudian meningkat pula menjadi keasyikan, dan

akhirnya menjadi cinta yang amat mendalam, sehingga membuat orang yang

mencintai bersedia melakukan apa saja demi Yang Dicintainya.

40
Lebih lanjut Ibn Taimiyah mengatakan bahwa ibadah mencakup semua

aktivitas yang dilakukan manusia yang disenangi Allah dan meridoinya, baik yang

berupa perkataan, maupun perbuatan, baik yang bersifat lahiriyah, maupun yang

bersifat batiniyah. Oleh karena itu, di samping salat, puasa, zakat dan haji, juga

berbakti kepada kedua orang tua, berkata baik dan jujur, menghubungkan

silaturrahmi, berbuat baik kepada tetangga, bahkan berbuat baik kepada binatang,

makan, minum dan lain sebagainya adalah bagian dari ibadah.

Para ulama Ushul al-Fiqh membagi ajaran Islam kepada: (1) Ajaran yang

dapat diketahu maksud dan tujuan pensyariatannya, (2) Ajaran yang tidak dapat

diketahui sama sekali maksud dan tujuan pensyariatannya, (3) Ajaran yang

sebagian dari maksud dan tujuan pensyariatannya dapat diketahui dan sebagian

lainnya tidak dapat diketahui. Dalam kaitannya dengan pembagian ajaran Islam

tersebut, maka ulama fikih membagi ibadah kepada tiga macam:

a. Ibadah Mahdlah, adalah ibadah yang mengandung hubungan dengan Allah

semata-mata (vertrikal atau Hablum Minallah). Ciri-ciri ibadah ini adalah

semua ketentuan dan aturan pelaksanaannya telah ditetapkan secara rinci

melalui penjelasan-penjelasan Alquran atau sunah. Contoh, salat harus

mengiktui petunjuk Rasul dan tidak diizinkan untuk menambah atau

menguranginya, begitu juga haji dan yang lainnya. Ibadah mahdlah ini

dilakukan semata-mata bertujuan untuk mendekatkan (taqarrub) kepada Allah.

Ibadah ini kemudian disebut ibadah dalam arti khusus yang merupakan bagian

dari syari’ah.

41
b. Ibadah Ghairu Mahdlah, yaitu ibadah yang tidak hanya sekedar menyangkut

hubungan dengan Allah, tetapi juga menyangkut hubungan sesama makhluk

(Hablum Minallah Wa Hablum Min al-Nas), atau di samping hubungan

vertikal, juga ada unsur hubungan horizontal. Hubungan sesama makhluk ini

tidak hanya terbatas pada hubungan antar manusia, tetapi juga hubungan

manusia dengan lingkungannya (binatng dan tumbuh-tumbuhan), seperti

dinyatakan dalam Alquran: “Janganlah kamu sekalian berbuat kerusakan di

muka bumi sesudah Allah memperbaikinya” (QS. al-A’raf, 7: 56). Ibadah

kemudian disebut dengan mu’amalah, juga merupakan bagian dari syrai’ah.

c. Ibadah Dzil-Wajhain, yaitu ibadah yang memiliki dua sifat sekaligus, yaitu

ibadah mahdlah dan ghairu mahdlah. Maksudnya adalah sebagian dari maksud

dan tujuan pensyariatannya dapat diketahui dan sebagian lainnya tidak dapat

diketahui, seperti nikah dan adanya ‘iddah dalam talak nikah.

Dilihat dari segi fasilitas yang dibutuhkan untuk mewujudkannya ibadah

dapat dibagi menjadi tiga macam:

a. Ibadah badaniyah ruhiyah, yaitu suatu ibadah yang untuk mewujudkannya

hanya dibutuhkan kegiatan jasmani dan rohani saja, seperti salat dan puasa.

b. Ibadah maliyah, yakni suatu ibadah yang untuk mewujudkannya dibutuhkan

kegiatan pengeluaran harta benda, seperti zakat.

42
c. Ibadah badaniyah ruhiyah maliyah, yakni suatu ibadah yang untuk

mewujudkannya dibutuhkan kegiatan jasmani, rohani dan pengeluaran harta

kekayaan, seperti haji.

Dari segi sasaran dan manfaatnya ibadah dapat dibagi menjadi dua macam,

yaitu:

a. Ibadah perorangan (fardiyah), yaitu ibadah yang hanya menyangkut diri

pelakunya sendiri, tidak ada hubungannya dengan orang lain, seperti salat,

b. Ibadah kemasyarakatan (ijtima’iyah), yaitu ibadah yang memiliki keterkaitan

dengan orang lain, terutama dari segi sasarannya, seperti sedekah dan zakat.

Dalam pengertian ibadah secara umum, seluruh kegiatan seorang

muslim atau seluruh gerak-gerik perbuatannya, dapat disebut dan dinilai

sebagai ibadah kepada Allah, sepanjang perbuatannya tersebut memenuhi

syarat-syaratnya. Terkait dengan hal ini, Yusuf al-Qardawi merumuskan

suatu ungkapan:

.ٌ‫ك ِعبَ َادة‬ َ َ‫ص ِّح ْح ِو ْج َهت‬


َ َ‫ك تَ ُك ْن ُك َّل َحيَات‬ َ
“Betulkanlah niat dan motivasimu, niscaya seluruh hidupmu akan menjadi ibadah

bagimu”. Lebih lanjut Yusuf al-Qardawi mengatakan bahwa ada lima syarat agar

perbuatan seseorang bernilai ibadah di sisi Allah:

a. Perbuatan yang dimaksud tidak bertentangan dengan syariat Islam. Oleh karena

itu berjudi, sekalipun berdasarkan niat untuk mendapatkan uang untuk biaya

43
menunaikan ibadah haji, tidak dapat dianggap sebagai ibadah, sebab berjudi

merupakan perbuatan yang bertentangan dengan syariat Islam.

b. Perbuatan tersebut dilandasi dengan niat yang suci dan ikhlash. Dengan

demikian, aktivitas makan dan minum dalam keseharian jika tidak didasari

dengan niat untuk mendekatkan diri dan mencari rido Allah tidak dapat dinilai

sebagai ibadah, melainkan hanya bernilai kebiasaan atau rutinitas (al-‘adah).

Hal ini sesuai dengan hadits Rasul:

‫ات َواِمَّنَالِ ُك ِّل ْام ِر ٍء َما َن َوى‬


ِ ‫ال بِالنِّي‬
َ ُ ‫َع َم‬
ِ
ْ ‫امَّنَا اْأل‬
“Sesungguhnya semua perbuatan akan dinilai berdasarkan niatnya, dan

perbuatan seseorang akan memperoleh hasilnya sesuai dengan yang

diniatkannya” (HR. Bukhari dan Muslim).

c. Untuk melakukan perbuatan tersebut yang bersangkutan harus memiliki

ketangguhan hati dan percaya diri bahwa perbuatan yang dilakukan akan

membawa kepada kebaikan.

d. Perbuatan yang dilakukan tidak boleh menghalangi perbuatan-perbuatan wajib

dalam agama. Misalnya, jual beli jangan sampai membuat pelakunya lalai akan

mengerjakan salat.

Pengertian dan syarat-syarat ibadah tersebut, merupakan pengertian ibadah

secara umum. Adapun ibadah yang berupa syi’ar, seperti salat, puasa dan haji

merupakan titik pangkal bagi ibadah dalam arti luas tadi.

44
Mustafa Ahmad al-Zarqa, seorah ahli ilmu fikih kontemporer

menyebutkan beberapa sifat yang menjadi ciri-ciri ibadah yang benar:

a. bebas dari perantara. Untuk melakukan ibadah kepada Allah, seorang muslim

tidak memerlukan perantara, akan tetapi harus langsung kepada Allah. Para

alim ulama atau para tokoh agama hanya berfungsi dan berperan sebagai

pengajar dan pembimbing bagi muslim lainnya. Hal ini sesuai dengan firman-

Nya:

ِ ‫ك ِعب ِادى عىِّن فَِإىِّن قَ ِريب أ ُِجيب د ْعوةَ الد‬


ِ ‫َّعى إِذَا دع‬
… ‫ان‬ ََ َ َ ُْ ٌْ َ َ َ َ‫اذَا َسأَل‬
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka

(jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat, Aku mengabulkan permohonan

orang yang berdoa kepada-Ku…. (QS. al-Baqarah, 2: 186).

b. Tidak terikat kepada tempat-tempat khusus. Secara umum Islam tidak

mengharuskan penganutnya untuk melakukan ibadah pada tempat-tempat

tertentu, kecuali ibadah haji. Islam memandang setiap tempat cukup suci

sebagai tempat ibadah. Rasulullah bersabda: “seluruh tempat bumi adalah

tempat bersujud, bersih dan suci” (HR. Bukhari dan Muslim). Firman Allah:

. ‫ اِ َّن اهللَ َو ِاس ٌع َعلِْي ٌم‬،‫اهلل‬


ِ ‫هلل الْم ْش ِر ُك والْم ْغ ِرب فَأَينَما ُتولُّوا َفثَ َّم وجه‬
ُْ َ َْ َْ ُ َ َ َ ‫َو‬
ِ

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap

di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi

Maha Mengetahui” (QS. al-Baqarah, 2: 115).

45
c. Tidak memberatkan (‘adam al-kharaj) dan tidak menyulitkan (izalah al-‘anat),

sebab Allah senantiasa menghendaki kemudahan dan tidak mengehndaki

kesulitan. Rasul bersabda: “Kamu seharusnya melakukan pekerjaan yang kamu

sendiri mampu melakukannya, sesungguhnya Allah tidak menyenangi suatu

perbuatan hingga kamu sendiri menyenanginya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Firman Allah:

. ‫يُِريْ ُد اهللُ بِ ُك ُم الْيُ ْسَر َوالَيُِريْ ُد بِ ُك ُم الْعُ ْسَر‬


“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran

bagimu” (QS. al-Baqara, 2: 185). Dalam ayat lain disebutkan:

ِ
.‫ت‬
ْ َ‫ت َو َعلَْي َها َما ْكتَ َسب‬ ُ ِّ‫الَيُ َكل‬
ْ َ‫ف اهللُ َن ْف ًسا االَّ ُو ْس َع َها هَلَ َاما َك َسب‬
“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya. Ia

mendapatkan pahala dari kebajikan yang diusahakannya, dan ia mendapatkan

siksa dari kejahatan yang dikerjakannya” (QS. al-Baqarah, 2: 286).

46
Alquran menggambarkan bahwa dari ibadah yang dilakukan akan

menimbulkan kemaslahatan atau hikmah yang terkandung di dalam ibadah

tersebut. Seperta hikmah puasa adalah agar mencapai derajat takwa bagi

pelakunya (QS. al-Baqarah, 2: 21 dan 183). Begitu juga hikmah ibadah-

ibadah lainnya, secara umum untuk mencapai derajat takwa agar

memperoleh rido Allah Swt.

Pengertian ibadah, seperti yang telah dijelaskan di atas, sekaligus

menunjukan bahwa hakikat ibadah adalah ketundukan, kepatuhan dan

kecintaan yang sempurna. Dalam konteks ini maka hikmah ibadah paling

tidak akan dapat melahirkan:

d. Kesadaran bahwa dirinya adalah makhluk diciptakan Allah dan harus

mengabdi dan menyembah hanya kepada-Nya (QS. al-Dzariyat, 51: 56),

sehingga ibadah merupakan tujuan akhir hidupnya.

e. Kesadaran bahwa sesudah kehidupan dunia ini akan ada kehidupan akhirat

sebagai masa untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan perintah Allah

selama menjalani kehidupan di dunia (QS. al-Zalzalah, 99: 7-8).

f. Kesadaran bahwa dirinya diciptakan Allah bukan sekedar pelengkap alam

semesta, melainkan justru menjadi sentral alam dan segala isinya (QS. al-

Baqarah, 2: 29).

47
Di samping hikmah-hikmah tersebut, pada dasarnya seluruh apa

yang dilakukan oleh seorang muslim merupakan bentuk ibadah, sehingga

memiliki nilai atau hikmah ganda secara umum, yaitu hikmah yang berupa

material dan spiritual. Hikmah berupa material, nyata diterima di dunia,

sedangkan hikmah spritiual, abstrak yang akan diterima di akhirat kelak.

Maka pantaslah kedudukan ibadah dalam Islam menempati posisi yang

paling utama dan menjadi titik sentral dari seluruh aktivitas seorang

muslim.

Itulah pembahasan sekilas tentang ibadah yang menjadi bagian dari

pembahasan bab ini dan sekaligus sebagai pengantar dalam membahas tentang

syari’ah Islam yang menjadi bagian kedua dari pembahasan tentang ruang lingkup

ajaran Islam setelah aqidah. Dalam pembahasannya, akan diawali dari pengertian

syari’ah, baik secara bahasa ataupun secara istilah.

Kata syari’ah adalah bahasa Arab, dalam bahasa Indonesia artinya jalan

raya atau jalan ke sumber (mata) air, atau bermakna jalannya suatu hukum atau

perundang-undangan. Kemudian kata ini diimbuhi oleh kata Islam menjadi

Syari’ah Islam, yang secara harfiyah berarti jalan yang harus dilalui dan dipatuhi

oleh setiap muslim. Kata syari’ah terdapat pula dalam Alquran, di antaranya:

.‫مُثَّ َج َع ْلنَا َعلَ ْى َش ِر ْي َع ٍة ِّم َن اْأل َْم ِر فَاتَّبِ ْع َها َوالََتتَّبِ ْع أ َْه َواءَ الَّ ِذيْ َن الََي ْعلَ ُم ْو َن‬

48
“Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) menjalani syari’ah (hukum)

dalam setiap urusan, maka turutilah ketentuan itu, dan janganlah engkau turuti

keinginan orang-orang yang tidak mengetahui (bodoh)” (QS. al-Jatsiyah, 45:18).

Seluruh hukum dan perundang-undangan yang terdapat dalam Islam, baik

hukum yang berhubungan dengan Allah (Hablum Minallah), maupun hukum yang

berhubungan antara manusia sendiri (Hablum Minannas) disebut dengan syari’ah

Islam (al- Syari’ah al-Islamiyah). Berdasarkan doktrin Islam, syari’ah tersebut

seluruhnya berasal dari Allah. Oleh karena itu, sumber segala hukum yang

terdapat dalam Islam adalah Allah sendiri kemudian disampaikan kepada umat

manusia dengan perantaraan Rasul-Nya (Muhammad SAW.) yang termaktub

dalam Kitab Suci Alquran.

Hukum-hukum yang terdapat dalam Alquran sifatnya masih mendasar,

kemudian dijelaskan dan dirinci lebih lanjut oleh nabi Muhammad SAW sebagai

Rasul-Nya. Dengan demikian sumber syari’ah Islam adalah Alquran dan al-

Hadits. Karena norma-norma hukum dasar yang terdapat dalam Alquran itu masih

ada yang bersifat umum, perlu dirumuskan lagi setelah nabi Muhammad wafat.

Norma-norma tersebut dirumuskan kembali ke dalam kaidah-kaidah yang lebih

konkrit dengan menggunakan cara-cara atau metode tertentu. Ilmu inilah yang

kemudian disebut dengan Ilmu Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari syari’ah Islam.

Kata Fikih adalah bahasa Arab, dalam bahasa Indonesia berarti paham atau

pengertian. Dalam kontek syari’ah Ilmu Fikih berarti ilmu yang berusaha

memahami hukum-hukum dasar yang terdapat di dalam Alquran dan al-Hadits.

49
Pemahaman itu kemudian dituangkan ke dalam kitab-kitab Fikih dan disebut

dengan hukum Fikih.

Secara mendasar terdapat perbedaan antara fikih dan syari’at. Perbedaan

tersebut antara lain:

a. Syari’at adalah hukum-hukum yang terdapat dalam Alquran dan al-Hadits,

sedangkan Fikih adalah hukum-hukum yang berupa hasil pemahaman para

ulama atau mujtahid dari Alquran al-Hadits.

b. Karena itu, syari’at adalah ketetapan Allah yang bersifat objektif dan abadi,

sedangkan Fikih adalah karya manusia yang dapat berubah atau diubah dari

masa ke masa sesuai dengan tuntutannya.

c. Syari’at bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas

dari pada Fiqih. Sedangkan Fikih bersifat instrumental dan ruang lingkupnya

terbatas pada apa yang biasanya disebut perbuatan hukum.

d. Syari’at menunjukan kesatuan dalam Islam, sedangkan Fikih menunjukan

keragaman, seperti terlihat dalam aliran-aliran hukum Islam yang disebut

dengan madzahib atau madzhab-madzhab (aliran-aliran dalam Fikih), seperti

Mdzhab Hanafi, Madzhab Hambali, Madzhab Syafi’I, dan Madzhab Maliki

(penjelasan lebih lanjut akan dibahas pada bagian terakhir dari bab ini).

Sekalipun terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara syari’at dengan

fiqih, namun dalam penerapannya, keduanya memiliki karakteristik atau ciri-ciri

khas yang sama. ciri-ciri khas ini merupakan ketentuan-ketentuan yang tidak bisa

berubah, dan sekaligus menjadi pembeda antara ajaran Islam dengan ajaran atau

50
hukum-hukum lainnya yang ada terutama yang berkembang di abad sekarang ini.

Ciri-ciri khas tersebut antara lain:

a. Komprehensip. Syari’at Islam membentuk umat dalam suatu kesatuan yang

bulat walaupun umat Islam itu berbeda-beda bangsa dan berlainan suku. Di

dalam menghadapi asas-asas yang umum, umat Islam bersatu padu, meskipun

dalam segi-segi kebudayaan berbeda-beda.

b. Wasathiyah (Moderat). Syari’at Islam memenuhi jalan tengah, jalan yang

imbang tidak terlalu berat ke kanan mementingkan kejiwaan (ruhani) dan tidak

berat pula ke kiri mementingkan kebendaan (jasmani). Inilah yang diistilahkan

dengan teori wasathiyah, menyelaraskan di antara kenyataan dan fakta dengan

ideal dan cita-cita. Hal ini tergambar di banyak tempat dalam Alquran, di

antaranya:

‫الر ُس ْو ُل َعلَْي ُك ْم َش ِهْي ًدا‬ ِ ‫ك َج َع ْلنَا ُك ْم أ َُّمةً َّو َسطًا لِّتَ ُك ْونُ ْوا ُش َه َداءَ َعلَى الن‬
َّ ‫َّاس َويَ ُك ْونُ ْو‬ ِ
َ ‫َو َكذل‬
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu umat islam (ummatan

washathan); uamt yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas

perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan

kamu” (QS. al-baqarah, 2:143).

c. Harakah (Dinamis). Dari segi harakah, Syari’at Islam mempunyai kemampuan

bergerak dan berkembang, mempunyai daya hidup, dapat membentuk diri

sesuai dengan perkembangan dan kemajuan. Syari’at Islam terpancar dari

sumber yang luas dan dalam, yaitu Islam yang memberikan kepada manusia

51
sejumlah hukum positif yang dapat dipergunakan untuk segenap masa dan

tempat.

d. Universal. Syari’at Islam tidak ditujukan kepada suatu kelompok atau bangsa

tertentu, melainkan sebagai rahmatan lil’alamin, sesuai dengan misi yang

diemban oleh Rasulullah Saw. Syari’at Islam diturunkan Allah, guna dijadikan

pedoman hidup seluruh manusia yang bertujuan bahagia di dunia dan akhirat.

Dengan demikian hukum Islam bersifat universal, untuk seluruh umat manusia

di muka bumi serta dapat diberlakukan di setiap bangsa dan negara.

e. Elastis atau Fleksibel. Syari’at Islam berisi disiplin-disiplin yang dibebankan

kepada setiap individu. Disiplin-disiplin tersebut wajib ditunaikan, dan berdosa

bagi yang melanggarnya. Meskipun jalurnya sudah jelas membentang, namun

dalam keadaan tertentu terdapat rukhshah. Kelonggaran-kelonggaran tersebut

menunjukkan bahwa syari’at Islam itu bersifat elastis, luwes dan manusiawi.

Demikian pula adanya qiyas, ijtihad, istihsan dan mashlahih mursalah,

merupakan salah satu jalan keluar dari kesempitan.

f. Tidak Memberatkan. Manusia adalah makhluk dha’if (lemah), mempunyai

kemampuan yang serab terbatas. Sebab itu syari’at Islam tidak membebani

seseorang sampai melampaui kadar kemampuannya. Sesuai dengan misi Islam

sebagai rahmat bagi manusia, maka Islam datang untuk membebaskan manusia

dari segala sesuatu yang memberatkannya. Firman-Nya:

ِ
.‫ت‬
ْ َ‫ت َو َعلَْي َها َما ْكتَ َسب‬ ُ ِّ‫اَيُ َكل‬
ْ َ‫ هَلَا َما َك َسب‬،‫ف اهللُ َن ْف ًسا االَُّو ْس َع َها‬

52
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya,

ia mendapat pahala dari kebaikan yang diusahakannya, dan mendapat siksa

dari kejahatan yang diusahakannya” (QS. al-Baqarah, 2:286).

.‫َو َما َج َع َل َعلَْي ُك ْم ىِف ْ الدِّيْ ِن ِم ْن َحَر ٍج‬


“Allah tidak menciptakan dalam urusan agama (Islam) itu suatu kesulitan”

(QS. al-Hajj, 22:78).

g. Graduasi (Berangsur-angsur). Allah sebagai pembuat hukum adalah Maha

Bijaksana. Hukum yang diberikan kepada manusia secara psiklogis sesuai

dengan fitrahnya sendiri. Adalah sangat sulit dilaksanakan bila hukum itu

datang sekaligus. Karenanya Allah memberikannya secara bertahap atau

berangsur-angsur, tidak sekaligus secara redikal dan revolusionir. Seperti

dalam perintah untuk meninggalkan minuman keras, berjudi, poligami dan

yang lainnya.

Dari semua karakter syari’at Islam seperti yang disebutkan di atas,

menggambarkan bahwa syari’at Islam dalam perkembangannya terus dapat

mengikuti perkembangan dan kemajuan zaman, dengan tetap tidak

mengabaikan prinsip-prinsipnya yang konsisten yang tidak bisa berubah

dalam rangka mengiringi perkembangan dan kemajuan zaman.

Sejalan dengan itu, maka syari’at Islam merupakan hukum yang

mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dalam rangka mencapai

kebahagiaannya di dunia dan akhirat. Singkatnya, adalah bahwa syari’at Islam

53
mencakup semua aspek kehidupan manusia baik sebagai individu maupun

sebagai anggota masyarakat, dalam hubungan dengan diri sendiri, manusia

lain, alam lingkungan maupun hubungannya dengan Allah. Karena itu, para

ulama secara sistimatis dalam pembahasannya, membagi syari’at Islam

kepada dua pokok pembahasan, yaitu: Pertama ibadah dalam arti khusus

(ibadah mahdhah), kedua mu’amalah (ibadah ghairu mahdhah), kedua bagian

tersebut sekaligus menjadi ruang lingkup atau pokok bahasan dalam syari’at

Islam.

Pertama, Ibadah dalam arti khusus (Ibadah Mahdhah). Hal-hal yang

termasuk kepada pembahasan dalam bidang ibadah ini adalah pembahasan

tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti shalat, puasa, zakat,

ibadah haji, termasuk di dalamnya thaharah. Yang dimaksud thaharah di sini

adalah beresih dan suci dari hadast dan najis sehingga layak untuk melakukan

kegiatan iabadah shalat, puasa dan haji. Lebih lanjut pembahasan tentang

thaharah, shalat, puasa, zakat dan haji adalah sebagai berikut:

Ibadah mahdhah yang pertama adalah thaharah. Taharah dalam bahasa

Indonesia berarti beresih dan suci, yaitu kondisi seseorang yang beresih dan suci

dari hadast dan najis sehingga layak untuk melakukan kegiatan iabadah shalat,

puasa dan haji. Thaharah bertujuan untuk mensucikan badan dari hadats dan

najis. Najis adalah kotoran yang mewajibkan seseorang muslim untuk

memberesihkannya, sementara hadats adalah kondisi dimana seseorang yang

mengalaminya harus (wajib) wudu atau mandi. Toharoh merupakan masalah yang

54
sangat penting dalam Islam, karena menjadi syarat bagi seseorang yang hendak

berhubungan dengan Allah melalui shalat, puasa atau haji. Sarana yang

digunakannya adalah air, tanah, batu, tisu ataupun sesuatu yang memiliki sifat-

sifat memberesihkan. Bentuk-bentuk thaharah tersebut antara lain:

a. Menghilangkan najis. Yang termasuk benda najis adalah bangkai, darah,

daging babi, muntah kencing dan ktotran manusia atau binatang. Apabila

benda-benda najis tersebut di atas kena badan atau tempat yang hendak

digunakan shalat, terlebih dahulu harus dihilangkan dengan cara

menghilangkan najis tersebut dengan air sehingga hilang bau, rasa dan

warnanya;

b. Menghilangkan hadats. Hadats terdiri dari hadats besar dan hadats kecil.

Hadats kecil dihilangkan dengan wudlu, sedangkan hadats besar dihilangkan

dengan mandi, yang disebut dengan mandi janabat. Seseorang berhadats kecil

artinya dia tidak atau belum melaksanakan wudlu, sedang yang menyebabkan

seseorang berhadats besar adalah karena melakukan senggama, keluar air mani

(baik ketika sadar ataupun mimpi), setelah terputus dari haidl (minstruasi) atau

nifas dan habis melahirkan. Cara menghilangkannya adalah dengan mandi

janabat, yaitu mandi sekurang-kurangnya meratakan air ke seluruh permukaan

kulit. Apabila tidak ada atau kurang air atau karena terpaksa (dlarurat) seperti

sakit atau diperjalanan, wudlu atau mandi bisa digantikan dengan tayammum

yaitu menyapu kedua tangan dan muka dengan menggunakan tanah.

55
Thaharah dalam ajaran Islam merupakan bagian dari pelaksanaan

ibadah kepada Allah. Setiap muslim diwajibkan salat lima waktu sehari

semalam dan sebelum melaksanakannya disyaratkan bersuci terlebih dahulu.

Hal ini membuktikan bahwa ajaran Islam sangat memperhatikan dan

mendorong umat Islam untuk membiasakan diri hidup beresih, indah dan

sehat. Karena itu kehidupan umat Islam identik dengan kehidupan suci,

beresih dan sehat. Di samping sebagai suatu kewajiban, thaharah juga

melambangkan tuntunan Islam untuk memelihara kesucian diri dari segala

kotoran dan dosa. Allah Yang Maha Suci hanya bisa didekati oleh orang-

orang yang suci, baik suci fisik dari kotoran maupun suci jiwa dari dosa,

firman-Nya:

ُّ ِ‫اِ َّن اهللَ حُي‬


ُّ ِ‫ب الت ََّّوبِنْي َ َو حُي‬
.‫ب الْ ُمتَطَ ِّه ِريْ َن‬
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan beresih” (QS.

al-Baqarah, 2: 222).

Ibadah mahdhah yang kedua adalah shalat. Secara bahasa salat berarti

do’a. secara istilah salat berarti ucapan dan perbuatan, dimulai dari

takbiratulaihram dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu. Salat

merupakan satu-satunya kewajiban seorang muslim yang tidak pernah gugur

sepanjang akalnya sehat. Karena itu Nabi mengajarkan salat tidak hanya dalam

kondisi biasa, tetapi juga salat dalam kondisi sakit, di perjalanan bahkan salat

dalam kondisi perang atau ketakutan.

56
Salat yang wajib dikerjakan oleh setiap muslim adalah sebanyak lima

waktu dalam sehari-semalam, yang terdiri dari Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya

dan Subuh. Di samping salat wajib terdapat pula salat-salat sunat antara lain

salat sunat Rawatib, Dluha, Tahajud dan sebagainya. Salat sunat ini

merupakan ibadah yang dianjurkan dalam rangka meningkatkan dan

menambah pengamalan agama dan mendekatkan diri kepada Allah.

Salat yang merupakan ibadah harian, di samping sebagai bentuk

penghambaan diri kepada Allah, juga di dalamnya terkandung hikmah yang

dalam. Salat yang telah ditentukan waktu dan tata caranya mengandung

makna pembinaan disiplin terhadap waktu dan tugas, sehingga seorang

muslim terbiasa hidup teratur dan tertib. Di samping itu terdapat pula hikmah

yang bersifat sosial, yaitu dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.

Firman Allah:

.‫آء َوالْ ُمْن َك ِر‬ َْ َ َْ َّ ‫اِ َّن‬


ِ ‫الصالََة َتْنهى ع ِن الْ َفحش‬

“Sesungguhnya salat itu dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar”

(QS. al-‘Ankabut, 29:45).

Ibadah mahdhah yang ketiga adalah zakat. Ajaran Islam dalam

hubungannya dengan kepemilikan harta benda seseorang adalah dikenal dengan

kewajiban membayar zakat. Menurut asal katanya zakat berarti beresih, suci atau

tambah. Sedangkan dalam terminologi syari’at Islam, zakat adalah mengeluarkan

sebagian harta kepada mereka yang telah ditetapkan menurut syari’at.

57
Mengeluarkan zakat hukumnya wajib bagi orang yang mempunyai harta sampai

pada nisab. Nisab adalah batas harta kekayaan yang dimiliki seseorang untuk

dikeluarkan hartanya. Harta yang wajib dizakati, nisab dan zakatnya dapat dilihat

pada tebal berikut ini:

NAMA NISAB ZAKATNYA


Unta 5 ekor 1 ekor kambing umur 2 tahun lebih

Sapi/Kerbau 30 ekor 1 ekor anak sapi umur dua tahun

Kambing 40 ekor lebih

Emas 93,6 gram 1 ekor kambing/biri-biri umur 2

Perak 624 gram tahun

Tanaman 750 kg / 2,5 %


bernilai
ekonomis/bera
s
panen 2,5 %

5%
Sumber: Departemen Agama RI, 2001.

Harta yang diperoleh dari perniagaan dan perdagangan, zakatnya

sebesar 2,5 %, demikian pula harta yang diperoleh melalui kegiatan profesi

58
seperti dokter, guru, pengacara dan lain sebagainya. Adapun orang-orang yang

berhak menerima zakat ditetapkan oleh Allah dalam firman-Nya:

‫ِ ِ ىِف‬ ِ ِّ ‫ات لِل ُف َق ر ِاء والْمس اكِنْي ِ والْع ِاملِنْي َ َعلَْيهاوالْم َؤلََّف ِة ُقلُ وبهم وىِف‬
ْ ‫الرقَ اب َوالْغَ ارمنْي َ َو‬ َ ْ ُُ ْ ُ ََ َ َ َ َ َ َ ُ َ‫الص َدق‬ َّ ‫اِمَّنَا‬
.‫اهلل َواهللُ َعلِْي ٌم َح ِكْي ٌم‬
ِ ‫السبِي ِل فَ ِريضةً ِّمن‬ ِ ِ
َ َ ْ ْ َّ ‫َسبْي ِل اهلل َوابْ ِن‬
“Sesungguhnya zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, miskin, pengurus

zakat, para mu’alaf yang baru dibina jiwanya ke arah Islam, untuk

memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang di jalan Allah, dan orang-

orang yang sedang dalam perjalanan (musafir). Demikian itu adalah ketetapan

yang diwajibkan Allah dan allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”

(QS. al-Taubah, 9:60).

Berdasarkan ayat di atas, orang-orang yang berhak menerima

(mustahiq) zakat adalah:

a. Fakir, yaitu orang yang memiliki usaha yang hanya menjamin setengah dari

kebutuhan hidupnya sehari-hari.

b. Miskin, yaitu orang yang memiliki usaha yang menghasilkan lebih dari

setengah kebutuhan hidupnya.

c. Amil, yaitu orang yang dipercaya untuk mengumpulkan dan membagikan harta

zakat.

d. Mualaf, yaitu orang yang baru masuk Islam yang masih lemah keimanannya

yang perlu dibimbing dan didukung dana.

e. Hamba sahaya, yaitu budak belian.

59
f. Garim, yaitu orang yang mempunyai utang akibat usahanya bangkrut yang

bukan digunakan untuk maksiat, dan dia tidak sanggup membayarnya.

g. Sabilillah, yaitu orang yang berjuang dengan sukarela untuk menegakkan

agama Allah.

h. Ibnu Sabil atau Musafir, yaitu orang yang kekurangan bekal dalam suatu

perjalanan yang baik, seperti perjalanan untuk menuntut ilmu, menyiarkan

agama Islam dan sebagainya.

Pada dasarnya, zakat merupakan implementasi dari pandangan dasar

Islam bahwa alam adalah miliki Allah. Demikian harta yang diperoleh

seseorang hakikatnya adalah milik mutlak dan titipan Allah, manusia hanya

diberi amanat dan hak gna pakai yang bersifat sementara. Oleh karena itu

pada setiap harta yang diperoleh terdapat hak Allah yang harus ditunaikan

berdasarkan aturan yang ditetapkan-Nya, yaitu zakat.

Hikmah dari ibadah zakat antara lain dapat mendidik seseorang untuk

memberesihkan jiwanya dari sifat kikir, tamak, sombong dan angkuh karena

kekayaannya, menumbuhkan sifat perhatian dan peduli terhadap orang yang

lemah dan miskin. Di samping itu, zakat dapat memberikan harapan dan

optimis bagi orang yang menerimanya. Mereka dapat menyambung hidupnya

dan mengubah nasibnya, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan

kecemburuan terhadap orang-orang kaya, sehingga kesenjangan antara orang

kaya dan miskin dapat diperkecil bahkan mungkin dihilangkan.

60
Dengan demikian, zakat dapat mendorong adanya pemerataan

pendapatan dan kepemilikan harta di kalangan masyarakat muslim,

menghilangkan monopoli dan penumpukan harta pada sebagian masyarakat,

juga mendorong lahirnya sistem ekonomi yang berdasarkan kerjasama dan

tolong menolong.

Ibadah mahdhah yang keempat adalah shaum (puasa). Shaum adalah

bentuk ibadah dalam Islam yang dilakukan selama satu bulan setiap tahun, yaitu

pada bulan Ramadlan. Puasa berarti menahan makan dan minum serta yang

membatalkannya, sejak terbit fajar sampai terbenam mata hari. Kewajiban

berpuasa dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya:

.‫ب َعلَ ْى الَّ ِذيْ َن ِم ْن َقْبلِ ُك ْم لَ َعلَ ُك ْم َتَّت ُق ْو َن‬ ِ ِ


َ ‫ب َعلَْي ُك ُم الصيَ ُام َك َما ُكت‬
ِ ِ َّ
َ ‫يَآ اَيُّ َها الذيْ َن َآمُن ْوا ُكت‬
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana

diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kamu bertaqwa” (QS. al-

Baqarah, 2:183).

Di samping puasa wajib, terdapat pula ibadah puasa yang hukumnya

sunat, seperti puasa Senin-kamis, puasa pada hari ‘Arafah yaitu pada tanggal 9

Dzulhijjah, puasa ‘Asyura yaitu puasa tanggal 10 Muharam, puasa enam hari

bulan Syawal dan puasa tiga hari tiap bulan pada tanggal 13, 14 dan 15.

Sedangkan hari-hari yang diharamkan berpuasa adalah Hari Raya ‘Idul Fithri

dan ‘Idul Adlha, dan Hari Tasyriq yaitu tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah.

61
Pada dasarnya puasa bertujuan untuk menjadi orang yang bertakwa.

Selain itu puasa merupakan wahana latihan dalam mengendalikan hawa nafsu,

menguji keimanan seseorang dan menahan keinginan-keinginan untuk

melakukan perbuatan yang dilarang Allah.

Puasa berfungsi pula sebagai wahana memupuk dan melatih seseorang

untuk bersikap sabar dalam menahan penderitaan, rasa kepedulian dan

perhatian terhadap sesama. Dengan ibadah puasa orang dapat merasakan

penderitaan orang lain yang kekurangan pangan, sehingga lahir sikap peduli

terhadap orang-orang yang lemah. Dengan puasa seseorang dilatih untuk

dapat membatasi dan mengendalikan nafsu terhadap makanan dan minuman

serta dorongan seksual yang biasanya menjadi sebab terjadinya pelanggaran.

Dan banyak lagi hikmah yang dapat diambil dari ibadah puasa ini.

Ibadah mahdhah yang kelima adalah Haji. Ibadah haji adalah berkunjung

ke Baitullah (Ka’bah) untuk melakukan wukuf, tawaf dan amalan lainnya pada

masa yang telah ditetapkan dalam syara’. Ibadah haji hukumnya wajib bagi orang

yang mampu dan mencukupi syarat-syaratnya. Kewajibannya hanya satu kali

seumur hidup, sedangkan melaksanakan ibadah haji yang kedua dan seterusnya,

hukumnya sunat. Waktu melaksanakan ibadah haji dimulai dari tanggal 1 Syawal

sampai terbit fajar tanggal 10 Dzulhijjah. Cara melaksanakan ibadah haji dapat

dilakuka dengan salah satu dari tiga cara, yaitu Ifrad, Tamattu’ dan Qiran.

Ifrad adalah mengerjakan haji terlebih dahulu, kemudian mengerjakan

umrah. Apabila cara ini dilakukan maka yang melaksanakannya tidak wajib

62
membayar dam (denda) dengan menyembelih hewan. Tamattu’ adalah

mengerjakan umrah terlebih dahulu, kemudian mengerjakan haji. Cara ini

mewajibkan pelakunya untuk membayar dam. Qiran adalah mengerjakan haji

dan umrah dalam satu niat dan satu pekerjaan sekaligus. Cara ini juga

mewajibkan pelakunya membayar dam.

Dalam ibadah haji terdapat rukun dan wajib haji. Rukun haji adalah

sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan dalam pelaksanaan ibadah haji. Jika

rukun ini ditinggalkan, maka dinyatakan hajinya tidak sah. Sedangkan wajib

haji adalah sesuatu yang boleh tidak dikerjakan, akan tetapi harus diganti

dengan membayar dam. Rukun haji terdiri dari:

a. Ihram, yaitu niat mulai mengerjakan haji atau umrah dengan memakai kain

ihram.

b. Wukuf di Arafah, yaitu hadir di Arafah pada waktu tergelincir mata hari

tanggal 9 samapi terbit fajar tanggal 10 Dzulhijjah.

c. Tawah Ifadlah, yaitu tawaf yang apabila tidak dilaksanakan hajinya tidak

sah. Tawaf adalah berjalan mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali.

d. Sa’i, yaitu berjalan dari bukit Safa ke bukit Marwah sebanyak tujuh kali.

e. Tahallul (bercukur), yaitu mencukur atau menggunting rambut minimal tiga

helai rambut.

f. Tertib, semuanya dilaksanakan secara berurutan.

Adapun wajib haji terdiri atas: (1) Niat ihram dari Moqat, 2) Mabit

atau bermalam di Muzdalifah, (3) Mabit di Mina, (4) Melontar Jumrah ‘Ula,

63
Wustha dan ‘Aqabah. Jumrah adalah melontar marma (dasar bawah tugu) di

Mina dengan batu kerikil pada Hari Tasuriq, (5) Tidak melakukan perbuatan

yang diharamkan pada waktu melakukan ibadah haji, (6) Tawaf Wada’, yaitu

tawaf penghormatan terakhir kepada Baitullah sebelum meninggalkan Mekah.

Dalam ibadah haji ini terdapat banyak hikmah dan makna yang

bersifat simbolik. Di antaranya, dengan dilaksanakannya bersama-sama

mengandung makna perlunya kebersamaan dan kesatuan di kalangan umat

Islam sebagai implementasi dari aqidah tauhid kepada Allah. Kebersamaan ini

melahirkan persaudaraan dan persamaan tanpa memandang ras dan asal-usul.

Demikian pula dalam ihram dengan berpakaian sederhana tanpa jahitan,

melambangkan kesadaran akan kematian. Dalam hal ini seorang muslim

disentuh kesadarannya bahwa hidup di dunia dengan segala atribut suatu hari

akan berakhir, dan jika kematian datang semua atribut itu ditanggalkan tanpa

harga. Saat itu yang diperhitungkan hanya ketakwaannya kepada Allah.

Kedua, adalah ibadah ghairu mahdlah. Ibadah bentuk ini dalam ilmu

fiqih disebut juga dengan mu’amalah. Bentuk ibadahnya mencakup:

a. Muamalah dalam arti luas atau disebut dengan hukum perdata Islam yang

mencakup:

1) Munakahat, yaitu hukum yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan

dengan perkawinan, perceraian serta akibat-akibatnya.

64
2) Waratsah, yaitu mengatur segala masalah yang berhubungan dengan

pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan. Hukum

kewarisan Islam ini disebut juga dengan fara’id.

b. Mu’amalat dalam arti khusus, yaitu hukum-hukum yang mengatur masalah

kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual

beli, sewa menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan dan sebagainya.

c. Hukum publik (Islam) yang mencakup

1) Jinayat yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang

diancam dengan hukuman, baik dalam jarimah hudud maupun dalam

jarimah ta’zir. Yang dimaksud dengan jarimah adalah perbuatan pidana.

Jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan

batas hukumannya dalam Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW

(hudud jamak dari hadd yang artinya adalah batas). Jarimah ta’zir adalah

perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh

penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya (ta’zir artinya ajaran atau

pengajaran).

2) Al-Ahkam al-Shulthaniyah membicarakan soal-soal yang berhubungan

dengan kepala negara, pemerintahan, baik permerintahan pusat maupun

daerah, tentara, pajak dan sebagainya.

3) Al-Siyasat mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan

pemeluk agama dan negara lain (Hubungan Internasional). .Al-Mukhasamat

mengatur soal peradilan, kehakiman dan hukum acara.

65
Dengan demikian syari’at Islam mengatur semua aspek kehidupan

manusia, sehingga seorang muslim dapat melaksanakan ajaran Islam secara

utuh. Keutuhan syari’at Islam tidak berarti semua aspek sudah diatur oleh

hukum Islam secara detil, kecuali masalah ibadah, hukum Islam memberikan

pandangan mendasar bagi aspek muamalah, sehingga perilaku sosial manusia

memiliki landasan hukum yang memberi makna dan arah bagi manusia,

kendatipun secara operasional urusan muamalah diserahkan kepada manusia,

tetapi prinsip-prinsip dasar dari hubungan tersebut diberi dasar oleh syari’at

Islam, sehingga aspek-aspek kehidupan manusia dapat terwujud secara

islami.

Tujuan Allah Swt mensyariatkan hukumnya adalah untuk memelihara

kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari kerugian atau kerusakan

(mafsadat), baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai

melalui perintah dan larangan (taklif), yang pelaksanaannya tergantung

kepada pemahaman sumber hukum yang utama; Alquran dan Hadits.

Dalam kasus hukum yang secara eksplisit dijelaskan dalam kedua

sumber itu, kemaslahatan dapat ditelusuri melalui teks yang ada. Jika ternyata

kemaslahatan itu dijelaskan maka kemaslahatan itu dijadikan titik tolak

penentuan hukumnya. Kemashlahatan seperti itu lazim digolongkan kepada

Al-Mashlahat Al-Mu’tabarat. Berbeda halnya jika kemashlahatan itu tidak

dijelaskan secara eksplisit ke dalam ke dua sumber itu. Dalam hal ini peranan

mujtahid sangat penting untuk menggali dan menemukan mashlahat yang

66
terkandung dalam menetapkan hukum. Pada dasarnya hasil penelitian itu

dapat diterima, selama tidak bertentangan dengan mashlahat yang telah

ditetapkan dalam ke dua sumber tersebut. Jika terjadi pertentangan, maka

maslahat dimaksud digolongkan sebagaial al-Mashlahat al-Mughat.

Tujuan syari’at Islam perlu diketahui oleh mujtahid dalam rangka

mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab

persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasus-kasusnya tidak diatur

secara eksplisit oleh Alquran dan al-Hadits. Lebih dari itu tujuan hukum perlu

diketahui dalam rangka mengetahui apakah suatu kasus masih dapat

diterapkan berdasarkan satu ketentuan hukum karena adanya perubahan

struktur sosial hukum tersebut dapat diterapkan. Untuk dapat menangkap

tujuan hukum yang terdapat dalam sumber hukum maka diperlukan sebuah

keterampilan yang dalam ilmu ushul fiqh disebut dengan Maqashid Al-

Syari’ah. Dengan demikian pengetahuan Maqashid al-Syari’ah menjadi kunci

bagi keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya.

Pencarian para ahli Ushul al-Fiqh terhadap maslahat itu diwujudkan

dalam bentuk metode ijtihad. Berbagai macam istilah telah digunakan oleh

mereka untuk menyebut metode penemuan hukum. Namun pada dasarnya,

semua metode itu bermuara pada upaya penemuan maslahat, dan

menjadikannya sebagai alat untuk menetapkan hukum yang kasusnya tidak

disebutkan secara eksplisit baik dalam Alquran dan al-Hadits. Atas dasar

asumsi ini maka dapat dikatakan bahwa setiap metode penetapan hukum yang

67
dipakai oleh para ahli Ushul al-Fiqh bermuara pada Maqashid Al-Syariah,

yaitu tujuan hukum yang diturunkan oleh Allah SWT. Lebih lanjut Al-Syatibi

menegaskan bahwa sesungguhnya syariat itu bertujuan mewujudkan

kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat (Abu Ishaq Al-Syatibi, 1388:6).

Kemaslahatan yang dimaksud dapat terwujud manakala lima pokok

yang biasa disebut dengan Maqashid al-Khamsah sebagai Maqashid al-

Syari’ah dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur pokok tersebut

adalah:

a. Hifzhu al-Din, yaitu memelihara agama.

b. Hifzhu al-Mal, yaitu memelihara harta kekayaan.

c. Hifzhu al-Nasl, yaitu memelihara keturunan.

d. Hifzhu al-‘Aql, yaitu memelihara akal.

e. Hifzhu al-Nafs, yaitu memelihara jiwa

Dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok itu, para

ulama fikih membagi kepada tiga tingkatan tujuan syariah, yaitu:

a. Maqashid Al-Dlaruriyat, yaitu dimaksudkan untuk memelihara lima unsur

pokok dalam kehidupan manusia.

b. Maqashid Al-Hajiyat, yaitu dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau

menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik dan

c. Maqashid Al-Tahsiniyat, yaitu dimaksudkan agar manusia dapat melakukan

yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok (Asafri

Jaya Bakri, 1996:72).

68
3. Akhlak

a. Pengertian Akhlak

Ruang lingkup ajaran Islam yang ketiga adalah akhlak. Pembahasan akhlak

pada bab ini tidak mengacu kepada akhlak dalam tataran praktis, namun

pembahasannya akan difokuskan kepada akhlak dalam tataran teoritis. Sedangkan

pembahasann akhlak dalam tataran praktis atau yang langsung penerapannya

dalam kehidupan sehari-hari, akan dibahas pada bab-bab berikutnya, secara

khusus, seperti akhlak terhadap Allah, akhlak terhadap sesama manusia, akhlak

terhadap binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air, udara, kemudian akhlak ketika

bepergian, akhlak belajar atau menuntut ilmu dan lain sebagainya. Adapun

pembahasan akhlak dalam tataran teoritis ini, akan diawali dari definisi akhlak,

baik secara bahasa ataupun istilah.

Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak,

yaitu pendekatan linguistik (kebahasaan) dan pendekatan terminologik

(peristilahan). Dari sudut kebahasaan akhlak berasal dari bahasa Arab yang berarti

perangai, tabi’at (kelakuan atau watak dasar), kebiasaan atau kelaziman, dan

peradaban yang baik. Dalam kamus al-Mu’jam al-Falsafi akhlak mengandung arti

agama.

Kata akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khilqun atau khuluqun yang

artinya sama dengan arti akhlak sebagaimana telah disebutkan di atas. Kata akhlak

69
dan khuluq, keduanya dijumpai pemakiannya, baik dalam Alquran ataupun dalam

Hadits, di antaranya:

.‫َّك لَ َعلَى ُخلُ ٍق َع ِظْي ٍم‬


َ ‫َوإِن‬
“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung

dan luhur” (QS. al-Qalam, 68:4). Dalam ayat lain:

. َ ‫إِ َّن ه َذا اِالَّ ُخلُ ُق اْالََّولِنْي‬


“(Agama Kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan nenek moyang terdahulu”

(QS. al-Sy’ara, 26:137).

ِِ
ْ ‫أَ ْك َم ُل الْ ُم ْؤمننْي َ إِمْيَانًا أ‬
.‫َح َسُن ُه ْم ُخلًُقا‬
“Orang mu’min yang paling sempurna keimananya adalah orang yang sempurna

budi pekertinya” (HR. Tirmidzi),

.‫َخالَ ِق‬ ِ
ْ ‫ت ُِِألُمَتَّ َم َم َكا ِر َم اْأل‬
ُ ْ‫إِمَّنَا بُعث‬
“Bahwasanya aku diutus oleh Allah untuk menyempurnakan keluhuran budi

pekerti” (HR. Ahmad).

Ayat yang pertama disebut di atas, menggunakan kata khuluq untuk arti

budi pekerti, sedangkan ayat yang kedua menggunakan kata khuluq untuk arti

kebiasaan. Kemudian hadits yang pertama menggunakan kata khuluq untuk arti

budi pekerti, dan hadits yang kedua menggunakan kata akhlaq yang juga

digunakan untuk arti budi pekerti. Dengan demikian kata akhlaq atau khuluq

secara kebahasaan berarti budi pekerti, adat kebiasaan, perangai atau segala

sesuatu yang sudah menjadi tabi’at.

70
Pengertian akhlak secara istilah seperti yang diungkapkan oleh Imam al-

Ghazali adalah:

‫اج ٍة اِىَل فِ ْك ٍر َو‬ ِ ٍ ِ ُ ‫س ر ِاسخةٌ عْنها تَص ُدر اْألَ ْفع‬


َ ‫ال ب ُس ُه ْولَة َويُ ْس ٍر م ْن َغرْيِ َح‬ َ ُ ْ َ َ َ َ ِ ‫الن ْف‬ َّ ‫ِعبَ َارةٌ َع ْن َهْيئَ ٍة ىِف‬
.‫ُر ْؤيٍَة‬

“Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan

dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran”.

Sejalan dengan pengertian akhlak menurut Imam al-Ghazali di atas, dalam

Mu’jam al-Wasith Ibrahim Anis mengatakan bahwa akhlak adalah:

.‫اج ٍة اِىَل فِ ْك ٍر َو ُر ْؤيٍَة‬ ِ ِ ُ ‫َعم‬


َ ‫ال م ْن خَرْيٍ أ َْو َشٍّر م ْن َغرْيِ َح‬ َ ْ ‫ص ُد ُر َعْن َها اْأل‬
ِ ِ ‫ال لِ َّلن ْف‬
ْ َ‫س َراس َخةٌ ت‬ ٌ ‫َح‬
“Sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengannya lahirlah macam-macam

perbuatan baik atau buruk tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan”

Dari kedua definisi akhlak tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu

perbuatan atau sikap dikatagorikan akhlak bila memenuhi kriterianya sebagai

berikut:

Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat

dalam jiwa seseorang sehingga telah menjadi kepribadiannya. Kedua, perbuatan

akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran. Ini tidak

berarti bahwa pada saat melakukan suatu perbuatan yang bersangkutan dalam

keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Ketiga, perbuatan akhlak

adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya tanpa

71
ada paksaan atau tekanan dari luar. Keempat, perbuatan akhlak adalah perbuatan

yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena

bersandiwara.

Dalam perkembangan selanjutnya akhlak tumbuh menjadi suatu ilmu yang

berdiri sendiri, yaitu ilmu yang memiliki ruang lingkup pokok bahasan, tujuan,

rujukan, aliran dan para tokoh yang mengembangkannya. Kesemua aspek yang

terkandung dalam akhlak ini kemudian membentuk satu kesatuan yang saling

berhubungan dan membentuk suatu ilmu. Dalam pembahasan ini, tidak ditujukan

kepada akhlak sebagai suatu ilmu melainkan akhlak dalam pengertian tersebut di

atas.

b. Hubungan Etika, Moral dengan Akhlak

Dilihat dari fungsi dan perannya, dapat dikatakan bahwa akhlak, etika dan

moral sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang

dilakukan seseorang untuk ditentukan baik dan buruknya. Semua istilah tersebut

sama-sama menghendaki terciptanya masyarakat yang baik, teratur, aman, damai

dan tentram, sejahtera lahir dan batin.

Perbedaan antara etika, moral dan akhlak adalah terletak pada sumber yang

dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian

baik dan buruk berdasarkan kepada pendapat akal pikiran, dan pada moral lebih

banyak berdasarkan kepada kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat,

72
sedangkan pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik dan buruk

adalah Alquran dan Hadits.

Perbedaan lain antara etika, moral dan akhlak terlihat pada sifat dan

kawasan pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoritis, maka pada

moral lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara

umum, sedangkan moral bersifat lokal dan individual. Etika menjelaskan ukuran

baik dan buruk, sedangkan moral menyatakan ukuran tersebut dalam bentuk

perbuatan.

Namun demikian etika, moral dan akhlak tetap saling berhubungan dan

saling membutuhkan. Uraian tersebut di atas menunjukan dengan jelas bahwa

etika dan moral berasal dari produk akal dan budaya masyarakat yang secara

selektif diakui sebagai hal yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup

manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yakni ketentuan yang berdasarkan

petunjuk Alquran dan hadits. Wahyu bersifat mutlak, absolut dan tak dapat diubah.

Dengan demikian akhlak sifatnya juga mutlak, absolut dan tak dapat diubah.

Sementara etika dan moral sifatnya temporel atau terbatas dan dapat diubah.

Dalam pelaksanaannya norma-norma akhlak yang terdapat dalam Alquran

dan hadits sifatnya “belum siap pakai”. Jika Alquran misalnya menyuruh kita

berbuat baik kepada orang tua dan menghormati sesama manusia, maka suruhan

tersebut belum disertai dengan cara-cara, sarana dan lainnya. Bagaimana cara-cara

menghormati orang tua tidak dijumpai dalam Alquran. Cara-cara untuk melakukan

73
ketentuan akhlak yang ada dalam Alquran atau hadits memerlukan penalaran atau

ijtihad para ulama dari waktu ke waktu. Dengan demikian, ketentuan baik dan

buruk yang terdapat dalam etika dan moral yang merupakan produk akal pikiran

dan budaya masyarakat dapat digunakan sebagai alat untuk menjabarkan ketentuan

akhlak, baik yang terdapat dalam Alquran ataupun hadits. Tanpa ada peran

manusia dalam bentuk etika dan moral, ketentuan akhlak yang terdapat dalam

Alquran dan hadits akan sulit dilaksnakan.

Dengan demikian keberadaan etika dan moral sangat dibutuhkan dalam

rangka menjabarkan dan mengopersionalisasikan ketentuan akhlak yang terdapat

dalam Alquran. Di sinilah letak peranan etika dan moral terhadap akhlak. Pada sisi

lain, akhlak juga berperan untuk memberikan batasan-batasan umum dan

universal, agar ketentuan yang terdapat dalam etika dan moral tidak bertentangan

dengan nilai-nilai luhur dan tidak membawa manusia ke jalan yang sesat. Namun

demikian, bisa saja terjadi bahwa antara akhlak dengan etika dan moral

menunjukan keadaan yang tidak sejalan. Hal ini banyak terjadi pada masyarakat

yang dalam cara berpikirnya bersifat liberal, ateis dan sekuler seperti yang banyak

terjadi di dunia Barat.

c. Akhlaq Baik (Karimah) dan Akhlak Buruk (Madzmumah)

74
Sebagai umat Islam sudah sepantasnya menunjukan akhlak yang baik

(akhlaq mahmudah atau akhlak karimah) dalam kehidupannya sehari-hari. Akhlak

tersebut terdapat di dalam ruang lingkup akhlak islami yang sama dengan ruang

lingkup ajaran Islam itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan

atau berinteraksi dan komunikasi antar sesama. Ruang lingkup akhlak tersebut

mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah hingga akhlak

terhadap sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda

yang tak bernyawa).

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa akhlak adalah suatu sikap yang

melekat dalam jiwa seseorang yang melahirkan perbuatan-perbuatan berdasarkan

kemauan dan pilihan, baik dan buruk, terpuji dan tercela. Kemudian akhlak

tersebut dapat menjadi tabiat seseorang berdasarkan pengaruh pendidikan yang

diterima. Apabila jiwa seseorang dididik agar berbuat kebaikan, kebenaran, cinta

kepada kebenaran, kemudian dilatih agar mencintai kepada perbuatan yang terpuji

dan membenci perbuatan yang tercela, maka sifat-sifat tersebut dapat menjadi

tabiat jiwa orang tersebut, sehingga perbuatan-perbuatan positif dengan mudah dan

tanpa dipaksa muncul dari padanya. Perbuatan-perbuatan positif dan sikap-sikap

terpuji ini adalah yang dikenal dengan akhlak yang baik.

Perbuatan-perbuatan terpuji yang muncul dari jiwa tanpa ada tekanan

seperti di atas disifati dengan akhlak yang baik. Sebagai contoh, seperti bersikap

lemah lembut, teliti, sabar, tahan uji, dermawan, kesatria, adil, senang membantu

75
atau menolong orang-orang lemah, dan sejumlah akhlak utama dan kesempurnaan

akhlak yang lainnya.

Demikian halnya, apabila jiwa seseorang dibiarkan, tidak dididik dengan

pendidikan yang layak, dan tidak pula diusahakan agar unsur-unsur kebaikan yang

terpendam di dalamnya untuk tumbuh. Atau jiwa orang tersebut dididik dengan

pendidikan yang buruk sehingga keburukan menjadi sesuatu yang disenangi, dan

yang baik menjadi sesuatu yang dibenci, juga perkataan-perkataan dan perbuatan-

perbuatan hina atau tercela menjadi suatu tindakan yang dilakukan tanpa ada

tekanan, maka semua ini adalah apa yang kita kenal dengan sebutan akhlak yang

tidak baik atau akhlak buruk atau tercela. Sebagai contoh, seperti perbuatan

khianat, dusta, keluh kesah, bengis, kasar, keras kepala, keras hati, kehi, jahat, dan

perbuatan-perbuatan buruk lainnya.

Atas dasar itu, maka Islam menyeru agar umat Islam berhias diri dengan

akhlak yang baik, dan agar pendidikan akhlak yang baik digalakan dan diutamakan

di tengah umat Islam, juga agar ditumbuh-kembangkan di dalam jiwa-jiwanya.

Sebab iman seseorang tergantung kepada keutamaan jiwanya sebagaimana kualitas

islamnya pun tergantung kepada kebaikan akhlaknya. Berikut ini adalah beberapa

contoh akhlak baik dalam kehidupan sehari-hari:

1) Ikhlas. Artinya membersihkan niat dan tujuan dari berbagai niat dan tujuan

lain, selain mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dengan kata lain ikhlas

mengabaikan pandangan (perhatian manusia dengan senantiasa

berkonsentrasi hanya kepada Allah semata-mata. Ikhlas adalah syarat

76
diterimanya amal saleh yang di laksanakan sesuai dengan sunnah Rasullullah

Saw. Firman Allah:

َّ ِ ِ َ‫إِنَّا أَنزلْنا إِلَيك الْ ِكتاب بِاحْل ِّق ف‬


َ ‫اعبُد اللَّهَ خُمْلصاً لهُ الد‬
‫ِّين‬ ْ َ َ َ َ ْ ََ

“Sesungguhnya kami menurunkan kepadamu kitab (Alquran) dengan

membawa kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikannya

ketaatan (Ikhlas ) kepada-Nya” (QS. al-Zumar, 39: 2)

2) Syukur. Syukur adalah perasaan yang terus menerus akan budi yang baik dan

penghargaan terhadap kebajikan, yang mendorong hati untuk selalu

mencintai Allah, dan lisan untuk selalu memuji-Nya. Syukur ini juga sangat

ada kaitannya dengan nikmat yang diturunkan oleh Allah Swt yang meliputi

segala hal,  baik yang bersifat naluriyah seperti telinga,  mata dan hati yang

memang dibawa sejak lahir sebagaimana firman Allah:

َ‫ص َار َواألَفْئِ َدة‬ ِ ِ


َ ْ‫َخ َر َج ُكم ِّمن بُطُون أ َُّم َه ات ُك ْم الَ َت ْعلَ ُم و َن َش ْيئاً َو َج َع َل لَ ُك ُم الْ َّس ْم َع َواألَب‬
ْ ‫َواللّ هُ أ‬
‫لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكُرو َن‬

“Dan Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tidak

mengetahui sesuatu pun,  dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan

dan hati, agar kamu bersyukur”(QS. al-Nahl, 16: 78 )

3) Sabar, adalah kekuatan jiwa seorang mukmin dan yakin dengan rahmat Allah

kepada janji serta keadialan-Nya. Jiwa yang iman dan sabar,  mengalahkan

dan menguasai nafsunya,  serta selalu merasa takut akan kemurkaan Allah,

77
sehingga dapat menggalahkan segala keingginan hawa nafsunya. Tidak

setiap orang ketika menanggung penderitaan dan kesusahan menghadapinya

dengan sabar, sehingga ia dinamakan orang yang sabar dan memperoleh

pahala kesabarannya.  Orang yang sabar tidak lain adalah orang yang hatinya

bersabar karena mengharapkan keridhoan Allah, sebagaimana di jelaskan

firman-Nya:

‫اه ْم ِسّراً َو َعالَنِيَةً َويَ ْد َر ُؤو َن‬ ‫مِم‬ َّ ْ‫صَبُرواْ ابْتِغَاء َو ْج ِه َرهِّبِ ْم َوأَقَ ُاموا‬ ِ َّ
ُ َ‫الصالََة َوأَن َف ُقواْ َّا َر َز ْقن‬ َ ‫ين‬َ ‫َوالذ‬
‫ك هَلُ ْم عُ ْقىَب الدَّا ِر‬ َ ِ‫السيِّئَةَ أ ُْولَئ‬
َّ ‫بِاحْلَ َسنَ ِة‬

“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhoan Tuhan-Ny,

Mendirikan shalat,  dan menafkakan sebagian rizki yang kami berikan

kepada mereka secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, serta

menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat

tempat kesudahan (yang baik ).”(QS. Ar-Rad, 13: 22)

4) Mahabbah. Secara singkat mahabbah maknanya cinta kepada Allah. Adalah.

Artinya secara umum adalah satu gejala emosi yang tumbuh dan bergelora

dalam jiwa dan hati manusia,  diikuti oleh rasa keinginanan dan hasrat yang

keras dan meluap terhadap sesuatu hal,  yaitu Allah Swt.  Mencintai Allah

adalah tujuan utama dari semua tingkatan dan puncak tertinggi

dari  pendakian jiwa, maka lebih-lebih kepada Dzat yang terpancar dari-Nya.

Seluruh kebaikan, yang dari-Nya datang segala nikmat yang ada pada

78
segenap makhluk. Dialah Allah yang Maha Satu, tiada sekutu bagi-Nya, Esa,

dan Tunggal, sebagaimana Firman-Nya:

‫َو َما بِ ُكم ِّمن ن ِّْع َم ٍة فَ ِم َن اللّ ِه مُثَّ إِذَا َم َّس ُك ُم الضُُّّر فَِإلَْي ِه جَتْأ َُرو َن‬

“Segala nikmat yang ada padamu berasal dari Allah, kemudian tatkala kamu

ditimpa kemudharatan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan”

(QS. An-Nahl, 16: 53)

5) Khauf, adalah rasa takut hamba kepada Allah. Menurut bahasa, khauf artinya

takut, sedangkan menurut istilah, khauf ialah takut kepada Allah Swt. dengan

senantiasa mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa

yang dilarang-Nya. Jika kita takut kepada binatang buas atau musuh yang

ganas, kita harus menjauhi dan menghindarinya. Sedangkan takut kepad

Allah sebaliknya, yaitu kita harus lebih mendekatkan diri kepada-Nya.

semakin besar rasa takut kepada Allah dalam hati seseorang, hendaknya

semakin rajin mendekatkan diri kepada-Nya. Khauf juga mengandung arti

rasa takut seseorang karena membayangakan sesuatu yang ditakutinya, yang

akan menimpanya di massa yang akan datang. Karenanya, manusia yang

paling takut kepada Tuhannya ialah manusia yang paling tahu tentang

dirinya dan Tuhan-nya, Rasullullah Saw. Bersabda:

ِ ‫اهلل إِّيِّن الً ْعلَم ُكم بِا‬


 ‫هلل لَهُ َخ ْشيَة‬ ِ ‫و‬
ْ ُ َ
“Demi Allah ! Aku adalah orang yang paling tahu tentang Allah diantara

kamu, dan paling takut kepada-Nya diantara kamu “ (HR. Bukhari dan

79
Muslim). Selain itu dalam Alquran disebutkan bahwa orang yang paling

takut kepada Allah dari hamba-Nya adalah kaum ulama, firman-Nya:

ِِ ِ ِ ‫ِمَّن‬
ُ‫إ َا خَي ْ َشى اهلل م ْن عبَا ده الْعُلَ َماء‬
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,

hanyalah para ulama.” (QS. Fathir, 35: 28).

6) Taubat.

َ ‫ تَ َو‬yang bermakna kembali. Dia


Secara Bahasa, at-Taubah berasal dari kata ‫ب‬

bertaubat,  artinya ia kembali dari dosanya (berpaling dan menarik diri dari

dosa). Taubat adalah kembali kepada Allâh dengan melepaskan hati dari

belenggu yang membuatnya terus-menerus melakukan dosa lalu

melaksanakan semua hak Allâh Azza wa Jalla .

Secara Syar’i, taubat adalah meninggalkan dosa karena takut pada Allâh,

menganggapnya buruk, menyesali perbuatan maksiatnya, bertekad kuat

untuk tidak mengulanginya, dan memperbaiki apa yang mungkin bisa

diperbaiki kembali dari amalnya. Hakikat taubat yaitu perasaan hati yang

menyesali perbuatan maksiat yang sudah terjadi, lalu mengarahkan hati

kepada Allâh Azza wa Jalla pada sisa usianya serta menahan diri dari dosa.

Melakukan amal shaleh dan meninggalkan larangan adalah wujud nyata dari

taubat. Taubat mencakup penyerahan diri seorang hamba kepada Rabbnya,

inabah (kembali) kepada Allâh Azza wa Jalla dan konsisten menjalankan

ketaatan kepada Allâh. Jadi, sekedar meninggalkan perbuatan dosa, namun

tidak melaksanakan amalan yang dicintai Allâh Azza wa Jalla , maka itu

80
belum dianggap bertaubat. Seseorang dianggap bertaubat jika ia kembali

kepada Allâh Azza wa Jalla dan melepaskan diri dari belenggu yang

membuatnya terus-menerus melakukan dosa. Ia tanamkan makna taubat

dalam hatinya sebelum diucapkan lisannya, senantiasa mengingat apa yang

disebutkan Allâh Azza wa Jalla berupa keterangan terperinci tentang surga

yang dijanjikan bagi orang-orang yang taat, dan mengingat siksa neraka

yang ancamkan bagi pendosa. Dia berusaha terus melakukan itu agar rasa

takut dan optimismenya kepada Allâh semakin menguat dalam hatinya.

Dengan demikian, ia berdoa senantiasa kepada Allâh Azza wa Jalla dengan

penuh harap dan cemas agar Allâh ‘Azza wa Jalla berkenan menerima

taubatnya, menghapuskan dosa dan kesalahannya. Perhatikan firman Allah

Swt.:

ِ ‫إ اَّل الَّ ِذينَ تَابُوا َوأَصْ لَحُوا َوبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ َعلَ ْي ِه ْم َوأَنَا التَّوَّابُ الر‬
‫َّحي ُم‬
“Kecuali mereka yang telah tobat dan mengadakan perbaikan dan

menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima

tobatnya dan Akulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”

(QS. al-Baqarah, 2: 160). Dalam ayat lain disebutkan:

َ‫إِ َّن هَّللا َ ي ُِحبُّ التَّ َّوابِينَ َوي ُِحبُّ ْال ُمتَطَه ِِّرين‬
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai

orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. al-Baqarah, 2: 222).

7) Tawakkal. Tawakkal adalah benar dan besarnya hati dalam pasrah dan

berpegang teguh pada Allah Swt dalam mencari kebaikan dan kemaslahatan,

81
kemhudharatan yang menyangkut urusan, dalam Hadist disebutkan: “Telah

datang kepada Rasullullah Saw seorang anak laki-laki yang hendak

meninggalkan unta yang di kendarainya terlepas begitu saja di pintu masjid

tanpa ditambatkan terlebih dahulu. Dia bertanya: Ya Rasullullah! Apakah

unta itu saya tambatkan terlebih dahulu, kemudian baru saya tawakkal, atau

saya lepaskan saja dan sesudah itu saya tawakkal? Nabi menjawab:

Tambatkan lebih dahulu baru engkau tawakkal” (HR. Turmudzi). Dari hadist

ini bahwa Nabi menyuruh anak itu untuk mengikat untanya terlebih dahulu,

sebagai bentuk ikhtiar. Betapa pentingnya usaha dan ikhtiar ini sebagai titik

awal tawakkal kita kepada Allah Swt, sebagaimana Firman-Nya :

‫ف يَُرى‬
َ ‫َن َس ْعيَهُ َس ْو‬ ِ ‫وأَن لَّيس لِإْلِ نس‬
َّ ‫ان إِاَّل َما َس َعى َوأ‬ َ َ ْ َ
“Bahwa manusia itu hanya memperoleh apa yang di usahakan nya dan hasil

usahanya itu kelak akan di lihatnya sendiri “ (Q.S. An-Najm, 39-40).

ِ ُّ ِ‫ت َفَت َو َّك ْل َعلَى اللّ ِه إِ َّن اللّهَ حُي‬


َ ‫ب الْ ُمَت َو ِّكل‬
‫ني‬ َ ‫فَِإذَا َعَز ْم‬
“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah

kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal

kepada-Nya.” (QS. Ali Imran, 3: 159)

8) Zuhud, ialah berpalingnya kehendak atau keingginan dari sesuatu ke sesuatu

yang lebih baik dari padanya. Alquran telah memuji sifat zuhud dan

membenci sifat menyenangi dunia, sebagai mana firman-Nya :

‫الد ْنيَا َواآْل ِخَرةُ َخْيٌر َوأ َْب َقى‬


ُّ ‫بَ ْل ُت ْؤثُِرو َن احْلَيَا َة‬

82
‘Bahkan kamu mementingkan dunia, padahal akhirat lebih baik dan lebih

kekal “ (Q.S. al-A’laa, 87: 16-17)

9) Ridha, yaitu menerima akan ketetapan Allah. Artinya menerima segala

kejadian yang menimpa diri dengan rasa senang, tidak merengut, tidak kesal,

tidak sebal, tidak merasa kecewa dengan tabah dan lapang dada

ِ ‫َّات جَت ِري ِمن حَت تِه ا اأْل َْنه ار خالِ ِد‬
َ ِ‫ض وا َعْن هُ أ ُْولَئ‬
‫ك‬ ُ ‫ين ف َيه ا َر ِض َي اللَّهُ َعْن ُه ْم َو َر‬
َ َ َُ َْ ْ ٍ ‫َويُ ْد ِخلُ ُه ْم َجن‬
‫ب اللَّ ِه ُه ُم الْ ُم ْفلِ ُحو َن‬ ِ ِ
َ ‫ب اللَّه أَاَل إِ َّن حْز‬
ِ
ُ ‫ح ْز‬

“Dan mereka dimasuk ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-

sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka

pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) -Nya. Mereka itulah golongan

Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan

yang beruntung.” (QS. al-Mujadilah, 58: 22). Dalam Hadits disebutkan:

‫مَسَائِ ْي‬ ‫ت‬ ِ
َ ْ‫حَت‬ ‫ َف ْليَ ْخُر ْج‬ ‫بِبَالَئ ْي‬  ْ ‫صرِب‬
ِ ِ ِ ‫بَِق‬ ‫يرضى‬  ‫مَل‬ ‫من‬
ْ َ‫ي‬ ْ‫بِن ْع َمائ ْي َومَل‬ ‫يَ ْش ُك ْر‬ ْ‫ َومَل‬ ‫ضائ ْي‬َ َ َْ ْ ْ َ
‫ ِس َوائِ ْي‬ ‫ َربًّا‬ ‫ب‬
ْ ُ‫َولْيَطْل‬
“Allah berfirman kepada rasul Saw: Barangsiapa yang tidak ridha atas segala

hukum perintah, larangan, janji qadha dan qadar-Ku, dan tidak bersyukur

atas segala nikmat-nikmat-Ku, serta tidak sabar atas segala cobaan-Ku, maka

keluarlah dari bawah langit-Ku yang selama ini engkau jadikan sebagai

atapmu, dan carilah Tuhan lain selain diri-Ku”. (HQR. al-Dailami).

Adapun perilaku-perilaku yang dikategorikan kepada akhlak buruk atau

tercela (akhla al-madzmumah), antara lain:

83
1) Marah, meskipun marah merupakan sikaf alami seseorang, hal ini

berlawanan dengan kemurahan hati, simpati , dan kebaikan. Pada keadaan

marah seseorang kehilangan kebijaksanaan dan tidak memikirkan akibat dari

tindakan-tindakannya. Seseorang, dalam kondisi  yang  demikian, tidak

mengetahui apa yang dilakukan atau dikatakannya dan tidak dapat

membedakan yang baik dan buruk. Denagn kata lain, perkataan dan tindakan

seseorang di luar batas-batas normal dalam keadaan marah dan dia menjadi

beringas dan kasar. Wajahnya merah, tangan, kaki, dan tubuhnya bergetar,

perkataan dan tindakan seseorang tanpa didasari oleh perasaan. Marah yang

menetap menimbulkan rasa dendam dan kebencian. Allah yang maha kuasa

telah memerintahkan kita untuk menahan amarah. Alquran menyebutkan:

‫ني‬ِِ ُّ ِ‫َّاس َواللّهُ حُي‬


ِ ‫ني َع ِن الن‬ِ ِِ َّ ‫ين يُ ِنف ُقو َن يِف‬ ِ َّ
َ ‫ب الْ ُم ْحسن‬ َ ‫ظ َوالْ َعاف‬
َ ‫ني الْغَْي‬
َ ‫السَّراء َوالضََّّراء َوالْ َكاظم‬ َ ‫الذ‬
“... (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang

maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan

(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

(QS. Ali Imran, 3: 134).  Abu Hurairah Ra meriwayatkan bahwa seseorang

meminta nabi untuk memberikan nasihat tentang budi pekerti. Nabi Saw

bersabdah: “Jangan marah”. Laki-laki itu  mengulang pertanyaan beberapa

kali dan setiap kali itu pula Nabi bersabda: “Jangan marah”. (H.R Bukhari).

2) Sombong. Sombong adalah salah satu sifat yang sangat dibenci oleh Allah

Swt. Sombong adalah perasaan menganggap diri lebih (lebih baik, lebih

84
istimewa, lebih cerdas, lebih kaya, lebih tampan, lebih cantik, dan

sebagainya) atas orang lain, dan memandang orang lain lebih rendah dan

lebih hina. Sikap seperti ini sangat dibenci, baik oleh Allah ataupun oleh

sesama:

ُّ ِ‫ض َم َرحاً إِ َّن اهللَ الَ حُي‬


 ‫ب ُك َّل خُمْتَ ٍال فَ ُج ْو ٍر‬ ِ ‫ش يِف الأل َْر‬ ِ ‫َّك لِلن‬
ِ ْ‫َّاس َوالَ مَت‬ َ ‫ص ِّع ْر َخد‬
َ ُ‫َوالَ ت‬
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena

sombong)  dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi

membanggakan diri.” (QS. Luqman, :18)

‫ين‬ ِ ‫رِب‬ ُّ ِ‫إِنَّهُ اَل حُي‬


َ ‫ب الْ ُم ْستَ ْك‬
Sesungguhnya Dia Allah tidak menyukai orang-orang yang menyombong-

kan diri.”  (QS. al-Nahl, 16: 23)

3) Buruk sangka (su-u al-zhan). Buruk sangka kepada orang lain atau yang

dalam bahasa Arabnya disebut su`u zhan termasuk kepada akhlak yang

buruk atau tercela. Sebagai contoh, mencurigai seseorang telah mencuri atau

membocorkan rahasia padahal dalm kenyataan tidak demikian. Mencurigai

seseorang merupakan suatu kekeliruan.  Itulah sebabnya mencurigai maksud

orang tanpa mengetahui dengan yakin atau menyelidiki terlebih dahulu sama

dengan menganggap seseorang yang tidak bersalah, berbuat salah. Prihal ini

dalam Alquran dan Hadits disebutkan:

‫يم مِب َا َي ْف َعلُو َن‬ ِ ِ ِ ِ


ٌ َ‫َو َما َيتَّب ُع أَ ْكَثُر ُه ْم إالَّ ظَنّاً إَ َّن الظَّ َّن الَ يُ ْغيِن م َن احْلَ ِّق َشْيئاً إ َّن اللّهَ َعل‬
85
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.

Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai

kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka

kerjakan” (QS. Yunus, 10: 36).

ِ ِ ِ ‫ايا أ َُّيها الَّ ِذين آمنُوا‬


ٌ‫ض الظَّ ِّن إِمْث‬
َ ‫اجتَنبُوا َكث ًريا م َن الظَّ ِّن إِ َّن َب ْع‬
ْ َ َ َ َ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah dari banyak berprasangka;

Sesungguhnya sebahagian dari sangkaan itu adalah dosa.” (QS. al-Hujurat,

49: 12). Hadits Nabi Saw:

‫ب احْلَ ِديث‬ ِ
ُ ‫إِيَّا ُك ْم َوالظَّ َّن فَا َّن الظَّ َّن اَ ْك َذ‬
“Dari Abu Hurairah ia berkata telah bersabda Rasululloh.” Jauhkanlah diri

kamu daripada sangka (jahat) karena sangka (jahat) itu sedusta-dusta

omongan,(hati)”. (HR. Muttafaq Alaih)

4) Dendam adalah suatu perilaku yang ingin membalas keburukan orang lain,

perilaku tersebut terjadi karena sakit hati dan rasa benci pada orang tersebut.

Orang yang pendendam selalu mencari kesempatan untuk membalas sakit

hatinya. Atau secara bahasa, dendam adalah perasaan jengkel yang

menimbulkan keinginan keras untuk membalas perbuatan dengan suatu

kejahatan. Orang yang ingin melakukan pembalasan disebut dengan

pendendam. Sifat dendam timbul karena marah, dihina, dan dicaci secara

berlebihan, atau diremehkan secara berlebihan. Perilaku dendam akan

menimbulkan pertikaian  dan permusuhan yang berkepanjangan. Allah Swt

86
dan Rasul-Nya Saw sangat membenci orang-orang yang berperilaku

dendam. Allah Swt menganjurkan untuk saling memaafkan dalam bergaul

sesama. Firman Allah:

ِ َّ ‫الس ماوات واألَرض أ ُِع دَّت لِْلمت َِّق‬ ٍ ِ


‫ين‬
َ ‫ني الذ‬َ ُ ْ ُ ْ َ ُ َ َ َّ ‫ض َها‬ ُ ‫َو َس ا ِرعُواْ إِىَل َم ْغف َر ٍة ِّمن َّربِّ ُك ْم َو َجنَّة َع ْر‬
‫ني‬ِِ ُّ ِ‫َّاس َواللّهُ حُي‬
ِ ‫ني َع ِن الن‬ِ ِِ َّ ‫يُ ِنف ُقو َن يِف‬
َ ‫ب الْ ُم ْحسن‬ َ ‫ظ َوالْ َعاف‬
َ ‫ني الْغَْي‬
َ ‫السَّراء َوالضََّّراء َوالْ َكاظم‬

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga

yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan  untuk orang-orang

yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di

waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya

dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang

berbuat kebajikan”. (QS. Ali Imran, 3: 133-134). Hadits nabi Saw:

 ‫ص ِام‬ ِ ِ
َ ‫الر ُج ِل إِىَل اهلل أَلَ ُّد اخْل‬
َّ ‫ض‬ُ َ‫أ َْبغ‬
“Orang yang paling dibenci Allah ialah orang yang menaruh dendam

kesumat” (HR. Bukhari dan Muslim)

Masih banyak contoh perilaku atau akhlak buruk yang sering kita temukan

dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat, baik di tengah masyarakat

muslim ataupun di tengah masyarakat non muslim. Seperti berikut ini adalah

kumpulan Hadist tentang akhlak buruk atau tercela yang penulis kutif dari

(https://muslimbuzzers.blogspot.com › Opini)

1) Berhati-hatilah terhadap buruk sangka. Sesungguhnya buruk sangka adalah

ucapan yang paling bodoh. (HR. Bukhari).

87
2) Makar, tipu muslihat dan pengkhianatan rnenyeret pelakunya ke neraka.

(HR. Abu Dawud)

3) Orang yang paling dibenci Allah ialah yang bermusuh-musuhan dengan

keji dan kejam. (HR. Bukhari)

4) Sesungguhnya Allah membenci orang yang keji, yang berkata kotor dan

membenci orang yang meminta-minta dengan memaksa. (HR. Al-Thahawi)

5) Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang banyak bicara,

menghambur-hamburkan harta dan terlalu banyak bertanya. (HR. Bukhari)

6) Barangsiapa mengintai-ngintai (menyelidiki) keburukan saudaranya

semuslim maka Allah akan mengintai-intai keburukannya. Barangsiapa

diintai keburukannya oleh Allah maka Allah akan mengungkitnya

(membongkarnya) walaupun dia melakukan itu di dalam (tengah-tengah)

rumahnya. (HR. Ahmad)

7) Di antara tanda-tanda kesengsaraan adalah mata yang beku, hati yang

kejam, dan terlalu memburu kesenangan dunia serta orang yang terus-

menerus melakukan perbuatan dosa. (HR. Al Hakim)

8) Sesungguhnya Allah membenci orang yang selalu berwajah muram di

hadapan kawan-kawannya. (HR. Ad-Dailami)

9) Sesungguhnya orang yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah ialah

yang dijauhi manusia karena ditakuti kejahatannya. (Mutafaq'alaih)

10) Dua sifat tidak akan bertemu dalam diri seorang mukmin yaitu kikir

(bakhil) dan akhlak yang buruk. (HR. Ahmad)

88
11) Alangkah baiknya orang-orang yang sibuk meneliti aib diri mereka sendiri

dengan tidak mengurusi (membicarakan) aib-aib orang lain. (HR. Ad-

Dailami)

12) Sesungguhnya Allah membenci orang yang berhati kasar (kejam dan

keras), sombong, angkuh, bersuara keras di pasar-pasar (tempat umum)

pada malam hari serupa bangkai dan pada siang hari serupa keledai,

mengetahui urusan-urusan dunia tetapi jahil (bodoh dan tidak mengetahui)

urusan akhirat. (HR. Ahmad)

13) Kelak akan menimpa umatku penyakit umat-umat terdahulu yaitu penyakit

sombong, kufur nikmat dan lupa daratan dalam memperoleh kenikmatan.

Mereka berlomba mengumpulkan harta dan bermegah-megahan dengan

harta. Mereka terjerumus dalam jurang kesenangan dunia, saling

bermusuhan dan saling iri, dengki, dan dendam sehingga mereka

melakukan kezaliman (melampaui batas). (HR. Al Hakim)

Itulah beberapa kriteria atau sifat yang termasuk kepada akhlak baik dan

buruk yang berdasarkan kepada ajaran Islam. Ajaran Islam adalah ajaran yang

bersumberkan wahyu Allah Swt, yakni Alquran yang dalam penjabarannya

dilakukan oleh Hadist Nabi Muhammad Saw. Masalah akhlak sangat mendapatkan

perhatian yang begitu besar, baik dalam Alquran ataupun dalam Hadits,

sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu.

Menurut ajaran Islam penentuan akhlak baik dan buruk harus didasarkan

pada petunjuk Alquran dan al-Hadist. Jika kita perhatikan Alquran maupun Hadits

89
dapat dijumpai berbagai istilah yang mengacu kepada baik, dan adapula istilah

yang mengacu kepada yang buruk. Diantara istilah yang mengacu kepada yang

baik misalnya al-hasanah, thayyibah, khairah, karimah, mahmudah,

azizah, dan al-birr.

Al-Hasanah  sebagaimana dikemukakan oleh Al-Raghib al-Asfahani adalah

suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang disukai atau

dipandang baik. Al-hasanah  selanjutnya dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama

hasanah dari segi akal, kedua dari segi hawa nafsu atau keinginan dan hasanah dari

segi pancaindera. Lawan dari al-hasanah adalah al-sayyiah. Yang termasuk al-

hasanah misalnya keuntungan, kelapangan rezeki, dan kemenangan. Sedangkan

yang termasuk al-sayyiah misalnya kesempitan, kelaparan, dan keterbelakangan.

Namun dalam terminologi akhlak, baik hasanah ataupun sayyiah diartikan sebagai

akhlak yang baik dan akhlak yang buruk.

Untuk lebih jelasnya tentang ruang lingkup kajian Islam beserta hal-hal

yang berhubungan dengan runga lingkup kajian Islam tersebut dapat dilihat dalam

skema berikut ini:

90
SKEMA GLOBAL AJARAN ISLAM

(Ada di file nomor 15)

91

Anda mungkin juga menyukai