Anda di halaman 1dari 3

Jejak Keparat Unit 731

DI Kota Kawasaki, sebelah selatan Tokyo, terselip di antara gedung-gedung Universitas Meiji kampus
Ikuta, terdapat satu bangunan kecil yang pernah berperan penting pada masa Perang Dunia II.
Dikenal dengan nama Laboratorium Noborito, gedung ini dulu dikelola oleh Lembaga Riset
Pencegahan Epidemi Tentara Kekaisaran Jepang. Kantor pusat lembaga ini dulunya terletak di
sebelah selatan kampus Universitas Waseda di Shinjuku.

Noborito merupakan salah satu laboratorium penelitian yang dimiliki oleh Tentara Kekaisaran
Jepang dan berfungsi sebagai lembaga penelitian yang terfokus pada riset dan pengembangan
senjata biologi dan kimia. Karena sifatnya yang sangat rahasia, tidak banyak informasi yang keluar
tentang kegiatan yang dilakukan di lembaga penelitian yang terpencil di atas bukit ini.

Namun, setelah Universitas Meiji membeli kawasan ini dan membangun kampus fakultas pertanian
di sana, secara perlahan informasi dan data tentang laboratorium penelitian militer ini terkuak. Saat
ini, Universitas Meiji menjadikan salah satu bekas bangunan laboratorium itu sebagai museum yang
menyimpan data penting tentang kegiatan Tentara Kekaisaran Jepang dalam Perang Dunia II yang
belum banyak terungkap.

Tempo berkesempatan mengunjungi museum itu pada Mei lalu, dan menyaksikan beberapa koleksi
museum yang berkaitan dengan aktivitas laboratorium. Misalnya, diperagakan peralatan pemurnian
air yang pernah dipakai di Distrik Pingfang, Manchuria; juga informasi tentang percobaan balon
udara pembawa kuman yang dikirim ke Amerika Serikat; pameran bermacam peralatan spionase
yang mengandung racun; serta beragam eksperimen yang memanfaatkan bisa ular.

“Museum ini dibuka untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat bahwa, pada masa perang,
Jepang pernah terlibat penelitian senjata biologi dan kimia. Diharapkan kegiatan itu tidak lagi jadi
rahasia dan publik bisa mempelajarinya,” ujar perempuan muda petugas Museum Noborito di
bagian informasi.

Laboratorium Noborito bukan satu-satunya tempat uji coba senjata biologi dan kimia milik tentara
kekaisaran. Pada 1980, seorang sejawaran bernama Seiichi Morimura menulis novel berjudul The
Devil’s Gluttony berdasarkan kesaksian yang ia dapat tentang riset senjata biologi Jepang pada masa
Perang Dunia II. Buku tersebut mengungkap kegiatan Unit 731, salah satu fasilitas penelitian
terbesar yang dikelola oleh Tentara Kekaisaran Jepang.

Dalam novel itu Morimura menggambarkan kemampuan militer Jepang dalam riset dan percobaan
senjata biologi dan kimia yang setara dengan apa yang dilakukan oleh rezim Nazi Jerman dan militer
Uni Soviet. Buku itu kemudian menjadi perdebatan karena Morimura mengungkapkan informasi
mengejutkan bahwa Unit 731 melakukan percobaan langsung kepada manusia dan hewan untuk
menguji prototipe senjata biologi.

Unit 731 (Nana-San-Ichi Butai) awalnya bernama Boueki Kyuusuibu (Unit Pencegahan Epidemi dan
Pemurnian Air). Unit ini dipimpin oleh Shiro Ishii, dokter militer Jepang yang sangat ambisius.
Awalnya unit ini ada di Tokyo sebagai bagian dari Lembaga Riset Pencegahan Epidemi Tentara
Kekaisaran Jepang. Baru pada 1932, setelah Jepang menduduki Manchuria, Boueki Kyuusuibu
dipindah ke Manchuria. Pusat kegiatan Unit 731 terletak di daerah pedalaman Manchuria.
Selain di Cina, Unit 731 mendirikan stasiun penelitian di Singapura dan kemungkinan di Thailand dan
Indonesia. Meskipun secara resmi dikatakan tugas utama Unit 731 ini adalah untuk mengelola
kebutuhan air bersih dan kesehatan anggota militer Jepang di wilayah pendudukan, di kawasan
seluas 144 hektare itu ternyata Shiro Ishii dan Unit 731 melakukan pengembangan dan uji coba
senjata biologi dan kimia.

Sejarawan Amerika, Sheldon Harris, mengungkapkan hal yang lebih menyeramkan yang
diperolehnya dari kesaksian Jenderal Otozoo Yamada, Letnan Jenderal Ryuji Kajitsuka, dan Letnan
Jenderal Takaatsu Takashi, yang ada di antara arsip tahanan perang Uni Soviet. Dari kesaksian itu
diperoleh pengakuan bahwa ilmuwan di Unit 731 melakukan percobaan terhadap manusia dan
hewan secara langsung dan secara tak langsung melalui air atau tanaman yang sengaja mereka
racuni.

Shiro Ishii adalah tokoh kunci di belakang Unit 731. Ishii lulus sekolah kedokteran Universitas
Kekaisaran Kyoto pada 1920. Setelah lulus, ia langsung bergabung dengan Tentara Kekaisaran
Jepang. Didukung oleh kepandaiannya melayani atasan, karier militer Ishii langsung naik. Pada 1924
ia dikirim kembali ke almamaternya untuk mengambil spesialisasi bakteriologi, serologi, patologi,
dan pencegahan penyakit. Gelar doktor bidang mikrobiologi diraihnya pada akhir 1926 atau awal
1927.

Meskipun awalnya militer tidak tertarik pada usulan Ishii tentang pengembangan senjata biologi,
setelah lulus, Ishii meneruskan minatnya dalam riset senjata biologi. Pada 1928 ia mengunjungi
Eropa, Amerika, dan Asia Tenggara untuk memperdalam pengetahuan tentang perang biologi dan
kimia. Setelah dua tahun berkeliling ke beberapa negara, Ishii kembali ke Jepang dan langsung
menemukan perubahan sikap militer Jepang yang mulai menganggap penting senjata biologi.
Dengan dukungan pejabat tinggi militer, Ishii mendirikan Laboratorium Riset Pencegahan Epidemi.

Di laboratorium tersebut Ishii ingin mengembangkan dua jenis senjata biologi, yaitu Tipe A (fungsi
penyerangan) dan Tipe B (fungsi pertahanan). Namun ia tak bisa menguji coba lapangan karena
orang Jepang sendiri bisa terkena dampak langsung percobaan itu. Saat Jepang berhasil menduduki
Manchuria, Ishii melihat kesempatan yang terbuka lebar untuk menguji hasil laboratorium di
lapangan. Secepatnya ia minta ditugaskan ke Manchuria serta mendirikan stasiun yang dinamakan
Pabrik Beiyinhe.

Di Beiyinhe, Ishii mulai menguji bakteri kolera yang dijadikan senjata biologi. Dukungan politik dan
dana yang besar memungkinkan Ishii memperluas cakupan risetnya dengan mendirikan kompleks
laboratorium yang lebih besar di Distrik Pingfang, Manchuria. Setelah pembangunan fasilitas
laboratorium di Pingfang selesai pada 1939, seluruh aktivitas Unit 731 dipusatkan di tempat ini.

Berdasarkan kesaksian mantan pekerja dan peneliti di Unit 731 yang menjadi dasar penyelidikan
Sheldon Harris dan sejarawan Hal Gould, terungkap bahwa Ishii dan peneliti di Unit 731 melakukan
percobaan terhadap manusia. Percobaan itu diberi kode maruta (balok kayu), yang menguji
teknologi pengantar yang paling efektif untuk menyebarkan kuman antraks, tifus, paratifus, disentri,
dan kolera dalam skala yang sangat luas. Unit 731 juga melakukan percobaan untuk menguji
beragam reaksi tubuh manusia dan hewan apabila terpapar pada virus dan bakteri yang mematikan.

Untuk melakukan percobaan itu, Unit 731 membangun fasilitas pengembangbiakan bakteri yang
sangat besar dan fasilitas pembuatan prototipe bom bakteri. Manusia yang dijadikan sarana
percobaan ini diambil dari tawanan perang, orang Cina yang dituduh sebagai penjahat dan mata-
mata. Ishii berhasil meyakinkan petinggi militer bahwa percobaan terhadap manusia dan hewan ini
penting dan harus dilakukan untuk mempersiapkan dan memperkuat daya tahan tentara Jepang.

Militer Jepang bukan satu-satunya yang melakukan percobaan senjata biologi dan kimia pada masa
Perang Dunia II. Jerman, Inggris, Amerika, dan Uni Soviet juga memanfaatkan bakteri, kuman, virus,
dan cairan kimia untuk membuat prototipe senjata. Namun kegiatan Unit 731 menjadi persoalan
berbeda karena pada 1933 Jepang menarik diri dari keanggotaan Liga Bangsa-Bangsa, sehingga
segala bentuk riset dan percobaan yang dilakukan Shiro Ishii dan Unit 731 tidak lagi tunduk kepada
Protokol Jenewa.

Dalam situasi bebas semacam ini, penelitian dan percobaan yang dilakukan oleh Unit 731 di
Manchuria maupun oleh cabang Unit 731 di Asia Tenggara dalam bidang biokimia dan medis
langsung dimanfaatkan oleh Tentara Kekaisaran Jepang untuk mendukung aktivitas mereka di
daerah pendudukan. Tragedi serum tetanus di Klender dan Surabaya patut diduga terkait dengan
program sains dan teknologi yang dikelola oleh Lembaga Penelitian Tentara Kekaisaran Jepang.
Untuk membuktikan atau menyangkal dugaan itu, pengungkapan sumber sejarah yang dapat
dipercayai sangat diperlukan.

Anda mungkin juga menyukai