Anda di halaman 1dari 9

TUGAS ETIKOMEDIKOLEGAL 5 DESEEMBER 2022

UNIT 731 DARI ASPEK ETIKOMEDIKOLEGAL

Dr. Ika pratiwi lestari


C1152210006
Ilmu Kulit dan Kelamin

Pembimbing
Prof. Dr. dr. Gatot S. Lawrance, M.Sc, Sp.PA (

UNIVERSITAS HASNUDDIN
MAKASSAR
2022
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Unit Setelah Jepang menduduki Manchuria pada tahun 1931, Ishii Shiro menciptakan
Unit 731 dan mulai menguji senjata biologi pada subjek tes manusia yang tidak mau. Sejarah
eksperimen manusia Kekaisaran Jepang adalah satu di mana Ishii dan Unit 731 adalah aktor
utama, namun Unit 731 beroperasi dalam konteks yang jauh lebih besar. Unit 731 adalah nama
umum unit rahasia Tentara Kwantung yang berbasis di Manchuria Jepang yang nama resminya
adalah Departemen Pencegahan Wabah dan Penyediaan Air. Pemimpin unit tersebut adalah Ishii
Shiro merupakan seorang doktor Mikrobiologi yang memperdalam senjata Biologi dan Kimia
(Biological and Chemical Warfare), dr. Ishii Shiro memegang pangkat letnan jenderal pada akhir
Perang Dunia II. Unit 731 tersebut melambangkan organisasi ekstensif untuk pengembangan
senjata biologis di dalam tentara kekaisaran, dimulai pada akhir 1930-an, sebagai Jaringan Ishii.
(Gregory, 2015), (Keiichi T, 2005), (Vanderbrook A, 2013).
Unit 731 Jepang tetap menjadi pusat kontroversi China-Jepang yang diperebutkan dengan
ketat mengenai kejahatan perang dan ingatan perang, dan perdebatan internasional tentang sains
dan etika. Dengan staf lebih dari 10.000, termasuk banyak ilmuwan medis terkemuka di Jepang,
731 dan unit afiliasinya melakukan eksperimen manusia, termasuk pembedahan, pada korban
China dan korban lainnya di Manchukuo dan seluruh China antara tahun 1933 dan 1945.
Percobaan yang diuji, antara lain , lethality senjata biologis dan berusaha untuk menentukan
kemampuan tubuh manusia untuk bertahan hidup menghadapi berbagai patogen dan dalam
kondisi seperti sangat dingin (Keiichi T, 2005).
Unit yang dimpimpin oleh seorang dokter dari tentara kekaisaran Jepang, Jendral Shiro
Ishii, ini melakukan eksperimen terhadap manusia dan juga senjata biologis kepada sekitar
3.000-250.000 tawanan perang, baik wanita, pria bahkan anak-anak kebanyakan berkebangsaan
Cina, Korea, dan Mongolia. Unit ini melakukan berbagai hal-hal yang keji terhadap tawanan-
tawanan perang tersebut, antara lain melakukan pembedahan secara hidup-hidup tanpa anestesi
untuk mengambil salah satu organ tubuh dari para tawanan dan meneliti efek penyakit dari tubuh
manusia. Wanita hamilpun tidak jarang dijadikan korban, biasanya janin mereka diambil untuk
diteliti. Selain melakukan pembedahan hidup-hidup, mereka juga mempelajari berbagai penyakit,
contohnya bubonic plague (wabah pes), antrax, sipilis atau penyakit menular seksual, dan
berbagai racun, seperti racun yang terdapat pada ikan fugu. Paratawanan juga dijadikan
eksperimen terhadap senjata yang baru dikembangkan oleh militer seperti granat, penyembur api,
atau bahkan bahan peledak (Karim SN, 2017).
Tujuan dari unit 731 ini adalah untuk mengadakan penelitian dan pengembangan
tehnologi senjata Biologi dan Kimia, Subjek utama penelitian dari unit 731 adalah manusia yaitu
tawanan perang dan penduduk sipil selama perang Dunia II. Mengeksploitasi manusia yang lebih
luas dalam sistem rasis, yang menormalkan kekejaman manusia. Sikap rasisme dan superioritas
tampak dengan tidak serta merta menjelaskan setiap tindakan yang diambil oleh personil militer
dan ilmuwan Jepang, tanpa adanya perlindungan HAM terhadap objek manusia, dan mereka
yang didaftarkan dalam objek penelitian ini tidak diberikan informasi mengenai hasil diagnosa
terhadap mereka, dan termasuk persetujuan untuk dijadikan bahan penelitian. (Keiichi T, 2005),
(Karim SN, 2017).
Kode etik penelitian kedokteran, yang diberi nama Nuremberg Code, pada awalnya
dibentuk sebagai akibat dari berbagai percobaan tidak Berprikemanusiaan oleh para dokter NAZI
terhadap para tahanan Perang Dunia II. Salah satu yang penting dalam kode tersebut adalah
keharusan adanya persetujuan informed consent dari orang sebagai subyek penelitian. Pada tahun
1964, World Medical Association dalam sidangnya yang ke 18 telah mengeluarkan peraturan-
peraturan yang dituangkan ke dalam Deklarasi Helsinki I. Baik dalam Neurenberg Code maupun
dalam Deklarasi Helsinki I, para peneliti dihimbau untuk memperhatikan dan mematuhi
peraturan-peraturan penelitian yang disetujui bersama. Peneliti harus dapat membuat keputusan
sendiri apakah penelitiannya menyimpang atau tidak dari norma etik yang telah digariskan.
Karena tidak ada pengawasan maka banyak penelitian yang dirasakan masih menyimpang dari
norma-norma kode etik. Untuk menghindari hal tersebut di atas maka pada tahun 1975 dalam
World Health Assembly ke 20 di Tokyo telah dibuat Deklarasi Helsinki II sebagai hasil revisi
dari Deklarasi Helsinki I. Perubahan yang penting adalah adanya peraturan yang mengharuskan
semua protokol penelitian yang menyangkut manusia, harus ditinjau dahulu oleh suatu Komisi
khusus untuk dipertimbangkan, diberi komentar dan mendapatkan pengarahan (consideration,
comments and guidance). Selain itu pada protokol juga harus dicantumkan adanya pertimbangan
etik. Deklarasi tersebut telah disempurnakan kembali oleh World Medical Assembly, tahun 1983
di Venesia, tahun 1985 di Hongkong dan di Edinburg, Scotland tahun 2000. (Yurisa W, 2008)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah
Unit 731 ini didirikan dan dipimpin oleh Letnan Jenderal Dr. Ishii Shiro, seorang doktor
mikrobiologi yang memperdalam senjata Biologi dan Kimia. Ishii Shiro ini dapat disamakan
juga dengan Dr. Josef Mengele dari Nazi Jerman.. Josef Mengele ini (dijulukin Angel of Death)
adalah dokter Nazi Jerman dari satuan unit elit militer SS yang melakukan eksperimen medis
dengan kejam terhadap para tahanan hidup-hidup di kamp konsentrasi Auschwitz pada waktu
perang dunia ke II. (Gregory, 2015), (Keiichi T, 2005).

B. Tujuan
Tujuan dari unit 731 ini adalah untuk mengadakan penelitian dan pengembangan
tehnologi senjata Biologi dan Kimia, Subjek utama penelitian dari unit 731 adalah manusia yaitu
tawanan perang dan penduduk sipil selama perang Dunia II. Mengeksploitasi manusia yang lebih
luas dalam sistem rasis, yang menormalkan kekejaman manusia. Sikap rasisme dan superioritas
tampak dengan tidak serta merta menjelaskan setiap tindakan yang diambil oleh personil militer
dan ilmuwan Jepang, tanpa adanya perlindungan HAM terhadap objek manusia, dan mereka
yang didaftarkan dalam objek penelitian ini tidak diberikan informasi mengenai hasil diagnosa
terhadap mereka, dan termasuk persetujuan untuk dijadikan bahan penelitian (Keiichi T, 2005).
Beberapa kekejaman eksperimen medis dan percobaan senjata biologi dan kimia pada
tahanan dapat dilihat sebagai berikut : (Keiichi T, 2005).
a. Eksperimen senjata biologi:
 Melakukan eksperimen pembuatan senjata biologi dengan menginfeksi tawanan perang
dengan pes, antraks, kolera, wabah demam berdarah, radang dingin (frostbite), dan bahkan
penyakit menular seksual. Walaupun sulit untuk mengetahui jumlah korban yang
meninggal, diperkirakan sekitar 10.000 tawanan meninggal dunia akibat eksperimen yang
dilakukan Jepang ini. Para dokter yang bertugas di Unit 731 melakukan perbanyakan
bakteri atau virus patogen pada organ tubuh manusia kemudian menyebarkannya ke warga
desa sekitar ketika telah didapatkan jumlah patogen yang mencukupi. Organ tubuh tersebut
didapatkan dari hasil pembedahan tubuh tawanan. Berbagaipembedahanbagian tubuh
dilakukan untuk melihat efek dari suatusenjata biologi. Namun, pembedahan dan
eksperimen yang dilakukan Jepang berlangsung dengan sadis, tanpa anestesi dan dilakukan
dengan kondisi korban masih hidup (vivisection). Eksperimen medis sadis lainnya
diantaranya adalah transfusi darah binatang ke manusia, pemecahan bola mata,
pemotongan anggota tubuh dan menyambungkannya kembali ke sisi yang berlawanan,
hingga percobaan pada bayi dan anak kecil yang menyebabkan kematian (Gregory, 2015),
(Keiichi T, 2005), (Vanderbrook A, 2013).
 Untuk melihat efek dari penyakit yang tidak dirawat, Jepang menginfeksi pria dan wanita
dengan sifilis, Tahanan disuntik dengan inokulasi penyakit (agar tidak mencurigakan,
mereka menyamarkan program ini dengan program vaksinasi) untuk mempelajari efek
mereka. Dan untuk mempelajari efek penyakit kelamin yang tidak ada obat, tahanan laki-
laki dan perempuan sengaja diinfeksi dengan sifilis dan gonorea melalui pemerkosaan dan
dipelajari (Gregory, 2015), (Keiichi T, 2005), (Vanderbrook A, 2013).
 Untuk mempelajari efek pembusukan daging, tentara Jepang membekukan manusia
(tahanan) kemudian dicairkan kembali. Tahanan akan dimasukkan ke dalam ruangan
bertekanan tinggi hingga organ tubuhnya pecah, lalu tubuh korban dibekukan (frostbite)
untuk menguji ketahanan dan reaksi tubuh terhadap suhu rendah. Dan organ tubuh yang
sudah dibekukan, akan dicairkan lagi untuk mempelajari hasil patogen yang tidak diobati,
dan berbagai tindakan tidak manusiawi lainnya. Mayat-mayat korban yang telah diambil
organ dalamnya kemudian dibuang dan dibakar dengan krematorium (Gregory, 2015),
(Keiichi T, 2005), (Vanderbrook A, 2013).
 Radiasi X-Ray, beberapa tahanan diberikan radiasi X-Ray pada hatinya yang berdosis
tinggi dan mematikan. Udara diinjeksikan ke dalam pembuluh darah untuk membuat
simulasi serangan jantung (stroke) (Gregory, 2015), (Keiichi T, 2005), (Vanderbrook A,
2013).
b. Selain digunakan untuk uji senjata biologi, para tawanan juga dimanfaatkan untuk uji senjata.
Para tawanan diikat pada jarak tertentu, diposisikan dengan sudut berbeda kemudian dilempar
dengangranat, penyembur api, maupun bahan peledak. Hal ini dilakukan untuk mengukur
posisi dan kisaran terbaik untuk pelepasan senjata tersebut (Gregory, 2015), (Keiichi T,
2005).

C. Analisa Bioetik
Etika berasal dari bahasan Yunani ethos. Istilah etika bila ditinjau dari aspek etimologis
memiliki makna kebiasaan dan peraturan perilaku yang berlaku dalam masyarakat. Menurut
pandangan Sastrapratedja (2004), etika dalam konteks filsafat merupakan refleksi filsafati atas
moralitas masyarakat sehingga etika disebut pula sebagai filsafat moral. Etika membantu
manusia untuk melihat secara kritis moralitas yang dihayati masyarakat, etika juga membantu
kita untuk merumuskan pedoman etis yang lebih adekuat dan norma-norma baru yang
dibutuhkan karena adanya perubahan yang dinamis dalam tata kehidupan masyarakat (Yurisa,
2008), (CIOMS, 1993).
Sedangkan etika dalam ranah penelitian lebih menunjuk pada prinsip- prinsip etis yang
diterapkan dalam kegiatan penelitian. Etik penelitian kedokteran mulai menjadi perhatian karena
mulai menimbulkan masalah antara lain akibat adanya pelanggaran hak asasi individu atau
subyek manusia dan kesadaran masyarakat yang semakin meningkat. Contoh yang dapat dilihat
adalah eksperimen di unit 731 pada perang dunia II, dimana tentara Jepang melakukan
eksperimen medis yang kejam terhadap tahanan cina. Peneliti dalam melaksanakan seluruh
kegiatan penelitian harus memegang teguh sikap ilmiah (scientific attitude) serta menggunakan
prinsip-prinsip etika penelitian. Meskipun intervensi yang dilakukan dalam penelitian tidak
memiliki risiko yang dapat merugikan atau membahayakan subyek penelitian, namun peneliti
perlu mempertimbangkan aspek sosioetika dan menjunjung tinggi harkat dan martabat
kemanusiaan (Yurisa, 2008), (CIOMS, 1993).
Pada dasarnya seluruh penelitian/riset yang menggunakan manusia sebagai subyek
penelitian harus mendapatkan Ethical Clearance, baik penelitian yang melakukan pengambilan
spesimen, ataupun yang tidak melakukan pengambilan spesimen. Penelitian/riset yang dimaksud
adalah penelitian biomedik yang mencakup riset pada farmasetik, alat kesehatan, radiasi dan
pemotretan, prosedur bedah, rekam medis, sampel biologik, serta penelitian epidemiologik,
sosial dan psikososial (Yurisa, 2008).
Di Indonesia standar etik penelitian kesehatan yang melibatkan manusia sebagai subyek
didasarkan pada azas perikemanusiaan yang merupakan salah satu dasar falsafah bangsa
Indonesia, Pancasila. Hal tersebut kemudian diatur dalam UU Kesehatan no 23/ 1992 dan lebih
lanjut diatur dalam PP no 39/ 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Dalam Bab
IV diuraikan tentang perlindungan dan hak-hak manusia sebagai subyek penelitian dan sanksi
bila penyelenggaraan penelitian melanggar ketentuan dalam PP tersebut (Yurisa, 2008),
(CIOMS, 1993).
Dengan demikian semua penelitian yang menyangkut manusia harus didasari oleh moral
dan etika Pancasila, disamping pedoman etik penelitian yang telah disetujui secara internasional.
Adalah menjadi kewajiban kita semua bahwa penelitian yang dilakukan dapat
Dipertanggungjawabkan dari segi ilmiah, moral dan etika yang berdasarkan Ketuhanan DAN
perikemanusiaan (Yurisa, 2008), (CIOMS, 1993).
Terdapat dua pernyataan yang merupakan kunci utama suatu penelitian yang
menggunakan manusia sebagai subyek :
1. Kepentingan individu subyek harus diberi prioritas dibandingkan komunitas
2. Setiap subyek dalam penelitian klinis harus mendapatkan pengobatan terbaik yang ada.
Pedoman etik pada penelitian epidemologi diterbitkan oleh Council of International
Organization of Medical Sciene (CIOMS) dengan bantuan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada
tahun 1991. Selanjutnya CIOMS dan WHO pada tahun 1993 menerbitkan pedoman etika dalam
penelitian biomedik yang kemudian dijadikan bagi banyak negara termasuk Indonesia (Yurisa,
2008), (CIOMS, 1993).
Bioetika kedokteran merupakan salah satu etika khusus dan etika sosial dalam kedokteran
yang memenuhi kaidah praksiologik (praktis) dan filsafat moral (normatif) yang berfungsi
sebagai pedoman (das sollen) maupun sikap kritis reflektif (das sein), yang bersumber pada 5
kaidah dasar moral (kaidah dasar bioetika-KDB) beserta kaidah turunannya. Kaidah dasar moral
bersama dengan teori etika dan sistematika etika yang memuat nilai-nilai dasar etika merupakan
landasan etika profesi luhur kedokteran. Dalam profesi kedokteran dikenal 4 prinsip moral
utama, yaitu: (Suryadi T, 2009).
1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination). Pada eksperimen yang dilakukan unit 731
subjek tidak memiliki hak untuk mengambil keputusan terhadap dirinya untuk dijadikan
penelitian (Suryadi T, 2009).
2. Prinsip beneficience, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke
kebaikan pasien. Pada Unit 731 menggunakan manusia sebagai objek percobaan dengan cara
menginfeksi subjek dengna kuman penyakit yang dapat menyebabkan kematian dan
mempelajarinya. Hal ini memberikan manfaat pengetahuan tetapi disisi lain memberikan
dampak kematian bagi subjek. Sehingga lebih besar kerugian yang dialami subjek
dibanadingkaan manfaat bagi ilmu pengetahuan (Suryadi T, 2009).
3. Prinsip non maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk
keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau “above all do no
harm”. Pada eksperimen unit 731 tidak mempertimbangkan dampak bagi objek yang diteliti.
Eksperimen ini menimbulkan resiko yang besar berupa kesakitan dan kematian bagi tawanan
yang dijadikan objek penelitian (Suryadi T, 2009).
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
mendistribusikan sumberdaya (distributive justice). Pada eksperimen di unit 731 tidak
memberikan keadilan bagi para tawanan. Para tawanan tidak diberi perlakuan sesuai standar
penelitian (Suryadi T, 2009).
5. Prinsip honest, yaitu prinsip etika bahwa seoraang dokter hendaknya berkata jujur kepada
pasiennya mengenai apa yang ingin dilakukan terhadap pasien. Pada unit 731 tidak
mengungkapkan hal yang sebenarnya mengenai subjek penelitian dan metode penelitian
(Suryadi T, 2009).
DAFTAR PUSTAKA

1. Gregory Dean Byrd. General Ishii Shiro: His Legacy is that of Genius and Madman. 2005.
2. Keiichi T. Unit 731 and The Japanese Imperial Army’s Biological Warfare Program. Japan:
The Asia Pasific Journal 2005;3;11
3. Vanderbrook A. Imperial Japan’s Human Experiments Before And During World War Two
[Thesis]. Florida: University of Central Florida; 2013
4. Suryadi T. Prinsip-prinsip etika dan hukum dalam profesi kedokteran. Banda Aceh: Jurnal
2009.
5. Yurisa W. Etika Penelitian Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Pekanbaru.
2008; 3-5
6. CIOMS, WHO. Pedoman Etik Internasional Untuk Penelitian Biomedis yang Melibatkan
Subyek Manusia. Geneva. 1993
7. Karim SN, dkk. Tinjauan Yuridis Terhadap Tawanan Perang yang dijadikan Eksperimen
Medis pada Perang Dunia Ke-II (Studi Kasus Unit 731). Semarang: Diponegoro Law Journal
2017;6;3

Anda mungkin juga menyukai