Anda di halaman 1dari 6

TUGAS

BIOETIK “UNIT
731”

dr. Jeanie Dewi Wangsa

C215211007
PPDS Ilmu Kesehatan Fisik dan Rehabilitasi

Dosen Pengajar
Dr. dr. Gatot S. Lawrence, M.Sc, Sp.PA(K), DFM,
Sp.F

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
UNIT 731

Unit 731 merupakan suatu unit rahasia untuk pengembangan senjata biologi yang dimiliki
Jepang pada tahun 1937-1945. Unit ini dipimpin oleh Jenderal Ishii Shiro dan berkantor pusat di
pinggiran kota Harbin dan bercabang ke Manchuria. Organisasi Jepang ini merupakan suatu
kompleks laboratorium besar yang terdiri dari 150 gedung dan 5 perkemahan satelit dengan
3.000 ilmuwan dan teknisi bekerja di dalamnya. Pada tahun 1932, Ishii Shiro mendirikan suatu
Laboratorium Pencegahan Epidemik di sekolah medis militer Tokyo dan Unit Togo di desa Bei-
inho, sebelah tenggara kota Harbin.
Unit 731 ini, disamarkan dengan nama unit perjernihan air , yang merupakan bagian dari
unit tentara Jepang di Manchuria atau disebut Kwantung Army diatas lahan seluas 32 km 2 yang
dilengkapi fasilitas seperti halnya kota kecil yang berdiri sendiri . Tujuan dari Unit 731 ini adalah
untuk mengadakan penelitian dan pengembangan teknologi senjata biologi dan kimia.
Laboratorium ini sempat ditutup pada tahun 1934 karena 12 orang tawanan perang lari dari
fasilitas tersebut dan pasukan gerilya Cina berhasil menyerang pasukan Ishii. Dua tahun
kemudian, Unit Togo dibuka kembali dan berganti nama menjadi Departemen Pencegahan
Epidemik Tentara Kwantung (Unit Ishii) dan pada tahun 1940 diubah kembali menjadi
Departemen Pencegahan Epidemik dan Purifikasi Air (menjadi Unit 731 pada tahun 1941).
Selain di Manchuria, militer Jepang juga memiliki cabang di Beijing (Unit 1855), Nanking (Unit
1644), Guangzhou (Unit 8604), dan Singapura (Unit 9420) dengan total 20.000 staf secara
keseluruhan.
Masing-masing cabang melakukan eksperimen biologi dan kimia yang telah dikembangkan
oleh Unit 731. Unit 731 melakukan eksperimen pembuatan senjata biologi dengan menginfeksi
tawanan perang dengan pes, antraks, kolera, wabah demam berdarah, radang dingin (frostbite),
dan bahkan penyakit menular seksual. Walaupun sulit untuk mengetahui jumlah korban yang
meninggal, diperkirakan sekitar 10.000 tawanan meninggal dunia akibat eksperimen yang
dilakukan Jepang ini.
Para dokter yang bertugas di Unit 731 melakukan perbanyakan bakteri atau virus patogen
pada organ tubuh manusia kemudian menyebarkannya ke warga desa sekitar ketika telah
didapatkan jumlah patogen yang mencukupi. Organ tubuh tersebut didapatkan dari hasil
pembedahan tubuh tawanan. Berbagai pembedahan bagian tubuh dilakukan untuk melihat efek
dari suatu senjata biologi. Namun, pembedahan dan eksperimen yang dilakukan Jepang
berlangsung dengan sadis, diantaranya adalah transfusi darah binatang ke manusia, pemecahan
bola mata, pemotongan anggota tubuh dan menyambungkannya kembali ke sisi yang
berlawanan, hingga percobaan pada bayi dan anak kecil yang menyebabkan kematian.
Untuk melihat efek dari penyakit yang tidak dirawat, Jepang menginfeksi pria dan wanita
dengan sifilis, membekukan manusia kemudian dicairkan kembali untuk mempelajari efek
pembusukan daging, menempatkan manusia pada ruangan bertekanan tinggi, dan berbagai
tindakan tidak manusiawi lainnya. Mayat-mayat korban yang telah diambil organ dalamnya
kemudian dibuang dan dibakar dengan krematorium.
Selain digunakan untuk uji senjata biologi, para tawanan juga dimanfaatkan untuk uji
senjata. Para tawanan diikat pada jarak tertentu, diposisikan dengan sudut berbeda kemudian
dilempar dengan granat, penyembur api, maupun bahan peledak. Hal ini dilakukan untuk
mengukur posisi dan kisaran terbaik untuk pelepasan senjata tersebut.

Unit ini tidak hanya terkenal karena vividsection. Beberapa tahanan yang dikirim ke Unit
731 dibawa keluar dan diikat di kayu. Orang Jepang kemudian akan menguji senjata biologis
baru seperti plague atau bom yang diisi dengan kutu yang terinfeksi plague di dalamnya.
Penelitian lain melibatkan human guinea pigs, yang disebut 'log' oleh para ilmuwan Jepang.
Manusia dikunci di dalam bilik-bilik bertekanan untuk menguji seberapa jauh tubuh manusia
bisa bertahan sampai mata mereka menonjol ke luar. Beberapa manusa yang diujikan dibawa
keluar selama musim dingin yang hebat sampai tungkai mereka membeku, yang diperlukan
dokter untuk menguji terapi terbaik frostbite.

Tentara Jepang secara teratur melakukan uji lapangan untuk melihat apakah senjata
biologis dapat bekerja di luar laboratorium. Pesawat menjatuhkan kutu yang terinfeksi plague
untuk menimbulkan wabah di atas Ningbo Cina Timur dan di atas Changde Cina Utara-Tengah.
Pasukan Jepang juga menyebarkan kultur kuman kolera dan tifus di sumur dan kolam, tetapi
hasilnya sering kontraproduktif. Pada tahun 1942, spesialis senjata biologis jenis kuman juga
menyebarkan disentri, kolera dan tipus di Provinsi Zhejiang di Cina, tetapi tentara Jepang sendiri
menjadi sakit dan 1.700 orang meninggal karena penyakit ini. Perkiraan 440.000 warga Cina
meninggal akibat peperangan kuman ini.
Saat pecahnya kampanye Wusung-Shanghai pada 13 Agustus 1937, tentara Jepang
menggunakan gas beracun melawan pasukan Cina. Dalam perang delapan tahun berikutnya,
Jepang telah menggunakan gas beracun 1,131 kali di 14 Propinsi Cina. Saat tentara Jepang
mundur dari Cina sewaktu perang berakhir, hewan yang terinfeksi plaque disebarkan dan
menyebabkan wabah malapetaka yang menewaskan setidaknya 30.000 orang di daerah Harbin
dari tahun 1946 hingga 1948.

Pada Agustus 1945, seluruh gedung dan peralatan Unit 731 dimusnahkan dan Jenderal Ishii
Shiro pergi untuk mencari bantuan kepada Amerika. Dia menemui Jenderal McArthur untuk
meminta imunitas bagi bagi staf Unit 731 dan menukarnya dengan pengetahuan Jepang dalam
pengembangan senjata kimia dan biologi. Pada September 1947, Amerika sepakat untuk tidak
menuntut Jepang terhadap kejahatan perang yang telah mereka lakukan. Beberapa personel
medis Unit 731 masih dapat menduduki posisi penting di dalam masyarakat Jepang, contohnya
Jenderal Masaji Kitano. Kitano adalah orang yang menunjuk Ishii Shiro untuk memimpin Unit
731. Dia tetap menjadi orang penting di Jepang karena menjadi direktur dari Green Cross
Corporation, perusahaan ternama di Jepang yang memproduksi berbagai produk darah. Ishii
Shiro meninggal pada usia 69 tahun karena kanker tenggorokan.

ANALISIS DALAM BIOETIK

Dilihat dari Prinsip-prinsip Bioetik :

1. Autonomy
Pada prinsip ini pasien memiliki hak untuk menentukan apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan pada diri mereka. Respect for person (hormat pada subyek manusia) dalam
hal ini menghormati otonomi subyek yaitu menghormati pilihan bebas subyek untuk mau
atau tidak dalam penelitian serta keinginan subyek untuk mengundurkan diri setiap waktu
sementara penelitian masih berjalan (self determination). Pada kasus di atas jelas ada
pelanggaran etik dimana subyek penelitian adalah tawanan perang dan penduduk sipil
selama perang dunia ke II tanpa meminta kesediaan atau persetujuan mereka untuk dijadikan
subyek penelitian.
Oleh karena itu dokter dan anggota keluarga harus membantu pasien untuk membuat
keputusannya sendiri dengan memberikan informasi yang lengkap, mereka juga harus
menghormati keputusan pasien yang kompeten dan dewasa, walaupun dari segi medis
nampaknya salah. Pada penelitian yang dilakukan oleh Unit 731 tidak terlaksana prinsip
autonomy karena subjek penelitian tidak diberikan pilihan untuk mengikuti atau tidak
mengikuti penelitian yang akan dilakukan terhadap dirinya. Mereka di-vividsection tanpa
persetujuan, bahkan mereka diikat saat dilakukan penelitian seperti penelitian menggunakan
bilik bertekanan, ditanam kuman penyakit, dilemparkan bom dan penelitian frostbite.
Semua hal yang dilakukan pada penelitian tersebut sangat tidak manusiawi.

2. Beneficence
Beneficence berarti memberikan apa yang terbaik bagi pasien. Prinsip umum moral
untuk melakukan hal yang baik kepada orang lain difokuskan ke dalam hubungan
profesional dan peduli. Manfaat suatu penelitain harus secara nyata lebih besar kadarnya
dibanding risiko yang mungkin dialami oleh subyek penelitian, harus dilakukan dengan
metode yang benar secara ilmiah dan harus dilaksanakan oleh peneliti yang kompeten dan
menjamin keselamatan subyek penelitain.
Pada kasus di atas jelas tidak memenuhi prinsip etik penelitian yang mana manfaat
penelitian yang dicari adalah pengembangan teknologi senjata Biologi dan Kimia serta
pengembangan unit Angkatan Darat Kekaisaran Jepang, akan tetapi manfaat yang didapat
ini sangat kecil dibanding risiko yang diterima oleh subyek penelitian maupun generasi
setelahnya.

3. Non-maleficence
Prinsip ini dikenal terutama dengan ‘first do no harm’. Pada setiap keadaan, tenaga
kesehatan seharusnya tidak membahayakan pasien. Non-maleficence berarti tidak berbuat
buruk. Diusahakan semaksimal mungkin agar subyek tidak terpapar oleh perlakuan yang
akan merugikan jiwa maupun kesehatan dan kesejahteraannya seberapapun manfaat
penelitiannya; dan apabila terjadi risiko kerugian ada jaminan dari peneliti bahwa ada
kompensasi.
Penelitian ini tidak menerapkan prinsip non-maleficence karena mereka memang
hanya memberikan resiko dan efek samping pada subjek penelitian tanpa manfaat, sehingga
jelas menimbulkan hal yang buruk pada subjek penelitiannya.
Pada kasus di atas sangat tidak memenuhi prinsip ini yang mana subyek penelitian
justru menjadi korban yakni ,subyek diinjeksi bakteri pathogen, di bedah tubuhnya hidup-
hidup, tangan atau kaki diamputasi dengan gergaji hidup-hidup, dimasukkan kedalam
ruangan bertekanan tinggi hingga organ tubuhnya pecah, Tubuh korban dibekukan
(frostbite), diberikan sinar radiasi X-ray pada hatinya yang berdosis tinggi dan mematikan,
udara diinjeksikan kedalam pembuluh darah untuk membuat simulasi serangan jantung
(stroke) serta eksperimen lainnnya, pada akhirnya menimbulkan jutaan korban jiwa.

4. Justice
Prinsip ini berarti bahwa tenaga kesehatan harus berlaku seadil mungkin ketika
mengobati pasien, dalam setiap keadaan. Terbatasnya jumlah sumber daya manusia, maka
kita tidak dapat menyembuhkan semua orang dan prioritas harus ditetapkan (gagasan triase).
Kewajiban etik untuk memperlakukan orang dengan baik dan pantas secara moral
mempersyaratkan pembagian yang seimbang dalam hal beban/risiko dan manfaat yang
diperoleh setiap subyek. Pada kasus di atas atas jelas sangat bertentangan yang mana subyek
tidak pernah memperoleh keadilan justru menjadi korban dalam penelitian.

5. Honesty
Dalam komunikasi dokter dengan pasien/keluarga, prinsip honesty merupakan cara
penting untuk mendapatkan kepercayaan dan rasa hormat kepada pasien. Pada kasus di atas
tidak ada unsur kejujuran di mana tidak terbuka justru disamarkan dengan nama unit
perjernihan air (water purification unit) untuk menutupi kekejaman yang dilakukan dan
tujuannya mengadakan penelitian dan pengembangan teknologi senjata Biologi dan Kimia
untuk kepentingan perang.

Anda mungkin juga menyukai