Anda di halaman 1dari 5

Pelayanan farmasi satu pintu adalah suatu sistem dimana dalam pelayanan kefarmasian itu sendiri

menggunakan satu kebijakan, satu standar operasional (SOP), satu pengawasan operasional dan satu sistem
informasi. Sistem pelayanan farmasi saatu pintu dalam arti instalasi farmasi sebagai pengelola tunggal
perbekalan farmasi RS karena:
1. Farmasi RS bertanggung jawab atas semua barang farmasi yang beredar di RS, baik rawat jalan maupun rawat
inap.
2. Farmasi RS bertanggung jawab atas pengadaan dan penyajian informasi obat siap pakai bagi semua pihak di
RS, baik petugas kesehatan maupun pasien.
3. Farmasi RS bertanggung jawab atas semua pekerjaan pelayanan kefarmasian di RS
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menyelenggarakan pelayanan farmasi sistem satu pintu,
antara lain:
1. Jumlah unit pelayanan yang ada di RS. Hal ini berguna untuk merencanakan jumlah dan letak outlet apotek.
2. Memperkirakan jumlah resep. Jumlah resep per hari pada jam sibuk/jam kerja dan luar jam
kerja (khusus TJGD/IRD).
3. Macam item obat yang diresepkan. Untuk menentukan fast and slows moving drug agar
persediaan obat selalu ada. Hal ini sangat erat kaitannya dengan persediaan dana.
4. Jumlah tenaga yang diperlukan untuk setiap outlet apotek. Agar tercapai tepat obat dan tepat
waktu. Tersedia tenaga untuk unit dose dispensing.
5. Tersedia tenaga farmasis klinik.

Dasar Hukum pelayanan Kefarmasian satu Pintu:


1. SK Menkes Nomor 085/Menkes/Per/I/1989 tentang Penulisan Obat Generik di Instansi Pelayanan Kesehatan
Milik Pemerintah, pasal 6 ayat 1-3
2. SK Dirjen Pelayanan Medis Nomor 0428/ Yanmed/RSKS/SK/1989 tentang Petunjuk Pelaksanaan SK Menkes
Nomor 085/Men-kes/Per/I/1989 tentang Penulisan Obat Generik di Instansi Pelayanan Kesehatan Milik
Pemerintah, Pasal 8 ayat 2-C pasal 9 ayat 1-4
- Persyaratan akreditasi pelayanan farmasi RS
Tujuan pelayanan Kefarmasian satu pintu
1. Optimalisasi cakupan pelayanan obat gawat darurat, resep rawat jalan umum, rawat jalan Askes, rawat inap
umum/Askes, obat operasi dan pelayanan obat masyarakat miskin.
2. Meminimalisasi pemberian obat yg tidak tepat waktu, dan meminimalisasi medication error.
3. Pasien safety
4. Peningkatan pelayanan asuhan kefarmasian.
5. Optimalisasi pendapatan farmasi sehingga pendapatan RS meningkat & kesejahteraan pegawai RS
bertambah.
6. Sebagai salah satu sarana memperbaiki citra RS.
Sistem Pelayanan satu Pintu
1. Sistem dimana Instalasi Farmasi RS memiliki kewenangan penuh dalam pengelolaan perbekalan farmasi.
2. Berkewajiban mengelola obat secara berdaya guna dan berhasil guna.
3. IFRS diharuskan membuat prosedur perencanaan, pengadaan, penyimpanan, penyaluran, dan pemantauan
obat yang digunakan di rumah sakit.
4. IFRS bertanggung jawab terhadap obat yang beredar di RS.
5. Berkewajiban melaksanakan pengendalian pelayanan dan pemantauan penggunaan obat di rumah sakit.
6. Apabila dalam pendanaan pengadaan obat melibatkan pihak ke tiga, maka tata kerja dan teknis layanan
kefarmasian harus di bawah koordinasi IFRS.
7. Satu kebijakan (kriteria pemilihan obat, penerapan sistem formularium).
8. Satu sop (prosedur instruksi kerja, pelayanan).
9. Satu pengawasan operasional (laporan rutin, money, koordinasi)
10. Satu sistem informasi (sim, informasi logistik, informasi obat)
Keuntungan pelayanan farmasi satu pintu yaitu :
1. Memudahkan monitoring obat
2. Dapat mengetahui kebutuhan obat secara menyeluruh sehingga memudahkan perencanaan obat.
3. Menjamin mutu obat yang tersedia sesuai persyaratan kefarmasian.
4. Dapat dilaksanakannya pelayanan obat dengan sistem unit dose ke semua ruang rawat.
5. Dapat dilaksanakan pelayanan informasi obat dan konseling obat baik bagi pasien rawat jalan maupun rawat
inap.
6. Dapat dilaksanakan monitoring efek samping obat oleh panitia dan terapi.
7. Dapat melakukan pengkajian penggunaan obat di RS, baik obat generik, obat formularium, obat Askes dan
lain-lain sesuai dengan program IFRS serta PFT.
TUJUAN PELAYANAN FARMASI SATU PINTU Pelayanan Farmasi satu pintu Menghindari resep keluar : -
Outlet apotik di tiap lantai -Jemput resep -Fasilitas antar untuk jarak tertentu -Kerjasama dgn poli rawat jalan
Meningkatkan pendapatan RS

Sumber daya manusia instalasi farmasi rumah sakit


Instalasi Farmasi harus memiliki Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang sesuai dengan beban kerja dan
petugas penunjang lain agar tercapai sasaran dan tujuan Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Ketersediaan jumlah
tenaga Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian di Rumah Sakit dipenuhi sesuai dengan ketentuan klasifikasi
dan perizinan Rumah Sakit yang ditetapkan oleh Menteri. Uraian tugas tertulis dari masing-masing staf Instalasi
Farmasi harus ada dan sebaiknya dilakukan peninjauan kembali paling sedikit setiap tiga tahun sesuai kebijakan
dan prosedur di Instalasi Farmasi Rumah Sakit.

1. Kualifikasi Sumber Daya Manusia (SDM)


Berdasarkan pekerjaan yang dilakukan, kualifikasi SDM Instalasi Farmasi
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Untuk pekerjaan kefarmasian terdiri dari Apoteker dan Tenaga Teknis
Kefarmasian.
b. Untuk pekerjaan penunjang terdiri dari Operator Komputer/Teknisi yang
memahami kefarmasian, Tenaga Administrasi, dan Pekarya/Pembantu
pelaksana.
Untuk menghasilkan mutu pelayanan yang baik dan aman, maka dalam
penentuan kebutuhan tenaga harus mempertimbangkan kompetensi yang
disesuaikan dengan jenis pelayanan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung
jawabnya.

2. Persyaratan SDM
Pelayanan Kefarmasian harus dilakukan oleh Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian. Tenaga Teknis
Kefarmasian yang melakukan Pelayanan Kefarmasian harus di bawah supervisi Apoteker. Apoteker dan Tenaga
Teknis Kefarmasian harus memenuhi persyaratan administrasi seperti yang telah ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan terkait jabatan fungsional di Instalasi Farmasi Rumah Sakit diatur
menurut kebutuhan organisasi dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus
dikepalai oleh seorang Apoteker
yang merupakan Apoteker penanggung jawab seluruh Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Kepala Instalasi
Farmasi Rumah Sakit diutamakan telah memiliki pengalaman bekerja di Instalasi Farmasi Rumah Sakit minimal
3 (tiga) tahun.

Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit


Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai Apoteker bertanggung jawab
terhadap pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit yang
menjamin seluruh rangkaian kegiatan perbekalan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta memastikan
kualitas, manfaat, dan keamanannya. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan, pengendalian, dan administrasi yang
diperlukan bagi kegiatan Pelayanan Kefarmasian. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai harus dilaksanakan secara multidisiplin, terkoordinir dan menggunakan proses yang efektif
untuk menjamin kendali mutu dan kendali biaya.

Dalam ketentuan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyatakan
bahwa Pengelolaan Alat Kesehatan, Sediaan Farmasi, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit harus
dilakukan oleh Instalasi Farmasi sistem satu pintu. Alat Kesehatan yang dikelola oleh Instalasi Farmasi sistem
satu pintu berupa alat medis habis pakai/peralatan non elektromedik, antara lain alat kontrasepsi (IUD), alat
pacu jantung, implan, dan stent. Sistem satu pintu adalah satu kebijakan kefarmasian termasuk
pembuatan formularium, pengadaan, dan pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis
Habis Pakai yang bertujuan untuk mengutamakan kepentingan pasien melalui Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
Dengan demikian semua Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang beredar di Rumah Sakit merupakan tanggung
jawab Instalasi Farmasi Rumah Sakit, sehingga tidak ada pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit yang dilaksanakan selain oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Dengan
kebijakan pengelolaan sistem satu pintu, Instalasi Farmasi sebagai satu-satunya penyelenggara Pelayanan
Kefarmasian, sehingga Rumah Sakit akan
mendapatkan manfaat dalam hal:
a. pelaksanaan pengawasan dan pengendalian penggunaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
b. standarisasi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai;
c. penjaminan mutu Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai;
d. pengendalian harga Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai;
e. pemantauan terapi Obat;
f. penurunan risiko kesalahan terkait penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (keselamatan pasien);
g. kemudahan akses data Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang akurat;
h. peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit dan citra Rumah Sakit; dan
i. peningkatan pendapatan Rumah Sakit dan peningkatan kesejahteraan
pegawai.

Rumah Sakit harus menyusun kebijakan terkait manajemen pengunaan Obat yang efektif. Kebijakan tersebut
harus ditinjau ulang sekurang-kurangnya sekali setahun. Peninjauan ulang sangat membantu Rumah Sakit
memahami kebutuhan dan prioritas dari perbaikan sistem mutu dan keselamatan penggunaan Obat yang
berkelanjutan.
PENGHITUNGAN EFISIENSI
Indikator penilaian efisiensi pelayanan adalah:
 – Bed occupancy rate.
 – Bed turn over.
 – Length of stay.
 – Turn over interval.
Bed occupancy rate (BOR) atau Pemakaian Tempat Tidur dipegunakan untuk melihat berapa banyak tempat
tidur di rumah sakit yang digunakan pasien dalam suatu masa.
Jumlah hari perawatan
BOR = ————————————– x 100%
Jumlah TT x hari perawatan
Prosentase ini menunjukkan sampai berapa jauh pemakaian tempat tidur yang tersedia di rumah sakit dalam
jangka waktu tertentu. Bila nilai ini mendekati 100 berarti ideal tetapi bila BOR Rumah Sakit 60-80% sudah bias
dikatakan ideal.
BOR antara rumah sakit yang berbeda tidak bisa dibandingkan oleh karena adanya perbedaan fasilitas rumah
sakit, tindakan medik, perbedaan teknologi intervensi. Semua per bedaan tadi disebut sebagai “case mix”.
Turn over internal (TOI), waktu rata-rata suatu tempat tidur kosong atau waktu antara satu tempat tidur
ditinggalkan oleh pasien sampai ditempati lagi oleh pasien lain.
(Jumlah TT x 365) – hari perawatan
TOI = ——————————————– x 100%
Jumlah semua pasien keluar hidup + mati
TOI diusahakan lebih kecil daripada 5 hari.
Bed turn over (BTO), berpa kali satu tempat tidur ditempati pasien dalam satu tahun. Usahakan BTO lebih
besar dari 40.
Length of stay yang baik 5-13 hari atau maksimum 12 hari, 6-10 hari.
Infant mortality rate (angka kematian bayi). Standar 20%
Jumlah kematian bayi yang lahir di RS
IMR = ————————————————- x 100%
Jumlah bayi yang lahir di RS dalam waktu tertentu
Maternal Mortality Rate (MMR) atau angka kematian ibu melahirkan. Standard 0,25% atau antara 0,1-0,2%
Jumlah pasien obstetri yang meninggal
MMR = —————————————————— x 100%
Jumlah pasien obstetri dalam jangka waktu tertentu
Foetal Death Rate (FDR) atau angka bayi lahir mati. Standar 2%.
Jumlah kematian bayi dengan umur kandungan 20 minggu
FDR = ————————————————————- x 100%
Jumlah semua kelahiran dalam jangka waktu tertentu
Post Operative Death Rate (FODR) atau angka kematian pasca bedah. Standar 1%.
Jumlah kematian setelah operasi dalam satu periode
FODR = —————————————————— x 100%
Jumlah pasien yang dioperasi dalam periode yang sama
Angka kematian sectio caesaria. Standar 5%.
Dalam usaha memperkecil pengaruh “case mix” untuk menilai tingkat efisiensi digunakan indikator yang lebih
tajam, indikator yang dimaksud adalah:
 Av LOS pasien prabedah
Pasien yang akan dioperasi biasanya harus menjalani pemeriksaan radiologi dan laboratorium serta perlu
observasi terhadap keadaan tertentu. Jadi sebelum operasi pasien telah menggunakan jasa rumah sakit yang
tidak sedikit. Lebih banyak pemeriksaan atau lebih lama observasi tentunya lebih banyak menggunakan sumber
daya rumah sakit. Agar efisiensi maka pemborosan harus ditekan. Bertambah singkat Av LOS prabedah,
bertambah hemat atau bertambah efisien pelayanan yang diberikan.
 Av LOS penyakit tertentu atau tracer conditions.
Telah disusun kelompok-kelompok diagnosis penyakit yang tidak berbeda banyak cara penganannya mediknya,
tidak berbeda banyak Av LOS-nya, dan hampir sama menyerap sumber dayanya. Kelompok penyakit ini
disebut Diagnosis Related Group (DRG). Dalam DRG ini ada 83 kelompok diagnesis yang masih terbagi lagi
menjadi 383 subkelompok.
INDIKATOR PENILAIAN
Untuk menilai pemanfaatan tenaga dipergunakan indikator:
 – Rasio kunjungan dengan jumlah tenaga perawat jalan.
 – Rasio jumlah hari perawatan dengan jumlah tenaga perawat inap.
 – Rasio jumlah paisien intensif dengan jumlah tenaga perawat yang melayani.
 – Rasio persalinan dengan tenaga bidan yang melayani.
Indikator untuk penilaian cakupan pelayanan adalah:
 – Rata-rata kunjungan per hari
 – Rata-rata kunjungan baru per hari
 – Rasio kunjungan baru dengan total kunjungan
 – Jumlah rata-rata pasien ugd per hari
 – Rata-rata pasien intensif per hari
 – Rata-rata pasien intensif perhari
 – Rata-rata pemeriksaan radiologi per hari
 – Prosentase r/ yang dilayani terhadap r/ rumah sakit
 – Prosentase item obat dalam formularium
 – Jumlah pelayanan ambulans
 – Rasio banyaknya cucian dengan pasien rawat inap
 – Prosentase penyediaan makanan khusus
 – Rasio pasien rawat jalan terhadap jumlah penduduk dalam, catchment area
 – Admission use rate
Latihan menghitung beban kerja
Setiap hari Puskesmas “Antah Berantah” melayani 60 orang pasien. Dari 60 orang
pasien tsb 60% diperiksa dan diberi rujukan dan resep. Setiap pasien membutuhkan
waktu 10 menit untuk dilayani. Sedangkan 40% dari total pasien harus diperiksa di
laboratorium dan setiap pemeriksaan membutuhkan waktu 15 menit/pasien.
Pertanyaan:
Hitung beban kerja dari Puskesmas tersebut sebagai dasar untuk menentukan
jumlah perawat dan laboran yang dibutuhkan?
Jawab:
Pasien rujukan dan resep (60% x 60) = 36 pasien
Jam kerja/hari = 6 jam x 60 menit = 360 menit
Rujukan dan resep dibutuhkan waktu 10 menit = 360/10 = 36 pasien.
Kesimpulan:
Dengan demikian beban kerja untuk pemeriksaan, pemberian rujukan dan resep
pasien perhari adalah 36 pasien/hari.
Laboratorium 40% x 60 = 24 pasien
Waktu yang dibutuhkan 15 menit
360 menit/15 menit= 24 pasien.
Kesimpulan:
Dengan demikian beban kerja untuk pemeriksaan laboratorium adalah 24
pasien/hari

Anda mungkin juga menyukai