Anda di halaman 1dari 32

REFERENSI ARTIKEL

HERNIA NUCLEUS PULPOSUS

DISUSUN OLEH:

KHARIZ FAHRURROZI G 99162015


CLARISSA ADELIA GUNAWAN G 99162017
OKTANIA IMAS WIDYASMORO G99162022
WIDA PRIMA NUGRAHA G 99171047

PEMBIMBING :
Dr. dr. JOHANNES BERCHMANS PRASODJO, Sp. Rad(K).

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA

0
2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Referensi artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi. Referensi artikel dengan judul:

Hernia Nucleus Pulposus

Hari, tanggal : Jumat, 23 Maret 2018

Oleh:

Khariz Fahrurrozi G 99162015


Clarissa Adelia Gunawan G 99162017
Oktania Imas Widyasmoro G99162022
Wida Prima Nugraha G99171047

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Referensi Artikel

Dr. dr. Johannes Berchmans Prasodjo, Sp. Rad(K).


NIP. 19500801 199008 1 001

2
DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... 1

DAFTAR ISI .................................................................................................... 2

PENDAHULUAN ........................................................................................... 3

TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 5

A. Definisi Hernia Nukleus Pulposus (HNP)....................................... 5

B. Epidemiologi ................................................................................... 5

C. Anatomi dan Fisiologi ..................................................................... 6

D. Patofisiologi .................................................................................... 10

E. Klasifikasi ........................................................................................ 10

F. Faktor Resiko ................................................................................... 11

G. Diagnosis ........................................................................................ 12

H. Penatalaksanaan .............................................................................. 21

I. Prognosis .......................................................................................... 25

PENUTUP ........................................................................................................ 27

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 28

3
BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri Punggung Belakang (NPB) merupakan keluhan yang spesifik dan


paling banyak dikonsultasikan pada dokter umum. Hampir 70 – 80 % penduduk
negara maju pernah mengalaminya. Di Amerika Serikat prevalensinya dalam satu
tahun berkisar antara 15%-20% sedangkan insidensi berdasarkan kunjungan
pasien baru ke dokter adalah 14,3% (Maliawan S.2009). Di Inggris dilaporkan
prevalensi NPB pada populasi lebih kurang 16.500.000 pertahun, yang melakukan
konsultasi ke dokter umum lebih kurang antara 3 – 7 juta orang (Lubis I.2003).
Sementara di Indonesia walaupun data epidemiologi mengenai NPB belum ada
namun diperkirakan 40% penduduk Jawa Tengah berusia antara 65 tahun pernah
menderita nyeri punggung dan prevalensinya pada laki-laki 18,2% dan pada
perempuan 13,6%. Sekitar 40% pasien NBP disebabkan oleh Hernia Nucleus
Pulposus (HNP) (Maliawan S.2009).
HNP merupakan salah satu penyebab dari nyeri punggung bawah yang
penting dan merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama. Insidensi HNP
di Amerika Serikat adalah sekitar 5% orang dewasa. Kurang lebih 60-80%
individu pernah mengalami nyeri punggung dalam hidupnya. Nyeri punggung
bawah merupakan 1 dari 10 penyakit terbanyak di Amerika Serikat dengan angka
prevalensi berkisar antara 7,6-37% insidens tertinggi dijumpai pada usia 45-60
tahun. Pada penderita dewasa tua, nyeri punggung bawah mengganggu aktivitas
sehari-hari pada 40% penderita dan menyebabkan gangguan tidur pada 20%
penderita akan mencari pertolongan medis, dan 25% diataranya perlu rawat inap
untuk evaluasi lebih lanjut.
HNP tidak dapat didiagnosis hanya dengan General Radiografi Vertebra.
Pemeriksaan gold standard dari HNP ini seharusnya menggunakan Magnetic
Resonance Imaging (MRI) sehingga pada tempat pelayanan kesehatan yang tidak
memiliki fasilitas MRI akan sulit menegakkan diagnosis dari HNP.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Hernia Nukleus Pulposus (HNP)


Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui
defek dinding atau lubang dari rongga yang bersangkutan karena adanya lokus
minorus resistensi. Beberapa contoh hernia, diantaranya adalah hernia
inguinalis, hernia diafragmatica, hernia cerebri dan hernia nukleus pulposus.
Nukleus pulposus merupakan bagian tengah diskus intervertebralis
yang terdiri dari serabut kolagen yang halus dan longgar, sel-sel jaringan
pengikat dan sel-sel tulang rawan. Hernia nukleus pulposus adalah suatu
keadaan dimana terjadi penonjolan dari diskus intervertebralis (nukleus
pulposus) disertai rupturnya annulus fibrosus, yang menyebabkan penekanan
ke arah kanalis spinalis. Sinonim dari HNP antara lain Hernia Diskus
Intervertebralis, Herniated Disc, Ruptur Disc, Slipped Disc, Prolapsed Disc dan
sebagainya.

Gambar 2.1 Hernia Nukleus Pulposus


B. Epidemiologi
Prevalensi HNP berkisar antara 1 – 2 % dari populasi. Usia yang
paling sering adalah usia 30 – 50 tahun. Pria memiliki insidensi sedikit
lebih tinggi daripada wanita. Pada penelitian HNP paling sering dijumpai
pada tingkat L4-L5; titik tumpuan tubuh di L4-L5-S1. Penelitian Dammers

5
dan Koehler pada 1431 pasien dengan herniasi diskus lumbalis,
memperlihatkan bahwa pasien HNP L3-L4 secara bermakna dari usia tua
dibandingkan dengan pasien HNP L4-L5.

C. Anatomi dan Fisiologi


Tulang belakang adalah struktur lentur sejumlah tulang yang
disebut vertebra. Diantara tiap dua ruas vertebra terdapat bantalan tulang
rawan. Panjang rangkaian vertebra pada orang dewasa dapat mencapai 57
sampai 67 cm. Seluruhnya terdapat 33 ruas tulang, 24 buah diantaranya
adalah tulang-tulang terpisah dan 9 ruas sisanya bergabung membentuk 2
tulang.
Vertebra dikelompokkan dan dinilai sesuai dengan daerah yang
ditempatinya, tujuh vertebra servikalis, dua belas vertebra torakalis, lima
vertebra lumbalis, lima vertebra sakralis, dan empat vertebra koksigeus.
Susunan tulang vertebra terdiri dari: korpus, arkus, foramen vertebrale,
foramen intervertebrale, prosesus artikularis superior dan inferior, prosesus
transversus, spina, dan diskus intervertebralis.

6
Gambar 2.2 Tulang belakang
Kolumna vertebralis tersusun atas 2 jenis persendian utama, yang
pertama yaitu main joint yang merupakan persendian antara korpus
vertebrae dengan diskus intervertebralis. Kedua, ada apophysial joint yang
merupakan persendian yang dibentuk oleh prosesus artikularis superior
(vertebrae inferior) dengan prosesus artikularis inferior (vertebrae
superior). Main joint merupakan false joint sedangkan apophysial joint
merupakan true joint. Ligamentum longitudinal dan diskus intervertebralis
menghubungkan vertebra yang berdekatan. Ligamentum longitudinal
anterior, suatu pita tebal dan lebar, berjalan memanjang pada bagian depan
korpus vertebra dan diskus intervertebralis, dan bersatu dengan periosteum
dan annulus fibrosus. Ligamentum longitudinalis anterior berfungsi untuk
menahan gaya ekstensi, sedangkan dalam kanalis vertebralis pada bagian
posterior korpus vertebra dan diskus intervertebralis terletak ligamentum
longitudinal posterior, ligamentum longitudinalis posterior berperan dalam
menahan gaya fleksi. Ligamentum anterior lebih kuat dari pada posterior,
sehingga prolaps diskus lebih sering kearah posterolateral, hal ini
disebabkan karena ligamentum longitudinal posterior ukurannya makin
mengecil setelah melewati vertebrae cervical 7 sehingga pada vertebrae
lumbal 4 sampai vertebrae sakral 1 yang merupakan tumpuan tubuh tidak
memiliki ligamentum pada sisi posterolateral. Pada bagian posterior
terdapat struktur saraf yang sangat sensitif terhadap penekanan yaitu
radiks saraf spinalis, ganglion radiks dorsalis.
Diantara korpus vertebra mulai dari vertebra servikalis kedua
sampai vertebra sakralis terdapat diskus intervertebralis. Diskus ini
membentuk sendi fibrokartilago yang lentur antara korpus vertebra.

7
Gambar 2.3 Ligamen-ligamen yang terdapat pada vertebrae

Gambar 2.4 Diskus intervertebralis

Di antara masing-masing ruas tulang vertebra yang menyusun


tulang belakang manusia terdapat bantalan yang disebut diskus
intervertebralis. Diskus intervertebralis terdiri dari 3 bagian, yaitu annulus
fibrosus, nucleus pulposus, dan lempeng kartilago. Anulus fibrosus
merupakan cincin yang tersusun atas 10 sampai 12 lapisan jaringan ikat
yang konsentrik dan fibrokartilago. Bagian anteriornya diperkuat oleh
ligamentum longitudinalis anterior dan posteriornya oleh ligamentum
longitudinalis posterior. Anulus fibrosus berfungsi untuk memungkinkan

8
gerakan antara korpus vertebra (disebabkan oleh struktur spiral dari
serabut-serabut); untuk menopang nukleus pulposus; dan meredam
benturan.
Nukleus pulposus terletak di dalam annulus fibrosus pada posisi
yang sedikit eksentrik ke arah posterior. Pada anak-anak, konsistensinya
agak cair dan akan bertambah padat seiring bertambahnya usia. Sifat
setengah cair dari nukleus pulposus, memungkinkannya berubah bentuk
dan vertebrae dapat menjungkit ke depan dan ke belakang diatas yang lain,
seperti pada fleksi dan ekstensi columna vertebralis. Zat ini berfungsi
sebagai peredam benturan antara korpus vertebra yang berdekatan. Selain
itu juga memainkan peranan penting dalam pertukaran cairan antara diskus
dan pembuluh-pembuluh darah kapiler.

Gambar 2.5 Nucleus Pulposus


Diskus intervertebralis, baik anulus fibrosus maupun nukleus
pulposusnya adalah bangunan yang tidak peka nyeri. Bagian yang
merupakan bagian peka nyeri adalah:
• Lig. Longitudinale anterior
• Lig. Longitudinale posterior
• Korpus vertebra dan periosteumnya
• Articulation zygoapophyseal
• Ligamentum supraspinosum
• Fasia dan otot

D. Patofisiologi

9
a. Proses Degeneratif
Diskus intervertebralis tersusun atas jaringan fibrokartilago
yang berfungsi sebagai shock absorber, menyebarkan gaya pada
kolumna vertebralis dan juga memungkinkan gerakan antar vertebra.
Kandungan air diskus berkurang dengan bertambahnya usia (dari 90%
pada bayi sampai menjadi 70% pada orang usia lanjut). Selain itu
serabut-serabut menjadi kasar dan mengalami hialinisasi yang ikut
membantu terjadinya perubahan ke arah herniasi nukleus pulposus
melalui anulus dan menekan radiks saraf spinal. Pada umumnya hernia
paling mungkin terjadi pada bagian kolumna vertebralis dimana terjadi
peralihan dari segmen yang lebih mobile ke yang kurang mobile
(perbatasan lumbosakral dan servikotorakal).
b. Proses Traumatik
Dimulainya degenerasi diskus mempengaruhi mekanika sendi
intervertebral, yang dapat menyebabkan degenerasi lebih jauh. Selain
degenerasi, gerakan repetitive, seperti fleksi, ekstensi, lateral fleksi,
rotasi, dan mengangkat beban dapat memberi tekanan abnormal pada
nukleus. Jika tekanan ini cukup besar sampai bisa melukai annulus,
nucleus pulposus ini berujung pada herniasi. Trauma akut dapat pula
menyebabkan herniasi, seperti mengangkat benda dengan cara yang
salah dan jatuh.

E. Klasifikasi
Hernia Nukleus Pulposus terbagi dalam 4 grade berdasarkan
keadaan herniasinya, dimana ekstrusi dan sequestrasi merupakan hernia
yang sesungguhnya, yaitu:
1) Protrusi diskus intervertebralis : nukleus terlihat menonjol ke satu
arah tanpa kerusakan annulus fibrosus.
2) Prolaps diskus intervertebral : nukleus berpindah, tetapi masih dalam
lingkaran anulus fibrosus.

10
3) Extrusi diskus intervertebral : nukleus keluar dan anulus fibrosus dan
berada di bawah ligamentum, longitudinalis posterior.
4) Sequestrasi diskus intervertebral : nukleus telah menembus
ligamentum longitudinalis posterior

Gambar 2.6 Grade HNP


Nukleus pulposus yang mengalami herniasi ini dapat menekan
nervus di dalam medulla spinalis jika menembus dinding diskus (annulus
fibrosus); hal ini dapat menyebabkan nyeri, rasa tebal, rasa keram, atau
kelemahan. Rasa nyeri dari herniasi ini dapat berupa nyeri mekanik, yang
berasal dari diskus dan ligamen; inflamasi, nyeri yang berasal dari nucleus
pulposus yang ekstrusi menembus annulus dan kontak dengan suplai
darah; dan nyeri neurogenik, yang berasal dari penekanan pada nervus.

F. Faktor Resiko
a. Usia
Usia merupakan faktor utama terjadinya HNP karena annulus
fibrosus lama kelamaan akan hilang elastisitasnya sehingga menjadi
kering dan keras, menyebabkan annulus fibrosus mudah berubah
bentuk dan ruptur.
b. Trauma
Terutama trauma yang memberikan stress terhadap columna
vertebralis, seperti jatuh.
c. Pekerjaan
Pekerjaan terutama yang sering mengangkat barang berat dan cara
mengangkat barang yang salah, meningkatkan risiko terjadinya HNP

11
d. Gender
Pria lebih sering terkena HNP dibandingkan wanita (2:1), hal ini
terkait pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan pada pria cenderung ke
aktifitas fisik yang melibatkan columna vertebralis.
e. Status Antropometri
Pada orang yang memiliki berat badan yang berlebih resiko
timbulnya HNP lebih besar, karena beban pada sendi penumpu berat
badan seperti pada nukleus pulposus dan anulus fibrosus yang menjadi
bantalan sendi vertebrae akan meningkat terutama pada vertebrae
lumbal.

G. Diagnosis
a. Anamnesis
Dalam anamnesis perlu ditanyakan kapan dan bagaimana mulai
timbulnya, lokasi nyeri, sifat nyeri, kualitas nyeri, apakah nyeri yang
diderita diawali kegiatan fisik, faktor yang memperberat atau
memperingan, ada riwayat trauma sebelumnya dan apakah ada
keluarga penderita penyakit yang sama. Adanya riwayat mengangkat
beban yang berat dan berulangkali, timbulnya low back pain.
Pada HNP dapat ditemukan :
1) Nyeri mulai dari pantat, menjalar kebagian belakang lutut,
kemudian ke tungkai bawah (sifat nyeri radikuler).
2) Nyeri semakin hebat bila penderita mengejan, batuk, mengangkat
barang berat.
3) Nyeri bertambah bila ditekan antara daerah di sebelah L5-S1 (garis
antara dua krista iliaka).
4) Nyeri Spontan. Sifat nyeri adalah khas, yaitu dari posisi berbaring
ke duduk nyeri bertambah hebat. Sedangkan bila berbaring nyeri
berkurang atau hilang.
b. Pemeriksaan Fisik

12
Pemeriksaan Neurologi dilakukan untuk memastikan bahwa nyeri
yang timbul termasuk dalam gangguan saraf. Meliputi pemeriksaan
sensoris, motorik, reflex.
1) Pemeriksaan sensoris, pada pemeriksaan sensoris ini apakah ada
gangguan sensoris, dengan mengetahui dermatom mana yang
terkena akan dapat diketahui radiks mana yang terganggu.
2) Pemeriksaan motorik, apakah ada tanda paresis, atropi otot.
3) Pemeriksaan reflex, bila ada penurunan atau refleks tendon
menghilang, misal APR menurun atau menghilang berarti
menunjukkan segmen S1 terganggu.

Gambar 2.7 Level neurologis yang terganggu sesuai dengan hasil


pemeriksaan fisik.

Adapun tes yang dapat dilakukan untuk diagnosis HNP adalah:


1) Pemeriksaan range of movement (ROM)
Pemeriksaan ini dapat dilakukan secara aktif oleh penderita
sendiri maupun secara pasif oleh pemeriksa. Pemeriksaan ROM ini

13
memperkirakan derajat nyeri, function laesa, atau untuk memeriksa
ada/ tidaknya penyebaran rasa nyeri.

2) Straight Leg Raise (Laseque) Test:


Tes untuk mengetahui adanya jebakan nervus ischiadicus.
Pasien tidur dalam posisi supinasi dan pemeriksa memfleksikan
panggul secara pasif, dengan lutut dari tungkai terekstensi
maksimal. Tes ini positif bila timbul rasa nyeri pada saat
mengangkat kaki dengan lurus, menandakan ada kompresi dari
akar saraf spinal khususnya L5 atau S1. Pada tanda laseque, makin
kecil sudut yang dibuat untuk menimbulkan nyeri makin besar
kemungkinan kompresi radiks sebagai penyebabnya. Demikian
juga dengan tanda laseque kontralateral.
3) Tanda Laseque kontralateral (kontralateral Laseque sign)
Dilakukan dengan cara yang sama dengan Laseque, namun
bila tungkai yang tidak nyeri diangkat akan menimbulkan suatu
respons yang positif pada tungkai kontralateral yang sakit dan
menunjukkan adanya suatu HNP.
4) Tes Bragard modifikasi yang lebih sensitif dari tes laseque.
Caranya sama seperti tes laseque dengan ditambah
dorsofleksi kaki.
5) Tes Sicard
Sama seperti tes laseque, namun ditambah dorsofleksi ibu
jari kaki.
6) Tes Valsava
Pasien diminta mengejan/batuk dan dikatakan tes positif
bila timbul nyeri
c. Pemeriksaan Radiologi
1) General Radiografi Vertebrae
2) General Radiografi Vertebrae tidak dapat menggambarkan struktur
jaringan lunak secara akurat. Nucleus pulposus tidak dapat

14
ditangkap di General Radiografi Vertebrae sehingga tidak dapat
herniasi diskus. Foto General Radiografi Vertebrae hanya dapat
memperlihatkan kelainan pada diskus dengan gambaran
penyempitan celah atau perubahan alignment dari vertebra.

Gambar 2.8 Pada gambaran foto polos dapat dinilai adanya


penyempitan pada diskus intervertebralis, namun tidak dapat melihat
apakah ada herniasi
3) Myelografi
4) Pada myelogram dilakukan injeksi kontras bersifat radio-
opaque dalam columna spinalis. Kontras masuk dalam columna
spinalis sehingga pada General Radiografi Vertebrae dapat nampak
adanya penyumbatan atau hambatan pada kanalis spinalis.

15
Gambar 2.9 Gambaran myelografi pada L5-S1 menunjukkan adanya
filling defek (Milette, 2000).

5) MRI
Merupakan gold standard diagnosis HNP karena dapat
melihat struktur columna vertebra dengan jelas dan
mengidentifikasi letak herniasi. Gambaran herniasi pada MRI
dapat berupa protursi, ektursi, atau sekuestrasi. Protursi merupakan
gambaran penonjolan diskus dengan ukuran basis lebih besar
dibandingkan bagian yang keluar (<25% diskus atau 25-50% pada
tipe broad-based). Sedangkan pada ekstursi, basis lebih kecil. Pada
sekuestrasi, bagian yang keluar tidak tersambung dengan diskus
samasekali. Herniasi juga dapat terjadi ke dalam corpus vertebrae
membentuk schmorl’s node. Apabila terdapat penonjolan
sirkumferensial atau pada 50%-100% diskus, keadaan ini disebut
dengan bulging (Gambar X). Bulging bukan merupakan suatu
herniasi (Parizel et al, 2007).

16
Gambar 2.10 Gambaran MRI columna vertebralis dengan HNP; Biru,
normal; Hijau, protursi; Merah, ekstursi.

Gambar 2.11 Herniasi pada HNP dapat menonjol ke sentral,


subartikular, foraminal, lateral, dan anterior (Gallard, 2016).

17
Gambar 2.12 Ilustrasi gambaran hernia nukleus pulposus pada MRI
(Skalski, 2015).

Gambar 2.13 Gambaran ekstursi discus pada L5-S1

18
Gambar 2.14 Gambaran protursi (broad based) discus pada L5-S1

Gambar 2.15 Gambaran herniasi intravertebral membentuk gambaran


shmorl’s node

19
Gambar 2.16 a. Normal, b. Bulging simetris; c. Bulging asimetris

Gambar 2.17 Gambaran diskus bulging (Milette PC, 2000)

6) CT

20
CT scan dapat digunakan dalam kasus HNP walaupun
kualitasnya tidak sebaik MRI. Dengan CT scan dapat diketahui
kontur dari diskus namun cukup sulit untuk melihat adanya
herniasi yang kecil (Milette PC, 2000).

Gambar 2.18 A. Gambaran herniasi anterior pada L4-L5, B. Gambaran


herniasi posterior kanan L4-L5 dengan avulsi fragmen tulang dari
cincin epifisis (Milette PC, 2000).
Tabel 2.1 Sensitivitas dan spesifitas pada myelography, CT, dan MRI
(Gregory et al, 2008).

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan HNP terdiri dari penatalaksanaan konservatif dan
operatif. Pada prinsipnya gejala yang terjadi pada HNP adalah adanya
kompresi pada syaraf akibat adanya edema dan inflamasi (Rahim AH,
2011).
a. Terapi Konservatif, terdiri atas:
1) Terapi Non Farmakologis
a) Bedrest

21
Bedrest merupakan salah satu terapi konservatif yang
disarankan. Bedrest diketahui efektif pada 1 sampai 2 hari
awal. Setelah 2 hari bedrest tidak mendukung
penyembuhan Semua terapi konservatif pada dasarnya
dilakukan untuk mengurangi inflamasi.
Aktivitas sebaiknya dilanjutkan sedini mungkin ketika
pasien sudah mampu. Latihan dan terapi fisik untuk
mengurangi edema dan mendukung penyembuhan (Foster,
2017).
b) Terapi fisik pasif
Terapi fisik pasif biasanya digunakan untuk mengurangi
nyeri punggung bawah akut, misalnya:
 Kompres hangat/dingin
Kompres hangat/dingin ini merupakan modalitas yang
mudah dilakukan. Untuk mengurangi spasme otot dan
inflamasi. Beberapa pasien merasakan nyeri hilang pada
pengkompresan hangat, sedangkan yang lain pada
pengkompresan dingin.
 Iontophoresis
Merupakan metode pemberian steroid melalui kulit.
Steroid tersebut menimbulkan efek anti inflamasi pada
daerah yang menyebabkan nyeri. Modalitas ini terutama
efektif dalam mengurangi serangan nyeri akut.
 TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulator)
Sebuah unit transcutaneous electrical nerve stimulator
(TENS) menggunakan stimulasi listrik untuk
mengurangi sensasi nyeri punggung bawah dengan
mengganggu impuls nyeri yang dikirimkan ke otak .
c) Latihan dan modifikasi gaya hidup
Berat badan yang berlebihan harus diturunkan karena akan
memperberat tekanan ke punggung bawah. Program diet

22
dan latihan penting untuk mengurangi NPB pada pasien
yang mempunyai berat badan berlebihan.
Direkomendasikan untuk memulai latihan ringan tanpa
stres secepat mungkin. Endurance exercise latihan aerobik
yang memberi stres minimal pada punggung seperti jalan,
naik sepeda atau berenang dimulai pada minggu kedua
setelah awaitan NPB.
Conditional exercise yang bertujuan memperkuat otot
punggung dimulai sesudah dua minggu karena bila dimulai
pada awal mungkin akan memperberat keluhan pasien.
Latihan memperkuat otot punggung dengan memakai alat
tidak terbukti lebih efektif daripada latihan tanpa alat.
2) Terapi Farmakologis
a) Analgetik dan NSAID ( Non Steroid Anti Inflamation Drug)
obat ini diberikan dengan tujuan untuk mengurangi nyeri dan
inflamasi sehingga mempercepat kesembuhan. Contoh
analgetik : paracetamol, Aspirin Tramadol. NSAID : Ibuprofen,
Natrium diklofenak, Etodolak, Selekoksib.
b) Obat pelemas otot (muscle relaxant) bermanfaat bila penyebab
NPB adalah spasme otot. Efek terapinya tidak sekuat NSAID,
seringkali di kombinasi denganNSAID. Sekitar 30%
memberikan efek samping mengantuk. Contoh Tinazidin,
Esperidone dan Carisoprodol.
c) Opioid. Obat ini terbukti tidak lebih efektif daripada analgetik
biasa yang jauh lebih aman. Pemakaian jangka panjang bisa
menimbulkan toleransi dan ketergantungan obat.
d) Analgetik ajuvan. Terutama dipakai pada HNP kronis karena
ada anggapan mekanisme nyeri pada HNP sesuai dengan
neuropatik. Contohnya: amitriptilin, Karbamasepin,
Gabapentin.

23
e) Suntikan pada titik picu. Cara pengobatan ini dengan
memberikan suntikan campuran anastesi lokal dan
kortikosteroid ke dalam jaringan lunak/otot pada titik picu
disekitar tulang punggung. Cara ini masih kontroversi. Obat
yang dipakai antara lain lidokain, lignokain, deksametason,
metilprednisolon dan triamsinolon.
b. Terapi Operatif
Terapi operatif pada pasien dilakukan jika:
1) Pasien mengalami HNP grade 3 atau 4.
2) Tidak ada perbaikan lebih baik, masih ada gejala nyeri yang tersisa,
atau ada gangguan fungsional setelah terapi konservatif diberikan
selama 6 sampai 12 minggu.
3) Terjadinya rekurensi yang sering dari gejala yang dialami pasien
menyebabkan keterbatasan fungsional kepada pasien, meskipun
terapi konservatif yang diberikan tiap terjadinya rekurensi dapat
menurunkan gejala dan memperbaiki fungsi dari pasien.
4) Terapi yang diberikan kurang terarah dan berjalan dalam waktu
lama.
Pilihan terapi operatif yang dapat diberikan adalah:
1) Distectomy
Pengambilan sebagian diskus intervertabralis.
2) Percutaneous distectomy
Pengambilan sebagian diskus intervertabralis dengan menggunakan
jarum secara aspirasi.
3) Laminotomy/laminectomy/foraminotomy/facetectomy
Melakukan dekompresi neuronal dengan mengambil beberapa
bagian dari vertebra baik parsial maupun total.
4) Spinal fusion dan sacroiliac joint fusion:
Penggunaan graft pada vertebra sehingga terbentuk koneksi yang
rigid diantara vertebra sehingga terjadi stabilitas.

24
25
Gambar 2.19 Algoritma penatalaksanaan herniasi lumbal akut
(Gregory et al, 2008)

I. Prognosis
Prognosis pada penderita HNP
a. Sebagian besar pasien akan membaik dalam 6 minggu dengan terapi
konservatif
b. Sebagian kecil akan berkembang menjadi kronik meskipun sudah
diterapi.
c. Pada pasien yang mendapatkan tindakan distectomy sekitar 85-90%
akan mengalami perbaikan terutama pada pasien dengan nyeri tungkai.
Pada sekitar 15% pasien masih terdapat nyeri punggung bawah
(Weinstein et al, 2008).

26
BAB III
PENUTUP

Hernia Nukleus Pulposus yaitu keluarnya nukleus pulposus dari discus


melalui robekan annulus fibrosus hingga keluar ke belakang/dorsal menekan
medulla spinalis atau mengarah ke dorsolateral menekan radix spinalis sehingga
menimbulkan gangguan.
Gangguan ini berupa nyei pinggang yang sering dikeluhkan oleh orang
awam. Walaupun etiologi nyeri pinggang bawah terdapat berbagai sebab, tetapi
HNP merupakan penyakit yang tidak boleh diabaikan begitu saja.
Prevalensinya berkisar antara 1-2% dari populasi. HNP lumbalis paling
sering (90%) mengenai disk intervetebralis L5-S1, L4-L5. Biasanya NPB oleh
karena HNP lumbalis akan membaik dalam waktu kira-kira 6 minggu. Tindakan
pembedahan jarang diperlukan kecuali pada keadaan tertentu.
Untuk mendiagnosis HNP butuh pemeriksaan radiologi. MRI merupakan
pilihan dari berbagai pemeriksaan radiologi karena memiliki spesitifitas dan
sensitivitas yang tinggi. Tidak seperti pada pemeriksaan foto polos yang hanya
dapat melihat komponen tulang vertebre saja tetapi dari pemeriksaan foto polos
dapat mencurigai kearah HNP dapat dilakukan sehingga perlu pemeriksaan lebih
lanjut seperti myelografi, MRI, ataupun diskografi

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dasar, cetakan ke-14. PT Dian


Rakyat. Jakarta. 2009

2. Sloane, Ethel. Anatomi dan Fisiologi. EGC. 2004

3. Mathias dan Michael. Duus’ Topical Diagnosis in Neurology. 5th edition.


Thieme

4. Maliawan S. Diagnosis dan tatalaksana HNP lumbal. Dalam : Mahadewa


TGB. Maliawan S.Editors. Diagnosis dan tatalaksana kegawat daruratan
tulang belakang. Jakarta. Sagung Seto.2009: h ;62-87
5. Rumawas RT. Nyeri pinggang bawah (Pandangan umum). Kumpulan
makalah lengkap Kongres Nasional Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia
(PERDOSSI). Palembang; 1996.

6. Mark dan Heinrich. Neurology 4th edition. Thieme.

7. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf. Edisi V.Jakarta.2014.

8. Sidharta, Priguna. Sakit Pinggang. In: Neurologi Klinis Dalam Praktik


Umum. PT Dian Rakyat. Jakarta.1999

9. Nuarta, Bagus. Ilmu Penyakit Saraf. In: Kapita Selekta Kedokteran. Media
Aesculapius. Jakarta. 2004

10. Company Saunder. B. W. Classification, diagnostic imaging, and imaging


characterization of a lumbar. Volume 38. 2000

11. Autio Reijo. MRI Of Herniated Nucleus Pulposus. Acta Universitatis


Ouluensis D Medica. 2006. Hal 1-31

12. Meli Lucas, Suryami antradi. Nyeri Punggung. Use Neurontin. 2003. Hal
133-148

28
13. Sylvia A. Price. Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep-konsep proses
penyakit. Jakarta : 1995. EGC. Hal 1023-1026.

14. Rasad, Sjahriar. Radiologi Doagnostik. Jakarta. Balai Penerbit FK


Universitas Indonesia. Jakarta.2005. Hal 337

15. S.M Lumbantobing. Neurologi Klinik. Badan Penerbit FK UI. Jakarta


Badan Penerbit FK UI. Hal 18-19

16. Pfirman CWA, Hodler J, Zanetti M, Boos N. Magnetic Resonance


Classification of Lumbar Invertebral Disc Degeneration. Spine Journal.
2001. DOI:10.1097/00007632-200109010-00011.

17. Gregory DS, Seto CK, Wortley GC, Shugart CM. Acute Lumbar Disk Pain
: Navigating Evaluation and Treatment Choices. American Family
Physician:2008:78(7).

18. Foster MR (2017). Herniated Nucleus Pulposus Treatment &


Management. Tersedia di: https://emedicine.medscape.com/article/126396
1-treatment. [Diakses 21 Maret 2018].

19. Gaillard F. 2016. Intervertebral disc disease nomenclature. Tersedia di :


https://radiopaedia.org/articles/intervertebral-disc-disease-nomenclature.
[Diakses 21 Maret 2018].

20. Skalski M. 2015. Intervertebral disc disease nomenclature. Tersedia di :


https://radiopaedia.org/articles/intervertebral-disc-disease-nomenclature.
[Diakses 21 Maret 2018].

21. Gregory DS, Seto CK, Wortley GC, dan Shugart CM. 2008. Acute Lumbar
Disk Pain: Navigating Evaluation and Treatment Choices. AAFP, 78(7):
835-842.

22. Milette PC. 2000. Classification, diagnostic imaging, and imaging


characterization of a lumbar herniated disk. Radiologic Clinics of North
America - Volume 38, Issue 6.

29
23. P. M. Parizel, J. W. M. Van Goethm, L. Van den Hauwe, and M.
Voormolen. 2007. Degenerative Disc Disease.Dalam : Goethen. Spinal
Imaging Diagnostic Imaging of the Spine and Spinal Cord. Edisi 1.
Berlin : Springer.

24. Rahim AH (2011). Terapi konservatif untuk low back pain. Bandung : RS
Hasan Sadikin.

25. Weinstein JN, Lurie JD, Tosteson TD, Tosteson AN, Blood EA, Abdu WA,
et al. 2008. Surgical versus nonoperative treatment for lumbar disc
herniation: four-year results for the Spine Patient Outcomes Research Trial
(SPORT). Spine, 33(25):2789-800.

30

Anda mungkin juga menyukai