Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK

Disusun Oleh :
Nurhafizah Binti Kamal 112013169
Norlida Binti Mohd Jamil 112013168
Norhidayu Binti Mesma 112013177
Yordi Rambu Wandal Njudang 112013222
Boby Arisofian 11 2014320
Doni Lukas Damari 112014326

Pembimbing:
Dr. Wian

Dosen Penguji:
Dr. Santosa , SpF

Kepaniteraan Kedokteran Forensik dan Medikolegal


RSUP dr.Kariadi Semarang
BAB I

PENDAHULUAN

I.1.LATAR BELAKANG

Anak merupakan kelompok yang memerlukan perhatian dalam upaya pembinaan


kesehatan masyarakat, karena mereka akan berperan sebagai calon orang tua, tenaga kerja,
bahkan pemimpin bangsa di masa depan. Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan anak di
Indonesia diperlukan upaya pembinaan kesehatan anak yang komprehensif dan terarah pada
semua permasalahan kesehatan akibat penyakit maupun masalah lainnya. Kekerasan dan
penelantaran anak mengakibatkan terjadinya gangguan proses pada tumbuh kembang anak.
Keadaan ini jika tidak ditangani secara dini dengan baik, akan berdampak terhadap penurunan
kualitas sumber daya manusia.

Definisi kekerasan terhadap anak menurut Centers for Disease Control and Prevention
adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan wali atau kelalaian oleh orang tua atau
pengasuh lainnya yang dihasilkan dapat membahayakan, atau berpotensi bahaya, atau
memberikan ancaman yang berbahaya kepada anak. Kekerasan pada anak menurut keterangan
WHO dibagi menjadi lima jenis, yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional,
penelantaran anak, eksploitasi anak.

Selama beberapa tahun terakhir kecenderungan terjadinya kekerasan seksual pada anak
semakin meningkat jumlahnya. Peningkatan jumlah kasus yang terlaporkan dan dilaporkan
meningkat secara akumulatif hingga 100 kasus setiap tahunnya antara tahun 2004 ke tahun 2007.
Secara umum yang dimaksud dengan kekerasan seksual pada anak adalah keterlibatan seorang
anak dalam segala bentuk aktivitas seksual yang terjadi sebelum anak mencapai batasan umur
tertentu yang ditetapkan oleh hukum negara yang bersangkutan di mana orang dewasa atau anak
lain yang usianya lebih tua atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari anak
memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual. Di Indonesia UU
Perlindungan Anak memberi batasan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Kekerasan seksual adalah setiap aktivitas pada anak, di mana umur belum mencukupi
menurut izin hukum, yang digunakan untuk sumber kepuasan seksual orang dewasa atau anak
yang sangat lebih tua. Belakangan ini banyak muncul kasus perilaku seks bebas yang melanda
anak-anak di bawah umur, dimana anak merupakan kelompok yang rentan baik fisik maupun
mental. Seksual abuse termasuk oral-genital, genital-genital, genital-rektal, tangan-genital,
tangan-rektal atau kontak tangan payudara; pemaparan anatomi seksual, melihat dengan paksa
anatomi seksual, dan menunjukkan pornografi pada anak atau menggunakan anak dalam
produksi pornografi. Penelitian tentang “Kekerasan Pada Anak” yang dilakukan oleh Sudaryono
menyatakan selama tiga dasawarsa masalah anak baik sebagai pelaku maupun korban kekerasan
(kekerasan) dapat dikatakan kurang mendapat perhatian.

Maka dari itu, hal yang penting dilakukan adalah memberikan pendidikan seksual atau
pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak-anak sedini mungkin, perlu dilakukan oleh orangtua
dan pihak sekolah agar anak tidak mendapatkan informasi yang salah dari teman, internet,
maupun media lainnya.

I.2. Perumusan Masalah


I.2.1. Apakah yang dimaksud dengan kekerasan seksual pada anak-anak
I.2.2. Peraturan apa yang mengatur perlindungan terhadap kekerasan seksual pada anak-anak
I.2.3. Bagaimanakah mengetahui tanda-tanda kekerasan seksual pada anak
I.2.4. Bagaimanakah efek psikologi pada anak korban kekerasan seksual

I.3. TUJUAN DAN MANFAAT


I.3.1. TUJUAN
Mengetahui peranan dokter umum dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak.

I.3.2. MANFAAT
Dari hasil referat yang dilakukan ini diharapkan dapat diperoleh beberapa manfaat, antara lain :
1. Memberikan informasi yang bermanfaat untuk mengembangkan dan meningkatkan
pengetahuan tentang tanda-tanda kekerasan seksual terhadap anak serta tanda-tanda
psikologisnya.
2. Untuk menambah wawasan tentang ilmu kedokteran forensik, khususnya tentang kekerasan
seksual pada anak-anak dan bagaimana cara menangani kasus tersebut

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Kekerasan Pada Anak (Child Abuse)


Secara umum kekerasan didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan satu
individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan atau mental. Anak ialah
individu yang belum mencapai usia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan
seperti tertera dalam pasal 1 UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Kekerasan pada
anak adalah tindakan yang di lakukan seseorang atau individu pada mereka yang belum genap
berusia 18 tahun yang menyebabkan kondisi fisik dan atau mentalnya terganggu.

Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu tindakan semena-mena
yang dilakukan oleh seseorang yang seharusnya menjaga dan melindungi anak (caretaker) pada
seorang anak baik secara fisik, seksual, maupun emosi. Pelaku kekerasan di sini karena bertindak
sebagai caretaker, maka mereka umumnya merupakan orang terdekat di sekitar anak. Ibu dan
bapak kandung, ibu dan bapak tiri, kakek, nenek, paman, supir pribadi, guru, tukang ojek
pengantar ke sekolah, tukang kebun, dan seterusnya.

Seringkali istilah kekerasan pada anak ini dikaitkan dalam arti sempit dengan tidak terpenuhinya
hak anak untuk mendapat perlindungan dari tindak kekerasan dan eksploitasi. Kekerasan pada
anak juga sering kali dihubungkan dengan lapis pertama dan kedua pemberi atau penanggung
jawab pemenuhan hak anak yaitu orang tua (ayah dan ibu) dan keluarga. Kekerasan yang
disebut terakhir ini di kenal dengan perlakuan salah terhadap anak atau child abuse yang
merupakan bagian dari kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence).

Menurut WHO (World Health Organization) kekerasan dan penelantaran pada anak
merupakan semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun emosional,
penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain, yang
mengakibatkan cedera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak,
kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau martabat anak, yang dilakukan dalam
konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan.

Banyak teori yang berusaha menerangkan bagaimana kekerasan ini terjadi, salah satu di
antaranya teori yang berhubungan dengan stress dalam keluarga (family stress). Stress dalam
keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua, atau situasi tertentu.

1. Stress berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan perilaku yang
terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia balita, serta anak dengan
penyakit kronis atau menahun juga merupakan salah satu penyebab stress.
2. Stress yang berasal dari orang tua misalnya orang tua dengan gangguan jiwa (psikosis
atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tua terlampau
perfek dengan harapan pada anak terlampau tinggi, orang tua yang terbiasa dengan sikap
disiplin.
3. Stress berasal dari situasi tertentu misalnya terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar. Dengan adanya
stres dalam keluarga dan faktor sosial budaya yang kental dengan ketidaksetaraan dalam
hak dan kesempatan, sikap permisif terhadap hukuman badan sebagai bagian dari
mendidik anak, maka para pelaku makin merasa sah untuk menyiksa anak. Dengan
sedikit faktor pemicu, biasanya berkaitan dengan tangisan tanpa henti dan ketidakpatuhan
pada pelaku, terjadilah penganiayaan pada anak yang tidak jarang membawa malapetaka
bagi anak dan keluarganya.

Perlukaan bisa berupa cedera kepala (head injury), patah tulang kepala, geger otak, atau
perdarahan otak. Perlukaan pada badan, anggota gerak dan alat kelamin,mulai dari luka lecet,
luka robek, perdarahan atau lebam, luka bakar, patah tulang. Perlukaan organ dalam (visceral
injury) tidak dapat dideteksi dari luar sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dalam dengan
melakukan otopsi. Perlukaan pada permukaan badan seringkali memberikan bentuk yang khas
menyerupai benda yang digunakan untuk itu, seperti bekas cubitan, gigitan, sapu lidi, setrika,
atau sundutan rokok. Karena perlakuan seperti ini biasanya berulang maka perlukaan yang
ditemukan seringkali berganda dengan umur luka yang berbeda-beda, ada yang masih baru ada
pula yang hampir menyembuh atau sudah meninggalkan bekas (sikatriks). Di samping itu lokasi
perlukaan dijumpai pada tempat yang tidak umum sepertihalnya luka-luka akibat jatuh. atau
kecelakaan biasa seperti bagian paha atau lengan atas sebelah dalam, punggung, telinga, langit
langit rongga mulut, dan tempat tidak umum lainnya.

Saat perlakuan salah pada anak terjadi, lantaran perbuatan itu, pelaku tidak sadar bahkan
mungkin tidak tahu bahwa tindakannya itu akan diancam dengan pidana senjata atau denda yang
tidak sedikit, bahkan jika pelaku ialah orang tuanya sendiri maka hukuman akan ditambah
sepertiganya yakni pada pasal 80 Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, sebagai berikut :

1. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau
penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan
dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000.00.
2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000.00.
3. Dalam hal anak yang dimaksud ayat 2 mati, maka pelaku dipidana penjara paling lama 10
tahun dan/atau denda paling banyak RP. 200.000.000.00
4. Pidana dapat ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2)ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Dan
Pemberdayaan Perempuan Dan Anak Dalam Konflik Sosial

Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini, yang dimaksud dengan :

1. Konflik sosial yang selanjutnya disebut konflik adalah perseteruan dan/atau


benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang
berlansung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan
ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional
dan menghambat pembangunan nasional.
2. Perlindungan perempuan dan anak adalah upaya pencegahan dan penanganan dari
segala bentuk tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi perempuan dan anak,
serta memberikan layanan kebutuhan dasar dan spesifik pereempuan dan anak
dalam penangganan konflik sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan
penanganan konflik.
3. Pemberdayaan perempuan dan anak adalah upaya penguatan hak asasi,
peningkatan kualitas hidup, dan peningkatan partisipasi perempuan dan anak
dalam membangun perdamaian.
4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.
5. Kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah setiap tindakan berdasarkan
perbedaan jenis kelamin yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, mental, psikologis, termasuk intimidasi, pengusiran paksa,
ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan,
penelantaraan serta menghalangi kemampuan perempuan dan anak untuk
menikmati semua hak dan kebebasannya

Pasal 2
Perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak dalam konflik bertujuan untuk
melindungi, menghormati, dan menjamin hak asasi perempuan dan anak dalam penanganan
konflik.
Pasal 3
(1) Perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak dalam konflik dilaksanakan oleh :
a. Kementerian/lembaga terkait sesuai dengan kewenangannya; dan
b. Pemerintah daerah
(2) Pemerintah daerah dalam melaksanakan perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan
anak dalam konflik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memperhatikan
kondisi, situasi, permasalahan, dan penanganan konflik di daerah.

II.1.1.Bentuk Kekerasan pada Anak


Terdapat lima bentuk kekerasan pada anak (1999 WHO Consultation on child abuse
prevention) yaitu:
1. Kekerasan fisik (Physical abuse)
Merupakan kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata ataupun potensial terhadap
anak, sebagai akibat dari interaksi atau tidak adanya interaksi, yang layaknya berada dalam
kendali orang tua atau orang dalam posisi hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau
kekuasaan. Bentuk kekerasan yang sifatnya bukan kecelakaan yang membuat anak terluka.
Contoh: menendang, menjambak (menarik rambut), menggigit, membakar, menampar.

2. Kekerasan seksual (sexual abuse)


Merupakan pelibatan anak dalam kegiatan seksual dimana ia sendiri tidak sepenuhnya
memahami, tidak mampu memberikan persetujuan atau oleh karena perkembangannya belum
siap atau tidak dapat memberi persetujuan, atau yang melanggar hukum atau pantangan
masyarakat, atau merupakan segala tingkah laku seksual yang dilakukan antara anak dan
orang dewasa.
Contoh, pelacuran anak-anak, intercourse, pornografi, eksibionisme, oral sex, dan lain-lain.

3. Mengabaikan (Neglect)
Merupakan kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk tumbuh
kembangnya, seperti kesehatan, perkembangan emosional, nutrisi, rumah atau tempat
bernaung dan keadaan hidup yang aman di dalam konteks sumber daya yang layaknya
dimiliki oleh keluarga atau pengasuh, yang mengakibatkan atau sangat mungkin
mengakibatkan gangguan kesehatan atau gangguan perkembangan fisik mental, moral dan
sosial, termasuk didalamnya kegagalan dalam mengawasi dan melindungi secara layak dari
bahaya gangguan.
4. Kekerasan emosi (Emotional Abuse)
Merupakan kegagalan penyediaan lingkungan yang mendukung dan memadai bagi
perkembangannya, termasuk ketersediaan seorang yang dapat dijadikan figure primer
sehingga anak dapat berkembang secara stabil dengan pencapaian kemampuan sosial dan
emosional yang diharapkan sesuai dengan potensi pribadina dalam konteks lingkungannya.
Segala tingkah laku atau sikap yang mengganggu kesehatan mental anak atau perkembangan
sosialnya.
Contoh : tidak pernah memberikan pujian/ reinforcemen yang positif, membandingkannya
dengan anak yang lain, tidak pernah memberikan pelukan atau mengucapkan” aku sayang
kamu”.

5. Eksploitasi anak (child exploitation)


Merupakan penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas lain untuk keuntungan orang
lain. Dampak dari tindak kekerasan terhadap anak yang paling dirasakan yaitu pengalaman
traumatis yang susah dihilangkan pada diri anak, yang berlanjut pada permasalahan-per
masalahan lain, baik fisik, psikologis maupun sosial.

Stigma yang melekat pada korban :


1. Stigma Interna
a. Kecenderungan korban menyalahkan diri.
b. Menutup diri.
c. Menghukum diri.
d. Menganggap dirinya aib
2. Stigma Eksternal
a. Kecenderungan masyarakat menyalahkan korban.
b. Media informasi tanpa empati memberitakan kasus yang dialami korban
secar terbuka dan tidak menghiraukan hak privasi korban.

Faktor-faktor kausalitas yang signifikan :


1. Masalah kemiskinan
2. Masalah gangguan hubungan sosial keluarga dan komunitas
3. Penyimpangan perilaku dikarenakan masalah psikososial
4. Lemahnya kontrol sosial primer masyarakat dan hukum
5. Pengaruh nilai sosial budaya di lingkungan sosial tertentu
6. Keengganan masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus

Kompleksitas faktor-faktor penyebab dan beban permasalahan yang demikian berat dalam
diri para korban tindak kekerasan, menuntut diambilnya langkah penanganan yang holistik dan
komprehensif melalui pendekatan interdisipliner, interinstitusional dan intersektoral dengan
dukungan optimal dari berbagai sumber dan potensi dalam masyarakat.

II.2. Kekerasan Seksual


Kekerasan seksual adalah salah satu bentuk dari kekerasan tubuh yang merugikan
kesehatan dan nyawa manusia. Ilmu Kedokteran Forensik berguna dalam fungsi
penyelidikan, yaitu untuk:
1. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan
2. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan
3. Memperkirakan umur
4. Menentukan pantas tidaknya korban buat kawin

Kekerasan seksual merupakan segala kekerasan, baik fisik maupun psikologis,


yang dilakukan dengan cara-cara seksual atau dengan mentargetkan seksualitas. Definisi
kekerasan seksual ini mencakup pemerkosaan, perbudakan seksual, dan bentuk-bentuk
lain kekerasan seksual seperti penyiksaan seksual, penghinaan seksual di depan umum,
dan pelecehan seksual.Terdapat dua macam bentuk kekerasan seksual, yaitu ringan dan
berat. Macam-macam kekerasan seksual ringan :
1. Pelecehan seksual
2. Gurauan porno
3. Siulan, ejekan dan julukan
4. Tulisan/gambar
5. Ekspresi wajah
6. Gerakan tubuh
7. Perbuatan menyita perhatian seksual tak dikehendaki korban, melecehkan dan atau
menghina korban.Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke
dalam jenis
kekerasan seksual berat.

Macam-macam kekerasan seksual berat:


1. Pelecehan, kontak fisik: raba, sentuh organ seksual, cium paksa, rangkul, perbuatan
yang rasa jijik, terteror, terhina
2. Pemaksaan hubungan seksual
3. Hubungan seksual dgn cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan
4. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain, pelacuran tertentu.
5. Hubungan seksual memanfaatkan posisi ketergantungan / lemahnya korban.
6. Tindakan seksual dan kekerasan fisik, dengan atau tanpa bantuan alat yang
menimbulkan sakit, luka, atau cedera.

II.3. Dasar Hukum Kekerasan Terhadap Kesusilaan


Persetubuhan tertera pada Bab XIV KUHP Tentang Kekerasan Terhadap Kesusilaan
(a) Persetubuhan dalam perkawinan: Pasal 288 KUHP
(b) Persetubuhan di luar Perkawinan:

► Dengan persetujuan si wanita


- Tanpa ikatan
≈ wanita < 15 tahun : (287 KUHP)
≈ wanita > 15 tahun : (284 KUHP)

- Dengan Ikatan
≈ wanita < 21 tahun
- Pemberian/janji uang/barang (293 KUHP)
- Asuhan/Pendidikan (294 KUHP)
≈ wanita > 21 tahun
- Bawahan (294 KUHP)
- Dalam pengawasan (294 KUHP)

►Tanpa Persetujuan
- Dengan Kekerasan/ ancaman (285 KUHP)
- Si wanita pingsan/tidak berdaya (286 KUHP)

1. Pasal 284 KUHP


Diancam dengan pidanan penjara paling lama sembilan bulan :
a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui
bahwa pasal BW berlaku baginya
b. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahuibahwa
pasal 27 BW berlaku baginya
c. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa
yang turut bersalah telah kawin
d. Seorang wanita yang telah kawin yang turut sert melakukan perbuatan itu, padahal
diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah tlah kawin dan pasal 27 BW berlaku
baginya

2. Pasal 285 KUHP

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan diancam karena melakukan perkosaan dengan
pidana penjara paling lama 12 tahun.

3. Pasal 286 KUHP

Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal diketahui bahwa
wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya diancam dengan pidana penjara paling lama
9 tahun.

4. Pasal 287 KUHP


1. Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal diketahuinya
atau sepatutnya atau diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau
umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana
penjara paling lama 9 tahun.
2. Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua
belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294

5. Pasal 288 KUHP


i- Barang siapa dalam perkawinan telah bersetubuh dengan seorang wanita di luar
perkawinan padahal diketahuinya atau sepatutnya atau diduganya belum waktunya untuk
dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara
paling lama 4 tahun Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana
penjara paling lama 8 tahun
ii- Jika mengakibatkan mati dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 tahun

6. Pasal 289 KUHP

Barang siapa dengan kekerasan taua ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam dengan melakukan perbuatan yang
menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

7. Pasal 293 KUHP


1. Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan
pembawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja
menggerakkan seorang yang belum dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum
kedewasaannya diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam pidana penjara
paling lama lima tahun
2. Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan
kejahatan itu
3. Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing
Sembilan bulan dan dua belas bulan.

8. Pasal 294 KUHP


2. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, tirinya,anak angkatnya, anak
dibawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan yang belum dewasa
pemeliharaannya pendidikan atau penjagaan dianya yang belum dewasa diancam pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
3. Diancam dengan pidana yang sama:
i- Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan
adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau
diserahkan kepadanya
ii- Pengurus, dokter, guru pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara,tempat pekerjaan
Negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit ,rumah sakit jiwa, lembaga sosial yang
melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan kedalamnya.
II.4. Aspek Hukum KUHP Tentang Perbuatan Cabul
Pasal KUHP yang mengatur mengenai pencabulan ada dalam pasal 289-296.

a. Pasal 289 KUHP


Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk
melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, diancam karena melakukan
perbuatan yang menyerang kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

b. Pasal 290 KUHP


Diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun:
· Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui
bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;
· Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui atau
sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya
tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin.
· Barangsiapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa
umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum
mampu dikawin, untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul atau bersetubuh
diluar perkawinan dengan orang lain

c. Pasal 292 KUHP


Orang yang cukup umur yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama
kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa belum cukup umur,diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

d. Pasal 293 KUHP


Barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan
pembawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan menyesatkan sengaja
menggerakkan seseorang belum cukup umur dan baik tingkah-lakunya, untuk melakukan
atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum
cukup umurnya itu diketahui atau selayaknya harus diduga, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun.

· Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan
kekerasan itu.
· Tenggang tersebut dalam pasal 74, bagi pengaduan ini adalah masing-masing 9 bulan
dan 12 bulan.

II.5. Peran Kedokteran Forensik Dalam Kasus Kekerasan Seksual:


1. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan
Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat
kelamin perempuan, sebagian atau seluruhnya dan dengan atau tanpa terjadinya pancaran
air mani. Pemeriksaan dipengaruhi oleh : besarnya zakar dengan ketegangannya,
seberapa jauh zakar masuk, keadaan selaput dara serta posisi persetubuhan.

Adanya robekan pada selaput dara hanya menunjukkan adanya benda padat/kenyal yang
masuk (bukan merupakan tanda pasti persetubuhan). Jika zakar masuk seluruhnya &
keadaan selaput dara masih cukup baik, pada pemeriksaan diharapkan adanya robekan
pada selaput dara. Jika elastis, tentu tidak akan ada robekan. Adanya pancaran air mani
(ejakulasi) di dalam vagina merupakan tanda pasti adanya persetubuhan. Pada orang
mandul, jumlah spermanya sedikit sekali (aspermia), sehingga pemeriksaan ditujukan
adanya zat-zat tertentu dalam air mani seperti asam fosfatase, spermin dan kholin. Namun
nilai persetubuhan lebih rendah karena tidak mempunyai nilai deskriptif yang mutlak atau
tidak khas.

 Sperma masih dapat ditemukan dalam keadaan bergerak dalam vagina 4-5 jam
setelah persetubuhan.
 Pada orang yang masih hidup, sperma masih dapat ditemukan (tidak bergerak)
sampai sekitar 24-36 jam setelah persetubuhan, sedangkan pada orang mati
sperma masih dapat ditemukan dalam vagina paling lama 7-8 hari setelah
persetubuhan.
 Pada laki-laki yang sehat, air mani yang keluar setiap ejakulasi sebanyak 2-5 ml,
yang mengandung sekitar 60 juta sperma setiap mililiter dan 90% bergerak
(motile)
 Untuk mencari bercak air mani yang mungkin tercecer di TKP, misalnya pada
sprei atau kain maka barang-barang tersebut disinari dengan cahaya ultraviolet
dan akan terlihat berfluoresensi putih, kemudian dikirim ke laboratorium.
 Jika pelaku kekerasan segera tertangkap setelah kejadian, kepala zakar harus
diperiksa, yaitu untuk mencari sel epitel vagina yang melekat pada zakar. Ini
dikerjakan dengan menempelkan gelas objek pada gland penis (tepatnya
sekeliling korona glandis) dan segera dikirim untuk mikroskopis.
 Robekan baru pada selaput dara dapat diketahui jika pada daerah robekan tersebut
masih terlihat darah atau hiperemi/kemerahan. Letak robekan selaput dara pada
persetubuhan umumnya di bagian belakang (comisura posterior), letak robekan
dinyatakan sesuai menurut angka pada jam. Robekan lama diketahui jika robekan
tersebut sampai ke dasar (insertio) dari selaput dara.
 VeR yang baik harus mencakup keempat hal tersebut di atas (fungsi
penyelidikan), dengan disertai perkiraan waktu terjadinya persetubuhan. Hal ini
dapat diketahui dari keadaan sperma serta dari keadaan normal luka
(penyembuhan luka) pada selaput dara, yang pada keadaan normal akan sembuh
dalam 7-10 hari.

2. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan


Kekerasan tidak selamanya meninggalkan bekas/luka, tergantung dari penampang benda,
daerah yang terkena kekerasan, serta kekuatan dari kekerasan itu sendiri. Tindakan
membius juga termasuk kekerasan, maka perlu dicari juga adanya racun dan gejala akibat
obat bius/racun pada korban.

Adanya luka berarti adanya kekerasan, namun tidak ada luka bukan berarti tidak ada
kekerasan. Faktor waktu sangat berperan. Dengan berlalunya waktu, luka dapat sembuh
atau tidak ditemukan, racun/obat bius telah dikeluarkan dari tubuh. Faktor waktu penting
dalam menemukan sperma.

3. Memperkirakan umur
Tidak ada satu metode tepat untuk menentukan umur, meskipun pemeriksaannya
memerlukan berbagai sarana seperti alat rontgen untuk memeriksa pertumbuhan tulang
dan gigi. Perkiraan umur digunakan untuk menentukan apakah seseorang tersebut sudah
dewasa (> 21 tahun) khususnya pada homoseksual/lesbian serta pada kasus pelaku
kekerasan. Sedangkan pada kasus korban perkosaan perkiraan umur tidak diperlukan.

4. Menentukan pantas tidaknya korban buat dikawin


Secara biologis jika persetubuhan bertujuan untuk mendapatkan keturunan, pengertian
pantas/tidaknya buat kawin tergantung dari: apakah korban telah siap dibuahi yang
artinya telah menstruasi, namun untuk bukti hal ini korban perlu diisolir untuk waktu
cukup lama. Bila dilihat Undang-Undang Perkawinan, yaitu pada Bab II pada pasal 7
ayat 1 berbunyi : perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai 19 tahun dan
wanita sudah mencapai 16 tahun. Namun terbentur lagi pada masalah penentuan umur
yang sulit diketahui kepastiannya.

II.5.1. Pemeriksaan Medis


1. Anamnesis
Anamnesis umum memuat:
· Identitas : Nama, umur, TTL, status perkawinan,
· Spesifik : Siklus haid, penyakit kelamin, peny. kandungan, peny. lain, pernah
bersetubuh, persetubuhan yang terakhir, kondom ?
Anamnesis khusus memuat waktu kejadian

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum memuat :
· Kesan penampilan (wajah, rambut), ekspresi emosional, tanda-tanda bekas kehilangan
kesadaran / obat bius / needle marks.
· Berat badan, tinggi badan, tanda vital, pupil, refleks cahaya, pupil pinpoint, tanda
perkembangan alat kelamin sekunder, kesan nyeri ?
Pemeriksaan fisik khusus memuat:
o Pembuktian persetubuhan :
-Ada / tidak penetrasi penis ke vagina / anus / oral
-Ejakulat / air mani pada vagina / anus
o Bukti Penetrasi :
-Robekan hymen, laserasi (mencakup perkiraan waktu)
-Variasi : - korban 3 hari yang lalu / lebih hymen elastis
○ Penetrasi tidak lengkap
- Bukti Ejakulat/air mani (mencakup perkiraan waktu)
- Perlekatan rambut kemaluan
- Ejakulat di liang vagina
- Pemeriksaan Pakaian
- Rapi / tidak,
- Robekan? lama/baru, melintang? pada jahitan? kancing putus?
- Bercak darah
- Air mani
- Lumpur / kotoran lain di TKP

3. Pemeriksaan Laboratorium
- Cairan dan sel mani dalam lendir vagina
- Pemeriksaan terhadap kuman N. gonorrhoea sekret ureter
- Pemeriksaan kehamilan
- Toksikologik darah dan urin

4. Pembuktian Adanya Kekerasan


- Luka-luka lecet bekas kuku, gigitan (bite marks), luka-luka memar
- Lokasi : Muka, leher, buah dada, bagian dalam paha dan sekitar alat kelamin

5. Perkiraan Umur
- Dasar berat badan, tinggi badan, bentuk tubuh, gigi, ciri-ciri kelamin sekunder
- Pemeriksaan sinar X : standar waktu penyatuan tulang
6. Penentuan sudah atau belum waktunya dikawin
- Pertimbangan kesiapan biologis : menstruasi,
- Wanita sudah ovulasi / belum : vaginal smear
- Berdasar umur ? : > 16 th

7. Pemeriksaan terhadap Pelaku


- Upaya pengenalan persetubuhan,
- Bercak sperma, darah, tanah dan pakaian, robekan.
- Bentuk tubuh : memungkinkan tindakan kekerasan.
- Tanda cedera : perlawanan korban ?
- Rambut terlepas.
- Pemeriksaan menyeluruh alat kelamin : mampu seksual ? cedera ?
- Tanda infeksi gonokokus,
- Sekret
- Smegma

8. Pemeriksaan Penentuan Golongan Darah


- Serologis air mani (antigen ABO) pada orang yg ’sekretor’
- Di cocokkan dengan golongan darah (pelaku / korban)
9. Homoseksual
- Homoseksual merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual
- Didalam Pasal 292 KUHP, terdapat ancaman hukuman bagi seseorang yang cukup
umur yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama kelaminnya yang
belum cukup umur

II.6. Dampak Pada Korban Pelecehan Seksual Dan Perkosaan


Jangka pendek
a) Gangguan fisik antara lain: lebam, lecet, luka bakar, patah tulang, kerusakan organ,
robekan selaput dara, keracunan, gangguan susunan saraf pusat
b) Gangguan emosi atau perubahan perilaku seperti pendiam, menangis dan menyendiri

Jangka panjang
 Post Traumatic Stress Disorder
Sindrom kecemasan, labilitas autonomik, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari
pengalaman yang amat pedih setelah mengalami stress fisik maupun emosi yang
melampaui batas ketahanan orang biasa.

Gejala:
o Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan
peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami, flashback (merasa seolah-olah
peristiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi buruk
tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik
yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.

o Penghindaran dan emosional, ditunjukkan dengan menghindari aktivitas, tempat,


berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. Selain
itu juga kehilangan minat terhadap semua hal, dan perasaan terasing dari orang
lain.

o Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur, mudah marah/tidak


dapat mengendalikan marah, susah berkonsentrasi, kewaspadaan yang berlebih,
respon yang berlebihan atas segala sesuatu

 Depresi
Gejala:
o Kesedihan berkepanjangan
o Perubahan pola makan dan tidur
o Perubahan berat badan yang dikaitkan dengan perubahan pola makan
o Merasa tidak ada energy atau loyo
o Irritabilitas
o Menurunnya konsentrasi
o Pesisme atau apatis
o Gejala somatic seperti nyeri kepala
o Pikiran bunuh diri

 Infeksi Menular Seksual seperti HIV/AIDS, Herpes genitalis dan sifilis


BAB III

DAFTAR PUSTAKA

1. Idries, AM. 1997. Kekerasan Seksual. Dalam: Idries, AM, Pedoman Ilmu Kedokteran
Forensik. Jakarta: Bina Rupa Aksara. p 216-27
2. Philip SL. Clinical Forensic Medicine: Much Scope for Development in Hong Kong.
Hongkong: Departement of Pathology Faculty of Medicine University of Hongkong.
2007
3. Hobbs CJ, Hanks HGI, Wynne JM: Violence and criminality. Dalam: Child Abuse and
Neglect A Clinician’s Handbook. 2nd Edition. Churchill Livingstone, London.1999.
4. Kaplan,H.I., B. J. Sadock, J.A. Grebb, Sinopsis Psikiatri:Ilmu Pengetahuan Perilaku
Psikiatri Klinis, 2 (Jakarta: Binarupa Aksara,1997).

Anda mungkin juga menyukai