BAB I
PENDAHULUAN
Terapi oksigen adalah memasukkan oksigen tambahan dari luar ke paru melalui saluran
pernafasan dengan menggunakan alat sesuai kebutuhan. ( Standar Pelayanan Keperawatan di
ICU, Dep.Kes. RI, 2005 )
Terapi oksigen adalah pemberian oksigen dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari
yang ditemukan dalam atmosfir lingkungan. Pada ketinggian air laut konsentrasi oksigen dalam
ruangan adalah 21 %, (Brunner & Suddarth,2001)
Hampir bisa dipastikan pemberian segala terapi mempunyai efek yang tidak diinginkan
maupun resiko-resiko yang bersifat negatif.
Oleh sebab itu penulis ingin mengulas tetang faktor-faktor apa saja yang menjadi resiko
pemenuhan kebutuhan oksigen.
2.1.Keracunan Oksigen
Patofisiologi toksisitas oksigen tidak dimengerti dengan baik, tetapi berkaitan dengan
penghancuran dan penurunan surfaktan, pembentukan lapisan membran hialin paru, dan
terjadinya edema paru yang bukan berasal dari jantung (Brunner & Suddarth, 2001). Keadaan
ini dapat merusak struktur jaringan paru seperti atelektasis dan kerusakan surfaktan. Akibatnya
proses difusi di paru akan terganggu. Keracunan oksigen ini dapat terjadi bila oksigen diberikan
dengan fraksi lebih dari 50% terus-menerus selama 1-2 hari. Apabila O2 80-100% diberikan
kepada manusia selama 8 jam atau lebih, saluran pernafasan akan teriritasi, menimbulkan
distres substernal, kongesti hidung, nyeri tenggorokan dan batuk.
Oksigen murni akan menyebabkan kerusakan atau iritasi mukosa saluran pernafasan.
Mukosa saluran pernafasan ini mengandung faktor – faktor pertahanan tubuh, diantaranya
adalah PMN diatas, selain itu juga mengandung imunoglobulin (IgA), interferon, dan antibiotik
spesifik (Pierce,1995).
Konsentrasi oksigen 100 % dapat diberikan kalau memang masih diperlukan. Setalah
hipoksia teratasi secara bertahap konsntrasi oksigen harus diturunkan serendah mungkin
selama SaO2 lebih dari 96 % (Materi Pelatihan ICU RSUP Dr. Soetomo,2005).
Penggunaan PEEP (Positive End Expiratory Pressure) atau CPAP (Continous Positive
Airway Pressure) sering dilakukan dalam kaitannya dengan terapi oksigen untuk mencegah
microatelektasis, dan dengan demikian memungkinkan penggunaan oksigen dengan persentase
yang lebih rendah.
Pada pasien PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronis) misalnya asma, bronkhitis
kronis, emfisema, rangsang pernafasannya adalah penurunan oksigen darah, bukan
peningkatan kadar CO2. Dengan demikian pemberian konsentrasi oksigen yang tinggi
akan menyingkirkan dorongan bernafas yang sudah dibentuk sebagian besar oleh
tekanan oksigen rendah yang kronis pasien. Akibat penurunan ventilasi alveolar
tersebut dapat menyebabkan peningkatan progresif tekanan karbondioksida (PaCO2),
akhirnya mengarah pada kematian akibat narkosis CO2 dan asidosis.
2.3. Microatelektasis
Disebabkan oleh penurunan gas nitrogen dan surfaktan di alveoli akibat terapi
oksigen dosis tinggi dalam waktu lebih dari 24 jam. Oksigen murni dapat merusak sel-
sel alveolus tipe II sehingga sel-sel tersebut tidak dapat menghasilkan surfaktan
(Corwin, 2000: 405-406), yang ditandai dengan:
2.3.1. Batuk
2.3.2. Nyeri dada
2.3.3. Sulit bernafas
2.3.4. Demam
2.3.5. Sianosis dan peningkatan detak jantung
2.4. Fibroplasia Retrolental pada bayi prematur
Pada bayi prematur, kapiler retinanya sangat sensitif terhadap pemberian
oksigen yang tinggi. Oksigen dengan persentase yang tinggi akan merangsang
immature capillary retina untuk spasme dan proliferasi, sehingga merusak retina dan
menyebabkan kebutaan. Oleh karena itu PaO2 harus dijaga antara 60 – 80 mmHg.
2.5. Barotrauma
Karena oksigen mempunyai sifat kombusi (mudah terbakar), selalu ada bahaya
api ketika menggunakan oksigen. Don't use electricity tools during O2 therapy.
2.8. Infeksi
Peralatan terapi oksigen juga potensial sebagai sumber infeksi silang bakteri dan
karenanya selang harus sering diganti, tergantung kebijakan pengendalian infeksi dan
jenis peralatan pemberian oksigen. Air humidifier juga dapat sebagai media
pertumbuhan kuman, oleh karenanya harus dibersihkan dan diganti tiap hari.
BAB III
PENUTUP
Pemberian oksigen tetap pada level rendah (24-28 %), ternyata juga dapat menyebabkan
kemungkinan terjadinya hiperkarbia, sehingga harus digunakan dengan hati-hati.
Oksigen merupakan obat, sehingga pemberiannya haruslah hati - hati supaya tidak terjadi
intoksikasi. Sesuai dengan peran perawat, dituntut untuk menerapkan konsep terapi oksigen
yang tepat. Memiliki analisa dan berfikir kritis dimana terapi oksigen membutuhkan
penggunaan humidifier, sehingga perawat harus mengevaluasi penggunaan air, penggantian air
dan pembersihan humidifier.
Evaluasi humidifier sangat penting guna mencegah pertumbuhan bakteri untuk pencegahan
infeksi nosokomial. Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat
ini tersedia humidifier yang sekali pakai yang dapat mencegah terjadinya pertumbuhan bakteri
tetapi karena harganya yang mahal disarankan menggunakan humidifier tanpa diisi dengan air.
Sebagai perawat yang mempunyai pemikiran kritis diharapkan dapat memanfaatkan humidifier
tanpa air sesuai dengan teori dan perlu melakukan penelitian pemakaian humidifier tanpa air
dengan pertumbuhan bakteri sehingga dapat dijadikan sebagai evidence-based.
DAFTAR PUSTAKA
Linelle N.B.Pierce, 1995, Mechanical Ventilation and Intensive Respiratory Care, Philadelpia
: W.B.Saunders
Soetomo, 2007, Materi Pelatihan Intensif Care Unit (ICU), Surabaya : Bidang Diklit RSUP
Dr. Soetomo
Suzanne C. Smeltzer & Brenda G. Bare, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth, Edisi 8, Jakarta : EGC
http://razimaulana.wordpress.com/2008/11/02/terapi-oksig
Data Penunjang Oksigenasi
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Darah memerlukan oksigen untuk dapat berfungsi dengan baik. Kekurangan oksigen dalam
darah bisa membuat tubuh mengalami masalh serius. Selain olahraga dan transfusi darah,
nutrisi tertentu juga bisa meningkatkan oksigen dalam darah. Salah satu indikator yang sangat
penting dalam suplai oksigen di dalma tubuh adalah saturasi oksigen (SpO2). Arena saturasi
oksigen bisa menunjukkan apakah hemoglobin dapat mengikat oksigen atau tidak. Sehingga
kekurangan oksigen yang beresiko pada kerusakan organ-organ penting di dalam tubuh dan
kematian dapat ditanggulangi. Yang dimaksud dengan saturasi oksigen adalh persentase
daripada hemoglobin yang mengikat oksigen dibandingkan dengan jumlah total hemoglobin
yang ada di dalm tubuh. Hubungan antara tekanan tekanan parsial oksigen dalam darah (PO2)
dan saturasi oksigen dalam darah adalah “makin tinggi PO2 dalam darah maka makin tinggi
pula SaO2. Nilai PO2 dalam keadaan normal adalah sekitar 90 mmHg dan saturasi oksigen
paling sedikit 95%. Oleh karena itu, sangat sulit untuk mengukur kadar oksigen yang saturasi
dengan hemoglobin dalam darah.
Oksigenasi adalah memberikan aliran gas O2 lebih dari 21% pada tekanan atmosfer sehingga
konsentrasi oksigen meningkat dalam tubuh. Oksigen adalah salah satu komponen gas dan
unsur vital dalam proses metabolisme untuk mempertahankan kelangsungan hidup seluruh
sel-sel tubuh.Kebutuhan oksigenasi merupakan salah satu kebutuhan dasar pada manusia
yaitu kebutuhan fisiologis.
Secara normal elemen tersebut diperoleh dengan cara menghirup oksigen setiap kali bernafas.
Penyimpanan oksigen ke jaringan tubuh ditentukan oleh sistim respirasi, kardiovaskuler, dan
keadaan hematologi. Dalam keadaan biasa, manusia membutuhkan sekitar 300cc oksigen
sehari (24jam) atau sekitar 0,5cc tiap menit.
Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
v Saturasi oksigen merupakan rasio antara jumlah oksigen aktual yang terikat oleh
hemoglobin terhadap kemampuan total hemoglobin darah mengikat oksigen. (Darmanto
Djodjodibroto)
v Saturasi oksigen adalah ukuran seberapa banyak presentase oksigen yang mampu dibawa
oleh hemoglobin. (Unimus)
v Saturasi oksigen adalah ukuran perbandingan jumlah oksigen dalam media tertentu.
v Simpulannya, saturasi oksigen merupakan nilai dalam bentuk persen sebagai bentuk
pembanding oksigen yang diikat oleh hemoglobin.
Sel-sel darah merah mengandung molekul yang dikenal sebagai hemoglobin yang mengikat
oksigen atmosfer, dan membawanya ke berbagai bagian tubuh.
Jumlah oksigen (dalam mL) yang terdapat dalam 100 mL darah dinamakan kandungan
oksigen. Oksigen yang berada dalam darah berupa larutan di plasma dan berupa senyawa
dengan Hb di eritrosit. Kemampuan oksigen untuk larut dalam plasma darah dengan PaO2 =
100mmHg adalah 0,003 mL oksigen per 1 mL plasma sedangkan 1 gram Hb dengan saturasi
100% mempunyai kemampuan mengikat 1,39 mL oksigen. Jadi, oksigen yang berupa larutan
di plasma sebanyak 3 mL O2/Liter darah, sedangkan yang berikatan dengan hemoglobin
sebanyak 203,3 mL O2/Liter darah.
b) Nilai Normal
Dalam tubuh manusia, saturasi oksigen adalah ukuran dari oksigen yang terlarut dalam darah.
Sebuah contoh, 1 molekul hemoglobin mengandung 4 molekul oksigen. Jadi berapa banyak
oksigen dari 100 molekul hemoglobin? Tentu saja 100 x 4. Jadi oksigenasi darah yang
normal dapat dihitung sebagai (380/400) x 100 = 95%.
Tingkat oksigen di dalam tubuh dapat diukur dengan bantuan berbagai metode. Cara yang
paling umum untuk menentukan apakah kadar oksigen yang sehat adalah dengan bantuan tes
darah. Cara lain yang mudah untuk memeriksa tingkat oksigen dalam darah, adalah dengan
menggunakan oksimeter pulsa. Ini adalah sebuah perangkat kecil yang mengukur kadar
oksigen dalam darah dengan cara sensor cahaya.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan hal ini terjadi adalah anemia, penyakit paru
obstruktif kronik, empisema, pnemonia, pneumothorax, akut respiratory distress syndrome
(ARDS), pulmonary embolism, fibrosis paru dan sleep apnea.
Hiperoksia merupakan kondisi yang ditandai dengan kadar oksigen yang sangat tinggi dalam
darah. Hal ini umumnya terjadi sebagai akibat dari bernapas terkonsentrasi oksigen.
Dianggap sebagai kondisi serius, dapat menyebabkan kematian sel dan kerusakan, terutama
di sistim saraf pusat, mata dan paru-paru.
Orang-orang yang rentan terhadap kondisi ini termasuk penyelam, karena mereka terkena
tekanan atmosfer tinggi, yang dikirim pada misi luar angkasa manusia, dan mereka yang
sedang menjalani oksigen hiperbarik.
Gejala hiperoksia termasuk disorientasi, masalah pernapasan, dan visi terganggu. Dalam
kasus dimana keracunan oksigen sangat tinggi, mungkin ada kerusakan oksidatif pada sel,
deflasialveoli di paru, ablasi retina, dan kejang. Ini semacam toksisitas yang dapat dikelola
dengan mengurangi paparan peningkatan kadar oksigen.
Analisa gas darah merupakan pemeriksaan untuk mengukur keasaman (pH), jumlah oksigen
dan karbondioksida dalam darah. Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai fungsi kerja paru-
paru dalam menghantarkan oksigen ke daam sirkulasi darah dan mengambil karbondioksida
dari dalam darah. Analisis gas darah meliputi pemeriksaan PO2, PCO3, pH, HCO3 dan sturasi
oksigen.
Analisa gas darah biasanya didasarkan pada pengambilan sampel arteri. Nilai vena diberikan
sebagai referensi. Cara ini merupakan cara terbaik untuk mengevaluasi keseimbangan asam-
basa yang ada pada darah.
1. Pasien dengan penyakit obstruksi paru kronik, penyakit paru obstruktif kronis yang
ditandai dengan adanya hambatan aliran udara pada saluran napas yang bersifat
progresif non reversible ataupun reversible parsial. Terdiri dari dua macam jenis yaitu
bronchitis kronis dan enfisema, tetapi bisa juga gabungan antar kedudanya.
2. Pasien dengan pulmonary edema. Pulmonary edema terjadi ketika alveoli dipenuhi
dengan kelebihan cairan yang merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam
paru sebagai gantinya udara. Ini dapat menyebabkan persoalan-persoalan dengan
pertukaran gas, berakibat pada kesulitan bernapas dan pengoksigenan darah yang
buruk. Adakalanya, hal ini dapat dirujuk sebagai ‘air dalam paru-paru’ ketika
menggambarkan kondisi ini pada pasien-pasien. Pulmonary edema dapat disebabkan
oleh banyak faktor yang berbeda. Ia dapat dihubungkan pada gagal jantung yang
disebut cardiogenic pulmonary edema, atau dihubungkan pada sebab-sebab lain,
dirujuk sebagai non-cardiogenic pulmonary edema.
3. Pasien akut respiratory distress sindrom (ARDS), ARDS terjadi sebagai akibat cedera
atau trauma pada membran alveolar kapiler yang mengakibatkan kebocoran cairan ke
dalam ruang intertistiel alveolar dan perubahan dalam jaring-jaring kapiler, terdapat
ketidak seimbangan ventilasi dan perkusi yang jelas akibat-akibat kerusakan
pertukaran gas dan pengalihan ekstansif darah dalam paru. ARDS menyebabkan
penurunan dalam ppembentukan surfaktan, yang mengarah pada kolaps alveolar.
Komplians paru menjadi sangat menurun atau paru menjadi kaku akibatnaya adalah
penurunan karakteristik dalam kapasitas residual fungsional, hipoksia berat dan
hipokapnia.
4. Infark miokard, merupakan perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung yang
disebabkan oleh ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Klinis
sangat mencemaskan karena sering berupa serangan mendadak umumnya pada pria
35-55 tahun, tanpa gejala pendahuluan.
5. Pneumonia, merupakan penyakit dari paru dan sistem dimana alveoli (mikroskopik
udara mengisi kantong paru yang bertanggung jawab untuk menyerap oksigen dari
atmosfir) menjadi radang dan dengan penimbunan cairan. Pneumonia disebabkan oleh
berbagai macam sebab, meliputi infeksi karena bakteri, virus, jamur atau parasit.
Pneumonia juga dapat terjadi karena bahan kimia atau kerusakan fisik dari paru, atau
secara tak langsung dari penyakit lain seperti kanker paru atau penggunaan alkohol.
6. Pasien shock. Shock merupakan sindrom klinik yang terjadi jika sirkulasi darah arteri
tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Perfusi jaringan
yang adekuat tergantung tiga faktor utama yaitu curah jantung, volume darah, dan
pembuluh darah. Jika salah satu dari ketiga faktor penentu ini kacau dan faktor lain
tidak dapat melakukan kompensasi makan akan terjadi shock. Pada shock juga terjadi
hipoperfusi jaringan yan menyebabkan gangguan nutrisi dan metabolisme sel
sehingga sering kali menyebabkan kematian pada pasien.
7. Post pembedahan coronary arteri bypass, coronary arteri by pass graft adalah
terjadinya suatu respon inflamasi sistemik pada derajat tertentu dimana hal tersebut
ditandai dengan hipotensi yang menetap, demam yang bukan disebabkan karena
infeksi, DIC, eodema jaringan yang luas, dan kegagalan beberapa organ tubuh.
Penyebab inflamasi sitemik ini dapat disebabkan oleh suatu respon banyak hal, antara
lain oleh karena penggunaan kardio pulmonary by pass.
8. Resusitasi Cardiac Arrest, penyebab utama dari hal tersebut adalah aritmia, yang
dicetuskan oleh beberapa faktor, diantaranya penyakit jantung kororner, stress fisik
(perdarahan yang banyak, sengatan listrik, kekurangan listrik, kekurangan oksigen
akibat tersedak, tenggelam ataupun serangan asma yang berat), kelainan bawaan,
perubahan struktur jantung (akibat penyakit katup atau otot jantung) dan obat-obatan.
Penyebab lain cardiac arrest adalah temponade jantung dan tension pneumothorax.
Sebagai akibat dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti. Berhentinya
peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh, organ-organ
tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk
otak. Hipoksia serebral atau ketiadaan oksigen di otak, menyebabkan korban
kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal. Kerusakan otak mungkin terjadi
jika cardiac arrest tidak ditangan dalam lima menit dan selanjutnya akan terjaid
kematian dalam sepuluh menit. Jika cardiac arrest dapat dideteksi dan ditangani
dengan segera, kerusakan organ yang serius seperti kerusakan otak, ataupun kematian
mungkin bisa dicegah.
a) pH: merupakan konsentrasi H+ untuk menunjukkan status asam-basa darah. Nilai
menunjukkan apakah pH arteri normal (7,40), asam (<7,40), atau alkalotik (>7,40). Karena
kemampuan mekanisme kompensasi untuk menormalkan pH, nilai hampir normal tidak
meniadakan kemungkinan dari gangguan asam-basa.
c) PaO2: tekanan oksigen parsial dalam arteri PaO2 tidak mempunyai peran pengaturan
asam-basa bila terdapat dalam rentang normal. Adanya hipoksemia dengan PaO2 < 60 mmHg
dapat menimbulkan metabolisme anaerobik, mengakibatkan produksi asam laktat dan
asidosis metabolik. Terdapat penurunan normal pada PaO2 sesuai penambahan usia.
Hipoksemia juga dapat menyebabkna hiperventilasi mengakibatkan alkalosis respiratori.
d) HCO3– : Bikarbonat serum merupakan komponen ginjal mayor dari pengaturan asam-
basa. HCO3– dieksresikan atau dihasilkan oleh ginjal untuk mempertahankan lingkungan
asam-basa normal. Penurunan kadar bikarbonat (<22 mEo/L) merupakan indikasi asidosis
metabolik (jarang terlihat sebagai mekanisme kompensasi untuk alkalosis respiratori ).
Peningkatan kadar bikarbonat (>22 mEo/L) menggambarkan alkalosis metabolik juga sebagai
gangguan metabolik primer atau sebagai perubahan kompensatori pada respon terhadap
asidosis respiratori.
Berikut ini adalah langkah-langkah yang dianjurkan untuk mengevaluasi nilai gas darah
arteri. Langkah-langkah ini didasarkan pada asumsi bahwa nilai rata-rata adalah pH= 7,4
PaCO2= 40 mmHg, HCO3 = 24 mEq/L.
1. Pertama perhatikan pH. PH dapat tinggi, rendah atau normal sebagai berikut
ü pH = 7,4 (normal)
pH normal dapat menunjukkan gas darah yang benar-benar normal atau pH yang normal ini
mungkin suatu indikasi ketidak seimbangan yang terkompensasi. Ketidak seimbangan yang
terkompensasi adalah suatu ketidak seimbangan dimana tubuh sudah mampu memperbaiki
pH contohnya seorang pasien dengan asidosis metabolik primer dimulai dengan kadar
bikarbonat yang rendah tetapi dengan kadar karbondioksida yang normal segera sesudah itu
paru mencoba mengkompensasi ketidak seimbangan dengan mengeluarkan sejumlah besar
karbondioksida (hiperventilasi)
2. Langkah berikut adalah untuk menentukan penyebab primer gangguan. Hal ini dilakukan
mengevaluasi PaCO2 dan HCO3– dalam hubungannya dengan pH.
a) Jika PaCO2 > 40 mmHg gangguan utama adalah asidosis respiratorik (situasi ini
timbul jika pasien mengalami hipoventilasi dan karenanya menahan terlalu banyak
karbondioksida atau sustansi asam)
b) Jika HCO3– < 24 mEq/L, gangguan primernya adalah asidosis metabolik (situasi ini
timbul jika kadar bikarbonat tubuh turun baik karena kehilangan bikarbonat atau bikarbonat
atau karena penambahan asam seperti asam laktat atau keton)
3. Langkah berikutnya mencakup menentukan apakah kompensasi telah terjadi. Hal ini
dilakukan dengan melihat nilai selain gangguan primer. Jika nilai ini bergerak ke arah
yang sama dengan nilai primer, kompensasi sedang berjalan untuk
mempertimbangkan gas-gas.
4. Buat penafsiiran tahap akhir (gangguan asam basa sederhana, gangguan asam basa
campuran).
ü pH : 7,35-7,45
ü BE : 0±2 mEq/L
Foto thorax merupakan tes pemeriksaan tidak efisien untuk penyakit paru-paru bagi pasien
dibawah 30 tahun. foto thorax prabedah mungkin diindikasikan pada pasien berumur 30-39
tahun yang akan menjalani operasi abdomen dan merupakan keharusan bagi pasien berumur
40 tahun, dengan insiden karsinoma bronkogonik meningkat. Semua pasien dengan faktor
risiko klinik bermakna seperti disebut di atas, harus diperiksa dengan foto thorax, seperti juga
untuk semua pasien sebelum dilakukannya operasi thorax.
Penentu gas darah arteri prabedah merupakan tes prognosis yang tepat untuk gangguan paru-
paru pada periode prabedah. Gas darah arteri diindikasikan sebelum semua operasi reseksi
paru dan mungkin diindikasikan relatif bagi sebagian besar operasi thorax. Selain itu PO2
bermanfaat dalam menilai lebih lanjut pasien dengan faktor risiko klinik bermanfaat atau tes
fungsi paru yang menunjukkan adanya penyakit paru obstruktif atau restriktif menahun.
Tes fungsi paru sangat membantu untuk menentukan faktor resiko masalah paru. Namun
belum ada tes pasca bedah. Tetapi derajat resiko belum ditentukan dengan baik, karena
keadaan gemuk sendiri sering sukar didefinisikan dalam berbagai penelitian. Operasi yang
lama maupun dispne, bronkitis, batuk atau gejala penyakit paru obstruktif menahun lainnya
prabedah, juga berhubungan dengan dengan resiko komplikasi pernapasan prabedah yang
lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA
Alim, Tantri. 2013. “Kadar Oksigen dalam Darah”. http://www.biologi-
sel.com/2013/04kadar-oksigen-dalam -darah.html. Diakses pada 19 Februuari 2014 Pukul
20.58 WIB.
Fakultas Keperawatan Universitas Padjajaran. 2008. “Askep pada Klien Gangguan Sistem
Pernapasan”. http://www.fkep.unpad.ac.id/2008/09/askep-pd-klien-gangguan-sistem-
pernafasan/. Diakses pada 24 Februari 2014 Pukul 21.47 WIB.
ITS. “Merancang Alat Ukur Kadar Oksigen pada Darah Secara Non-invasive”
http://digilib.its.ac.id/public/ITS-NonDegree-24874-2409030004-Chater1.pdf. Diakses pada
24 Februari 2014 Pukul 22.02 WIB.
Krisna, Pande. 2012. “Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Gangguan Oksigenasi”. http://pande-krisna.blogspot.com/2012/12/laporan-pendahuluan-
gangguan-oksigenasi.html. Diakses pada 24 Februari 2014 Pukul 21.34 WIB.
Radit. 2012. “Pemeriksaan Diagnostik pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan”.
http://terasradiologi.blogspot.com/2012/06/pemeriksaan-diagnostik-pada-pasien.html/.
Diakses pada 24 Februari 2014 Pukul19.59 WIB.