Anda di halaman 1dari 3

Hunian tetap

Hunian tetap (huntap) adalah tempat tinggal para korban bencana pasca tinggal dari hunian
sementara yang bersifat permanen. Bangunan huntap berbeda dengan huntara. Huntara
bangunannya bersifat non-permanen dari sisi materialnya. Sedangkan huntap bangunannya
permanen.

Huntap diperuntukkan bagi korban bencana yang sudah tidak punya tempat tinggal lagi. Juga
diperuntukkan bagi meraka yang tempat tinggalnya masuk Kawasan Rawan Bencana yang tidak
boleh ditinggali lagi menurut aturan pemerintah.

Pembangunan huntap mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan serta


pertanggungjawaban, pelaku utamanya adalah masyarakat. Ini sebagai bentuk pemberdayaan
masyarakat pasca bencana. Pemanfaatan dan perawatan huntap semuanya diserahkan pada
masyarakat. Pemerintah hanya sebagai aktor pendukung. Proses pembangunan huntap tidak
hanya bersifat fisik saja. Akan tetapi juga diikuti dengan pemulihan kegiatan ekonomi
masyarakat huntap yang mencakup pertanian, perkebunan, peternakan, perdagangan, dan
sebagainya. Untuk meningkatkan kesejahteraannya mereka mendapatkan banyak hal seperti
pelatihan padat karya, senam lansia, trauma healing, dan juga pemulihan kembali di berbagai
bidang lainnya.

Huntap merupakan bentuk nyata relokasi permukiman. Relokasi permukiman sendiri bagian dari
mitigasi bencana untuk pengurangan resiko bencana. Maka dari itu proses pembangunan huntap
selalu memperhatikan aspek kebencanaan dan fisik lahan karena masih masuk kawasan resiko
bencana.

Menurut rilis www.rekompakciptakarya.org, huntap yang dibangun harus berkonsep eco-


settlement dan memenuhi standard permukiman yang sesuai UU No.1 Tahun 2011. Konsep eco-
settlement merupakan konsep dasar untuk eko-kota dan desa yang meliputi tiga pilar, yaitu
ekologi, ekonomi, dan sosial-budaya. Prinsip utama konsep tersebut antara lain a) integritas
ekologi, b) gaya hidup yang berkelanjutan, c) pemerintahan yang baik, dan d) pemeliharaan
keragaman budaya yang harmoni.

http://bencanapedia.id/Hunian_tetap

Pasca Erupsi Gunung Merapi Tahun 2010 jiwa, harta benda, dan kerusakan fisik sumberdaya
tanah yang sangat beragam yang berdampak pada sektor pertanian, kehutanan, permukiman,
infrastruktur. Sebagian lereng Gunung Merapi ditetapkan sebagai Kawasan Rawan Bencana
berdasarkan peta dari kementrian ESDM, BNPB dan PU No. 16 Tahun 2011, pemerintah
melaksanakan relokasi permukiman di kawasan rawan bencana Gunung Merapi untuk
mendapatkan kawasan permukiman yang aman, kenyamanan,sehat dan dapat menjamin
kelangsungan hidup masyarakat setempat agar tercipta keasrian lingkungan dalam suatu kawasan
permukiman.
Tujuan dari penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui kesesuaian lokasi yang diperuntukkan untuk permukiman korban


erupsi Gunung Merapi menurut BNPB dan RTRW,
2. Untuk mengetahui permasalahan yang diperkirakan timbul sebagai akibat kriteria yang
tidak sesuai.

Sistem Informasi Geografis (SIG) digunakan sebagai instrument analisis data secara spasial.
Analisis deskriptif, analitis digunakan untuk menerangkan kepatutan antara penggunaan tanah
permukiman saat ini dengan kriteria BNPB dan RTRW.Teknik overlaying, matching dan scoring
digunakan untuk mengevaluasi kesesuaian penggunaan tanah permukiman terhadap kriteria
BNPB dan RTRW.

Sebagian Besar kawasan permukiman korban erupsi Gunung Merapi Tahun 2010 atau hunian
tetap (huntap) sebagian besar “sesuai” menurut kriteria BNPB dan RTRW. Informasi kesesuaian,
antara lain :

(1) Sesuai 100% berada di:


(a) Huntap Karangkendal,
(b) Gondang 2,
(c) Gondang 3.
(2) berada di Huntap
(a) Plosokereb terbagi menjadi 2 : sesuai 100% dan sesuai 90,91% karena sempadan sungai,
(b) Batur sesuai 90,91% karena kawasan rawan bencana III
(c) Cancangan sesuai 90,91%, karena ketersediaan tanah.
(d) Pagerjurang : sesuai 90,91% karena sempadan sungai dan sesuai dan sumber air baku
(e)Dongkelsari : sesuai 90,1 % kawasan budisaya dan sesuai 81,82% karena kawasan
budidaya dan sempadan sungai.

Akibat yang ditimbulkan karena kritera yang tidak sesuai, antara lain : kerusakan perumahan
bahkan korban jiwa, rawan terkena banjir lahar dingin, mengganggu fungsi lindung sungai,
kekurangan air baku, sempitnya jalan blok dan kavling perumahan, terganggunya ketahanan
pangan akibat alihfungsi tanah pertanian ke permukiman.
EVALUASI KESESUAIAN KAWASAN PERMUKIMAN KORBAN ERUPSI GUNUNG
MERAPI MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
Pengarang AGUS DHANANG
PURNOMO
Penerbit STPN Yogyakarta
Tempat Terbit Yogyakarta
Tahun Terbit 2012
Bahasa Indonesia
ISBN/ISSN -
Kolasi xiv, 150 p. : il. ; 30
cm
Subyek Evaluasi Kesesuaian
Jenis Koleksi Skripsi

Berdasarkan pendataan Pemda Sleman, rumah baru permanen yang dibutuhkan bagi warga berkisar
antara 2.348 sampai 2.526 unit rumah. Sementara belum diperoleh tanah untuk hunian sebanyak itu,
shelter atau hunian sementara akan dibangun di Sultan Ground maupun tanah kas desa di sejumlah
tempat, disesuiakan dengan kedekatan kampung lama.Warga dari Desa Umbulharjo dibangunkan
shelter di Dusun Plosokerep 283 unit, Desa Kepuharjo di Dusun Pagerjurang 826 unit, Desa Glagaharjo
di Dusun Banjarsari 802 unit, Desa Wukirsari di Dusun Srodokan 340 unit dan Desa Argomulyo di Dusun
Kowang 258 unit, Kecamatan Ngemplak Desa Sindumartani di bangun di Lapangan Bimo sejumlah 15
unit.

Anda mungkin juga menyukai