Anda di halaman 1dari 15

PENATALAKSANAAN HIPERBILIRUBINEMIA DENGAN FOTOTERAPI

KONSEP DASAR

Ikterus Patologis / Hiperbilirubinemi


Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai
potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai
hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar
Bilirubin mencapai 12mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly
menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.

Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak
terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus,
Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.

CARA KERJA
1. Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air
untuk dieksresikan melalui empedu atau urin.
2. Ketika bilirubin mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi.
3. Terdapat konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya bernama lumirubin yang dengan cepat
dibersihkan dari plasma melalui empedu.
4. Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi sinar pada manusia.
5. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonyugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang
diekskresikan lewat urin. Foto isomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara
langsung bisa dieksreksikan melalui empedu
6. Dari empedu kemudian diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses
konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch, 1984).
7. Hanya produk foto oksidan saja yang bisa diekskresikan lewat urin.
8. Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat
mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.

KRITERIA ALAT
1. Menggunakan panjang gelombang 425-475 nm.
2. Intensitas cahaya yang biasa digunakan adalah 6-12 mwatt/cm2 per nm.
3. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi.
4. Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari biru (F20T12), cahaya
biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes .

PROSEDUR PEMBERIAN FOTOTERAPI


Persiapan Unit Terapi sinar
1. Hangatkan ruangan tempat unit terapi sinar ditempatkan, bila perlu, sehingga suhu di bawah lampu
antara 38 0C sampai 30 0C.
2. Nyalakan mesin dan pastikan semua tabung fluoresens berfungsi dengan baik.
3. Ganti tabung/lampu fluoresens yang telah rusak atau berkelip-kelip (flickering):
a. Catat tanggal penggantian tabung dan lama penggunaan tabung tersebut.
b. Ganti tabung setelah 2000 jam penggunaan atau setelah 3 bulan, walaupun tabung masih bisa
berfungsi.
4. Gunakan linen putih pada basinet atau inkubator, dan tempatkan tirai putih di sekitar daerah unit
terapi sinar ditempatkan untuk memantulkan cahaya sebanyak mungkin kepada bayi

Pemberian Terapi sinar


1. Tempatkan bayi di bawah sinar terapi sinar.
a. Bila berat bayi 2 kg atau lebih, tempatkan bayi dalam keadaan telanjang pada basinet. Tempatkan
bayi yang lebih kecil dalam inkubator.
b. Letakkan bayi sesuai petunjuk pemakaian alat dari pabrik.
2. Tutupi mata bayi dengan penutup mata, pastikan lubang hidung bayi tidak ikut tertutup. Jangan
tempelkan penutup mata dengan menggunakan selotip.
3. Balikkan bayi setiap 3 jam
4. Pastikan bayi diberi makan:
5. Motivasi ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI ad libitum, paling kurang setiap 3 jam:
6. Selama menyusui, pindahkan bayi dari unit terapi sinar dan lepaskan penutup mata
7. Pemberian suplemen atau mengganti ASI dengan makanan atau cairan lain (contoh: pengganti
ASI, air, air gula, dll) tidak ada gunanya.
8. Bila bayi menerima cairan per IV atau ASI yang telah dipompa (ASI perah), tingkatkan volume
cairan atau ASI sebanyak 10% volume total per hari selama bayi masih diterapi sinar .
9. Bila bayi menerima cairan per IV atau makanan melalui NGT, jangan pindahkan bayi dari sinar
terapi sinar .
10. Perhatikan: selama menjalani terapi sinar, konsistensi tinja bayi bisa menjadi lebih lembek dan
berwarna kuning. Keadaan ini tidak membutuhkan terapi khusus.
11. Teruskan terapi dan tes lain yang telah ditetapkan:
12. Pindahkan bayi dari unit terapi sinar hanya untuk melakukan prosedur yang tidak bisa dilakukan
di dalam unit terapi sinar .
13. Bila bayi sedang menerima oksigen, matikan sinar terapi sinar sebentar untuk mengetahui apakah
bayi mengalami sianosis sentral (lidah dan bibir biru)
14. Ukur suhu bayi dan suhu udara di bawah sinar terapi sinar setiap 3 jam. Bila suhu bayi lebih dari
37,5 0C, sesuaikan suhu ruangan atau untuk sementara pindahkan bayi dari unit terapi sinar sampai
suhu bayi antara 36,5 0C – 37,5 0C.
15. Ukur kadar bilirubin serum setiap 24 jam, kecuali kasus-kasus khusus:
16. Hentikan terapi sinar bila kadar serum bilirubin < 13mg/dL
17. Bila kadar bilirubin serum mendekati jumlah indikasi transfusi tukar, persiapkan kepindahan bayi
dan secepat mungkin kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter untuk transfusi tukar. Sertakan
contoh darah ibu dan bayi.
18. Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa, hentikan terapi sinar setelah 3 hari.
19. Setelah terapi sinar dihentikan:
20. Observasi bayi selama 24 jam dan ulangi pemeriksaan bilirubin serum bila memungkinkan, atau
perkirakan keparahan ikterus menggunakan metode klinis.
21. Bila ikterus kembali ditemukan atau bilirubin serum berada di atas nilai untuk memulai terapi
sinar , ulangi terapi sinar seperti yang telah dilakukan. Ulangi langkah ini pada setiap penghentian
terapi sinar sampai bilirubin serum dari hasil pemeriksaan atau perkiraan melalui metode klinis
berada di bawah nilai untuk memulai terapi sinar.
22. Bila terapi sinar sudah tidak diperlukan lagi, bayi bisa makan dengan baik dan tidak ada masalah
lain selama perawatan, pulangkan bayi.
23. Ajarkan ibu untuk menilai ikterus dan beri nasihat untuk membawa kembali bayi bila bayi
bertambah kuning
ASKEP ANAKDENGAN HIPERBILIRUBIN

I. PENDAHULUAN
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian neonatus, ikterus
akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus
terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang bulan. Di Jakarta dilaporkan 32,19%
menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi mungkin bersifat patologik yang dapat menimbulkan
gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian, karenanya setiap bayi dengan ikterus harus
mendapat perhatian terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau
kadar bilirubin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat,
ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl juga merupakan
keadaan yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologik. Dalam keadaan tersebut
penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan.

II. KONSEP DASAR

A. Pengertian
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai dasar
patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi
“kernicterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.
Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai
suatu nilai yang disebut hiperbilirubin.

B. Metabolisme Bilirubin
Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada neonatus, perlu diketahui
sedikit tentang metabolisme bilirubin pada neonatus.
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar
bilirubin tersebut berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau
eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang
menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan
menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak,
karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik
seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan
albumin dan dibawa ke hepar. Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat
oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi
persnyawaan dengan ligandin (protein-Y) protein Z dan glutation hati lain yang membawanya ke
retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi.
Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukotonil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk
bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan
melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini dikeskresi melalui duktus hepatikus ke
dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai
sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses
absorbsi enterohepatik.
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama
kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus. Proses
tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek
(80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2-
3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10-14
kadar bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi cukup bulan dan kurang dari 12
mg/dl pada bayi kurang bulan. Pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal dan
karenanya disebut ikterus fisiologik.
Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun
sehingga kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan
kerusakan sel tubuh t3, misal kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dihari
kemudian.

C. Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa
faktor:

1. Produksi yang berlebihan


Hal ini melebihi kemampuannya bayi untuk mengeluarkannya, misal pada hemolisis yang meningkat
pada inkompabilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PADA, piruvat
kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.

2. Gangguan proses “uptake” dan konjugasi hepar


Gangguan ini dapat disebabkan oleh immturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin,
gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil
transferase (sindrom Criggler-Najjar) penyebab lain atau defisiensi protein Y dalam hepar yang
berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar.

3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan
albumin dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, dan sulfaforazole. Defisiensi albumin
menyebabkan lebih banyak terdapat bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat
ke sel otak.

4. Gangguan dalam ekskresi


Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar
biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi/kerusakan
hepar oleh penyebab lain.

D. Patofisiologi
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab bilirubin pada
streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin
dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik. Gangguan ambilan bilirubin
plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan protein-Y terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi
dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi
enzim glukuronii transferase) atau bayi menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis
neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatika.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan otak. Toksisitas ini
terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang memungkinkan efek patologik pada
sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini
disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak
ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan
neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat
keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan
saraf pusat yang karena trauma atau infeksi.

E. Tanda dan Gejala


♦ Kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga (pada bayi dengan bilirubin indirek).
♦ Anemia
♦ Petekie
♦ Perbesaran lien dan hepar
♦ Perdarahan tertutup
♦ Gangguan nafas
♦ Gangguan sirkulasi
♦ Gangguan saraf

F. Penatalaksanaan
Tujuan utama adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang
dapat menimbulkan kernikterus/ensefalopati biliaris, serta mengobati penyebab langsung ikterus.
Konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung ini dapat dilakukan dengan merangsang
terbentuknya glukuronil transferase dengan pemberian obat seperti luminal atau agar. Pemberian
substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi
enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi hikan, merupakan tindakan yang
juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek samping
terapi sinar, antara lain: enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit (ruam gigitan kutu), gangguan
minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat
diteruskan sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.

G. Prognosis
Hiperbilirubin baru akan berpengaruh bentuk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar otak,
penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati biliaris, gejala ensefalopati pada neonatus
mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan gangguan minum, letargi dan hipotonia,
selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik dan ditemukan opistotonis. Pada stadium mungkin
didapatkan adanya atitosis didan ditemukan opistotonis. Pada stadium mungkin didapatkan adanya
atitosis ditai gangguan pendengaran atau retardasi mental di hari kemudian.

III. ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian

a. Riwayat penyakit
Kekacauan/ gangguan hemolitik (Rh atau ABO incompabilitas), policitemia, infeksi, hematom,
memar, liver atau gangguan metabolik, obstruksi menetap, ibu dengan diabetes.
b. Pemeriksaan fisik
- Kuning
- Pucat
- Urine pekat
- Letargi
- Penurunan kekuatan otot (hipotonia)
- Penurunan refleks menghisap
- Gatal
- Tremor
- Convulsio (kejang perut)
- Menangis dengan nada tinggi
c. Pemeriksaan psikologis
Efek dari sakit bayi; gelisah, tidak kooperatif/ sulit kooperatif, merasa asing.
d. Pengkajian pengetahuan keluarga dan pasien

Penyebab dan perawatan, tindak lanjut pengobatan, membina kekeluargaan dengan bayi yang lain
yang menderita ikterus, tingkat pendidikan, kurang membaca dan kurangnya kemauan untuk belajar.

B. Diagnosa keperawatan

1. Resiko peningkatan kadar bilirubin dalam darah berhubungan dengan kondisi fisiologis/patologis

Tujuan/Kriteria
Tidak ada peningkatan hiperbilirubinemia

Rencana Tindakan
a.Monitor tanda-tanda vital
b.Monitor bilirubin serum
c.Monitor bila ada muntah, kaku otot atau tremor
d.Kolaborasi terapi dengan tim medis
e.Berikan minum ekstra
f.Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian fototerapi

2. Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan malas menghisap

Tujuan/Kriteria
Kebutuhan nutrisi terpenuhi

Rencana Tindakan
a.Berikan minum melalui sonde(ASI yang diperah atau PASI)
b.Lakukan oral hygiene dan olesi mulut dengan kapas basah
c.Monitor intake dan output
d.Monitor berat badan tiap hari
e.Observasi turgor dan membran mukosa

3. Resiko perubahan suhu Tubuh berhubungan dengan efek samping fototerapi


Tujuan/Kriteria:
Suhu tubuh tetap normal

Rencana Tindakan:
a.Monitor tanda-tanda vital tiap 4jam
b.Perhatikan suhu lingkungan dan gunakan isolasi
c.Berikan minum tambahan

4. Resiko terjadi trauma persepsi sensori penglihatan berhubungan dengan efek samping fototerapi

Tujuan/Kriteria:
Tidak terjadi gangguan pada retina pada masa perkembangan

Rencana Tindakan:
1.Kaji efek samping fototerapi
2.Letakkan bayi 45 cm dari sumber cahaya/lampu
3.Selama dilakukan fototerapi tutup mata dan genital dengan bahan yang tidak tembus cahaya
4.Monitor reflek mata dengan senter pada saat bayi diistirahatkan dan kontrol keadaan mata setiap 8
jam
5.Buka tutup mata bila diberi minum atau saat tidak dibawah sinar
6.Observasi dan catat penggunaan lampu

5. Resiko terjadi gangguan integritas kulit berhubungan dengan efek samping


fototerapi

Tujuan/Kriteria:
Selama dalam perawatan kulit bayi tidak mengalami gangguan integritas kulit

Rencana Tindakan:
a.Observasi keadaan keutuhan kulit dan warnanya
b.Bersihkan segera bila bayi buang air besar atau buang air kecil
c.Gunakan lotion pada daerah bokong
d.Jaga alat tenun dalam keadaan bersih dan kering
e.Lakukan alih baring dan pemijatan

6. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang tujuan, prosedur
pemasangan dan efek samping fototerapi

Tujuan/Kriteria:
Orang tua mengerti tujuan tujuan, prosedur dan efek samping fototerapi

Rencana Tindakan:
1.Beri penyuluhan pada orang tua tentang tujuan, prosedur dan efek samping fototerapi
2.Berikan support mental
3.Libatkan orang tua dalam prosedur fototerapi
Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4 per 1000
kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010”, maka salah satu tolok ukur
adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi pada tahun 2025
AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi
baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati bilirubin
merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang
tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan
displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup.

Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan
rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2
sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit
pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.

Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi <37
minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi yang ada
menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis
dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin
tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar
atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada
bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit
metabolik (ikterus non-fisiologis).

A. Definisi

Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya
deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan
tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL.

Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.

Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis, kecuali:

 Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.


 Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10
mg/dL.
 Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.
 Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
 Ikterus menetap pada usia >2 minggu.
 Terdapat faktor risiko.

Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum. Bilirubin dapat masuk ke
jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya tanda-tanda klinis akibat deposit bilirubin
dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronik.

Bentuk akut terdiri atas 3 tahap;

tahap 1 (1-2 hari pertama): refleks isap lemah, hipotonia, kejang;


tahap 2 (pertengahan minggu pertama): tangis melengking, hipertonia, epistotonus;

tahap 3 (setelah minggu pertama): hipertoni.

Bentuk kronik

: pada tahun pertama: hipotoni, motorik terlambat. Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan
gerakan, kehilangan pendengaran sensorial.

B. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus.
Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75% bayi baru
lahir mengalami ikterus pada minggu pertama.

Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah
studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto
Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar
58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada
minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat
mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL.
Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari,
didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan
pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56%
bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat
dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.

Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada
tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus
patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens
ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.

Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun 2000 dan 13%
pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan oleh cara pengukuran
yang berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar bilirubin serum
total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik pada hari ke-0, 3 dan 5
;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual.

C. Etiologi dan Faktor Risiko

1. Etiologi

Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:

 Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih
pendek.
 Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase,
UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) -> penurunan ambilan bilirubin oleh
hepatosit dan konjugasi.
 Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim -> glukuronidase di
usus dan belum ada nutrien.

Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh
faktor/keadaan:

 Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD,


sferositosis herediter dan pengaruh obat.
 Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.
 Polisitemia.
 Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
 Ibu diabetes.
 Asidosis.
 Hipoksia/asfiksia.
 Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

2. Faktor Risiko

Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:

a. Faktor Maternal

 Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)


 Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
 Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
 ASI

b. Faktor Perinatal

 Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)


 Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

c. Faktor Neonatus

 Prematuritas
 Faktor genetik
 Polisitemia
 Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
 Rendahnya asupan ASI
 Hipoglikemia
 Hipoalbuminemia

D. Patofisiologi
Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai meningkat
secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan
menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.

1. Ikterus fisiologis

Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12
mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis
pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari
ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama
setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin
terkonyugasi < 2 mg/dL.

Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain. Sebagai contoh,
bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan
dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk
memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan
pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena
polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120
hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi
enterohepatik.

Gambar berikut menunjukan metabolisme pemecahan hemoglobin dan pembentukan bilirubin.

Referensi:
1. Health Technology Assessment Unit Medical Development Division Ministry of Health
Malaysia, 2002. Management of neonatal hyperbilirubinemia.
2. Masukan berdasarkan hasil rapat tim ahli HTA Indonesia.
3. Dennery PA, Seidman DS, Stevenson DK. Neonatal hyperbilirubinemia. N Engl J Med
2001;344:581-90.
4. Suradi R, Situmeang EH, Tambunan T. The association of neonatal jaundice and breast-feeding.
Paedatr Indones 2001;41:69-75.
5. Laporan RS Dr. Sardjito Yogyakarta.
6. Laporan RS Dr. Kariadi Semarang.
7. Managing newborn problems:a guide for doctors, nurses, and midwives. Departement of
Reproductive Health and Research, World Health Organization, Geneva 2003.
8. Briscoe L, Clark S. Yoxall CW. Can transcutaneous bilirubinometry reduce the need for blood
tests in jaundiced full term babies? Arch Dis Child Fetal Neonatal 2002;86:F190-2.
9. Suresh GK, Clark RE. Cost-effectiveness of strategies that are intended to prevent kernicterus in
newborn infants. Pediatrics 2004;114:917-24.
10. Surjono A. Hiperbilirubinemia pada neonatus:pendekatan kadar bilirubin bebas. Berkala Ilmu
Kedokteran 1995;27:43-6.
11. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP, Eichenwald EC,
Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care, 5th edition. Philadelphia, Lippincott Williams and
Wilkins;2004,185-222.
12. Masukan Dr. Ali Usman, Sp

Info ikterus neonatorum

Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin dalam
tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam

Ikterus neonatorum

I. Definisi
Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin dalam
tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam, yang menandakan
terjadinya gangguan fungsional dari hepar, sistem biliary, atau sistem hematologi. Ikterus dapat
terjadi baik karena peningkatan bilirubin indirek ( unconjugated ) dan direk ( conjugated ) .

II. Etiologi
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan. Penyebab yang tersering
ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat inkompabilitas golongan darah ABO atau
defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini juga dapat timbul akibat perdarahan tertutup (hematom cefal,
perdarahan subaponeurotik) atau inkompabilitas darah Rh, infeksi juga memegang peranan penting
dalam terjadinya hiperbilirubinemia; keadaan ini terutama terjadi pada penderita sepsis dan
gastroenteritis. Beberapa faktor lain adalah hipoksia/anoksia, dehidrasi dan asidosis, hipoglikemia,
dan polisitemia.

III. Epidemiologi
Pada sebagian besar neonatus, ikterik akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya.
Dikemukan bahwa angka kejadian iketrus terdapat pada 60 % bayi cukup bulan dan 80 % bayi
kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian penderita dapat berbentuk fisiologik dan sebagian lagi
patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian.

IV. Patolofisiologi
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh oleh tubuh. Sebagian
besar hasil bilirubin berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi berasal dari hem
bebas atau dari proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan
proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang
mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air
tetapi larut dalam lemak, karena mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui
membrane biologic seperti placenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian
bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga
bilirubin terikat dengan oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah
ada dalam sel hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin ( protein-Y), protein-Z, dan glutation hati
lain yang membawanya ke reticulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi. Proses ini
timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin
direk. Jenis bilirubin ini larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal.
Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini diekskesi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran
pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dari tinja sebagai sterkobilin. Dalam
usus sebagian diarbsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses
arbsorpsi enterohepatik.
Sebagian besar neonatus mengalami peningkatan kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama
kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus. Proses
tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebuh pendek
(80 – 90 hri ), dan belum matangnya fungsi hepar.
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian tersering adalah
apabila terdapat pertambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur
eritrosit bayi/janin, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi
enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal
ini dapat terjadi apabila kadar protein-Y berkurang atau pada keadaan protein-Y dan protein-Z terikat
oleh anion lain, misalkan pada bayi dengan asidosis atau keadaan anoksia/hipoksia. Keadaan lain
yang dapat memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan konjugasi hepar (
defisiensi enzim glukoronil transferase ) atau bayi menderita gangguan eksresi, misalnya penderita
hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu ekstra/intrahepatik.

V. Diagnosis
Anamnesis ikterus pada riwayat onstetri sebelumnya sangat membantu dalam menegakan diagnosis
hiperbilirubnemia pada bayi. Termasuk anamnesis mengenai riwayat inkompabilitas darah, riwayat
transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu faktor risiko kehamilan dan
persalinan juga berperan dalam diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko itu
antara lain adalah kehamilan dengan komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama
hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes mellitus, gawat janin, malnutrisi intrauterine, infeksi
intranatal, dan lain-lain.
Secara klinis ikterus pada bayi dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah beberapa hari kemudian.
Pada bayi dengan peninggian bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga,
sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit tampak kehijauan.
Penilaian ini sangat sulit dikarenakan ketergantungan dari warna kulit bayi sendiri.
Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia yang cukup
berarti memerlukan penilaian diagnostic lengkap, yang mencakup penentuan fraksi bilirubn
langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung lekosit, golongan darah, tes
Coombs dan pemeriksaan apusan darah tepi. Bilirubinemia indirek, retikulositosis dan sediaan
apusan memperlihatkan petunjuk adanya hemolisis akibat nonimunologik. Jika terdapat
hiperbilirunemia direk, adanya hepatitis hepatitis, fibrosis kistis dan sepsis. Jika hitung retikulosit, tes
Coombs dan bilirubin indirek normal, maka mungkin terdapat hiperbilirubinemia indirek fisiologis
atau patologis.
Ikterus fisiologis. Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah 1 – 3
mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl /24 jam; dengan demikian ikterus
baru terlihat pada hari ke 2 -3, biasanya mencapai puncak antara hari ke 2 – 4, dengan kadar 5 – 6
mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadar 5 – 6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai
kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara hari ke 5 – 7 kehidupan.
Hiperbilirubin patologis. Makna hiperbilirubinemia terletak pada insiden kernikterus yang tinggi ,
berhubungan dengan kadar bilirubin serum yang lebih dari 18 – 20 mg/dl pada bayi aterm. Pada bayi
dengan berat badan lahir rendah akan memperlihatkan kernikterus pada kadar yang lebih rendah ( 10
– 15 mg/dl)

VI. Diagnosis banding


Ikterus yang timbul 24 jam pertatama kehidupan mungkin akibat eritroblstosis foetalis, sepsis,
rubella atau toksoplasmosis congenital. Ikterus yang timbul setelah hari ke 3 dan dalam minggu
pertama, harus dipikirkan kemungkinan septicemia sebagai penyebabnya. Ikterus yang permulaannya
timbul setelah minggu pertama kehidupan memberi petunjuk adanya septicemia, atresia kongental
saluran empedu, hepatitis serum homolog, rubella, hepatitis herpetika, anemia hemolitik yang
disebabkan oleh obat-obatan dan sebagainya.
Ikterus yang persisten selama bulan pertama kehidupan memberi petunjuk adanya apa yang
dinamakan “inspissated bile syndrome”. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan nutrisi parenteral
total. Kadang bilirubin fisiologis dapat berlangsung berkepanjangan sampai beberapa minggu seperti
pada bayi yang menderita penyakit hipotiroidisme atau stenosis pylorus.

VII. Komplikasi
Kernikterus adalah suatu sindrom neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunan tak
terkonjugasi dalam sel-sel otak

VIII. Terapi
Tujuan utama penatalaksanaan ikterus neonatal adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin
serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kernikterus/encefalopati biliaris, serta
mengobati penyebab langsung ikterus tersebut. Pengendalian bilirubin juga dapat dilakukan dengan
mengusahakan agar kunjugasi bilirubin dapat dilakukan dengan megusahakan mempercepat proses
konjugasi. Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukoronil transferase dengan
pemberian obat seperti luminal atau fenobarbital.
Pemberian substrat yang dapat menghambat matabolisme bilirubin ( plasma atau albumin ),
mengurangi sirkulasi enterohepatik ( pemberian kolesteramin ), terapi sinar atau transfusi tukar,
merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.
Fototerapi. Ikterus klinis dan hiperbilirubin indirek akan berkurang kalau bayi dipaparkn pada sinar
dalam spectrum cahaya yang mempunyai intensitas tinggi. Bilirubin akan menyerap cahaya secara
maksimal dalam batas wilayah warna biru ( mulai dari 420 – 470 nm ). Bilirubin dalam kulit akan
menyerap energi cahaya, yang melalui fotoisomerasi mengubah bilirubin tak terkonjugasi yang
bersifat toksik menjadi isomer-isomer terkonjugasi yang dikeluarkan ke empedu dan melalui
otosensitisasi yang melibatkan oksigen dan mengakibatkan reaksi oksidasi yang menghasilkan
produk-produk pemecahan yang akan diekskresikan oleh hati dan ginjal tanpa memerlukan konjugat.
Indikasi fototerapi hanya setelah dipastikan adanya hiperbilirubin patologik. Komplikasi fototerapi
meliputi tinja yang cair, ruam kulit, bayi mendapat panas yang berlebihan dan dehidrasi akibat
cahaya, menggigil karena pemaparan pada bayi, dan sindrom bayi perunggu, yaitu warna kulit
menjadi gelap, cokelat dan keabuan.
Fenobarbital. Meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin. Pemberian obat ini akan mengurangi
timbulnya ikterus fisiologik pada bayi neonatus, kalau diberikan pada ibu dengan dosis 90 mg/24 jam
beberap hari sebelum kelahiran atau bayi pada saat lahir dengan dosis 5 mg/kgBb/24 jam. Pada suatu
penelitian menunjukan pemberian fenobarbital pada ibu untuk beberapa hari sebelum kelahiran baik
pada kehamilan cukup bulan atau kurang bulan dapat mengkontrol terjadinya hiperbilirubinemia.
Namun karena efeknya pada metabolisme bilirubin biasanya belum terwujud sampai beberapa hari
setelah pemberian obat dan oleh karena keefektifannya lebih kecil dibandingkan fototerapi, dan
mempunyai efek sedatif yang tidak diinginkan dan tidak menambah respon terhadap fototerapi, maka
fenobarbital tidak dianjurkan untuk pengobatan ikterus pada bayi neonatus.
Transfusi tukar. Dilakukan untuk mempertahankan kadar bilirubin indirek dalam serum bayi
aterem kurang dari 20 mg/dl atau 15 mg/dl pada bayi kurang bulan . Dapat diulangi sebanyak yang
diperlukan, atau keadaan bayi yang dipandang kritis dapat menjadi petunjuk melakukan transfusi
tukar selama hari pertama atau kedua kehidupan, kalau peningkatan yang lebih diduga akan terjadi,
tetapi tidak dilakukan pada hari ke empat pada bayi aterm atau hari ke tujuh pada bayi premature,
kalau diharapkan akan segera terjadi penurunan kadar bilirubin serum atau akibat mekanisme
konjugasi yang bekerja lebih efektif. Transfusi tukar mungkin merupakan metode yang paling efektif
untuk mengkontrol terjadinya hiperbilirubinemia.

IX. Prognosis
Hiperbilirubemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar otak.

Anda mungkin juga menyukai