Stroke Bagian Hemisfer Kiri Dan Kanan
Stroke Bagian Hemisfer Kiri Dan Kanan
Fungsi hemisphere kanan tidak hanya untuk mengontrol gerakan pada sisi kiri
namun untuk orientasi khusus seperti ( jarak, kedalaman, posisi, benda, dan
stereotaxis) dan kemampuan persepsi. Pasien stroke dengan lesi hemisper
kanan sering mengalami kurangnya kesadaran dan tingkah laku yang impulsive.
Dengan keadaan yang complex ini, mereka mempunyai kesulitan dalam
mempelajari ADL ( aktivitas dalam kehidupan sehari – hari ). Sebagai contoh,
mereka tidak bisa membaca atau mengkopi surat, lupa untuk membersihkan
tubuh bagian kiri, atau menolak memakai alat bantu. Walaupun mereka dapat
mempertahankan fundgi bicara lebih baik dari pasien dengan stroke hemisfer
kiri, mereka akan membuat kesalahan dalam struktur berbicara.
Fungsi utama dari hemisfer kiri adalah untuk mengontrol pergerakan pada sisi
kanan tubuh dan mempertahankan (maintain) fungsi berbicara dan bahasa.
Pasien dengan stroke pada hemisfer kiri mempertahankan posisi hemiplegi
kanan dan aphasia. Mereka akan berhati-hati dan membutuhkan lebih banyak
waktu untuk melakukan suatu hal dibandingkan dengan pasien pada stroke
hemisfer kanan.
Merupakan suatu kontroversi apakah hasil rehabilitasi bergantung pada lesi dari
hemisfer mana yang terjadi. Alasan yang mungkin pada kontroversi ini adalah
hasil skala yang berbeda, pengukuran tempat, dan adanya hemineglect, dan
evaluasi waktu. Sebagai contoh, jika hasilnya dibandingkan dengan rehabilitasi
pada hubungan personal, pasien dengan lesi hemisphere kanan menunjukkan
hasil yang lebih baik. Besarnya persentase pasien kembali kerja dengan lesi
hemisfer kanan dapat dijelaskan oleh fungsi berbicara dan bahasa. Bagaimanpun
pasien dengan lesi hemisfer kanan menunjukkan defek social lebih besra
draipada lesi hemisfer kiri. Sebaliknya jika fungsi motoric yang dinilai sebagai
hasil rehabilitasi, maka hasil yang buruk didapatkan pada lesi hemisfer kanan.
Hemineglect berkembang pada pasien dengan hemisfer kanan daripada yang
kiri. Ada berbagai insidens yang dilaporkan, karena waktu dan alat saat evaluasi
yang berbeda. Di antara pasien dengan lesi hemisfer kanan, pasien dengan
hemineglect lebih lama tinggal daripada pasien tanpa hemineglect.
Ad 1 :
Paralisis satu sisi tubuh ( hemiplegia )
Berkembang pada saat fase awal stroke. Jika lesi stroke ada di
hemisfer kanan, paralisis ada di sisi kiri muka dan extremitas. Tetapi
lesi stroke berada di batang otak, paralisisnya akan ada di muka
sebelah kanan dan extremitas kiri. Kebanyakan pasien mengeluh
flaccid ektremitas.
Kerusakan sensoris
Pasien stroke mempunyai kerusakan sensoris di perifer dan atau
sentral. Kerusakan sensoris perifer meliputi hypesthesia atau
parestesi, hilangnya proprioseptif fan posisi atau hilangnya rasa sakit.
Agraphestesi dan astreognosis terlihat pada kerusakan sensoris
sentral. Kerusakan ini mengakibatkan pasien stroke membutuhkan
bantuan untuk mempelajari motoric dan kemampuan kognitif.
Resepsi merupakan proses dari stimuli yang melewati organ sensoris
seperti ( hidung, mata, telinga, kulit, lidah, sendi, dan organ dalam ).
Penerimaan sensasi atau stimuli disampaikan ke korteks sensori
primer. Sebagai contoh sensasi visual mencapai korteksoccipitl via
optic pathwys. Persepsi merupakan proses berikutnya yaitu
menginterpretasikan stimulus. Persepsi berada pada korteks yang
lebih tinggi dari resepsi dan meliputi beberapa bagian dari otak.
Disfungsi sphincter
Inkontinensia double ( urin dan fecal ) lebih umum dari isolated
unrinary atau inkontinensia fecal pada pasien stroke. Walaupun
kerusakan ini akan sembuh saat awal post-stroke. Disfungsi kandung
kemih yang paling sering adalah tipe uninhibisi. JUga dapat sembuh
dengan latihan pengeluaran urin . Dapat ditangani dengan toilet
training. Kadang – kadang antikolinergik dapat digunakan sebagai
relaksasi kandung kemih. Inkontinensia nocturnal dapat timbul saat
fase kronik. Ketidakmampuan untuk berkemih merupakan factor
prognosis yang paling buruk untuk inkontinensia urin, termasuk ke
dalamnya dalah hilangnya fungsi kognitif dan disfungsi extremitas
bawah. Ini dapat menjadi kecacatan seumur hidup bagi mereka yang
kehilangan fungsi kognitif secara signifikan.
Disfungsi kognitif
Merupakan factor paling negative. Ini merupakan hal paling umum dan
berat pada pasien dengan lesi hemisfer kiri dan afasia. Juga berhubungan
dengan korelasi kembali ke dunia kerja. 38% dari pasien stroke ditemukan
kehilangan fungsi kognitif dengan pemeriksaan MMS pada 3 bulan setelah
stroke dan lebih sering pada usia tua ( >75 tahun ), status social-ekonomi
yang rendah, dan lesi hemisfer kiri. 30-50 persen pasien stroke
dikategorikan pada level rendah dalam tes neuropsikologi dan penerimaan
informasi. Hilangnya fungsi kognitif dan demensia. Setelah stroke dapat
diturunkan dengan pengobatan hipertensi dan inhibitor asetilkolinesterase
( donepezil, galantamine, rivastigmine ).
Gangguan emosional
Pasien dengan lesi hemisfer kanan akan mengalami perubahan sikap,
biasanya akan menimbulkan konflik dengan keluarga. Sebuah studi 5 tahun
menunjukkan 30% pasien stroke mengalami depresi dan 48% tidak
mengalami dalam situasi tertentu. Depresi tidak terjadi terus-menerus
tetapi berkembang selama 5 tahun. Resiko tinggi dari depresi meliputi
beratnya stroke, tidak bekerja, dan hilangnya fungsi kognitif. Pasien dengan
depresi pada penyakit stroke mempunyai resiko 9 kali lebih tinggi dari
depresi pasca stroke. Dopaminergic atau neurostimulant ( metilphenidate
dan dexamphetamine dilaporkan memberikan keuntungan.
4. Disorder persepsi
Persepsi adalah keadaan mental melewati stimulus sensory external.
Kelainan persepsi visual dimanifestasikan sebagai agnosia, alexia, apraxia,
hemi-neglect, dan disorientasi spasial. Hemispacial neglect disamakan
dengan hemiagnosia, hemineglect, unilateral neglect, keadaan unilateral.
Homonymous hemiapnosia berbeda dari hemineglect visual. Ketika lesinya
berada di traktus visual kemudian akan dikompensasi dengan cara
menolehkan kepala, kurangnya perhatian pada satu sisi tubuh dari korteks
parietalis sehingga tidak terkompensasi. Sebagai contoh, gangguan
persepsi dari posisi akan membuat pasien berdiri secara asimetris dan
mempengaruhi pemulihan fungsi motoric kasar. Laithan persepsi dengan
terapi kaca, adaptasi prisma, penutup mata, dilaporkan memberikan hasil
yang baik.
Banyak pasien dengan stroke akan mengalami gerak yang buruk dan
postur hemiplegi karena disfungsi extremitass distal yang berulang. Untuk
mendukung pemulihan motoric, dapat digunakan pengobatan
komprehensif seperti anti-spastic, orthotic, dan fisioterapi. Pemulihan
motoric secara signifikan dapat terlihat pada 3 bulan pertama setelah
stroke. Pemulihan lebih lanjut dapat dilihat 3 bulan selanjutnya.
Stadium Brunnstrom mendeskripsikan perjalanan dari hemiplegi.
Tidak semua extremitas yang paralisis akan berkembang dari stadium satu
sampai 6. Bergantung pada beratnya stroke dan kemungkinan sembuh,
tahap2 tersebut akan berlangsung cepat atau dilewatkan. Secara umum
hemiplegi dengan tanpa atau tahap pertama yang pendek mempunyai hasil
yang lebih baik, semakin lama tahap pertama, makin jelek prognosisnya;
makin rendah tahapnya, hasilnya makin buruk.
Kesimpulan :
Bergantung kepada kondisi medis :
a. Hemorrhagic atau bukan
b. Besar dan tempat stroke
c. Keadaan kesehatan pasien
Pengaruh suhu tubuh terhadap stroke
Pengaruh hipertermia terhadap sawar darah otak/ BBB adalah meningkatkan
permeabilitas BBB yang berakibat langsung baik secara partial maupun komplit
dalam terjadinya edema serebral (Ginsberg, et al, 1998). Selain itu hipertermia
meningkatkan metabolisme sehingga terjadi lactic acidosis yang mempercepat
kematian neuron (neuronal injury) dan menambah adanya edema serebral (Reith, et
al, 1996). Edema serebral (ADO Regional kurang dari 20 ml/ 100 gram/ menit) ini
mempengaruhi tekanan perfusi otak dan menghambat reperfusi adekuat dari otak,
dimana kita ketahui edema serebral memperbesar volume otak dan meningkatkan
resistensi serebral. Jika tekanan perfusi tidak cukup tinggi, aliran darah otak akan
menurun karena resistensi serebral meninggi. Apabila edema serebral dapat
diberantas dan tekanan perfusi bisa terpelihara pada tingkat yang cukup tinggi, maka
aliran darah otak dapat bertambah (Hucke, et al, 1991). Dengan demikian daerah
perbatasan lesi vaskuler itu bisa mendapat sirkulasi kolateral yang cukup aktif,
kemudian darah akan mengalir secara pasif ke tempat iskemik oleh karena
terdapatnya pembuluh darah yang berada dalam keadaan vasoparalisis. Melalui
mekanisme ini daerah iskemik sekeliling pusat yang mungkin nekrotik (daerah
penumbra) masih dapat diselamatkan, sehingga lesi vaskuler dapat diperkecil sampai
daerah pusat yang kecil saja yang tidak dapat diselamatkan lagi/ nekrotik (Hucke, et
al, 1991). Apabila sirkulasi kolateral tidak dimanfaatkan untuk menolong daerah
perbatasan lesi iskemik, maka daerah pusatnya yang sudah nekrotik akan meluas,
sehingga lesi irreversible mencakup juga daerah yang sebelumnya hanya iskemik saja
yang tentunya berkorelasi dengan cacad fungsional yang menetap, sehingga dengan
mencegah atau mengobati hipertermia pada fase akut stroke berarti kita dapat
mengurangi ukuran infark dan edema serebral yang berarti kita dapat memperbaiki
kesembuhan fungsional (Hucke, et al, 1991).
Lesi (kerusakan) otak akan menjadi lebih berat apabila hipertermi timbul selama atau
setelah onset iskemik otak (Ginsberg, et al, 1998).Oleh karena itu hubungan antara
hipertermi dan outcome stroke atau volume infark lebih bermakna bila demam terjadi
lebih awal, dan suhu tubuh dalam 24 jam pertama merupakan kunci kerusakan otak
yang lebih besar. Hipertermi yang muncul setelah 24 jam bukan merupakan faktor
independen outcome yang buruk ( Przelomski, et al, 1986).