Anda di halaman 1dari 14

’STREET LEVEL BIROKRASI’

KINERJA & IDEALITAS PELAYANAN PUBLIK

Robi Cahyadi Kurniawan


Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung

ABSTRACK

Street level bureaucracy is the front-line of public service. Performance of bureaucracy at this
level is determined by various factors such as system, structure, and culture of community.
Bureaucracy’s mission and vision, at this level, sometimes can’t be realized since bureaucracy
discretion is still perceived as taboo to be applied in Indonesia. Numerous solutions are
recommended such as service problem identification, performance assesment, and allowing
discretion, despite of transforming paradigm of culture, restructuring and reforming bureaucracy,
especially at street level bureaucracy.

Kata Kunci: bureaucracy, performance, public service

PENDAHULUAN menekankan pada profesionalisme


dalam pengisian jabatan-jabatan
Birokrasi merupakan sebuah birokrasi, memilih seseorang dengan
organisasi besar yang memiliki fungsi kompetensi dan keahlian yang
yang luas serta aparat (pegawai) sesuai. Akan tetapi praktek di
pada setiap tingkatan (level). Para lapangan tidak sesuai dengan
pemegang jabatan-jabatan penting profesionalisme. Beberapa kasus
berada pada level yang tinggi (high), yang sudah menunjukkan indikasi
sedangkan yang selalu berhadapan peningkatan kinerja, akan tetapi tidak
langsung dengan masyarakat dalam dapat dijadikan rata-rata untuk
hal pelayanan biasanya berada pada menjustifikasi tingkat pelayanan yang
level bawah (low). Orang-orang yang prima. Kasus-kasus seperti provinsi
berada dalam level bawah inilah yang Sumatra Barat, Kabupaten Sragen,
biasa disebut dengan ’birokrasi Jembrana, Solok, Surakarta,
dalam tingkat ’street level’. Petugas merupakan sebagia kecil yang cukup
kepolisian, baik dijalan raya atau berhasil. Sedangkan sisanya yang
yang mengurusi SIM, STNK, petugas berjumlah besar masih berkutat
medis (perawat dan dokter praktek), dengan masalah yang sama, yakni
para guru, dosen, pemadam bagaimana meningkatkan kinerja
kebakaran, serta tentu saja para PNS birokrasi.
lain disetiap departemen, dinas , Pelayanan yang diberikan
lembaga, instansi pemerintah lain, kepada publik sebagai tugas pokok
sebagai contoh birokrasi di level dari birokrasi masih sering dirasakan
’street level’. tidak maksimal. Masalah-masalah
Pemilihan birokrasi pada setiap klasik seperti lambatnya pelayanan,
tingkatan (level) walaupun dikatakan lamanya waktu yang dibutuhkan
memakai sistem merit; yang untuk berurusan dengan birokrasi,

1
besarnya biaya , belum lagi dengan bagaimana kondisi pelayanan
masalah diskresi. Semuanya berawal birokrasi ada level ini, permasalahan
dari sistem dan struktur birokrasi yang dihadapi oleh birokrasi.
yang sebagian besar masih besar, Selanjutnya, hal-hal yang
sehingga menjadi lambat dan mempengaruhi pelayanan dan
terkadang menjadi parkinson. karakteristik birokrasi kita, masalah
Munculnya patologi birokrasi yang diskresi hingga upaya untuk (secara
lain menyebabkan birokrasi semakin teoritis) mereformasi dan
jauh dari fungsi pelayanan yang merestrukturisasi birokrasi hingga
utama. menjadi lebih baik. Kesemuanya
Street level sebagai garda akan coba penulis uraikan dalam
terdepan dari pelayanan dan ulasan dalam paper ini.
berhadapan langsung dengan publik,
adalah pihak yang pertama kali yang KINERJA STREET LEVEL
bertemu dan bertatap muka dengan BIROKRASI
publik. Sehingga, seluruh keluh
kesah, tanggapan , respon dan juga Berbicara mengenai ‘ Street
tindakan yang dilakukan publik yang Level Birokrasi’, adalah berbicara
tercermin pada tindakan individu mengenai kualitas pelayanan yang
didalamnya langsung mereka hadapi. diberikan oleh garda terdepan dari
Keadaan ini memang merupakan birokrasi yang dirasakan masih
tugas mereka, akan tetapi terkadang kurang. Kekurangan ini disebabkan
birokrasi pada tingkat ’street level’ oleh beberapa hal diantaranya: (a)
tidak dapat menyelesaikan seluruh Krisis kepercayaan terhadap birokrasi
tugas yang ada. publik, karena birokrasi menjadi
Kemudian yang terjadi adalah instrumen penguasa, kepentingan
pelayanan yang tidak maksimal, penguasa cenderung sentral dan
lemahnya mental publik dengan menggusur kepentingan publik
merebaknya praktek kolusi dan tercermin dalam kebijakan publik; (b)
nepotisme. Tentu saja, bila hal ini Sedikitnya kesempatan dan ruang
dibiarkan terus berlanjut akan yang dimiliki masyarakat dalam
menyebabkan semakin rusaknya proses kebijakan publik; (c)
mental publik dan birokrasi kita. Pengabaian aspirasi dan kepentingan
Semakin lemahnya kepercayaan masyarakat , dalam penyelenggaraan
publik pada aparat birokrasi , dapat pelayanan publik; (d) Meluasnya
menyebabkan legitimasi birokrasi dari praktek KKN, sebagai sumber dari
sisi masyarakat menjadi menurun. bureaucratic –cost; (e) Rendahnya
Kondisi terekstrem adalah kemampuan birokrasi merespon
masyarakat tidak percaya dan tidak krisis, tidak adanya inisiatif dan
ingin berurusan dengan birokrasi lagi, kreativitas dalam mengendalikan
serta tidak membutuhkan kehadiran krisis; (f) Orientasi kepada
mereka. kekuasaan, distorsi pelayanan publik,
Dilatar belakangi oleh kondisi memperburuk krisis ekonomi dan
inilah tulisan ini coba mengungkap politik.
sisi dari birokrasi pada tingkat ’street Permasalahan diatas menjadi
level’. Pertanyaan-pertanyaan seperti krusial karena setiap masa, dimulai

2
sejak masa orde lama, terlebih orde terjadi dalam lingkungan dan
baru bahkan diera reformasi menjadi alternatif cara pelayanan,
pekerjaan rumah besar yang tak mempermudah pengguna layanan
kunjung selesai. Penjelasan untuk mengakses pelayanan
mengapa pemerintah dan secara murah dan cepat. Kelima;
birokrasinya gagal mengembangkan Tidak adanya keberanian untuk
kinerja pelayanan yang baik dapat mengambil insiatif dan
dilihat pada kajian yang dipaparkan pengembangan kreatifitas dalam
oleh Osborne & Plastrik (1997). merespon perubahan, sehingga
Kedua ahli ini menjelaskan terdapat rutinitas dianggap sesuatu yang
lima DNA (kode genetik) dalam tubuh dianggap wajar dan benar.
birokrasi/pemerintahan yang
mempengaruhi kapasitas dan b. Akuntabilitas
perilakunya. Kelimanya berkaitan Tidak adanya proses
dengan pengelolaan terhadap hal pertanggungjawaban yang
berikut : berasal dari dalam (inisiatif
birokrasi itu sendiri). Berarti rasa
a. MISI (purpose); tanggung jawab birokrasi rendah
kemampuan sebuah sistem dalam dan ketidakpedulian terhadap
merespon dinamika yang terjadi di hasil pekerjaan.
masyarakat. Birokrasi di
Indonesia tidak memiliki misi yang c. Konsekuensi
jelas mengakibatkan : Pertama; Reward and punishment tidak
fungsi dan aktivitas birokrasi berjalan. Berhubungan dengan
semakin luas dan semakin jauh peraturan perundangan yang
dari tujuan pembentukan birokrasi mengatur birokrasi masih lemah
tersebut, disebabkan tidak adanya dan tidak cukup kuat mengikat
keinginan birokrasi untuk birokrasi.
membantu masyarakat, tetapi
didorong oleh keinginan birokrasi d. Kekuasaan;
untuk memperluas akses Sistem kekuasaan yang
kekuasaan dan anggaran. Kedua cenderung sentralistik dan
; Menciptakan fragmentasi paternalistik, terkonsentrasi pada
birokrasi yang tinggi, pejabat atasan (puncak),
mengakibatkan membengkaknya pelayanan penyelenggaraan
birokrasi publik, duplikasi dan pemerintahan terkonsentrasi pada
konflik kegiatan dan kebijakan bawahan. Masyarakat dianggap
antar lembaga birokrasi yang sebagai client yang nasibnya
mengakibatkan inefisiensi dan ditentukan oleh birokrasi bukan
kebingungan masyarakat. Ketiga sebagai pelanggan yang
; Orientasi birokrasi terhadap dibutuhkan oleh birokrasi
peraturan dan prosedur amat
tinggi sehingga menjadikannya e. Budaya
sebagai barometer pelayanan, Birokrasi pemerintahan yang
sehingga menyebabkan Keempat berlangsung di Indonesia tidak
; mengabaikan perubahan yang memiliki kultur atau tradisi untuk

3
menempatkan kepentingan yang dihasilkan pun tidak maksimal.
masyarakat sebagai sentral dalam Permasalahan tersebut berhubungan
kehidupannya. Praktik-praktik, dengan kinerja dari birokrasi kita
simbol dan nilai-nilai feodal yang yang tidak dapat diukur dan dinilai
sudah berpuluh tahun tertanam dengan tepat. Kinerja birokrasi tidak
menjadikannya sebagai suatu dapat terdeteksi dengan tepat ,
kebiasaan dan memiliki kekuatan disebabkan : (a) kinerja belum
normatif. Tradisi kompetitif dianggap sesuatu yang penting oleh
sebagai pendorong efisiensi juga pemerintah; (b) tidak tersedianya
kurang berkembang. informasi mengenai indikator kinerja
birokrasi publik, Daftar penilaian
Pelayanan yang diberikan oleh pelaksanaan pekerjaan (DP3) jauh
birokrasi kepada pengguna jasa relevansinya dengan indikator kinerja
(masyarakat pada umumnya) tidak sebenarnya; (c) Kompleksitas
maksimum disebabkan oleh berbagai indikator kinerja yang digunakan
hal, antara lain adalah rendahnya mengukur kinerja birokrasi.
improvisasi, inisiatif dan juga Penyebabnya adalah banyaknya
keinginan menyelesaikan masalah stakeholder birokrasi; masyarakat,
sesegera mungkin. Saling lempar anggota DPR, partai politik, kelompok
tugas serta tanggung jawab juga kepentingan, yang memiliki
kerap terjadi. Semuanya akibat kepentingan yang berbeda; (d)
ketidaktahuan birokasi tentang Efisiensi dan efektivitas, kepuasaan
bidang tugas dan penempatan tugas pengguna jasa, akuntabilitas dan
yang tidak sesuai dengan responsivitas tidak terlaksana; (e)
kemampuan dan keahlian masing- Tujuan dan misi birokrasi publik
masing. Guna memahami lebih lanjut seringkali kabur dan bersifat
dari kualitas ‘street level birokrasi’ di multidimensional (multi tafsir).
Indonesia, maka dapat dilihat potret Kondisi birokrasi tersebut, pada
birokrasi Indonesia , sebagai berikut : setiap levelnya memerlukan indikator
(a) Weberisasi dengan sasaran pengukur kinerja. Indikator yang
efisiensi, rasionalisasi, orientasi digunakan, menurut Dwiyanto (1995),
pemberian pelayanan publik, sebagai berikut: (a) Efisiensi;
profesionalisme birokrasi; (b) keberhasilan mendapatkan laba,
Parkinsonisasi dengan sasaran memanfaatkan faktor produksi,
proliferasi struktur dan personil rasionalitas ekonomis. Lebih objektif
birokrasi; (c) Orwelisasi dengan lagi meliputi; likuiditas, solvabilitas,
sasaran birokrasi sebagai instrumen dan rentabilitas; (b) Efektivitas;
politik negara dan alat kontrol politik; Tercapainya tujuan pendirian
(d) Jaksonisasi dengan sasaran organisasi pelayanan publik. Erat
akumulasi kekuasaan melalui kaitannya dengan rasionalitas teknis,
birokrasi, alienasi publik dari proses nilai, misi, tujuan organisasi, dan
pengambilan keputusan. fungsi agen pembangunan; (c)
Potret diatas menggambarkan Keadilan; mempertanyakan distribusi
beberapa patologi birokrasi yang dan alokasi layanan yang
menyebabkan birokrasi tidak berjalan diselenggarakan olrh organisasi, erat
secara normal, sehingga pelayanan kaitannya dengan konsep

4
ketercukupan dan kepantasan. pelayanan sesuai dengan kebutuhan
Apakah kebutuhan dan nilai dalam dan aspirasi masyarakat.
masyarakat dapat terpenuhi. Isu Responsivitas mengukur daya
tentang pemerataan pembangunan, tangkap birokrasi terhadap harapan,
layanan pada kaum miskin dsb dapat keinginan dan aspirasi, serta tuntutan
dijawab dengan kriteria ini; (d) Daya pengguna jasa. Organisasi dengan
tangkap ; bagian dari daya tangkap responsivitas rendah dengan
negara/pemerintah terhadap sendirinya memiliki kinerja yang
kebutuhan vital masyarakat. rendah pula . Indikator responsivitas
Ahli lain, Salim & Woodward pelayanan publik, meliputi: (1)
(dalam Thoha, 2003) melihat kinerja terdapat tidaknya keluhan dari
berdasarkan: (a) pertimbangan- pengguna jasa selama satu tahun
pertimbangan ekonomi; diartikan terakhir; (2) sikap aparat birokrasi
sebagai strategi untuk menggunakan dalam merespon keluhan dari
sumberdaya yang seminimal pengguna jasa; (3) penggunaan
mungkin dalam proses keluhan dari pengguna jasa sebagai
penyelenggaraan kegiatan pelayanan referensi bagi perbaikan
publik; (b) Efisiensi; menunjuk pada penyelenggaraan pemerintahan
kondisi tercapainya keseimbangan dimasa mendatang; (4) berbagai
antar input dan output pelayanan; (c) tindakan aparat birokrasi
Efektivitas; melihat tercapainya untukmemberikan kepuasan
pemenuhan tujuan dn target pelayanan pada pengguna jasa; (5)
pelayanan yang telah ditetapkan; (d) penempatan pengguna jasa oleh
Persamaan pelayanan; keadilan aparat birokrasi dalam sIstem
dalam bentuk pelayanan publik. pelayanan yang berlaku.
Birokrasi ditingkat ‘street level’
perlu merespon faktor akuntabilitas C. BUDAYA BIROKRASI
birokrasi yaitu; suatu ukuran yang INDONESIA
menunjukkan tingkat kesesuaian Faktor budaya birokrasi
penyelenggara pelayanan dengan digambarkan sebagai sebuah sistem
ukuran nilai/norma eksternal di atau seperangkat nilai yang memiliki
masyarakat/para stakeholders. simbol, orientasi nilai, keyakinan,
Indikator kinerjanya meliputi: (1) pengetahuan dan pengalaman
acuan pelayanan yang digunakan kehidupan yang terinternalisasi
birokrasi dalam proses kedalam pikiran. Seperangkat nilai
penyelenggaraan pelayanan publik; tersebut diaktualisasikan dalam
(2) tindakan yang dilakukan aparat sikap, tingkah laku dan perbuatan
birokrasi alam pemberian pelayanan; yang dilakukan. Budaya dipengaruhi
(3) prioritas kepentingan pengguna oleh lingkungan sosial yang memiliki
jasa pelayanan oleh aparat birokrasi. sistem norma, sistem nilai, system
Faktor lainnya berupa kepercayaan, adat kebiasaan
responsivitas yaitu; Kemampuan ,pandangan hidup yang difahami
birokrasi untuk mengenali kebutuhan sebagai sesuatu yang baik dan
masyarakat, menyusun agenda dan benar. Patologi birokrasi muncul
prioritas pelayanan, serta karena norma dan nilai yang menjadi
mengembangkan program-program acuan bertindak birokrasi lebih

5
berorientasi keatas, yakni Dalam pemerintahan pusat
kepentingan politik kekuasaan, bukan (keraton), urusan dalam
kepada publik. pemerintahan diserahkan pada
Christensen (1995) empat pejabat setingkat menteri
mengemukakan argumennya bahwa (wedana lebet) yang dikoordinasikan
elemen paling mendasar dalam oleh pejabat setingkat menteri
melihat dinamika lingkungan politik koordinator (pepatih lebet). Pejabat-
lokal adalah karakteristik sosial pejabat kerajaan tersebut masing-
ekonomi masyarakat. Beberapa masing membawahi pegawai (abdi
variabel penting dalam membentuk dalem) yang cukup banyak. Daerah
setting politik lokal diantaranya; diluar keraton, contoh daerah pantai
jumlah penduduk, kepadatan, (pesisiran) raja menunjuk bupati yang
heterogenitas penduduk, karakter setia kepada raja untuk menjadi
sosio-psikologis masyarakat, dan penguasa daerah. Berasal dari
variasi ekonomi lokal. Variasi dari bupati lama yang ditaklukkan raja,
satu variabel terhadap variabel pemuka masyarakat setempat, atau
lokalitas lainnya akan dapat saudara raja sendiri.
menjelaskan perbedaan politik lokal Pengawasan terhadap bupati
antar daerah. Seperti perbedaan dilakukan oleh pejabat tinggi
dalam struktur pemerintahan, tingkat pengawas (wedana) yang ditunjuk
partisipasi politik masyarakat, raja. Tindakan pengawasan itu
berbagai aktivitas kelompok disebabkan posisi bupati memiliki
kepentingan di masyarakat. bawahan, yang pola hubungannya
Salah satu faktor sama seperti hubungan raja dan
penyebabnya yaitu budaya bawahannya (abdidalem). Kesetiaan
paternalistik dan feodalisme. Budaya bupati kepada raja ditunjukkan
paternalistik dan feodalisme yang dengan menghadap ke istana raja
tertanam sejak masa kerajaan minimal setahun tiga kali dengan
mempengaruhi birokrasi Indonesia membawa upeti sebagai bukti
masa kini. Ciri-ciri birokrasi kerajaaan kesetiaan daerah. Kedudukan bupati
menurut Suwarno (1994) sebagai sebenarnya sangat otonom, sehingga
berikut: (1) Penguasa menganggap tidak terlalu sulit untuk
dan menggunakan administrasi merencanakan suatu
publik sebagai urusan pribadi; (2) pemberontakan, terlebih jika raja
Administrasi adalah perluasan rumah berkuasa dipandang lemah.
tangga istananya; (3) Tugas Tiga (3) strategi politik yang
pelayanan ditujukan kepada pribadi digunakan Raja Mataram untuk
sang raja; (4) ‘Gaji’ dari raja kepada mencegah bupati melepaskan diri
pegawai kerajaan pada hakikatnya dari kekuasaan raja: pertama,
adalah anugrah yang juga dapat Menggunakan kekerasan dengan
ditarik sewaktu-waktu sekehendak menjatuhkan hukuman mati kepada
raja; (5) Para pejabat kerajaan dapat lawan-lawan politik raja, termasuk
bertindak sekehendak hatinya pada seluruh keluarganya; kedua,
terhadap rakyat, seperti halnya yang Mengharuskan orang terkemuka
dilakukan oleh raja. yang berpengaruh didaerahnya untuk
tinggal dikeraton dalam jangka waktu

6
tertentu dan daerahnya diserahkan mendorong korupsi, seperti adanya
pada wakil raja didaerah; ketiga, nilai/tradisi pemberian hadiah kepada
Menjalin persekutuan dengan pejabat. Tindakan itu menurut
perkawinan, baik antara raja dengan masyarakat eropa dan Amerika
putri kepala daerah maupun puteri dianggap korupsi, sedangkan oleh
raja yang diberikan sebagai hadiah masyarakat Asia, termasuk Indonesia
kepada tokoh-tokoh daerah. tidak. Dalam kultur Jawa, sebagai
Contoh lain, kerajaan Gowa bentuk pemenuhan kewajiban oleh
yang mewakili etnis makassar di bawahan ( kawula) kepada rajanya
Sulawesi, dipimpin oleh seorang raja (gusti). Akar kultural masyarakat
yang dibantu oleh sebuah dewan Indonesia yang nepotisme memberi
perwakilan (bate salapang) yang dorongan bagi tindak korupsi,
keanggotaannya terdiri dari sembilan umumnya mementingkan ikatan
penguasa persekutuan (gaukang) keluarga dan kesetiaan parokial.
pembentuk kerajaan Gowa. Sistem Mas’oed (1994) lebih lanjut
pemerintahan dibagi menjadi pusat menyatakan bahwa ketimpangan
dan daerah. Pemerintahan daerah antara birokrasi dan rakyat dalam hal
dibagi menjadi 2: (a) Pemerintahan status, pendidikan dan kepemilikan
daerah yang terdiri dari 9 informasi menimbulkan konsekuensi
persekutuan (gaukang) pembentuk berupa: (a) pejabat dapat membuat
kerajaan Gowa yang bersifat otonom, keputusan sewenang-wenang tanpa
independen terhadap pusat, artinya dapat dihukum serta dapat meminta
tidak ada intervensi politik dari pusat; uang suap dari masyarakat; (b)
(b) Pemerintahan daerah taklukan warga yang dalam posisi lemah
(vasal); tidak otonom, harus patuh secara politik sering menawarkan
terhadap peraturan pemerintahan uang suap kepada pejabat, guna
pusat dan setiap tahun wajib mempengaruhi perilakunya serta
menyerahkan upeti kepada raja memudahkan pelayanan birokrasi.
sebagai bukti kesetiaan mereka. Budaya birokrasi model ini
Sikap feodalistik yang yang sudah tertanam lama di
diturunkan dari birokrasi kerajaan Indonesia, tentu saja sulit untuk
sulit dihapuskan dalam pemerintahan dirubah. Merebaknya praktek korupsi,
kolonial belanda, masa orde lama, kolusi dan nepotisme (KKN) sebagai
terlebih orde baru bahkan masa bagian dari patologi birokrasi tak
reformasi saat ini, masih sering beranjak sirna. Perubahan struktur
ditemukan aparat birokrasi yang sulit dan sistem birokrasi sejak
bersikap kritis terhadap pimpinannya, kepemimpinan Habibie, Mega, Gus
cenderung memiliki orientasi nilai Dur bahkan SBY memang dirasakan
pada kepentingan pimpinan bukan memiliki hasil, tetapi tidak dapat
kepada publik. Perilaku feodalistik ini merubah keseluruhan kondisi yang
memberikan kontribusi besar ada. Era otonomi daerah yang
terhadap munculnya patologi menjadikan tumbuh suburnya
birokrasi, terutama korupsi. penguasa-penguasa lokal, dan
Faktor kultural, menurut cenderung tidak menghiraukan
Mas’oed (1994) juga memperkuat pemerintah pusat menyuburkan
kondisi tersebut, cenderung kondusif praktek-praktek KKN tersebut. Sekali

7
lagi bahwa, menurut penulis peran hubungan antara pimpinan dan
budaya masyarakat kita dan juga bawahan, dibangun berdasar
memepengaruhi budaya birokrasi kita perasaan suka dan tidak suka,
yang menyebabkan kondisi ini. sehingga kondisi diskresi juga
berawal dari kondisi ini.
D. DISKRESI BIROKRASI Secara konseptual diskresi
Budaya paternalisme, sistem merupakan suatu langkah yang
yang menempatkan pimpinan ditempuh oleh administrator untuk
sebagai pihak yang paling dominan, menyelesaikan suatu kasus tertentu
memiliki corak hubungan seperti yang tidak/belum diatur dalam suatu
ayah dengan anak. Pola hubungan regulasi yang baku. Diskresi dapat
dipandang secara hierarkis. Dalam berarti suatu bentuk kelonggaran
konteks pelayanan publik, ada dua pelayanan yang diberikan pada
dimensi, pertama; antara aparat pengguna jasa. Pertimbangannya
dengan masyarakat, kedua; antara adalah adanya realitas bahwa suatu
pimpinan/atasan dengan kebijakan/peraturan tidak mungkin
staff/bawahan. merespon banyak aspek dan
Corak hubungan paternalistik kepentingan semua pihak, sebagai
pada dasarnya lebih bersifat informal, akibat keterbatasan prediksi para
sangat pribadi, serta kebiasaan- aktor.
kebiasaan tidak resmi yang Diskresi secara teoritis
berkembang dalam struktur birokrasi merupakan penyimpangan. Prinsip
(Blau & Scott, 1987). Corak dalam diskresi, pelanggaran atau
hubungan dipengaruhi oleh tindakan penyimpangan prosedur
feodalisme, yang biasanya dibangun tidak dipersoalkan, sepanjang tetap
berdasarkan hubungan yang pada koridor visi, misi dan tujuan
asimetris, eksklusifisme karena organisasi. Rendahnya kemampuan
adanya pembedaan dalam hal usia, birokrasi dalam melakukan diskresi
jabatan, peran, kedudukan, maupun menjadi indikator rendahnya tingkat
status seseorang. Dalam budaya responsivitas dan berpatokan pada
paternalisme terdapat nilai tentang aturan yang diterapkan secara kaku.
pentingnya peranan atasan dalam Indikator untuk melihat diskresi
memberikan perlindungan terhadap dalam birokrasi, meliputi serangkaian
bawahan (Eisenstadt, 1973). tindakan yang dilakukan aparat
Perlindungan yang diberikan oleh pelayanan berdasarkan pada inisiatif,
pimpinan berwujud status dan kreativitas, dan tidak terlalu
pangkat, yang kedua atribut tersebut bersandar pada peraturan atau juklak
merupakan hak istemewa bagi secara kaku. Indikator tersebut
seorang bawahan yang menentukan meliputi hal-hal sbb: (a) tindakan
status sosialnya di mata masyarakat ( yang dilakukan untuk mengatasi
Mulder, 1985). kesulitan ketika pimpinan tidak
Pengaruh paternalisme berada di tempat kerja; (b) Tindakan
membawa konsekuensi pada pola atau langkah yang dilakukan ketika
pendelegasian wewenang yang menemui kesulitan dalam
terjadi dalam birokrasi. Masih menjalankan tugas; (c) Pernah
berdasarkan pada kedekatan tidaknya menerapkan prosedur

8
pelayanan yang berbeda dengan menunda pelayanan sampai
juklak. pimpinan datang. Pemberian
Diskresi dinilai baik apabila kewenangan untuk melakukan
aparat birokrasi selalu berupaya diskresi dalam birokrasi masih
mengatasi sendiri kesulitan melalui merupakan langkah yang belum
cara-cara yang berorientasi pada dipahami substansinya dan tidak
upaya pemuasan kepentingan publik. popular dalam jajaran birokrasi
Tindakan diskresi yang ditempuh pelayanan.
meliputi mendiskusikan suatu Berikut ini penulis lampirkan
masalah dengan rekan kerja, dan beberapa tabel untuk melihat kondisi
memutuskan suatu masalah ‘diskresi birokrasi’ berdasarkan
berdasarkan visi organisasi. sebuah penelitian pada sejumlah
Sebaliknya, diskresi dinilai buruk pegawai negeri pada level bawah (
apabila aparat pelayanan dalam street level dengan data kuantitatif
merespon kesulitan yang dihadapi pada tiga wilayah, yakni Sumatra
memilih mengambil tindakan dengan Barat, DI Jogja dan Sulawesi
meminta petunjuk pimpinan atau Selatan.

Tabel 1. Inisiatif pelayanan ketika pimpinan tidak ada


Jenis tindakan Sumatra Barat DI Yogya Sul Selatan
Penundaan pelayanan 37,3 43,1 49,7
Bantuan rekan kerja 15,3 27,4 10,7
Inisiatif sendiri 47,4 29,5 39,6
Total 100,0 100,0 100,0
N=912 N=287 N=325 N=300
Sumber: Data primer, 2000, (penelitian Agus Dwiyanto dkk, Pusat study Kependudukan
dan Kebijakan UGM )

Tabel 2. Tindakan aparat ketika menemui kesulitan tugas


Jenis tindakan Sumatra Barat DI Yogja Sul Selatan
Meminta petunjuk atasan 67,9 62,2 62,2
Bantuan rekan kerja 8,7 16,9 16,9
Inisiatif sendiri 23,3 20,9 20,9
Jumlah (N) & sumber : idem

Tabel 3. Dasar penerapan prosedur pelayanan


Dasar penerapan prosedur pelayanan Sumatra Barat DI Jogja Sulwsi Sel
Aturan formal/ Juklak 81,5 76,3 88,0
Sesuai situasi 18,5 23,7 12,0
Jumlah (N) & sumber : idem

Tabel 4. Tindakan pemenuhan kecepatan pelayanan


Tindakan pelayanan Sumatra Barat DI Jogja Sulwsi Sel
Menolak 46,3 67,4 53,0
Melayani dengan syarat dipenuhi 53,7 32,6 47,0
kemudian
Jumlah (N) & sumber : idem

9
Tabel 5. Penolakan pelayanan akibat kurangnya persyaratan administratif
Tindakan pelayanan Sumatra Barat DI Jogja Sulwsi Sel
Ya 76,7 88,0 87,0
Tidak 23,3 12,0 13,0
Jumlah (N) & sumber : idem

Tabel 6. Tindakan aparat apabila pimpinan melakukan kesalahan


Tindakan aparat Sumatra Barat DI Jogja Sulwsi Sel
Mengingatkan langsung 84,7 64,3 73,0
Mengingatkan tidak langsung 8,7 14,2 8,3
Membiarkan 7,3 21,5 18,7
Sumber: Data primer, 2000

Tabel 7. Dasar pembedaan pelayanan oleh aparat


Dasar Pembedaan Sumatra Barat DI Jogja Sulwsi Sel
Kedekatan dengan petugas 77,8 88,9 85,4
Status sosial pengguna jasa 18,9 9,4 12,7
Sikap pengguna jasa 3,3 1,7 1,9
Sumber : Data primer, 2000.

E.RESTRUKTURISASI BIROKRASI tentang restrukturisasi birokrasi


Dalam teori Liberal, birokrasi pemerintah (konsep pemikiran Max
pemerintah menjalankan kebijakan- Weber) , layak untuk dicermati, yaitu:
kebijakan pemerintah yang (a) Perumusan apa yang dimaksud
mempunyai akses langsung dengan jabatan politik dan jabatan karier
rakyat melalui mandat pemilu. Jadi (birokrasi); (b) Penggolongan
birokrasi pemerintah tidak hanya diisi identifikasi jabatan (mana yang
oleh para birokrat saja, melainkan dimaksudkan jabatan politik dan
ada bagian tertentu yang disi oleh jabatan publik); (c) Menetapkan
pejabat politik. Hubungan antara batas-batas tugas, tanggung jawab,
pejabat politik dan birokrasi dan kewenangan antara kedua
merupakan suatu hubungan yang jabatan tersebut sehingga tidak
konstan (ajeg) antara fungsi kontrol saling simpang siur dan intervensi;
dan dominasi. (d) Penetapan hubungan kerja
Persoalan yang muncul antara kedua jabatan dan pejabat
kemudian siapa yang mengontrol, tersebut.
memimpin dan menguasai siapa. Penulis sependapat dengan
Persoalan klasik ini, menurut Carino pemikiran Weber bahwa perlu
(dalam Thoha, 2003), disikapi adanya pembedaan yang jelas dan
dengan dua alternatif solusi, yaitu tegas antara jabatan politik dan
birokrasi sebagai subordinasi dari birokrasi. Penegasan ini diperluakan
politik (executive ascendancy) atau agar kinerja birokrasi tidak
birokrasi sejajar dengan politik dipengaruhi oleh keinginan politik
(bureaucratic sublation atau attempt dari penguasa. Birokrasi tidak lagi
at co-equality with the executive. dijadikan sapi perahan seperti pada
Melihat fenomena birokrasi saat masa orde baru, sehingga fokus
ini, menurut penulis pemikiran

10
pekerjaan birokrasi hanya pada yang dipilih dan didukung oleh
sektor pelayanan publik. parlemen. Artinya pegawai
Seiring dengan perubahan pemerintah berkeinginan dan
zaman, cara kerja dengan harus mampu melayani secara
menggunakan teknologi informasi sama (equal effectiveness)
sudah dilakukan. Cara kerja seperti kepada perbedaan administrasi
ini menjadikan birokrasi seperti yang datang silih berganti,
organisasi tanpa batas sehingga menghendaki dalam
(boundaryless organization). pemerintahan ada pejabat politik
Konsekuensinya, birokrasi semacam (dari parpol) dan pejabat
ini menurut Lucas (1996) akan birokrasi.
banyak memperkenalkan paperless
organization, atau organisasi 2. Model perhitungan pluralis
birokrasi yang nir-kertas, yang akan (pluralist-account)
menghemat anggaran birokrasi. Jika Tidak berbeda dari model
birokrasi yang tanpa batas dan tanpa pluralist-democracy (Douglas
kertas ini diberlakukan, maka Yates), dan berintikan sama
tatanan organisasi yang vertically dengan model perwakilan
operated akan berubah menjadi lebih konstitusional. Perbedaannya
pendek, ramping dan permeated model pluralist memandang
(merembes). Sesuai dengan azas organisasi birokrasi pemerintah
demokrasi, kewenangan birokrasi sebagai kelompok kepentingan
tidak hanya berada di hierarki atas seperti kelompok kepentingan
(penguasa) melainkan ada dimana- lain yang ada dalam
mana (decentralized). masyarakat1. Salah satu
Tidak dapat dipungkiri, akibat tujuannya sebagai kelompok
belum jelasnya pemisahan jabatan penekan untuk mempengaruhi
politik dan jabatan publik (birokrasi), kebijakan pemerintah.
kondisi birokrasi di Indonesia sedikit
banyak dipengaruhi oleh intervensi 3. Model otonomi yang demokratis
partai politik. Dunleavy (1987) (the autonomy of the democracy
menguraikan beberapa model yang model)
digunakan untuk meminimalisir Berada dalam bayangan model
intervensi partai politik terhadap kedua pluralis, model ini melihat
birokrasi pemerintah : proses pembuatan kebijakan
publik terbagi dalam jejaring
1. Model perwakilan konstitusional (policy network), tetapi pejabat
(constitutional-representative birokrasi pemerintah tidak bisa
government) memainkan kekuasaan dan
Adanya lembaga yang dipilih kepentingannya jika tidak
melalui pemilu, model ini mempunyai preferensi dari
meletakkan pegawai pemerintah kebijakan tersebut. Solusi dari
sebagai mesin birokrasi yang model ini agar birokrasi
harus netral dari mempunyai otonomi dalam
keterpengaruhan pejabat-pejabat
pemerintah (political appointees) 1
Dowding, Keith (1991) Rational Choice and
Political Power, Edward Edgar, Aldershot, UK

11
menentukan kebijakan serta birokrasi (khususnya pada tingkat
mengurangi kepentingan street level) bahwa masyarakat
kelompok penekan lain. adalah warga negara yang memiliki
hak untuk mendapatkan pelayanan
4. Model kanan baru (new right) maksimal. Didukung oleh
Memandang birokrasi bisa dibuat pemahaman masyarakat tentang
lebih efisien dan bagaimana birokrasi, tugas dan
seharusnya birokrasi bekerja profesionalitasnya, sehingga
dengan lebih baik. Model ini masyarakat enggan untuk
melihat ada suatu dinamika melakukan praktek-praktek yang
dalam birokrasi (internal dynamic) dapat menghambat kinerja birokrasi,
yang cenderung berbuat tidak misalnya kolusi dan nepotisme.
efisien dan berkembang Tak kalah pentingnya adalah,
seenaknya dalam mesin keberanian dari birokrasi pada
pemerintahan. Model kanan baru tingkat street level untuk melakukan
melihat partai politik (model diskresi (kebijaksanaan) dalam
konstitusional) dan kelompok pekerjaannya. Tentu saja dengan
kepentingan (model pluralis) berpatokan pada visi dan misi
menyebabkan in-efisiensi dalam organisasi., dengan tidak terlalu kaku
pemerintahan disebabkan dengan aturan administratif yang
fragmentasi kepentingan politik ada. Dilain pihak, para pejabat pada
tertentu. Model ini memberikan level higher atau manager lebih
istilah rent seeking (memburu mempercayai dan memberi
rente) yang menggambarkan kewenangan kepada street level.
beberapa kelompok memperoleh Mengemban amanah pekerjaan
keuntungan secara ekonomi. guna melancarkan urusan (biasanya
Biasanya dalam proyek-proyek administratif) guna peningkatan
pemerintah seperti bantuan kualitas pelayanan terhadap publik.
petani, masyarakat miskin dan Restrukturisasi atau reformasi
kesejahteraan sosial serta birokrasi menjadi pekerjaan rumah
subsidi. utama,dalam tingkat street level
berguna untuk lebih
F. SIMPULAN menyederhanakan pekerjaan, fokus
pada masalah tetentu dan tenju saja
Merubah wajah birokrasi di peningkatan pelayanan. Beban
Indonesia, menurut penulis lebih pekerjaan yang terlalu banyak,
ideal dilakukan secara holistik cakupan yang terlalu luas hingga
(menyeluruh). Dimulai dari sistem struktur dan sistem yang tidak
dan strukturnya, yang berkaitan mendukung dapat teratasi.
dengan peraturan perundangan yang Penciptaan iklim pekerjaan yang
berlaku khususnya mengenai kondusif serta nyaman dapat
birokrasi. Lalu, pemisahan dengan membuat para pekerja birokrasi
wilayah politik yang sarat tingkat street level menjadi produktif,
kepentingan dengan misi birokrasi sehingga target pelayanan
yang melayani. Memasukkan kinerja maksimal dapat terjangkau.
berbasiskan pemahaman kepada

12
DAFTAR PUSTAKA

Ashkenas, Ron; Ulrich, Dave; Jick, Todd & Kerr Steve (1995), The Boundaryless
Organization, breaking the cain of arganization structure, San Francisco,CA

Blau, Peter M. & Richard W. Scott. 1987. Formal Organization. San fransisco,
Chandler Publishing Co

Christensen, Terry. 1995. Local Politics; Governing at the Grassroots. Belmont,


California: Wadsworth Publishing Company

Dowding, Keith (1991), Rational Choice and Political Power, Edward Edgar,
Aldershot, UK

Dunleavy,P. & O’Leary, B (1987), Theories Of the State, Macmillan, London, UK

Dwiyanto, Agus.1995. “Penilaian kinerja organisasi pelayanan public, Seminar


kinerja organisasi sektor publik, kebijakan dan penerapannya.Jur. ANe,
Fisipol UGM, Yogyakarta, 20 Mei

Eisanstadt, S.N. 1973. Tradisional Patrimonials & Modern Neopatrimonialism,


California, Sage Publicati

Lipsky, Michael.1980. Street – Level Bureaucracy, Russel Sage Foundation,


New York

Lucas JR, Henry C (1996), T. Form Organization, using technology to design


organizations for the 21st century, Jossey-Bass Publishers, san Fransisco,
CA

Mas;oed, Mohtar. 1994. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Yogyakarta,


Pustaka Pelajar

Mulder, Niels.1985. Pribadi dan Masyarakat Jawa. Jakarta : Sinar Harapan

Osborne, David & Peter Plastrik. 1997. Banishing Bureaucracy; the five
Strategies for Reinventing Government. California

Smith, B.C. 1988. Bureaucracy and Political Power, Wheatsheaf Books. Sussex,
St Martin’s Press, New York.

Suwarno, P.J.1994, Habengkubuwono IX dan Sistem Birokrasi Pemeritahan


Yogyakarta, 1942-1947, sebuah Tinjauan Historis. Yogyakarta; Kanisius

13
Thoha, Miftah (2003), Birokrasi dan Politik di Indonesia , PT Raja Grasindo
Persada, Jakarta

14

Anda mungkin juga menyukai